Pelaksanaan Dispensasi Nikah Dalam Praktek Nikah Sirri di Bawah Umur (Analisis Studi Kasus Desa Sukamaju,Kecamatan Cinungnulang,Kabupaten Bogor,Jawa Barat)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

FAUZAN NURUS SYARIEF NIM : 109044100007

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Barat). Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. v + 88 Halaman 15 Halaman Lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus membuka mata masyarakat mengenai salah satu produk keringanan dari Pengadilan Agama yakni Dispensasi Nikah agar dapat dimaksimalkan penggunaannya. Pihak KUA juga turut andil dalam pelaksanaannya agar bisa memfasilitasi atau sekedar menjembatani masyarakat agar bisa menggunakannya.

Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan Penelitian kepustakaan (library research) dari buku fikih dan hukum positif perkawinan serta wawancara sebagai pendukung penelitian.

Dispensasi Nikah merupakan suatu produk hukum dari Pengadilan Agama untuk masyarakat yang ingin menikah namun masih di bawah umur dari yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Oleh karenanya penerapan pelaksanaan Dispensasi Nikah ini harus bisa dimaksimalkan sebaik mungkin oleh masyarakat khususnya di Pedesaan, agar tidak ada lagi praktek Nikah Sirri di kalangan masyarakat yang belum memiliki identitas kependudukan secara resmi.

Kata kunci : Dispensasi Nikah, Nikah sirri, Nikah di bawah umur. Pembimbing : Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. Daftar pustaka : 1986-2014


(6)

i

KATA PENGANTAR

ميحّرلا نمّرلا ها مسب

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat illahi rabbi

Allah SWT. atas berkah rahmat dan inayah-Nya memberikan kekuatan dan ketabahan sehingga dengan motivasi dan kesadaran diri yang memicu timbulnya semangat luar biasa penulis dapat menyelesaikan studi serta dapat merampungkan skripsi ini. Tidak lupa juga shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para umat pengikutnya yang tetap senantiasa istiqomah mengikuti ajaran beliau.

Penulis menyadari bahwa manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan dari pihak lain. Dan tidaklah terwujud semua keinginan dan usaha tanpa bantuan orang lain. Maka dengan ini dalam rangka menyelesaikan studi, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih dan apresiasi serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Kamarusdiana, S.Ag., M.H., sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam dan Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam.

3. Drs. Heldi, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang mengarahkan penulis dari awal perkuliahan hingga selesai.


(7)

ii

4. Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., M.Ag., sebagai Dosen Pembimbing yang selalu sabar dan tabah memberikan wejangan serta dorongan moril kepada penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini hingga penyelesaian.

5. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang membimbing dari awal perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan Staff serta Karyawan yang membantu proses administrasi.

6. Pimpinan beserta seluruh Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan kemudahan fasilitas dan referensi.

7. Bapak Baesul Korni, sebagai Kepala Desa Sukamaju Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor beserta Staff tempat penulis mengadakan penelitian dan mendapatkan data serta informasi melalui wawancara. 8. Bapak H. Mokhtar, sebagai kepala KUA di Kecamatan Cibungbulang

beserta Staff tempat penulis mengadakan penelitian dan mendapatkan data serta informasi melalui wawancara.

9. Bapak ‘Amil Sanim dan seluruh warga Desa Sukamaju yang telah bekerjasama memberikan informasi kepada penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini.

10.Yang tercinta dan terkasih untuk keluarga besar khususnya ayahanda Salan Syarif Hidayat, S.Ag dan ibunda Nuryani yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa dan semangatnya. Dan adik-adik yang tersayang


(8)

iii

Arrazy Nurul Hidayat, Lulu Ilma’Shumah NH, Luthfi Nurus Syarif dan Azzah Nurul Hidayah, terima kasih atas doa dan dukungannya.

11.Keluarga Ibu Siti Lailatul Aslamiyah, mbak Anis Pujiati dan Resti Yuliastiwi, terima kasih atas support dan doanya.

12.Ustadz Iskandar Abdullah, Ustadz Muhammad Rijal, Syamsul Arifin, Dimas Syahwira, M. Nurhidayat yang memberikan dorongan motivasi serta doanya.

13.Sahabat-sahabat Keluarga Besar Peradilan Agama A dan B angkatan 2009. Khususnya kepada Mufti Arifudin, Ihsan Badruni Nasution, M. Izhar Helmi, Uuf Rouf, A. Farhan Subhi, Yusuf Fadly, Jefri AR, Mamduh Aimanul Hakim. Terima kasih atas bantuan pikiran, buku, tempat serta dukungannya hingga dapat terwujudnya skripsi ini. Dan seluruh sahabat serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Penulis sangat menghaturkan terima kasih yang tiada terhingga atas segala bentuan yang diberikan baik yang berupa doa, motivasi serta dukungan moril kepada penulis. Semoga Allah SWT akan membalas kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda. Akhir kata penulis berharap dengan segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam skripsi ini semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. (Amin)

Jakarta, 18 September 2014


(9)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI………..iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...8

