Konstruksi Sosial Kehidupan Penjual Tahu Dalam Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Choiril Chodri

108051100025

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013/1434 H


(2)

(3)

(4)

(5)

i Nama : Choiril Chodri

NIM : 108051100025

Film features dokumenter “Dongeng Rangkas” merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan kehidupan penjual tahu di Rangkasbitung, Banten. Walapun film ini dibangun dari realitas yang sebenarnya, namun dibubuhi aspek sinema dan features agar menjadi film yang sebenarnya bukan sekedar memberikan informasi seperti film dokumenter pada umumnya.

Melihat persoalan tersebut, bagaimana konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam film features dokumenter dongeng rangkas? Faktor apa saja yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam film featutes dokumenter dongeng rangkas? Bagaimana cara mengetahui alur features dalam film dokumenter Dongeng Rangkas?

Adapun teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Melalui teori ini peneliti menelaah konstruksi realitas filmfeaturesdokumenter secara umum, dan film “Dongeng Rangkas” dari kehidupan penjual tahu yang ada dalam film tersebut.

Metodologi penelitan yang digunakan adalah metodologi kualitatif deskriptif. Sumber data diperoleh dari observasi dengan ikut serta membuat film dokumenter dengan Forum Lenteng, wawancara semua sutradara. Selain itu juga data diperoleh dari buku, internet dalam hal ini situs resmi film “Dongeng Rangkas”, dan akumassa.

Konstruksi sosial film features dokumenter “Dongeng Rangkas” terjadi melalui tiga tahapan yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pada tahap eksternalisai terjadi proses interaksi dan ekspresi diri sutradara dalam realitas penjual tahu. Tahap objektivasi sebagai interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan. Sedangkan tahap internalisasi merupakan upaya individu mengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu berada.

Jadi konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam film features

dokumenter Dongeng Rangkas bersifat realitas objektif dan subjektif. Realitas objektif sutradara tidak merubah realitas yang sebenarnya dalam kehidupan penjual tahu, dan subjekif karena adanya proses penyerapan realitas kehidupan penjual tahu dalam pemikiran sutradara dan dibentuk menjadi film dokumenter sesuai kaidah-kaidah film sertafeatures.

Faktor yang mempengaruhi filmfeaturesdokumenter “Dongeng Rangkas” dilandasi atas dasar kondisi pendidikan, sosial, dan ekonomi para pembuat dan penjual tahu. Adapun alur features nya terlihat dari banyaknya unsur human interest,adanyalead, body, ending,dan karya yang tidak mudah basi.


(6)

ii

Bismillahirahmanirrohim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan nikmat-Nya, serta tidak lupa penulis sampaikan salawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis merasa bersyukur atas selesainya skripsi ini setelah mengenyam pendidikan jurnalistik di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skripsi ini penulis menemukan banyak sekali pengalaman dan wawasan baru yang dapat memicu penulis untuk terus belajar dan berkarya.

Penulis mengucapkan terimaksih kepada kedua orang tua almarhum Bapak H. Muhammad Saidurrosyd dan Ibu Hj. Mudrikah yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu terimakasih buat adik Choirul Syamsudin dan Ferdiansyah yang telah memberikan semangatnya, serta tidak lupa berterimaksih kepada seorang wanita Eva Dewi Purita yang selalu menemani penulis, memberikan semangat, serta menjadi teman diskusi dalam pengerjaan skripsi ini.

Terselesainya skripsi ini dipengaruhi oleh orang-orang yang berjasa. Oleh karena itu penulis ini menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arif Subhan, MA Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 2. Rubiyanah, MA selaku ketua Jurusan dan Ibu Ade Farida, M.Si selaku sekretaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik yang senantiasa membantu


(7)

iii

memberikan bimbingan dan arahanya kepada penulis. Beliau adalah orang yang berarti bagi penulis skripsi ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala ilmu dan pencerahan yang diberikan. 5. Segenap Staff TU dan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan pelayanan baik kepada penulis.

6. Perpustakan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan Djuanda, Perpustakaan Forum Lenteng atas referensi buku-buku yang digunakan penulis dalam skripsi ini.

7. Fuad Fauzi, Badrul Munir, Syaiful Anwar, dan Andang Kelana sebagai narasumber dalam dalam pengumpulan data skripsi ini.

8. Hafiz Rancajale dan Mahardika Yudha yang telah memberikan arahan mengenai film, dan film dokumenter serta sebagai salah satu narasumber dalam pengumpulan data.

9. Teman-teman jurnalistik terutama yang dipertemukan di Jurnalistik A. Kelas ini begitu indah atas segala rasa, cita dan asa yang telah terjalin selama ini.

10. Lembaga organisasi yang menjadi tempat bagi penulis untuk belajar, berkarya, dan berimajinasi serta bercanda tawa. Komka Uin, Komunitas Djuanda, Forum Leneng, Ikatan Mahasiswa Purworejo Jakarta Raya


(8)

iv revienspurworejo.com

11. Teman-teman terbaik yang menjadi sandaran dari cerita klasik dan masa dimana kebersamaan selalu menghadirkan canda, tawa, imajinasi akan masa depan Arofi Teja Pradana, Drajat Wahyu Hndoko (Pembina Imapurjaya), Endang Sulistiyowati, Al muhaimin, Femi Dinda Proklamasi, Wahyu Puji Lestari, Aditiyo Kusumo, Muhammad Khoirudin, Khamid, M.Khayatul Khikam, Ray Sangga Kusuma, Imam FR, Muhammad Tohir, Mufti Al umam, Rizki M Zein, Renal Rinoza, Faraby Ferdiansyah, Eni Wibowo, Jayu Julie, Mukhlis, Nur Hidayati, Miftahul Fikiri, M. Reza, Reza Andrian, Rizky Aditya.

Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, namun dukungan orang-orang yang membantu baik langsung atau tidak langsung penulis sangat hargai dan berterimakasih banyak.

Ciputat, 10 September 2013 Penulis


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...9

D. Manfaat Penelitian ...10

E. Metodologi Penelitain...10

1. Metode Penelitian ...10

2. Subjek dan Objek Penelitian...11

3. Teknis Pengumpulan Data ...11

4. Teknis Analisis Data ...13

F. Tinjauan Pustaka...13

G. Sistematika Penulisan ...14

BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Konstruksi Sosial ...16

B. Film Features Dokumenter ...22

1. Film ...22

2. Features ...25


(10)

vi

A. Gambaran Umum Film Dongeng Rangkas...37

1. Sinopsis Film ...37

2. Produksi Film...38

3. Tim Produksi Film ...40

4. Biografi Singkat Sutradara...41

B. Gambaran Umum Komunitas Pembuat Film...49

BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN A. Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas ...52

B. Konstruksi Sosial dalam Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas ...54

1. Tahap Eksternalisasi ...57

2. Tahap Objektivasi ...60

3. Tahap Internalisasi ...61

C. Faktor Konstruksi Sosial dalam Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas ...66

Alur Features dalam Film Dokumenter Dongeng Rangkas ...70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...73

B. Saran ...76

DAFTAR PUSTAKA ...77 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini film dokumenter semakin banyak peminatnya. Banyak bermunculan pembuat film dokumenter baik dari kalangan independen, pendidikan, dan pertelevisian. Walaupun banyak bermunculan pendatang baru di dunia dokumenter, namun film dokumenter di Indonesia masih menjadi anak tiri dalam medan dunia perfilman Indonesia.

Perhatian masyarakat dan lembaga pembuat film lebih memberikan ruang lebih terhadap fiksi dibandingan dengan film dokumenter. Hal itu mungkin didasari atas lebih glamornya film fiksi, namun masyarakat dan instansi pembuat film melupakan bahwasanya film dokumenter pada hakekatnya adalah apa yang disebut dengan kultural eduktif.1

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan film dokumenter di luar negeri seperti di Eropa, film dokumenter sudah ditempatkan sejajar dengan fiksi.2 Hal itu didasari perkembangan film Eropa jauh lebih maju dibandingkan Indonesia. Selain itu juga keadaan ini disebabkan ada bebearapa faktor dianatranya, selama sejarah perfilaman Indonesia tidak ada rumusan yang jelas terhadap apa yang dimaksud dengan film

1

D. A. Peransi,Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.45. 2

Didapat dari pengamatan langsung penulis terhadap film dokumenter, serta masyarakat terhadap film dokumenter di Denmarak saat mengunjungi festival film dokumenter bertaraf internasional di Copenhagen, Denmark September 2012.


(12)

dokumeter, dalam kekosongan rumusan pendapat lain dibentuk oleh film berita, dan film laporan, film dokuementer dibuat oleh perusahaan film Negara (PFN) dan swasta hampir tidak ada yang membuatnya, kecuali Perfini yang hanya membuat beberapa film di tahun 1950 dan 1960 an.3

Di Eropa pada umumnya atau di Denmark secara khusus yang penulis kunjungi pada Copenhagen International Documentary Film Festival (CPH:DOX), masyarakat dari kalangan remaja, hingga orang tua sangat antusias menghadiri setiap pemutaran film dokumenter yang diputar di teater yang ada di kota Copenhagen, Denmark saat berlangsungnya festival film dokumenter bertaraf internasioanal tersebut.

Hampir disetiap teater atau tempat pemutran lain penontonya memenuhi tempat pemutaran tersebut. Dalam setiap pemuataran pegunjung harus membayar tiket seperti halnya kita menonton film fiksi di bioskop-bioskop Indonesia. Berbeda halnya dengan di Indonesia, walapun penonton diberi gratis, namun antusias masyarakat terhadap film dokumenter masih kecil.

