Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu Karya Mutiara Paramitha dan Afief Riyadi (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu)
(Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter “Presiden Republik Abu – Abu”)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Sidang Skripsi Strata Satu
pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik
Oleh:
ARIS RAHMANSYAH NIM. 41809078
PRODI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G
(2)
141
Dibuat khusus oleh mahasiswa yang akan ujian sidang:
1. Nama : Aris Rahmansyah
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 12 Agustus 1991 3. Nomor Induk Mahasiswa : 41809078
4. Program Studi : Ilmu Komunikasi 5. Jenis Kelamin : Laki-laki
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Agama : Islam
8. Alamat : Komp. Giri Mekar Permai elok A no 12,
Ujungberung, Bandung.
9. Berat Badan : 67 Kg
10. Tinggi Badan : 173 Cm
11. Orang Tua :
1. Nama Ayah : Memed Resmana
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Komp. Giri Mekar Permai elok A no 12, Ujungberung, Bandun
(3)
142
Ujungberung, Bandung. 12. Nomer Telepon : 083816384388
13. Email : [email protected]
Pendidikan Formal
NO Tahun Uraian Keterangan
1. 2009 – Sekarang Prodi Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Jurnalistik Fisip Unikom
-
2. 2006 – 2009 SMAN 1 Bandung
Lulus/Berijasah
3. 2004 – 2006 SMPN 50 Bandung
Lulus/Berijasah 4. 1999 – 2004 SDN Babakan Sinyat IV Bandung
Lulus/Berijasah
5. 1998-1999 TK Al - Islam Bandung
Lulus/Berijasah
Pendidikan Informal
NO Tahun Uraian Keterangan
1. 2008 – 2009 Bimbingan Belajar Neutron
Bandung -
Pelatihan/Seminar/Workshop
NO Uraian Keterangan
1. Pelatihan Tabel Manner Di Hotel Banana Inn
Bersertifikat 2 Seminar Communiaction Di Miracle
Unikom
Bersertifikat - 3. Study Tour Media Massa 2011 ke
Trans TV, TVRI, dan LSF
(4)
143
Bandung, ...2014
(5)
x
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.2.1 Pertanyaan Makro ... 9
1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 9
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9
1.3.1 Maksud Penelitian ... 9
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Kegunaan Penelitian ... 10
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10
(6)
xi
2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa ... 18
2.1.3.1 Defenisi Kumunikasi Massa ... 18
2.1.3.2 Karakteristik Komunikasi Massa ... 19
2.1.3.3 Fungsi Komunikasi Massa ... 21
2.1.3.4 Hambatan Dalam Komunikasi Massa ... 23
2.1.3.5 Bentuk – bentuk Komunikasi Massa... 31
2.1.4 Tinjauan Tentang Film ... 31
2.1.5 Tinjauan Tentang Representasi ... 36
2.1.6 Tinjauan Tentang Kritik Sosial ... 38
2.1.6.1 Kritik Sosial ... 38
2.1.6.2 Pengertian Kritik Sosial... 39
2.1.6.3 Fungsi Kritik Sosial ... 41
2.1.7 Tinjauan Tentang Semiotika ... 42
2.2 Kerangka Pemikiran ... 47
2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 47
2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 48
BAB III : OBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 51
3.1 Objek Penelitian ... 51
3.1.1 Sinopsis Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu ... 51
3.1.2 Tim Produksi dan Kru ... 52
3.1.3 Sequence Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu .... 53
3.2 Metode Penelitian ... 58
3.2.1 Desain Penelitian ... 59
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 62
3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 63
(7)
xii
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74
4.1 Data Informan ... 76
4.2 Hasil Penelitian ... 77
4.2.1 Sequence Prolog ... 78
4.2.2 Sequence Ideological Content ... 88
4.2.3 Sequence Epilog ... 95
4.2.4 Level Ideologi ... 101
4.3 Pembahasan ... 104
4.3.1 Level Realitas ... 108
4.3.2 Level Representasi ... 110
4.3.3 Level Ideologi ... 112
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 114
5.1 Kesimpulan ... 114
5.2 Saran ... 121
5.2.1 Saran Bagi Universitas ... 121
5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 121
5.2.3 Saran Bagi Publik ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 124
(8)
123
Ardianto Elvinaro, Erdinaya K, Lukiati, dan Karlinah Siti.2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Prkatek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Effendy, Heru. 2006. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser. Yogyakarta: Pustaka Konfiden
Fiske, John.2010. Cultural and Communiaction Studies. Yogyakarta : Jala sutra
Fiske, John.1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in Publication Data
Lexy J. Moleong, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Littlejihon, Stephen W, Foss Karen A . 2009. Teori Komunikasi Theories of Human Communication. Jakarta : Salemba Humanika
(9)
124 Yogyakarta: Galangpress
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komuniasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-DasarApresiasi Film. Jakarta: PT. Grasindo
Susanto, Astrid, S. 1985. Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam masyarakat dan Negara, Prisma dalam Demokrasi Persdan Politik. Jakarta: LP3S
Wibowo, Indiwan, Seto Wahju. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: MitraWacana Media
B. INTERNET
1. http://amriawan.blogspot.com/2011/11/presiden-republik-abu-abu-film-terbaik.html (21 Febuari 2014/00:07)
2. http://arisputrablog-com.blogspot.com/2012/03/pengertian-film-dokumeter.html (21 Febuari 2014/20:47)
(10)
125
C. KARYA ILMIAH
Berry Arneldi. 2013. REPRESENTASI WAKTU DALAM FILM IN TIME
(ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE TENTANG REPRESENTASI WAKTU DALAM FILM “IN TIME”) Bandung: Universitas Komputer Indonesia
Bayu Rizki Maulana. REPRESENTASI KESETARAAN RAS DALAM FILM
LINCOLN (ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE TENTANG
REPRESENTASI KESETARAAN RAS DALAM FILM “LINCOLN”)
Bandung: Universitas Komputer Indonesia
Yasa Yaser Dwi. 2012. REPRESENTASI KEBEBASAN PERS
MAHASISWA DALAM FILM LENTERA MERAH (ANALISIS SEMIOTIK ROLAND BARTHES DALAM FILM FILM LENTERA MERAH MENGENAI KEBEBASAN PERS MAHASISWA). Bandung: Universitas Komputer Indonesia
(11)
vi Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan berkahNya serta dukungan berbagai pihak, peneliti akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan tepat waktu. Penelitian ini berjudul “Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu Karya Mutiara Paramitha Andhika dan Afief Riyadi”. Dalam proses penulisan karya ilmiah penelitian ini, peneliti mengalami berbagai kesulitan namun dengan kerja keras, doa, bimbingan dari pembimbing serta semangat dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini bisa dipertanggung jawabkan dengan baik.
Untuk kedua orang tua Ayah dan Mamah terima kasih atas kasih sayang, perhatian, doa, motivasi dan kepercayaannya kepada penulis selama ini, Terima kasih telah menjadi orang tua terhebat di dunia yang selalu memberikan rasa “surga” dalam kehidupan penulis.
Dalam proses penulisan proposal penelitian ini, banyak sekali pihak yang telah berperan dan membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
(12)
vii
2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si., Selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia, dan Selaku dosen pembimbing peneliti yang selama penyusunan penelitian ini telah memberikan berbagai masukan dan arahan dalam seluruh proses pembuatan penelitian ini. Terima kasih atas kesabaran, keikhlasan, totalitas, serta motivasi yang selalu diberikan selama membimbing peneliti.
3. Ibu Melly Maulin P.S. Sos, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi yang memberikan dukungan-dukungan dalam setiap perkuliahan untuk menjadikan peneliti sukses dalam menjalankan perkuliahan.
