Penilaian ekonomi wisata alam di daerah penyangga cagar alam pegunungan arfak kabupaten Manokwari provinsi Papua Barat

PENILAIAN EKONOMI WISATA ALAM DI
DAERAH PENYANGGA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN ARFAK
KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

ABDULLAH TUHAREA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Ekonomi
Wisata Alam di Daerah Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Abdullah Tuharea
NRP E352100061

RINGKASAN
ABDULLAH TUHAREA. Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah Penyangga
Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.
Dibimbing oleh HARDJANTO dan YULIUS HERO.
Pemanfaatan sektor jasa lingkungan seperti wisata alam di wilayah Papua
(Provinsi Papua dan papua Barat) belum menjadi prioritas dalam kegiatan
pembangunan daerah. Padahal, potensi wisata alam di wilayah Papua sangat
banyak mulai dari wisata bahari sampai di daerah pegunungan. Salah satunya
adalah yang dimiliki Kabupaten Manokwari yaitu keunikan dan keindahan
panorama alam pegunungan Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) yang dapat
dinikmati dari daerah penyangganya.
Pengembangan kegiatan wisata alam di daerah penyangga (DP) CAPA telah
dirintis oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal sejak tahun
2009. Berdasarkan data LSM tersebut, kawasan DP CAPA telah menjadi destinasi

bagi wisatawan mancanegara. Walaupun telah menjadi tujuan wisata alam bagi
wisatawan mancanegara, baik pihak pengelola (pemerintah pusat) maupun
pemerintah daerah belum menjadikan kawasan DP CAPA sebagai daerah tujuan
wisata alam daerah dan nasional. Salah satu penyebab tidak tertariknya
stakeholder terkait untuk mengembangkan potensi wisata alam di DP CAPA
adalah belum terungkapnya nilai ekonomi dari kawasan tersebut.
Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi obyek wisata alam yang telah
dikembangkan dan berpotensi untuk dikembangkan di DP CAPA; (2) mengetahui
nilai ekonomi wisata alam di DP CAPA; (3) mengetahui pengaruh pengembangan
wisata alam terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Penelitian yang
secara umum dilakukan di DP CAPA ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
dengan analisis data secara kualitatif dan juga kuantitatif. Tahapan penelitian yang
dilakukan berupa studi pustaka, observasi langsung di lapangan, dan selanjutnya
melakukan wawancara untuk mendapatkan data yang diinginkan guna menjawab
tujuan penelitian ini.
Berdasarkan hasil olahan data primer dan sekunder diketahui bahwa, obyek
wisata alam utama di DP CAPA adalah bird watching dan tracking. Sedangkan
potensi wisata alam yang dapat dikembangkan sesuai kondisi kawasan DP CAPA

adalah wisata budaya, outbound, dan camping ground. Dengan menggunakan
metode biaya perjalanan (travel cost method) berdasarkan asal pengunjung (sistem
zonasi), terdapat 7 asal pengunjung/wisatawan yang berkunjung ke DP CAPA,
yaitu Manokwari, Sorong, Jayapura, Ambon, Makasar, Jakarta, dan Denpasar.
Tahapan perhitungan memperlihatkan bahwa, biaya perjalanan untuk berwisata
alam sesuai dengan hukum ekonomi. Semakin besar biaya perjalanan yang
dikeluarkan, maka akan semakin sedikit laju kunjungan wisata alam di suatu
lokasi. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa, nilai ekonomi wisata alam di
DP CAPA sebesar Rp3 138 386 278.50.
Pengembangan wisata alam di DP CAPA yang dilakukan oleh salah satu
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak tahun 2009 ini, secara umum
berdasarkan kondisi sosial ekonomi berpengaruh positif bagi masyarakat lokal.

Kondisi sosial masyarakat diketahui tidak mengalami perubahan dengan
dikembangkannya kegiatan wisata alam di Kampung Kwau, baik aspek norma dan
nilai sosial dalam masyarakat, hubungan sosial, sarana prasarana publik serta
kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk kondisi ekonomi masyarakat, pengaruh
pengembangan wisata alam di Kampung Kwau faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pendapatan dari sektor wisata alam adalah jenis kelamin dan
jumlah jenis keterlibatan dalam kegiatan wisata alam. Secara umum keterlibatan

masyarakat Kampung Kwau dalam kegiatan wisata alam adalah menyediakan
bahan makanan (sayuran dan daging) bagi wisatawan. Sedangkan potensi
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata alam lainnya yang juga sebagai
alternatif penghasilan mereka adalah sebagai guide, porter, jasa penginapan, dan
juru masak.
Kata kunci :

Penilaian ekonomi, wisata alam, daerah penyangga, Cagar Alam
Pegunungan Arfak, pengaruh sosial ekonomi

SUMMARY
ABDULLAH TUHAREA. Economic Valuation of Nature Tourism at Buffer
Zone of Arfak Mountains Nature Reserve in Manokwari Regency West Papua
Province. Supervised by HARDJANTO and YULIUS HERO.
The utilization of environmental services sectors such as nature tourism in
Papua (Papua and West Papua Provinces) has not been a priority in local
development activities. Meanwhile, Papua has many potential of nature, from
marine until the mountains. One of them is the uniqueness and beauty of the
Arfak Mountains Nature Reserve (CAPA) located in the Manokwari Regency.
The development of nature tourism activities in the buffer zone (BZ) of

