Dispensasi nikah dibawah umur (study kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010

(1)

Tahun 2009-2010)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

NURMILAH SARI Nim: 207044100474

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR

(Di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2011)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (Ssy)

Oleh : NURMILAH SARI Nim: 207044100474

Di bawah bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Nahrowi, SH., MH Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag NIP: 197302151999031002 NIP: 150 321 584

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Peradilan Agama.

Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP. 195505051982031012

2. Sekretaris : Mufidah, S.Hi

3. Pembimbing I : Nahrowi, SH.,MH NIP: 197302151999031002

4. Pembimbing II : Dr. Moh. Ali Wafa, S. Ag., M. Ag NIP: 150 321 584

5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP: 195003061976031001

6. Penguji II : Dr. Jaenal Arifin, MA NIP: 197210161998031004


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidfayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Juni 2011


(5)

i

ميحرلا نمرلا ها مسب

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan inayah-Nya dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan berbagai rasa yang menjadi satu lelah, kesal, sedih bahkan rasa sedikit putus asa yang muncul dibeberapa waktu, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.

Penulis menyadari bahwasanya manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain. Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama dan Ibu Rosdiana, M.Ag., sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama.


(6)

ii

3. Dr. Ahmad Yani, M.Ag., sebagai Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler dan Mufidah, S.Hi., sebagai Sekretaris Koordinator Teknis Program Non Reguler.

4. Bapak Nahrowi, SH., MH. Sebagai Dosen Pembimbing I dan Dr. Moh. Ali Wafa., S.Ag., M.ag. Sebagai Dosen Pembimbing II.

5. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Sebagai Penguji I dan Dr. Jaenal Arifin, MA. Sebagai Penguji II.

6. Pimpinan Perpustakaan beserta seluruh staff Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan Utama beserta seluruh staff yang sudah membantu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.

8. Drs. H. Ali Fikri, SH., MH, Sdra. Irfan Yunan, Sdr. M. Affan Gofar dan seluruh Staff Pengadilan Agama Tangerang tempat penulis mengadakan penelitian serta mendapatkan data dan informasi serta wawancara.

9. Yang tercinta dan terkasih untuk keluarga dan kedua orang tua khusunya untuk Ibuku yang terhebat yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa dan semangatnya, serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya sdri Marlianita, Syarifah Ummi Hanni, sdra Deni. K, Deni. H, Arifin, Muhiddin, Charis, Hakim, Syarifudin, Royhan, Indro, Bapak Tamim yang selalu ada waktunya bersama-sama menitih masa perkuliahan dari nol sampai wisuda ini.


(7)

iii

selalu memberikan bantuan berupa materil dan semangatnya sehingga saya bisa sampai tingkat ini, dengan segala kerendahan hati saya ucapkan banyak terimakasih.

11.Dan seluruh sahabatku yang tidak dapat aku sebutkan dan Semua Pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membatu saya dalam penyelesaian skripsi ini, saya menghanturkan terimakasih banyak atas bantuan semuanya baik yang berupa doa maupun materill yang tidak dapat penulis balas dengan baik, semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin

Jakarta, 20 Juni 2011


(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 5

C. Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Pemanfaatan Penelitian ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Review Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II: TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN ... 17

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan ... 17

B. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 22

C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ... 28

D. Pencegahan atau Larangan Dalam Pernikahan ... 32

BAB III : DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR ... 36

A. Pengertian Dispensasi Nikah ... 36


(9)

v

BAB IV: PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG PERMOHONAN

DISPENSASI NIKAH OLEH PENGADILAN AGAMA

TANGERANG ... 50

A. Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah ... 50

B. Wewenang Pengadilan Agama ... 52

C. Keterangan Pejabat Pengadilan Agama Tangerang Tentang Permohonan Dispensasi Nikah di Bawah Umur ... 63

D. Analisa Penulis ... 69

BAB V: PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran- Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama sempurna yang Allah SWT ciptakan untuk kita manusia. Serta ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah SWT turunkan kepada Rasul melalui wahyu Allah SWT, sebagai pedoman dan petunjuk jalan manusia menuju surganya Allah dan petunjuk untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat.1

Islam sangat membuka jalan dan tidak menginginkan manusia mempersulit diri karena sesungguhnya Allah SWT tidak suka dengan manusia yang mempersulit diri, dan Allah SWT sangat memberikan kesempatan bagi manusia yang ingin memperbaiki diri dengan niat tulus karena Allah taala.

Islam sangat bijaksana dan sempurna mengenai permasalahan hidup, bahkan tidak ada satu aspekpun yang tidak dibicarakan oleh hukum Allah, yakni mencakup semua aspek kehidupan yang mengatur hubungan dengan khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya.

Dalam hal ini Islam banyak mengatur mengenai hal perkawinan yang burtujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia maupun akhirat di bawah cinta kasih dari ridho Allah SWT. Dan tujuan lain dari pernikahan ialah

1

Wirjono Prodjodikoro, Hukum perkawinan di Indonesia (Bandung: Vorkik Van Hoeve, 1959), h.105.


(11)

ingin membentuk generasi yang bermanfaat untuk hari tua dengan mendidik dan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dan menjaga pandangan masyarakat, dan menghindari diri dari kerusakan seksual dan perjinahan yang sangat besar, serta tujuan dari sebuah perkawinan yang sah baik Agama dan Negara, yang sangat penting ialah memperjelas nasab si anak dan hukum waris itu sendiri.

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, serta kompilasi hukum islam (KHI) mempunyai tujuan yang sama mengenai arti perkawinan itu sendiri yakni bahwa pernikahan mempunyai tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan hidup dalam rumah tangga yang baik, namun bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalankan, karena akan banyak sekali permasalahan yang akan timbul dalam sebuah pernikahan. Tetapi tidak ada satu permasalahanpun yang tidak bisa diselesaikan, karena Allah SWT akan selalu memberi jalan kepada siapapun yang tidak sombong terhadap kebesaran Allah dan keyakinan pada diri sendiri bahwa segala sesuatu permasalahan akan selesai pada jalannya dan waktunya sendiri, karena yang berkaitan dengan iman dan takwa kepada Allah SWT akan manis dan indah jika dijalankan dengan kehidupan yang ikhlas dan selalu bersyukur kepada Allah dengan penuh kesabaran.

Perkawinan suami isteri sering kali adanya permasalahan, maka dari itu dalam berumah tangga janganlah cepat mengambil keputusan yang besar, cobalah


(12)

3

bersikap tenang dan sabar dalam berbagai hal, karena menerima kelebihan dan kekurangan pasangan adalah hal yang paling baik untuk mengurangi konflik dalam berumah tangga, karena sesungguhnya konflik dalam berumah tangga yang sering muncul ketika ego tidak dapat dikendalikan, seringkali ego yang muncul karena faktor usia, oleh sebab itu pernikahan cukup usia atau usia yang matang akan lebih baik untuk menjalani sebuah pernikahan.

