Kelembagaan Land Temre Taman Wisata Alam Gunung Meje Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat

(1)

KELEMBAGAAN

LAND TENURE

TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA

DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN WILAYAH

KOTA MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

ALBERTUS GIRIK ALLO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Kelembagaan Land Tenure Taman Wisata Alam Gunung Meja Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008


(3)

ABSTRACT

Allo GA. Land Tenure Institutional Surround Gunung Meja Nature Reserve Relate to Development of Manokwari City West Papua. Under Direction of Kartodihardjo H dan Hadi S.

Gunung Meja nature reserve as one of tourist destination (ecotourism area) could give a contribution to development of Manokwari city. However, since it established as Nature Reserve area, there is no planning managements have been implemented. There is no any conservation programs have been done by Conservation of Nature Resources Board (BKSDA) of Manokwari Region I. There has been land degradation occurred of about 4.34 ha/year since 1995-2002. In order to cope with land degradation problems, a policy has made by Government of Manokwari Regency. It is about reimbursement of the Arfak ethnic society rights (i.e Hatam, Sough, Moile, Meyakh). The main aim of the policy is that, administering transfer of land tenure rights of Arfak ethnic society to government of Manokwari regency. The policy is only administered the land ownership without considered of any other natural resources on the land: such as fruits plants (durian, yellow fruit/langsat, matoa and rambutan) or any other plants, animal and water sources. Moreover, the implementation of the policy is also caused Arfak ethnic society can not ban any person who wants to enter Gunung meja nature reserve area. It now becomes open access area.


(4)

RINGKASAN

ALBERTUS GIRIK ALLO. Kelembagaan Land Tenure Taman Wisata Alam Gunung Meja Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan SETIA HADI.

Luasan Taman Wisata Alam Gunung Meja tiap tahunnya mengalami penurunan akibat aktivitas masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan antara lain: perladangan/kebun masyarakat, pengambilan hasil hutan kayu maupun non kayu, pengambilan lapisan atas tanah (top soil) dan batu karang. Berdasarkan hasil kompilasi data penelitian tahun 1995-2002 bahwa rata-rata laju kerusakan areal berhutan adalah 4.34 Ha per tahun.

Menyikapi masalah tersebut, pemerintah kabupaten Manokwari

mengeluarkan kebijakan untuk membayar ganti rugi hak ulayat masyarakat adat Arfak terhadap Taman Wisata Alam Gunung Meja sebesar Rp. 4.6 miliar. Pembayaran tersebut menggunakan APBD kabupaten Manokwari tahun 2000/2001 dan 2001/2002.

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji sistem kelembagaan land tenure yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja; (2) mengkaji pengaruh kebijakan pemberian kompensasi terhadap akses masyarakat adat Arfak dan non Arfak akan lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja; (3) mengkaji peranan kawasan TWAGM terhadap pembangunan di Kota Manokwari; (4) mengkaji faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang menentukan seseorang untuk memilih kelembagaan

land tenure di Taman Wisata Alam Gunung Meja; (5) mengkaji hubungan antar

stakeholder dalam pengelolaan lahan di Taman Wisata Alam Gunung Meja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi open access yang terjadi di Taman Wisata Alam Gunung Meja disebabkan oleh: a) sistem kelembagaan formal yang terdapat di dalam kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja masih bersifat sektoral, kurang partisipatif, koordinatif dan kooperatif. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari yang memiliki tanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja tidak melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik; b) konsep Igya Ser Hanjop

dan Ayamfos dalam kelembagaan adat masyarakat Arfak mulai ditinggalkan; (2) kebijakan pemberian insentif berupa pemberian kompensasi terhadap masyarakat adat Arfak ternyata tidak efektif untuk menekan laju degradasi lahan dan pemanfaatan sumberdaya lainnya di dalam kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja. Selain itu, pemberian kompensasi hanya menyelesaikan permasalahan kepemilikan terhadap lahan di dalam kawasan ini dimana terjadi peralihan kepemilikan dari masyarakat adat Arfak kepada pemerintah, namun tidak menjawab persoalan terhadap kepemilikan sumberdaya lainnya (kayu, flora, fauna, tumbuh-tumbuhan, galian c, dan sumber air), sehingga masyarakat adat Arfak tetap mengakses dan memanfaatkan kawasan sama seperti sebelum pemberian kompensasi; (3) peranan Taman Wisata Alam Gunung Meja dari segi ekonomi masih bersifat individual karena hanya sebagian masyarakat yang menikmati nilai ekonomi (holtikultura, perkebunan, buah-buahan, dan hasil kayu) dari kawasan ini. Selain itu, pemanfaatan ruang “spasial” di Taman Wisata Alam


(5)

Gunung Meja lebih mengarah kepada peruntukan perladangan, pemukiman dan pendirian sarana prasarana penunjang pembangunan lainnya; (4) faktor hak pengelolaan, hak pembatasan dan suku merupakan faktor yang sangat mempengaruhi peluang seseorang untuk memilih bentuk kelembagaan kepemilikan lahan (land tenure) formal (pemerintah). Dimana peluang seseorang yang menjawab bahwa hak pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja sebaiknya berada di tangan masyarakat adat Arfak dan hak pembatasan berada pada pemerintah serta orang tersebut berasal dari masyarakat suku Arfak maka akan memilih bentuk kelembagaan kepemilikan lahan formal (pemerintah); dan (5) hubungan antara stakeholder dalam pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja banyak yang bersifat konflik karena masing-masing pihak berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan beberapa hal yaitu: (1) perlu adanya pengakuan dan dukungan pemerintah atas sistem kepemilikan secara

de facto oleh masyarakat adat Arfak terhadap lahan yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja. Peluang pengakuan tersebut dapat terwujud dalam Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) sesuai dengan amanat UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua; (2) perlu adanya suatu peraturan daerah yang bisa memadukan antara kelembagaan land tenure masyarakat adat Arfak (de facto) dengan kelembagaan

land tenure pemerintah (de jure). Karena pemerintah dalam penelitian ini bukan pemilik karena hanya memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak pembatasan sedangkan hak pelepasan berada pada kelembagan masyarakat adat Arfak; dan (3) perlu adanya pendampingan kepada masyarakat adat Arfak dan masyarakat lainnya yang memiliki lahan di dalam dan sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat terhadap pengelolaan lahan secara lestari.

Kata kunci: kelembagaan land tenure, Taman Wisata Alam Gunung Meja, pembangunan, open access


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

KELEMBAGAAN

LAND TENURE

TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA

DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN WILAYAH

KOTA MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

ALBERTUS GIRIK ALLO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Judul Tesis : Kelembagaan Land Tenure Taman Wisata Alam Gunung Meja Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat

Nama : Albertus Girik Allo

N I M : A 155 050 061

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS K e t u a

Dr. Ir. Setia Hadi, MS A n g g o t a

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dihirkan pada tanggal 17 Agustus 1982 di Ujung Pandang dari ayah Ruben Girik Allo dan ibu Agustina RL Mendila. Penulis merupakan anak pertama dari 5 (lima) bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Pada tahun 1999, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Papua (UNIPA) pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan menyelesaikan studi pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima bekerja di Pusat Penelitian Pemberdayaan Fiskal dan Ekonomi Daerah Universitas Negeri Papua (P3FED UNIPA) sebagai staf peneliti dan administrasi.

Pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (S2) di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan limpahan rahmat-Nya sehingga sebuah pemikiran penulis dapat diwujudkan dalam bentuk tesis. Tesis ini berjudul “Kelembagaan Land Tenure

Taman Wisata Alam Gunung Meja dalam kaitannya dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat”.

Tesis “Kelembagaan Land Tenure Taman Wisata Alam Gunung Meja dalam kaitannya dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat” merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan acuan bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja secara berkelanjutan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, antara lain:

1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Parcasarjana IPB.

2. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang tidak hanya memberikan bimbingan saja, tetapi juga mendidik penulis menuju kepada pendewasaan pemikiran.

3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pembimbing dan juga berkenan memberikan kritik dan saran-saran yang berguna untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Prof. Dr. Isang Gonarsyah, Ph.D, yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan arahan selama penyusunan proposal hingga tulisan ini menjadi sebuah tesis.

5. Para staf pengajar Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD): Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc;


(12)

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc; Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec; dan semua staf pengajar yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas ilmu pengetahuan baru yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh studi di Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor.

6. Kepada para responden dan teman-teman yang telah membantu selama penelitian Max, Valen, Hengki, kak Tanto, kak Joko, kak Iwan, dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

7. Kepada keluarga besar, khususnya ayahanda tercinta Ruben Girik Allo dan ibunda Agustina RL Mendila yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan bantuan materi kepda penulis. Juga kepada adik-adikku tercinta: Suhartono Ruben, Muliarto Girik Allo, Irianto Girik Allo, dan Caecilia Bintang Girik Allo, terima kasih atas doa dan dukungannya. Tak lupa, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Om Simon beserta keluarga yang telah memberikan doa, bimbingan, dan dukungan selama penulis menempuh studi di Institut Pertanian Bogor.

8. Kepada istri tercinta Veronika Ratna Dewi yang telah memberikan banyak pengorbanan dan doa selama penulis menyelesaikan studi.

9. Kepada rekan-rakan seperjuangan Program Studi PWD “angkatan 2005” mbak Rosda, mbak Sherly, mas Nandang, mas Sofyan, pak Bambang, pak Yusuf, Rosa, Wisnu, Erenda, Hasbi, dan Edi, juga kepada bang Askar, pak Riyanto, mbak Nita, mbak Pipit dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, saran, kritikan, serta

social capital yang sangat berarti.

Penulis menyadari keterbatasan dalam penulisan tesis ini, sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu diharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi perbaikan tesis ini. Akhirnya, Penulis berharap semoga tesis ini berguna bagi berbagai pihak. Terima kasih.