CAPA has been initiated by one of the local Non Governmental Organization
(NGO) since 2009. Based on data from the NGO, BZ of CAPA has become a
destination for foreign tourists. Although it has become a nature destination for
foreign tourists, both of the managers, the central and the local government have
not made the region a tourist destination. One of the reasons why stakeholders do
not think of the importance of developing BZ of CAPA is the economic value of
the region is still unknown.
This research is aimed to (1) identify the objects of nature tourist attractions
(ODTWA) which have been developed and have the potential to be developed in
the BZ of CAPA, (2) determine the economic value of nature tourism in the BZ of
CAPA, (3) determine the effects of the development of nature tourism to the
socio-economic conditions of the local communities. This research which was
generally conducted in the BZ of CAPA is expected to become the consideration
for the management in developing these areas.
The method used in this research is descriptive with analysis of qualitative
and also quantitative data. Phases of the research are literature study, direct
observation, and then interviews to obtain expected data to answer the purposes of
this study.
Based on the results of primary and secondary data processed, it is known
that the main natural tourisn object in BZ of CAPA is bird watching and tracking.

While the potential of nature tourism which can be developed according to the
conditions of BZ of CAPA region are cultural tourism, outbound, and camping
ground. By using travel cost method with zoning system (based on the origin of
visitors), there are 7 zones of visitors/tourists who visit in BZ of CAPA, they are
Manokwari, Sorong, Jayapura, Ambon, Makassar, Jakarta, and Denpasar. Stages
of the calculation shows that, travel costs for nature tourism is appropriate with
the laws of economy. The larger travel costs occurred, the less rate of visits in a
location. Calculation result shows that, the economic value of nature tourism in
BZ of CAPA is Rp3 138 386 278.50.
Development of nature tourism in BZ of CAPA conducted by one of the
Non Governmental Organization (NGO) since 2009, generally brings positive
socioeconomic impacts on conditions for local people. Social condition known
has not changed with developed activities of nature attraction in Kampung Kwau,
both aspects of social norms and values in society, social relations, public
infrastructure and public health. While for the economic condition of the
community in Kampung Kwau, factors influencing the income from the nature

tourism is the gender and type of involvement in the activities of nature tourism.
Generally the involvement of Kampung Kwau people in nature tourism activities
are to provide food (vegetables and meat) for tourists. While the potential of

community involvement in the activities of other nature attractions as well as an
alternative to their earnings is as a guide, porter, services hostelry, and cooks.
Key words :

Economic valuation, nature tourism, buffer zone, Arfak
Mountains Nature Reserve, social economic effect

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENILAIAN EKONOMI WISATA ALAM DI
DAERAH PENYANGGA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN ARFAK
KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT


ABDULLAH TUHAREA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Meti Ekayani, S.Hut., M.Sc.

Judul Tesis

: Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah
Penyangga Cagar Alam Pegunungan Arfak

Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat

Nama

: Abdullah Tuharea

NIM

: E352100061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS
Ketua

Dr. Ir. Yulius Hero, MSc
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Manajemen Ekowisata dan
Jasa Lingkungan

Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir.Ricky Avenzora, MScF

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian:
15 Nopember 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis

dengan judul “Penilaian Ekonomi Wisata Alam di Daerah Penyangga Cagar Alam
Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat”. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S2 dan
memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Prof. Dr. Hardjanto, MS. dan Dr. Ir.Yulius Hero, M.Sc. selaku pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran sejak pembuatan
proposal sampai tersusunnya tesis ini. Terima kasih juga ditujukan kepada
Kementerian Kehutanan c.q. Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan
yang telah memberikan kesempatan beasiswa.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada :
1. Dr. Meti Ekayani, S.Hut., M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan tesis ini.
2. Ibu Prof. Dr. E.K.S Harini Muntasib, MS selaku ketua Program Studi Manajemen
Ekowisata dan Jasa Lingkungan periode 2007-2012 yang telah memberikan
arahan dan masukan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.F. selaku ketua Program Studi Manajemen
Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.
4. Ayahanda Rais Tuharea dan ibunda Sitti Raja Tuharea tercinta serta kakak dan
adik-adik tersayang atas segala doa dan dukungan moril serta kasih sayangnya.
5. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari atas segala dukungan dan
bantuannya.
6. Bapak Hans Mandacan sekeluarga atas segala bantuan dan informasi yang
diberikan selama penulis melakukan penelitian.
7. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan atas ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan MEJ 2010 (Ika, Lenny, Panca, Nanta, dan Wulan)
serta KVT 2010 atas kebersamaan, saling dukung, dan jalinan persaudaraannya.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu yang selama
ini memberikan dukungan baik moril dan meteri kepada penulis.
Ucapan terima kasih spesial penulis persembahkan kepada istri tercinta
Syamsuriani dan kedua buah hati terkasih kami Rahmaniar dan Imam Ma’arif atas
segala kesabaran, ketabahan, doa restu, dan kasih sayangnya selama penulis pergi
menuntut ilmu.
Insya Allah tesis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengabdikan
diri kepada Nusa Bangsa dan Masyarakat.
Bogor, Januari 2014
Abdullah Tuharea

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
2
4
5

2. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wisata Alam (Natural Tourism)
Kawasan Suaka Alam
Daerah Penyangga Kawasan Konservasi
Konsep Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam
Travel Cost Method Sebagai Metode Penilaian Kegiatan Wisata Alam
Surplus Konsumen
Pengaruh Sosial Ekonomi Wisata Alam Terhadap Masyarakat