Walapun di Indonesia film dokumenter masih menjadi anak tiri, namun tidak sedikit pembuat film dokumenter di Indonesia dan setiap pembuat film dokumenter juga memiliki gaya sendiri dalam pembuatannya serta memiliki kepentingan yang berbeda pula. Tidak berbeda halnya dengan seorang pembuat film dokumenter yang membuat film dengan tema-tema islami juga memiliki kepentingan sediri, baik

3


(13)

untuk memberikan pemahaman islam secara global, atapun menyiarkan kebaikan kepada orang lain.

Setiap orang dapat menyerukan kebaikan kepada orang lain dengan jalan dan caranya sediri sesuai dengan keahilannya. Seorang da’i menyiarkan kebaiakn kepada orang lain dengan berdakwah di masjid-masjid atupun majelis ta’lim.

Berdakwah atau menyiarkan kebaikan kepada orang lain tidak hanya dengan menggunakan lisan seperti yang biasa da’i lakukan, namun juga dapat menggunakan media. Di era informasi dan media yang semakin berkemabang ini, seharusnya umat islam pada umumnya dan da’i pada khususnya mampu memanfaatkan media untuk melakukan dakwahnya atau menyampakaikan informasi mengenai islam. Salah satunya dengan menggunakan media film, baik film fiksi, ataupun film dokumenter. karena film adalah media penyampai informasi, atau sebagai media pendidikan yang sangat efektif.

Penyampaian informasi atau pendidikan menggunakan film itu merupakan proses komunikasi, seperti halnya berdakwah juga merupakan proses komunikasi yang dilakukan oleh pendakwah kepada jama’ahnya. Menurut Berelson dan Stainer yang dikutip dalam buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” adalah sebuah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, atau keahlian dengan melalui kata-kata, gambar-gambar, atau angka-angka.


(14)

Film fiksi dan film dokumenter merupakan sebuah gambar bergerak yang memiliki alur cerita. Di dalam alur cerita tersebutlah informasi atapun gagasan yang mengandung unsur pendidikan dimasukkan oleh sang sutradara. Oleh karena itu film dapat dimanfaatkan menjadi media dakwah yang sangat efektif.

Jika film menjadi media dakwah tentunya memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan media lain atau cara berdakwah lainya. Lewat media film, pesan dakwah disampaikan dengan memperlihakan cerita yang enak dilihat dan akan lebih mudah dirasakan, serta mudah menyentuh hati penontonya. Hal itu senada dengan ajaran Allah SWT. Yang mana dalam memberikan pesan kepada orang lain hendaknya dilakukan secara qawlan syadidan, yaitu pesan yang dikomunikasikan dengan benar, menyentuh, dan membekas dalam hati.4

Walaupun film dapat digunakan sebagai media dakwah dan banyak yang membuat film doumenter dengan berbagai kepentingan, namun pada dasarnya semua film dokumenter dibuat dari peristiwa nyata apa adanya.5 Film tersebut dikonstruk dari peristiwa nyata atau realitas yang terjadi dalam masyarakat.

Dari realitas itulah kemudian dibentuk menjadi sebuah cerita sesuai dengan keinginan sang sutradara dengan tanpa meninggalkan kisah aslinya, namaun dibumbuhi dengan aspek-aspek sinema yang sutradara

4

Widjaja, Ilmu Komunikasi Dan Pengantar Studi, (Jakarta, PT Rineka Cipta,2000),hal.79

5

Gerzon R. Ayawaila,Dokumenter dari Ide Sampai Produksi,(Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2008.), h.22.


(15)

ketahui. Atas dasar itulah banyak yang beranggapan jika film dokumenter sudah bukan lagi realitas seperti reaitas aslinya.

Dalam pembuatan film dokumenter seperti halnya kita mendokumentasikan suatu kejadian, ataupun permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Proses pendokumentasian itu tidak langsung dapat disebut sebuah film dokumenter karena di dalam sebuah film dokumenter masih banyak asepek-asepek pendukung di dalamnya. Aspek pendukung yang dapat menjadikan sebuah dokumentasi menjadi sebuah film dokumenter yang utuh. Aspek-aspek dalam film dokumenter di antaranya memiliki konten informasi ataupun pengetahuan, gagasan terhadap film dokumenter itunya sendiri, dan penyutradaaraan dalam membangun cerita.6

Film dokumenter yang memiliki aspek informasi atau pengetahuan merupakan konteks dari dokumenter media massa (televisi) karena dokumenter tersebut berkaitan juga dengan jurnalisme. Dalam jurnalisme, informasilah yang sangat ditekankan, karena film dokumenter dalam konteks ini merupakan media informasi selain berita-berita pada umumnya.

Kenyataan dalam jurnalisme itu sendiri adalah sebuah informasi, Namun film dokumenter dalam konteks sinema yang sebenarnya adalah sebuah ide (gagasan) dan drama. ‘Sinema adalah fenomena gagasan’

6

Obrolan Pribadi dengan Bang Hafiz Rancajale (Salah Seorang Pembuat Film Dokumenter di Indonesia)


(16)

(Andre Bazim).7 Dalam hal ini, pembuat film selain membuat sebuah alur cerita agar film lebih menarik, juga memang harus menunjukkan gagasan apa yang akan diberikan kepada khalayak lewat karya filmnya tersebut.

Namun, pada dasarnya semua dokumenter baik yang masuk dalam konteks media massa ataupun sinema, di dalamnya ada usur informasi, baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam memberikan informasinya kepada penonton. Semua tergantung bagaimana sang pembuat film dalam mengemasnya dan jenis dokumenter apa yang sedang dibuatnya.

Bentuk yang digunakan sang sutradara dalam mengemas film dokumenter bisa dengan pendekatan naratif yang lebih menekankan pada titik narasai. Narasi dalam film dokumenter terkadang lebih menekankan sebuah informasi apa yang akan di berikan kepad khalayaknya. Adapula dengan pendekatan features dokumenter yang lebih menekankan aspek

humant interst dan lebih menekankan gagasan apa yang ada dalam film tersebut. Dalam penelitan ini, penulis lebih menekankan pada penelitian filmfeaturesdokumenter.

Dalam konteks sinema, informasi dalam sebuah film dokumenter tidak begitu terlihat, karena bangunan sinematis yang lebih ditonjolkan, seperti halnya kita melihat sebuah film non dokumenter. Seperti pada jenis dokumenter features, informasi yang ada di dalamnya mengalir dan tidak terlalau tampak memberikan sebuah informasi kepada penonton. Features

7

Andre Bazim. Sinema Apakah itu?. (Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.9.


(17)

itu sendiri dalam kajian jurnalistik termasuk dalam sebuah reportase yang dikemas secara lebih mendalam dan luas disertai sedikit sentuhan aspek

human interst agar memiliki dramatika.8 Features tersebut merupakan dokumenter televisi, yang lebih menekankan pada aspek reportasenya.

Berbeda halnya dengan film featuresdokumenter, yang mana dalam film jenis ini tidak hanya ada unsur human interst, namun juga harus memfikirkan aspek sinema (film) yang sebenarnya dalam mengkonstruk filmfeaturesdokumenter.

Jadi dalam pembangunan atau mengkonstruk sebuah film feature

dokumenter harus menekankan aspek-aspek yang ada dalam feature

sendiri juga aspek cinema yang utuh. Walaupun pada dasarnya bahan dari bangunan features film dokumenter dan features televisi adalah realitas yang ada dalam masyarakat.

Dongeng Rangkasmerupakan sebuah filmfeaturesdokumenter yang diproduksi oleh dua Komunitas, yaitu Forum Lenteng (Jakarta), dan Saidjah Forum (Rangkasbitung, Banten). FilmDongeng Rangkasbercerita tentang aktivitas dua pemuda yang berasal dari Rangkasbitung yaitu Iron dan Kiwong. Keduanya merupakan penjual tahu di Kota tersebut. Walaupun seorang penjual tahu namun mereka masih memegang teguh mimpi-mimpinya. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan

8

Gerzon R. Ayawaila,Dokumenter dari Ide Sampai Produksi,(Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2008), h. 26.


(18)

Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.9

Walapun Iron seorang metal dan berada dalam jalur musik

underground, namun ia tidak lantas meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu sholat. Bagi Iron metal bukan tiga jari, namun satu jari telunjuk yang dimaknai olehnya sebagai perlambang syahadat. Selain itu film ini juga pernah meraih juara pertama dalam festival film dokumenter bertaraf nasional yang diadakan di Yogyakarta, serta pemutaran di Korea, Copenhagen dan pemutaran berbagai tempat di Indonesia.

Film ini dikonstruk atau dibangun dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat penjual tahu yang ada di Rangkasbitung, Banten. Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini diberi judul “Konstruksi Sosial Kehidupan Penjual Tahu Dalam FilmFeaturesDokumenterDongeng Rangkas”

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan, penulis membatasi ruang penelitain pada konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam filmfeaturesdokumenter Dongeng Rangkas.

9


(19)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dijabarkan oleh penulis, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam

featuresdokumenter Dongeng Rangkas?

b. Faktor apa saja yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam film

featuresDongeng Rangkas?

c. Bagaimana cara mengetahui alur features dalam film dokumenter Dongeng Rangkas?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemikiran dan rumusan masalah di atas, ujuan dari penelitian ini adalah:

1) Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana konstruksi realitas pada filmfeaturesdokumenter Dongeng Rangkas. 2) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam

film dongeng Rangkas.

3) Untuk mengetahui alur features dalam film dokumenter Dongeng Rangkas?


(20)

D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Dalam segi akademis selain dapat menambah pengetahuan serta wawasan tentang bagaimana sebuah realitas masyarakat dikonstruksi menjadi sebuah film dokumenter yang bergenre features, juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada disiplin ilmu jurnalistik dan sosiologi komunikasi dalam membangun sebuah realiatas pada filmfeaturesdokumenter .