Bogor, Mei 2008


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 6

Tujuan Penelitian... 8

Manfaat Penelitian... 8

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Property” dan ”Tenure”... 9

Land Tenure... 10

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dan Legistimasi Land Tenure... 11

Jenis Barang/Sumberdaya, Klasifikasi, dan Kepemilikannya ... 14

Lingkungan dan Pembangunan Ekonomi... 15

Kelembagaan dalam Pengelolaan Hutan ... 17

Penelitian Terdahulu... 19

KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

Kerangka Pemikiran ... 26

Hipotesis ... 30

METODOLOGI PENELITIAN... 31

Lokasi dan Waktu Penelitian... 31

Sumber Data ... 31

Metode Pengambilan Sampel ... 32

Metode Analisis Data ... 33

Analisis Deskriptif ... 34

Kelembagaan Land Tenure ... 34

Pengaruh Kebijakan Pemberian Kompensasi ... 35

Peranan Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 35

Analisis Binary Logistic Regression ... 36

Analisis 4R (Rights, Responsibilities, Revenues, Relationships).... 40

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 41

Gambaran Umum Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 41

Sejarah Taman Wisata Alam Gunung Meja... 41

Fungsi dan Pengelolaan Kawasan... 42

Keadaan Fisik Wilayah ... 43

Situs-situs Penting Taman Wisata Alam Gunung Meja... 44


(14)

Keadaan Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Taman Wisata Alam

Gunung Meja ... 48

Sejarah Pembentukan Kampung ... 48

Kependudukan ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN... 56

Karakteristik Masyarakat Sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 56

Kampung Ayambori... 57

Kampung Susweni ... 58

Kampung Manggoapi... 60

Kampung Fanindi (Bengkel Tan) ... 61

Kampung Brawijaya... 62

Kampung Misi... 64

Kampung Ambon Atas... 64

Kelembagaan Kepemilikan Lahan (Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja... 65

Kearifan Lokal Masyarakat Adat Arfak dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 65

Sistem Kelembagaan Masyarakat Adat Arfak di Sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 67

Kepemilikan Lahan (Land Tenure) Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja secara de facto... 71

Kepemilikan Lahan (Land Tenure) Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja secara de jure... 73

Evaluasi Kebijakan Pemberian Kompensasi ... 85

Persoalan Legistimasi dari Klaim Kepemilikan Lahan (Land Tenure) Oleh Masyarakat Adat Arfak di Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 85

Hubungan Antara Pemberian Kompensasi Dengan Pembukaan Lahan Baru Untuk Kegiatan Pertanian dan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya Oleh Masyarakat Adat Arfak ... 88

Hubungan Antara Pemberian Kompensasi Dengan Pembukaan Lahan Baru Untuk Kegiatan Pertanian dan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya Oleh Masyarakat Non Adat Arfak ... 91

Efektivitas Pemberian Kompensasi Pembayaran Hak Ulayat Masyarakat Adat Arfak Terhadap Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 92

Peranan Taman Wisata Alam Gunung Meja dalam Pembangunan Kota Manokwari... 94

Peran Taman Wisata Alam Gunung Meja Dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan... 95


(15)

Peran Taman Wisata Alam Gunung Meja

Dalam Penyediaan Ruang “Spasial” ... 98

Pengaruh Faktor-Faktor Sosial Ekonomi dan Sebundel Hak Terhadap Kelembagaan Kepemilikan Lahan (Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 104

Hubungan Asal Suku dengan Kelembagaan Kepemilikan Lahan (Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 107

Hubungan Bundle of Rights (Sebundel Hak) dengan Sumberdaya Lahan Yang Terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 108

Righs, Resposibilities, Revenues, dan Relationships Antara Stakeholder Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Taman Wisata Alam Gunung Meja... 111

KESIMPULAN DAN SARAN... 126

Kesimpulan... 126

Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 128


(16)

DAFTAR TABEL

Hal

1. Sebaran Luas Hutan Berdasarkan Distrik di Kabupaten Manokwari...4 2. Klasifikasi Barang/Benda Menurut Sifat Persaingan dan

Eksklusivitasnya ...14 3. Posisi Yang Dikaitkan dengan ”Bundle of Rights

(Sebundel Hak-hak)...15 4. Matriks Pendekatan Penelitian ...34 5. Profil Sejarah Hutan Gunung Meja dari Tahun 1950-2003 ...41 6. Jumlah Kepala Keluarga Pada Kelurahan dan Kampung Yang

Berbatasan Langsung Dengan Taman Wisata Alam Gunung Meja ...50 7. Sebaran Penduduk Kelurahan Amban Berdasarkan

Mata Pencaharian Tahun 2006 ...51 8. Sebaran Penduduk Kelurahan Padarni Berdasarkan

Mata Pencaharian Tahun 2006 ...52 9. Karakteristik Kampung di Sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja...56 10. Perlindungan Negara Terhadap Hak Masyarakat Adat Arfak

dalam Pengelolaan Sumberdaya alam yang terdapat

di Taman Wisata Alam Gunung Meja...74 11. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pembukaan Lahan Baru Untuk Kegiatan Pertanian dan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya (Kayu)

Oleh Masyarakat Adat Arfak...88 12. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya (Flora dan Fauna)

Oleh Masyarakat Adat Arfak...89 13. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya

(Buah-buahan dan Obat-obatan) Oleh Masyarakat Adat Arfak ...89 14. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pembukaan Lahan Baru Untuk Kegiatan Pertanian dan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya (Kayu)

Oleh Masyarakat Non Adat Arfak...91 15. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya (Flora dan Fauna)

Oleh Masyarakat Non Adat Arfak...92 16. Hubungan Antara Pemberian Kompensasi

Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya

(Buah-buahan dan Obat-obatan) Oleh Masyarakat Non Adat Arfak ...92 17. Nilai Ekonomi Komoditi Holtikultura dan Perkebunan

Yang Diusahakan Oleh Masyarakat di Sekitar

Taman Wisata Alam Gunung Meja ...96 18. Data Teknis Sumber Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten

Manokwari Yang Berasal dari Taman Wisata Alam Gunung Meja...98 19. Luas Penggunaan Lahan di Taman Wisata Alam Gunung Meja Untuk


(17)

20. Hasil Regresi Logistik Biner Kelembagaan Kepemilikan Lahan

(Land Tenure) Taman Wisata Alam Gunung Meja...105 21. Hubungan Asal Suku dengan Kelembagaan Kepemilikan Lahan

(Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja...107 22. Hubungan Pemberian Kompensasi dengan Kelembagaan Kepemilikan

Lahan (Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja...108 23. Persepsi Masyarakat Tentang Sifat Sumberdaya Lahan Yang Terdapat

di Taman Wisata Alam Gunung Meja...109 24. Persepsi Masyarakat Tentang Hubungan Antara “Bundle of Rights

Dengan Sumberdaya Lahan Yang Terdapat

di Taman Wisata Alam Gunung Meja...110 25. Kepentingan Berbagai Stakeholder Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Yang Terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja ...113 26. Deskripsi Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja

Menurut Pandangan Masyarakat Adat Arfak ...114 27. Rights, Responsibilities, dan Revenues dari Masing-masing Stakeholder

dalam Pemanfaatan Sumberdaya yang Terdapat

di Taman Wisata Alam Gunung Meja...120 28. Perbandingan Rights, Responsibilities, dan Revenues dari

Masing-masing Stakeholder dalam Pemanfaatan Sumberdaya

yang Terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja...121 29. Ringkasan Hubungan Antar Stakeholder Dalam Pengelolaan


(18)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Letak Taman Wisata Alam Gunung Meja secara Geografis ...5

2. Dua Sistem Kontrol Terhadap Produksi, Distribusi dan Konsumsi Terhadap Barang dan Jasa yang Berasal dari Hutan (Palo, 2003)...12

3. Ilustrasi Kepemilikan de facto dan de jure atas sebidang Tanah (Afiff, 2002)...13

4. Kurva ”Environmental Kuznets”: Hubungan Antara Pembangunan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ...16

5. Akar Masalah Pengelolaan Hutan di Indonesia (Kartodihardjo, 2004)...18

6. Kerangka Operasional Penelitian ...29

7. Lokasi Penelitian ...31

8. Kondisi Gerbang Masuk dan Tugu Jepang Taman Wisata Alam Gunung Meja ...45

9. Luas Lahan Pertanian Masyarakat Kampung Ayambori...57

10. Luas Lahan Pertanian Masyarakat Kampung Susweni ...59

11. Luas Lahan Pertanian Masyarakat Kampung Manggoapi...61

12. Struktur Lembaga Adat Masyarakat Suku Besar Arfak Yang Berada di Sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja...68

13. Peta Kepemilikan Lahan (Land Tenure) di Kota Manokwari Secara de facto...72

14. Peta Kepemilikan Lahan (Land Tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja Secara de facto...72

15. Penebangan Kayu Dengan Cara Membakar Pangkal Pohon dan Penebangan Dengan Menggunakan Kapak ...97

16. Penampang Melintang Pola Interaksi Lingkaran Masyarakat Adat Arfak di Taman Wisata Alam Gunung Meja ...100

17. Proses Pembakaran Lahan di Taman Wisata Alam Gunung Meja...101

18. Pagar Susun (Sumber: Tim Fasilitasi PMP TWAGM, 2004a)...101

19. Tahapan Penanaman Yang Dilakukan Oleh Wanita Arfak dan Tanaman Jagung Yang Sudah Dipanen... 102 20. Akses Terhadap Sumberdaya dan Konflik di Taman Wisata Alam Gunung Meja Sebelum Kebijakan Pemberian Kompensasi...115

21. Akses Terhadap Sumberdaya dan Konflik di Taman Wisata Alam Gunung Meja Setelah Kebijakan Pemberian Kompensasi ...116


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Kelembagaan, Sosial Ekonomi, dan Sebundel Hak-hak Masyarakat

Yang berada di dalam dan sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja ...131 2. Hasil Analisis Binary Logistic Regression...133 3. Salinan Lampiran Surat Keputusan Bupati Manokwari ...134 4. Pencatatan Jenis-Jenis Burung Pada Kawasan Taman Wisata Alam


(20)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kebijakan-kebijakan pada saat pemerintahan kolonial telah berpengaruh terhadap peraturan pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia saat ini. Kebijakan pemerintahan kolonial lebih menitikberatkan fungsi ekonomi dari hutan dan sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya lainnya yang terdapat di dalam hutan. Sumberdaya hutan dijadikan sebagai pusat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara.

Sumbangan sektor kehutanan terhadap pembangunan ekonomi nasional selama periode pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJP I) sebesar 15 persen sampai 20 persen (DEPHUT, 1995). Selain itu, sektor kehutanan merupakan jaring pengaman ekonomi ketika terjadi krisis ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998, dimana sejumlah rumah tangga di sekitar hutan memperoleh penghasilan dari sumberdaya hutan meningkat dari 23.3 persen menjadi 32.9 persen, dengan penyumbang terbesar dari kayu dan rotan (Sunderlin

et al, 2000). Namun peran sektor kehutanan dalam pembangunan ekonomi saat ini mengalami penurunan, dimana kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 3.5 persen (DEPHUT, 2006).