6
6
8
10
11
13
15
16

3. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Jenis Data dan Informasi yang Dibutuhkan
Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Identifikasi Obyek Daya Tarik Wisata Alam
Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis)
Analisis Pengaruh Sosial Ekonomi Pengembangan Wisata Alam
terhadap Masyarakat Lokal

17
17
18
18
18
19
20
20
21

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Profil Pegunungan Arfak
Letak Geografis dan Administrasi
Kondisi Sumber Daya Alam (Fisik dan Bio Fisik)
Kondisi Umum Kampung Kwau
Kependudukan Kampung Kwau
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kampung Kwau
Pemilikan dan Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Suku Arfak
Sekilas Sejarah Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau
Aksesibilitas Berwisata Alam ke Daerah Penyangga CAPA

24
24
24
25
26
27
27
29
31
32

5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Obyek Wisata Alam di Daerah Penyangga CAPA
Nilai Ekonomi Wisata Alam Daerah Penyangga CAPA
Analisis Persamaan Regresi Kunjungan Wisata
Estimasi Kurva Permintaan Kunjungan Wisata Alam

34
34
37
38
40

22

Estimasi Surplus Konsumen dan Nilai Ekonomi Wisata Alam
Pengaruh Pengembangan Wisata Alam di Kampung Kwau
Pengaruh Pengembangan Wisata Alam Terhadap Kondisi Sosial
Nilai dan Norma Sosial Masyarakat
Proses Sosial
Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Wisata Alam
Pengaruh Pengembangan Wisata Alam Terhadap Kondisi Ekonomi
Mata Pencaharian Masyarakat
Pendapatan Masyarakat
Kondisi Rumah dan Aset Masyarakat
Pengeluaran Masyarakat

49
50
51
52
54
55
58
58
59
62
63

6. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

65
65
65

DAFTAR PUSTAKA

66

RIWAYAT HIDUP

70

DAFTAR TABEL
1. Data dan informasi utama yang diambil dalam penelitian serta teknik
pengumpulan datanya
2. Metode analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian
3. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut umur dan jenis kelamin
tahun 2011
4. Komposisi penduduk Kampung Kwau menurut tingkat pendidikan dan
jenis kelamin tahun 2011
5. Data kunjungan wisata alam di daerah penyangga Cagar Alam
Pegunungan Arfak berdasarkan zona asal pengunjung tahun 2011
6. Data olahan kunjungan wisata alam di DP CAPA tahun 2011
7. Hasil ANOVA permintaan wisata alam di DP CAPA
8. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Manokwari
9. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Sorong
10. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Jayapura
11. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Ambon
12. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Makasar
13. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Jakarta
14. Hasil olahan jumlah kunjungan wisatawan dari zona Denpasar
15. Hasil pengggabungan jumlah kunjungan wisata alam dari semua zona
pengunjung di DP CAPA
16. Hasil perhitungan surplus konsumen dan nilai ekonomi total
pengembangan wisata alam di DP CAPA
17. Pengaruh pengembangan wisata alam terhadap keadaan sosial
masyarakat Kampung Kwau
18. Pernyataan masyarakat tentang pengaruh kegiatan wisata alam terhadap
nilai dan norma yang berlaku di Kampung Kwau
19. Persepsi masyarakat Kampung Kwau terhadap pengembangan kegiatan
wisata alam
20. Persepsi masyarakat mengenai pengaruh pengembangan wisata alam
terhadap pola hubungan sosial dan lingkungan hidup mereka
21. Persepsi masyarakat Kampung Kwau terhadap terbukanya peluang usaha
dengan adanya kegiatan wisata alam
22. Pendapatan masyarakat per bulan berdasarkan jenis keterlibatan dalam
kegiatan wisata alam di Kampung Kwau tahun 2011
23. Hasil ANOVA pendapatan masyarakat Kampung Kwau dalam kegiatan
wisata alam
24. Jenis pengeluaran masyarakat Kampung Kwau per bulan

19
20
27
29
38
39
37
40
42
43
44
45
46
47
48
49
52
53
55
56
59
60
60
64

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kerangka pemikiran penelitian
Tipologi nilai ekonomi total (Total Economic Value)
Klasifikasi penilaian ekonomi non-market
Grafik surplus konsumen
Lokasi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari
Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak
Kondisi Kampung Kwau, Distrik Minyambouw, Kabupaten Manokwari
Atraksi menari oleh burung Parotia Arfak (Parotia sefilata) untuk
menarik perhatian pasangannya
9. Atraksi burung Belah Rotan untuk menarik perhatian pasangan
betinanya
10. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona
Manokwari
11. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Sorong
12. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona
Jayapura
13. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona
Ambon
14. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona
Makasar
15. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona Jakarta
16. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA dari zona
Denpasar
17. Kurva permintaan kunjungan wisata alam di DP CAPA
18. Tipe-tipe rumah yang terdapat di Kampung Kwau

