Pemanfaatan lahan berpenutup tanah Colopogonium caeruleus Hemsl dan Centrosema pubescens untuk budidaya tanaman jagung (Zea mays L.)

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Seirama dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan akan bahan pangan yang secara langsung maupun
tak langsung dikonsumsi oleh penduduk bertambah setiap
tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut selama

lima Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) di Indonesia, peningkatan produksi pangan tetap merupakan salah
satu prioritas dalam pembangunan di bidang pertanian.
Hingga kini kebutuhan bahan pangan yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri pada tingkat swasembada adalah
beras.

Beberapa komoditi pangan lainnya seperti jagung

dan kedelai masih terus diimpor karena produksi masih
lebih rendah dari yang dibutuhkan.

Selama tahun 1991,


impor jagung mencapai 323 175 ton dengan nilai lebih
dari US $ 4 5 juta (BPS, 1991a).
Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan pokok
sumber karbohidrat yang kedua setelah beras.
tanamannya cukup luas.

Areal per-

Dalam tahun 1990 luas panen ta-

naman jagung di Indonesia mencapai 3.158 juta hektar dengan produksi jagung pipilan sebanyak 6.734
(BPS, 1991b).

juta ton

Selain dikonsumsi secara langsung sebagai

bahan pangan pokok ataupun sebagai bahan pangan pelengkap oleh penduduk di beberapa daerah di Indonesia,
jagung dipergunakan sebagai campuran makanan ternak


ataupun sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng.

De-

ngan demikian, pembangunan sub sektor peternakan pada
umumnya dan peternakan ayam khususnya akan turut lebih
memperbesar jumlah kebutuhan jagung di Indonesia.
Untuk meningkatkan produksi jagung dapat ditempuh
melalui ekstensifikasi dan ataupun intensifikasi.

Eks-

tensifikasi berarti perluasan areal pertanaman jagung
baik pada lahan bukaan baru maupun pada lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanaman komoditi bukan jagung.
Peningkatan produksi melalui intensifikasi ialah peningkatan produksi per satuan luas lahan dalam waktu tertentu.

Intensifikasi dapat ditempuh melalui berbagai

cara di antaranya melalui pemakaian varietas berdaya
hasil tinggi (varietas unggul), perbaikan budidaya tanaman jagung, perlindungan yang lebih intensif terhadap

gangguan hama, penyakit dan gulma, pemupukan tepat
dosis, waktu dan cara aplikasi, serta tindakan pasca
panen yang lebih baik.
Dibandingkan dengan berbagai negara produsen jagung, produksi per hektar yang telah diperoleh di Indonesia masih tergolong rendah.

Pada tahun 1990, rataan

produksi jagung hanya 2.132 ton ha-'

(BPS, 1991b) .

Hal

ini merupakan akibat berbagai faktor seperti pemakaian
varietas berdaya produksi rendah, teknik budidaya yang
sederhana dan pemakaian pupuk yang masih rendah (Departemen

Pertanian,

1983; Djauhari, Djulin


dan

Soeyono,

1988).

Tanaman jagung berdayahasil tinggi memerlukan

pemupukan yang intensif.

Sebagai unsur hara makro, ni-

trogen diperlukan dalam jumlah relatif banyak untuk memungkinkan pertumbuhan yang baik dan kuantitas maupun
kualitas hasil yang tinggi.

Oleh karena itu unsur ni-

trogen harus cukup tersedia bagi tanaman jagung dari pupuk anorganik maupun pupuk organik yang diberikan melalui pemupukan ataupun berasal dari dalam tanah.
Tanaman penutup tanah kacangan telah diketahui

mampu meningkatkan kandungan nitrogen di dalam tanah karena dapat bersimbiose dengan bakteri R b i x o b i u r yang dapat mengikat nitrogen dari udara.

Pada tanaman perke-

bunan seperti karet dan kelapa sawit penanaman penutup
tanah kacangan secara tumpangsari sudah biasa dilakukan
untuk berbagai tujuan.

Untuk tanaman karet, menurut

Iskandar (1984) penanaman penutup tanah kacangan dimaksudkan untuk memperkaya nitrogen pada lapisan olah tanah, mempertahankan kegemburan dan aerasi tanah, tempat
penyimpanan cadangan hara, meningkatkan kelembaban tanah
dan mencegah erosi.

Terutama pada lahan yang tidak da-

tar adanya tanaman penutup tanah sangat berfaedah untuk
mencegah atau memperkecil intensitas pengikisan lapisan
tanah oleh air hujan.
Di lain pihak, untuk tanaman semusim, misalnya jagung, pertanaman tumpangsari dengan penutup tanah kacangan


belum biasa dilakukan bahkan masih

sebagai

ha1

tanaman jagung dan berkurangnya intensitas pengendalian
gulma akan memungkinkan biaya produksi persatuan hasil
jagung menjadi lebih rendah.

Hal ini berarti akan mem-

berikan peningkatan pendapatan petani jagung.

Dalam

periode yang lebih panjang, dengan adanya fitomassa yang
dihasilkan oleh tanaman penutup tanah, kesuburan tanah
akan meningkat terutama dalam kandungan nitrogen.

Struktur tanah menjadi lebih baik dengan meningkatnya
kandungan bahan organik tanah.

Tertutupnya permukaan

tanah oleh penutup tanah kacangan yang sedang tumbuh dan
oleh serasah yang dihasilkannya akan mencegah/memperkecil terjadinya erosi.

Hal ini penting dalam memperkecil

meluasnya tanah kritis yang dilaporkan bertambah 400 000
ha setiap tahun di Indonesia (Go, 1979).

Bahkan seba-

liknya dengan penanaman penutup tanah kacangan, tanahtanah kritis yang luasnya di Indonesia mencapai 20 juta
hektar (Soeranggadjiwa, 1975) dapat dikonversikan menjadi lahan produktif.

Sambil melakukan rehabilitasi ter-


hadap tanah kritis tersebut dengan menanam penutup tanah
kacangan, areal pertanaman jagung mungkin dapat ditingkatkan.
Pada tahun 1990 luas pertanaman karet dan kelapa

sawit di Indonesia mencapai 3.069 dan 1.183 juta hektar
(BPS, 1991b).

Jika pertanaman tersebut diremajakan tiga

persen setiap tahun, seluas 127.560 hektar lahan perkebunan berpotensi untuk dijadikan pertanaman jagung bila-

mana tanaman penutup tanah kacangan dapat ditumpangsarikan dengan tanaman jagung.
Sehubungan dengan uraian di atas, penelitian yang
dilakukan ini adalah penumpangsarian tanaman jagung dengan tanaman penutup tanah Calopogoniur caerulezzm Hemsl.
dan Centrosema prbescens Benth. pada tiga macam umur.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
penumpangsarian tanaman penutup tanah C. caeruleua dan
C . prbescens,


pemupukan nitrogen dan mulsa tanaman penu-

tup tanah terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung,
penekanan pertumbuhan gulma dan perbaikan sifat-sifat
tanah.

Untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas, di-

lakukan beberapa percobaan.
Hipotesis
1.

Tanaman penutup tanah C. caenzleur dan C. prbescens
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
melalui penekanan pertumbuhan gulma dan perbaikan
sifat-sifat tanah.

2.


Tanaman penutup tanah C. caeruleur dan C. prbescens
sampai taraf tertentu meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen pada tanaman jagung.

3. Semakin lanjut

umur tanaman penutup tanah yang di-

tumpangsarikan, semakin besar peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kacangan dan Manfaatnya dalam Pertanian

Satu kekhususan yang dimiliki oleh kelompok tumbuhan kacangan ialah kemampuannya mengikat nitrogen dari
udara.