4. Ibu Rismawaty, S.Sos., M.Si. Selaku Dosen wali. Terimakasih karena telah memberikan pencerahan dan penyelesaian masalah bagi peneliti, dan terus memotivasi, membantu, membimbing dan memberikan masukan positif kepada peneliti selama melakukan perkuliahan.
5. Yth. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Ilmu Komunikasi UNIKOM, yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada peneliti selama menjalani perkuliahan.
6. Keluarga Besar Cep Emay dan Onih (Alm), yang selalu memberikan motivasi dengan caranya masing-masing.
(13)
viii
IK-Jurnal 1 „10, khususnya Fery Setiawan, Rendra Septiana, Ruly Topan, Revino Tryantito, Regina Vida dan Ogi Noor Hadiansyah, Regiansyah, Arif Firmansyah, Ryandy Purnawan, Aldie Yasa Yahya, Evrianti Lira Insani, Frelly Milano, Tiar Renas Y, Ragil Wisnu Saputra, Oki Ridwan, Romy Rizki dan Anak – anak Dulips
Terima kasih untuk kebersamaan, keceriaan, kekeluargaan dan persahabatannya.
9. Para Sahabat, khususnya Rizky Andhika, Rizky Kurniawan, Heru Rosmanto, Winy Cintya, Sena Lingga, Febriansyah, Jeihan Nabila,
Anisha Primalti, Dhea Rizkiana, Ahmad Royani, Toni Supriatna, Andella, Yuyu Yulia dan yang lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu menerima peneliti untuk sharing, saling bertukar pikiran, keceriaan, kekeluargaan dan memberikan doa, dukungan, bantuan dengan caranya masing-masing.
10.Nurul Fitri, terima kasih telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi peneliti.
11.Semua pihak yang telah membantu sebelum dan selama pelaksanaan penelitian yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
(14)
ix
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan proposal penelitian ini.
Oleh karena itu peneliti berharap dan berterima kasih atas segala saran dan kritik dari pembaca. Serta menerima saran dan kritik tersebut dengan hati terbuka. Akhir kata, peneliti berharap semoga karya ilmiah penelitian ini menjadi aplikasi ke ilmuan khususnya jurnalistik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, Agustus 2014
(15)
12
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tinjauan penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil oleh peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu, yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitin sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti akan terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini perlu dilakukan karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan diilhami oleh teori dan model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada penelitian terdahulu berguna untuk memberikan gambaran awal mengenai kajian terkait dengan masalah dalam penelitian ini.
Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil penelitian terdahulu, ditemukan beberapa penelitian tentang semiotika. Berikut ini adalah penelitian mengenai semiotika.
(16)
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
N0. Judul Penelitian
Nama Peneliti Metode yang Digunakan Hasil Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Skripsi Ini
1. Representasi Kesetaraan Ras Dalam Film “Lincoln”
Skripsi Bayu Rizki Maulana, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 Kualitatif dengan Desain Penelitian Semiotika representasi kesetaraan ras dalam film Lincoln, terdapat tiga level yang sesuai dengan kode kode televisi John Fiske. Pada level realitas, level representasi & level ideologi. peneliti juga menghubungkan pesan film
Lincoln ini dengan Teori Ideologi Hegemoni Antonio Gramsci bagaimana Lincoln Penelitian Bayu Rizki Maulana memilih objek film yang berbeda dan dengan pembahasan yang berbeda pada setiap perspektif yang ia gunakan.
(17)
digambarkan sebagai tokoh hagemonik yang berhasil membuat perubahan. 2 Representasi
Waktu Dalam Film “In Time”
Skripsi Berry Arneldi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 Kualitatif dengan Desain Penelitian Semiotika pada level realitas ada keterkaitan antara manusia dan waktu ketika menyadari seberapa banyak waktu yang dimiliki dan memaknai waktu tersebut dengan mengisi tiap-tiap detiknya. Level representasi, waktu di kuasai oleh penguasa yang memiliki banyak waktu yang sengaja menjaga dan mendominasi waktu tersebut dari Penelitian Berry Arneldi memilih objek film yang berbeda dan dengan pembahasan yang berbeda pada setiap perspektif yang ia gunakan.
(18)
subordinasinya. Pada level ideologi, terlihat jelas bahwa pembagian dari waktu oleh kapitalis tidak merata sehingga membentuk kelas-kelas sosial. 3 Representasi
Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah
Skripsi Yaser
Dwi Yasa,
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Komputer Indonesia,2012 Kualitatif dengan Desain Penelitian semiotika
Bahwa pers
pada
saat itu yang di gambarkan di film lentera merah sangat di pengaruhi oleh hegemoni kekuasaan. Penelitian Yaser Dwi Yasa menggunak an objek dan desain penelitian yang berbeda. Yaser menggunak an teori Barthes sebagai pisau analisa.
(19)
2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi
“Manusia merupakan makhluk sosial, diamana segala sesuatu yang dilakukan tidak bisa di lakukan sendiri, harus ada orang lain yang membantu, untuk itu manusia sangat di haruskan untuk berkomunikasi atau pertukaran pesan satu sama lain antar individu. Secara Estimologi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah satu makna. Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dikomunikasikan, yakni baik si penerima maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu”. (Effendy, 2003:9).
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar atau yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari kemamfaatan untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya “Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik”, atau terlalu luas, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua pihak atau lebih sehingga peserta komunikasi memahami pesan yang disampaikannya.
(20)
“Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message), orang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator). Untuk lebih tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan”. (Effendy, 2003:28)
Menurut professor Wilbur Schramm dalam Cangara (2004:1) mengatakan tanpa komunikasi, tidak mungkin terbentuk suatu masyarakat. Sebaliknya tanpa masyarakat, manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi. Berkomunikasi dengan baik akan member pengaruh langsung terhadap struktur keseimbangan seseorang dalam masyarakat, apakah ia seorang dokter, dosen, manajer dan sebagainya.1
Dari berbagai pendapat para ahli tersebut menggambarkan bahwa komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang ditimbulkan, antara lain adalah:
1. Komunikator (communicator, source, sender) 2. Pesan (message)
3. Media (channel)
4. Komunikan (communican, receiver) 5. Efek (effect)
Dari beberapa pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran makna/pesan baik verbal
1
http://budiwijayaberjaya.blogspot.com/2012/03/komunikasi-menurut-para-ahli.html 19 Febuari 2014/01.45
(21)
maupun nonverbal dari seseorang kepada orang lain melalui media dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain.
2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa
Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagai ringkasan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication atau communications
diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai ringkasan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama. Massa diartikan sebagai sesuatu yang meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran.