Kerusakan kawasan hutan telah berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan pemerintah dari usaha kehutanan, ekspor hasil hutan, penyerapan tenaga kerja, serta hilangnya jasa bagi lingkungan. Dalam 10 tahun terakhir (1994-2004) kerusakan hutan di Indonesia tercatat 1.8 juta ha per tahun, namun dalam 4 tahun terakhir (2000-2004) kerusakan hutan tersebut menjadi 3.4 juta per tahun (Kartodihardjo, 2004). Selanjutnya berdasarkan data dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia bahwa seluruh kawasan hutan negara seluas 120.6 juta ha baik hutan primer maupun hutan sekunder telah mengalami degradasi seluas 23.6 juta ha (20 persen dari luas hutan Indonesia) (DEPHUT, 2006).

Ketidakpastian kepemilikan terhadap lahan di dalam kawasan hutan (insecurity tenurial) merupakan salah satu faktor penyumbang terhadap degradasi hutan di Indonesia (Affif, 2002). Kondisi insecurity tenurial sudah terjadi sejak


(21)

era penjajahan. Namun, persoalan insecurity tenurial justru semakin masif dan bertambah kronis, khususnya sejak tahun 1967, yaitu sejak pemerintahan rezim Orde Baru Suharto yang secara sefihak mengklaim hampir 75 persen tanah-tanah di Indonesia sebagai kawasan hutan Negara. Undang-undang Kehutanan bahkan secara ekplisit menyatakan bahwa didalam tanah Negara dapat dimasukkan tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah-tanah adat atau ulayat.

semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UU No. 41/1999 pasal 4 ayat 1)”.

Konflik antara masyarakat setempat – yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dan industri kehutanan – dengan pemerintah meningkat secara konsisten sepanjang limabelas tahun terakhir (1985-2000) (Kusworo, 2000; Fern, 2001). Kondisi ini muncul akibat ketidakjelasan terhadap legistimasi kepemilikan lahan yang terdapat di dalam hutan. Secara de jure1

kawasan hutan Indonesia seluas 120.6 juta hektar atau sekitar 62 persen dari luas daratan Indonesia dimiliki oleh negara yang kemudian diserahkan tanggungjawab pengelolaannya kepada Departemen Kehutanan. Menurut Fay dan Contreras-Hermosilla (2005) bahwa penentuan kawasan yang berdasarkan atas dasar kompromi antara pemerintah daerah dengan Departemen Kehutanan menyebabkan kawasan hutan di Indonesia tidak semuanya bervegetasi hutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fakta penting antara lain: (1) seluas 33 juta hektar lahan yang berada dalam kawasan hutan pada kenyataannya tidak berhutan; (2) hampir 8 juta hektar hutan di Indonesia tidak dapat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan; dan (3) hingga saat ini baru 12 juta hektar kawasan hutan yang jelas secara legal dan legitimate dikuasai oleh Departemen Kehutanan sebagai Kawasan Hutan Negara berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Namun dalam kenyataannya Departemen Kehutanan beoperasi seolah-olah menguasai Kawasan Hutan Negara seluas 120.6 juta hektar. Lebih lanjut dikatakan bahwa lembaga ini tidak mampu menunjukkan

1

Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu.


(22)

kemampuannya mengelolah wilayah dengan luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan serta pengelolaan yang dibutuhkan baik oleh masyarakat setempat maupun industri kehutanan.

Selain itu, secara de facto2 kawasan hutan Indonesia didiami oleh sekitar 10 juta orang (masyarakat hukum adat maupun non adat) yang secara turun temurun telah berada di sekitar kawasan hutan. Ironisnya, tingkat kesejahteraan mereka tergolong dalam kategori miskin (Safitri, 2006). Dimana seharusnya mereka merupakan pihak yang menikamati manfaat utama dari hasil hutan dan sekaligus merupakan pihak yang mengontrol dan melestarikan kawasan hutan. Penyebab kemiskinan masyarakat sekitar hutan adalah ketidakadilan pembagian akses pada hasil hutan serta perampasan hak-hak masyarakat adat yang pada akhirnya seringkali terjadi pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan. Selain itu, jaminan kepastian hukum bagi masyarakat sekitar hutan untuk menguasai dan memanfaatkan hutan sangat minim, atau dengan kata lain kepastian tenurial bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan sangatlah minim. Menurut Kartodiharjo (2004) bahwa pengelolaan hutan negara selama ini didasarkan pada ketimpangan alokasi manfaat, dimana alokasi manfaat hutan negara bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan hanya sekitar 1 persen dari luas hutan produksi. Hal ini merupakan salah satu penyebab kurangnya dukungan masyarakat terhadap pelestarian hutan negara.

Ketimpangan alokasi bukan hanya antara negara dengan masyarakat tetapi juga antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kontribusi pembangunan kehutanan bagi penerimaan daerah (PDRB) sangat kecil, sebagai contoh selama tahun 1983-1990 kontribusi pembangunan kehutanan bagi daerah rata-rata sebesar 1.02 persen (Kartodihardjo, 2006). Untuk meminimalkan adanya ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah pada semua sektor termasuk sektor kehutanan maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

UU No. 34/2004 memberikan arti bahwa ada pembagian pelimpahan kewenangan serta perwakilan dari pusat dan daerah termasuk sektor kehutanan. Menurut Kartodihardjo (2006) bahwa transfer kekuasaan yang tidak diimbangi

2

Istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku, berdasarkan hukum atau aturan yang telah dipraktekkan oleh masyarakat selama ini.


(23)

dengan lembaga perwakilan yang akuntable adalah berbahaya, demikian juga membangun lembaga perwakilan yang akuntabel tanpa kekuasaan adalah nihil. Pengalaman Mongolia bahwa tragedy open access terhadap sumberdaya alam dipicu oleh kevakuman institusi yang tercipta oleh suatu proses desentralisasi yang tidak komplit (Means dalam Kartodihardjo, 2006).

Wilayah kabupaten Manokwari terdiri dari sebagian besar kawasan hutan dimana sebelum pemekaran luas kawasan hutan kabupaten Manokwari lebih 2 juta hektar. Namun setelah pemekaran secara otomatis mengalami penurunan menjadi 1 415 296.80 ha (BPS Kabupaten Manokwari, 2005). Jika dibandingkan dengan luas seluruh wilayah daratan Manokwari yang sebesar 14 665 km2 atau sama dengan 1 466 500 ha, maka dapat diketahui bahwa hampir seluruh wilayah kabupaten Manokwari didominasi oleh kawasan hutan yaitu sebesar 96.51 persen.

Tabel 1. Sebaran Luas Hutan Berdasarkan Distrik di Kabupaten Manokwari.

No. Distrik HL

(Ha)

HP (Ha)

HPT (Ha)

HPK (Ha)

HPPA (Ha)

1 Manokwari 24 862.00 8 937.50 375.00 17 625.00 36 406.25

2 Warmare 11 625.00 0 4 125.00 0 5 250.00

3 Prafi 3 250.00 0 11 937.50 0 0

4 Masni 1 125.00 0 23 812.50 13 625.00 64 750.00

5 Amberbaken 7 312.50 0 1 562.50 17 750.00 86 437.50

6 Kebar 62 687.50 0 0 44 062.50 299 933.80

7 Menyambouw 164 937.50 0 0 0 25 375.00

8 Anggi 33 000.00 0 10 867.50 0 0

9 Sururey 53 375.00 875.50 35 000.00 0 0

10 Oransbari 3 937.50 0 843.75 6 437.50 31 437.50

11 Ransiki 66 156.25 48 062.50 87 875.00 18 562.50 9 312.50

Jumlah 432 268,25 57 875.50 176 398.75 118 062.50 558 902.55

Sumber: BPS Kabupaten Manokwari, 2005

Keterangan : HL : Hutan Lindung; HP : Hutan Produksi; HPT: Hutan Produksi Terbatas HPK : Hutan Produksi Konservasi; HPPA: Hutan Konservasi

Kota Manokwari terletak di distrik Manokwari dengan luas 11 000 ha dengan populasi penduduk 76 256 jiwa. Berdasarkan RUTRK Manokwari tahun 1998-2007 pertumbuhan kota Manokwari sebesar 1.24 persen per tahun dan mengalami peningkatan 3.96 persen per tahun pada tahun 2007 (Bappeda Kabupaten Manokwari, 2007). Pertambahan ini disebabkan oleh adanya daya tarik Kota Manokwari terhadap wilayah di sekitarnya antara lain kota ini dijadikan sebagai ibukota Propinsi Papua Barat, pusat industri, transportasi, perdagangan, perbankan, dan perkantoran.


(24)

Taman Wisata Alam Gunung Meja terletak di Kota Manokwari provinsi Papua Barat. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan hutan konservasi yang oleh pemerintahan Belanda ditetapkan sebagai Hutan Lindung melalui Surat Keputusan Gubernur Nieuw Guinea, Nomor 158 Tanggal 25 Mei 1957 dan berlaku sejak 15 Juni 1957. Sejak bergabungnya Irian Barat3 ke Negara Kesatuan Repubulik Indonesia (NKRI) kawasan ini kembali ditetapkan sebagai hutan lindung melalui Surat Keputusan Gubernur Irian Barat Nomor 44/GIB/1963 berlaku sejak tanggal 5 Mei 1963. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 19/Kpts/UM/I/1980 tanggal 12 Januari 1980 hutan Gunung Meja diubah statusnya dari hutan lindung menjadi hutan wisata c.q Taman Wisata Alam dengan luas areal sebesar 500 ha4.

Gambar 1. Letak Taman Wisata Alam Gunung Meja secara geografis.

Perubahan fungsi hutan Gunung Meja dari hutan lindung menjadi hutan wisata c.q taman wisata didasarkan pada beberapa pertimbangan dan rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah, yaitu kawasan hutan ini memiliki letak yang sangat strategis karena berada dekat dengan pusat kota Manokwari sehingga kawasan ini mudah dijangkau, memiliki nilai keindahan alam yang artistik dan terdapat beberapa situs sejarah bangsa. Selain itu, kawasan ini juga diharapkan akan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Manokwari

3

Nama provinsi Papua dan Papua Barat sebelum bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963.

4

Luas hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja saat ini hanya 460.25 ha dengan panjang batas luar kawasan 10.97 km berdasarkan rekontruksi tata batas oleh Sub Balai Inventarisasi dan Tataguna Hutan Manokwari tahun 1990.


(25)

dan juga penambah devisa negara pada sektor kepariwisataan. Namun, sampai saat ini kontribusi kawasan ini dalam menyumbang terhadap PAD Kota Manokwari berupa pajak dan retribusi belum dapat terwujud (Naury, 2003).