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembuat film dokumenter, praktisi komunikasi, terutama disiplin ilmu sosiologi komunikasi, terlebih mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik agar lebih mengetahui bagaimana sebuah realitas dalam kehidupan manusia dibangun menjadi sebuah film

featuresdokumenter.

E. Metodologi Penelitian 1) Metode Penelitan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang bersifat kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk menyelidiki sebuah kedudukan atau status fenomena yang ada dalam masyarakat dan untuk melihat hubunganya antara satu faktor dengan


(21)

faktor yang lain10. Dengan metode ini akan dijabarkan mengenai bagaimana konstruksi realitas kehidupan penjual tahu dalam film

featuresdokumenterDongeng Rangkas. 2) Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitan ini adalah film features dokumenteer Dongeng Rangkas, Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kehidupan penjual tahu dalam film features dokumenter

Dongeng Rangkas.

3) Teknis Pengumpulan Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam penelitian ini, sedangkan data sekunder digunakan untuk diaplikasikan guna mempertajam analisis data primer, yaitu sebagai pendukung dan penguat data dalam penelitian.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui telaah materi filmfeatures dokumenterDongeng Rangkas, observasi dan wawancara dengan Sutradara dan pembuat film feature dokumenter Dongeng Rangkas. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, ensiklopedia, artikel, jurnal, atau tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian.

10

Andri Prastowo, Memahami Metode-metode penelitian, (Yogyakarta: Ar ruzza Media, 2001), h. 204


(22)

Telaah materi filmfeaturesdokumenterDongeng Rangkasyaitu menonton dan membedah setiap elemen-elemen dalam film feature

doumenter tersebut baik dari segi alur ceritanya, bahasa sinemanya, bagaimana realitas yang dikonstruksi dan menemukan konstruksi realitas kehidupan penjual tahu dalam film tersebut.

Observasi yaitu merupakan metode pengamatan langsung terhadap suatu benda, situasi dan kondisi yang masih ada relasinya terhadap apa yang ingin diteliti.11 Dalam hal ini, observasi yang dilakukan penulis yaitu ikut terjun langsung ke lapangan dengan mengikuti kegiatan memproduksi film dokumenter yang dilakukan oleh Forum Lenteng.

Wawancara (interview) merupakan sebuah bentuk komunikasi antara dua orang yang ingin mencari informasi dengan orang yang ingin diperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu12. Prosesnya bisa dilakukan secara langsung dengan bertatap muka langsung (face to face) dengan narasumber. Namun, bisa juga dilakukan dengan tidak langsung seperti melalui telepon, internet atau surat (wawancara tertulis) untuk mendapatkan informasi dari narasumber.

Langkah selanjutnya ialah mengolah hasil temuan atau data, melalui tinjauan kembali berkas-berkas yang telah terkumpul. Data

11

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), h.52

12

Dedi Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.180


(23)

yang diperoleh yaitu dari hasil telaah materi, observasi, wawancara, serta dokumentasi. Seluruh data tersebut nantinya akan dipaparkan dengan didukung oleh beberapa hasil temuan studi pustaka yang kemudian dianalisis.

4) Teknis Analisis Data

Analisa data yang digunakan penulis untuk mengetahui bagaimana konstruksi realitas kehidupan penjual tahu dalam film

features Dongeng Rangkas adalah dengan analisa deskriptif yang menggambarkan keadaan sebenarnya dalam film dan dianggap akurat serta meruangkannya kedalam konteks penulisan karya ilmiah, dengan cara merasakan, menerangkan, memberikan gambaran serta klasifikasi dan mengintrepretasikan data-data yang terkumpul secara apa adanya terlebih dahulu, kemudian menarik kesimpulan atas permasalahan yang berkaitan tersebut.

F. Tinjauan Pustaka

Skripsi yang menjadi acuan penulis untuk memfokuskan penelitian ini adalah skripsi berjudul Konstruksi Realitas Simbolik Pemberitaan Aborsi di Republika Online” karya Iradatul Aini, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatulaah Jakarta. Penulis memilih skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai acuan karena teori yang digunakan sama, yakni konstruksi realitas. Namun dalam skripsi tersebut media massa yang


(24)

menjadi subjek penelitian, sedangkan dalam skripsi ini film features

dokumenter yang menjadi subjek penelitian.

Adapun skripsi lain yang menjadi acuan penulis yaitu skripsi berjudul “Konstruksi Politik Kebudayaan di Layar Kaca Program Televisi Eagle Award Metro TV 2011 Bagimu Indonesia”. Karya Dwi Anggraini Puspa Ningrum, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis memilih skripsi tersebut sebagai acuan, karena sama-masa mengangkat tentang film dokumenter. Namun dalam skripsi tersebut bukanlah filmnya yang menjadi objek penelitian, namun program kompetisi film dokumenter, sedangkan dalam skripsi ini film dokumenternya yang menjadi objek penelitian. Selain itu keduanya juga menggunakan teori konstruksi realitas.

G. Sistematika Penulisan

BAB I akan diawali dengan memapaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II akan menguraikan kajian teoritis mengenai teori konstruksi atas realiatas. Pada sub bab selanjutnya akan menguraikan penjabaran mengenai tinjauan umum tentang film feature dokumenter, yang mana bahasannya akan difokuskan pada features, film, dokumenter, sejarah dan perkembangannya.


(25)

BAB III berisikan tentang gambaran umum film features dokumenter

Dongeng Rangkas, serta profil Komunitas pembuat film

BAB IV merupakan persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film features

dokumenter Dongeng Rangkas yang miliki korelasi terhadap konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam film, faktor yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam film dan alur features dalam film dokumenter Dongeng Rangkas.

BAB V merupakan akhir atau penutup dari skripsi ini yang berisikan mengenai kesimpulan dan saran penulis.


(26)

16

LANDASAN TEORI

A. Teori Konstruksi Sosial

Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dariUniversity of Frankfurt.

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal semenjak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan judul bukunya “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” tahun 1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif serta dilakukan secara terus menerus.1

Suatu proses konstruksi realitas sosial yang ada dalam masyarakat merupakan bentukan individu berdasarakan subjektivtas individunya tersebut. Di dalam masyarakat konstruksi realitas sosial dibentuk oleh individu berdasarkan pendapat subjektif dari masing-masing individu dari masyarakat yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan atau budaya dan nilai yang selalu dipegang oleh masyarakat.

1

Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi,(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.189


(27)

Dari kebiasaan masyarakat ini lah yang kemudian menjadi kontruksi realitas sosial.

Berger dan Luckman memulai sebuah penjelasan dalam bukunya bahwasanya realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang berada dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahawasanya realitas-realitas itu adalah kenyataan (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.2 Dalam kenyataanya realitas tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya sesorang, baik di dalam ataupun di luar realitas tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Berger, bahwasanya masyarakat tidak lain merupakan produk dari manusia dan manusia merupakan produk masyakat, namun seseorang dapat menjadi diri sendiri yang beridentitas ketika ia tetap tinggal dalam masyarakatnya. Dan proses dialektika tersebut terjadi menjadi tiga tahapan. Yang pertama Eksternalisasi: yang mana proses ini merupakan penyesuaian diri terhadap lingkunganya. Dalam hal ini usaha mencurahkan atau ekspresi diri ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia. Setiap individu akan mencurahkan semua yang ada dalam dirinya kepada tempat dimana dia tinggal. Manusia tidak akan dimengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha

2

Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi,(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 191


(28)

menangkap dirinya sendiri, dan menghasilkan suatu dunia. Dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam satu dunia.

Kedua objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.3Yang mana proses tersebut merupakan hasil dari proses eksternalisasi manusia tersebut. dari proses tersebutlah akan menghasilkan realitas objektif yang dapat menghadapi sang penghasil itu sendiri sebagai suatu faksilitas yang berada diluar dan berbeda dengan manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas suigeneris (berbeda dengan yang lainya). Lewat eksternalisasi kebudayaan manusia akan menghasilakan suatu alat untuk menunjang kehidupanya, serta kebudayaan non-materiil seperti halnya dalam bentuk bahasa.

Alat dan bahasa tersebutlah merupakan hasil dari proses ekternalisasi manusia berhadapan dengan dunia. Hasil dari manusia itulah merupakan realitas objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil produk kebudayaan, kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif. Yang mana hal tersebut berada diluar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas objekif tersebut berbeda halnya dengan kenyataan subjekif perorangan. Ia menjadi sebuah kenyataan yang empiris dan dapat dipahami oleh setiap manusia.

3

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta:Prenada Media Group), h.15


(29)

Ketiga adalah internalisasi merupakan proses individu mengidentivikasi dirinya sendiri terhadap lemabaga sosial dimana dia tinggal. Dengan kata lain internalisasi merupakan proses penyerapan kemabali dunia objektif kedalam kesadaranya sehinga subjektif individu terpengaruh terhadap struktur dunia sosial. Berbagai unsur dari produk dunia yang terobjektifkan akan tertangkap menjadi gejala realitas diluar kesadaran, serta menjadi gejala internal untuk kesaranya sendiri.

Melalui proses internalisasi tersebutlah manusia menjadi hasil dari masyarakat. Selain itu, bagi Berger realitas tidak dibentuk secara ilmiah, dan tidak juga diturunkan oleh Tuhan. Akan tetapi realitas merupakan hasil bentukan dan dikosntruksi oleh manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia mengkonstruksi realitas yang ada dalam masyarakat tersebut.