2.1.3.1 Definisi Komunikasi Massa
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukan di gedung-gedung bioskop (Effendy, 2003:79). Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan oleh Bittner, Komunikasi
(22)
massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah: radio siaran dan televisi-keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah-keduanya disebut media cetak; serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah bioskop (Rakhmat, 2003:188 dalam Elvinaro, dkk, 2007:3)
2.1.3.2 Karakteristik komunikasi massa
Karakteristik komunikasi massa menurut Ardianto Elvinaro, dkk. Dalam bukunya “Komunikasi Massa Suatu Pengantar”. Sebagai berikut:
1. Komunikator terlambangkan, Ciri komunikasi masa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa itu melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. (Elvinaro,dkk,2007:7)
(23)
2. Pesan bersifat umum, Komuniksai massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. (Elvinaro,dkk, 2007:7)
3. Pesan bersifat umum, Komuniksai massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. (Elvinaro,dkk, 2007:7)
4. Media massa menimbulkan keserempakan, Effendy mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan konteks dengan sejumlah besar penduduk dalam jumlah yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. (Elvinaro,dkk, 2007:9)
5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan, Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan. Dimensi isi menunjukan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakanya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu. (Elvinaro,dkk,2007:9)
6. Komunikasi massa bersifat satu arah, Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. (Elvinaro,dkk, 2007:10)
(24)
7. Stimulasi Alat Indera Terbatas, Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar. (Elvinaro,dkk, 2007:11)
8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Indirect). Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi massa. Efektivitas komunikasi Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Indirect), Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi massa. Efektivitas komunikasi sering dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. (Elvinaro,dkk,2007:11)
2.1.3.3 Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa menurut Dominick dalam Ardianto, Elvinaro. dkk. 2007: 14 terdiri dari:
1. Surveillance (pengawasaan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang suatu ancaman; fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. (Elvinaro. dkk. 2007: 14)
(25)
2. Interpretation (penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca, pemirsa atau pendengar untuk memperluas wawasan. (Elvinaro, dkk, 2007:14)
3. Linkage (pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. (Elvinaro. dkk. 2007: 17)
4. Transmission of Values (penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilali kelompok . media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata lain, Media mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya. (Elvinaro. dkk. 2007: 17)
5. Entertainment (hiburan) Radio siaran, siarannya banyak memuat acara hiburan, Melalui berbagai macam acara di radio siaran pun masyarakat dapat menikmati hiburan. meskipun memang ada radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. fungsi dari media
(26)
massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali. (Elvinaro. dkk. 2007: 18)
2.1.3.4 Hambatan dalam Komunikasi Massa
Setiap kegiatan komunikasi, apakah komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok, komunikasi media dan komunikasi massa sudah dapat dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan. Hambatan dalam kegiatan komunikasi apapun tentu akan mempengaruhi efektivitas proses komunikasi tersebut. Pada komunikasi massa, jenis hambatannya relatif lebih kompleks sejalan dengan kompleksitas komponen komunikasi massa.
Setiap komunikator selalu menginginkan komunikasi yang dilakukannya dapat mencapai tujuan. Oleh karenanya seorang komunikator perlu memahami setiap jenis hambatan komunikasi, agar ia dapat mengantisipasi hambatan tersebut.
A. Hambatan Psikologis
1. Perbedaan Kepentingan (Interest)
Kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati pesan. Sebagaimana telah diketahui bahwa komunikan dalam komunikasi massa sangat heterogen (usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dll). Hal ini memungkinkan
(27)
setiap individu komunikan memiliki kepentingan yang berbeda. Atas dasar kepentingan yang berbeda, maka setiap individu komunikan akan melakukan seleksi terhadap pesan yang diinginkannya (manfaat/kegunaan).
2. Prasangka (Prejudice)
Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau sekelompok orang lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ditentukan oleh faktor personal (fungsional): kebutuhan, pengalaman masa lalu, peran dan status. Persepsi ditentukan oleh faktor situasional (struktural): Jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat menilai fakta-fakta yang terpisah; kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Apabila suatu proses komunikasi sudah diawali oleh kecurigaan (prasangka) maka tidak akan efektif.
3. Stereotip (stereotype)
Prasangka sosial bergandengan dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip misalnya tercermin pada: orang Batak itu berwatak keras, orang Sunda manja, dll. Apabila dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotip tertentu pada komunikatornya,
(28)
maka dapat dipastikan pesan apapun tidak akan bisa diterima oleh komunikan.
4. Motivasi (Motivation)
Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu.
Gerungan menjelaskan,dalam mempelajari tingkah laku manusia pada umumnya, kita harus mengetahui apa yang dilakukannya, bagaimana ia melakukannya dan mengapa ia melakukan itu, dengan kata lain kita sebaik-baiknya mengetahui know what, know how, dan
know why.dalam masalah ini, persoalan know why adalah berkenaan dengan pemahaman motif-motif manusia dalam perbuatanya, karena motif memberi tujuan dan arah pada tingkah laku manusia.
Seperti kita ketahui, keinginan dan kebutuhan masing-masing individu berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat, sehingga motif juga berbeda-beda. Motif seseorang bisa bersifat tunggal, bisa juga bergabung. Misalnya, motif seseorang menonoton acara “seputar indonesia” yang disiarkan RCTI adalah untuk memperoleh informasi (motif tunggal), akan tetapi bagi seseorang lainya adalah untuk memperoleh informasi, sekaligus juga pengisi waktu luang (motif bergabung).
(29)
B. Hambatan Sosiokultural 1. Aneka Etnik
Belasan ribu pulau yang membenteng dari sabang sampai merauke merupakan kekayaan alam Indonesia yang tidak ternilai harganya. Tiap-tiap pulau di huni oleh etnik yang berbeda. Pulau-pulau besar, seperti Pulau-pulau jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Papua terbagi menjadi beberapa bagian, dimana tiap bagian memiliki budaya yang berbeda.
2. Perbedaan Norma Sosial
Perbedaan budaya sekaligus juga menimbulkan perbedaan norma sosial yang berlaku pada masing-masing etnik. Norma sosial dapat didefinisikan sebagai suatu cara, kebiasaan, tat krama dan adat istiadat yang disampaikan secara turun temurun, yang dapat memberikan petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat (disarikan dari Soekanto, 1982: 194).
3. Kurang Mampu Berbahasa Indonesia
Keragaman etnik telah menyebabkan keragaman bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Dapat dikatakan, jumlah bahasa yang ada di Indonesia adalah sebanyak etnik yang ada. Seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat Batak memiliki berbagai macam bahasa batak. Masyarakat di Papua, Kalimantan juga demikian keadaannya. Jadi sekalipun bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang selalu kita ucapkan pada saat memperingati sumpah
(30)
pemuda, kita tidak dapat menutup mata akan kenyataan yang ada, yakni masih masih adanya masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil yang belum bisa berbahasa Indonesia. Hal ini dapat menyulitkan penyebarluaskan kebijakan dan program-program pemerintah.
4. Faktor Semantik
Semantik adalah pengetahuan tentang pengertin atau makna kata yang sebenarnya. Jadi hambatan semantik adalah hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator, maupun bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantis dalam suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk.
Pertama, komunikator salah mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai akibat bebrbicara terlalu cepat. Pada saat ia berbicara, pikiran dan perasaan belum terformulasika, namun kata-kata terlanjur terucapkan. Maksudnya akan mengatakan “ demokrasi” jadi “demonstrasi”; partisipasi menjadi “ partisisapi”; ketuhanan”jadi “kehutanan”, dan masih banyak lagi kata-kata yang sering salah diucapkan karena tergesa-gesa.
Kedua, adanya perbedaan makna makna dan penegrtian untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologi. Misalnya kata “Gedang”akan berarti”pepaya” bagi orang sunda, namun berarti “ pisang” menurut orang jawa. Sedangkan kata “pepaya” untuk orang jawa adalah “ kates”.
(31)
Ketiga, adalah adanya pengertian yang konotatf. Sebagaiman kita ketahui semantik pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya. Kata-kata yang sebenarnya itu disebut pengertain denotatif, yaitu kata-kata yang lazim diterima oleh orang-orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama (Efendy, pada komala, dalam karlina, dkk, 1999).
5. Pendidikan Belum Merata
Penduduk Indonesia pada saat ini sudah mencapai 200 juta jiwa dan tersebar diseluruh pulau dan Nusantara. Ditinjau dari sudut pendidikan, maka tingkat pendidikan rakyat indonesia belum merata. Di perkotaan, relatif banayak penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, tetapi di desa-desa terpencil, jangankan menyelesaikan perguruan tinggi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar pun relatif kecil. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, namun amat disadari oleh pemerintah, sehingga untuk menanggulanginya pemerintah telah mencanangkan program pendidikan sembilan tahun.
6. Hambatan Mekanis
Hambatan komunikasi massa lainnya adalah hambatan teknis sebagai konsekuensi penggunaan media massa yang dapat disebut sebagai hambatan mekanis. Hambatan mekanis pada media televisi terjadi pada saat stasiun atau pemancar penerima mendapat gangguan baik secara teknis maupun akibat cuaca buruk, sehingga gambar yang
(32)
diteima pada pesawat televisi tidak jelas, buram, banayak garis atau tidak ada gambar sama sekali.