Pengikatan nitrogen tersebut berlangsung melalui

suatu hubungan yang saling menguntungkan antara tanaman
kacangan dengan bakteri pengikat nitrogen yaitu Rhizobiur dengan terbentuknya bintil akar.


Cox dan Atkins

(1979) dan Ricklefs (1979) menamakan kerjasama tersebut
sebagai hubungan mutualisme.

Adanya hubungan yang sa-

ling menguntungkan ini telah diketahui sejak tahun 1838
dan sejak itu telah digunakan untuk menyuburkan tanah
dengan sistem rotasi (Suseno, 1974).
Tumbuhan kacangan tergolong dalam famili Leguminoceae yang terdiri dari tiga sub famili yaitu Caesalpinioideae, Mimosoideae dan Papilionoideae.

Pengikatan ni-

trogen dari udara dengan terbentuknya bintil akar merupakan ha1 yang umum terjadi pada spesies-spesies dalam
sub famili Papilionoideae dan sub famili Mimosoideae sementara pada sub famili Caesalpinioideae hanya sekitar
30 persen dari spesies yang tergolong di dalamnya mampu

membentuk bintil akar (NAS, 1979).
Peranan tanaman kacangan'sangat penting dalam meningkatkan kandungan unsur nitrogen tanah.

Kandungan

nitrogen tanah merupakan salah satu faktor yang vital

untuk dapat mempertahankan produktivitas lahan pertanian.

Khususnya di berbagai negara berkembang peningkatan

kesuburan tanah dirasakan sangat perlu karena banyak
lahan pertanian hanya dapat memberikan produksi yang
rendah karena tanahnya miskin unsur hara dan humus (NAS,
1979).

Di Amerika Serikat dalam satu tahun sejumlah 2.4

juta ton nitrogen ditambahkan ke dalam tanah melalui tanaman kacangan terutama oleh tanaman alfalfa, kedelai
dan kacang tanah.

Jumlah tersebut setara dengan 25 per-

sen dari pupuk nitrogen yang dihasilkan industri pupuk
dalam periode yang sama (NAS, 1979).

Fiksasi nitrogen

dari udara oleh kacangan setiap tahun mencapai empat
sampai lima kali lebih besar dari seluruh pupuk nitrogen
yang dihasilkan oleh industri pupuk di seluruh dunia
(Stoskopf, 1981).
Kemampuan kacangan dalam memfiksasi nitrogen sangat
beragam bergantung pada banyak faktor seperti spesies,
tipe pertumbuhan, iklim dan lingkungan tumbuh.
peneliti telah mengungkapkan keragaman tersebut.

Beberapa
Di an-

taranya Stoskopf (1981) mengemukakan data yang diperoleh
di Amerika Serikat dalam tahun 1975 seperti tercantum
pada Tabel 1.
Selanjutnya Yamada (1974) dalam Hirose (1985) melaporkan kemampuan berbagai spesies kacangan dalam memfiksasi nitrogen serta periode tumbuh kacangan tersebut seperti diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 1.

Jumlah Nitrogen yang Difiksasi Beberapa
Spesies Kacangan di Amerika Serikat
(Stoskopf, 1981)

Jenis tanaman

Nitrogen terfiksasi
(kg ha-'

tahun-l)

-

1.

Alfalfa monokultur

128

2.

ftCloversfl
monokultur

104

-

220

3.

Kedelai

57

-

94

4.

Kacang tanah

47

-

91

5.

"Peas"
Campuran kacangan makanan ternak

50

6.

Tabel 2.

118

-

300

85
125

Jumlah Nitrogen Terfiksasi oleh Kacangan
Tropis serta Periode Tumbuhnya
(Yamada dalam Hirose, 1985)

Jenis tanaman (spesies)

Nitrogen
terfiksasi
(kg ha-')

1. Kedelai (Glycine mar (L.) Merr)

Periode
tumbuh
(hari)

206

80-130

2. "Cowpeasn (Vigna sinensis)

70- 80

80-110

3. "Mungbeann (Vigna radiata)

61

60-100

4. Kacang tanah (Arachis hypogaea L. ) 72-240

90-120

5. vgPigeonpeaw (Cajanus cajan)
6. "Chick peaN (Cicer arietbur)

7. "Sword beanm (Canavalia

ensiforris)
8. nLentilll(Lens esculenta)

96-280

150-280

103

110-125

Dari data yang tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2
terlihat adanya keragaman yang cukup besar dalam kemampuan berbagai spesies kacangan untuk memfiksasi nitrogen.

Terlihat pula pada spesies yang sama terdapat ke-

ragaman yang cukup besar.

Mungkin keragaman tersebut

merupakan akibat dari lingkungan tumbuh yang berbeda.
Nitrogen terfiksasi yang terbanyak mencapai sekitar 300
kg ha-'

tahun-'

diberikan oleh tanaman alfalfa.

Namun

menurut Tisdale dan Nelson (1975) sejumlah 560 kg nitrogen ha"

tahun-l dapat difiksasi oleh kacangan di New

Zealand di mana keadaan iklim sepanjang tahun sangat
mendukung bagi pertumbuhan Rbizobiur maupun pertumbuhan
tanaman inang.
Fiksasi nitrogen oleh Rhizobiur dipengaruhi oleh
berbagai faktor.

Telah disebutkan di atas bahwa fiksasi

nitrogen hanya dapat terjadi dengan terbentuknya bintil
akar yang merupakan tempat hidup bagi koloni bakteri

Rhizobiur.

Bakteri ini masuk ke dalam akar melalui bu-

lu-bulu akar dan sepenuhnya bersifat parasit pada awal
pembentukan

bintil.

Setelah bintil terbentuk, bakteri

menggunakan N terfiksasi untuk mensintesa asam amino
(Daubenmire, 1974).

Bintil yang aktif berwarna kemerah-

merahan

Ini menunjukkan haemaglobin yang

aktif di dalam bintil akar.

Untuk memungkinkan terben-

tuknya bintil akar, harus ada spesies Rhizobiur yang
cocok dengan spesies kacangan, baik yang

diinokulasikan

ataupun sudah berada di dalam tanah sebagai peninggalan
dari kacangan yang tumbuh sebelumnya.

Di samping itu

kesuburan tanah, kelembaban dan pH tanah turut mempengaruhi berhasil tidaknya pembentukan bintil akar (Stoskopf, 1981).

Selanjutnya untuk proses fiksasi nitrogen,

tersedianya molibdenum diketahui sangat esensial walaupun diperlukan dalam jumlah sedikit sekali (Soepardi,
1979).
Kemampuan Rhizobium memfiksasi nitrogen dipengaruhi
oleh kandungan nitrogen tanah.

Berdasarkan hasil pene-

litian Parwadi et al. (1987) pemupukan nitrogen pada tanaman kedelai dengan dosis 0, 45, 90 dan 135 kg N 'a
h
ternyata menurunkan jumlah bintil aktif dan bobot kering
total bintil secara linier.

Penurunan ini disebabkan

berkurangnya aktivitas fiksasi nitrogen dari udara
dengan naiknya kandungan nitrogen tanah.

Sehubungan

dengan ini Tisdale dan Nelson (1975) menyebutkan bahwa
fiksasi nitrogen pada pertanaman kacangan akan mencapai
maksimum hanya bilamana nitrogen tersedia dari tanah
dalam keadaan minimum.

Informasi tersebut di atas me-

nunjukkan adanya saling keterkaitan antara nitrogen tersedia di dalam tanah dengan aktivitas fiksasi nitrogen.
Hal ini berarti untuk memperoleh pertumbuhan yang
maksimum pada tanaman kacangan diperlukan tingkat kandungan nitrogen tertentu yang memungkinkan aktivitas
fiksasi nitrogen sebesar-besarnya.

