BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sangat mendambakan manusia-manusia yang bersumber-daya tinggi berkualitas yaitu manusia yang berperilaku bertaqwa kepada Allah
SWT, berilmu yang bermanfaat, beramal ilmiah dan berteknologi. Insan-insan itu harus dihadirkan tanpa menunggu-nunggu waktu lagi agar mampu berperan
dan bersaing di era globalisasi sekarang ini yang sangat ketat. Berbicara tentang sumber daya manusia, pendidikan merupakan wadah yang tepat di dalam upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Konsekuensinya, pembangunan di bidang pendidikan mutlak diutamakan dan dioptimalkan. Prioritas
pembangunan pendidikan harus dimulai dari sekolah dasar. Sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang membekali dan mempersiapkan peserta
didik untuk dapat mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya. Namun pendidikan nasional kita baik sekolah negeri maupun swasta, memiliki sejumlah
masalah yang salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah. Umaidi
1999: 2 mengatakan bahwa salah satu indikator rendahnya mutu tersebut adalah NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang sekolah dasar dan
menengah yang tidak menunjukkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali beberapa sekolah dengan jumlah
yang relatif kecil. Menurut Depdiknas 2001
b
: 2 ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan. Pertama, Program pembangunan
pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analisis yang tidak dilaksanakn secara konsekuen. Educational
production function terlalu memusatkan pada output pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat
penting dan menentukan output pendidikan sehingga mengakibatkan berapa banyak input pendidikan yang tidak termanfaatkan. Kedua, penyelenggaraan
sekolah pendidikan dilakukan dan diatur secara birokratik-sentralistik sehingga mengakibatkan sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif
untuk mengembangkan dan memajukan sekolah termasuk di dalamnya perbaikan mutu pendidikan yang merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Ketiga, kurangnya keterlibatan orang tua siswa dalam upaya memajukan sekolah. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa penyelenggaraan
pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu tidak aneh kalau partisipasi masyarakat lebih banyak bersifat kewajiban untuk
mendukung input pendidikan tertentu yaitu dana, bukan proses pendidikan pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas.
Sejalan dengan reformasi pendidikan yang dikaitkan dengan adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-
undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah, Pemerintah mempunyai kebijakan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di semua jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta dengan pendekatan peningkatan mutu pendidikan berbasis
sekolah dan masyarakat. Akan tetapi, implementasinya di sekolah dasar belum
2
berjalan sesuai dengan yang dikehendaki sebagaimana pelaksanaan school based management yakni otonomi sekolah, pengambilan keputusan partisipatif,
untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Praktek school based management yang sesungguhnya sesuai dengan konsep perlu diimplementasikan pada semua
sekolah, khususnya Sekolah Dasar. Persoalan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana implementasi
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah MPMBS dan relevansinya di masa mendatang, dengan melihat kondisi lingkungan masyarakat, ketersediaan
dan kesiapan input-input pendidikan yang mendukung keterlaksanaan program sekolah, yaitu iklim keterbukaan manajemen sekolah yang menyangkut program
dan dana, iklim kerja sama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat, bagaimana membangun kemandirian
sekolah, bagaimana ketercapaian sasaran yang telah diprogram sekolah, bagaimana dampak program terhadap sekolah, dan apa saja yang menjadi
kendala dalam pengimplementasiannya. Untuk melihat hal itu, penelitian dilakukan pada dua sekolah dasar yang
menurut anggapan masyarakat termasuk sekolah-sekolah yang favorit, berdasarkan besarnya animo masyarakat yang mendaftar di sekolah tersebut.
Kedua sekolah itu adalah SD Islam Al-Hilal Kartasura dan SD Negeri Pucangan 03 Kartasura. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa SD Islam
Al-Hilal Kartasura dan SD Negeri Pucangan 03 Kartasura menarik untuk diteliti:
3
Pertama, kompleksitas permasalahan pendidikan dan kondisi sekolah.
Mengingat keberagaman kondisi di masing-masing sekolah, baik dalam kualitas maupun lokasinya, pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah MPMBS perlu juga mempertimbangkan tingkat kemampuan manajemen masing-masing sekolah. Hal ini dipertimbangkan agar manfaat yang
ditawarkan oleh sistem baru tersebut dapat diambil secara maksimal dan untuk menghindari perlakuan yang sama pada semua sekolah. Selain itu, sekolah perlu
tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Dengan konsep MPMBS, sekolah diharapkan dapat lebih mandiri pada cara berpikir dan bersikap secara cepat dan
tepat dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi hambatan. Semua komponen sekolah terlibat dan mampu memberikan konstribusi dan berpartisipasi aktif
untuk kemajuan sekolahnya sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya. Sekolah yang menerapkan MPMBS diharapkan mampu untuk mandiri dan
melakukan terobosan-terobosan yang baru dan inovatif dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dengan segala konsekuensinya dan resiko serta prestasi yang
mungkin diraihnya. Kecerdasan dan kekompakan teamwork tampaknya menjadi syarat sekolah yang dapat menerapkan MPMBS.