C. Hambatan Interaksi Verbal 1. Polarisasi
Polarisasi kencenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dan lainlain. Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat titik-titik ekstrem dan mengelompokkan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.
Diantara dua kutub atau dua sisi yang berlawanan itu, sebagaian besar manusia atau keadaan berada di tengah-tengah. Di antara yang sanagt miskin dan yang sangat kaya, kenyataannya lebih banyak yang sedang-sedang saja. Di antara yang sangat baik dan sangat buruk, lebih banyak yang cukup baik.
2. Orientasi Intensional
Oreintasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri.
Dalam proses komunikasi massa, orentasi internasioal biasanya dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan sebaliknya.
(33)
Misalnya, seorang presenter yang berbicara dilayar televisi, dan kebetulan wajah presenter tersebut tidak manarik ( kuarang cantik/ganteng ), maka komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum kita mendengar apa yang dikatakannya. Cara mengatasi oreintasi intensional adalah dengan ekstensionalisas, yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada manusia, benada atau kajadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa yang kita lihat.
3. Evaluasi Statis
Pada suatu hari kita melihat seorang komunikator X berbicara melalui pesawat televisi. Menurut presepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi yang dikemukakan komunikator tersebut tidak baik, sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itupun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator X bersifat statis tetap seperti itu dan tidak beruba. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak mau menonton atau mendengar komunikator X berbicara. Tetapi seharusnya kita menyadari bahwa komunikastor X dari waktu ke waktu dapat berubah, sehingga beberapa tahun kemudian ia dapat menyampaikan pesan secara baik dan menarik.
4. Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila (komunikan) memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara
(34)
individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Stereotip adalah gambaran mental yang menetap tentang kelompok tertentu yang kita anggap berlaku untuk setiap orang (anggota) dalam kelompok tersebut tanpa memperhatikan adanya kekhasan orang bersangkutan. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negatif, masalah yang ditimbulkan tetap sama. Sikap ini membut kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat.
2.1.3.5 Bentuk-bentuk Komunikasi Massa
Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Adapun bentuk-bentuk media massa sebagai berikut:
A.Surat Kabar B. Majalah C. Radio Siaran D.Televisi E. Film
F. Komputer dan Internet
2.1.4 Tinjauan Tentang Film
Film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dimana fungsi dari Film itu sendiri adalah Pemberi informasi, Pendidikan, dan Hiburan untuk halayak, karena sifat film yang audio visual menjadi sarana pemberian pesan dan makna untuk khalayak yang efektif.
(35)
“Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah – ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan, bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit”. (Effendy, 2003:209)
Tujuan Khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung nilai – nilai informatif maupun edukatif, bahkan persuasif (Ardianto, dkk, 2007:145).
1. Sejarah Film
Film pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-19, film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung.Mula-mula hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara. Pada akhirtahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna padatahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangandari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu mejadikanfilm sebagai tontonan yang menarik khalayak luas (Sumarno, 1996:9).
2. Pengertian Film
Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV (Cangara, 2002:135). Gamble (1986:235) berpendapat, film
(36)
adalah sebuah rangkaian gambar statis yang di representasikan dihadapan mata secara berturut-turut dalam kecepatan yang tinggi. Sementara bila mengutip pernyataan sineas new wave asal Perancis, Jean Luc Godard: “film adalah ibarat papan tulis, sebuah film revolusioner dapat menunjukkan bagaimana perjuangan senjata dapat dilakukan.” Film sebagai salah satu media komunikasi massa, memiliki pengertian yaitu merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu (Tan dan Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2005:3)
3. Jenis – Jenis Film
A. Film Cerita (Story Film)
Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan diperuntukkan semua publik dimana saja (Effendy, 2003:211). Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik (Ardianto dan Erdinaya, 2007:139). Dalam Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser (2006:13), Heru Effendy membagi film cerita menjadi Film Cerita Pendek
(37)
(Short Films) yang durasi filmnya biasanya di bawah 60 menit, dan Film Cerita Panjang (Feature-Length Films) yang durasinya lebih dari 60 menit, lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk kedalam kelompok ini.
B. Film Dokumenter (Documentary Film)
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Kunci utama dari dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter ini tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sunguh terjadi. tidak seperti film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot (rangkaian peristiwa dalam film yang disajikan pada penonton secara visual dan audio), namun memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argument dari sineasnya. Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh peran baik dan peran jahat, konflik, serta penyelesaiannya seperti halnya film fiksi (Fajar Nugroho,2007).
John Grierson mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality).” Titik berat film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi (Effendy, 2003:213)
(38)
C. Film Berita (News Reel)
Film berita atau news reel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value) (Effendy, 2003:212).
D. Film Kartun (Cartoon Film)
Film kartun pada awalnya memang dibuat untuk konsumsi anak-anak, namun dalam perkembangannya kini film yang menyulap gambar lukisan menjadi hidup itu telah diminati semua kalangan termasuk orang tua. Menurut Effendy (2003:216) titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis, dan setiap lukisan memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan saksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Apabila rangkaian lukisan itu setiap detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisan-lukisan itu menjadi hidup.
E. Film-film Jenis Lain
Profil Perusahaan (Corporate Profile)
Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitandengankegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.
(39)
Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaraninformasi, baik tentang produk (iklan produk) maupun layanan masyarakat (iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA)
Program Televisi (TV Program)
Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi.Secara umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan non cerita
Video Klip (Music Video)
Dipopulerkan pertama kali melalui saluran televisi MTV pada tahun 1981, sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser musik untukmemasarkan produknya lewat medium televisi. (Effendy, 2006:13-14).
2.1.5 Tinjauan Tentang Representasi
Representasi adalah bagian dari pengembangan dari ilmu pengetahuan sosial. dalam perkembangannya ada dua teori dalam teori pengetahuan sosial yaitu apa yang disebut kongnisi sosial, representasi adalah suatu konfigurasi atau bentuk atau susunan yang dapat menggambarkan, mewakili atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara. Tujuan dalam menerrapkan ilmu pengetahuan untuk memahami bagaimana interpersonal, understanding, moral judgement
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita
(40)
masing-masing (peta konseptual), representasi mental merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa”, berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu di tampilkan dalam pemberitaan. (Wibowo, 2011:113).
Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi dalam bukunya yang berjudul Understanding Media Semiotics mengungkapkan bahwa representasi adalah proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu, yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau diarasakan dalam bentuk fisik. Dapat dikaraktersitikan sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian kepada sesuatu yang ada secara material atau konseptual, yaitu Y, atau dalam bentuk spesifik Y,X – Y.
(41)
2.1.6 Tinjauan Tentang Kritik Sosial 2.1.6.1 Kritik Sosial
Semua kemajuan lahir dari kritik, karena tanpa kritik, bangsa manusia tidak akan mungkin bisa mencapai hasil yang kini dicapainya itu (Kwant dalam Sobur:2001-193). Banyak orang berbicara mengenai kritik, baik dalam arti positif maupun negatig. “kalau saya dikritik tanpa alasan, saya juga akan marah. jika ada kritik memberikan alternatig, akan saya terima”. Ujar Andi Hakim Nasution (Sobur:2001:193)
Kritik adalah sesuatu yang tabu dalam kebudayaan tradisionil. Kritik adalah zat hidup kebudayaan modern. Kritik adalah sesuatu bentuk kebebasan yang mesti “disesuaikan dengan situasi dan kondisi” pada masa kebudayaan transisi ini. Sementara itu, Muladi menilai, “Dinegara berkembang, kritik sering dilihat sebagai sesuatu yang tidak loyal (disloyality). Padahal, masyarakat yang maju, kritik justru merupakan sesuatu yang penting, sebagai masukan agar sistem politik menjadi lebih baik.” (Sobur:2001:194).