5
12
13
15
16
24
26
36
37
41
42
43
45
46
47
48
49
62

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
MacKinnon et al. (1993) menyebutkan bahwa suatu daerah atau kawasan
yang ditetapkan dan dikelola untuk tujuan konservasi, dimaksudkan untuk
melestarikan sumber daya alam di muka bumi tidak saja untuk generasi saat ini,
tetapi juga untuk generasi mendatang. Namun penetapan kawasan konservasi
tersebut terkadang dirasakan seperti menutup aspek pemanfaatan sumberdayanya.
Pengelolaan kawasan konservasi yang bersifat konservatif tersebut telah
berlangsung cukup lama dan terkadang justru menjadi biang konflik antara
masyarakat dengan pengelola. Penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada
awalnya dianggap sebagai kehilangan sumber daya alam serta lingkungan terkait
pembangunan ekonomi nasional (Rachmansyah dan Maryono 2011). Hal ini
merupakan kesalahan konsep sejak awal dalam mengartikan kata konservasi,
karena terkesan melarang masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut.
Bergulirnya era otonomi dan desentralisasi serta berubahnya paradigma
pembangunan yang lebih terfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,
berimbas pula dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini terlihat dengan
dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan
perundangan dalam pengelolaan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi
berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena
itu, kegiatan pengelolaan kawasan konservasi sudah mulai dirancang dan dikelola
secara tepat untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa melupakan
aspek kelestariannya. Hanya saja secara umum pemanfaatan kawasan konservasi
di Indonesia belum dilakukan secara baik.
Pengukuran manfaat ekonomi yang diperoleh dari ditetapkannya suatu
kawasan konservasi selama ini dirasakan tidak banyak dinikmati oleh masyarakat
setempat, pemerintah daerah, maupun negara. Padahal menilai manfaat ekonomi
dari suatu kawasan konservasi tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi secara
langsung, tetapi juga nilai tidak langsungnya. Kurangnya pengungkapan manfaat
ekonomi kawasan konservasi yang ada di berbagai daerah di Indonesia
mengakibatkan pandangan miring terhadap kawasan ini semakin menjadi-jadi di
tingkat daerah. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Supriyadi (2009), bahwa
kekurangan pemerintah dalam pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan
berkelanjutan adalah karena terbatasnya informasi nilai manfaat ekonominya.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat nilai ekonomi kawasan
hutan termasuk kawasan konservasi. Kajian yang dilakukan oleh Syah (2010)
tentang nilai ekonomi sumber daya alam dan ekosistem dari Taman Nasional
Teluk Cenderawasih (TNTC) memperlihatkan nilai yang cukup besar, sebesar
Rp665 334 792 000 per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kurniawan et
al. (2009) terhadap kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai ekonomi total yang
diperoleh berdasarkan penghitungan nilai guna langsung (direct use value), nilai
guna tidak langsung (indirect use value), serta nilai bukan guna (non use value)
adalah sebesar Rp2 miliar per tahun.
Manfaat ekonomi suatu kawasan hutan dapat ditampilkan berdasarkan
sumber daya alamnya maupun tujuan pemanfaatan yang akan dilakukan pada

2

kawasan tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar pengelola kawasan, pemerintah
daerah setempat, maupun masyarakat sekitar hutan dapat tergugah untuk turut
menjaga kelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya. Hasil kajian nilai
ekonomi sumber daya air pada hutan lindung Baturaden yang dilakukan Purwanto
et al. (2006) berlatar belakang bahwa, selama ini pengelolaan kawasan lindung
masih dirasa kurang optimal. Dengan diperolehnya nilai ekonomi air dari hutan
lindung Baturaden sebesar Rp23 963 500 per hektar per tahun akan menggugah
pemerintah daerah untuk lebih optimal mengelola kawasan tersebut.
Berdasarkan peraturan serta perundangan tentang pengelolaan kawasan
konservasi, pemanfaatan suatu kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat diharapkan tidak merubah fungsi dari kawasan tersebut. Salah satu
pemanfaatan yang diyakini dapat mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan
wisata alam (ekowisata). Pengembangan ekowisata di kawasan konservasi ini
ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1994
tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Peraturan ini selanjutnya diganti
dengan PP Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Walaupun sudah ada landasan hukum untuk pemanfaatan kawasan konservasi
untuk sektor pariwisata alam masih dirasa belum berjalan dengan baik. Kondisi
yang sama juga terjadi di wilayah Papua secara keseluruhan.

Perumusan Masalah
Pengembangan kegiatan jasa lingkungan seperti wisata alam di sejumlah
daerah di Indonesia mulai menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat.
Hal yang berbeda terlihat di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat)
dimana pemanfaatan jasa lingkungan belum menjadi prioritas utama dalam
kegiatan pembangunan Papua. Komoditas hasil hutan kayu (HHK) masih menjadi
primadona utama bagi setiap daerah di wilayah Papua untuk memperoleh
pendapatan asli daerah (PAD). Padahal komoditas kayu dari tahun ke tahun
kapasitasnya semakin berkurang disebabkan eksploitasi yang berlebihan serta
pengambilan kayu secara ilegal (illegal logging).
Kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan, seperti pemekaran wilayah
di sejumlah daerah di wilayah Papua, secara tidak langsung membutuhkan areal
hutan yang cukup luas. Kondisi yang sama terlihat pada Kabupaten Manokwari
yang dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu : Kabupaten Manokwari, Teluk
Wondama, dan Teluk Bintuni berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002. Setelah
mengalami pemekaran, PAD Kabupaten Manokwari dari bidang kehutanan sangat
menurun, karena hanya mempunyai satu unit perusahaan kayu (IUPHHK-HA).
Hal ini tentunya menjadi menjadi bahan pemikiran pemerintah daerah (Pemda)
Kabupaten Manokwari untuk mencari alternatif pemasukan PAD. Salah satu
sektor yang patut menjadi pertimbangan adalah sektor jasa. Sektor jasa yang dapat
dipertimbangkan dari bidang kehutanan sebagai pengganti komoditas kayu adalah
jasa wisata alam.
Potensi wisata alam di kawasan konservasi yang sangat potensial dimiliki
Kabupaten Manokwari sejak dahulu adalah keindahan dan keunikan yang terdapat