Atas dasar pemahaman itu realitas bersifat dinamis, dan berwajah ganda atau plural. Dan setiap orang akan memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Hal tersebut didasari oleh pengalaman, prefensi, pendidikan, lingkungan dan pergaulan antara satu individu dengan individu yang lain berbeda, sehingga akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.4

Dalam tiga proses tahapan Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi tersebut, masyarakat mengkonstruksi sendiri realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Realitas yang bersifat objektif dan sebujektif. Realitas objektif terjadi akibat proses eksternalisasi individu terhadap

4


(30)

lingkunganya. Sedangkan realitas subjektif terjadi akibat proses

internalisasi. Individu menyerap realitas yang terobjektivasi tersebut ke dalam pikiranya sehingga akan mengakibatkan subjektifitas individu.

Menurut penjelasan Margaret M. Polama, Berger menegaskan bahwasanya realitas sehari-hari memiliki dimensi sebjektif dan objektif. Manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalaui proses eksternalisasi. Hal tersebut mempengaruhi dalam proses internalisasi yang mencerminkan realitas sosial secara subjektif. Berger juga melihat masyarakat adalah produk dari manusia dan manusia adalah produk dari masyarakat.5

Realitas sosial dalam masyarakat merupakan betukan atau dikonstruk oleh manusia yang ada dalam masyarakat tersebut. Manusia lah yang membentuk sebuah kelompok yang mengakibatkan timbulnya sebuah kelompok sosial. Selain itu manusia dapat berkemabang tidak hanya dengan lingkungan tertentu, tetapi dengan tatanan budaya dan soisal tertentu.6 Dengan kata lain, manusia dapat berkembang tidak hanya berinteraksi dengan lingkunaganya, namun dengan sosial budaya yang ada di lingkungan tersebut.

Di dalam realitas sosial bentukan individu tersebut akan timbul sebuah kebudayaan. Karena kebudayaan adalah produk dari seluruh rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat

5 Margaret M. Polama, Sosiologi Kontenporer, (Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada, 2003), h. 320 6

Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi,(Jakarta: Prenada Media Group, 2007) h.66


(31)

dengan segala aktifitas.7 Kebudayaan ini merupakan hasil dari proses objektivitas. Dan hasil dari kebudayaan tersebut merupakan realitas objektif bagi masyarakat. Sementara itu manusia memiliki kodrat sendiri atau lebih jelasnya manusialah yang mengkostruksi kodratnya sendiri atau dapat dibilang manusia menghasilkan diri sendiri.8

Penjelasan Ritzer yang dikutip dalam buku”Konstruksi sosial media massa” menjelaskan bahwa manusialah yang menjadi aktor kreatif dari realitas sosial berdasarkan ide dasar teori dalam paradigma definisi sosial yang sebenarnya.9 Manusia secara kreatif dan memiliki kebebasan berekspresi untuk membentuk sebuah realitas sosial yang ada dalam lingkungannya.

Kreatifitas yang ada dalam masyarakat tersebutlah yang menghasilkan lingkungan dengan tingkat sosial yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan mereka bercampur dengan individu-individu lainnya. Karena memang setiap individu tidaklah dapat membentuk sebuah realitas sosial tanpa ada individu yang lainya. Realitas sosial merupakan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat, namun realitas yang ada tersebut merupakan hasil kreatif masyarakat dengan menggunakan kekuatan kosntruksi sosial masyarakat.

7Ibid h.52

8Peter L. Berger & Thomas Luckman,The Social Construction of Reality, a

Trease in the Sociologicl of Knowledge”(New York: Penguin Books, 1966), h.67

9

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta:Prenada Media Group), h.11.


(32)

Selain itu juga dalam pandangan ontologi konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.10 Individu-individu bebas melakukan sesuatu sesuai keinginannya agar terbentuk sebuah sosial kemasyarakatan dan hubungan antara individu-individu lain, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ada orang lain disekitarnya.

Walaupun individu bebas melakukan sesuatu sesuai kreatifitas masing-masing, namun pastilah mereka memiliki sebuah tujuan yang berguna bagi dirinya atupun masyarakat disekitarnya. Seperti yang di jelaskan oleh Max Webber, realitas sosial merupakan perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena perilaku memiliki tujuan dan motivasi.

Dalam paradigma komunikasi (Hidayat, 1999: 34) dimana realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dimana kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.11 Dalam hal ini sebuah realitas sosial masyarakat tergantung bagaimana individu-individu mengkosntruksi sebuah realitas di sekelilingnya yang dianggap relevan.

B. Film Features Dokumenter 1. Film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan dengan dua pengertian, yang pertama film merupakan selaput tipis berbahan

10

Ibid h.11

11


(33)

seluloid yang digunakan untuk menyimpan atau mengabadikan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup atau bergerak dalam konteks khusus, film juga dapat disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif.12

Karena perkemabangan teknologi yang semakin maju, saat ini film tidak hanya dapat disimpan dalam media seluloid, namun dapat disimpan dalam media digital yang lebih praktis. Selain itu film dalam bentuk gerak atau gambar hidup juga masuk dalam karya seni, atau pun dapat menjadi sebagai media.

Film sebagai salah satu bentuk kesenian adalah sama dengan media artistik lainya yang memiliki sifat-sifat dasar media yang terjalin dengan susunan yang beragam. Seperti halnya seni pahat, lukisan, film juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa sama baiknya dalam saling mempengaruhi antara cahaya dan bayang-bayang.

Seperti halnya drama, film juga melakukan komunikasi verbal dengan dialog, selain itu juga film menggunakan bahasa gambar untuk membahsakan sebuah cerita. Seperti halnya novel, film mampu memainkan waktu dan ruang.13 Kehidupan masa lampau dapat dilihat saat ini dengan medium film tersebut.

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online

13

Obrolan pribadi dengan Mahardika Yudha, seorang seniman dan pembuat film dokumenter


(34)

Atas dasar itulah, dimensi waktu dalam film dapat berpaling ke belakang, dan memandang kelampauan yang jauh. Film dapat membuat waktu satu abad menjadi satu menit, Film juga dapat menyatukan spektrum kepekaan manusia, baik dari yang paling lembut, halus, rapuh, kejam, dan memuakkan. Selain itu film yang baik senantiasa dapat menimbulkan ilusi kejadian filemis yang berlangsung dalam batas waktu lebih lama dari waktu menonton film tersebut. Bahwa dalam kajadian itu ada permulaan, pengembangan, dan akhir, serta mempunyai jangka waktu tertentu.14

Menurut Andre Bazim15 film atau sinema itu adalah fenomena gagasan.16 Gagasan yang direka oleh manusia itu sudah ada secara lengkap dibenaknya. Selain itu film tidak hanya sebatas melestarikan untuk objek disalut seperti halnya serangga dari zaman pualam, film memebebaskan seni borok dari katalepsi mendadak. Untuk pertama kalinya, citra benda juga merupakan citra kelangsunganya dan sebagai mumi perubahan. Di lain pihak sinema adalah bahasa.17

Biarpun film merupakan sebuah media yang unik dengan kelengkapan, dan kekhususanya yang membedakan dari kesenian lain

14

D.A, Peransi.Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.5 15

André Bazin mulai menulis pada 1943 dan salah satu yang mendirikan Cahiers du Cinéma pada 1951 bersama Jaxques Doniol-Valcroze dan Joseph-Marie Lo Duca. Ia adalah salah satu tokoh penting yang menghadirkan studi-studi filem pasca Perang Dunia II. Sejak menjadi salah satu editor di Cahiers du Cinéma hingga kematiannya, Bazin telah melahirkan empat edisi koleksi tulisan-tulisannya. Bazin percaya bahwa filem seharusnya merupakan representasi visi personal sutradara. Pandangan inilah yang menjadikan berkembangnya teoriauteur.

16 Andre Bazim. Sinema Apakah itu?. Terjemahan Dr. Rahayu S. Hidayat

dari Qu’est Que le Cinema? / What is Cinema? (Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.9.

17


(35)

seperti seni lukis, pahat, ataupun, drama, filmlah bentuk yang paling popular serta sebagai media untuk bercerita yang memiliki unsur-unsur yang sama seperti yang ditemui dalam novel.

Karena film dapat menyajikan kisah secara lengkap dalam bentuk dramatis, film memiliki banyak kesamaan dengan pertujukan panggung. Keduanya bermain dalam gerak dan suara, serta dramatisasi cerita. Namun dalam film, bahasa yang dijadikan titik tekan. Dalam hal ini bahasa gamabarlah yang digunakan untuk membuat dramatik cerita. Dalam film gagasan dibangun oleh sang sutradara dengan bahasa gambar.

Selain film sebagai fenomena gagasan dan bahasa gambar, namun film juga memiliki alur cerita atau plot. Seperti yang dijelaskan oleh Haig P. Manoogian yang dikutip dari buku Film/media/seni, Alur cerita atau plot merukapan sebuah penjabaran dari film, yang terdiri dari rentetan-rentetan kejadian bermotivasi dan saling berhungan antara sebab akibat. Struktur menunjuk kepada cerita untuk menyusun dan mengintregasi kejadian-kejadian dari pola tersebut.

2. Features

Kamus besar bahasa Indonesia terbitan balai pustaka, Mengartikan bahwa features adalah sebuah karya yang menggambarkan tentang sesuatu dengan lebih detail agar dapat dirasakan oleh penikmatnya lebih hidup dan tergambar dalam


(36)

imajinasi.18 Dalam karangan yang berbentu features haruslah dapat membawa khalayak ikut larut di dalam dan dapat menimbulkan imajinasi yang sama dengan yang dirasakan oleh pembuat karya tersebut.

Selain itu menurut Williamson yang dikutip dari buku “Menulis untuk dibaca: feature & kolom” menjelaskan bahwasanya features

merupakan sebuah karya tulis kreatif, yang terkadang subjektif, yang terutama untuk membuat senang dan menyuguhkan informasi kepada pembaca tentang suatu peristiwa atau aspek dalam kehidupan.