Orang memuji kritik sebagai nilai dasar bangsa manusia, sebagai dasar untuk pandangan yang penuh harapan bagi masa depan. Namun orang juga menentang kritik sebagai perusakan yang tidak sopan, sebagai penyergapan terhadap nilai-nilai suci. Apakah termasuk memuji atau menetang, kebanyakan orang tidak
(42)
menyadari tentang hakikat kritik, sifat kritik dan persyaratan-persyaratan kritik. Juga mengenai pentingnya kritik dalam tata kehidupan bangsa manusia, dan dalam susunan hidup-hidup permasyarakatan kita dewasa ini, masih kurang diinsafi. Juga masih kurang begitu peduli pada apa dan sejauh manakah sesuatu yang dilontarkan sebagai kritik itu berhak untuk dinamakan kritik.
2.1.6.2 Pengertian Kritik Sosial
Dalam kamus besar Indonesia edisi kedua, kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya pendapat dan sebagainya, menurut Kwant bentuk kritik dapat dibedakan dalam dua macam yaitu; kritik positif dan kritik negatif. Kritik negatif artinya sikap kritis yang kesimpulannya tidak menyetujui, biasanya kritik negatif lebih banyak dibanding kritik positif, sementara kritik positif artinya suatu penilaian terhadap suatu yang mempunyai kesimpulan menyetujui.
Kritik berasal dari bahasa yunani yaitu krinein yang berarti memisahkan, memerinci. Dalam kenyataan tersebut, manusia membuat pemisahan dan perincian antara nilai dan bukan nilai, arti dan bukan arti, baik dan jelek. Jadi kritik suatu penilaian terhadap kenyataan dalam sorotan norma. Dalam buku berjudul Mens en
(43)
Kritiek. R.C. Kwant (1975:12) menuliskan bahwa kritik menentukan nilai suatu kenyataan yang dihadapinya.
Dalam melontarkan kritik, tidak cukup hanya mengetahui kenyataan yang ada, namun orang yang melancarkan kritik harus berusaha menentukan apakah yang dihadapinya itu benar-benar seperti yang seharusnya. Oleh karenanya,orang tersebut harus mengetahui sebelumnya bagaimana seharusnya (Kwant, 1975:90). Kepekaan sosial atau social sensitivity, merupakan inti suatu kritik sosial. Menurut Astrid S. Susanto (1977:5), kritik sosial biasanya dihubungkan dengan perlunya situasi ideal dan perilaku ideal (ideal conduct). Suatu kritikan selalu menginginkan perubahan, hingga kritik selalu berorientasi ke masa depan. Oleh karena itu suatu kritik perlu dilandasi data dan pengetahuan yang tepat, yaitu agar prediksi tentang masalah dalam bermasyarakat jadi tepat, setepat mungkin.
Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitik beratkan dan mengajak khalayak untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Suatu media kritik sosial karenanya didasarkan pada rasa tanggung jawab atau pengontrol bahwa manusia sama-sama bertanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya. Menurut Ismail dalam Prisma dalam Humor dalam Kritik mengatakan bahwa :
(44)
“Hadirnya Humor dalam kritik itu sah adanya. Saya tidak melihat bahwa kepekaan kita terhadap kritik itu akan berkurang atau hilang dengan adanya unsur humor. Artinya orang tidak lagi menerima kritik sebagai kritik, tetapi menampikannya sebagai humor. Kritik yang disampaikan melalui humor mempunyai akar kulturil dalam masyarakat kita. Hanya barangkali, kritik dengan humor dibandingkan dengan kritik tanpa humor tidak langsung begitu menyinggung langsung perasaan yang dikritik. Dengan humor ataupun tanpa humor orang akan mengetahui jika dia dikritik.”(Ismail 1977:38)
Kritik sosial antara lain sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau merupakan proses bermasyarakat, dalam kontek inilah kritik sosial merupakan salah satu faktor penting dalam memelihara sistem sosial.
2.1.6.3 Fungsi Kritik Sosial
Adanya kritik dalam suatu masyarakat, mencerminkan perubahan yang sedang dialami oleh masyarakat itu (Susanto, 1985:106). Jika suatu kritik sosial ingin memenuhi fungsinya dengan efektif, harus memenuhi beberapa langkah dan syarat. Kritik sosial sebagai pendapat pribadi, tidak terorganisir, akan hilang lenyap dalam saingan pendapat.
Ternyata kritik sosial juga perlu melembagakan diri menemukan saluran-saluran yang dapat lebih menjelaskan, memfokuskan, memerinci dan merumuskan dalam langkah-langkah operasional mengenai apa yang akan diusulkan untuk diperbaiki.
(45)
Kritik sosial perlu juga melepaskan diri dari dari ikatan-ikatan komunal maupun kepentingan pribadi.
Data dan lingkungan lebih luas diperlukan oleh suatu kritik untuk dapat berperan dan berpengaruh. Mengingat bahwa suatu kritik sosial bukan lagi merupakan suatu “milik pribadi”, sekali ia disebarkan di masyarakat, maka mau tidak mau efektipitas kritik sosial akan sangat melekat.2
2.1.7 Tinjauan Tentang Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang akan kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajarai bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan,2001:53) dalam (Sobur,2009:15).
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda
2
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/527/jbptunikompp-gdl-agilnopian-26333-5-unikom_a-i.pdf 25 Febuari 2014/15:12
(46)
(Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:16). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.
“Pada dasarnya, Analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu ditanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal – hal yang tersembunyi di balik sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna “berita di balik berita” (Wibowo, 2011:06)
Dengan semiotika, kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika, seperti kata Lechte (2001:191 dalam Sobur, 2009:16), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana
signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code) „sistem tanda‟ (Segar, 2000:4 dalam Sobur, 2009:16)
Tanda tidak mengandung makna atau konsep tertentu, namun tanda memberi kita petunjuk-petunjuk yang semata-mata menghasilkan makna melalui interpretasi. Tanda menjadi bermakna manakala diuraikan isi kodenya (decoded) menurut konvensi dan aturan budaya yang dianut orang secara sadar maupun tidak sadar (Sobur, 2009:14).
(47)
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:15). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (lihat antara lain Eco, 1979:8-9; Hoed, 2001:140 dalam Sobur, 2009:15). Pertama, menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jakobson, 1963; Hoed, 2001:140 dalam Sobur, 2009:15). Kedua, memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.
Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004: 282).
Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata lain jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya, pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signified)
(48)
sebagai konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala sesuatu memiliki system tanda, dapat dianggap teks.
Contohnya di dalam film, majalah, televisi, iklan, brosur, koran, novel bahkan di surat cinta sekalipun. Tiga bidang studi utama dalam semiotika menurut John Fiske adalah:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagi tanda yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencangkup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske, 2004:60)
(49)
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Dalam menganalisa Representasi pesan kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu. Peneliti menggunakan teori The Codes of Television atau Kode-kode televisi oleh John Fiske. Di dalam teori kode-kode televisi ini biasanya digunakan untuk meneliti acara-acara di dalam televisi atau iklan di televisi, namun kode televisi John Fiske ini masih sangat relevan digunakan bagi penelitian semiotika film dokumenter, di dalam beberapa kode televisi ini akan lebih mempermudah peneliti dalam meneliti representasi pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik Abu-abu yang telah di bagi kedalam beberapa sequence.
Film merupakan merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis srtuktural atau semiotika. Film umumnya dibangun oleh banyak tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara (kata yang diucapkan, ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.