D. Metode Penelitian ………...9

E. Studi Review Terdahulu ………...12

F. Sistematika Penulisan ………...14

BAB II PERNIKAHAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan ………16

B. Sahnya Pernikahan Menurut Fiqh………23

C. Sahnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ……….29

D. Cakap Hukum ………..37

BAB III NIKAH SIRRI DAN DISPENSASI NIKAH A. Pengertian Nikah Sirri ………..47

B. Akibat Hukum Dari Pernikahan Sirri ………...55


(10)

v

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN DISPENSASI NIKAH DALAM PRAKTEK NIKAH SIRRI DI BAWAH UMUR

A. Profil Umum Desa Sukamaju ………...65

B. Pelaksanaan Dispensasi Nikah ……….72

C. Analisa Penulis ……….78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………..80

B. Saran-saran ………...82

DAFTAR PUSTAKA ………...………...84


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan dunia ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembang biaknya binatang dan melestarikan lingkungan alam semesta.1

Pernikahan bagi manusia adalah sesuatu yang sangat sakral serta memiliki tujuan yang sakral juga, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan oleh syari’at agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang yang mendalam. Disamping itu, untuk menjalin tali persaudaraan di antara dua keluarga dari pihak suami dan pihak istri dengan berlandaskan pada etika dan estetika yang bernuansa ukhuwah basyariyah dan Islamiyah.2

1

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Cet-1, (Yogyakarta: Darussalam, 2004) h. 3

2


(12)

Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, yang secara tuntutan naluriah kemanusiaan (menschelijke natuur) guna memperoleh keturunan yang sah yang diatur secara sakral dalam ayat-ayat alqur’an maupun as-sunnah, membentuk rumah tangga yang berbasis pada kasih sayang dan cinta sehingga mampu memberikan spirit dalam menumbuhkan iklim usaha meningkatkan pendapatan berupa rizki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab (secara ruhani yang diilhami oleh rasa tanggung jawab yang besar manusia normal ada pengharapan besar hidup damai rukun sejahtera lahir batin dalam keluarganya). Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadian dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Kalimat perkawinan bukan hanya sekedar kalimat justifikasi untuk sebuah bentuk atau wadah berkumpulnya hidup bersama antara dua jenis kelamin berbeda, tetapi lebih agung didalamnya adalah adanya nilai sakral yang bersandar pada nilai ruh ilahiyah sebagai muara ridla dalam penghayatan perkawinan itu sendiri.

Banyak kalangan dikehidupan masyarakat kita yang menilai dan menempatkan perkawinan hanya sebagai simbol dan guaranted safety/lembaga pengaman agar tidak dipandang kotor secara sosiologi, sehingga tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak pernah terkejar dan masuk nominasi.

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan


(13)

seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.3

Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan.4

Demikian juga, pernikahan berguna untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, dan menciptakan sikap bahu membahu di antara sesama. Sebagaimana telah diketahui bahwasanya pernikahan merupakan bentuk bahu-membahu antara suami-istri untuk mengemban beban kehidupan. Juga merupakan sebuah akad kasih sayang dan tolong-menolong di antara golongan, dan penguat hubungan antarkeluarga.5

Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Seorang calon mempelai yang harus melangsungkan penikahan belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon isteri belum mencapai 16 tahun

3

Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ed. Rev, (Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990) h. 5

4

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Cet-1, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 8

5


(14)

hendak melangsungkan perkawinan, harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka yang belum mencapai umur 19 dan 16 bagi calon suami dan isteri tersebut diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya.6

Pengadilan agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Salinan penetapan ini dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan.

Undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.7

Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu maka

6

Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Cet-1, (Jakarta: Ind.Hill-Co, 1985) h.201

7

Ichsan Achmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Cet-1. – (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986) h.42


(15)

Undang-undang perkawinan menentukan batas umur untuk kawin baik pria maupun wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.8

Hukum perkawinan Islam dalam hal ini hanya mensyaratkan bagi wanita ialah yang baligh dan berakal, sedangkan bagi pria hal ini tidak ada syarat dan lebih menekankan kepada kesanggupan memberikan nafkah. Dispensasi penyimpangan tehadap ketentuan batasan umur tersebut hanya diberikan oleh Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.9

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum, khususnya di desa Sukamaju sebagai pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.

Bedasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan didalamnya bahwa pernikahan dikatakan sah apabila dicatatkan di depan pegawai pencatat nikah. Hal itu bisa dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan seperti umur yang mencukupi untuk melangsungkan pernikahan, untuk laki-laki 19 Tahun dan untuk perempuan 16 Tahun. Jika hal itu belum tercapai, maka seorang calon mempelai bisa mengajukan surat permohonan dispensasi nikah kepada

8

Ibid

9

Ichsan Achmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Cet-1. – (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986) h.42


(16)

Pengadilan Agama. Namun, hal itu tidak di jalankan sesuai apa yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di desa Sukamaju.

Dalam prakteknya, masyarakat di Desa Sukamaju yang belum memenuhi batasan umur menurut Undang-undang perkawinan melakukan perkawinannya tanpa mengikuti aturan undang-undang perkawinan, sehingga mereka yang melakukan perkawinan di bawah umur ini belum mendapatkan buku nikah.