Dalam hal ini features memiliki enam ciri-ciri: Ciri yang Pertama merupakan hasil cipta penulis: yang mana karya features

tersebut bukanlah hasil curian gagasan orang lain, namun merupakan buah pemikiranya sendiri terhadap memandang suatu peristiwa serta sesuai pengalamanya, pengetahuan, dan perenungan. Dengan kata lain

features bukanlah sebuah karya yang dangkal, atau pencermatan sepintas.

Karya features menjadi sebuah kreasi karya penulis, karena telah melalui proses internal dari penulis. Sehingga karya yang ditulis oleh penulis satu dengan satunya lagi akan berbeda. Hal ini disebabkan pengalaman yang berbeda, pengetahuan, serta latar belakangnya. Atas dasar itulah persepsi atau sudut pandangnya dalam tulisan mereka akan berbeda pula.

18

Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009). h. 32.


(37)

Kedua adalah membuat senang, dalam hal ini membuat senang tidak hanya bercertita tentang kesukacitaan, atau melawak, namun lebih dari itu. Features dapat menimbulkan inspirasi, kelegaan, menambah wawasan, dan panaroma tentang subjek, selain memiliki unsur hiburan. Karya features memang tidak seserius sebuah analisis politik atau karya berita-berita hangat (straight news) yang menghadirkan fenomen-fenomena yang sedang hangat-hangatnya dalam masyarakat, mauapun dunia perpolitikan. Namun feature lebih detail, faktual, enak, dan santai dalam menceritakan. Tidak hanya itu

features juga memiliki dimensi sendiri untuk menjelaskan atau memberi latar belakang suatu peristiwa.

Ketiga adalah informatif, yang mana setiap fakta atau peristiwa dapat dikatakan informatif tatkala mengandung unsur kebaruan. Dalam hal ini kebaruan tidak hanya peristiwa atau kejadian yang baru, namun juga dapat engle gagasanya yang baru. Patut diketahui bahwasanya sudut pandang yang baru tidak harus objek yang baru pula.

Keempat, kadang kala subjektif, pada dasarnya memang sedikit sulit untuk menghindari subjektivitas dalam sebuah berita. Seperti halnya kita memilih narasumber A, karena tidak adanya narasumber yang lain. Hal tersebut merupakan subjektivitas sang wartawan. Seperti halnya dengan feature yang memakai narasumber yang beragam dibandingkan dengan berita laianya.


(38)

Subjektivitas dalam karya features tidak hanya dari narasumbernya sendiri, namun juga dalam penulisanya. Sebagai “seni bercerita”features memiliki unsurlead, body dan ending. Ia memiliki unsur tulisan yang secara imajinasi digambarkan seperti “bidak catur”. Bangunan atau struktur yang bebas tidak akan menemukan bangunan cerita yang mudah dipahami, namuan dalam features bagunan atau struktur tersebut harus memiliki cara dan teknik bercerita, maka tulisan tersebut harus memiliki unsur penceritaan.

Dalam proses penyuntingan tulisan ada yang dihilangkan, dan ada bagian yang ditambahkan agar terbentuk susunan cerita. Subjektivitas features terkadang timbul dari hal tersebut, namun

features yang baik tidak akan meningalkan profesionalitas agar tulisan tetap objektif dan faktual.

Kelima tentang kehidupan yang terpendam, merupakan sesuatu yang tidak terkait dengan alam raya atau berada dalam persembunyian makro dan mikro komis yang menunggu eksplorasi sang kreator untuk menggagasnya. Dengan kata lain karyafeatures dibangun dari realitas yang tidak biasa dilihat oleh orang lain atau bukan fenomena yang sedang hangat-hangatnya dibahas oleh media massa atau masyarakat.

Features adalah suatu karya yang tidak lekas basi. Dapat dikatakan tidak lekas basi, karena features sebuah karya yang menggali cerita dari sebuah fakta. Informasi yang disampaikan adalah


(39)

penelusuran tentang masalah yang ditulis, sehinggga banyak data dan informasi pendukung dalam tulisan yang cukup panjang.

Dalam tenggang waktu peliputan, features berbeda dengan berita laianya, karena karya ini memiliki tenggang waktu yang lebih lama sehingga akan mendapatkan informasi yang lebih mendalam serta dalam penyajianyapun harus memiliki unsur cerita.19

Selain ciri-ciri itu, features dalam karya junalistik merupakan sebuah berita ringan yang mengangkat human interstatau hal-hal yang dianggap menarik, bermanfaat, dan mendatangkan rasa simpati serta perlu diketahui oleh masyarakat luas.20 Human Interst itu sendiri merupakan apa-apa yang terkait dengan ketertrikan dalam minat seseorang.21

Kisah Human interst features dapat menjadi lebih hidup, dan berwarna khalayak diajak untuk membayangkan detail-detail, tindakan, atau latar tertentu. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat dibawa dan hanyut dalam tempat kejadian, merasakan apa yang dirasakan penulis, baik yang sifatnya sedih ataupun senang.

Seolah-olah pembaca berada di tempat kejadian peristiwa atau keadaan sosial yang ditulis sang penulis.22 Itu merupakan features

19Zulhasril Nasir,Menulis untuk dibaca: feature & kolom,(Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010), h. 48-55

20

Dana Iswara, Mengangkat Peristiwa Ke Layar Kaca, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 2007), h. 77.

21

Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontenporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 36

22


(40)

dalam konteks teks, dan tidak berbeda halnya dengan konteks audio visual dalam hal ini film. Yang membedakan dari keduanya hanyalah dalam konteks tulis dan gambar bergerak, secara konseptual keduanya sama. Karena features dalam bentuk audio visual merupakan hasil adopsi dari karya features tulis. Selain dapat membangun imajinasi yang akan membawa khalayak hanyut dalam karya tersebut, karya

features pada umumnya berpijak pada jurnalisme, yaitu memberikan informasi, serta dapat menghibur khalayak media massa.

Menurut Sumadiria (2005:150) yang dikutip dalam buku Bahasa Jurnalistik menjeaskan bahwa features adalah cerita atau karangan yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik.23 Karena features ini adalah sebuah karya yang sering ada dalam media massa baik cetak ataupun televisi.Features ada di media massa untuk memberikan informasi yang berbeda kepada khalayaknya agar khalayak dapat tetap menikmati informasi yang lebih ringan dan mengandung hiburan.

Features berita bukalah sebuah berita yang sekedar berita faktual yang menggunakan kaidah jurnalistik piramida terbalik, namun juga sebuah berita yang dikemas dengan lebih menarik dan dibubuhi aspek human interst agar berita yang dihasilkan tidak datar dan lebih dramatik, atau dalam hal ini menurut Friedlender dan Lee yang dikutip dalam buku “Jurnalisme Kontenporer” bentuk beritanya lebih cair.

23

Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009). h. 32


(41)

Selain itu features memang sangat dekat dengan karya sastra. Kisahfeatures memiliki ekspresi yang dibangun dengan gairah. Kisah dalam human interst juga menyimpan symbol-silmbol yang akan memberikan pesan dibalik deskripsi-deskripsi yang ada dalam karya tersebut. Atas dasar kedekatan itulah, makafeatures dalam pembuatan dan pendeskripsianya harus membutuhkan kreatifitas.24

Dalam pengemasan sebuah karya features memang harus dapat membentuk imajinasi kepada khalayak agar dapat membawanya hanyut dalam berita teresebut. Khalayak tidak diberikan informasi yang bersifat berita langsung, namun disuguhkan sebuah berita yang syarat akan informasi dan hiburan.

Walapun demikian features juga karya jurnalistik yang dibuat dari peristiwa atau isu sosial yang nyata dalam kehidupan masyarakat.

Featuresmemang banyak kita temukan dalam media massa baik dalam bentuk tulisan, maupun audio visual. Features dalam bentuk audio visual biasanya ada dalam program dokumenter televisi yang memberikan hiburan dan informasi selain berita pada umumnya, karena bentukfeatures ini lebih mendalam, namun lebih terlihat santai seperti halnya kita membuat sebuah karya sastra.

Menurut hemat peneliti, features dalam konteks audio visual tidaklah jauh berbeda dengan konteks karya tulis yang selama ini sering muncul di berbagai media cetak. Yang membedakan dalam hal

24

Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontenporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 38


(42)

ini hanyalah betuk visual gambar bergerak dengan tulisan, namun pengemasan sama-sama memberikan sentuhan aspek human interst

yang menimbulkan dramatik dan imajinasi pembaca ataupun penonton. Selain digunakan oleh media massa untuk membuat berita yang berbeda,featuresjuga digunakan dalam dunia perfilman, salah satunya yaitu film dokumenter yang dibuat dengan pendekatan features.

Walaupun diadopsi oleh dunia film, namun pada dasarnya tidak jauh berbeda denganfeatures yang ada di media massa.

Keduanya juga menekankan pada aspek human interst, dan memiliki ciri khas yang sama, namun dalam film haruslah ditambah dengan aspek film yang utuh. Selain itu dalam media massa informasilah yang menjadi aspek yang harus ditonjokan, namun dalam film atau sinema gagasan apa yang akan diberkan kepada khalayaknya.

3. Film Dokumenter

Film dokumenter dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa sebuah karya yang bersifat dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah, atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan.25 Namun pada dasarnya tidak hanya peristiwa bersejarah atau seni budaya, namun lebih terhadap mendokumentasikan kenyataan yang dalam kehidupan kita.