1.2 Perumusan Masalah

Hasil penelitian Apriani (2002) diketahui bahwa luas lahan yang telah dibuka/dimanfaatkan sampai dengan tahun 2002 adalah 38.42 ha. Sedangkan hasil penelitian sebelumnya oleh Ohoiuwutun tahun 1995 diketahui bahwa pembukaan hutan dalam kawasan adalah 8.73 ha. Pertambahan luas akibat pembukaan areal berhutan berdasarkan hasil kompilasi dan data penelitian tahun 1995-2002 adalah 30.69 ha dengan rata-rata laju kerusakan luas areal berhutan adalah 4.34 ha per tahun. Degradasi yang terjadi di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh tidak adanya kepastian kepemilikan lahan. Dimana, secara de jure, wewenang pengelolaan TWAGM berada pada Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua melalui Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari. Namun disisi lain, secara de facto, Taman Wisata Alam Gunung Meja merupakan kawasan ulayat masyarakat adat Arfak yang secara turun temurun telah mengelolah sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan ini.

Konfik akses dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja antara masyarakat adat Arfak dengan pemerintah mengalami puncaknya pada tahun 2000, dimana masyarakat adat Arfak menuntut ganti rugi terhadap pemanfaatan lahan dan sumberdaya air yang terdapat di kawasan ini. Tuntutan tersebut secara resmi dikeluarkan oleh masyarakat adat Arfak dengan adanya surat dengan perihal ”permohonan tuntutan pertanggungjawaban Hutan Lindung termasuk sumber mata air yang berada diatas tanah Adat di daerah Gunung Meja” yang ditandatangani oleh pemilik hak ulayat (diwakili oleh Marten Luther Mandacan, Markus Salabay, dan Oktofianus Mandacan). Menyikapi masalah tersebut maka pemerintah kabupaten Manokwari mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Bupati Manokwari Nomor 152/SSWK-MKW/I/II/2000 untuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada masyarakat adat Arfak sebesar Rp. 4.6 miliar dengan menggunakan APBD kabupaten Manokwari periode 2000/2001 dan 2001/2002.


(26)

Transfer tersebut menyebabkan adanya transfer kepemilikan terhadap sumberdaya hutan dari masyarakat adat Arfak kepada pemerintah. Namun menurut masyarakat adat Arfak bahwa transfer tersebut tidak mencakup transfer sumberdaya buah-buahan dan tanaman perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat adat Arfak di dalam dan sekitar kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja sehingga mereka tetap mengakses dan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Adanya transfer kepemilikan tersebut tidak imbangi dengan kesiapan lembaga pemerintah daerah dalam mengelolah kawasan ini. Dimana sejak dibentuknya kawasan ini sebagai kawasan wisata alam dengan fungsi taman wisata dengan SK Menteri Pertanian No. 19/Kpts/UM/I/1980 sampai dikeluarkannya SK Bupati Manokwari No. 152/SSWK-MKW/I/II/2000 belum ada Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja. Akibatnya peranan kawasan ini terhadap pembangunan ekonomi (sumber pendapatan daerah) Kota Manokwari belum dapat terealisasi.

Berdasarkan uraian diatas, maka timbul beberapa pertanyaan yang kemudian dirumuskan dalam beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kelembagaan land tenure yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja?

2. Bagaimana pengaruh kebijakan pemberian kompensasi terhadap akses masyarakat adat Arfak dan non Arfak akan lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja?

3. Bagaimana peran kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja terhadap pembangunan di kota Manokwari?

4. Faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang menentukan seseorang untuk memilih kelembagaan land tenure di Taman Wisata Alam Gunung Meja? 5. Bagaimana hubungan antar stakeholder dalam pengelolaan lahan di


(27)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji kelembagaan land tenure yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja.

2. Mengkaji pengaruh kebijakan pemberian kompensasi terhadap akses masyarakat adat Arfak dan non Arfak akan lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di Taman Wisata Alam Gunung Meja.

3. Mengkaji peran kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja terhadap pembangunan di kota Manokwari.

4. Mengkaji faktor-faktor sosial ekonomi yang menentukan seseorang untuk memilih kelembagaan land tenure di Taman Wisata Alam Gunung Meja. 5. Mengkaji hubungan antar stakeholder dalam pengelolaan lahan di Taman

Wisata Alam Gunung Meja.

1.4 Manfaat Penelitian

Sebagai salah satu pertimbangan untuk para perumus kebijakan di Kota Manokwari dalam pengelolaan lahan di kawasan hutan Gunung Meja menuju pembangunan kawasan yang berkelanjutan. Serta diharapkan dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah land tenure yang sering terjadi di provinsi Papua dan Papua Barat serta Indonesia secara umum.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ”Property” dan ”Tenure”

Istilah ”property” dan ”tenure” memiliki pengertian yang sama yaitu menunjukkan relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu objek atau benda (Bruce, 1998). Istilah property sering digunakan oleh para praktisi hukum (lawyer) khususnya di negara barat untuk menunjukkan konsep kepemilikan seseorang atas sesuatu. Sementara istilah tenure lebih banyak digunakan oleh orang biasa untuk maksud yang sama tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff, 2002).

Para ilmuan sosial memandang bahwa untuk situasi masyarakat seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, istilah tenure dianggap lebih cocok dibandingkan dengan property. Alasannya, konsep property lebih cocok untuk situasi dimana konsep kepemilikan cenderung pada kepemilikan individu dan yang bersangkutan memiliki hak penuh untuk menggunakan, menjual, membeli, menggunakannya di bank, dan mengelola sesuai dengan keinginannya (dengan kata lain memiliki secara penuh). Sedangkan untuk masyarakat di “Dunia Ketiga”5 dimana meskipun ada kepemilikan individu pada sesuatu benda (contohnya lahan), tetapi individu tersebut tidak memiliki secara penuh. Sehingga istilah tenure lebih cocok digunakan untuk menghindari kerancuan atas kepemilikan, penguasaan dan akses atas tanah dan sumber-sumber alam lainnya pada negara-negara berkembang.

Pengertian tenurial atas tanah merupakan hubungan sosial baik berdasarkan norma yang berkembang dan hukum legal formal, maupun berdasarkan kesepakatan atau kebiasan yang dipraktekkan masyarakat, diantara orang-orang, baik sebagai individu ataupun kelompok yang terikat dengan tanah. Oleh karena itu hubungan tenurial atas tanah adalah sebuah institusi sosial, dalam hal ini diartikan sebagai aturan-aturan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur

5

Istilah Dunia Ketiga mengacu pada negara-negara berkembang seperti kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.


(29)

tingkah lakunya. Aturan-aturan tenurial menentukan bagaiman hak-hak atas tanah dialokasikan dalam masyarakat (society). Temasuk pula, bagaimana akses diberikan untuk hak-hak memanfaatkan, mengontrol, dan mengalihkan tanah, dimana didalamnya terkait pula tanggungjawab dan larangan-larangan. Sehingga sistem tenurial tanah menentukan siapa yang dapat memanfaatkan, untuk jenis sumberdaya apa, untuk berapa lama, dan kondisi-kondisi seperti apa (FAO, 2002).

2.2 Land Tenure

Payne (2001) mengatakan bahwa land tenure adalah sebuah cara untuk menyatakan lahan tersebut adalah dimiliki atau dikuasai, atau kumpulan dari hubungan diantara masyarakat mengenai lahan dan produk-produk yang terdapat diatasnya.

Defines tenure in common law terms as a collection of rights, each of which is a relationship between persons and organizations as to land

(Rakodi, 2002)”.

Dari definisi-definisi tersebut menunjukkan perhatian terhadap hubungan antara individu dengan individu, individu dengan organisasi pemerintahan atau non pemerintahan yang menyangkut masalah hak atau kepemilikan terhadap sebidang tanah.

Payne (2004) meneliti bahwa tipe dari land tenure tidak harus nyata (legal) tetapi meliputi serangkaian kesatuan dari penguasan secara tidak resmi (illegal) dan kepemilikan secara penuh yang telah ada lebih dahulu. Lebih lanjut dikatakan bahwa ada lima tipe land tenure yaitu:

a. Kepemilikan adat (costumary tenure), dalam sistem ini, lahan dihormati sebagai tempat yang keramat dan seseorang diberikan tugas serta tanggungjawab untuk mengurus lahan tersebut seperti melindungi lahan untuk generasi yang akan datang. Penyediaan, penggunaan serta pemindahan kepemilikan suatu lahan ditentukan dan disetujui oleh pemimpin dalam kelompok tersebut dan biasanya dilakukan dengan pembayaran. Dengan perkembangan daerah perkotaan, maka sistem kepemilikan ini akan mendapat tekanan dari para pemilik modal.


(30)

b. Kepemilikan individu (private tenure), sistem ini didasarkan pada hak seseorang terhadap lahan, dimana perijinan, pemanfaatan dan perubahan terhadap penggunaan lahan ini tergantung pada individu tersebut untuk mengefisienkannya. Hal ini merupakan dasar pembatas sehingga kelompok dengan pendapatan rendah sulit untuk mengakses lahan tersebut.

c. Kepemilikan umum (public tenure), konsep dari kepemilikan lahan secara umum (public) adalah sebuah reaksi secara umum untuk membatasi kepemilikan secara individu sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk ikut dalam mengakses lahan tersebut, dimana hal ini akan mengakibatkan peningkatan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Pada negara-negara sosialis (socialist countries) semua hak atas tanah ditetapkan oleh negara, sedangkan untuk negara-negara kapitalis (capitalist countries) hak-hak tersebut dibatasi sehingga lahan dapat digunakan secara umum.

d. Kepemilikan keagamaan (religious tenure), sistem kepemilikan ini didasarkan pada aturan-aturan keagamaan.

e. Kepemilikan non-formal (non-formal tenure), sistem ini meliputi kategori yang sangat luas dan mengalami perubahan-perubahan dalam aturan-aturan baik secara formal maupun non-formal.

2.3 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dan Legistimasi Land Tenure.

Human beings have always dependen on forests. Initially, we used them as places to live. We hunted in them for game, foraged for fruits and nuts and gathered for fuel. Our relationship with our habitat was essentially no different than that of any other animal. The development of settled agriculture economies to replace those base on hunting and gathering required the clearing of forest (Drushka dan Konttinen, 1997)”.

Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa hutan sangatlah penting bagi kehidupan manusia baik untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosal maupun lingkungan.


(31)

We have two principal means on how to control allocation, production and distribution of tropical forest resources in order to satisfy human wants for various forest foods and services: the public and private means

(Palo, 2003)”.