Desa yang dihuni oleh sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan buruh tani serta letak desa yang sangat jauh dari ibukota kabupaten tempat bertempatnya Pengadilan Agama ini,10 membuat masyarakat Desa tersebut tidak mau mengurus serta menanggung resiko yang akan dihadapi ketika pergi ke Pengadilan Agama sekedar untuk meminta Dispensasi Nikah kepada petugas/pejabat Pengadilan untuk melangsungkan pernikahan di bawah umur tanpa melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Berdasarkan problematika diatas penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut, yang akan penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul

“PELAKSANAAN DISPENSASI NIKAH DALAM PRAKTEK NIKAH SIRRI DI BAWAH UMUR (ANALISIS STUDI KASUS DESA SUKAMAJU, KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT)”

10


(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, penulis membatasi masalah pada satu objek, yaitu penulis hanya membahas tentang praktek nikah siri dengan alasan di bawah umur di desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.11 Calon pengantin yang belum mencukupi batasan umur mengajukan permohonan dispensasi nikah.

Dalam prakteknya, masyarakat di Desa Sukamaju kec. Cibingbulang ,pernikahan dibawah umur dilakukan tanpa dispensasi nikah.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana pihak KUA menerapkan pelaksanaan dispensasi nikah

kepada masyarakat untuk dapat melangsungkan pernikahan di bawah umur?

b. Apa yang menjadi faktor penyebab masyarakat desa Sukamaju tidak mengajukan permohonan dispensasi nikah kepada pengadilan agama setempat?

c. Bagaimana peran pemerintah desa setempat dalam menyikapi praktek nikah sirri di kalangan masyarakat?

11

Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2010) h. 11


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peran masyarakat serta tokoh setempat dalam menerapkan peraturan Undang-undang yang telah ditetapkan.

2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan masyarakat desa Sukamaju tidak meminta surat permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan agama.

3. Mengetahui peran pemerintah setempat dalam menyikapi praktek nikah siri di kalangan masyarakat desa Sukamaju.

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat diantaranya :

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap fiqh munakahat

dan penerapan Undang-Undang dalam praktek perkawinan. b. Bagi Masyarakat.

- Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pernikahan siri itu sangat bertentangan dengan agama, bahkan sebagian ulama


(19)

mengatakan bahwa nikah siri itu dikategorikan sebagai pernikahan yang bathil, lebih dari itu sering kali dikategorikan sebagai pernikahan yang terlarang.

- Memberikan informasi kepada masyarakat untuk memaksimalkan serta memanfaatkan peran pengadilan agama dalam hal mengajukan surat permohonan dispensasi nikah bagi calon pengantin yang masih di bawah umur untuk melangsungkan pernikahan kepada pengadilan agama setempat (dalam hal ini pengadilan agama Kabupaten Bogor yang bertempat di Cibinong).

c. Bagi penulis

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengembangan pola pikir yang kritis seusai dengan peraturan perundang-undangan dan ilmu fiqh

serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Metode Penelitian

Terkait dengan jenis penelitian ini, maka peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Strauss , menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistik atau alat-alat kuantifikasi lainnya. Hal ini dapat mengarah pada penelitian tentang kehidupan,


(20)

sejarah, perilaku seseorang atau hubungan-hubungan interaksional. Konsep ini menekankan bahwa penelitian kualitatif ditandai oleh penekanan pada penggunaan non statistik (matematika) khususnya dalam proses analisis data hingga dihasilkan temuan penelitian secara alamiah. Ini merupakan salah satu unsur yang membedakan penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif tidak harus banyak sebagaimana berlaku pada penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif bisa dilakukan hanya dengan satu subjek penelitian. Tetapi tentu bukan sembarang individu atau subjek yang dipilih sesuka peneliti. Latar atau individu yang hendak diteliti hendaknya memiliki keunikan tersendiri sehingga hasilnya betul-betul bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Keunikan latar atau individu yang menjadi subjek penelitian itu menentukan tingkat bobot ilmiah.12

Penelitian kualitatif digunakan apabila data-data yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis atau empiris.13 Menurut Kartini Kartono, penelitian sosiologis adalah suatu penelitian yang cermat dan dilakukan dengan jalan terjun langsung ke lapangan. Sedangkan menurut Soetandyo Wingjosoebroto, penelitian sosiologis yaitu penelitian berupa studi empiris untuk

12

Diakses dari http://www.infodiknas.com/metodologi-penelitian-kualitatif-rulam-ahmadi.html

pada tanggal 23 Januari 2015 pukul 01.30 WIB. 13

Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43


(21)

menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.14

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

3. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

a. Sumber Data 1) Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data ini meliputi interview dengan KUA, petugas pembantu KUA dan para pelaku yang melakukan praktek nikah siri dengan alasan masih di bawah umur.

2) Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan yang memberikan penjelasan tentang bahan dan data primer. Dokumen-dokumen ini adalah al-Qur’an, Hadist, buku-buku ilmiah, literatur-literatur fikih serta sumber lainnya yang mendukung dalam penulisan ini.