25


(43)

Film dokumenter atau yang sering banyak orang bilang sebagai film non fiksi merupakan sebuah karya film yang dihasilkan dari realita atau fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari baik pengalaman hidup sesorang ataupun peristiwa.26 Film dokumenter dibuat dari kenyataan-kenyataan atau realitas objektif, yang mana kenyataan itu dibangun dengan interpretasi pembuatanya.27

“A movie abaut real life. And that is precisely the the

problem, documentaries are about real life, they are not real life. They are not even windows onto real life. They are portraits of real life, using real life as their raw material, constructed by artists and technicians who make myriad decisions abaout what story to tell to whom, and for what purpose.28

“Sebuah film tentang kehidupan nyata. Dan itu lah yang menjadi sebuah masalah, dokumenter adalah sebuah kehidupan nyata. Tetapi juga bukan kehidupan nyata, bahkan dokumenter bukan jendela untuk melihat kehidupan nyata atau kenyataan hidup. Dokumenter adalah sebuah kehidupan nyata. Kehidupan nyata adalah sebuah bahan yang digunakan oleh seniman untuk membuat keputusan tentang cerita dan kepada siapa cerita itu

ditujukan.”

Walaupun film dokumenter merupakan sebuah film yang dibangun dari sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia, namuan pada dasarnya film ini juga harus melalui proses editing, dan menentukan keputusan terhadap alur agar dapat menghasilkan sebuah

26Garzon R. Ayawaila.Dokumenter dari Ide sampai Produksi, Jakarta:

FFTV-IKJ PRESS, 2008), h. 35.

27

D. A, Peransi.Film/Media/Seni. (Jakarta. FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.46.

28

Patricia Aufderheide. Documentary Film (a very short introduction), (New York: Oxford University Press, 2007). h.2.


(44)

alur cerita seperti halnya film fiksi. Selain itu dokumenter merupakan potret realitas sebenarnya.

Penentuan keputusan cerita dilakukann oleh seorang sutradara yang ingin membuat film tersebut. Selain itupula dalam membuat sebuah film dokumenter pastilah memiliki sebuah tujuan. Baik yang digunakan untuk propaganda atau hanya sekedar memberikan informasi, memberikan tontonan, dan pendidikan sinema yang sebenernya lewat sebuah film yang berbeda yaitu lewat film dokumenter. Semua tujuan dan kepentingan dalam pembuatan film dokumenter tergantung sang pembuat. Di dalam setiap kepentingan tersebut pastilah memiliki target siapa yang akan menonton filmnya.

Film dokumenter dan film fiksi tidaklah memilki perbedaan yang berarti, keduanyanya sama-sama sebuah sinema. Yang membedakan diantara keduanya adalah hanya dalam bahan pembuatanya. Dokumenter berasal dari realita nyata, dan fiksi berasal dari karangan manusia.

Dalam film fiksi cerita dikarang oleh seorang pembuat skenario, sedang dalam film dokumenter cerita berdasarkan cerita asli yang ada dalam kehidupan manusia. Selain itu dalam film jenis ini pada umumnya mengandalkan voice over narasi untuk menggambarkan rekaman yang dihasilkan ketika proses produksi. Ini dibuat agar film dokumenter dapat lebih hidup, dan dapat lebih memberikan sebuah informasi kepada penontonya.


(45)

Sebuah film dokumenter juga sering kali berisi wawancara dengan orang-orang yang menjadi tokoh dalam film yang sedang diangkat untuk memberikan informasi. Wawancara dengan narasumber atau tokoh yang akan diangkat dalam sebuah film dokuemnter tidak selalu dilakukan. Semua itu tergantung sudah cukupkah informasi atau gagasan yang akan diberikan ke khalayak hanya dengan bahasa gambar.

Atas dasar itulah Film dokumenter dapat dibilang sangat erat kaitanya dengan jurnalisme. Selain karena keduanya dibangun dari sebuah realitas atau fakta yang sebenarnya, juga kaidah-kaidah yang ada dalam karya jurnalistik seperti 5 W + 1 H serta wawancara. Namun dalam karya jurnalistik lebih ditekankan pada sebuah informasi atau berita yang hangat atau aktual.29 Sedang dalam film dokumenter adalah gagasan apa yang ingin diberikan kepada khalayak. Selain itu juga film dokumenter dibangun dengan kreatifitas dan pengetahuan tentang film sang pembuatnya.

Jeremy Hicks dalam buku ‘Dziga Vertov Defining Documentary film’menjelaskan bahwa dahulu zaman soviet dokumenter berasal dari transpormasi kreatif sebuah newsreel.30 Transpormasi kreatif dari sebuah karya jurnalistik tersebut dapat menghasilkan sebuah karya yang dapat memberikan hiburan serta informasi sekaligus.

29 Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 28.

30

Jeremy Hicks.Dziga Vertov Defining Documentary film,(London : I.B. Tuoris,2007). h.1.


(46)

Proses pembuatan sebuah informasi dalam film dokumenter dapat menggunakan banyak perangkat. Dalam pembuatan film dokumenter haruslah merekam peristiwa yang bener-bener terjadi dalam masyarakat, begitu pula dengan karya jurnalistik, namun film dokumenter dapat menyampakan informasi dengan cara yang lain.31

Atas dasar dibangunya sebuah film dokumenter dari realitas yang ada dalam kehidupan manusia, maka film dokumenter pada umumnya berperan sebagai unsur yang mencerdaskan penonton dan masyarakat. Karena kenyataan sebenar-benarnya yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat atau penonton dapat menafsirkan serta membuka perspekti baru terhadap kenyataan yang dibangun menjadi sebuah film, dan disnilah hakekat yang sebenarnya terhadap film dokumenter.

31

David Bordwell.Film Art An Introduction. (New York: McGraw-Hill, 2003), h. 128.


(47)

37

A. Gambaran Umum Film Dongeng Rangkas 1. Sinopsis Film

Film ini berusaha memotret Rangkasbitung dari aktivitas-aktivitas masyarakat yang diwakili oleh sosok dua orang penjual tahu; Kiwong dan Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai potret dua pemuda yang hidup paska Reformasi 1998 yang hidup di sebuah kota berjarak 120 Km dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat tumbuh, di antara hingar-bingar pembangunan paska Reformasi.

Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.

Walapun Iron seorang metal dan berada dalam jalur musik

underground, namun ia tidak lantas meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu sholat. Bagi Iron metal bukan tiga jari, namun satu jari telunjuk yang dimaknai olehnya sebagai perlambang syahadat. Sedangkan Kiwong seoarang anak manusia yang pernah


(48)

mengadu nasib di Jakarta, hingga pada ahirnya diapun kembali ke kampung aslinya di Rangkasbitung dan bekerja sebagai penjual tahu. Hal ini dia lakukan tidak lebih untuk mencari hidup yang lebih baik dari sebelumnya.1

Selain pernah meraih juara pertama film feature dokumenter panjang terbaik dalam ajang festival tahunan di Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2011, juga pernah masuk dalam festival bertaraf internasional yaitu special screening di DMZ – 3rd Korean International Documentary Film Festival 2011, “Asian Perspective” Poju, South Korea, serta amnesty aword official competition selection di Copenhagen International Documentary Film Festival (CPH:DOX) 2011, Copenhagen, Denmark.2

2. Produksi Film

Produksi film ini berlangsung selama tiga bulan, dari bulan Mei sampai dengan Juli 2011. Produksi ini melibatkan pelaku dokumenter dari Forum Lenteng, Jakarta, dan Saidjah Forum, Rangkasbitung. Selain itu dalam penyutradaraannya berkolaborasi dengan melibatkan beberapa lima sutradara dalam pembuatan filmDongeng Rangkas.

Proses perekaman film tersebut dilakukan di desa Kampung Muara, kawasan Sungai Ciujung, Kota Rangkasbitung, dan suasana Kereta Api Rangkasbitung. Film Dongeng Rangkas hadir sebagai

Website film Dongeng Rangkas http://dongengrangkas.akumassa.org/tentang/


(49)

usaha untuk merekam persoalan lokal, serta produksi doumenter ini merupakan bagian dari peningkatan kapasistas Komunitas akumassa yang diprakarsai oleh Forum Lenteng.

Kerja-kerja yang dilaukan oleh akumassa yaitu melakukan pendidikan media kepada Komunitas-komunitas yang ada di Indonesia dalam rangka membangun kesadaran “media” kepada masyarakat sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat sekitar

Akumassa adalah aku dan massa (masyarakat), dalam hal ini aku merupakan bagian dari masyarakat itu. selain itu akumassa merupakan program advokasi dan pengembangan komunitas dalam bentuk lokakarya (workshop) yang difasilitasi oleh Forum Lenteng. Secara mendasar, program akumassa adalah tentang penggunaan medium video, text dan media online di komunitas-komunitas pekerja kreatif muda (mahasiswa, seniman muda, pelaku budaya lokal) di Indonesia guna mendorong kemandirian dalam masyarakat. Program ini memfokuskan kepada pengkajian aspek-aspek sosial dan budaya yang dibentuk sebagai materi pembelajaran guna mengupayakan kesadaran partisipatoris akan persoalan-persoalan yang hidup di dalam masyarakat.3

Program ini merupakan kerja kolaborasi dan berjejaring dengan berbagai Komunitas di daerah dengan melakukan pelatihan


(50)

media (video, teks, fotografi, dan media online). Sejak 2008 hingga saat ini, program akumassa telah dilaksanakan di 10 lokasi, yaitu: (Rangkasbitung, Lebak, Banten), (Ciputat, Tangerang Selatan, Banten), (Cirebon, Jawa Barat), (Lenteng Agung, Jakarta Selatan), (Padang Panjang, Sumatera Barat), (Serang, Banten), (Surabaya, Jawa Timur), (Randublatung, Blora, Jawa Tengah), (Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat) dan (Depok, Jawa Barat).4

3. Tim Produksi Film

a. Kolaborasi Penyutradaraan:Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar

b. Kamera: Syaiful Anwar & Fuad Fauji

c. Asisten Kamera: Andang Kelana & Badrul Munir

d. Pewawancara: Badrul “Rob” Munir, Andang Kelana, Fuad Fauji, Helmi Darwan & Zainudin “Dableng

e. Penyunting: Hafiz & Syaiful Anwar f. Penyelaras Suara: H. Sutan Pamuncak g. Koreksi Warna: Ari Dina Krestiawan

h. Dokumentasi: Badrul Munir, Fuad Fauji, Zainudin “Dableng”, Bima Mulia, Aboy Sirait, Andang Kelana, Litbang Forum Lenteng dan Litbang Saidjah Forum

i. Manajer Lapangan: Helmi Darwan


(51)

j. Asisten Manajer Lapangan: Aboy Sirait, Kuni Ahmed k. Pimpinan Produksi: Otty Widasari

l. Produser: Hafiz Rancajale

4. Biografi Singkat Sutradara a) Fuad Fauzi

Fuad Fauji dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik.