Dalam sebuah pernikahan batas usia sudah ada batas umurnya, baik diatur dalam Undang-undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam kompilasi hukum islam (KHI), dan Pernikahan yang baik adalah Pernikahan yang kedua pasangan dalam posisi umur yang cukup. Namun ketika salah satu pasangan yang ingin menikah dalam posisi di bawah umur maka langkah selanjutnya adalah mengajukan dispensasi nikah atau penetapan nikah, agar bisa pernikahannya disahkan oleh kantor urusan agama (KUA), karena apabila salah satu pasangan diketahui di bawah umur atau umurnya belum diperbolehkan untuk menikah maka pihak kantor urusan agama (KUA) berhak menolak pernikahan tersebut dan meminta kedua pasangan mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama setempat.

Pentingnya penetapan dari Pengadilan Agama untuk menjalankan proses hukum atau aturan hukum yang jelas karena demi masa depan bagi sepasang calon yang ingin menikah, karena agar tidak terjerumus dalam pernikahan sirri (pernikahan sembunyi-sembunyi), lebih dikwatirkan kedua pasangan itu


(13)

terjerumus dalam pergaulan bebas atau kebiasaan kehidupan orang-orang barat

yakni mengedepankan kebiasaan “Kumpul Kebo” atau kumpul sepasang lawan

jenis tanpa adanya ikatan sebuah pernikahan yang sah baik Agama maupun Negara.

Maka dari itu wawasan atau ilmu pengetahuan yang luas harus dikedepankan untuk pendidikan si anak, baik ilmu pengetahuan secara umum maupun ilmu agama, karena apapun yang anak itu lakukan baik atau buruk adalah tanggung jawab orang tua yang utama, kemudian guru atau pihak-pihak sekolah, namun hal yang lebih banyak diserap adalah ilmu sosial atau hubungannya dengan masyarakat, jika si anak tidak mempunyai kekebalan atau ilmu yang baik dalam dirinya, maka akan gampang terjerumus dalam kehidupan negatif.

Dengan adanya penjelasan dan keterangan mengenai perkawinan di atas serta permasalahannya, maka dengan adanya keterangan atau penjelasan lebih lanjut diharapkan mampu memberikan seuatu jawaban dan penjelasan yang lebih jelas dan akurat, sedangkan untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan mengenai permasalahan di atas maka diperlukan suatu penglihatan yang secara baik dan bijaksana.

Dengan adanya tulisan ini, serta pemahaman dan terlibatnya langsung penulis ke tempat lokasi penelitian, maka penulis dapat memberikan keterangan yang lebih luas dan lebih lebih jelas agar dapat dibaca dan dipahami secara baik dan sempurna, sehingga penulis memilih judul ini dan menjadikannya bahan


(14)

5

penelitian yang baik untuk menambah pengetahuan bagi penulis secara khusus dan pembaca secara umum, yakni judul yang dimaksud ialah : “DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR (Studi kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010).

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan oleh penulis di atas, maka penelitian yang akan diteliti oleh penulis adalah mengetahui bagaimana pengaplikasian pernikahan di bawah umur oleh Pengadilan Agama Tangerang? Bagaimana proses jalannya dispensasi nikah di bawah umur oleh pihak Pengadilan Agama Tangerang? Bagaimana pendapat atau pandangan para hakim perihal putusan dispensasi nikah di bawah umur?

Untuk lebih fokus pada penelitian ini, maka penelitian ini dibatasi pada para pihak saja yang mempunyai keterkaitan pada tulisan ini, baik para hakim atau pihak dari Pengadilan Agama Tangerang lainnya, namun para pihak yang melangsungkan pernikahan tidak dapat penulis wawancarai, dikarenakan info atau data administrasi mengenai judul yang penulis ingin tulis, sudah diputuskan atau sudah ada putusan atau penetapan dari pihak Pengadilan Agama, dan selama penulis mencari data di Pengadilan, tidak ada satu kasus atau permohonan dispensasi yang masih berjalan dimuka sidang, semua putusan yang penulis dapati sudah berbentuk penetapan dari pihak Pengadilan Agama Tangerang. Sebagai bukti keterbatasan yang penulis paparkan di atas, maka penulis mencari data di


(15)

Pengadilan Agama Tangerang dan beberapa Pengadilan Agama lainnya sebagai suatu perbandingan dan pertimbangan penulis yakni untuk melengkapi penulis dalam mencari data serta mengobservasi data perihal sebuah kasus yang penulis ingin tulis dan pertimbangan hukum dari beberapa hakim tentang putusan dispensasi nikah di bawah umur oleh Pengadilan Agama Tangerang tahun 2009-2010.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang muncul terkait dengan pernikahan di bawah umur yang diperbolehkan oleh pihak Pengadilan Agama Tangerang dengan pernyataan dispensasi pernikahan di bawah umur, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana batasan usia minimal nikah menurut hukuk positif? 2. Apakah nikah di bawah umur bisa terjadi di luar Pengadilan Agama?

3. Bagaimana pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama Tangerang tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan yang telah disebutkan di atas maka tujuan sebuah penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui batasan minimal usia nikah menurut hukum positif.

2. Untuk mengetahui fakta hukum tentang nikah di bawah umur yang terjadi di luar Pengadilan Agama.


(16)

7

3. Untuk mengetahui pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama Tangerang tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi masyarakat Islam dalam menyingkapi permasalahan hiduh bagi para keluarga di dalam bermasyarakat. Dalam hal inipun pengakuan hukum atas peresmian seseorang yang ingin melangsungkan sebuah pernikahan yang disahkan oleh Agama serta Negara, menjadi acuan yang sangat penting karena untuk hal kedepannya agar lebih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun lingkungan di dalam masyarakat.

1. Untuk terciptanya sebuah pernikahan yang memang sudah semestinya ada dengan proses yang cepat dan mudah, namun karena beda hal dengan seseorang yang ingin menikah secara normal di kantor urusan agama (KUA), karena tidak mempunyai banyak faktor yang menghalangi, dengan cepat dan mudah seseorang untuk mengesahkan pernikahannya menurut Agama dan Negara.

