Perubahan Suhu selama Proses Dekomposisi

Pupuk Hayati Hasil Dekomposisi digunakan adalah: baskom, ember, dandang, sendok, cangkul, hand sprayer, timbangan biasa, timbangan analitik, termometer, shaker, sentrifuse, alat destruksi, gelas kimia, dll Percobaan ini dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap RAL dengan pola faktorial, 2 faktor. Faktor I adalah: jenis limbah organik a, yaitu : a 1 = tandan kosong kelapa sawit TKKS, a 2 = jerami padi, a 3 = sampah kota, a 4 = ampas tahu. Faktor II adalah: jenis dekomposer b, yaitu : b 1 = cacing tanah L. rubellus dan b 2 = Trichoderma harzianum Dengan demikian terdapat 4 x 2 = 8 kombinasi perlakuan, setiap perlakuan diulang 3 x sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Pelaksanaan percobaan 1.Pembuatan Pupuk Hayati dengan Cacing Tanah sebagai Dekomposer: a. Bahan organik TKKS jerami padisampah kotaampas tahu dipotong-potong dengan ukuran sekitar 2 cm dan masing-masing dimasukkan ke dalam baskom, kemudian dicampur dengan kotoran sapi dengan perbandingan 1:2, lalu disiram dengan air sampai rata, selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu. Bahan dibolak-balik dan disiram bila terlihat kering. b. Setelah itu masukkan cacing ke dalam baskom yang telah diisi dengan masing- masing bahan organik sesuai dengan perlakuan sudah diinkubasi selama 2 minggu. Untuk 3 kg bahan organik diperlukan cacing sebanyak 0,25 kg. Suhu dicatat setiap hari dan lakukan pembalikan setiap seminggu sekali serta tambahkan air bila media terlihat kering. c. Pupuk hayati siap dipanen bila bahan sudah terlihat hancur, remah, dan biasa-nya berwarna hitam. Selanjutnya pupuk hayati dikeringanginkan sampai kadar airnya 40 dan disimpan dalam plastik. 2. Pembuatan Pupuk Hayati dengan T. Harzia-num sebagai dekomposer: a. Siapkan kantong plastik berwarna hitam dengan bobot isi sekitar 10 kg. b. Bahan organik TKKSjerami padi sampah kotaampas tahu sebanyak 10 kg, dipotong-potong dengan ukuran sekitar 2 cm, sehingga kondisinya sudah agak hancur. Bahan organik yang digu-nakan harus kering mutlak, kemudian dilakukan penyiraman sampai jenuh. c. Tambahkan 100 g Urea, 100 g SP- 36, dan 30 g kapur pertanian, dan diaduk sampai rata dengan bahan kompos. d. Inokulum Trichoderma dan pupuk kandang masing-masing sebanyak ½ kg per 10 kg bahan kompos diletakkan berselang-seling dengan ketebalan masing-masing 15 cm. e. Kadar air tumpukan dipertahankan 80 bobot basah setiap hari dengan penyiraman. Penyiraman dihentikan jika suhu sudah stabil. f. Pembalikan dilakukan setiap seminggu sekali untuk perbaikan aerasi. Panen dapat dilakukan setelah kompos matang yang ditandai dengan suhu stabil, warna kompos antara hitam dan coklat kehitaman. Kompos yang sudah dipanen dimasukkan ke dalam karung plastik. Variabel yang diamati adalah: - kandungan hara makro C, N, P, K, Ca, dan Mg, termasuk CN rasio - kandungan hara mikro Cu, Fe, Zn, Mn - suhu dan pH dari pupuk hayati. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perubahan Suhu selama Proses Dekomposisi