Film fiksi pertamanya “Maria”, hasilprojectworkshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia.


(52)

Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011)

b) Badrul Munir

Badrul Munir dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu Dakwah di STITDA, Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang ini merupakan pelopor musikundergrounddi Lebak, terutama di Kitarung Underground

sejak tahun 1997-98.

Ia pernah bermain di Poster Cafe pada tahun 1996 bersama bandnya Pupils sebagai vokalis, yang memenangi juara satu festival band se-Jabotabek tahun 1997. Di sela-sela itu ia juga membuka kursus bahasa Inggris secara perorangan (privat). Tahun 2000, ia aktif di HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia).


(53)

Sejak tahun 2007, lelaki yang akrab dipanggil Cak Rob ini mulai aktif di Saidjah Forum dan terlibat dalam proyek akumassa, Lebak di akhir tahun 2008. Video individu terakhir yang dibuatnya yaitu Bahbir di tahun 2010. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum.

Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

c) Andang Kelana

Andang Kelana dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1983. Dalam beberapa tahun terakhir, seniman ini fokus dalam mengembangkan proyek seni media melalui karya-karyaweb-base. Ia pernah studi ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, namun tak lulus.

Desainer Grafis paruh waktu ini mendirikan KelanaDesain (Rumah Desain) di tahun 2005-2007, Di tahun 2010 mendirikan


(54)

Merah Membara (Rumah Desain) bersama kawannya. Dan saat ini ia bekerja sebagai Kekretaris Jendral di Forum Lenteng.

Pengalamannya dalam filem-video dimulai pada tahun 2003 dengan menjadi partisipan dalam Massroom Project yang menghasilkan 9 video dokumenter tentang Jakarta. Tahun 2005 ia menjadi partisipan sekaligus koordinator dalam proyek video dokumenter di Meksiko atas kerjasama Forum Lenteng dan El-TVDCM, El Despacho, Meksiko dengan tajuk Intimacy Project. Setelah itu ia aktif sebagai fasilitator dalam berbagai loka karya video baik yang diadakan oleh komunitas maupun instansi pemerintah dalam mensosialisasikan seni media di berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu tahun 2010 ia terlibat dalam proyek filem dokumenter Crossing The Boundaries: Cross-Culture Video Project For Peace 2010 bersama Yayasan Interseksi. Selain video, ia juga terlibat dalam pameran fotografi, antara lain; tahun 2004 ia pameran foto bersama sejumlah perupa kontemporer Indonesia dengan tajuk Top Collection.

Ia juga terlibat dalam penyelengga-raan Jakarta 32oC yang dibentuk kelompok ruang rupa Jakarta sejak tahun 2004 hingga 2010. Tahun 2006 ia berpameran fotografi JEDA di Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Tahun 2010, komposer musik elektronik ini terlibat dalam pameran ID


(55)

Contemporary Art Indonesia di Gallery Kunstraum Kreuzberg/Bethanien, Berlin.

Sedang bersama Forum Lenteng, karya-karyanya telah dipresentasikan baik dalam perhelatan festival filem nasional seperti; Jakarta International Film Festival, Festival Film Dokumenter, maupun dalam perhelatan internasional, seperti International Film Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Juga perhelatan seni rupa, seperti Pameran Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko tahun 2011 dan 24 Edition Images Festival (Special Presentation), Toronto Free Gallery, Kanada di tahun yang sama.

Selain berkarya, ia juga beberapa kali menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar, antara lain pada Video Vortex #7 yang diadakan di Yogyakarta pada tahun ini. Baru-baru ini berpameran bersama Forum Lenteng dalam Pameran Seni Video “Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa Analog, Masa Represi”.

d) Syaiful Anwar

Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta pada 26 Februari 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun 2010 ia terlibat dalam proyek


(56)

filem dokumenter Crossing The Boundaries: Cross-Culture Video Project For Peace 2010 bersama Yayasan Interseksi.

Tahun 2011, karya videonya menjadi salah satu pemenang kompetisi seni media yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Di tahun yang sama ia menjadi mentor untuk workshop video dalam perhelatan Jakarta 32oC. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa pameran fotografi, antara lain; pameran fotografi JEDA di Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada tahun 2006.

Kini ia tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai Koordinator Produksi di Forum Lenteng. Bersama Forum Lenteng, karya-karyanya telah dipresentasikan baik dalam perhelatan festival filem nasional seperti; Jakarta International Film Festival, Festival Film Dokumenter, maupun dalam perhelatan internasional, seperti International Film Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Juga perhelatan seni rupa, seperti Pameran Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko tahun 2011 dan 24 Edition Images Festival (Presentasi Khusus), Toronto Free Gallery, Kanada di tahun yang sama. Selain


(57)

itu ia juga berpameran bersama Forum Lenteng dalam Pameran Seni Video “Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa Analog, Masa Represi”.

e) Hafiz

Hafiz dilahirkan di Pekanbaru pada 4 Juni 1971. Perupa dan Pembuat Video ini menyelesaikan studi Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta tahun 1994. Ia salah satu pendiri Forum Lenteng (2003) dan Ruangrupa (2000).

Sebagai perupa, ayah dari seorang anak ini aktif melakukan pameran di dalam maupun di luar negeri, diantaranya: Pameran di Cemeti Art House (1999, 2002, 2005); Bentara Budaya, Yogyakarta (1997); Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta (1999, 2002); Pameran/Residensi Painting Project di Centre Soleil de Afrique, Bamako, Mali (2001); Gwangju Bienalle Korea (2002); Bienalle Istambul Turki (2005); dan New Beginners Project di TENT. Center Rotterdam, Belanda (2005); 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada (2011); Entre Utopia Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Ia juga seorang sutradara film dokumenteer, dan ia pernah menyutradarai beberapa film dokumenter baik individu maupun kerja kolaborasi dengan sutradara dari beberapa negara diantaranya The Valley of the Dog Songs (2005), The Carriage (2008), Alam:


(58)

Syuhada (2005), BE RTDM (2006), Bertemu Jen (2008) yang merupakan salah satu bagian dalam omnibus 9808.

Karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem baik nasional maupun internasional, seperti International Film Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Pada perhelatan 24 Edition Images Festival tahun 2011,

Pernah menjadi salah satu juri dalam kompetisi internasional. Ia juga seorang penulis kritik filem dan seni rupa di berbagai terbitan nasional, sebagai editor Jurnal Kebudayaan KARBON (2000-2003), dan sejak 2009 menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Online Film-Video Footage.

Hafiz juga aktif menjadi pembicara dalam diskusi ataupun seminar yang diadakan baik nasional maupun internasional, seperti Simposium “Globalism-Chances, Discontents, and Extremes di Museum of Contemporary Art (MUMOK) di Wina, Austria, dan Video Vortex #7 di Yogyakarta pada tahun 2011. Bersama Forum Lenteng ia melakukan pameran seni video “Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa Analog, Masa Represi”.

Tahun 2006 sampai 2008 ia menjadi kurator tamu untuk pameran dan riset yang diadakan oleh Komite Senirupa Dewan Kesenian Jakarta. Sejak 2003, menjadi Artistic Director (Kurator


(59)

OK.Video – Jakarta International Video Festival) yang diadakan oleh Ruangrupa Jakarta di Galeri Nasional Indonesia hingga sekarang. Di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua Forum Lenteng, ia juga bekerja sebagai kurator independen dalam pergelaran filem, video, maupun seni rupa nasional dan internasional.5

B. Gambaran Umum Komunitas Pembuat Film 1. Forum Lenteng

Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Forum Lenteng berdiri sejak tahun 2003 yang didirikan oleh mahasiswa (ilmu komunikasi/jurnalistik), pekerja seni, periset dan pengamat kebudayaan untuk menjadi alat pengkajian berbagai permasalahan budaya dalam masyarakat, guna mendukung dan memperluas peluang bagi terlaksananya pemberdayaan studi sosial dan budaya Indonesia.