Pada sisi public means akan menggambarkan instrument atau aturan hukum, perencanaan, keuangan, pajak dan subsidi. Sedangkan pada sisi private means akan menggambarkan pasar, kontrak dan adat istiadat yang merupakan aturan yang sangat penting.

Using Forest Resources

Public means Private means

Political process Markets, contracts, traditions

Laws, plans, budgets Pricing process

Public wants Private wants

Human wants: wood, biodiversity, carbon stocks, water, wildlife, range, wilderness, aesthetics, tourism, and other

Gambar 2. Dua Sistem Kontrol Terhadap Produksi, Distribusi dan Komsumsi Barang Dan Jasa Yang Berasal Dari Hutan (Palo, 2003).

Kegagalan kedua sistem kontrol diatas sering disebut dengan government failures dan market failures yang akan menyebabkan tragedy of the commons

terhadap sumberdaya hutan, dimana penyebabnya utamanya adalah korupsi (Palo, 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa jika korupsi terus berlanjut maka luas areal hutan tropis pada tahun 2010 akan mengalami penurunan sebesar 14.5 juta ha per tahun; tahun 2020 sebesar 13 juta ha per tahun walaupun kebijakan global dan badan independent dunia mengatakan “stop deforestation”.

Selain korupsi, persoalan land tenure kawasan hutan juga mempengaruhi degradasi hutan yang terus menerus, dimana pada suatu lahan di dalam kawasan memiliki kepemilikan ganda bahkan lebih. Persoalan ini semakin kompleks karena dipengaruhi oleh banyak sistem seperti; sistem politik, ekonomi, sosial,


(32)

budaya, hukum, dan yang menyangkut soal kekuasaan. Keterlibatan para

stakeholder dalam penyelesaian masalah land tenure tidak hanya negara saja melainkan dari komunitas yang sedang bermasalah. Sehingga tidak hanya hukum formal saja yang berlaku tetapi hukum adat istiadat juga harus diperhatikan dalam penyelesaian masalah land tenure.

Persoalan land tenure akan mengacu pada legistimasi kepemilikan dimana sebidang tanah akan terdapat kepemilikan de jure dan de facto. Seringkali cara-cara kepemilikan atau penguasaan de jure atas tanah tidak sama dengan tata cara penguasaan secara de facto sehingga muncullah konflik.

Persoalan utama yang umumnya di hadapi di Indonesia terkait dengan persoalan land tenure adalah bukti tertulis dari suatu pemilikan tanah lebih kuat dihargai sebagai alat bukti kepemilikan dari sisi hukum dibandingkan dengan bukti-bukti tidak tertulis seperti: cerita (story), dan tanda-tanda alam dan bukti-bukti fisik lainnya. Ada banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa meskipun masyarakat telah membuka hutan secara turun temurun dan telah memanfaatkan tanah tersebut untuk kegiatan pertanian bahkan membayar pajak atas tanah itu kepada negara, tetapi seringkali hak-hak mereka dikalahkan oleh pemilik baru yang mempunyai sertifikat tertulis tentang kepemilikan tanah tersebut dari instansi yang berwenang. Sehingga tidaklah mengherankan bila kemudian ditemukan banyak daerah di Indonesia yang lebih berpihak kepada mereka yang dapat menunjukkan bukti tertulis seperti izin dan sertifikat. Persoalan legistimasi land tenure dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Tanah yang diklaim sebagai tanah negara Tanah adat yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara terun temurun

Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang

diberikan oleh pemerintah Konflik

land tenure

Gambar 3. Ilustrasi Konflik Land Tenure Pada Kawasan Hutan di Indonesia (Afiff, 2002)


(33)

2.4 Jenis Barang/Sumberdaya, Klasifikasi, dan Kepemilikannya.

Konsep dasar dan pencirian atas karakteristik atas berbagai bentuk barang diharapkan dapat memberikan landasan atas pengelolaannya secara arif dan berkelanjutan. Tabel 2 menggambarkan klasifikasi klasik atas barang dan jasa berdasarkan sifat, yakni sifat persaingan (rivalness) dan kemungkinan eksklusivitasnya (excludability6).

Tabel 2. Klasifikasi Barang/Benda Menurut Sifat Persaingan Dan Eksklusivitasnya.

Excludability (kemungkinan eksklusivitas) Pembagian Barang Ekonomi

Secara Klasik Ya Tidak

Ya Barang privat (private good)

Sumberdaya bersama (common pool resource)

Rivalness

(Persaingan)

Tidak Barang klub (club good)

Barang public (public good)

Sumber: Schlager dan Ostrom dalam Afiff, 2002.

FAO (2002) menggolongkan barang/benda kedalam 4 (empat) bentuk kepemilikan yaitu: (1) kepemilikan privat; (2) kepemilikan komunal, (3) open acess (kepemilikan bersama), (4) dan kepemilikan publik atau negara. Namun, sering kali pada objek yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang atau kelompok yang sama. Inilah yang kemudian menyebabkan mengapa konsep

tenurial7 seringkali dijelaskan dengan prinsip “bundle of rights” (sebundel hak-hak). Schlager dan Ostrom dalam Afiff (2002) mengatakan bahwa hak-hak ini dapat diuraikan menjadi:

a. Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu suatu wilayah tertentu;

b. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya;

6

Excludability adalah sifat sumberdaya dimana sumberdaya tersebut tidak dapat dikonsumsi oleh setiap orang karena konsumsi oleh seseorang mengurangi potensi konsumsi atau berakibat tidak dapat dikonsumsi oleh pihak lain.

7

Beberapa penulis menggunakan istilah ”tenure” dan ”property” secara bergantian untuk suatu maksud yang sama yaitu menunjukkan relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu objek atau benda.


(34)

c. Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi;

d. Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau lembaga/kelompok lain); dan

e. Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya.

Kalau kemudian posisi dari pemegang hak-hak ini dijelaskan dalam matrik maka gambarannya adalah seperti apa yang dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 3. Posisi Yang Dikaitkan Dengan “Bundle of Rights” (Sebundel Hak-Hak). Pemilik

(Owner)

Kepunyaan (Proprietor)

Pemakai/Penyewa (Claimant)

Pemanfaat yang diizinkan (Authorized Users) Hak atas akses

dan pemanfaatan

x x x x

Hak Pengelolaan x x X

Hak Pembatasan x x

Hak Pelepasan x

Sumber Schlager dan Ostrom dalam Afiff (2002). 2.5 Lingkungan dan Pembangunan Ekonomi

Growing economic activity (production and consumsion) requires larger inputs of energy and material, and generates larger quantities of weste by-products. Increased extraction of natural resources, accumulation of weste and concentration of pollutants will therefore overwhelm the carrying capacity of the biosphere and result in the degradation of environmental and decline in human welfare, despite rising incomes

(Panayotou, 2003)”.

Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa degradasi pada sumberdaya dasar (resource base) akan membuat aktivitas ekonomi pada keadaan kritis misalnya sumberdaya minyak bumi.


(35)

The strong correlations between incomes and the extent to which environmental protection measures are adopted, demonstrates that in the longer run, the surest way to improve your environmental is to become rich (Beckermen, 1998)”.

Namun hubungan antara degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dapat prositif dan negatif. Hubungan tersebut bukan hal yang tetap tetapi bisa diubah dari positif ke negatif apabila sebuah negara mencapai level dimana tingkat pendapatan per kapita sudah tinggi dan menggunakan infrastruktur secara efisien serta perduli terhadap lingkungan (cleaner environment). Secara tidak langsung hubungan antara degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan ”environmental Kuznet curve”.

Environmental degradation

Stages of economic development Pre-Industrial

Economy

Industrial Economy

Post-Industrial Economy (Service Economy)

Gambar 4. Kurva ”Environmental Kuznets”: hubungan antara pembangunan ekonomi dan degradasi lingkungan

Pada gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pada tahap pertumbuhan ekonomi yang masih rendah tingkat kerusakan lingkungan juga masih rendah karena sumberdaya yang tersedia masih digunakan secara subsisten (pemenuhan untuk kebutuhan konsumtif). Ketika petanian mulai dilakukan secara intensif dan kegiatan industri mulai meningkat dengan mengekstraksi sumberdaya maka tingkat kerusakan lingkungan juga mulai meningkat. Pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan terjadi perubahan dimana dari industri yang mengekstrasi sumberdaya secara berlebihan mengarah kepada industri yang menggunakan teknologi yang efisien, dan industri jasa, serta permintaan terhadap


(36)

kualitas lingkungan yang baik akan meningkat, pada keadaan demikian maka degradasi lingkungan akan menurun.

2.6 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan

Institusi adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sudut individu, institusi merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Sedangkan North (1990) menjelaskan bahwa ada dua bentuk kelembagaan (institution) yaitu informal dan formal temasuk kesesuaian ukuran penyelenggaraannya.

Sisi sosiologi, Babbie (1994) mengemukakan bahwa terdapat empat komponen utama dalam kelembagaan yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions), nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Sedangkan Pakpahan dalam Kartodihardjo (1998) mendifinisikan institusi atau kelembagaan adalah suatu sistem yang kompleks, rumit dan abstrak, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu.

Schmidt dalam Kartodihardjo (1998) mengartikan kelembagaan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendifinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.

Pengelolaan hutan secara tradisional di Indonesia begitu banyak sehingga Sardjono dan Samsoedin (1997) mengklasifikasikannya kedalam tiga kelompok yaitu: (1) pengelolaan tradisional hutan alam; (2) budidaya pohon tradisional; dan (3) aneka usaha budidaya hasil hutan nir-kayu. Dalam pengelolaan hutan tersebut apabila ada pihak/individu yang melanggar dari norma-norma yang telah


(37)

ditetapkan maka akan diberikan sanksi, dimana bentuk sanksi berbeda untuk tiap daerah dan tiap bentuk pengelolaan hutan secara tradisional.

Kartodihardjo (2002), mengatakan bahwa pembahasan mengenai pengelolaan hutan di Indonesia sejauh ini menunjukkan bahwa pokok permasalahannya adalah tidak berjalannya hampir semua rekomendasi teknis yang disarankan kepada berbagai instansi kehutanan. Oleh karena itu, untuk memperbaikinya perlu dilihat keterkaitan antara empat komponen pokok.

Pertama, landasan dasar profesi, yang menjadi penyebab benar salahnya manajemen internal organisasi serta bentuk kebijakan publik dan instrumen kebijakan penyelenggaraan kehutanan. Kedua, manajemen internal setiap orgnaisasi yang mempunyai peran langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan kehutanan. Ketiga, bentuk kebijakan publik dan instrumen penyelenggara kehutanan. Keempat, sumber penyebab berbagai kejadian di lapangan (illegal logging, kebakaran hutan, penjarahan hutan, over cutting, dan lain-lain) yaitu hak atas hutan serta sistem/manajemen pengelolaan hutan.

