Analisis gender sebagai suatu konsepsi lebih tepat untuk dipergunakan dalam membahas persoalan pembangunan. Gender sebagai
suatu konsepsi mengacu pada pengertian bahwa seseorang dilahirkan sebagai pria atau wanita keberadaannya berbeda dalam kurun waktu, tempat,
kultur, bangsa, maupun peradaban, keadaan tersebut berubah-ubah dari masa ke masa. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang dianggap tepat bagi pria atau wanita. Analisis gender dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sistematis untuk mencatat kelaziman atau tingkat
partisipasi pria atau wanita dalam kegiatan yang membentuk sistem produksi atau memberikan barang atau jasa. Masrukin, 2006: 31
Peran gender didefinisikan sebagai peran yang berkaitan dengan sifat maskulinitas dan feminitas yang melekat pada laki-laki dan perempuan serta
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Peran gender sangat bervariasi dalam kehidupan bermasyarakat tiap negara. Dalam budaya yang patriarkhis
sering menimbulkan ketidak-adilan gender, yang cenderung merugikan kaum perempuan.
2.3.2. Permasalahan Gender
Ketidak-adilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi
korban dari sistem tersebut. Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki, baik secara langsung yang berupa perlakuan
maupun sikap dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang menimbulkan berbagai
ketidak-adilan yang berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. Keadilan gender baru dapat terjadi
apabila terciptanya suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis.
Ketidak-adilan gender pada umumnya dapat terwujud dalam hal-hal berikut:
a. Marginalisasi peminggiran kaum perempuan Marjinalisasi terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensi
yang disebabkan oleh banyak hal, dapat berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi maupun asumsi ilmu pengetahuan.
b. Sub ordinasi Kaum perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua dan
kaum perempuan sendiri cenderung enggan menjadi nomor satu, karena takut dijauhi pria cinderella complex sehingga lebih memilih menjadi
sub ordinat. c. Stereotipe
Masyarakat mempunyai norma tertentu tentang perempuan ideal yaitu feminim, sementara pria adalah maskulin. Dalam kenyataanya setiap
orang memiliki dua karakteristik sekaligus androgin, yaitu feminim sekaligus maskulin. Dalam kehidupan sebagai stereotipe, perempuan
diharapkan menjadi figur yang feminim seperti lembut, patuh, taat, cantik, cermat, dan lain-lain. Sementara itu, pria diharapkan menjadi
figure yang maskulin seperti gagah, perkasa, kuat dan cerdas.
d. Kekerasan violence Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsekuensi logis dari
stereotipe terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan dan potensial berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan
terhadapnya, atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam literatur feminisme lazim dikenal sebagai gender-related violence.
e. Beban Ganda Pembagian kerja dunia domestik untuk perempuan dan pria di sektor
publik, sehingga ketika perempuan memasuki dunia publik ada beban ganda yang disandangnya. Beban ganda sebagian besar dijalani kaum
perempuan yang seharusnya pria harus menyandang predikat tersebut karena pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan. Kamaliya,
2009
2.4. Pengalaman Mengelola Usaha