Forum Lenteng bekerja dengan merangkum serta mendata aspek-aspek sosial dan budaya yang mencakup kesejarahan dan kekinian di dalam kerangka kajian yang sejalan dengan perkembangan jaman dengan mengadakan pendekatan solusif bagi keberagaman permasalahan sosial dan budaya di Indonesia serta dunia internasional. Salah satu medium yang digunakan Forum Lenteng adalah medium audio visual (film dan video). Komunitas ini berlokasi di Jalan Raya


(60)

Lenteng Agung Nomor 34 RT.007/RW.02, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jakarta 12610.

a. Visi

Menjadikan masyarakat Indonesia yang terbuka dan kritis melalui proses belajar, memberi dan menerima informasi yang terbuka, serta memiliki kesadaran terhadap lingkungan, sejarah dan keberagaman dalam menghadapai perubahan sosial politik ke depan.

b. Misi

Membangun sistem komunikasi dan informasi yang terbuka dan independen dalam rangka melakukan upaya-upaya partisipasi yang lebih luas (menerima, mengolah, memproduksi dan menyebarkan informasi), dalam kerangka kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan yang ada, saluran aspirasi maupun upaya ikut mempengaruhi pengambilan keputusan.6

2. Saidjah Forum

Saidjahforum adalah kelompok belajar yang didirikan oleh mahasiswa Jurnalistik UNTIRTA (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) pada 3 Februari 2005 di Serang, Banten. Seiring dinamika organisasi, Saidjahforum kini bertempat di Rangkasbitung, Lebak. Berfokus pada kerja komunitas dan pemberdayaan masyarakat lewat


(61)

media teks, video, arsip, dan kajian sosial budaya lokal, Saidjahforum didirikan sebagai respon terhadap pembelajaran akademik dan memastikan akses terbuka terhadap pendidikan dan pertukaran informasi di masyarakat Lebak, Banten, Indonesia. Anggota Saidjah Forum antara lain Helmi Darmawan, Badrul Munir, Jaenudin, Kuni Ahmad, Firmansyah, Bima Mulia, Aji Jidni, Hendra Fathoni, dan Fuad Fauzi. Komunitas ini berlokasi di Jalan Kitarung No.54 Kmpung Jeruk, Rangkasbitung, Lebak 42311, Banten.7


(62)

52

ANALISIS DAN TEMUAN

A. Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas

Film features dokumenter Dongeng Rangkas merupakan sebuah film dokumenter yang berdurasi kurang lebih 75 menit. Film ini dikonstruksi dan menceritakan realitas sosial masyarakat Rangkasbitung yang diwakili oleh dua orang penjual tahu yaitu Iron dan Kiwong.

Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’. Film ini dibuka dengan gambar suasana pabrik tahu, pasar, stasiun kereta, dan perkenalan tokoh Iron dan Kiwong.

00:07:50 = Iron dan istri sedang mencuci tahu.

00:08:39 = Iron menceritakan menjual tahu karena turunan dari keluarga. Dan semuanya berjualan di pasar.

00:09:30 = Kiwong menceritakan awalnya berjualan tahu, yang awalnya dia jualan di pasar dan bangkrut, kemudian pergi ke Jakarta bekera menjadi kuli bangunan.


(63)

00:24:09 = Iron menceritakan bahwasanya dia memiliki proyek bermusik bukan nonton. Dia merasa puas dan tidak bisa dirubah, karena itu adalah panggilan hatinya.

00:25:47 = Iron menceritakan kalauundergrounditu apa adanya, tanpa rekayasa.

00:26:50 = Iron mandi di sungai sambil berkata

“ngopi ditengah sungai, asyk nih”

00:29:45 = Para pembuat tahu sedang menggoreng tahu.

00:30:45 = Kiwong menceritakan masa kecilnya yang sering dipukuli temannya dan memutuskan masuk pesantren untuk belajar ilmu kebal.

00:32:05 = Sekarang kamu senang berjualan tahu? Kiwong menjawab Iya, Alhamdulillah.

00:34:48 = Gambar Iron sedang shalat.

00:38:58 = Kiwong dan pembuat tahu lainya sedang menggoreng tahu. 00:50:38 = Gambar Kiwong sedang merapihkan dan memberi penyedap

tahu yang siap dijual.

00:54:20 = Suasana di dalam kereta tempat para pedagang tahu menjajakan daganganya.

00:58:31 = Iron sedang berjualan tahu di pasar.

00:59:24 = Iron berkata “sekarang saya aliran metal satu jari”

01:03:53 = Iron berkata “menurut saya, musik adalah anugrah dari Tuhan”


(64)

tetap konsisten di jalur musikunderground

01:04:22 = Menurut Iron hanya satu kenapa dia masih tetap dalam jalur

undergroundyaitu KEPUASAN hati naruni, dan naluri. 00:30:45= Kiwong berkata “kalau dulu saya ikut nasihat abang, mungkin

keadaan saya tidak begini”.1

B. Konstruksi Sosial dalam Film Feature Dokumenter Dongeng Rangkas Film merupakan sebuah tontonan yang banyak digemari masyarakat. Di dunia ini telah banyak beredar berbagai jenis film baik dari film cerita sampai film dokumenter, namun film atau sinema itu pada hakekatnya menurut Andre Bazim adalah fenomena gagasan. Gagasan yang direka oleh manusia itu sudah ada secara lengkap dibenaknya.

Selain itu film tidak hanya sebatas melestarikan untuk objek disalut seperti halnya serangga dari zaman pualam, film memebebaskan seni borok dari katalepsi mendadak. Selain film fiksi, juga film dokumenter. Dalam hal ini peneliti mencontohkan dengan film dokumenter dongeng rangkas. Dongeng Rangkas merupakan film yang berjenis feature

dokumenter, hal ini dikarenakan film dongeng rangkas merupakan sebuah film yang menyajikan suatu realitas sosial dari kehidupan dua orang penjual tahu di daerah Rangkasbitung dengan lebih santai, cair, lebih hidup, serta mengedepankan dramatik. Selain itu dalam film dongeng rangkas ini, para sutradara ingin memberikan bentuk film dokumenter

1


(65)

yang berbeda dengan film dokumenter lainya. Serta dibuat atas dasar estetika film.

“Kenyataan sosial jarang dihadirkan lewat film. Sekalinya dihadirkan biasanya ceritanya masing ngwang-ngawang. Seperti kisah umum warga kaya dan miskin. Kadang para pembuat film seringkali membuat film dokumenter berakhir di tokoh si korban. Eksploitasi si miskin dan kesenjangan masyarakat. Saya termotivasi untuk membuat film dokumenter berbeda. Kepingan cerita pekerja tahu dan optimismenya dalam kehidupan sehari-hari”.2

Para pembuat film dokumenter pada dasarnya memiliki tujuan dan kepentingan sendiri tergantung oleh latar belakang mereka, namun dalam film ini menurut para pembuat film tidak memiliki motivasi dan tujuan yang berarti selain untuk melakukan upgrading program akumassa oleh Forum Lenteng untuk komunitas jaringanya yaitu Saidjah Forum.

Selain itu menurut sutradara yang berasal dari Rangkasbitung, juga tidak memiliki tujuan khusus. Mereka mengangkat penjual tahu menjadi film dokumenter dikarenakan kedekatan sutradara dengan masyarakat penjual tahu tersebut, dan bagi para pembuat ada keunikan tersendiri realitas penjual tahu ini diangkat menjadi sebuah film dokumenter.3

Film dokumenter atau yang sering banyak orang bilang sebagai film non fiksi merupakan sebuah karya film yang dihasilkan dari realita atau fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari baik pengalaman hidup sesorang ataupun peristiwa. Film dokumenter dibuat dari

Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Fuad Fauzi yang juga salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013.

Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.


(66)

kenyataan atau realitas objektif, yang mana kenyataan itu dibangun dengan interpretasi pembuatanya.

Dalam bab ini peneliti mengurai mengenai konstruksi atas realitas dalam film featuresdokumenter dongeng rangkas kehidupan penjual tahu. Pada bab II telah dijelaskan mengenai teori konstruksi atas realitas sosial yaitu merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif serta dilakukan secara terus menerus.

Dalam film dongeng rangkas ini konstruksi atas realitas sosial pada kehidupan penjual tahu di daerah Rangkasbitung merupakan suatu konstruksi sosial dimana masyarakat yang menjadi penjual tahu adalah tradisi keluarga, atau diturunkan dari keluarga.

Masyarakat yang sebagian besar merupakan penjual tahu dan pembuat tahu ini tidak ingin meninggalkan tradisi mereka. Hal ini dilihat dari dua tokoh film tersebut yaitu Iron dan Kiwong. Masing-masing tokoh memiliki mimpinya sendiri seperti Iron yang bercita-cita sebagai pemusik, Iron percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’. Sedangkan Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya.

Dari konstruksi realitas sosial itu lah daerah Rangkasbitung menjadi daerah yang dikenal penghasil tahu. Hal ini dikarenakan sebagian penduduknya merupakan penjual dan pembuat tahu. Namun ada yang


(67)

menarik film features dokumenter ini, yaitu dari budaya yang turun menurun sebagi penjual dan pembuat tahu, serta mengundang masyarakat pendatang untuk singgah dan menjadi penjual tahu di tanah Rangkasbitung, sehingga menimbulkan banyak persaingan antara penjual dan pembuat tahu. Dari tokoh Kiwong dilihat harus bersaing dengan penjual tahu yang lain, Kiwong harus nekat berjualan di kereta api dan main kucing-kucingan dengan petugas kereta.

Dalam proses konstruksi atas realitas sosial di dalam film features

dokumenter dongeng rangkas telah terjadi dialetika antara individu mencipatakan masyarakat dan masyarakat mencipatakan individu. Proses dialektika ini melalui eksternalisasi, obyektivitasi dan internalisasi. ketiga proses dialektika ini merupakan gagasan Berger dan Luckman yang memunculkan suatu proses konstruksi atas realtias sosial. Teori ini dilihat dari segi asal muasalnya merupakan hasil dari ciptaan manusia yang melalui interakasi intersubjektif.

1. Tahap Eksternalisasi

Eksternalisasi yang mana proses ini merupakan penyesuaian diri terhadap lingkunganya. Dalam hal ini usaha mencurahkan atau ekspresi diri ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan mencurahkan diri ketempat ia berada. Manusia tidak akan dimengerti


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)