2. Untuk mengetahui proses mendapatkan sebuah penetapan hukum dari Pengadilan Agama perihal sepasang calon mempelai yang ingin menikah karena usia di bawah umur yang disebut dengan dispensasi, yang dalam hukum positif batasan umur bagi para calon yang ingin menikah sudah sangat jelas, maka pernikahan yang tidak sesuai dengan aturan hukum atau syarat


(17)

nikah yang sudah ditetapkan, maka proses untuk menikah atau kawin harus meminta penetapan nikah dari pihak Pengadilan Agama setempat bukan dari kantor urusan agama (KUA). Dan prosedur atau proses di Pengadilan Agama tidaklah lama sesuai dengan jalannya persidangan yang baik oleh para pihak yang terkait. Namun jika proses persidangan mengalami hambatan atau persidangan tidak berjalan lancar, maka persidangan bisa mengalami hambatan dan akan berlangsung lama dengan proses yang begitu panjang. 3. Terakhir penelitian ini diharapkan dapat merumuskan cara yang tepat dalam

hal penerapan hukum yang memperbolehkan adanya dispensasi nikah di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang serta pengakuan hukum yang sah baik Agama serta Negara.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana.

1. Obyek Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai

dengan judul skripsi “Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-2010). Sehingga berdasarkan skripsi ini, maka lokasi penelitian ialah Pengadilan Agama Tangerang.


(18)

9

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah suatu tindakan untuk mencari jawaban secara dinamis dengan tujuan yang terfokus untuk memecahkan masalah serta mengikuti langkah-langkah yang logis, terorganisasi dan ketat untuk mengindentifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data serta menarik suatu kesimpulan yang lengkap dan akurat.

3. Metode Pendekatan

Metode ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan hukum (law in action) terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta prateknya dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia (law in books), maka metode pendekatannya bersifat Kualitatif Yuridis Normatif. 4. Jenis Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum bersifat kualitatif yuridis normatif yang bersumber dari temuan fakta data dari lapangan, maka selain melakukan metode wawancara (interview) dan metode penyelidikan (investigation), juga mencari temuan fakta data dari bahan hukum.

Data sekunder adalah jenis data yang dipakai dalam penulisan ini, diantaranya dilengkapi dari bahan-bahan hukum primer seperti Undang-undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Peradilan Agama, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang Tentang Hak-Hak Anak, serta aturan hukum mengenai Kesehatan dan Hak-Hak Wanita dan Sebuah Putusan Penetapan Permohonan Nikah.


(19)

Bahan hukum sekunder yakni bersumber dari buku-buku perihal penjelasan tentang pernikahan seperti hukum perkawinan di Indonesia pengarang Wirjono Prodjodikoro dan buku perihal pernikahan lainnya.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum untuk melengkapi bahan hukum primer dan sekunder, adapaun beberapa wawancara dengan orang-orang yang terkait seperti wawancara dengan beberapa pihak di Pengadilan Agama diantaranya para hakim serta panitera yang terkait yakni hakim dan panitera dari Pengadilan Agama Tangerang digunakan untuk mendukung penelitian normatif yang didapat.

5. Sumber Data

Data adalah sumber penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang meneliti dan mencari informasi penelitiannya berdasarkan jenis data dan sumber data yang didapatkan.

a. Metode kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku atau teks-teks tulisan lainnya, serta membaca, memahami dan menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, khususnya dispensasi nikah di bawah umur.

b. Metode Lapangan, yaitu melakukan penelitian berupa wawancara (informan), lansung dengan para pihak Pengadilan Agama Tangerang. 6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(20)

11

a. Wawancara (interview)

Wawancara dilakukan oleh penulis dengan mewawancari beberapa hakim, panitera serta orang-orang yang terkait.

b. Studi Literatur (literatureReview)

Dengan ini penulis mencari data tentang proses dispensasi nikah di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang dengan menggunakan metode literature atau kepustakaan, berupa buku-buku, artikel, tabloid, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari hasil tersebut kemudian penulis mengklasifikasikan dan dianalisa secara sistimatis sesuai dengan cara penulisan hasil skripsi.

7. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif yuridis normatif, analisa data yang digunakan adalah secara induktif. Proses data dimulai dengan penyeleksian data yang telah dikumpulkan, kemudian dikelasifikasikan menurut katagori tertentu. Tahap selanjutnya, ialah meninjau aturan hukum positif perihal nikah di bawah umur. Adapun langkah oprasionalnya adalah sebagai berikut:

a. Mendiskripsikan hasil-hasil penelitian dalam bentuk kronologis.

b. Dari data yang sudah tersusun, kemudian diklasifikasikan untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan yang diteliti, yakni sebab timbulnya adanya dispensasi pernikahan di bawah umur yang diperbolehkan di Pengadilan Agama dari segi Agama, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.


(21)

c. Interpretasi data yaitu mengumpulkan seluruh data yang diperoleh baik dari data primer, data sekunder maupun data tersier.

d. Menarik kesimpulan terhadap persoalan yang sedang penulis teliti.

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya diadakan analisis secara kualitatif, yaitu bersumber dari data primer dan bahan hukum sekunder dan dilengkapi dengan wawancara atau data tersier.

G. Review Penelitian

Penelitian yang dikajikan pada alasan-alasan adanya atau diperbolehkannya dispensasi nikah yang sudah dilakukan atau yang sudah terjadi diantaranya:

No. Nama Judul Isi Tahun

1. Ayatullah Pemberian

Dispensasi Kawin di Bawah Umur oleh Pengadilan Agama (Studi Kasus PA Jakarta Pusat)

Skripsi ini mengungkap sebuah pertanyaan besar dikalangan masyarakat yang menyatakan kenapa disebagian besar

Pengadilan Agama

membolehkan Pernikahan di bawah umur.

2004/ PA

2. Ahmad Rifa’i Dispensasi Kawin

di Bawah Umur

Skripsi ini lebih mengungkap atau

2006/ PA


(22)

13 oleh Pengadilan Agama. (Studi Analisa Keputusan No. 07/Pdt.P/2002/ PA.cbn di PA Cibinong).

menjelaskan mengenai Analisis Keputusan No. 07/Pdt.P/2002/PA tentang diperbolehkan pernikahan di bawah umur.

3. Muhawwaroh Pernikahan di

Bawah Umur Akibat Hamil di Luar Nikah (Studi Kasus di Desa Pulo Timaha Babelan Bekasi).

Skripsi ini menjelaskan Perkawinan di Bawah Umur yang dibolehkan bersumber karena dasar Psikologi anak yang ingin menikah di bawah umur, sehingga jika dibatasi atau dicegah akan mengganggu psikologi anak.