LEMAHNYA KINERJA BIROKRASI KETIDAKPASTIAN KEPEMILIKAN HUTAN NEGARA IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG TIDAK SINKRON KETIDAKTEGASAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASY. LOKAL LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM MULCULNYA “FREE RIDERS” DAN PLEAKU KKN

KONFLIK PEMANFAATAN HUTAN NEGARA TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENGELOLAAN LEMAHNYA IMPLEMENTASI SISTEM PENGELOLAAN HUTAN YANG DIKELOLAH MASY. LOKAL PEMODAL DAN ORGANISASI PELAKU ILLEGAL

LOGGING KONVERSI HUTAN ALAM PRODUKSI EKONOMI BIAYA TINGGI KETIDAKPASTIAN USAHA KEMISKINAN: MINIMALNYA ALOKASI MANFAAT HUTAN KEPADA MASY. LOKAL KEBAKARAN HUTAN IJIN PENEBANGAN BARU OLEH PEMDA PENEBANGAN MELEBIHI JATAH RESMI YANG DITETAPKAN PENCURIAN KAYU (ILLEGAL LOGGING) KERUSAKAN HUTAN PRODUKSI KERUSAKAN HUTAN LINDUNG DAN KAWASAN KONSERVASI SUMBER BAHAN BAKU RENDAHNYA NILAI TAMBAH INDUSTRI BERBASIS KAYU

AKAR MASALAH GEJALA


(38)

2.7 Penelitian Terdahulu Land Tenure

Pusat persoalan land tenure di Guatemala adalah ketidakadilan yang sangat ekstrim terhadap kepemilikan lahan, yang timbul dari sejarah tentang kebijakan anti-indegenous (anti pribumi). Setelah perang yang terjadi di negara tersebut dan diskriminasi yang terus menerus, dimana kedua permasalahan tersebut bersama-sama menyebabkan kegagalan dalam memahami permasalahan ketidakadilan diatas. Selain itu keadaan sosial ekonomi dan konteks politik yang ada di negara tersebut memberikan pengaruh terhadap kebijakan sumberdaya alam dan reaksinya. Pada negara-negara lain, manajement kehutanan akan menekankan pada peningkatan kontrol terhadap penebagan kayu, tetapi negera Guatemala melakukan usaha yang serius untuk membuat regulasi lokal tentang konsumsi kayu bakar. Kontrol tersebut dikombinasikan atau digabungkan dengan kekhawatiran masyarakat lokal Guatemala akan kehilangan lahan dan adat istiadat yang melarang penebagangan kayu, namun hal ini kurang dimengerti oleh para pemimpin dan pakar kehutanan di negara tersebut. Ketidakadilan dalam kepemilikan lahan (land tenure) menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat lokal di Guatemala dalam program kehutanan untuk memperbaiki hutan (Larson

et al, 2007).

Royo (2006) melihat model penyelesaian masalah land tenure di Filipina bisa dikatakan sebagai suatu upaya yang cukup rumit, karena sejarah hukum eksploitasi sumber daya alam (1850-1945) di kawasan "public domain". Hukum pada periode itu sangat tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat. Di sisi lain, sebelum 1972, hampir tidak ada hukum untuk kepemilikan kawasan atau tanah bagi petani. Tanah yang dikonversi dari "public domain" menjadi tanah privat seringkali hanya menguntungkan bagi kepentingan orang-orang kelas menengah ke atas. Sehingga, ketegangan dalam pelepasan kawasan baik privat atau publik untuk kepentingan petani dan masyarakat adat selalu melekat dalam

platform partai, pengorganisasian sektoral maupun spektrum gerakan pemberontakan Filipina. Kondisi ekonomi-politik-budaya masyarakat adat/lokal di Filipina sangat menentukan politik riil pengakuan hak masyarakat adat/lokal atas tanah. Pada zaman Spanyol, tahun 1521-1898, penguasaan hak atas tanah tidak berada di tangan masyarakat adat/lokal melainkan berada di tangan


(39)

encomiendero (kepala wilayah perpajakan) atau haciendero (pemilik tanah luas untuk perkebunan). Masyarakat lokalnya dinamakan Indio dan hanya bekerja pada umumnya sebagai kuli di dalam hacienda orang Spanyol. Masyarakat adatnya dipaksa masuk ke reducciones (pemukiman yang terkonsentrasi) untuk diamankan, dan pada kenyataannya diperlakukan sebagai makhluk liar dan tidak mempunyai apa-apa. Maka, sejarah pemberontakan masyarakat Filipina melawan kolonialisme yang dinamakan KKK (Ketaastaasang Kega/anggalangang Katipunan ng mga anak ng Bayan) sangat didasari oleh masalah agraria. Satu pendekatan yang tetap digunakan dalam terobosan hukum adalah negosiasi on site

dengan pendekatan kasus per kasus. Setiap wilayah yang berpotensi mempunyai kasus atau konflik dengan perusahaan atau proyek pemerintah, mendapatkan sebuah "policy determining case" atau kasus yang penting untuk menentukan atau merubah kebijakan yang bermasalah. Berangkat dari kasus yang nyata dan biasanya memancing demonstrasi panas dan aksi lain, pemerintah digerakkan untuk merespon secara cukup tajam. Perilaku civil society terhadap beberapa upaya dari ketiga pilar (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) dari pemerintahan Filipina itu bisa dikatakan "terbuka" untuk mengaktifkan retorika pemerintah terhadap hak dan hak asasi manusia. Ada kesadaran bahwa pada intinya, ada orang-orang opurtunis dan/atau politikus di dalamnya dan kesadaran itu membuat negosiasi civil society lebih tajam, dan selalu menggunakan prosedur "check and balance" di antara ketiga pihak pemerintah dan sekaligus menjadi arena belajar untuk pejabat dan para legislator. Lama-lama, retorika pengakuan hak masyarakat adat melekat dan menjadi pengetahuan umum kepada seluruh kalangan pemerintahan Filipina.

Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa di dalam kawasan hutan Indonesia terdapat kampung, dusun dan bahkan desa-desa definitif. Banyak kampung dan dusun yang keberadaannya mendahului penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Ada sebagian kampung yang mendapatkan status enclave

(terutama kampung-kampung yang ada di dalam kawasan konservasi), namun tidak sedikit kampung lainnya yang tidak dalam status enclave tetapi berada di dalam kawasan hutan. Contoh-contoh persoalan antara masyarakat (adat maupun


(40)

non adat) yang berada di sekitar kawasan hutan dengan pihak pemerintah dan swasta tentang land tenure antara lain:

1. Masyarakat adat Seko di kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan. Setelah lepas dari kolonial Belanda, permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Seko semakin melemahnya lembaga adat dan hak-hak untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pada tahun 1950-an wilayah Seko juga tidak lepas dari imbas pergolakan DI/TII. Kemudian pada era orde baru sebagaian besar hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagian besar diambil alih oleh negara yang dikonsesikan sebagai HPH kepada PT Kendari Tunggal Timber (KTT) seluas 105.000 hektar dan HGU untuk PT Seko Fajar sekitar 25.000 hektar. Kemudian pada tahun 1997 hingga sekarang hadir lagi masalah baru dengan adanya kontrak karya pertambangan yang diberikan Pemerintah kepada PT. North Mining. Pada tahun 1998 masyarakat melakukan perlawanan kepada PT KTT sebagai pemegang HPH. Sejak saat itu hingga sekarang kegiatan HPH PT KTT praktis terhenti. Tapi masyarakat masih belum tahu pasti apakah kegiatan HPH itu akan terus berhenti (dicabut izinnya) atau akan kembali beroperasi (Suwito, 2006).

2. Masyarakat di sekitar kawasan hutan Register 45B di desa Sukapura kabupaten Lampung Barat. Kabupaten Lampung Barat dengan wilayah daratan seluas 495.040 hektar, dengan 65 persen didalamnya merupakan kawasan hutan. Sejarah penetapan kawasan yang telah disahkan melalui penunjukan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1994 dimana wilayah-wilayah yang dahulunya tanah marga (adat) ditetapkan menjadi tanah kawasan hutan tanpa sepengetahuan dan persetujuan sebagian besar masyarakat setempat. Salah satu contoh masalah “land tenure” yang hingga saat ini tidak diakui oleh masyarakat di Pesisir Krui, adalah keberadaan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 52.000 hektar di atas tanah marga (di Lampung Barat terdapat 22 Marga, 16 diantaranya berada di Pesisir Krui). Selain itu, kebijakan kependudukan yang ditempuh oleh pemerintah masa lalu telah meninggalkan konflik land tenure di dalam “kawasan hutan lindung” misalnya di daerah Kecamatan


(41)

Sumberjaya. Register 45 B Bukit Rigis yang memiliki luas 8.295 hektar saat ini didiami oleh kurang lebih 2.076 KK “perambah ?”. Hingga saat ini masyarakat tidak menerima dikategorikan sebagai perambah, mengingat penempatan mereka di wilayah ini (Biro Rekonstruksi Nasional - BRN tahun 1951) dilakukan oleh pemerintah dan pada saat itu di daerah tersebut bukan merupakan kawasan hutan hingga ditetapkan TGHK Lampung. Upaya penyelesaian konflik diatas dilakukan dengan dialog dengan dinas kehutanan propinsi lampung yang menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain: (a) untuk menentukan kebijakasanaan apa yang akan ditempuh dalam peyelesaian masalah kehutanan, diperlukan pertemuan internal pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan Propinsi dan Pemda Kabupaten (instansi terkait), hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam mensikapi persoalan yang ada, setelah ini didapat baru kemudian dikomunikasikan dengan masyarakat. (b) Pada dasarnya pihak dinas kehutanan propinsi setuju untuk melepas kawasan hutan yang sudah menjadi pemukiman permanen yang keberadaannya lebih dahulu dibanding penetapan TGHK, namun untuk ini yang perlu diperhatikan adalah adanya aturan (UU no 41) yang menyatakan bahwa minimal 30 perswn wilayah daratan harus berupa hutan dan (c) pihak dinas kehutanan propinsi membuka diri untuk mendiskusikan persoalan-persolan dilapangan dan akan mendukung upaya penyelesaian masalah kehutanan di Lampung Barat yang sedang dijalankan. Tindak lanjut dari pertemuan diatas adalah revisi tata ruang kabupaten Lampung Barat dan penataan ulang batas kawasan hutan secara partisipatif (Fathulah, 2003).