Dalam menganalisis teks berbentuk gambar bergerak atau moving picture yang sering digunakan adalah teori tentang The Codes of Television
(50)
peristiwa yang digambarkan dalam sebuah gambar bergerak memiliki kode-kode sosial sebagai berikut :
1. Level Realitas yang meliputi appearance (penampilan), dress (kostum),
make up (riasan), environment (lingkungan), behavior (prilaku), speech
(cara berbicara), gesture (gerakan) dan exspression (ekspresi).
2. Level Representasi yang meliputi camera (kamera), lighting
(pencahayaan), music (musik) dan sound (suara). Serta kode representasi konvensional yang terdiri dari narative (naratif), conflict (konflik),
caracter (karakter), action (aksi), dialogue (percakapan), seting (layar), dan casting (pemilihan pemain).
3. Level Ideologi yang meliputi narrative (naratif), conflict (konflik),
character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (layar) dan
casting (pemeran) (Fiske, 1987: 4)
Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks
media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Fiske, 2004: 282).
Dalam teori semiotika, pokok studinya adalah tanda atau bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja juga dapat disebut semiologi. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti pada dirinya sendiri, dengan kata lain jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya, pembaca itulah yang
(51)
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signified) sebagai konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala sesuatu memiliki system tanda, dapat dianggap teks. Contohnya di dalam film, majalah, televisi, iklan, brosur, koran, atau novel.
2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
Semiotika adalah studi mengenai tanda dan cara tanda-tanda tersebut bekerja, kedua kata tersebut memiliki definisi yang sama, walaupun penggunaan salah satunya biasanya menunjukan mengenai pemikiran penggunanya.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik Abu-abu ini. Maka dari itu, peneliti menggunakan model John Fiske sebagai teori pendukung dalam menganalisis representasi pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik Abu-abu.
Terdapat sequence yang memunculkan pesan kritik sosial dalam film Presiden Republik Abu-abu ini dengan konsepsi pemikiran John Fiske.
The Codes Of Television yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna dalam suatu objek yang peneliti akan teliti. Dari peta John Fiske di atas diadaptasi bahwa Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri (objek),
(52)
dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya (interpretant).
Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial. Semiotika merupakan bagian dari cultural studies dimana salah satu substansinya adalah ideologi. Teori ideologi merupakan teori yang berkaitan dengan penelitian semiotika dalam film dukumenter Presiden Republik Abu-abu ini. Teori – teori ideologi menekankan bahwa semua komunikasi dan makna memiliki dimensi sosial politik, dan bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dipahami di luar konteks sosial. Ideologi selalu bekerja menguntungkan pemegang kuasa, bagi kelas – kelas yang memiliki kuasa mendominasi produksi dan distribusi tidak hanya barang, tetapi pemikiran dan makna.
“Bukan kesadaran yang menentukan keadaan manusia, akan tetapi keadaan (sosial) yang menentukan kesadaran manusia.” (Marx dalam Storey, 2001). Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana ideologi beroperasi; terciptanya distorsi realita atau kesadaran palsu. Ideologi berhubungan dengan tema-tema besar seperti pandangan dunia (worldview) dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian keberlangsungan masyarakat (social order) tidaklah bebas nilai, melainkan dikompetisikan dan dinegosiasikan antara idelogi dominan dengan ideologi subordinat.
(53)
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Penulisan
Sumber: Peneliti (2014) Representasi Pesan Kritik Sosial
Film Dokumenter Presiden Republik Abu-abu
Kode – Kode Televisi John Fiske
Level Realitas
Analisis
Level Ideologi Level Representasi
(54)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah melakukan analisis data yang didapat dalam penelitian, kemudian diuraikan pada Bab IV berupa hasil penelitian dan pembahasan, maka pada Bab ini peneliti dapat memberikan kesimpulan dan saran, kesimpulan dan saran perlu diberikan agar menjadi masukan perbaikan dalam ilmu pengetahuan, secara spesifik keilmuan bidang ilmu komunikasi, agar terciptanya perbaikan dan perubahan menuju kearah yang lebih baik.
5.1 Kesimpulan
Setelah peneliti menganalisis tiga kategori sequence yaitu sequence prolog,
ideological content dan epilog dengan jumlah sequence sebanyak enam sequence dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu, peneliti menemukan untuk mrnggambarkan kritik sosial dalam film dillakukan dengan memadukan kode-kode dalam level relaitas, level representasi lalu dengan penggambungan keduanya maka menghasilkan level ideologi yangmuncul.
Dari tiga kategori sequence yang diteliti, maka penggambaran perbudakan pada level realitas, level representasi dan level ideologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada Level Realitas, Dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu, Ricardo Hutahean menjadi inti alur jalannya cerita. Ricardo Hutahean menilai pemerintah tidak memberikan perhatian lebih akan
(55)
permasalahankependudukan di Kampung Beting sehingga warga Kampung Beting sulit untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan dan surat – surat berharga salah satunya Kartu Tanda Penduduk (KTP).Sehingga warga membentuk sebuah Forum Bersama Penggugat Kampung Beting(FOMAGAT) forum ini bertujuan untuk menyampaikan ketidak puasannya terhadap pemerintah tentang permasalahan ke pendudukan di kawasan Kampung Beting.
2. Pada Level Representasi, akibat di anggap sebagai warga ilegal sosok Ricardo Hutahean muncul yang merupakan penggiat masalah sosial di kawasan abu – abu Kampung Beting merupakan sosok yang berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat di daerah yg terkenal keras ini. Pria berusia 37 tahun ini kemudian berupaya memberikan kemudahan akses pendidikan melalui program informal seperti bimbingan belajar, pendidikan anak usia dini, dan kursus gratis.
3. Pada Level Ideologi, Selain menganalisis melalui The Codes of Television
John Fiske, peneliti juga menghubungkan pesan film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini dengan Teori Ideologi Hegemoni Antoni Gramsci yang menekankan bahwa karena kondisi – kondisi sosial material mereka yang berlawanan dengan cara berpikir dominan, sehingga memunculkan perlawanan terhadap ideologi dominan.
4. Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu – abu,Ricardo Hutahen menjadi sebagai tokoh masyarakat yang dinilai menjadi “presiden” di kawasan abu-abu atau warga ilegal
(56)
Film merupakan salah satu saluran media massa yang fungsinya adalah sebagai pengirim pesan kepada penontonnya, pada zaman seperti sekarang ini film merupakan salah satu alat penyampain pesan yang cukup efektif, dimana dari segi penyampaiannya di ceritakan kedalam sebuah cerita fiktif atau nyata, namun di balik semua cerita tersebut terdapat pesan – pesan khusus yang melekat pada film tersebut, dan biasanya bila melalui ceita film sering terjadi ikatan yang membawa emosi penonton untuk masuk kedalam cerita film tersebut. Seperti contoh pada film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini penulis menemukan pesan – pesan kritik sosial entah itu yang implisit ataupun yang eksplisit, namun disini penulis dapat menangkap secara jelas makna – makna kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu.
Film dokumenter Presiden Republik Abu – abu secara keselutuhan berusaha menyampaikan makna perjuangan warga Kampung Beting di tengah keterbatasan untuk mendapatkan hak – hak sebagai warga negara.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Bagi Universitas
1. Analisis semiotik merupakan sebuah analisis yang tepat untuk meneliti sebuah komunikasi yang banyak dibangun oleh tanda – tanda, dalam hal ini misalnya komunikasi massa yang berbentuk film. Oleh karena itu, penelitian mengenai kedalaman makna serta tanda sepatutnya perlu dikembangkan kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat memaknai bentuk – bentuk komunikasi, khususnya
(57)
media komunikasi massa (film). Sehingga mahasiswa pada akhirnya mampu memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan perfilman di Indonesia.