14

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 42


(22)

b. Teknik Pengumpulan Data

Bahwa untuk memperoleh data yang menunjang penelitian ini, maka akan digunakan teknik wawancara, dipergunakan peneliti untuk mendapatkan data tentang percakapan antara pewawancara dengan narasumber, dengan maksud untuk mendapatkan informasi mengenai hal yang berkaitan dengan data yang pewawancara butuhkan. Pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban.15

4. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

E. Studi Review Terdahulu

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu:

No. Identitas Substansi Pembeda

1. Rifqy Yatunnisa, Konsentrasi

Pada penelitian ini penulis menjelaskan

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis

15

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 135


(23)

2.

Perbandingan Mazhab Fiqih, Judul Skripsi : Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan No. 10/pdt.p/2007/PA.JS dengan No. 040/pdt.p/2008/PAJS

Nur Fauzi,

Konsentrasi Peradilan Agama, Judul Skripsi : Kesadaran Hukum Masyarakat

Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan.

tentang itsbat nikah yang diajukan setelah nikah sirri, prosedur nikah sirri dan tujuan itsbat nikah untuk pengurusan proses percerai secara resmi.

Pada penelitian ini penulis menjelaskan tentang kesadaran hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan.

menekankan pada praktek nikah siri dengan alasan belum mencukupi umur dan tanpa permohonan

dispensasi nikah.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis menekankan pada

dispensasi nikah yang tidak diterapkan/dilaksanakan terhadap pernikahan yang melibatkan masyarakat di bawah umur disertai dengan praktek nikah siri.


(24)

3. Danu Aprilianto, Konsentrasi Peradilan Agama, Judul Skripsi: Dispensasi Nikah dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Positif. (Studi Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Tahun 2007-2008)

Pada penelitian ini penulis menjelaskan tentang dispensasi nikah dalam

perspektif fiqih dan hukum positif.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian kali ini penulis menekankan pada penerapan dispensasi nikah yang diberlakukan pada anak yang masih di bawah umur apabila ingin melangsungkan pernikahan.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian agar menjadi lebih terarah, penulis melakukan sistematika penulisan ke dalam lima bab, masing-masing terdiridari sub-bab mengenai penelitian terkait. Sistematika yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan bagian Pendahuluan, memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(25)

Bab kedua membahas penikahan menurut fiqh dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimulai dengan pengertian pernikahan dan dasar hukum pernikahan. Kemudian berlanjut kepada pembahasan lebih rinci mengenai penjelasan sah nya pernikahan menurut perspektif fiqh dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penjelasan mengenai cakap hokum dan batasan umur seseorang.

Bab ketiga membahas mengenai nikah sirri dan dispensasi nikah. Di dalamnya menjelaskan pengertian nikah sirri, akibat hukum dari melakukan nikah sirri. Serta dispensasi nikah.

Bab keempat membahas tentang analisa mengenai praktek nikah nikah sirri dengan alasan dibawah umur yang terjadi di Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Termasuk didalamnya profil umum desa Sukamaju, kedudukan masalah yang terjadi serta analisa penulis terhadap permasalahan.

Bab kelima adalah Penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(26)

BAB II PERNIKAHAN

A.Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti Hukum ialah „aqad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang laki-laki dan perempuan.1

Pernikahan berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan akad nikah.2

Nikah, menurut bahasa adalah

عم لا

dan

ّ مضلا

yang artinya kumpul.3 Kata

nikah berasal dari bahasa arab

اكن

yang merupakan masdar atau asal kata kerja

كن

.

Sinonimnya

جوزت

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata nikah telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara perkawinan.4

1

Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ed. Rev, (Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990) h. 1

2

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Cet-1, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 38

3

M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Ed. 1, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h. 7

4


(27)

Kata nikah berarti al-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh nikah atau

tazwij.5

Secara syariat, nikah berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.6

Nikah atau jima’, atau al-wath’, artinya bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk berhubungan seks. Dengan demikian, menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri atau

munakahat, artinya saling menggauli.7

Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.8

Maksudnya, pengaruh akad ini bagi laki-laki adalah memberi hak kepemilikan secara khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan

5

Ibid

6

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, h. 39 7

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 10 8


(28)

pengaruhnya bagi perempuan sekadar menghalalkan bukan memiliki secara khusus.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang dipilih Allah Swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.9

Beberapa penulis juga terkadang menyebutkan pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.10 Istilah “kawin” juga digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan kepada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama.

Para fuqaha dan Mazhab Empat sepakat bahwa makna nikah atau zawaj

adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti sahnya hubungan kelamin. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.11

9

M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 6 10

Ibid h. 7 11


(29)

Pada hakikatnya, pernikahan merupakan suatu pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, kebaikan itu akan berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi integral dalam segala urusan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan, seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.12

Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari pernikahan merupakan suatu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan suatu tujuan pernikahan.13

2. Dasar Hukum Pernikahan

Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan

12

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 10 13


(30)

biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut.14

Segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunnah

hukumnya. Sedangkan para ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk segolongan yang lainnya lagi. Demikian itu – menurut mereka – ditinjau berdasarkan kekhawatiran terdapat kesusahan dirinya.15

Dalam Al-Qur‟an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya:16

للخلءَلكل مل

ل َكل تلَُلعلْج لا

ل

ا اذا(

ل:

٩٤

)

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”.