3

di Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) di samping potensi wisata alam
lainnya. Sebagai salah satu kawasan konservasi suaka alam di Provinsi Papua
Barat, daerah penyangga (DP) CAPA sangat potensial untuk dijadikan lokasi
pengembangan wisata alam (natural tourism). Kawasan Suaka Alam (KSA) yang
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 783/Kpts-II/1992
ini, terletak di Kabupaten Manokwari ibukota Provinsi Papua Barat dengan status
Cagar Alam. Seperti yang diketahui bahwa, suatu kawasan ditetapkan sebagai
Cagar Alam, karena keadaan alam kawasan tersebut mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami, salah satunya adalah
Pegunungan Arfak.
Berdasarkan keunikan dan keindahan panorama alam serta budaya yang
dimiliki kawasan konservasi yang berada di kepala burung bumi Cenderawasih
ini, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal telah mengembangkan
DP kawasan tersebut sebagai daerah tujuan wisata alam. Berbagai program dan
pembangunan sarana pendukung ekowisata telah dilakukan oleh LSM tersebut,
sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan juga mancanegara.
Berdasarkan laporan dari LSM lokal tersebut wisatawan yang banyak berkunjung
ke DP CAPA adalah wisatawan mancanegara. Walaupun kawasan ini telah
dikenal sampai ke mancanegara sebagai salah satu tujuan wisata alam di Papua
Barat, namun pihak pemerintah daerah dan juga pengelola belum tertarik untuk
turut serta dalam mengembangkan DP kawasan tersebut sebagai tujuan wisata
khususnya wisata alam. Hal ini terlihat dari setiap buku laporan tahunan yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manokwari, yang
menyebutkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Manokwari tidak terdapat sektor pariwisata sebagai salah satu penyumbangnya.
Berdasarkan buku laporan tahun 2011 terlihat sektor pariwisata merupakan bagian
dari sektor pengangkutan dan komunikasi (BPS 2011). Hal yang sama terlihat
juga pada laporan tahunan BPS Provinsi Papua Barat 2010 tentang PDRB
Provinsi Papua Barat juga tidak terdapat sektor pariwisata sebagai salah satu
penyumbangnya (BPS 2010).
Pada umumnya ketertarikan stakeholder untuk terlibat dalam pengelolaan
kawasan konservasi sangat kurang. Hal ini dikarenakan interpretasi terhadap
manfaat kawasan konservasi (intangible benefit) di wilayah Indonesia masih
lemah, dan juga data serta informasi tentang nilai ekonomi kawasan konservasi
masih sangat terbatas. Sejumlah ahli menyatakan bahwa nilai ekonomi di suatu
kawasan yang telah dikembangkan sebagai lokasi ekowisata perlu diketahui,
selain untuk mengetahui nilai/manfaat ekonomi yang bisa dihasilkan juga sebagai
pertimbangan pengambilan keputusan terkait pengembangan wisata alam maupun
pengelolaan kawasan tersebut secara keseluruhan (Diniyati dan Achmad 2007;
Sobari et al. 2006; dan Supriyadi 2009).
Salah satu faktor kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi
sebagaimana dinyatakan oleh Mac Kinnon et al. (1993) adalah adanya dukungan
dan penghargaan masyarakat terhadap kawasan. Untuk mendapatkan dukungan
tentunya masyarakat harus merasa mendapatkan manfaat secara ekonomi dari
kegiatan pengelolaan tersebut. Oleh karena itu, pengembangan DP CAPA sebagai
tujuan wisata alam perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan stakeholder
lainnya. Diharapkan dengan pengembangan wisata alam di DP CAPA aspek

4

pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat dapat meningkat, selain itu
keamanan kawasan CAPA dapat tetap terjaga. Oleh karena itu, penelitian
penilaian ekonomi terhadap pengembangan wisata alam serta pengaruh sosial
ekonominya di DP CAPA perlu dilakukan dengan harapan dapat mendorong
pengelola kawasan dan juga pemerintah daerah turut serta dalam pengembangan
wisata alam di DP kawasan tersebut.