SD Islam Al-Hilal Kartasura sebagai salah satu SD Islam swasta yang di bawah Yayasan Al-Hilal jelas memiliki masalah yang berbeda dengan SD
Negeri Pucangan 03 Kartasura. Sebagai contoh, dalam hal rekrutmen pegawai, SD Islam Al-Hilal Kartasura memiliki otoritas dalam menentukan sendiri berapa
banyak pegawai yang akan diterima, bagaimana model seleksinya dan berapa besar gaji yang akan diberikan pada pegawai baru serta beberapa aturan yang
4
bersifat intern sekolah. Lain halnya dengan SD Negeri Pucangan 03 Kartasura, jumlah pegawai sudah ditentukan oleh pemerintah, kalaupun ada kekurangan
tenaga pendidik harus melalui pengajuan atau usulan untuk selanjutnya menunggu droping. Meskipun hal ini bisa diantisipasi melalui perekrutan tenaga
tidak tetap honorer yang selanjutnya disingkat hr, namun tetap melalui prosedur yang melibatkan komite sekolah atau BP3 karena yang akan membayar
tenaga hr adalah komite atau BP3.
Kedua,
secara spesifik dalam pelaksanaan otonomi sekolah, perencanaan dan penyusunan program dan dana serta pengelolaan sumber daya
di masing-masing sekolah tentu saja berbeda. Di SD Islam Al-Hilal Kartasura perencanaan dan penyusunan program serta pengelolaan sumber daya dilakukan
secara intern oleh Yayasan Al-Hilal tanpa melibatkan BP3 dan masyarakat sekitar yang berkompeten atau pemerhati pendidikan. Penyusunan program dan
dana sekolah dilakukan pada Rapat Kerja Tahunan, sedangkan dalam hal dana disusun pula suatu perencanaan pendapatan dan belanja sekolah RAPBS yang
disusun tiap tahun bersama BP3 dan masyarakat. Sementara itu, di SD Negeri Pucangan 03 Kartasura perencanaan dan
penyusunan program dan dana sekolah serta pengelolaan sumber daya dilakukan secara bersama-sama antara pihak sekolah dan pihak BP3. pihak sekolah dalam
hal ini, kepala sekolah membuat suatu proposal rencana program sekolah selama satu tahun, masing-masing guru juga membuat rancangan program kegiatan
beserta anggaran yang dibutuhkan, BP3 juga membuat program kegiatan untuk satu tahun. Semua rancangan program ini kemudian dimusyawarahkan dalam
5
suatu rapat untuk kemudian disusun berdasarkan skala prioritas dengan tambahan dan pengurangan program serta dana. Hasil dari musyawarah ini
kemudian disosialisasikan kepada semua warga sekolah.
Ketiga, kedua sekolah sama-sama memiliki prestasi yang cukup
menonjol, baik yang bersikap akademik maupun non akademik. Dalam bidang akademik misalnya, SD Islam Al-Hilal Kartasura memperoleh NEM rata-rata
tertinggi se-kabupaten Sukoharjo tahun 2001 dan dalam bidang non akademik memperoleh juara satu lomba Qiroatul Quran se-Kabupaten Sukoharjo,
sedangkan SD Negeri Pucangan 03 Kartasura dalam bidang akademik memperoleh NEM rata-rata tertinggi se-Kecamatan Kartasura tahun 2000 dan
dalam bidang nonakademik menjuarai lomba tari se-Kabupaten Sukoharjo dan masih banyak lagi, misalnya lomba renang tingkat kabupaten dan baca puisi
tingkat kecamatan yang diperoleh kedua SD tersebut.
Keempat, hal menarik yang perlu dikaji adalah faktor kepala sekolah
SD Islam Al-Hilal Kartasura dipimpin oleh kepala sekolah yang sejak tahun 1983 belum pernah diganti hingga penelitian ini dilakukan 2004. Solechan
kepala sekolah SD tersebut mengatakan bahwa “Saya akan pensiun tahun 2006”. Dari keterangan di atas, yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana
tatanan organisasimenejemen yang selama ini dibangun oleh kepala sekolah yang sudah 21 tahun memimpin sekolah ini? Bagaimana kepala sekolah
mempersiapkan masa transisi awal pasca kepemimpinannya? Sementara itu, kepala sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kartasura saat
penelitian ini dilakukan telah mengalami empat kali pergantian kepala sekolah.
6
Kepala sekolah yang ada pada saat ini baru lima tahun memimpin sekolah tersebut. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana kepala sekolah yang
sekarang ini memimpin dan mengelola sumber daya yang dimiliki agar kehadirannya dan kepemimpinanya dapat diterima dan didukung oleh semua
pihak Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah salah jika penulis berharap
bahwa kedua SD tersebut nantinya mampu mengembangkan sekolah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dengan mengoptimalkan segala potensi yang
telah ada dan mengembangkannya lebih jauh. Beberapa alasan itulah yang menarik untuk diteliti lebih lanjut khususnya pada dua sekolah yang berbeda
tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu sekolah dalam pengembangan dan peningkatan kualitas manajemen yang pada gilirannya akan
memberikan kepuasan pada customers dan stakeholders.
B. Identifikasi Masalah