2006/ SJAS

4. Wahyudi. A Pandangan

Masyarakat Terhadap Perkawinan Hamil di Luar

Skripsi ini lebih menjelaskan terhadap berbagai pandangan masyarakat mengenai diperbolehkannya 2008/ PA


(23)

Nikah (Studi pada Masyarakat Desa

Curug Kec.

Gunungsindur Kab. Bogor).

melangsungkan

pernikahan yang di bawah umur.

5. Nurmilah Sari Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi

Kasus Di

Pengadilan Agama

Tangerang tahun 2009-2011).

Isi dari skripsi saya ini, berbeda dengan skripsi yang terdahulu, isi dari skripsi saya lebih luas penjelasannya karena mencakup beberapa aspek aturan hukum, baik hukum positif maupun beberapa hukum lainnya yang terkait. Dan mencari sumber data dari beberapa pengadilan agama yang berbeda. Serta menganalisa alasan terbanyak dari beberapa putusan atau penetapan

2011/ PA


(24)

15

dari pengadilan agama tangerang tentang dispensasi nikah di bawah umur.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yakni sebagai berikut :

Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, pemanfaatan penelitian, metode penelitian, review penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan mengenai tinjauan teoritis tentang pernikahan yang isinya meliputi, pengertian dan dasar hukum pernikahan, syarat dan rukun pernikahan, serta tujuan dan hikmah pernikahan, dan pencegahan atau larangan dalam pernikahan.

Bab ketiga merupakan pembahasan perihal dispensasi nikah di bawah umur, yang isinya ialah pengertian dispensasi nikah di bawah umur, batas usia nikah menurut hukum positif, serta faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur, dan dampak akibat nikah di bawah umur.

Bab keempat merupakan hasil dari penelitian yang penulis laporkan dalam skripsi ini, yang didalamnya dijelaskan mengenai pertimbangan hukum tentang permohonan dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama Tangerang yang isinya


(25)

mengenai prosedur pengajuan dispensasi nikah, wewenang Pengadilan Agama, dan keterangan Pejabat Penggadilan Agama tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur serta analisa penulis.

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat penulis ambil dari keseluruhan skripsi ini, dan diakhiri dengan saran dan rekomendasi yang penulis berikan.


(26)

17

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Kata “Pernikahan” berasal dari kata “Nikah” atau “Zawaj” yang dari

bahasa Arab dilihat secara bahasa berarti berkumpul dan mendidih atau

dengan ungkapan lain bermakna “Akad dan Bersetubuh” yang secara syara berarti akad Pernikahan. Secara terminologi (istilah) “Nikah” atau “Zawaj”,

yakni: “Akad yang mengadung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan, dan bersetubuh atau sebagai akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang laki-laki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya.

Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami-isteri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh

lainnya yang dalam ilmu fiqh disebut “milku al-intifa” yakni hak memiliki

penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.2

2

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab


(27)

Dalam bahasa Indonesia kata perkawinan bersal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.3 Dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, pernikahan disebut dengan An-Nikah dan Az-Ziwaj az-Zawaj, yang artinya berkumpul atau menindas dan saling memasukan. Kata Nikah yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat : 230, yang berbunyi:









































































Artinya: Maka Jika Suami menolaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. (QS. al-Baqârah [2] ayat : 230).

Pendapat Ahli Ushul, mengartikan arti nikah, sebagai berikut: a. Ulama Syafi’iyah, berpendapat :

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “akad”, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “bersetubuh” dengan lawan jenis.

b. Ulama Hanafiyah, berpendapat :

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh”, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “akad” yang

3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Nikah, cet.II,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.32.


(28)

19

menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. pendapat ini sebaliknya dari pendapat ulama syafi’iyah.

c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, berpendapat : Bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya,4 mengandung dua unsur

sekaligus, yaitu kata nikah sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”.5

Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.6

Menurut para sarjana hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut, yakni :

a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan : Arti Perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara.

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet.II, ( Jakarta: Prenada Mulia, 2007), h. 36-37.

5

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama (Jakarta: LSIK, 1994), h.53.

6


(29)

b. Subekti, mengemukakan : Arti Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut baik Agama maupun aturan hukum Negara.7

Dari pengertian perkawinan di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur-unsur dari suatu Perkawinan, yaitu:

a. Adanya suatu hubungan hukum; b. Adanya seorang pria dan wanita;

c. Untuk membentuk keluarga (rumah tangga); d. Untuk waktu yang lama;

e. Dilakukan menurut Undang-undang dan aturan hukum yang berlaku. Abu Yahya Zakariya Al- Anshary,8 memberikan arti “Nikah” menurut istilah Syara ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

7

Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet.II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.27-28.

8

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab (Singapura: Su laiman Mar’iy, t.t),


(30)

21

2. Dasar Hukum Pernikahan

Pada dasarnya arti “Nikah’ adalah Akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami-isteri.9

Islam menganjurkan dengan beberapa cara, dimana salah satunya adalah mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan firman Allah SWT Surat

Ar-Ra’ad (13) ayat : 38, yang berbunyi:













































Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunannya.

Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul ayat (mu’jizat) melainkan dengan izin

Allah SWT. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38).

Dan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT terhadap orang yang ragu

untuk melakukan akad atau “Nikah”, maka Allah SWT menjanjikan suatu hal

untuk memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, dan menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan, dan apabila keraguan menghilang dan timbul sifat positif dan keberanian, maka Allah SWT akan kabulkan yang mempunyai nilai yang baik dan pantas menurut Allah SWT.

9


(31)

Seperti dalam firman Allah SWT Surat An-Nissa (4) ayat : 3, yang berbunyi:

















































































. 

Artinya: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua. tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya”. (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38).

Sehingga dasar hukum perkawinan yakni mengacu kepada Firman Allah SWT yakni Al-Quran nur karim dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena inilah dasar hukum yang utama, sehingga hukum-hukum yang ada sekarang mengacu kepada sumber utama yang di atas.

B. Rukun Dan Syarat Pernikahan

Rukun dan Syarat pernikahan dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Karena kebanyakan aktifitas ibadah yang ada dalam Agama Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga sedikit bisa dibedakan dari pengertian keduanya yakni syarat merupakan suatu hal yang harus atau dipenuhi sebelum perbuatan dilaksanakan. Sedangkan rukun adalah hal yang harus ada dalam suatu akad atau perbuatan. Lebih jelasnya, akan dipaparkan, sebagai berikut:


(32)

23

1. Rukun Pernikahan

Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakukan untuk mentaati perintah Allah SWT, dan dengan melaksanakannya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah SWT.10

Karena perkawinan yang syara akan ibadah dan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam untuk melaksanakan perkawinan dalam rukun nikah harus ada :

a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali Nikah;

d. Dua Orang Saksi dan; e. Ijab dan Kabul.11

Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti keharusan atau

10

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.69.