Kerangka Pemikiran Penelitian
Kawasan konservasi menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun
1999 didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Berdasarkan fungi dan peranan kawasan konservasi yang semakin
penting di masa mendatang, maka pengelolaannya perlu mendapat perhatian yang
lebih serius. Hal ini karena dikhawatirkan apabila terjadi kesalahan pengelolaan,
maka dampak kerusakan yang terjadi akan sulit untuk dipulihkan. Basuni dan
Koesmaryandi (2008) memaparkan bahwa pentingnya peranan kawasan
konservasi karena diprediksi akan menjadi benteng terakhir bagi eksistensi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta berperan besar bagi sistem
penyangga kehidupan yang dapat mendukung kesejahteraan hidup manusia.
Kawasan hutan Pegunungan Arfak yang ditetapkan sebagai Cagar Alam
dengan segala keaneragaman hayati serta keunikan dan keindahan alamnya
membutuhkan pengelolaan yang profesional. Darusman dan Widada (2004)
menyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dikatakan berhasil
apabila tiga sasaran konservasi dapat terwujud, sebagai berikut :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan
dan kesejahteraan manusia.
2. Pengawetan sumber plasma nutfah, sehingga mampu menunjang kegiatan
pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan
pemenuhan kebutuhan manusia.
3. Pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari.
Salah satu bentuk pengelolaan yang dirasa tepat untuk kawasan konservasi
seperti halnya CAPA adalah pengembangan wisata alam di daerah penyangganya.
Dengan pengelolaan dan pengembangan salah satu jasa lingkungan ini,
diharapkan manfaat yang diperoleh tidak saja bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat, tetapi juga kelestarian kawasan dapat terus terjaga. Hal ini
sejalan dengan kandungan dari pengembangan sektor wisata alam, adalah
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat.
Pengembangan sektor wisata alam di Indonesia secara umum belum
menjadi prioritas utama dalam kegiatan pembangunan daerah. Terlebih lagi bagi
daerah-daerah yang selama ini lebih mengandalkan komoditas hasil hutan kayu
sebagai penyumbang pendapatan asli daerahnya (PAD). Kurangnya minat daerah
untuk mengembangkan potensi wisata alam dari kawasan hutan termasuk hutan
konservasi, dikarenakan kurangnya informasi tentang nilai ekonomi dari sektor
tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh kawasan Pegunungan Arfak yang
berstatus sebagai kawasan Cagar Alam. Seiring dengan pesatnya perkembangan

5

daerah-daerah di Indonesia termasuk Kabupaten Manokwari, maka dikhawatirkan
potensi wisata alam yang dimiliki oleh Pegunungan Arfak akan menjadi rusak.
Oleh karena itu dibutuhkan penelitian ilmiah yang mengungkap nilai ekonomi
potensi wisata alam di DP CAPA, agar menjadi perhatian serius dalam
pengelolaan kawasan tersebut, baik oleh pengelola maupun pemerintah daerah
serta masyarakat setempat. Alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Kawasan Cagar Alam
Pegunungan Arfak

Potensi Wisata Alam
di Daerah Penyangga

Identifikasi
Obyek dan Daya
Tarik Wisata Alam

Nilai Ekonomi
Pengembangan
Wisata Alam

Pengaruh Sosial Ekonomi
Pengembangan
Wisata Alam

Rekomendasi Strategis
Pengelolaan Potensi
Wisata Alam
DP CAPA

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pemaparan pada subbab Latar Belakang dan Perumusan
Masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi obyek wisata alam yang dimiliki DP CAPA, baik yang telah
dimanfaatkan maupun yang berpotensi untuk dikembangkan.
2. Mengetahui nilai ekonomi pengembangan wisata alam di DP CAPA.
3. Mengetahui pengaruh sosial ekonomi dari pengembangan wisata alam di
Kampung Kwau terhadap masyarakat lokal.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanaan
pengelolaan DP CAPA, khususnya pengembangan sektor wisata alam dalam
rangka mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat lokal dan pelestarian
kawasan CAPA.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wisata Alam (Natural Tourism)
Wisata alam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2010
tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, adalah seluruh atau sebagian
kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan-kawasan tersebut.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan wisata alam adalah kegiatan
rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, kebudayaan, dan cinta alam. Semua
kegiatan wisata ini dilakukan dalam obyek wisata yang ada.
Wisata alam atau yang lebih populer dengan sebutan ekowisata ini, telah
menunjukkan perkembangan yang cepat dalam dunia pariwisata. Hal ini didorong
oleh berubahnya pola kehidupan khususnya masyarakat perkotaan untuk
bepergian melihat kehidupan dan memperkaya pengalaman di alam serta belajar
tentang alam. Berbeda dengan wisata konvensional, wisata alam merupakan
kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya
pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai suatu
perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam
Damanik dan Weber 2006).
Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh CeballosLascurain yang mendefinisikannya sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang
masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan
tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam
dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang
ada di tempat tersebut. Setelah itu muncul berbagai defenisi tentang ekowisata
oleh sejumlah pakar dengan latar belakang sudut pandang yang berbeda. Berikut
ini beberapa defenisi tentang ekowisata oleh para pakar yang dikutip oleh
Avenzora (2008) untuk mengevaluasi konsep-konsep tersebut :
1. The Ecotourism Association of Australia (1996), yaitu sebagai turisme atau
kepariwisataan yang secara ekologis berkelanjutan (lestari) dan mendorong
berkembangnya pemahaman (understanding), apresiasi atau penghargaan
(appreciation), serta tindakan konservasi lingkungan dan kebudayaan.
2. PT. Indecon (1996), yaitu sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang
bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang
dibuat berdasarkan kaidah-kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.
3. Fandelli (2000), yaitu merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang
tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Atau dengan kata
lain merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap
kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan
keutuhan budaya bagi masyarakat setempat.
4. Brandon (1996), yaitu kegiatan pengusahaan wisata yang memberikan
manfaat sebagai berikut : sebagai sumber pendanaan kawasan konservasi,