Sebagian dari nitrogen yang difiksasi oleh bakteri
Rhizobium

akan dimanfaatkan secara langsung oleh kacang-

an bersangkutan untuk pertumbuhannya dan sebagian dipergunakan oleh R h i z o b i u r untuk hidupnya.

Mokhtar ( 1 9 8 1 )

dan Mahmud et al. ( 1 9 8 5 ) menyebutkan, nitrogen yang
difiksasi oleh bakteri R h i z o b i u r merembes dari bintil
akar ke tanah di sekelilingnya walau jumlahnya tidak
banyak.

Rembesan nitrogen tersebut akan meningkatkan

kadar nitrogen tanah.

Rembesan tersebut dapat diserap

kembali oleh akar kacangan ataupun tanaman lain yang ditumpangsarikan dengan kacanqan (Mahmud et al., 1 9 8 1 ;
Soepardi, 1 9 7 9 ; Meyer dan Anderson, 1 9 5 2 ) .
Bila tanaman kacangan telah mati atau dipanen,
bintil akar akan mengalami mineralisasi dan nitrogen
yang dikandungnya menyatu dengan tanah sehingga kandungan nitrogen tanah menjadi bertambah.

Seperti dikemuka-

kan oleh Hargrove ( 1 9 8 6 ) nitrogen dari pelapukan bintil
akar kacangan dapat menjadi sumber nitrogen untuk tanaman yang ditanam berikutnya.

Demikian pula penelitian

oleh Ebelhar, Frye dan Blevins ( 1 9 8 4 ) menunjukkan, sejumlah 9 0

-

100

kg N yang difiksasi oleh kacangan "hairy

vetchgt ( V i c i a villosa) dimanfaatkan o l e h tanaman jagung
yang ditanam pada musim tanam berikutnya.
Penelitian yang berlangsung dari

1980

-

1987

di

Kentucky dilaporkan oleh Blevins, Herbek dan Frye
(1990).

Tanaman penutup tanah kacangan ( V i c i a

villosa)

ditanam pada musim gugur dan dimatikan memakai herbisida
pada saat penanaman jagung pada musim panas berikutnya
dengan sistem tanpa olah tanah.

Hasil penelitian ter-

sebut menunjukkan, tanaman penutup tanah memberikan 75
kg N ha-'

untuk tanaman jagung dan untuk tanaman sorgum

jumlah tersebut mencapai 125 kg N ha-'.

Bila jerami

kacangan dibenamkan ke dalam tanah, se-bagian dari nitrogen yang dikandungnya akan tersedia bagi tanaman berikutnya (Soepardi, 1979; Soegiman, 1982).

Kacangan mem-

punyai nisbah C/N yang rendah, jika diberikan ke dalam
tanah dapat segera memasuki peredaran nitrogen dan cepat
muncul sebagai bentuk-bentuk amonium dan nitrat yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman berikut-nya (Soepardi,
1979).
Bruulsema dan Christie (1981) melaporkan hasil penelitian pertanaman jagung setelah pembenaman kacangan.
Pembenaman kacangan alfalfa dan "red cloverw mensuplai
nitrogen untuk tanaman jagung yang memberikan hasil biji
setara dengan yang diperoleh dengan pemupukan 90 sampai
125 kg N ha".

Selanjutnya disebutkan, kadar N tanaman

jagung pada bekas alfalfa nyata lebih tinggi dibandingkan dengan jagung pada bekas nred clovern. Hal ini berarti nitrogen dari alfalfa lebih mudah dimineralisasikan
dibandingkan dengan nitrogen dari "red cloverw.
Pengaruh positif fitomassa kacangan yang dibenamkan dilaporkan juga oleh Reddy, Soffes dan ~ r i n e(1986).

Dibandingkan dengan areal bera, pada lahan bekas kacangan, bobot kering tanaman jagung dan beberapa serealia
lainnya meningkat sangat nyata dan sebagian mencapai peningkatan 100 persen.

Dengan meningkatnya bobot tanaman

jagung tentunya akan memberikan hasil biji yang lebih
banyak.
Hasil penelitian Hesterman, Sheaffer, Barnes,
Lueschen dan Ford (1986) memperlihatkan adanya suplai
nitrogen dari tanaman kacangan untuk tanaman jagung yang
ditanam pada musim berikutnya.

Penanaman jagung tanpa

pemberian pupuk nitrogen pada bekas jagung, bera, kedelai dan alfalfa, memberikan hasil pipilan berturut-turut
adalah 3.7,

6.1, 5.1 dan 6.8 ton/ha.

Pertanaman jagung

pada bekas alfalfa memberikan peningkatan hasil 84 persen dibandingkan dengan bekas tanaman jagung, sedangkan
pada bekas kedelai peningkatan hasil hanya mencapai 38
persen.
Selain sebagai pengikat nitrogen dari udara, tanaman kacangan memberikan beberapa keuntungan lain.

Fito-

massa yang dihasilkan oleh kacangan menjadi sumber bahan
organik tanah (Soegiman, 1982)

.

Meningkatnya bahan or-

ganik tanah akan memperbaiki sifat fisik dan sifat kimia
tanah setelah fitomassa kacangan mengalami pelapukan.
Selanjutnya Sutidjo (1986) menyebutkan, meningkatnya bahan organik tanah mengakibatkan agregat tanah menjadi
lebih

mantap,

pengikatan

unsur

P

pada

tanah

masam

berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan berimbang, serta meningkatnya kegiatan biologi di dalam tanah.

Bahan organik akan meningkatkan Kapasitas Tukar

Kation tanah dan bila bahan organik telah mengalami mineralisasi akan menyediakan nitrogen, fosfor dan belerang bagi tanaman (Tisdale dan Nelson, 1975).
Fitomassa kacangan yang sudah kering berupa daun
atau batang yang sudah mati akan menjadi mulsa yang menutupi permukaan tanah.

Lapisan mulsa ini akan melin-

dungi tanah terhadap bahaya erosi terutama pada lahanlahan yang tidak datar.

Selain itu penyerapan air oleh

tanah akan meningkat, volume dan kecepatan aliran permukaan berkurang dan pertumbuhan gulma akan tertekan
(Purwowidodo, 1983; Arsyad, 1983).

Fluktuasi suhu tanah

akan berkurang dan kelembaban tanah meningkat serta
dapat dipertahankan lebih lama dengan adanya lapisan
mulsa.

Berdasarkan penelitian Mackay dan Barber (1985a)

naiknya kelembaban tanah meningkatkan bobot tanaman
jagung dan serapan fosfor secara sangat nyata.

Demikian

pula serapan kalium dan pertumbuhan akar tanaman jagung
meningkat dengan naiknya kelembaban tanah sampai tingkat
tertentu (Mackay dan Barber, 1985b). Khususnya di daerah
bersuhu rendah, lapisan mulsa akan menaikkan suhu tanah.
Peningkatan suhu tanah akan mengakibatkan pertumbuhan
dan hasil jagung meningkat (Chang, 1968; Duncan, 1975).

C a l o m o n i u r c a e m l e u m Hems 1.

Tanaman kacangan Calopogonium c a m l e u m Hemsl. merupakan anggota sub famili Papilioniodeae.

Tanaman ini

berasal dari Amerika Tengah, hidupnya menahun, tahan
terhadap kekeringan dan kurang mendapat gangguan dari
hama ataupun penyakit.
Tipe tumbuh C . caeruleur adalah merayap atau merambat, batang tumbuh kuat, mengayu dan berumur menahun.
Jika memanjat membelit ke kanan.
daun tiga.