11

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), h. 5


(33)

kewajiban ada kedua calon memepelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-qabul serta dua orang saksi.12

2. Syarat Pernikahan

Sedangkan dalam memenuhi persyaratan perkawinan, karena banyak info yang dapat mempermudah masyarakat melangsungkan pernikahan dan mengurus prosedur perkawinan berdasarkan hukum Islam dan aturan-aturan hukum di Indonesaia.

Dalam melangsungkan dan mengurus administrasi Pernikahan di kantor urusan agama (KUA) mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Pengadilan Agama sebagaimana Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.13

Sedangkan dalam prosedurnya Pernikahan bagi Warga Negara Indonesai yang beragama Non Muslim, maka perkaranya akan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.

12

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 24.

13

Djalil Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat), cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006 ). h. 185


(34)

25

Di masyarakat masih banyak permasalahan yang ada timbul karena persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persyaratan perkawinan atau hal-hal yang berkaitan dengan administrasinya.

Adapun syarat merupakan suatu hal yang mesti dijalani dalam perkawinan. Apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat (1) yaitu: Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Dan pada ayat (2) yaitu: Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.14

Dan ada beberapa pendapat diantara para mazhab fiqh mengenai syarat sah suatu perkawinan. Pada garis besarnya pendapat tentang syarat-syarat sahnya perkawinan ada dua:

a. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikan isterinya;

b. Aqad harus disaksikan oleh saksi.15

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:

14

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 19

15


(35)

a. Aqad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.16

1) Shigot, yaitu ibarat ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut:

a) Menggunakan lafaz tertentu, baik dalam Lafaz “Sarih”. Misalnya: Tazwij atau Nikah.

Maupun Lafaz “Kinayah”, seperti: “Saya sedekahkan anak saya

kepada kamu” dan sebagainya;

b) Ijab-qabul dilakukan di dalam satu majelis;

c) Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; d) Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;

e) Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.

2) Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh, dan merdeka.

3) Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya adalah : a) Berakal;

b) Baliqh; c) Merdeka; d) Islam;

e) Kedua orang saksi mendengar.17

16

Ahmad Rofiq, Op, Cit, h. 69.

17


(36)

27

b. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6:

1) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai; 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat ijin orang tua;

3) Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya; 4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.


(37)

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-maing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.18

C. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan

Setiap manusia dalam melakukan sesuatu hal perbuatan hukum tentunya memiliki tujuan, dan setiap perbuatan hukum memiliki hikmah tersendiri yang berkenaan dengan hidup baik dalam hal pernikahan maupun perihal lainnya. 1. Tujuan pernikahan;

Tujuan makhluk allah yakni secara khusus adalah manusia, tujuan pernikahan sangat beragam, sesuai dengan pola fikir masing-masing individu di masyarakat yang sangat beragam. Ada yang bertujuan hanya sekedar meningkatkan karir, untuk meraih jabatan tertentu ataupun hanya sekedar status semata di masyarakat, dan sebagainya. Tetapi dalam Islam tidaklah seperti itu. Islam memberikan akal pikiran yang sehat lagi dewasa sehingga mampu melihat dan memilih suatu hal, dengan niat ataupun tujuan yang sangat logis dan manusiawi. Islam memberikan rumusan mengenai tujuan pernikahan yang sedikitnya ada tiga tujuan pernikahan sebagai berikut: a. Menentramkan Jiwa;

b. Perkawinan dapat membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan penuh rasa kasih dan sayang, sehingga merasa damai, tenang, dan tentram;

18

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 81


(38)

29

c. Mewujudkan (melestarikan) keturunan;

d. Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban saja namun amanat dari Allah SWT yang diharap lahir dengan membawa ketaatan kepada Allah SWT;

e. Menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak.

Manusia memiliki berbagai macam rasa, niat, perilaku dan sifat yang sering kali berbeda-beda dan berubah-ubah. Baik dalam hal kebaikan maupun dalam hal keburukan atau hal-hal yang condong ke perilaku yang negatif. Maka dalam hal tujuan perkawinan Islam sangat tegas menyatakan bahwa dalam menikah atau seorang yang ingin menikah, atau memiliki tujuan yakni dapat menyelamatkan akhlak manusia dari kerusakan dan perjinahan, baik dikalangan remaja maupun dewasa.

Menurut Imam Al- Ghajali dalam kitab Ihya Ulumuddin tentang faedah melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang;

c. Memenuhi panggilan agama. Memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;


(39)

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak, serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal;

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas penuh cinta dan kasih yang halal.

Sedangkan menurut Asaf A. A. Fyzee, tujuan nikah dapat dilihat dari tiga Aspek, yaitu:

a. Aspek Agama (Ibadah); 1) Memperoleh keturunan.

2) Perkawinan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW. 3) Perkawinan mendatangkan Rejeki dan menghilangkan

kesulitan-kesulitan.

b. Aspek Sosial (Masyarakat);

1) Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum dinilai fisiknya yang lemah karena setelah pernikahan si isteri akan mendapat perlindungan dari suaminya, baik masalah nafkah atau gangguan orang lain serta mendapat pengakuan yang sah dan baik dari masyarakat.

2) Mendatangkan sakinah (ketentraman bathin), menimbulkan mawaddah dan mahabbah (cinta kasih) serta rahmah (kasih sayang) antara suami isteri, anak-anak dan seluruh anggota keluarga.


(40)

31

c. Aspek Hukum (Negara).

Perkawinan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian luhur antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Dengan akad yang sah dimata Agama dan Negara, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri serta perlindungan dan pengakuan hukum baik Agama maupun Negara.19

2. Hikmah Perkawinan

Allah SWT, telah menjadikan makhluk-Nya berpasang- pasangan. Dengan kata lain, ketika manusia dijadikan makhluk Allah SWT yang paling sempurna, dan kesempurnaannya dapat dilihat dari kehidupan manusia yang saling berpasang- pasangan dari lawan jenis kamu.

Perkawinan dalam Islam menurut Abdurrahman Wahid bukan sekedar akad nikah, melainkan memiliki dimensi lain yang tidak boleh hilang yaitu cinta dan kasih sayang (mawaddah dan warrahmah), dengan menjadikan ikatan yang kokoh. Rahman disini bukan berarti kesejahteraan saja, melainkan pengikat dengan dimensi fisik termasuk biologis seperti reproduksi.20 Menurut beberapa para pakar hukum, perkawinan adalah suatu ikatan atau perjanjian lahir batin antara kedua pasangan hingga penjaminan suatu hal ataupun perbuatan yang bisa menjadikan perbuatan hukum. Antara lain hikmah yang

19

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z, Loc. Cit., h. 57-63.