7

pembenaran ekonomi dalam perlindungan kawasan konservasi, sebagai
alternatif mata pencaharian masyarakat lokal untuk mengurangi pemanfaatan
sumber daya alam yang berlebihan, sebagai pilihan dalam mempromosikan
konservasi, sebagai dorongan dalam upaya konservasi yang khusus.
5. Western (1995), yaitu hal tentang menciptakan dan memuaskan sesuatu
keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi
dan pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,
kebudayaan, dan keindahan.
6. Hadinoto (1996), yaitu bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan di
kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, atau
di kawasan yang tidak dilindungi, seperti daerah pertanian dan desa wisata.
Atau dengan kata lain merupakan suatu perjalanan ke kawasan atau tempat
yang masih alami untuk merasakan ketenangan dan kenyamanan.
7. Eplerwood (1996), yaitu perjalanan yang bertanggung jawab ke areal yang
masih alami untuk mengkonservasi lingkungan serta menjamin kesejahteraan
masyarakat lokal.
Berdasarkan definisi dan batasan tersebut, Avenzora (2008) menyimpulkan
bahwa pola pendefinisian ekowisata berorientasi pada beberapa aspek sebagai
berikut :
1) Tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan.
2) Sumber daya wisata yang digunakan.
3) Bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan.
Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Zainun 2009),
menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu : 1) Mencegah
dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan
budaya, 2) Pendidikan konservasi lingkungan, 3) Pendapatan langsung untuk
kawasan, 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, 5) Meningkatkan
penghasilan masyarakat, 6) Menjaga keharmonisan dengan alam, 7) Menjaga daya
dukung lingkungan, dan 8) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Kusler (1991)
dalam Zainun (2009) menyatakan bahwa, untuk pengembangan ekowisata perlu
didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan,
transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan
publikasi oleh berbagai instansi terkait.
Konteks perumusan rencana strategis pengembangan ekowisata nasional
dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku universal, rekomendasirekomendasi yang terangkat dalam berbagai forum diskusi dan hasil-hasil kajian
dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan ekowisata nasional dirumuskan sebagai
suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis
pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif
masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan
pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif
terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung
kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta kawasan budaya. Hal yang sama
juga disampaikan dalam siaran pers Kementerian Kehutanan tanggal 23 Juni
2008, yaitu pengembangkan industri wisata alam, pelaku usaha wajib berpegang
teguh pada prinsip dasar pengembangan pariwisata alam, yaitu berbasis pada
alam, berkelanjutan, bermanfaat untuk masyarakat lokal, mengutamakan kepuasan
wisatawan, dan memiliki unsur pendidikan lingkungan.

8

Kawasan Suaka Alam
Bergulirnya era baru dalam kegiatan pembangunan di segala sektor
termasuk bidang Kehutanan di Indonesia, pengelolaan kawasan hutan dilakukan
berlandaskan aspek kelestarian. Berbagai upaya pembenahan pengelolaan terus
dilakukan, hanya saja menurut Suhendang (2002) untuk kawasan hutan produksi
yang secara ekonomi dan lingkungan sudah tidak layak menghasilkan komoditas
kayu maka, fokus pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dialihkan untuk
komoditas HHBK atau jasa lingkungan, salah satunya adalah wisata alam (natural
tourism). Pengelolaan kawasan hutan (forest management) menurut Suhendang
(2002) adalah praktik penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika,
kimia, manajemen, ekonomi, sosial, dan analisis kebijakan dalam rangkaian
kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan, dan
mengonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan/tujuan-tujuan dan sasaran/
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan tetap mempertahankan produktivitas
dan kualitas hutan.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
dijabarkan bahwa, kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam (KSA) dan
kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan
ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Kawasan tersebut terdiri dari : a) Kawasan Cagar Alam (KCA) dan b) Kawasan
Suaka Margasatwa (KSM). Pengelolaan KSA seperti halnya KPA bertujuan untuk
mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah
kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara lestari. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi
secara ketat, sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam
proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya
diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Penataan KSA berdasarkan aturan yang berlaku dilakukan dalam bentuk
blok-blok pengelolaan, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok
lainnya. Untuk upaya perlindungan KSA dilakukan melalui kegiatan pencegahan,
penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia,
ternak, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit serta melakukan pengamanan
kawasan secara efektif. Perlindungan KSA tersebut mencakup 4 tujuan, yaitu :
1. Terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora,
fauna, dan ekosistemnya;
2. Menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan potensi dan kawasan serta perubahan fungsi kawasan,
baik yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, alam, spesies infasif,
hama, dan penyakit;
3. Menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi, kawasan,
ekosistem, investasi, dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan
KSA dan KPA;
4. Menjamin keutuhan potensi, kawasan, dan fungsi kawasan.