2. Peneliti berharap pada program studi agar dapat diadakan suatu forum untuk membahas serta mengkaji ragam penelitian cultural studies
dimana di dalamnya tentu saja membahas analisis semiotika dari sebuah film, videografi, fotografi, dan lain – lain yang merupakan media komunikasi. Serta dengan adanya forum yang mengkaji analisis semiotika, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa dalam mengungkap fenomena yang terkait dengan Ilmu Komunikasi.
5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian dengan menggunakan analisis semiotika yang dilakukan terhadap suatu bentuk komunikasi adalah hal yang menarik untuk diteliti, dengan menggunakan analisis semiotika kita dapat mengetahui makna – makna yang kadang tidak kita sadari keberadaannya.
Diharapkan untuk mahasiswa yang akan melakukan analisis semiotika dengan bentuk komunikasi massa seperti film, pilihlah film yang mempunyai nilai – nilai kehidupan yang dapat diaplikasikan di kehidupan yang nyata.
5.2.3 Saran Bagi Publik
Agar publik lebih bisa memilah dan lebih cermat memilih tontonan apa yang lebih baik untuk di tontonnya, dan juga menjadi perhatian lebih
(58)
bagi orang tua agar lebih memperhatikan tontonan apa saja yang di tonton oleh anaknya, karena efek media massa dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
(59)
John Fiske Presiden Republik Abu-abu)
By:
Aris Rahmansyah NIM: 41809078
This thesis under the guideance Drs. Manap Solihat M.Si
The objective of the research was to find out the semiotic meaning on the messages of social criticisms contained in documentary film Presiden Republik Abu – abu (President of Gray Republic), to analyze what are the meanings existing in documentary film Presiden Republik Abu - abu related to the messages of social criticisms, that is, at reality, representation, and ideology levels.
The research used a qualitative method with a research design of semiotic analysis of John Fiske The Codes of Television. The data collection techniques used were library study, documentary study, interview, and internet searching. The object analyzed was documentary film Presiden Republik Abu - abu, by diving into 3 sequences that sequence prologue, sequence ideological content and epilogue, which representation 3 levels namely the level reality, level representation and level ideology
The results research showed that the level of reality illustrates delivering messages of social criticism Ricardo Hutahean assess the government does not give more attention to the problem of residents in village Beting, so that residents village Betingdifficult to get access to health, education and valuable documents such as identity cards. The level representation, the figure of Ricardo Hutahean show up which is the initiator of social issues to change the mindset of the citizens of the village Beting. the level of ideology, that is the message to be conveyed in the documentary Presiden Republik Abu – abu through scenes - scenes that exist in sequence, researchers connecting the message to in the dokumentery Presiden Republik Abu – abu with the theory of the ideology hegemoni of Antonio Gramsci how Ricardo Hutehean is describeb as hegemonic figure who managed to make changes in the middle of its limitations.
The conclusion of this research indicates, Ricardo Hutahean who fought in the midst of limitation to get right as Indonesia citizens. Advice for academics that semiotic analysis is an analysis that is appropriate for a film, and advice for the audience should be wise in choosing quality films for witnessing.
(60)
REPUBLIK ABU-ABU” KARYA MUTIARA PARAMITHA ANDIKA DAN AFIEF RIYADI
(Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter “Presiden Republik Abu –Abu”)
ARTIKEL
Presiden Republik Abu-abu terpilih sebagai film terbaik dalam kompetisi film dokumenter Eagle Awards 2011 karya Mutiara Paramitha Andika dan Afief Riyad. Film yang mengisahkan tentang perjuangan sekelompok warga yang tinggal di Kampung Beting Remaja di Jakarta Utara yang dikenal sebagai grey area yang merupakan Penduduk yang bertempat tinggal di lokasi milik orang lain, atau sering disebut sebagai warga ilegal. Akibat predikat tersebut warga kampung ini tidak memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara. Akses terhadap kepemilikan Akta, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan layanan kesehatan tidak mereka dapatkan. Ke tidak jelasan identitas menjadi kendala pokok untuk mendapat penghidupan yang layak. Ricardo Hutahean adalah penggiat masalah sosial di kawasan abu-abu Kampung Beting merupakan sosok yang berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat di daerah yg terkenal keras ini. Pria berusia 37 tahun ini kemudian berupaya memberikan kemudahan akses pendidikan melalui program informal seperti bimbingan belajar, pendidikan anak usia dini, dan kursus gratis. Ternyata setelah Indonesia merdeka potret kehidupan seperti ini masih tetap ada dan ini membuka mata kita semua bahwa masih ada orang-orang yang mau berjuang dengan keterbatasan bagi Indonesia yang lebih baik. Presiden Republik Abu-abu merupakan film dokumenter yang memiliki banyak pesan yang akan di sampaikan kepada khalayak, pesan - pesan tersebut dapat tertangkap secara visual ataupun lisan.
Film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. Film dokumenter biasanya di
(61)
Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat. Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan nilai kritik sosial terhadap permasalahan yang disampaikannya. Kata kritik, arti harfiahnya yang dapat diperoleh dari kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh argumentasi baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi maupun tindakan seseorang atau kelompok. Kritik adalah mekanisme yang bermanfaat untuk menjalankan kontrol. Kritk sosial salah satu bentuk komunikasi dalam masyaraket yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Berbagai tindakan sosial ataupun
individual yang menyipang dari orde sosial maupun norma nilai sosial dalam masyrakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Kritik sosial yang dimagsudkan penelitian ini adalah film dokumentasi menjadi salah satu sarana dalam menyampaikan kritik yang dinilai cukup baik.
Tidak semua kode merepresentasikan pesan kritik sosial pada film dukumenter Presiden Republik Abu – abu. Kode – kode yang muncul, seperti kode penampilan, ekspresi dan dialog memiliki arti penting dalam film ini sebagai representasi kritik sosial. Namun ada juga beberapa kode yang berfungsi sebagai penunjang kode – kode yang lain, seperti kode lingkungan, kostum, gesture, musik, suara, tata rias, kamera, pencahayaan dan lain sebagainya. Walaupun kode – kode tersebut sebagai penunjang, namun keberadaan kode – kode tersebut tidak dapat dihilangkan keberadaannya, karean kode – kode penunjang berfungsi sebagai alat kesatuan yang menyatukan keselarasan satu kode dan kode lainnya dalam film tersebut, sehingga penonton dapat melihat peristiwa yang terjadi dalam film sebagai sesuatu yang nyata dan kritik sosial film dapat ditangkap dan dipahami.
Dari perpaduan kode – kode yang saling melengkapi untuk menyampaikan makna dalam film, maka peneliti melihat film dukumenter Presiden Republik Abu – abu ini sesuai dengan The Codes of Television yang dituliskan oleh John Fiske dalam buku Television
(62)
Presiden Republik Abu – abu ini, dapat dilihat kode – kode yang telah dipaparkan pada pembahasan sub-bab sebelumnya, disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami sebagai sebuah realitas dan makna yang ingin disampaikan dan dapat ditangkap oleh penonton dengan baik.
Dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu terdapat pesan – pesan bermuatan kritik sosial yang telah teridentifikasi kemuduan dianalisis. Kritik sosial antara lain sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau merupakan proses bermasyarakat, dalam kontek inilah kritik sosial merupakan salah satu faktor penting dalam memelihara sistem sosial. Salah satu jenis kritik yang ada dalam film dukumenter Presiden Republik Abu – abu yaitu kritik sosial. Dalam pembahasan ini, apa saja yang menjadi makna – makna yang terdapat dalam squence yang menjadi subjek peneliti yang mewakili tentang pesan kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu.
Dari perpaduan kode – kode yang saling melengkapi untuk menyampaikan makna film dokumenter Presiden Republik Abu – abu, maka peneliti melihat film Presiden Republik Abu – abu ini telah sesuai dengan The Codes of Television yang dituliskan oleh John Fiske dalam bukunya Television Culture. Dalam pembahasan ini penulis mencoba membagi kedalam tiga level, sesuai dengan Kode – Kode Televisi John Fiske.