20

Abdurrahman Wahid, Refleksi Teologis Dalam Perkawinan (Bandung: Mizan, 1999), h.172.


(41)

dapat dilihat dalam perkawinan itu ialah menghalangi umat dari hal-hal atau perbuatan yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari kerusakan seksual.21

Dari hikmah- hikmah perkawinan yang disebutkan di atas, dapatlah penulis ambil untuk ilmu secara pribadi dan pada saatnya semua manusia juga dapat merasakan dan menjadikan hikmah ini sebagai motivasai untuk kedepannya dan menjadikan kita selalu manusia yang selalu bersyukur kepada Allah SWT.

D. Pencegahan atau Larangan dalam Pernikahan

Larangan perkawinan dalam aturan perdata di Indonesia di atur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 13 yang

berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.22 Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal, yakni:

Pertama; Persyaratan Administrasi, dan Kedua; Persyaratan Materil. Persyaratan Administrasi berhubungan dengan Administrasi Perkawinan. Adapun Syarat Materil menyangkut hal-hal yang mendasar seperti larangan perkawinan. Misalnya, Perkawinan yang dapat dicegah apabila salah seorang atau kedua mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain, pecegahan ini tidak

21

Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media, 2003), h.81.

22

Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan,cet. II,(Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84


(42)

33

berlaku terhadap seorang suami yang telah mendapat izin dispensasi poligami oleh Pengadilan Agama.

Larangan Kawin BAB VI Pasal 39 dalam Kompilasi Hukum Islam, Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan, sebagai berikuti:23

1. Karena pertalian nasab :

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena pertalian kerabat semenda :

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan bekas isterinya itu qobla Dukhul;

d. Dengan seorang wanita bekas isteri kerturunannya. 3. Karena Pertalian Sesusuan;

a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

23

Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h.11-12.


(43)

c. Dengan saudara wanita sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah; d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Adapun mekanisme yang ditempuh dari pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan dan diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah atau KUA (kantor urusan agama).

Dan pasal 14 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi:24

1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini juga berhak mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang masing-masing mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti dalam ayat (1) Pasal 1.

Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

menyatakan : “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah

24

Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II,(Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84


(44)

35

satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”.25

Pasal 16 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan perkawinan. Dan pada ayat (1), yakni Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Dan pada ayat (2), yakni Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Dan Dipertegas dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 20, yaitu: “Pegawai pencatatan perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dalam dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.26

25

Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84- 85.

26 Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 85-86


(45)

36

BAB III

DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR

A. Pengertian Dispensasi Nikah Di Bawah Umur

Pernikahan di bawah umur atau Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang terajdi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan.

Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua.

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur


(46)

37

dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

Keterangan di atas, memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan arti dispensasi atau batasan umur dapat dilihat dari:

1. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA, sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong dan memberi arahan untuk masa depan bagi si anak.

2. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak dapat dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai syarat yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini bahwa calon (suami isteri) itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan


(47)

dengan batas umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau usia yang lebih tinggi.27

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak ada aturan hukum yang menjelaskan batasan minimal usia bagi para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dalam hal ini Hakim mempunyai Ijtihad atau pertimbangan hukum sendiri untuk bisa memutuskan perkara permohonan nikah di bawah umur, dan hakim mempunyai wewenang penuh untuk mengabulkan sebuah permohonan baik mengabulkan maupun menolak sebuah permohonan penetapan nikah di bawah umur tersebut.28

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini menyimpulkan pendapat bahwa hal ini menjadi suatu kelemahan terhadap Undang-undang Perkawinan itu sendiri. Dan ditafsirkan bahwa pemberian dispensasi nikah di bawah umur, untuk putusan sepenuhnya diserahkan kepada pejabat yang berwenang yaitu hakim dalam Peradilan Agama setempat.29

Walaupun tidak ada batas usia nikah bagi calon suami, sama hal terhadap batas usia bagi calon isteri juga tidak ada ketentuannya. Namun ada sumber hukum yang diambil dari Aisyah r.a, yang artinya sebagai berikut yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yakni : “Dari Aisyah r.a

27

K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976 ), h.30.

28

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 2007), h.136.

29

Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia (Serang: Saudara Serang, 1995), h 100-102.


(48)

39

sesungguhnya Nabi SAW telah menikah dengannya pada saat ia berumur enam

tahun dan ia diserahkan kepada Nabi SAW pada usia sembilan tahun”.30

Hadist di atas hanyalah bersifat khabariyah (kabar) saja tentang perkawinan Nabi Muhammad SAW, namun di dalamnya tidak dijumpai khitab

(pernyataan), baik berupa pernyataan yang mesti diikuti ataupun pernyataan untuk ditinggalkan.

Karena itu pernyataan usia yang ada dalam hadist di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita.

Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam beberapa arti sebagai berikut:31

1. Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.

2. Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.

3. Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan di bawah umur merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.

30

Imam Abi Muslim al- Hijaj, Shahih Muslim (Beirut: Darul Fikr, 1992), h.650.

31


(49)

Menurut para Ulama, dalam Islam menentukan batasan usia nikah bisa dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu:

1. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh);

2. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al-Qur’an yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.

3. Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah SAW.

Sedangkan para Ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum setelah Aqil Balig (mukallaf) dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nissa (4) ayat : 6, yang berbunyi:



























Artinya: “Dan ujilah anak itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An- Nissâ [4] ayat : 6)

Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat diantaranya:32

1. Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik untuk pihak laki-laki maupun untuk perempuan.

32

Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer,


(50)

41

2. Menurut Syafi’i dan Hanabillah menentukan bahwa masa untuk menerima ke dewasaan dengan tanda-tanda di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akallah ada taklif, dan karena akal pula adanya hukum.

3. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini karena diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.

4. Yusuf Musa mengatakan, bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini orang memerlukan persiapan yang matang.

Dari perbedaan pendapat di atas menunjukan bahwa berbagai faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga.

Angka-angka atau usia di atas tidaklah selalu cocok untuk setiap wilayah di dunia ini. Setiap wilayah dapat menentukan usia kedewasaan masing-masing sesuai dengan masa atau kondisi yang ada.