3. Komunitas adat Sando Batu di desa Leppangeng kawasan pegunungan Latimojong kabupaten Sulawesi Selatan. Komunitas adat Sando Batu di desa Leppangeng berjumlah sekitar 1.732 jiwa, wilayahnya meliputi kampung-kampungtua Wala-wala, Tammappole dan Botto Pasang. Menurut tutur mereka, teritorial yang dianggap sebagai wilayah adatnya seluas sekitar 20 000 hektar, dan sekitar 95 persen dari wilayah adat itu berupa hutan. Jadi hutan memang merupakan sumber kehidupan komunitas yang konon telah mendiami wilayah itu sejak sebelum Belanda


(42)

masuk ke Sulawesi Selatan. Salah satu bukti fisik yang dapat menunjukkan keberadaan komunitas Batu sudah lama mendiami wilayah itu adalah masih adanya Lontara’ Batu, yakni naskah tulisan kuno yang berisi silsilah, kejadian, asal mula wilayah, kearifan lokal dan lain-lain.

Komunitas adat Sando Batu menyebut dirinya bagian dari Suku Lumika, di luar suku Bugis yang merupakan penduduk mayoritas di kabupaten Sidrap. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa lokal yang disebut bahasa Batu yang memiliki kemiripan dengan bahasa To Dori (di kabupatenEnrekang), Toraja dan Luwu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pernah ada kesepakatan antara masyarakat dengan Mantri Kehutanan yang kala itu dijabat oleh seorang yang bernama Nukman. Nukman adalah bapak dari Arifin Nukman mantan Bupati Sidrap, dan juga kakek dari Agus Arifin Nukman yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPRD Propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian isi dari kesepakatan itu adalah masyarakat diberikan wilayah kelola yang dibatasi oleh patok-patok dan jalan yang lebarnya 1 sampai 3 meter yang mengelilingi wilayah itu. Masyarakat menyebutnya sebagai batas Ton Toga atau Bos Wasen (BW) dalam tata batas hutan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat yang membuka lahan di luar garis batas Ton Toga akan dikenakan hukuman 15 tahun penjara. Sampai sekarang masyarakat menyatakan masih tetap mematuhi kesepakatan itu dan tidak ada yang mengelola lahan di luar batas Ton Toga (Suwito at al, 2006). 4. Konflik dan Sengketa Tanah di Lebak, Banten: Pasca Perluasan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak. Kabupaten Lebak terletak di bagian Selatan Propinsi Banten dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Barat. Sebagian besar penduduk kabupaten Lebak adalah masyarakat suku Sunda dan sebagian kecil masyarakat pendatang, terutama suku Jawa. Di Lebak, terdapat pula masyarakat adat yang masih mempraktekkan cara hidup leluhur mereka (tatali paranti karuhun) dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan (ngahuma). Masyarakat adat ini menamakan dirinya sebagai masyarakat Kasepuhan. Mereka memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda dengan masyarakat lain. Pada tahun 2003,


(43)

Pemerintah (Menteri Kehutanan RI) menerbitkan SK No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi 113.357 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah mengangkat kembali konflik

tenurial antara masyarakat Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut merupakan Kawasan Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910. Oleh karena itu, pemaparan penelitian sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memahami peristiwa konflik tenurial tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara Tata Batas (BATB), terdapat 18 kelompok hutan di Lebak yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, 3 diantaranya yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan hukum bagi penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dari hasil penelusuran dokumen tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut. Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Banten tahun 1934 (Staat der op 31 December 1934 in de Residentie Bantam Aanwezige Boschreserve), dua kelompok hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok, bersengketa dengan tanah-tanah huma (garapan masyarakat). Catatan statistik ini menunjukkan bahwa, walaupun hutan-hutan tersebut telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas tersebut tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat atas tanah garapan mereka. Sengketa tanah ini berawal dari pengakuan tanah-tanah huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten pada tahun 1912, sesuai dengan ketentuan

Gouvernement Besluit van 8 November 1909 No. 8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma tersebut diakui keberadaannya melalui Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 no. 10453/7. Residen Banten


(44)

bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum. Di lain pihak, Dinas Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan dari Residen Banten dan memasukkan tanah-tanah tersebut ke dalam Kawasan Hutan Negara. Hal ini dikarenakan proses penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah diselesaikan sebelum tahun 1924. Oleh karena itu, Dinas Kehutanan memandang bahwa bentuk pengakuan dari Residen Banten atas tanah-tanah huma garapan masyarakat adalah cacat hukum. Gubernur Jenderal berusaha menengahi dan menyelesaikan sengketa tanah tersebut, namun hingga akhir masa penjajahan Belanda tahun 1942, tidak ada penyelesaian hukum atas sengketa tanah tersebut. Ditinjau dari catatan sejarah, nampak bahwa permasalahan sengketa tanah di Lebak disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat di masa kolonial Hindia Belanda. Tiadanya penyelesaian sengketa tanah tersebut berlanjut hingga kini. Pemerintah saat ini perlu menyelesaikan sengketa tanah ini agar pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tidak terganggu dengan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah-tanah huma mereka (Galudra, 2006).

Permasalahan-permasalahan land tenure yang terjadi di Indonesia mendapat titik terang dimana mulai tumbuhnya kesadaran baru dari para pihak, bahwa kasus-kasus land tenure di kawasan hutan tidak bisa diabaikan begitu saja dan bahkan telah tumbuh komitmen baru untuk memperkuat proses pembelajaran bersama guna menemukan solusi yang terbaik.


(45)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran

Pengakuan kepemilikan tanah secara de facto (klaim oleh masyarakat) di Indonesia belum diakui keberadaannya. Hal ini yang menyebabkan insecurity tenure (ketidakpastian kepemilikan) terhadap sebidang tanah yang di akui oleh masyarakat, dimana tanah tersebut merupakan tumpuan hidup mereka. Hal ini telah terjadi sejak era penjajahan sampai pada pemerintahan Orde Baru, khususnya sejak tahun 1967, dimana negara secara sepihak mengkalim hampir 75 persen tanah-tanah di Indonesia sebagai kawasan hutan negara (Affif, 2002). Bahkan secara ekplisit dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa di dalam tanah negara dapat dimasukkan tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah adat atau ulayat.

Pada era tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa selama penduduk setempat tidak dapat menunjukkan legilitas kepemilikan mereka lewat hak-hak milik, guna usaha, dan hak pakai yang harus dibuktikan lewat sertifikat dan izin usaha, maka pada dasarnya pemerintah lewat Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan tanah-tanah yang dikuasai rakyat ini kepihak lain. Akibat kebijakan pemerintah ini, maka banyak sekali tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat berpindah kepemilikan akibat dari kebijakan pemerintah untuk mengalokasikannya untuk penggunaan kegiatan pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Banyak sekali masyarakat yang baru menyadari bahwa mereka tidak memiliki kepemilikan atas tanah tersebut setelah kegaitan pembangunan telah dilaksanakan diatas tanah mereka. Menurut Affif (2002) bahwa di lapangan banyak ditemukan kasus-kasus dimana pengalihan kepemilkan lahan dilakukan lewat cara-cara rekayasa, manipulasi dan atau kekerasan.

Setelah tahun 2001 atau setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi sektor kehutanan maka gerakan rakyat untuk menuntuk kembali kepemilikan mereka atas tanah-tanah yang dulu dialokasikan pemerintah seperti untuk perusahaan-perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HPHTI (Hak


(46)

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) dan HGU (Hak Guna Usaha), serta untuk kegiatan pembangunan lain mulai bermunculan. Namun kekuatan suara rakyat di pengadilan untuk mengklaim kepemilikan atas tanah mereka yang telah di beralih kepemilikan secara tidak benar seringkali mengalami hambatan. Hal ini disebabkan, kepemilikan masyarakat dalam bentuk cerita (story), tanda-tanda alam dan bukti-bukti fisik lainnya belum diakui secara hukum di Indonesia sehingga masyarakat seringkali kalah bila permasalahan tersebut sudah sampai ke pengadilan. Namun untuk melakukan proses eksekusi keputusan pengadilan yang memenangkan pihak lain di luar masyarakat seringkali tidak mudah bahkan sering mengalami keributan. Dengan demikian, hampir di seluruh pelosok tanah air masyarakat menduduki tanah-tanah secara de facto namun tanpa perlindungan hukum.

Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja secara de jure di miliki oleh pemerintah pusat yang didelegasikan kepada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari. Sedangkan de facto kawasan ini dimiliki oleh masyarakat adat suku besar Arfak. Namun setelah adanya pembayaran ganti rugi terhadap kawasan ini yang mana pembiayaannya di keluarkan oleh pemerintah daerah maka terjadilah tumpang tindih pengelolaan di mana pemerintah daerah Manokwari mengklaim bahwa mereka yang berhak mengelola kawasan.

Penelitian ini akan mengkaji beberapa hal: pertama, analisis deskriptif untuk menganalisis kelembagaan land tenure (formal dan informal) yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja menurut persepsi masyarakat. Kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan-aturan; hukum formal, adat istiadat, dan kebiasaan di dalam masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan ini serta sebundel hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah.

Kedua, analisis deskriptif untuk kebijakan pembayaran ganti rugi terhadap Taman Wisata Alam Gunung Meja yang menggunakan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2000/2001 dan 2001/2002. Hal ini perlu untuk di evaluasi untuk mengatahui sejauh mana pembayaran tersebut berpengaruh terhadap akses masyarakat akan lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di


(47)

kawasan ini. Sehingga dapat disimpulkan apakah pembayaran tersebut sudah mencapai sasaran yang di harapkan atau belum dan kendala-kendala apa yang dihadapi.

Ketiga, analisis deskriptif untuk mengetahui peran dari kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja terhadap pembangunan kota Manokwari. Hal ini dapat dilihat dari peran secara ekonomi dan ruang. Dari analisis ini dapat menjadi salah satu indikator untuk pengelolaan kawasan yang berkelanjutan.