Hasil pengamatan tentang perubahan suhu yang terjadi selama proses dekomposisi menunjukkan bahwa suhu pada awal proses dekomposisi beberapa limbah organik dengan cacing tanah sebagai dekomposer relatif lebih rendah, jika dibandingkan dengan T. harzianum sebagai dekomposer. Peningkatan suhu terjadi sejalan dengan waktu sampai pada titik tertentu, kemudian turun sampai mencapai suatu titik yang relatif konstan. Perubahan suhu selama proses dekomposisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. ISSN 1979-0228 155 Jerami Volume I No. 3, September - Desember 2008 Pada Gambar 1 terlihat bahwa suhu pada awal proses dekomposisi beberapa limbah organik dengan cacing tanah sebagai dekom-poser tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan karena limbah organik yang digunakan sebagai media hidup dan sumber makanan bagi cacing tanah telah diinkubasi lebih dahulu selama 2 minggu dengan kondisi yang lembab. Kondisi yang ldemikian sangat disukai oleh cacing tanah untuk hidup dan berkembang. Keterangan : A1B1 : TKKS dengan dekomposer cacing tanah A2B1 : Jerami padi dengan dekomposer cacing tanah A3B1 : Sampah kota dengan dekomposer cacing tanah A4B1 : Ampas tahu dengan dekomposer cacing tanah Gambar 1. Perubahan Suhu Selama Proses Dekomposisi beberapa Limbah Organik dengan Cacing Tanah sebagai Dekomposer Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada awal proses dekomposisi beberapa limbah organik dengan T. harzianum sebagai dekomposer suhunya tidak terlalu tinggi yaitu 39º C, kemudian meningkat sejalan dengan pertambahan waktu sampai minggu ke 2 msi, setelah itu menurun mencapai kestabilan pada suhu 28º C. Suhu pada awal proses dekomposisi limbah organik oleh dekomposer T. harzianum lebih tinggi dibadingkan dengan cacing tanah sebagai dekomposer. Hal ini disebabkan karena T. harzianum sebagai mikroorganisme pengurai sedang aktif melakukan kegiatan metabolisme, dan menghasilkan panas yang dilepaskan ke lingkungan, sehingga suhunya lebih tinggi. Perubahan suhu mencapai titik maksimal yaitu 42ºC yang terjadi pada minggu ke 4 msi. Penurunan suhu terjadi setelah minggu ke 4 msi secara perlahan hingga mencapai titik kestabilan yaitu 28ºC pada minggu ke 8 msi. 2 Perubahan Nilai CN Hasil analisis terhadap nilai CN dari proses dekomposisi beberapa limbah organik TKKS, jerami padi, sampah kota, dan ampas tahu dengan dekomposer cacing tanah dan T. harzianum memperlihatkan bahwa TKKS pada awal dekomposisi mempunyai nilai CN lebih tinggi, jika dibandingkan dengan bahan organik lainnya jerami padi, sampah kota, dan ampas tahu. TKKS memiliki nilai CN yang tinggi pada minggu pertama, kemudian menurun dengan drastis pada minggu ke 2, dan selanjutnya menurun secara perlahan sampai mencapai nilai dibawah 15. Perubahan nilai CN dari limbah organik yang didekomposisi oleh cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 3. 156 ISSN 1979-0228 5 10 15 20 25 30 35 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Hari Pengamatan Su hu ºC A1B1 A2B1 A3B1 A4B1 Keterangan : A1B2 : TKKS dengan dekomposer T. harzianum A2B2 : Jerami padi dengan dekomposer T. harzianum A3B2 : Sampah kota dengan dekomposer T. harzianum A4B2 : Ampas tahu dengan dekomposer T. harzianum Gambar 2. Perubahan Suhu Selama Proses Dekomposisi beberapa Limbah Organik dengan T. harzianum sebagai Dekomposer Keterangan : A1B1 : TKKS dengan dekomposer cacing tanah A2B1 : Jerami padi dengan dekomposer cacing tanah A3B1 : Sampah kota dengan dekomposer cacing tanah A4B1 : Ampas tahu dengan dekomposer cacing tanah Gambar 3. Penurunan Presentase CN dari Dekomposisi beberapa Limbah Organik dengan Dekomposer Cacing Tanah Perubahan nilai CN dari dekomposisi beberapa limbah organik dengan dekomposer T. harzianum juga memperlihatkan pola yang hampir sama. Nilai CN yang paling tinggi diperlihatkan oleh TKKS, kemudian diikuti oleh jerami padi, sampah kota, dan ampas tahu. Tingginya nilai CN pada TKKS dan jerami padi disebabkan oleh kedua bahan organik tersebut banyak mengandung selulosa dan lignin. Perubahan nilai CN dari dekomposisi limbah organik dengan T. harzianum sebagai dekomposer dapat dilihat pada Gambar 4. Keterangan : A1B2 : TKKS dengan dekomposer T. harzianum A2B2 : Jerami padi dengan dekomposer T. harzianum A3B2 : Sampah kota dengan dekomposer T. harzianum A4B2 : Ampas tahu dengan dekomposer T. harzianum Gambar 4. Penurunan Presentase CN dari Dekomposisi beberapa Limbah Organik dengan Dekomposer T. harzianum Pada awal proses dekomposisi terlihat bahwa TKKS memiliki CN rasio lebih tinggi, kemudian pada minggu ke 2 mengalami penurunan dengan tajam, dan setelah itu terus turun secara perlahan-lahan sampai minggu ke 9 mencapai nilai 16. Hal yang sama juga terjadi pada dekomposisi jerami padi, sampah kota dan ampas tahu, namun sampah kota dan ampas tahu memperlihatkan nilai CN yang lebih rendah. Tingginya nilai CN dari TKKS dan jerami padi disebabkan karena bahan organik tersebut banyak mengandung selulosa dan lignin, sehingga sulit didekomposisi oleh mikroorganisme, oleh karena itu diperlukan dekomposer yang memiliki enzim selulase. Cacing tanah dan T. harzianum memiliki keunggulan, karena mampu menghasilkan enzim selulase sehingga dapat menguraikan bahan organik tersebut dengan baik.

3. Kandungan hara makro dan CN pupuk hayati