Daun menyirip, helaian

Dua anak daun yang berhadapan berbentuk

segitiga dengan ujung yang tumpul.
cm dan lebar daun 2

-

8 cm.

Panjang daun 2.5

-

9

Tulang daun menonjol d i

permukaan bawah.
Bunga terbentuk dalam karangan bunga dengan panjang
9

-

3 0 cm.

Bunga kecil berukuran 3

-

5 mm dengan kelo-

pak bunga membelah dua membentuk dua segmen, berambut
halus, berwarna kecoklatan.
biru atau violet.
30

-

Daun mahkota bunga berwarna

Polong buah berbentuk gepeng, panjang

70 mm, permukaan halus, berserat dan mempunyai tiga

hingga delapan biji.

Biji agak gepeng berukuran 2.5

hingga 4 mm (Boerhendhy dan Sianturi, 1986).
Kemampuan menutup tanah C . caeruleur cukup besar
dan dapat bertahan dalam periode yang lama.

Dibanding-

kan dengan kacangan Pueraria phaseo1oides, kemampuan C.
c a e r u l e u m untuk mensuplai unsur nitrogen ke dalam tanah

dua hingga tiga kali lebih banyak (Ditjenbun, 1983)

.

Calopqoniur caexuleur dapat tumbuh sepanjang tahun, da-

pat bertahan terhadap musim kemarau yang ekstrim dan
menekan pertumbuhan cendawan akar putih pada penanaman
ulang tanaman karet (Soepadmo, 1981).

Tanaman kacangan

C,

prbescens sudah lama dikenal di

Indonesia, sejak 1922 telah digunakan sebagai penutup
tanah pada berbagai perkebunan.

Tipe tumbuhnya meram-

bat, umurnya menahun, batang membelit ke kiri, panjang
batang atau cabang satu hingga empat meter (Heyne,
1987)

.

Pada buku-buku batang atau cabang dapat terben-

tuk akar (Arsyad, 1983).
Tanaman ini mempunyai daun menyirip, trifoliate,
bertangkai, anak daun berbentuk lonjong/elips dengan
ukuran panjang 3 hingga 9.5 cm dan lebar 1.5 hingga 6
cm.

Bunga berwarna terang sampai ungu pucat.

berbentuk garis lurus atau membengkok, panjang 9
dan lebar 5

-

7 mm, berisi 12

-

Polong

-

20 butir biji.

17 cm

Biji

berwarna coklat abu-abu, licin dan mengkilat, satu kilogram biji sekitar 36 000 butir (Boerhendhy dan Sianturi,
1986).

Tanaman ini tumbuh sangat cepat dan menghasilkan
bi ji yang banyak (Ditjenbun, 1983)

.

Penanaman pada ta-

nah dan iklim yang baik dapat menghasilkan

4

ton bahan

organik dalam periode 10 bulan, setara dengan 41 kg N

dan 20 kg P205.

Untuk mendapatkan penutupan tanah yang

baik diperlukan sekitar 30 kg biji per hektar (Arsyad,
1983)

.

Centrosema pubescens dapat tumbuh baik sampai

ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (Angkapradipta, 1984). Dibandingkan dengan beberapa jenis penutup
tanah kacangan lainnya, tanaman ini relatif lebih tahan
terhadap naungan dan terhadap kekeringan
1975).

(Darmanto,

Centrosema pubescens mempunyai daya saing yang

kuat, dapat mengalahkan semua tumbuhan gulma dan tidak
mengganggu pohon karet (Heyne, 1987)

.

Penanaman C , pu-

b e s c e n s selama dua tahun dapat mereklamasikan lahan
kritis menjadi lahan produktif

(Barus dan Suwardjo,

1986).

Pengaruh Gulma terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Jagung
Gulma didefinisikan oleh Huzik (1970), Kasasian
(1971) dan Klingman, Ashton dan Noordhoff (1975) sebagai
tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempatnya.

Ini dapat

diartikan bahwa tumbuhan apapun dapat dianggap gulma
bila tempatnya tidak seperti diharapkan.
Sebagaimana halnya terhadap tanaman budidaya pada
umumnya, gulma berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman jagung.

Gangguan terhadap pertumbuhan

mengakibatkan laju pertumbuhan menjadi lebih lambat dan
organ-organ tanaman seperti daun, batang dan lain-lain
tidak mencapai ukuran yang normal.

Akibat lanjut dari

terganggunya pertumbuhan ialah kemerosotan dalam kuantitas maupun kualitas hasil.
Pada dasarnya kemerosotan hasil tanaman merupakan
akibat langsung ataupun tidak langsung dari gulma terhadap tanaman.

Pengaruh langsung ialah terjadinya

persaingan antara gulma dengan tanaman dalam ha1 memperebutkan sarana tumbuh yang diperlukan yaitu unsur
hara, cahaya, udara, air tanah dan ruang tumbuh (Klingman et al., 1975; Anderson, 1977).
tersedia biasanya terbatas.

Sarana tumbuh yang

Pada saat jumlah sarana

tumbuh yang tersedia lebih kecil dari yang dibutuhkan
oleh tanaman dan gulma maka persaingan mulai terjadi
(Etherington, 1976; Aldrich, 1984).

Dengan adanya per-

saingan tersebut tanaman tidak dapat memperoleh sarana
tumbuh sejumlah yang diperlukannya.

Akibatnya pertum-

buhan terhambat dan hasil yang dapat diberikan menjadi
lebih rendah.

Pengaruh langsung lain ialah terjadinya

parasitisme antara gulma dengan tanaman.

Gulma Omban-

che ramosa misalnya dapat memparasit tanaman jagung (Kasasian, 1971).

Dalam hubungan parasitisme antara gulma

dan tanaman jagung, gulma memperoleh keuntungan sedangkan tanaman jagung dirugikan (Richlefs, 1979).

Akibat-

nya hasil jagung merosot bahkan dalam ha1 ekstrim dapat
menjadi mati sebelum memberikan hasil.
!,

Pengaruh tidak langsung dari gulma terhadap tanaman
di antaranya gangguan hama atau penyakit menjadi lebih

parah.

Beberapa spesies gulma dapat menjadi inang se-

mentara bagi beberapa hama atau patogen penyebab penyakit (Madkar, Kuntohartono dan Mangoensoekardjo, 1986).
Dengan adanya gulma bersama tanaman maka kemungkinan
terjadinya gangguan hama atau penyakit dan intensitas
gangguan dapat menjadi lebih besar.

Alelopati juga me-

rupakan ha1 yang merugikan dari gulma tertentu terhadap
tanaman jagung.

Dalam fenonema ini gulma mengeluarkan

bahan kimia beracun ke lingkungannya sehingga tanaman
jagung atau tanaman lain yang tumbuh di lingkungan tersebut menjadi terhambat pertumbuhannya (Rice, 1974).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Bhownik dan Doll
(1982) banyak spesies gulma bersifat alelopati terhadap
tanaman jagung, di antaranya Chenopodiur albur L.,

taria v i r i d i s ( L . ) Beauv.

,

Se-

S e t a r i a g l a u c a (L. ) Beauv.

dan E c h i n o c h l o a c n z s g a l l i (L.) Beauv.

Sekitar 90 spe-

sies gulma di antaranya C y p r u s rotundus (L.) dan

Bleu-

sine indica ( L . ) Gaertn telah diketahui menimbulkan alelopati terhadap berbagai tanaman budidaya (Putnam dan
Weston, 1986).
Besarnya kerugian berupa kemerosotan hasil tanaman
sebagai akibat kompetisi dengan gulma dipengaruhi oleh
berbagai faktor.