Pada level realitas penulis membagi sequence kedalam tiga bagian, sesuai dengan narasi propp. Sequence pembuka yaitu pada Sequence Prolog menceritakan merupakan tahap pembentuk cerita dalam film dengan memperkenalkan para tokoh serta situasi awal dari permasalahan yang terjadi dalam film, dan merupakan tahap yang menunjukan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi oleh para tokoh dalam film.
Dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu, Ricardo Hutahean menjadi inti alur jalannya cerita dimana Ricardo memerankan dirinya sendiri sehingga mampu menggambarkan apa adanya keadan dan kondisi yang sebenarnya terjadi, hal tersebut diperkuatnya dengan make up yang terlihat sangat natural bahkan terkesan alami tanpa make up, lalu kostum yang digunakan oleh Ricardo Hutahean hanya menggunakan pakaian
(1)
Beting tidak terdaftarnya sebagai warga yang tinggal di daerah Jakarta sehingga sulitnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan dokumen – dokumen yang di perlukan oleh warga.
Pada Level Ideologi, selain menganalisis melalui The Codes of Television John Fiske, peneliti juga menghubungkan pesan film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini dengan Teori Ideologi Hegemoni Antoni Gramsci yang menekankan bahwa karena kondisi – kondisi sosial material mereka yang berlawanan dengan cara berpikir dominan, sehingga memunculkan perlawanan terhadap ideologi dominan. Teori Gramsci menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan hal yang terlihat mungkin terjadi. Dalam film Dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini pun Ricardo Hutahean muncul dan di gambarkan sebagai tokoh hegemonik, memperjuangkan warga Kampung Beting untuk menadapatkan hak – haknya sebagai warga negara, pemerintah digambarkan menjadi ideologi dominan yang masih menganggap warga Kampung Beting merupakan warga ilegal.
Film merupakan salah satu saluran media massa yang fungsinya adalah sebagai pengirim pesan kepada penontonnya, pada zaman seperti sekarang ini film merupakan salah satu alat penyampain pesan yang cukup efektif, pada film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini penulis menemukan pesan – pesan kritik sosial, disini penulis dapat menangkap secara jelas makna – makna kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu.
Setelah peneliti menganalisis tiga kategori sequence yaitu sequence prolog, ideological content dan epilog dengan jumlah sequence sebanyak enam sequence dalam film dokumenter Presiden Republik Abu-abu, peneliti menemukan untuk mrnggambarkan kritik sosial dalam film dillakukan dengan memadukan kode-kode dalam level relaitas, level representasi lalu dengan penggambungan keduanya maka menghasilkan level ideologi yang muncul.
Dari tiga kategori sequence yang diteliti, maka penggambaran perbudakan pada level realitas, level representasi dan level ideologi tersebut adalah pada Level Realitas, Dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu, Ricardo Hutahean menjadi inti alur jalannya cerita. Ricardo Hutahean menilai pemerintah tidak memberikan perhatian lebih akan permasalahan kependudukan di Kampung Beting sehingga warga Kampung Beting
(2)
sulit untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan dan surat – surat berharga salah satunya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sehingga warga membentuk sebuah Forum Bersama Penggugat Kampung Beting (FOMAGAT) forum ini bertujuan untuk menyampaikan ketidak puasannya terhadap pemerintah tentang permasalahan ke pendudukan di kawasan Kampung Beting. Pada Level Representasi, akibat di anggap sebagai warga ilegal sosok Ricardo Hutahean muncul yang merupakan penggiat masalah sosial di kawasan abu – abu Kampung Beting merupakan sosok yang berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat di daerah yg terkenal keras ini. Pria berusia 37 tahun ini kemudian berupaya memberikan kemudahan akses pendidikan melalui program informal seperti bimbingan belajar, pendidikan anak usia dini, dan kursus gratis. Pada Level Ideologi, Selain menganalisis melalui The Codes of Television John Fiske, peneliti juga menghubungkan pesan film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini dengan Teori Ideologi Hegemoni Antoni Gramsci yang menekankan bahwa karena kondisi – kondisi sosial material mereka yang berlawanan dengan cara berpikir dominan, sehingga memunculkan perlawanan terhadap ideologi dominan. Representasi Kritik Sosial Dalam Film Dokumenter Presiden Republik Abu – abu,Ricardo Hutahen menjadi sebagai tokoh masyarakat yang dinilai menjadi “presiden” di kawasan abu-abu atau warga ilegal.
Film merupakan salah satu saluran media massa yang fungsinya adalah sebagai pengirim pesan kepada penontonnya, pada zaman seperti sekarang ini film merupakan salah satu alat penyampain pesan yang cukup efektif, dimana dari segi penyampaiannya di ceritakan kedalam sebuah cerita fiktif atau nyata, namun di balik semua cerita tersebut terdapat pesan – pesan khusus yang melekat pada film tersebut, dan biasanya bila melalui ceita film sering terjadi ikatan yang membawa emosi penonton untuk masuk kedalam cerita film tersebut. Seperti contoh pada film dokumenter Presiden Republik Abu – abu ini penulis menemukan pesan – pesan kritik sosial entah itu yang implisit ataupun yang eksplisit, namun disini penulis dapat menangkap secara jelas makna – makna kritik sosial dalam film dokumenter Presiden Republik Abu – abu.
Film dokumenter Presiden Republik Abu – abu secara keselutuhan berusaha menyampaikan makna perjuangan warga Kampung Beting di tengah keterbatasan untuk mendapatkan hak – hak sebagai warga negara.
(3)
(4)
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
Ardianto Elvinaro, Erdinaya K, Lukiati, dan Karlinah Siti.2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Prkatek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Effendy, Heru. 2006. Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser. Yogyakarta: Pustaka Konfiden
Fiske, John.2010. Cultural and Communiaction Studies. Yogyakarta : Jala sutra
Fiske, John.1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in Publication Data
Lexy J. Moleong, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Littlejihon, Stephen W, Foss Karen A . 2009. Teori Komunikasi Theories of Human Communication. Jakarta : Salemba Humanika
Mulyana, Deddy. Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nugroho, Fajar.(2007).Cara Pintar Bikin Film Dokumenter, Yogyakarta: Galangpress
(5)
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-DasarApresiasi Film. Jakarta: PT.
Grasindo
Susanto, Astrid, S. 1985. Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam masyarakat dan Negara, Prisma dalam Demokrasi Persdan Politik. Jakarta: LP3S
Wibowo, Indiwan, Seto Wahju. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: MitraWacana Media
B. INTERNET
1. http://amriawan.blogspot.com/2011/11/presiden-republik-abu-abu-film-terbaik.html (21 Febuari 2014/00:07)
2. http://arisputrablog-com.blogspot.com/2012/03/pengertian-film-dokumeter.html (21 Febuari 2014/20:47)
3. http://budiwijayaberjaya.blogspot.com/2012/03/komunikasi-menurut-para-ahli.html (19 Febuari 2014/01.45)
4. http://eprints.undip.ac.id/38470/4/Bab_3.pdf (17 Maret 2014/00:57)
C. KARYA ILMIAH
Representasi Waktu Dalam Film In Time (Analisis Semiotika John Fiske Tentang Representasi Waktu Dalam Film In Time), Skripsi, Berry Arneldi (2009) Universitas Komputer Indonesi.
(6)
Representasi Kesetaraan Ras Dalam Film Lincoln (Analisis Semiotika John Fiske Dalam Film Lincoln), Skripsi, Bayu Rizki Maulana (2009) Universitas Komputer Indonesia.
Representasi Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah (Analisis Semiotika Roland Barthes Dalam Film Lentera Merah Mengenai Kebebasan Pers Mahasiswa), Skripsi, Yasa Yaser Dwi (2008) Universitas Komputer Indonesia