(51)

B. Batas Usia Nikah menurut Hukum Positif

Batas usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin. Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah di bawah umur, penulis akan paparkan batas usia nikah di bawah ini dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut:

1. Batas usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam BAB II Syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat (2),

yaitu: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan Pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dan pada ayat (2)

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dan pada ayat (3)

“Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3), dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).33

2. Batas Usia Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat (1),

yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

33

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam:(Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h. 82-83


(52)

43

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami berumur kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan pada ayat (2), “bagi calon mempelai yang

belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin yang sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.34

3. Sedangkan batasan usia nikah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPer), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: “Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah

berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan “Dispensasi”.35

C. Faktor Penyebab Pernikahan Di bawah Umur

Pada umumnya, faktor terjadinya nikah dibawah umur adalah faktor agama, budaya (adat), sosial dan hukum yang berkembang dalam masyarakat, yang diuraikan sebagai berikut:

34

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam :Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h. 5-6

35

Penghimpun Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdatah (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 226


(53)

1. Norma Agama

Norma agama, dalam hal ini agama tidak mengharamkan atau menentang pernikahan di bawah umur dan tidak ada kriminalisasi terhadap

pernikahan di bawah umur, bahkan dalam pandangan Islam “Nikah” adalah

fitrah manusia dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan yang sesat atau jalan yang menjerumuskan dalam hubungan zinnah. Dan pernikahan usia muda merupakan suatu antisipasi dari orang tua untuk mencegah akibat-akibat negatif yang dapat mencemarkan nama baik dan merusak martabat orang tua dan keluarga.36 Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan batasan umur seseorang untuk melakukan pernikahan, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan atau hal-hal buruk. Hal ini sangat relevan dengan hukum positif di Indonesia dan Undang-undang lainnya yang saling berkaitan perihal penikahan di bawah umur, bahwasannya tidak ada aturan hukum yang menegaskan dengan berupa memberikan sanksi hukum terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait dalam pernikahan di bawah umur. Walaupun dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak,

36

Mudzakaroh Al-Azhar, Tentang Perkawinan di Bawah Umur (Jakarta: Agustus, 1985), h.62.


(54)

45

namun pernikahan di bawah umur tidak serta merta dipandang sebagai tindakan kriminal menurut hukum. Dan Undang-undang Perkawinan yang memberikan dispensasi kepada kedua pasangan yang belum cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan. Dengan berbagai sebab atas pertimbangan hukum dimuka persidangan.

2. Budaya (tradisi)

Dari segi budaya atau tradisi yang masih melekat dibeberapa masyarakat di daerah Indonesia dan sebagian menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan tindakan yang biasa. Di Luar Jakarta khususnya yang biasanya mempunyai adat atau kebiasaan yang masih melekat dimasyarakat, tidak ada larangan nikah di bawah umur karena adanya

kepercayaan bahwa “seorang anak perempuan yang sudah dilamar harus

diterima, kalau tidak diterima bisa berakibat si anak tidak laku (tidak dapat jodoh). Sementara di daerah lain yang biasanya menikahkan anaknya diusia dini untuk menghindari terjadinya fitnah bagi kedua pasangan yang sedang berpacaran, hal yang sama juga terjadi di desa atau daerah lain yang masih berwilayah di Indonesia yang adat kebiasaannya terkenal dengan pernikahan sirri (rahasia), agar tidak ada cacat dari ikatan pernikahan dikemudian hari. Alasan yang sering timbul ketika hakim mengabulkan surat permohonan untuk menikah diusia dini dikarenakan syarat yang sesuai dengan aturan hukum Islam sudah dipenuhi, dan dalam hal ini Pengadilan Agama tidak


(55)

banyak menolak permohonan nikah di bawah umur karena biasanya syarat pengajuan permohonan sudah lengkap.

3. Sosial (kebiasaan)

Dari segi sosial di dalam masyarakat atau kebiasaan yang sudah biasa pada satuan terkecil (keluarga) yang mendorong sikap pro atau sikap mendukung yang sudah biasa terhadap pernikahan usia dini. Lebih-lebih karena faktor rendahnya pendidikan dan tingkat minimnya perekonomian serta sikap atau pandangan masyarakat yang biasanya meremehkan masalah pergaulan bebas yang menimbulkan pernikahan dini tersebut. Dan biasanya ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun psikologis, menjadi alasan bagi para pihak yang terkait, baik keluarga ataupun masyarakat sekitar. Disamping itu, paradigma atau pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa adanya sebuah pernikahan akan mengangkat persoalan atau masalah ekonomi yang dihadapi, yang pada kenyataannya adalah sebaliknya.

4. Hukum

Dari segi aturan hukum, dalam hal ini hukum sangat mengambil peran terhadap sebuah penyelesaian dibeberapa masalah yang timbul dalam sebuah pernikahan, khususnya pada pernikahan di bawah umur. Yang apabila aturan hukum tentang batasan nikah ada dan jelas serta berjalan dengan baik maka dampak yang akan timbul yakni disetiap tahun pernikahan usia dini akan berkurang. Akibat dari pernikahan di bawah umur muncul karena beberapa


(56)

47

faktor yang menimbulkan pernikahan dini seperti kecenderungan pergaulan bebas yang tidak dibatasi atau dibataskan oleh keluarga atau pihak-pihak yang terkait, ataupun pengawasan yang kurang ketat dari orang-orang sekitar, sehingga ketika harapan yakni para remaja yang seharusnya memiliki sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan mengkuti aturan hukum yang wajar sudah sangat jauh diperhitungkan, lebih-lebih dijaman modern seperti ini yang hubungan sex pra-nikah bahkan sex bebas ataupun nikah di bawah umur menjadi suatu wabah yang sudah sangat biasa dan dianggap wajar. Pernikahan di bawah umur seperti penjelasan yang dipaparkan di atas, merupakan peristiwa yang dianggap wajar, dan jarang sekali masyarakat menganggap penting masalah ini, namun ketika kasus atau masalah ini muncul di media massa atau menjadi topik yang penting dibahas dalam berbagai kalangan, barulah kasus ini dianggap baru dan direspon penting oleh publik, contoh yang sangat baru dan sangat terkenal ialah kasus Syekh Puji dengan Lutfiana ulfah yang masih berumur 12 tahun, walaupun pada kenyataannya Syekh Puji dinyatakan bebas tidak bersalah dan hakim menyatakan bahwa tuntutan dari jaksa penuntut umum dibatalkan karena tuntutan dari jaksa tidak jelas. Dalam hal ini jauh sebelum kasus Syekh Puji muncul masih banyak kasus pernikahan dini yang lainnya, yang biasanya sering muncul di Luar Jakarta atau kota-kota kecil, beda hal di kota-kota besar.37

37

Nani Suwondo, Hukum Perkawinan dan Kependudukan di Indonesia, cet.I, (Bandung: PT Bina Cipta, 1989), h.108.