Beberapa faktor yang mempengaruhi ting-

kat kompetisi di antaranya ialah spesies dan kepadatan
g u l m a , distribusi gulma d a n waktu pelaksanaan penyiangan gulma (Tjitrosoedirdjo, Utomo dan Wiroatmodjo,

1984).

Bila penyiangan dilakukan terlambat, kemerosotan

hasil akan meningkat.

Daya saing spesies gulma terhadap

tanaman tertentu berbeda satu sama lain.

Pada pertanam-

an jagung di Bandarjaya, Lampung, penurunan hasil jagung
akibat gulma dilaporkan oleh Ardjasa, Syam dan Imtias
(1977). Hasil jagung yang diperoleh pada perlakuan tanpa
penyiangan 18 persen lebih rendah dibandingkan dengan
yang disiang dua kali.

Demikian pula pada pertanaman

jagung di Cikeumeuh Bogor, pertanaman tanpa penyiangan
hanya memberikan hasil 49 persen dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan perlakuan pengendalian gulma
(Bangun, Iskandar dan Noor, 1978).

Dalam percobaan yang

dilakukan di Muara, Bogor dengan menggunakan berbagai
varietas jagung, penurunan hasil karena gulma mencapai
49 persen pada varietas Arjuna.

Pada varietas Nakula,

Hibrida C1 dan ~ a i i n ~penurunan
~a
hasil mencapai 43, 53
dan 55 persen (Bangun dan Sujana, 1988).

Henurut Bangun

(1992) kemerosotan hasil jagung sebagai akibat gulma
mencapai 16

-

82 persen.

Untuk mencegah berbagai kerugian yang dapat ditimbulkan oleh gulma, tindakan pengendalian gulma harus dilakukan.

Pearson (1973) menyebutkan, untuk menungkinkan

hasil yang tinggi pada tanaman jagung, pengendalian gulma secara intensif harus dilakukan.

Pengendalian gulma

dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu preventif,
mekanis, kultur teknis, penggunaan herbisida, biologis

oksigen yang diperlukan tumbuhan dan diserap melalui
akar tumbuhan.
Pada budidaya tanaman jagung pengolahan tanah untuk
mendapatkan keadaan tanah yang gembur sudah lazim dilakukan bahkan dulu mungkin merupakan satu keharusan.
Pada umumnya tanah diolah beberapa kali, biasanya dengan
membajak atau mencangkul diikuti penggaruan atau meratakan beberapa waktu kemudian.

Cara pengolahan tanah yang

demikian dikatakan sebagai pengolahan tanah konvensional.

Pada tanah yang padat, akar tanaman akan sulit

menembus tanah.

Biji sulit berkecambah, pertambahan dia-

meter dan panjang akar akan terhambat.

Untuk mencegah

terjadinya hambatan tersebut tanah perlu diolah agar
menjadi gembur dan sekaligus memperbaiki aerasi tanah
(Bowen, 1981 dalam Atkin dan Taylor, 1981).

Akan Tetapi

beberapa dekade belakangan ini dalam budidaya tanaman
jagung timbul pemikiran untuk mengurangi intensitas
pengolahan tanah bahkan kalau mungkin meniadakannya.
Pengurangan intensitas pengolahan tanah tersebut lazim
disebut sebagai sistem olah tanah konservasi, sesuai dengan tujuan pokok yang ingin dicapai yaitu menghindarkan
kerusakan tanah.

Menurut Sinukaban (1987) sistem olah

tanah konservasi adalah setiap cara pengolahan tanah
yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi dan aliran permukaan dan kalau mungkin dapat mempertahankan atau
meningkatkan produksi.

Tjitrosemito, Wiroatmodjo dan

Utomo (1987) menyebutkan prinsip olah tanah konservasi
adalah menjaga serasah tanaman maupun gulma tetap di
lapangan dan memanfaatkannya untuk melindungi tanah dari
erosi serta untuk menjaga kelembaban tanah.
Berbagai percobaan dengan cara pengolahan tanah
yang berbeda telah dilakukan oleh banyak peneliti.
derson

An-

(1986) mengemukakan penanaman jagung t a n p a

mengolah tanah (lazim disebut wno-tillagen) memberikan
hasil biji jagung 17 hingga 24 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan tanah konvensional.

Pada

penelitian berikutnya dilaporkan (Anderson, 1987) hasil
percobaan selama tiga tahun menunjukkan hasil biji
jagung yang diperoleh dari pertanaman tanpa olah tanah
dan olah tanah konvensional tidak berbeda nyata. Akan
tetapi olah tanah minimum dan pemupukan nitrogen keduanya meningkatkan bobot akar tanaman jagung pada lapisan
tanah 0

-

7 cm.

Hasil penelitian Herbek, Murdock dan

Blevins (1986) di Princeton, Amerika Serikat menunjukkan
bahwa hasil jagung dari perlakuan tanpa olah tanah lebih
tinggi dari pertanaman olah tanah konvensional.

Perbe-

daan hasil biji yang diperoleh semakin besar pada musim
yang lebih kering.

Pada lahan bekas kacangan alfalfa,

tanpa olah tanah memberikan hasil pipilan, serapan N
total dan kadar N daun tongkol lebih tinggi dari olah
tanah konvensional (Levin, Beegle dan Fox, 1987).

Tanpa

olah tanah pada pertanaman jagung mengakibatkan suhu

tanah lebih rendah, perkecambahan, laju pertumbuhan dan
pembungaan menjadi lebih lambat.

Untuk mengatasi perke-

cambahan yang lebih rendah tersebut diperlukan pemakaian
benih yang lebih banyak (Imholte dan Carter, 1987).
Hasil penelitian Edwards, Thurlow dan Eason (1988)
menunjukkan, hasil jagung yang diperoleh dari pertanaman
tanpa olah tanah dan olah tanah minimum fnstrip tilla-

ge") 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan tanah konvensional.

Populasi cacing *#stuntnematodew

(Tylenchorachynchus spp.) pada pertanaman jagung terus
menerus selama empat tahun yanta lebih tinggi pada pengolahan tanah konvensional dibandingkan tanpa olah tanah
maupun pengolahan tanah minimum.
Penelitian pengaruh cara pengolahan tanah pada tahun 1985, 1986 dan 1987 di Lexington, Amerika Serikat
dilaporkan oleh Munawar et al. (1990).

Pengolahan tanah

konvensional memberikan rataan hasil biji jagung sebanyak 3.71 ton ha-',

sementara tanpa pengolahan tanah

menghasilkan 4.76 ton ha-'.

Peningkatan hasil bi j i pada

perlakuan tanpa olah tanah mencapai 28 persen.
Gambaran yang berbeda dari yang telah disebutkan
terdahulu dimana tanpa olah tanah atau olah tanah minimum memberikan hasil yang lebih banyak, dikemukakan oleh
beberapa peneliti lain.

Ketcheson (1980) melaporkan

bahwa hasil biji jagung pada pertanaman tanpa olah tanah
atau olah tanah minimum lebih rendah dari pengolahan

tanah konvensional.

Peningkatan pemberian pupuk dari

dosis rekomendasi tidak dapat mengubah keadaan tersebut.
Diperkirakan yang menjadi 'penyebab rendahnya hasil pada
tanpa olah tanah dan olah tanah minimum ialah hambatan
mekanis tanah yang menyebabkan pertumbuhan tanaman jagung terganggu.