9

Kawasan Cagar Alam
Cagar alam adalah KSA yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta
gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan
pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara
alami. Berdasarkan Buku Statistik Kemenhut 2011, saat ini terdapat 239 unit
cagar alam darat dengan total luas 4 330 619.96 hektar, dan 6 unit cagar alam
perairan dengan luas sekitar 154 610.10 hektar.
Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan cagar alam, suatu kawasan harus
memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung
dalam suatu tipe ekosistem;
2. Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik
masih asli dan belum terganggu;
3. Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang
langka dan/atau keberadaaannya terancam punah;
4. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
5. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang
pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami; dan/atau
6. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Terkait apa saja hal-hal yang dapat dilakukan di dalam kawasan, maka cagar
alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang berupa :
1. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
2. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
3. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
4. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Suaka Margasatwa
Suaka Margasatwa adalah KSA yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis
satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya
memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan
habitatnya. Data Statistik Kemenhut 2011 menunjukkan bahwa saat ini terdapat
Suaka Margasatwa darat sebanyak 71 unit dengan luas 5 024 138.29 hektar serta 4
unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar 5 588.00 hektar. Untuk dapat
diusulkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, suatu kawasan harus memiliki
beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa
langka dan/atau hampir punah;
2. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
4. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
3. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air,
panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan

10

4. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Daerah Penyangga Kawasan Konservasi
Kegiatan pembangunan yang terus meningkat, perubahan politik, dan sosial
budaya telah berpengaruh terhadap kondisi ekologis. Tekanan dan ancaman
terhadap kawasan konservasi terus meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk. Pada saat ini setidaknya terdapat 3 500 desa di sekitar kawasan
konservasi yang dihuni oleh sekitar enam juta penduduk dengan kondisi ekonomi
umumnya tertinggal atau prasejahtera. Aktivitas mereka tidak jarang menimbukan
ancaman bagi keutuhan dan kelestarian kawasan konservasi, antara lain
perambahan dan perladangan liar, perburuan dan penangkapan satwa, serta
pemboman ikan dan pengambilan terumbu karang di kawasan perairan.
Penanganan dengan menggunakan konsep perlindungan kawasan konservasi
dengan pola lama yang sebagian besar didasarkan pada kegiatan patroli kawasan
dengan penegakkan hukum dirasakan tidak efektif. Tekanan yang makin
meningkat juga berkaitan dengan cepatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan
lahan, dan jika dihadapkan pada usaha penegakan hukum yang kaku dan tidak
tepat sasaran, hanya akan meningkatkan terjadinya konflik antara masyarakat
setempat, pemerintah daerah dengan otoritas pengelola kawasan. Pendekatan
pengelolaan dan pengembangan daerah penyangga (DP) dilihat sebagai salah satu
cara untuk mengatasi dari kelemahan ini.Oleh karena itu, pengelolaan DP
kawasan konservasi diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penanganan
perambahan, khususnya dengan pendekatan non represif.
Pengelolaan dan pemanfaatan DP sangat penting bagi kelestarian KSA
maupun KPA terutama dalam mengurangi tekanan dari penduduk atau
masyarakat sekitar. Hal ini terutama dilakukan terhadap kawasan hutan yang
tingkat interaksi masyarakat dengan kawasan sangat tinggi, sehingga dapat
memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitar.
Fungsi DP ini dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan
jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui
rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau
agroforestry.
Kerusakan hutan di Indonesia sampai saat ini sudah sangat memprihatikan,
sehingga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan menjadi terganggu.
Bavana (2010) menyatakan bahwa, kebijakan pemerintah yang telah digariskan di
bidang Konservasi Sumber Daya Alam dimaksudkan untuk mewujudkan
kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, agar dapat berfungsi
secara optimal dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui
pembinaan dan pengembangan DP diharapkan ketergantungan masyarakat
terhadap potensi sumber daya alam yang ada di kawasan konservasi sesuai dengan
kondisi dan permasalahannya secara bertahap dapat ditanggulangi. Pembinaan dan
pengembangan DP merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
bersama masyarakat terutama dalam rangka menciptakan dan menggali sumber
penghidupan yang baru bagi masyarakat yang berada di kawasan tersebut sebagai
pengganti sumber penghidupan yang semula berasal dari kawasan konservasi.
Oleh karena itu, dikatakan juga bahwa DP merupakan kawasan penting sebagai

11

pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial
untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem
taman nasional, baik sebagai asset wisata alam, penyangga kawasan konservasi,
kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan
(Bismark dan Sawitri 2006).
Pemanfaatan kawasan untuk pengembangan wisata alam di KSA hanya
berlaku untuk KSM, sedangkan untuk KCA belum terakomodir. Kenyataannya
KCA juga memiliki sejumlah keunikan sumber daya alam yang bernilai ekonomi
tinggi termasuk dari aspek wisata. Salah satu jalan keluar agar potensi wisata
tersebut dapat dimanfaatkan adalah menetapkan DP dari KCA tersebut. Hal ini
sejalan dengan isi pasal 44 PP nomor 28 tahun 2011 yang menyatakan bahwa,
untuk menjaga keutuhan dari KSA dan KPA diharuskan menetapkan daerah
penyangga yang berbatasan dengan wilayah kedua kawasan tersebut. Daerah
penyangga merupakan daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi
membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak
ekosistem di dalam kawasan hutan. Selanjutnya dijelaskan pula berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, wilayah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam
ditetapkan sebagai daerah penyangga.
Penetapan dan pengelolaan DP kawasan konservasi harus didasarkan pada
tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya
masyarakat, sehingga DP memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan
taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan
konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, DP, dan ekonomi
masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat menguntungkan.
Dengan demikian, pembangunan DP merupakan pembangunan terpadu yang
mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan
obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun. Sejalan dengan itu maka
rencana pembangunan DP dan kawasan konservasi dalam perencanaan terpadu
harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah, sehingga
setiap usaha berorientasi pada peningkatan kesejahteraa