Keempat, analisis binary logistic regression digunakan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang berpengaruh terhadap kelembagaan

land tenure yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja. Semua analisis diatas dapat dijelaskan pada kerangka operasional penelitian sebagai berikut:


(48)

PERTUMBUHAN EKONOMI SUATU WILAYAH:

RUANG DI LUAR KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

GUNUNG MEJA KEBUTUHAN AKAN RUANG

Gambar 6. Kerangka Operasional Penelitian

-Sarana dan Prasarana perdagangan, transportasi, perbankan, pemerintahan, pendidikan, dll

RUANG DI DALAM KAWSAN TAMAN WISATA ALAM

GUNUNG MEJA -Perumahan, pertanian,

perkebunan dan peternakan

KETIDAKPASTIAN KEPEMILIKAN LAHAN (de jure versus de facto)

BINARY LOGISTIC REGRESSION

KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN

ANALISIS 4R

BENTUK PENGELOLAAN LAHAN DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA

KEBIJAKAN PEMBAYARAN HAK

ULAYAT

EVALUASI FAKTOR-FAKTOR

SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

UMUR LAMA TINGGAL

PENDAPATAN BATAS WILAYAH HAK AKSES DAN PEMANFAATAN HAK PENGELOLAAN

HAK PEMBATASAN HAK PELEPASAN

KELEMBAGAAN

LEGAL FORMAL KLAIM ADAT

DESKRIPTIF SUKU

PERANAN KAWASAN TERHADAP PEMBANGUNAN

EKONOMI RUANG

HUBUNGAN ANTAR

STAKEHOLDER

RELATIONSHIPS REVENUES RESPONSIBILITIES

RIGHTS


(49)

3.2 Hipotesis

Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran diatas maka penelitian ini menduga:

1. Kelembagaan kepemilikan lahan (land tenure) di Taman Wisata Alam Gunung Meja tidak hanya kelembagaan formal (pemerintah) tetapi juga terdapat kelembagaan adat Arfak.

2. Pemberian kompensasi kepada masyarakat adat Arfak terkait dengan pembayaran ganti rugi hak ulayat masyarakat di Taman Wisata Alam Gunung Meja tidak berhasil mengurangi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian maupun akses masyarakat terhadap sumberdaya-sumberdaya lainnya yang terdapat di dalam kawasan ini.

3. Peranan Taman Wisata Alam Gunung Meja untuk Kota Manokwari dalam hal peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan dan penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembangunan masih belum sesuai dengan peruntukannya sebagai kawasan wisata alam c.q taman wisata.

4. Faktor-faktor sosial ekonomi (umur, lama tinggal, pendapatan, batas wilayah, hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak pembatasan, hak pelepasan, dan suku) berpengaruh terhadap kemauan seseorang untuk memilih kelembagaan land tenure pemerintah (formal) di Taman Wisata Alam Gunung Meja.

5. Hubungan antara stakeholder dalam pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja masih mementingkan kepentingan masing-masing institusi serta individu-individu yang menyebabkan konflik pengelolaan.


(1)

43 Informal 64 40 1668000 Ya P A P PA 44 Informal 44 30 1900000 Tidak P P P A 45 Informal 64 40 3240000 Ya P P A A 46 Formal 31 20 2290000 Ya U A A A 47 Informal 40 10 2165000 Tidak U A A A 48 Informal 64 40 2145000 Ya U P P PA 49 Formal 35 35 18000000 Tidak U A P PA 50 Informal 36 10 18000000 Tidak P P P PA 51 Formal 67 40 3000000 Ya U P P PA 52 Formal 55 7 19200000 Tidak U A P PA 53 Informal 57 15 12000000 Ya U P P A 54 Informal 43 10 18000000 Ya U P P A 55 Formal 48 10 24000000 Ya P A P A 56 Formal 37 37 18000000 Ya P A P PA 57 Formal 47 30 12000000 Ya P A P PA 58 Informal 57 40 18000000 Ya P P P PA Keterangan :

LT = Lama Tinggal BW = Batas Wilayah

HAP = Hak Akses dan Pemanfaatan HPE = Hak Pengelolaan

HP = Hak Pembatasan HPL = Hak Pelepasan P = Pemerintah U = Umum A = Adat Arfak


(2)

Lampiran 2. Hasil Analisis Binomial Regresion

Binary Logistic Regression: Norma versus Umur, Lama Tinggal, ... Link Function: Logit

Response Information Variable Value Count

Norma 1 31 (Event) 0 27

Total 58

Logistic Regression Table

95%

Odds CI

Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower

Constant -0.114487 1.92654 -0.06 0.953

Umur -0.0498416 0.0357257 -1.40 0.163 0.95 0.89

Lama Tinggal -0.0039830 0.0299444 -0.13 0.894 1.00 0.94

Pendapatan 0.0000001 0.0000001 1.62 0.105 1.00 1.00

Batas Wilayah 0.501065 0.779170 0.64 0.520 1.65 0.36

Hak Akses dan Pemanfaatan 0.610663 0.735118 0.83 0.406 1.84 0.44

Hak Pengelolaan -1.57831 0.734896 -2.15 0.032 0.21 0.05

Hak Pembatasan 2.13579 1.22119 1.75 0.080 8.46 0.77

Hak Pelepasan -0.490633 0.803208 -0.61 0.541 0.61 0.13

Suku 2.54159 1.28377 1.98 0.048 12.70 1.03

Predictor Upper Constant

Umur 1.02 Lama Tinggal 1.06 Pendapatan 1.00 Batas Wilayah 7.60 Hak Akses dan Pemanfaatan 7.78 Hak Pengelolaan 0.87 Hak Pembatasan 92.70 Hak Pelepasan 2.96 Suku 157.24

Log-Likelihood = -30.775


(3)

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 61.8666 48 0.086 Deviance 61.5494 48 0.091 Hosmer-Lemeshow 6.1887 8 0.626


(4)

Lampiran 3. Salinan Lampiran Surat Keputusan Bupati Manokwari. Nomor : 152/SSWK-MKW/I/II/2000

Tanggal : 14 Agustus 2000

DAFTAR NAMA PEMILIKAN TANAH ADAT HUTAN TAMAN WISATA GUNUNG MEJA

KELOMPOK 1

Sub Kelompok 1 Bagian 1 1. Ruben Mandacan 2. Wempi Mandacan 3. Lidia Mandacan 4. David Mandacan 5. Loduwik Mandacan Sub Kelompok 1 Bagian 2

1. Frans Mandacan 2. Max Mandacan 3. Anton Mandacan 4. Darius Mandacan 5. Yemi Mandacan Sub Kelompok 1 Bagian 3

1. Melkianus Mandacan 2. Antomina Mandacan 3. Adolince Mandacan 4. Oktovina Mandacan 5. Meki Mandacan Sub Kelompok 1 Bagian 4

1. Esau Mandacan 2. Tresia Mandacan 3. Bastian Mandacan 4. Joni Mandacan 5. Yakoba Mandacan 6. Zakarias Mandacan KELOMPOK 2

1. Noak Mandacan 2. Obeth Mandacan 3. Moses Mandacan 4. Dortea Mandacan

KELOMOK 3

1. Welmina Mandacan 2. Oktovianus Mandacan 3. Nundrat Mandacan 4. Beni Mandacan 5. Yustus Mandacan 6. Yustina Mandacan 7. Ance Elsa Mandacan KELOMPOK 4

1. Alama Mina Mandacan 2. Marten Mandacan 3. Benselina Mandacan 4. Adolfina Mandacan 5. Rode Mandacan 6. Roni Mandacan 7. Heni Mandacan 8. Herna Mandacan 9. Jemi Mandacan 10.Delfia Mandacan 11.Novi Mandacan KELOMPOK 5

1. Yakobus Meidodga 2. Ananias Meidodga 3. Laurens Meidodga KELOMPOK 6

1. Corneles H Saroy 2. Yermias Mandacan 3. Oscar Meidodga 4. Guru Astus Meidodga 5. Samuel Mandacan 6. Zakarias Mandacan 7. Zakarias Dowansiba 8. Markus Saroy

9. Andreanus Dowansiba 10.Erna Mandacan 11.Filip Mandacan 12.Melianus Dowansiba


(5)

KELOMPOK 7

1. Markus Salabay 2. Metusalak Mandacan 3. Demianus Meidodga 4. Yosi Mandacan 5. Ina Mandacan

Manokwari, 14 Agustus 2000 Kepala Sub Seksi Wilayah

Konservasi Manokwari

S U Y O N O NIP. 080 062 826

Catatan:

Nama-nama diatas sesuai dengan kesepakatan Pada rapat tanggal 2 Mei 2000


(6)

Lampiran 4. Pencatatan Jenis-Jenis Burung Pada Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja.

Spesies No. Famili

Nama Ilmiah Nama Umum

1. Accipitridae Accipiter sp Alap-alap

2. Megapodiidae Megapodius freycinet duperryii* Maleo Megaloprepia magnifica puella* Merpati hutan 3. Psittacidae Trichoglossus haematodus haematodus Perkici

Psittaculirostis demasrestii demasrestii* Kakaktua besar Micrositta keinsis choloxantha* Kakaktua kerdil Micrositta keinsis choloxantha* Nuri kepala hitam 4. Bucerotidae Rhyticeros plicatus ruficollis Burung taun-taun 5. Rhipidurae Rhipidura leucophrys melaleuca Kipas willi

Rhipidurae rufiventris gularis Kipas utara

6. Nectariniidae Nectarinia sericea sericea Pematuk madu hitam Nectarinia jugularis fregata Pematuk madu kuning 7. Paradisaeidae Paradisaea minor minor* Cendrawasih kecil 8. Craticidae Cracticus cassicus cassicus Burung piano

Cracticus quoyi quoyi* Burung kowak 9. Corvidae Corvus orru orru* Gagak toreh

Gymnocovus tristis/Corvus tristis Gagak abu-abu 10. Sturnidae Mino dumonti dumonti Mino muka kuning 11. Orioles Oriolus szalayii Bincarong coklat 12. Dicruridae Dicrurus hottentotus carbonarius Sri gunting

13. Meliphaqidae Myzomela eques eques Misomela leher merah

Meliphaga sp Burung isap madu

Philemon novaguinea novaguinea Rahip bertopi 14. Dicaeidae Melanocharis nigra nigra* Pematuk hitam

Dicaeum pactorale Cabe papua

15. Myaqridae Arses telescopthalalmus telescopthalalmus Raja berjumbai 16. Cuculidae Cacomantis varolous infautus Kedasi

Cantropus bernsteinii bernsteinii Kedasi hitam kecil 17. Sylviidae Locustella fasciolata Peranjak belalang 18. Columbidae Macropygia nigrirostris nigrirostris Merpati paruh hitam

Chalcophaps indica Merpati tanah

19. ? Sauromarptis gaudichaud Burung suster besar 20. ? Pomastosstomus isodori isodori* Penyusup Papua 21. ? Todopsis cyaconephala cyanocephala* Penyusup Semak biru Sumber: Mess, 1957 dalam Tim Fasilitasi PMP TWAGM, 2004a.