Stoskopf (1981) melaporkan hasil peng-

ujian terhadap beberapa cara pengolahan tanah selama
tiga tahun pada tiga jenis tanah di Ontario bahwa tanaman jagung tanpa olah tanah memberikan hasil 12 persen
lebih rendah dari pengolahan tanah konvensional.
Selanjutnya Al-Darby dan Lowery (1986) melaporkan
hasil penelitian selama tiga tahun memberikan rataan hasil jagung 8.49 ton ha-'

pada pertanaman tanpa olah ta-

nah sementara pada pengolahan tanah konvensional mencapai 8.75 ton ha-'.

Namun dengan kondisi curah hujan di

bawah normal, tanpa olah tanah memberikan hasil 18 persen lebih tinggi dari olah tanah konvensional.

Sinuka-

ban (1987) menyebutkan hasil penelitian selama 20 tahun
di Wisconsin pada tanah bertekstur lempung berdebu menunjukkan, rataan produksi jagung pada olah tanah konvensional enam persen lebih tinggi dari pertanaman tanpa
olah tanah.
Hasil penelitian Utomo, Frye dan Blevins (1990)
memberikan gambaran yang serupa.

Penanaman jagung pada

tahun 1984 dan 1985 di Lexington, Amerika Serikat pada
bekas penanaman "hairy vetchn, "ryes* dan %ern residuew

disertai pemupukan nitrogen 0, 85 dan 170 kg N ha"

mem-

berikan rataan hasil biji sebanyak 6.07 ton ha-'

pada

pengolahan tanah konvensional dan 5.73 ton ha"

pada

perlakuan tanpa olah tanah.

Di sini terlihat bahwa tan-

pa olah tanah memberikan hasil enam persen lebih rendah
dari olah tanah konvensional.
Walaupun hasil jagung yang diberikan pertanaman
tanpa olah tanah tidak selalu lebih tinggi, ternyata di
Amerika Serikat sistem penanaman jagung tanpa olah tanah
semakin meluas.

Pada tahun 1973 luas pertanaman jagung

tanpa olah tanah mencapai 16.4

juta hektar atau 17.8

persen dari seluruh pertanaman jagung di negara itu.
Pada tahun 1982 pertanaman jagung tanpa olah tanah telah
meningkat menjadi 35.3 juta hektar atau 34.5 persen dari
areal pertanaman jagung di Amerika Serikat (Newhouse dan
Crosbie, 1986)

.

Di negara bagian Pensylvania lebih dari

sepertiga areal pertanaman jagung adalah dengan sisten
tanpa olah tanah (Levin et al., 1987).
Di Indonesia beberapa penelitian telah diaakukan
untuk mengetahui pengaruh tanpa olah tanah pada pertanaman jagung.

Ardjasa et aZ. (1977) menyebutkan, perta-

naman jagung tanpa olah tanah memberikan hasil 20 persen
lebih rendah dari pengolahan tanah konvensional.

Se-

lanjutnya Bangun et al. (1978) melaporkan hasil jagung
menurun bila
Yahya

intensitas pengolahan tanah dikurangi.

(1985) meneliti

pengaruh p e n g o l a h a n t a n a h

dikombinasikan dengan pemupukan pada pertanaman jagung
pada tanah Latosol di Darmaga, Bogor.

Perlakuan tanpa

olah tanah memberikan hasil jagung 2 6 persen lebih
rendah dari perlakuan "full tillagew yaitu dicangkul dua
kali dan digaru satu kali.
Hasil penelitian Gumala (1987) menunjukkan hasil
percobaan yang berbeda dari yang disebutkan di atas.
Pada tanah Podzolik Merah Kuning di Kalimantan Barat,
pertanaman jagung tanpa olah tanah memberikan hasil 12
persen lebih tinggi dari olah tanah konvensional.
kian pula hasil penelitian Utomo

Demi-

(1987), pertanaman

jagung tanpa olah tanah di Lampung memberikan hasil
pipilan 26 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
pengolahan tanah konvensional.
Penelitian pengaruh pengolahan tanah dan pemupukan
nitrogen pada lahan alang-alang di Lampung dilaporkan
oleh Utomo, Suprapto dan Sunyoto (1989).

Hasil jagung

yang diperoleh pada tanpa olah tanah dan tanpa pemupukan

N lebih rendah dari pengolahan konvensional.

Akan teta-

pi bila tanpa olah tanah disertai dengan pemupukan 200
kg N ha",

hasil jagung

yang didapatkan

mencapai 5 740

kg, sedangkan olah tanah konvensional memakai dosis
pupuk yang sama hanya nenghasilkan 4 479 kg ha"

(22

persen lebih rendah).
Penelitian oleh Anas dan Bangun (1989) menunjukkan,
cara pengolahan tanah berpengaruh terhadap sifat biologi

tanah.

Penggunaan glifosat dalam penyiapan pertanaman

meningkatkan jumlah mikroorganisme tanah, jumlah fungi
dan bakteri Nitrosomonas di dalam tanah serta meningkatkan nilai respirasi tanah.
Berbagai hasil percobaan seperti telah dikemukakan
di Amerika Serikat maupun di Indonesia menunjukkan, pengaruh perlakuan tanpa olah tanah pada pertanaman jagung
tidak konsisten.

Dibandingkan denqan pertanaman dengan

sistem pengolahan tanah konvensional, hasil biji jagung
yang diperoleh dari pertanaman tanpa olah tanah dapat
mencapai 28 persen lebih tinggi , sebaliknya pada percobaan lain hasil yang diperoleh 26 persen lebih rendah.
Seperti disebutkan oleh Rahman (1987) pertanaman jagung
tanpa olah tanah tidak pada semua jenis tanah dapat diterapkan.

Dilihat dari sifat fisis tanah, pertanaman

jagung tanpa olah tanah dapat dianjurkan pada tanahtanah dengan berat isi c 1.2 g ~m'~.
Timbulnya sistem budidaya tanpa olah tanah atau
olah tanah minimum dilandasi dan bertujuan untuk konservasi tanah.

Dengan alasan itu pula sistem tersebut

lazim dinamai sistem olah tanah konservasi.

Pada sistem

ini vegetasi dimatikan memakai herbisida dan mulsa yang
berasal dari biomas vegetasi dibiarkan menutupi permukaan tanah.
Selain berguna untuk mencegah atau mengurangi bahaya erosi yang tercakup dalam pengertian konservasi,

mulsa tersebut berfungsi ganda dalam kaitannya dengan
masalah gulma.

Tertutupnya permukaan tanah oleh mulsa

menjadi hambatan bagi gulma untuk berkecambah dan tumbuh.

Dengan berkurangnya populasi gulma, tingkat per-

saingan antara tanaman pokok dengan gulma menjadi berkurang.

Keadaan demikian akan berakibat lanjut terhadap

pertumbuhan tanaman pokok lebih jagur sehingga hasilnya
menjadi lebih tinggi.

BAHAN DAN XETODE

'

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan terdiri atas serangkaian percobaan di lapangan, di rumah kaca dan di
laboratorium.

Percobaan di lapang berupa pertanaman ja-

gung secara tumpangsari dengan penutup tanah kacangan
sebanyak tiga kali, dilakukan di Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor, Darmaga IV, Bogor.

Ketinggian tern-

pat tersebut sekitar 250 m di atas permukaan laut dengan
jenis tanah Latosol.

Pertanaman I (Percobaan l), perta-

naman I1 (Percobaan 2) dan pertanaman I11 (Percobaan 3)
dilakukan berturut-turut bulan November 1989 hingga Februari 1990, bulan Maret hingga Juni 1990 dan bulan November 1991 hingga Februari 1992.
Percobaan di rumah kaca dilakukan di Laboratorium
Lapang Jurusan Budidaya Pertanian IPB, Darmaga IV, Bogor.
Percobaan pendahuluan untuk mengetahui dosis pemupukan
nitrogen untuk penutup tanah kacangan dilakukan dari bulan Agustus 1989 hingga Januari 1990.