Dalam surat lain dinyatakan:

لالاَ م لم س ال م لض َأالتب تلاَ ملا َُل ا َأال لخل َذال احب س

ل و لعي

ل

لسي(

ل

ل:

٦٣

)

Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik apa yang ditumbuhkan dari bumi dan dari diri mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui”.

14

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 8 15

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), jilid 2, Penerjemah: Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Cet. 3, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007) h. 394

16


(31)

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.17 Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur‟an, yakni:

للاو َتال ا الاُالا

لاَ لاْمل لخ ل حاَ لس َ ل ملُ لخل َذالَُب

ليثكلااج لا ْمل َ ب

...لءآس لا

ل

ل:ءآس ا(

١

)

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…

Hal inipun disebutkan dalam surat lainnya:

لُجا َأل ملُل عجَ لاجا الُس ال ملُل عجل ََا

ل ف لْ بل

...

ل

ل: ح ا(

٢٧

)

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan

cucu-cucu…”

Islam menganjurkan setiap orang untuk berkeluarga karena dari segi batin setiap orang dapat dicapainya melalui berkeluarga yang baik.18 Menurut ajaran agama Islam, bahwa nikah atau perkawinan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. kepada umat manusia sebagai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria

17

Ibid

18

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Penerjemah: Abdul Majid Khon, Cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 42


(32)

dengan golongan wanita itu, saling butuh membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami isteri yang sah dan terang dalam hukum agama atau Undang-undang negara yang berlaku.19

Dalam salah satu hadis Rasulullah SAW bersabda :

ل ََال ََصل ََال وس ل ا

: ََس ل يلع

ل مل اب َ شالَعملا

ل ءابالعاطت سا

ل غَأل َ

ِ

افل َ َيلف

لل

لَبل

ل و َ ِل يلعفلعطت سيلمل م ل لل فَأ

لءاج لَل

ِ

اف

ا (ل.

ل

َسم

)

20

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu biaya nikah, menikahlah! Sesungguhnya ia lebih memejamkan pandangan mata dan lebih memelihara faraj (alat kelamin). Barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya ia sebagai perisai baginya”.(HR. Muslim)

Dari ayat-ayat dan Hadis tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia, karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai dan memuliakan pernikahannya.21

19

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam (Tuntutan Keluarga Bahagia), Cet- 3, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) h. 30

20

Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hujaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naysaburiy, Al-Jami' As-Shohih Al-Musama As-Shohih Muslim, (Beirut: Daar Al-Afaaq Al-Jadidah, t.th) Juz IV. h. 128

21

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Keluarga, Cet. 1, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 5


(33)

B.Sahnya Pernikahan Menurut Fiqh

Syarat sahnya pernikahan merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.22 Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum. Jika satu syarat saja tidak ada, maka akadnya rusak.23 Sahnya pernikahan juga antara lain yakni terpenuhinya rukun dan syarat-syarat pernikahan di dalamnya.

Para ulama Madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.24

Adapun syarat sahnya pernikahan diantaranya:

1. Perempuan yang Akan Dinikahi Bukan Mahram

Perempuan yang dinikahi syaratnya bukan yang diharamkan selamanya seperti ibu dan saudara perempuan atau haram secara temporal seperti saudara

22

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: Moh. Abidin, Lely Shofa Imama dan Mujahidin Hayyan, Cet. 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010) h. 271

23

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, h. 100

24

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B, Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Cet. 2, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996) h. 309


(34)

perempuan istri atau bibi istri dan atau bibi perempuannya.25 Tidak setiap perempuan halal (diperbolehkan) untuk dinikahi. Jadi, perempuan yang hendak dinikahi bukanlah perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, baik haram untuk sementara waktu (muaqqat) maupun haram untuk selamanya (muabbad).26

Masing-masing mempunyai faktor penyebab. Status keharaman abadi (selamanya) menyebabkan laki-laki di haramkan untuk menikahi perempuan itu untuk selamanya, kapanpun, sedangkan mahram sementara hanya mengharamkan laki-laki untuk menikahi perempuan selama waktu tertentu dan pada keadaan tertentu.27

Diantara sesuatu yang harus diingat adalah tinjauan bahwa syarat jadi dan syarat sah dalam pernikahan memiliki makna yang sama, karena pengaruh yang di timbulkan oleh kedua syarat itu sama, yaitu rusak atau batalnya nikah. Keduanya memiliki makna yang sama dalam pernikahan. Perbedaan pengaruh akan tampak antara syarat jadi dan syarat sah pada transaksi harta.28

Beberapa faktor yang menjadi penyebab keharaman perempuan secara selamanya (muabbad) ada tiga, yaitu hubungan nasab (kerabat), hubungan pernikahan (persambungan) dan hubungan persusuan. Sedangkan beberapa faktor

25

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, h. 114

26

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 271 27

Ibid h. 291 28

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,h. 114


(35)

keharaman menikahi perempuan secara sementara (muaqqat) karena adanya pencegah (mani’) ada lima penyebab, yaitu menikahi perempuan mendatangkan poligami antara dua mahram, adanya hak orang lain bergantung kepada perempuan yang ingin dinikahi, seorang suami yang menalak perempuan yang dinikahi tiga kali talak, seorang laki-laki menikahi empat orang wanita merdeka selain istri yang dinikahi, dan wanita tidak beragama samawi.29