(57)

D. Dampak Akibat Pernikahan Di Bawah Umur

Dampak dari para pelaku pernikahan di bawah umur, sebagian besar keburukan yang akan timbul dalam beberapa masalah setelahnya, dan dampak atau akibat yang sering timbul karena faktor belum matang usia maupun kedewasaan para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dampak negatif yang terlihat sangat jelas, seperti di bawah ini:

1. Dampak Negatif

a. Peningkatan perceraian akibat pernikahan di bawah umur;

b. Pernikahan di bawah umur mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingginya angka kematian ibu bayi, dan anak;

c. Secara medis penelitian menunjukan bahwa perempuan yang menikah usia muda, dengan berhubungan seks lalu menikah, dan kemudian hamil dalam kondisi yang tidak siap maka dampak negatif yang sering akan timbul,

seperti terkenanya kanker rahim atau “cancer cervix” karena hubungan

seks secara bebas ataupun berhubungan intim dengan berganti-ganti pasangan;

d. Sementara itu, sikap pro terhadap pernikahan di bawah umur beralasan bahwa nikah usia muda menjadi suatu hal kebiasaan dan tradisi yang telah membudidaya dibeberapa masyarakat.

2. Dampak Positif

a. Memeperjelas setatus Perkawinan;


(58)

49

c. Mendapat pengakuan yang baik dari lingkungan;

d. Terjaga dari pandangan-pandangan atau nilai moral baik dari masyarakat; e. Menjaga dari Perbuatan Jinnah yang tidak terkendali.

Sebagian Firman Allah SWT yang mengharamkan hubungan Jinnah dan keterangannya dalam Surat Al- Isra (17) ayat : 32, yang berbunyi:























Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isrâ [17] ayat : 32).


(59)

50

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM

TENTANG PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH OLEH

PENGADILAN AGAMA TANGERANG

A. Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah 1. Dispensasi Nikah

Dispensasi Nikah adalah sebuah pengecualian dalam hal perkawinan yang kedua atau salah satu calon mempelai, baik laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur dan diperbolehkan melangsungkan sebuah pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai prosedur dispensasi nikah di bawah umur yang berlaku.

Prosedurnya sebagai berikut:38

a. Kedua orang tua (ayah dan ibu) calon mempelai yang masih di bawah umur, yang masing-masing sebagai Pemohon 1 dan Pemohon 2, mengajukan permohonan tertulis ke Pengadilan Agama;

b. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama ditempat tinggal para Pemohon;

c. Permohonan harus memuat: 1) identitas para pihak (Ayah sebagai Pemohon I dan Ibu sebagai Pemohon II, 2) posita (yaitu: alasan-alasan

38

Dokumen Standar Operasional Pengadilan Agama Tangerang, “Prosedur Pengajuan


(1)

Saran-saran yang penulis coba paparkan dari kesimpulan atau bab-bab yang penulis uraikan di atas, dengan angka-angka perkawinan dini yang begitu besar, maka sudah selayaknya kita semua berbuat untuk menahan laju peningkatan pernikahan dini. Ada beberapa alternatif sebagai berikut, yakni: 1. Penyuluhan Hukum.

Penyuluhan hukum utamanya ditunjukan kepada orang tua dan pada badan atau instansi yang terkait baik dari pemerintahan maupun masyarakat setempat. Dengan sasaran utama adalah anak-anak pada usia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dengan bentuk penyuluhan bukan seperti seminar yang membosankan, tetapi melalui permainan atau alat media masa yang sangat unik seperti komunikasi yang lebih kreatif dan komunikatif seperti cerpen, novel serta kreasi para pemberita yang memberikan info-info lewat media massa sehingga pesan dari penyuluhan hukum ini bisa sampai. Dalam penyuluhan hukum juga menggabungkan aspek-aspek kesehatan dan hak-hak anak, karena aturan bukan hanya sebuah batasan melainkan memberi sedikit peningkatan apresiasi bahwasannya anak dengan batasan umur yang dianggap belum dewasa mempunyai perlakuan hukum yang sangat istimewa.

2. Pemanfaatan lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Berkembangnya lembaga kemasyarakatan sebagai kader dan penyambung sebuah pembangunan yang lebih baik, yang dijalankan turut mengembangkan kesadaran hukum khususnya kesadaran masyarakat untuk menikah diusia matang. Berbentuk “simulasi yang ringan”.


(2)

79

3. Membuat gerakan bersama: “Menikah di usia matang”

Ini hal yang paling sulit jika dilakukan secara bersama. Tetapi menjadi mudah dan ringan jika dimulai dari lingkup terkecil. Dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga kecil dari lingkungan keluarga yang lebih luas hingga meyebar luas ke masyarakat secara umum. Hal ini tentu dimulai dengan rasa tanggung jawab pribadi, menjadi tanggung jawab bersama. Dengan penyuluhan ini, yang intinya menginginkan kesadaran masyarakat untuk bisa menjaga seluruh anak Indonesia dan terpenting untuk seluruh anak Indonesia bisa menikah pada usia matang (produktif).


(3)

80

Abidin Slamet, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999).

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). Djalil, Basiq, Peradilan Islam, (Jakarta: CV. Prenada, 2006).

Haroen Nasron, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Umu, 2001).

Karim Helmi, kedewasaan untuk menikah problematika hukum islam kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).

Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Daras ,2b006)

Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-hikmah, 2000).

Manan Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2007).

Prodjodikoro wirjono, Hukum perkawinan di Indonesia, (Bandung: Vorkik Van Hoeve, 1959).

Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995).

Solahuddin, Penghimpun, Kiatab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata, (Jakarta: Visimedia, 2008).

Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997).

Ubaedillah. A dan Rozak Abdul, DEMOKRASI Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE, 2000).

Wahyudi Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996).


(4)

81

Sabiq Sayid, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al- Ma’arif, 1990).

Syarifuddin Amir, Garis- Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003).

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Presindo, 1995).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006).

http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=107072&lokasi=lokal www.berita8.com/news.php?cat=2&id=9057.

www.ilmupsikologi.com/?p=493. www.dw-world/dw/article/. http://www.sop/ap.com.


(5)

Foto peneliti dengan Eka Noviati sebagai Staff (Sekretaris) di Pengadilan Agama Tangerang

Foto Peneliti dengan Irvan Yunan sebagai Staff (Juru Sita Pengganti) di Pengadilan Agama Tangerang


(6)

Foto Peneliti bersama Irvan Yunan dan M. Affan Gofar sebagai Staff di Pengadilan Agama Tangerang

Foto Peneliti bersama Hakim Pengadilan Agama Tangerang dengan Dra. Hj. Lathifah, H.M (JSP); Dra. Ai. Jamilah; Dra. Hj. Sahriyah, SH., MSi;