Penanaman jagung

dan empat spesies gulma d i rumah kaca berlangsung dari
bulan Januari hingga Mei 1992.
Percobaan laboratorium berupa pengujian perkecambahan jagung dan empat spesies gulma dilakukan di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rangkaian percobaan ini berlangsung dari

bulan April hingga Juni 1992.

Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan tanaman terdiri dari benih jagung varietas
Arjuna, benih penutup tanah kacangan Calopogoniur caeruleum Hemsl. dan Centrosema prbescens Benth. serta benih
empat spesies gulma yaitu Eleusine indicia (L.) Gaertn.,
Cleome asvera L., Borreria laevis (Lamk.) Griseb. dan

Cyperus rotundus L. (Deskripsi jagung varietas Arjuna
tertera pada Tabel Lampiran 1).

Bahan agrokimia terdiri

dari pupuk N, P dan K dalam bentuk Urea, TSP dan KC1,
pestisida Furadan, Diazinon, Demicron, Thiodan dan Klerat serta herbisida Round Up.
Alat-alat yang digunakan antara lain pompa semprot
punggung ("Knapsack sprayerw) untuk aplikasi pestisida,
pengukur luas daun otomatis untuk pengukuran luas daun
tanaman jagung, termometer untuk mengukur suhu tanah,
oven, timbangan, kantong polybag, gelas ukur, kertas
tissu dan cawan petri untuk pengecambahan benih gulma.

Percobaan Pendahuluan
Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan ini untuk mengetahui pengaruh dosis pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan penutup tanah C. caeruleur dan

C.

-pbescens.

Dosis pemupukan ni-

trogen yang memberikan pertumbuhan yang terbaik diaplikasikan untuk penanaman penutup tanah di lapang.

Rancanuan Percobaan
Tingkat dosis pemupukan nitrogen yang diujikan pada
pertanaman di rumah kaca terdiri dari 0, 25, 50, 75 dan
100 kg N ha-'.

Rancangan yang digunakan ialah Rancangan

Acak Lengkap dengan delapan ulangan.
Pelaksanaan Percobaan
Delapan puluh kantong polybag hitam diisi dengan
tanah Latosol Darmaga yang telah dikeringkan, masingmasing sebanyak 10 kg.

Tanah tersebut diambil dari lo-

kasi tempat percobaan lapang.
pot dimasukkan pupuk

Ke dalam masing-masing

Urea sesuai dosis perlakuan dengan

memperhitungkan bobot tanah tiap hektar sedalam 20 cm
adalah dua juta kilogram.

Pupuk Urea dicampur dengan

tanah 10 cm lapisan atas di dalam polybag.

Pupuk TSP

dan KC1 diberikan dengan dosis masing-masing 22 kg P dan
41.5 kg K per hektar.

Pupuk Urea, TSP dan KC1 diaplika-

sikan satu hari sebelum penanaman benih.
Selanjutnya lima butir biji kacangan ditanaa pada
tiap polybag.

Pada umur 10 hari setelah tanaman kacang-

an muncul ke permukaan tanah dilakukan penjarangan dengan meninggalkan satu tanaman yang paling jagur,
Tanaman dipelihara sebaik-baiknya dengan mengadakan
penyiraman setiap hari.

Untuk menghindarkan persaingan

dengan gulma, penyiangan dilakukan dua minggu sekali dengan cara mencabut gulma.

Penaamatan dan Penaum~ulanData
Data yang dikumpulkan dalam percobaan ini ialah bobot kering tiap tanaman (terdiri dari tajuk dan akar)
pada umur satu, dua, tiga dan empat bulan setelah tumbuh.

Untuk itu setiap satu bulan setelah berkecambah,

dua pot tanaman tiap perlakuan dipanen, bagian akar dicuci dan ditimbang setelah dikeringkan memakai oven selama 72 jam dengan suhu 60°c.

Percobaan 1

Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan untuk mengetahui pengaruh tumpangsari penutup tanah berumur dua minggu dan pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
serta pertumbuhan gulma.
Rancanuan Percobaan
Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan
Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan.

Faktor

pertama adalah penutup tanah kacangan (faktor K) terdiri
dari 3 macam, yaitu:
KO : tanpa kacangan (pembanding)
K1 : Calopogoniur caeruleur
K2 : Centrosema pubescens
Faktor kedua ialah tingkat dosis pupuk nitrogen
(faktor N), terdiri dari empat taraf, yaitu:

NO :

0 kg N ha-'

N1 :

60 kg N ha-'

N2 : 120 kg N ha-'
N3 : 180 kg N 'a
h

Dengan demikian perlakuan pada Percobaan 1 berjumlah 12
kombinasi perlakuan. Petak percobaan berukuran 8 m x 5
sehingga luas netto areal Percobaan 1 440 m2.
Pelaksanaan Percobaan
Lahan yang digunakan untuk percobaan ini terdiri
dari tiga blok, masing-masing berukuran 27 m x 27 m.
Tanah tersebut diolah memakai cangkul dua kali dengan
selang waktu dua minggu.

Satu minggu setelah pengolahan

tanah 11, areal percobaan diratakan dan selanjutnya dibuat petakan-petakan percobaan berukuran 8 m x 5 m.

Ba-

tas antara petak percobaan satu meter dan batas antara
blok (ulangan) dua meter.
Benih kacangan C. caeruleum

dan C. pubescens ma-

sing-masing sebanyak 20 dan 30 kg ha-'
setelah pembuatan petak percobaan.
dalam alur sedalam 2

-

ditanam lima hari

Penanaman dilakukan

3 cm dengan jarak barisan 100 cm.

Dengan demikian ada 5 baris kacangan dengan panjang 8 m
pada tiap petak percobaan.
kan pupuk Urea dengan dosis

Pada saat penanaman diberi75

kg N ha-'.

Dosis ini di-

tentukan berdasarkan hasil Percobaan Pendahuluan di
rumah kaca.

Pupuk TSP dan KC1 masing-masing dengan

dosis 66 kg P dan 124.5 kg K, diaplikasikan secara sebar

pada waktu pengolahan tanah yang kedba.

Dosis ini di-

maksudkan termasuk pemupukan P dan K untuk tanaman jagung dengan dosis

44

kg P dan 83 kg K ha-'.

Tiga minggu

setelah penanaman kacangan diadakan penjarangan karena
kacangan yang tumbuh ternyata terlalu rapat.

Sekitar

sepertiga dari kacangan yang tumbuh dicabut/dimatikan.
Dua minggu setelah penanaman kacangan, pada saat
mana kecambah kacangan mulai nampak, jagung ditanam dengan ditugal di antara baris kacangan.
pada tiap petak percobaan terdapat
gung.

4

Dengan demikian

baris tanaman ja-

Jarak tanam jagung dalam baris 25 cm dengan 3

biji tiap lubang.

Pada saat tanam jagung, sepertiga do-

sis pupuk nitrogen (Urea) diaplikasikan dan sisanya diberikan pada umur jagung satu bulan, aplikasinya dalam
alur dengan jarak 10 cm dari barisan tanaman jagung.
dalam tiap lubang tanam jagung diberikan Furadan

3G

Ke
de-

ngan dosis 20 kg ha".
Penyulaman tanaman jagung dilakukan 7 hari setelah
tanam.

Penjarangan dilakukan 15 hari setelah tanam, di-

tinggalkan satu tanaman yang paling jagur tiap lubang.
Dengan demikian populasi tanaman adalah 40 000 tiap hektar.