Dalam sumber yang lain menyebutkan, keharaman menikahi perempuan secara sementara (muaqqat) ada 11 (sebelas) penyebab,30 yaitu:

a. Menikahi dua perempuan yang mahram

b. Menikahi istri orang lain dan perempuan yang dalam masa „iddah c. Menikahi perempuan yang status pernikahannya yang ditalak tiga d. Menikahi budak perempuan

e. Menikahi perempuan yang berzina

f. Menikahi perempuan yang pernah dituduh berzina g. Menikahi perempuan musyrik

h. Menikahi perempuan ahlul kitab

i. Menikahi perempuan shabi’ah (yang tidak memiliki agama) j. Menikahi perempuan majusi

k. Menikahi perempuan yang memiliki kitab suci selain Yahudi dan Nasrani

29

Ibid h. 136 30


(36)

2. Pernikahan Dihadiri oleh Saksi

Saksi memiliki dasar hukum dari Al-Qur‟an, yakni:

...أوع لاملا

ِ

الءأ شال ْآيا ...

ل

ل: با(

٧٨٧

)

Artinya : “...dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)

apabila mereka dipanggil...” Dalam surat lainnya disebutkan:

لا

ل َشألاو ت

ل

لبل لِاء َ

ِ

افلا يل م

ل

ل: با(

٧٨٦

)

Artinya : “...dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan

persaksian. Dan barangsiapa menyembunyikannya maka sesungguhnya

ia adalah orang yang berdosa hatinya...”

Di samping itu, dalam surat lainnya Allah Swt berfirman:

لَذالا َُآي

... ََلءأ هل س ِلْمَو لاووكلاو ماءل ي

ل

ل:ءآس ا(

١٦١

)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah...”

Imam Abu Hanifah dan Syafi‟i sependapat bahwa saksi termasuk syarat sah pernikahan. Namun ada sebagian fuqaha berbeda pendapat, bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syarak, mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi untuk menguatkan pernikahan menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.31

31


(37)

Dasar persoalan ini adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., yaitu:

ل اشبلَا

ِ

ال ا ا

. ه ملل ل عل

ل

ي هبال ا (

)

32

Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan seorang wali yang cerdik.(HR. Baihaqi)

Tidak ada seorang di antara sahabat yang menentang hadis ini. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menganggap tiadanya sikap menentang dari kalangan sahabat sebagai ijma‟. Tetapi pendapat ini lemah.33

Akad pernikahan adalah diantara semua akad dan transaksi yang mengharuskan saksi menurut jumhur fuqaha’, hukumnya sah menurut syara‟. Akad dan transaksi selain nikah, persaksiannya sunnah menurut pendapat mayoritas fuqaha’.34

Adapun tujuan persaksian adalah memelihara ingatan yang benar karena khawatir lupa. Sedangkan persaksian dalam pernikahan hukumnya wajib karena beberapa alasan, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut :

a. Akad nikah menempati kedudukan yang agung dalam Islam dan dalam aturan masyarakat untuk mengatur maslahat dunia dan agama. Oleh

32

Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Kubro wa fii Dzilihi Al-Jauhari An-Naqii, (India: Majlis Dairah Al-Ma'arif An-Nidzomiyah Al-Kainah, 1344 H) Cet-1. Pentahqiq: 'Alaudin Ali bin Ustman Al-Maridiyniy, Juz VII, h. 126

33

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), h. 430 34

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, h. 100


(38)

karena itu, patut ditampakkan, disiarkan dan dipersaksikan khalayak ramai sebagai kehormatan dan mengangkat derajatnya.

b. Persaksian mencegah tersiarnya isu yang tidak baik dan untuk memperjelas perbedaan antara halal dan haram sehingga tidak ada tempat untuk mengingkari pernikahannya.

c. Pernikahan berkaitan dengan banyak hukum yang pengaruhnya langgeng sepanjang zaman seperti menetapkan keturunan, haramnya mertua dan hak harta warisan.

Oleh karena itu, diantara kewajiban pelaksanaan pernikahan adalah mengumumkan pernikahan di hadapan orang banyak dengan cara persaksian.35

3. Shighat Akad

Dalam pernikahan, ridhanya laki-laki dan perempuan serta persetujuan antara keduanya merupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup berkeluarga. Perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena itu, harus ada perlambang yang jelas dan tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambang itu diutarakan dengan

35


(39)

kata-kata oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad. Inilah yang merupakan Shighat dalam pernikahan.36

Shighat akad memberi makna untuk selamanya. Artinya, tidak ada kata yang menunjukkan pembatasan waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak dinyatakan, baik dalam masa yang lama maupun pada waktu yang pendek.