Pemeliharaan selanjutnya ialah aplikasi Furadan 3G

pada pucuk tanaman jagung dan penyemprotan insektisida
Thiodan dan Diazinon untuk mencegah atau memberantas
hama.

Penyiangan gulma dilakukan secara manual

49 hari setelah tanam jagung.

21 dan

Bagan penempatan tanaman

i

tiap petak percobaan diperlihatkan pada Gambar Lampiran
1 dan denah percobaan 1 tertera pada Gambar

am pi ran 2.

Penaamatan dan Pensum~ulanData
Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap
peubah pertumbuhan dan hasil tanaman jagung, penutupan
(llcoveragew)penutup tanah kacangan, analisis vegetasi
gulma, analisis tanah, analisis kandungan N biji dan
brangkasan jagung dan data iklim sebagai data penunjang.
Pengamatan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil
tanaman
a. Tinggi tanaman,

j agung.
diukur dari permukaan tanah sampai

ujung daun tertinggi, dilakukan pada umur 3 , 5 , 7
dan 9 minggu setelah tanam (MST), digunakan enam tanaman contoh tiap petak.
b.

Bobot kering

tajuk tanaman jagung, digunakan 2 ta-

naman contoh tiap petak, diamati pada umur empat,
enam dan delapan minggu serta pada saat panen.

c.

Indeks Luas Daun (ILD) pada umur delapan m'inggu, dihitung berdasarkan luas daun total tiap tanaman dibagi dengan luasan yang ditempati tiap tanaman yaitu
2 500 cm2, digunakan dua tanaman contoh tiap petak.

d.

Lilit batang, diukur pada

pertengahan ruas pertama

batang pada saat panen (umur 13 minggu), digunakan 6
tanaman contoh tiap petak.

Pengamatan

a dan d di-

lakukan pada tanaman contoh yang sama, yang diambil
secara acak dari tiap petak, percobaan.

Pengamatan.

b dan c diukur dari dua tanaman tiap petak dengan
metode destruktif dan diambil dari bagian petak yang
telah dipersiapkan untuk maksud itu.
e.

Ukuran tongkol, diukur panjang tongkol jagung tanpa
klobot.

Digunakan 6 tongkol sampel tiap petak per-

cobaan.
f.

Bobot

biji tiap

tongkol, digunakan 3 tongkol tiap

petak percobaan.

r

g.

Bobot 100 butir biji jagung (indeks bi ji) .

h.

Produksi biji

pipilan kerinq tiap petak, dihitung

dari ubinan 2.5 m x 2 m.
Pengamatan penutupan kacanqan.

Penqamatan terhadap

penutupan ("coveragew) kacangan dilakukan secara visual
pada umur 1, 2, 3 dan 4 bulan denqan luas petak contoh
pengamatan 1 m x 1 m, satu petak contoh tiap petak percobaan.
Pengamatan pertumbuhan gulma.

Analisis vegetasi

gulma dilakukan satu hari sebelum penyiangan I, satu
hari sebelum penyianqan 11, dan satu hari sebelum panen
jagung.

Ukuran petak contoh pengamatan 50 cm x 50 cm.

Pada tiap penqamatan ini dikumpulkan data: penutupan
('tcoveragew) gulma, spesies gulma, kerapatan tiap
spesies gulma dan bobot kering tiap spesies gulma. Data
kerapatan gulma, frekuensi dan bobot kering masingmasing spesies digunakan untuk menghitung nilai **Sum
Dominance Ratiow (SDR) tiap spesies qulma.

Analisis tanah.

Analisis tanah dilakukan setelah

pembuatan petak percobaan dengan menggunakan satu sampel
komposit setiap setengah petak percobaan.

Sampel

diambil dari lima tempat yang terletak pada diagonal
tiap setengah petak percobaan.
sampel tanah 0

-

20 cm.

Kedalaman pengambilan

Analisis dilakukan terhadap pH,

C-organik, Kadar N , Fosfor dan Kalium tersedia serta
Kapasitas Tukar Kation.
Analisis kandungan N biji dan brangkasan jagung.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan
nitrogen tanaman jagung, dilakukan analisis kandungan
nitrogen biji dan brangkasan.

Tiap petak percobaan

diwakili satu sampel biji dan satu sampel brangkasan
jagung

.

Data iklim.

Data iklim yang dikumpulkan sebagai

data penunjang selama berlangsungnya percobaan terdiri
dari: curah hujan selama percobaan, suhu udara

(OC)

dan

.

kelembaban udara (persen)

Data ini diperoleh dari Stasiun Klimatologi Darmaga, berjarak sekitar tiga kilometer dari lokasi percobaan

(Data iklim tersebut di atas juga dikumpulkan selama

berlangsungnya Percobaan 2).

Percobaan 2

Tuiuan Percobaan
Tujuan percobaan untuk mengetahui pengaruh tumpangsari penutup tanah berumur empat bulan atau mulsanya dan
pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung, penekanan gulma dan kadar air serta suhu
tanah.
Rancanuan Percobaan
Perlakuan yang diujikan pada percobaan ini terdiri
dari dua faktor, yaitu faktor kacangan dan faktor nitrogen seperti pada Percobaan 1, namun unsur faktor K bertambah menjadi lima, yaitu tanpa kacangan (pembanding),
C. caeruleum, mulsa C. caeruleum,

C. pubescens.

C.

pubescens dan mulsa

Unsur faktor pemupukan N adalah sama se-

perti Percobaan 1 terdiri dari empat taraf.
Mulsa dimaksudkan di sini ialah mulsa yang diperoleh dari penutup tanah kacangan dan vegetasi pada petak
percobaan.

Untuk memperoleh mulsa ini setengah bagian

(50 persen) dari tiap petak pada Percobaan 1 yang di-

tumbuhi kacangan disemprot dengan herbisida Round Up
lima hari setelah pemanenan jagung pada Percobaan 1,
sedangkan petak-petak percobaan tanpa tanaman penutup
tanah, seluruhnya disemprot untuk mematikan vegetasi
gulma.

Dengan demikian pada Percobaan 2, perlakuan yang

dicobakan merupakan kombinasi faktor kacangan dan

nitrogen, semuanya berjumlah 20 perlakuan dengan tiga
ulangan memakai Rancangan Acak Kelompok.
percobaan menjadi 5 m x 4 m.

Ukuran petak

Dalam Percobaan 2 ini

pengacakan penempatan perlakuan hanya terhadap mulsa C.
caeruleum

dan mulsa C. pubescens, sedangkan unsur yang

lain sudah tertentu letaknya yaitu sama seperti pada
Percobaan 1.
Pelaksanaan Percobaan
Dua minggu setelah penyemprotan herbisida, dilakukan penyiapan penanaman jagung dengan pengolahan tanah
minimum.
20 cm.

Bekas barisan tanaman jagung dicangkul selebar
Pada saat pencangkulan tanah, pupuk TSP dan KC1

dengan dosis 44 kg P dan 83 kg K ha-'
untuk semua petak percobaan.

diaplikasikan

Dengan demikian pada waktu

pengolahan tanah minimum, pupuk TSP dan KC1 tercampur
dengan tanah sepanjang barisan tanaman jagung.

Untuk

membatasi petak percobaan menggunakan mulsa kacangan dengan kacangan yang masih tumbuh digunakan pelat seng
berukuran panjang tiga meter dan lebar 20 cm.
Penanaman jagung dilakukan satu minggu setelah
pengolahan tanah.

Cara penanaman, varietas, jarak tanam

dan dosis pemupukan nitro