Pernikahan yang dibatasi dengan waktu adalah fasid (rusak), karena tidak bertujuan sebagaimana yang dimaksud pernikahan syar‟i, yakni pergaulan abadi, memperoleh keturunan, dan pendidikannya. Ia bermaksud dalam pernikahannya tersebut untuk memenuhi kebutuhan sementara, masa pernikahan habis karena kebutuhannya telah habis. Misalnya, seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan: “Aku nikahi engkau selama aku tinggal di negri ini”. Inilah yang disebut dengan nikah mut‟ah dan dalam pengucapannya (akad) tidak berlaku untuk selamanya.37

C. Sahnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Departemen Agama RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan aktif untuk melaksanakan Undang-undang itu, yang melibatkan dua Direktorat, yakni Direktorat Urusan Agama Islam

36

Lihat H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 79

37

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, h. 115


(40)

dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam berdasarkan KMA Nomor 18 Tahun 1975.38

Pernikahan merupakan salah satu ibadah dan memiliki syarat-syarat guna mencapai suatu keabsahan sebagaimana ibadah lainnya. Syarat dimaksud, tersirat dalam Undang-Undang Perkawinan.39

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.40

Jadi menurut Undang-undang ini pernikahan (perkawinan) barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, tentulah tidak dinamakan pernikahan apabila yang terikat dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja (homo seksual) ataupun 2 (dua) orang wanita saja (Lesbian). Demikian juga tidaklah merupakan pernikahan bila dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita seperti Groop meriage yang terdapat di masyarakat Masai di Afrika, 5 (lima) orang pria sekaligus mengawini saudara perempuannya seperti terdapat di

Tibet atau pada suku Margisan dan mungkin juga dikalangan suku Yadaan Kanaits di India. Dan tentulah juga mungkin tidak merupakan pernikahan kalau

38

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 130

39

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 12

40


(41)

sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41

Tidak hanya sampai disitu saja, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan pula sebagai berikut:42

Ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya itu.”

Ayat (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sesuai dengan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pernikahan yang telah dilakukan harus dicatatkan. Selanjutnya berdasarkan pasal tersebut, pencatatan pernikahan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu pernikahan. Sekalipun demikian, jika kita perhatikan dengan seksama penjelasan umum dari undang-undang perkawinan yang menyebutkan, “Dan disamping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekalipun bukan

41

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 53

42

Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Keluarga, Cet. 1, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 32


(42)

merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, pencatatan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu pernikahan.43

Hal ini karena pencatatan merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu pernikahan oleh negara dan ini membawa banyak konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan. Selanjutnya, dikatakan dalam penjelasan umum UUP bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat keterangan, dan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.44

Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum pernikahan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.45

Jika melihat dan membaca pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, akan memperoleh kesan bahwa babak final dari pelangsungan pernikahan terjadi di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, dan pegawai tersebutlah yang memberikan keabsahan kepada pernikahan. Oleh karena itu, pencatatan dinilai sangatlah

43

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 56 44

Ibid h. 56-57 45

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 54


(43)

penting guna menghindari berbagai macam kemadharatan yang timbul akibat tidak dicatatnya suatu pernikahan.46

Adanya kesadaran orang yang beragama Islam untuk mencatatkan pernikahannya kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menunjukkan bahwa orang tersebut ikut berpartisipasi dalam mewujudkan ketaatannya kepada pemerintah.47

Dalam Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.48

Di samping itu, pernikahan mempunyai hubungan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi daripada (jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi). Berhubung dengan itu maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk menikah bagi laki-laki maupun bagi perempuan ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan.49

46

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 58 47

Ibid, h. 59 48

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 56

49


(44)

Setelah memenuhi persyaratan dan rukun nikah berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2), juga telah memenuhi syarat dan rukun dalam hukum perkawinan Islam, sebagai orang yang beragama Islam harus mencatatkan pernikahannya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaan itu dari yang bersangkutan.50

Dari penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi orang-orang Islam Indonesia sahnya pernikahan apabila dilakukan menurut Hukum Agamanya, menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan sahnya pernikahan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diantaranya harus : 51

1) Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri, berarti tidak ada paksaan di dalam pernikahan tersebut.

2) Pada asasnya pernikahan itu adalah satu istri bagi satu suami dan sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari istri

50

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 59 51

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 57


(45)

pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Laki-laki harus telah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.

4) Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun.

5) Tidak termasuk larangan-larangan pernikahan antara 2 (dua) orang yang :

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan Ibu/Bapak tiri.

d) Perhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman susuan.


(46)

e) Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri, lebih dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang nikah.

6) Seorang yang masih terikat tali pernikahan dengan orang lain, kecuali dispensasi oleh Pengadilan.

7) Seorang yang telah bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan pernikahan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

8) Seorang perempuan yang pernikahannya terputus untuk nikah lagi telah lampau tenggang waktu tunggu.

9) Pernikahan harus dilangsungkan menurut tata cara pernikahannya yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.


(47)

D. Cakap Hukum

Kewenangan Hukum (rechtsbevoegdheid) adalah kewenangan untuk menjadi pendukung (mempunyai) hak dan kewajiban dalam hukum.52 Karena kewenangan – hukum persoon – alamiah dikaitkan dengan kepribadian manusia, maka manusia mempunyai kewenangan hukum sejak ia dilahirkan sampai kepada ia meninggal dunia.

Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Perhatikan kata ”persoon pada umumnya” dan ”tindakan hukum pada umumnya”.

Kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid) adalah kewenangan khusus, yang dipunyai oleh persoon tertentu, untuk melakukan tindakan hukum (atau tindakan-tindakan hukum) tertentu.53 Perhatikan kata ”tertentu”. Persoon

yang berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, dan tindakan hukum yang boleh dilakukan olehnya, maka selanjutnya ditentukan oleh undang-undang.

Perlu diperhatikan bahwa istilah-istilah di atas -kewenangan hukum, kecakapan bertindak, dan kewenangan bertindak-merupakan istilah teknis hukum. Kata-kata tersebut dalam satu kesatuan mempunyai arti teknis hukum tertentu. Istilah teknis adalah istilah-istilah dengan arti tertentu, terlepas dari arti

52

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXIV, (Jakarta: Intermasa, 2010) h.

20, menggunakan istilah ”pembawa hak”.

53

J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I, Persoon Alamiah, Cet-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999) h. 56


(48)

harfiah dari kata-kata yang bersangkutan, dan terlepas dari arti yang diberikan dalam kehidupan sehari-hari, dan karenanya tidak boleh dipotong menjadi dua kata yang berdiri sendiri. Kata ”wenang” sebagai kata yang berdiri sendiri bisa mempunyai arti yang sangat berbeda dengan kata ”wenang” dalam satu kesatuan dengan kata ”bertindak”.

Pada dasarnya, setiap orang yang telah dewasa adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum, karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Akan tetapi apabila orang dewasa tersebut sakit ingatan atau boros sehingga tidak dapat mengurus dirinya sendiri, maka ia tidak bisa dikatakan cakap menurut hukum.54

Kedewasaan ialah tingkat kematangan seseorang untuk berfikir lembut dan bijak apapun kapasitas dan pengetahuan yang dimilikinya dalam menerima masukan, merespect masukan, mengatasi perbedaan tanpa menimbulkan distorsi maupun disharmonies, juga tidak merugikan siapapun disekitarnya. Kedewasaan tidak ditentukan oleh kapasitas umur dan tidak hanya terukur oleh IQ intelegensi, maupun faktor yang hanya nampak terlihat secara fisik. Kedewasaan merupakan kemampuan untuk membuat serta mengambil keputusan.55

54

Komeng, Makalah Hukum Perorangan, diakses dari http://komenkcb.blogspot.com, 14 Nopember 2013.

55

Pengertian Dewasa Dan Tingkat Kedewasaan, Perbedaan dewasa, pintar, cerdas, dan kritis,


(49)

Istilah "kedewasaan" menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah "Pendewasaan" menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan, sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing.56

Berikut adalah cakap hukum dan dewasa menurut berbagai disiplin hukum, diantaranya:

1) Menurut Konsep Hukum Perdata

Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh.57

56

Konsultasi Hukum, Umur Dewasa, diakses dari http://www.asiamaya.com, 14 Nopember 2013.

57


(50)

Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabilamereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun.58

2) Menurut konsep Hukum Pidana

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan yang disebut belum cukup umur adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya.59 Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup umur".

58

Lihat pasal 330 KUHPerdata. 59


(51)

3) Menurut konsep Hukum Adat

Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.

Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.

4) Menurut konsep Hukum Islam

Dalam Hukum Islam juga dikenal istilah ”baligh”. Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa


(52)

memiliki arti ”sampai”, maksudnya ”telah sampainya umur seseorang pada tahap kedewasaan”. Prinsipnya, seorang laki- laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Adapun seorang perempuan disebut baligh jika sudah menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa seorang lelaki bermimpi basah (rata-rata umur 15 tahun) atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Untuk mengatasi kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum.60 Kedewasaan seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah ia cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan (ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyat al-„ada).61

5) Menurut konsep Undang-Undang Republik Indonesia

a) Undang-Undang Perkawinan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), “Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang

60

A. Djazuli, Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa, dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17014/ekonomi-syariah-hanya-buat-yang-dewasa, Kamis, 22 Juli 2010, Pukul 16.21

61


(53)

tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” dan pasal 50 ayat (1), “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.” Artinya dewasa ketika sudah diperbolehkan menikah, usianya 18 tahun.

b) Undang-Undang Perlindungan Anak

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1), “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.

c) Undang-Undang Pemilihan Umum

Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 7, “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”, undang-undang no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 19 ayat (1), “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”, dan undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 68, “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala


(54)

daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”

d) Undang-Undang Perlindungan Anak

Pada ayat 1 ayat (1) disebutkan bahwa anak yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-undang ini menyatakan setiap anak harus mendapatkan perlindungan baik dari orangtuanya maupun dari negara. Hal ini berkaitan dengan hak-hak yang harus diperoleh oleh anak tersebut. Selama belum berusia 18 tahun anak berada dalam kekuasaan orang tuannya, itu berarti seseorang yang belum berusia 18 tahun dianggap belum dewasa dan belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain itu anak yang belum dewasa pun jika akan melakukan perbuatan hukum haruslah menunjuk wali untuk mewakilinya. Ini berarti seseorang yang telah berusia 18 tahun tidak lagi perlu didampingi oleh seorang wali untuk melakukan perbuatan hukum karena pada usia tersebut orang tersebut tidak lagi disebut sebagai anak, tetapi telah dianggap sebagai orang dewasa.

e) Undang-Undang Kesejahteraan Anak

Berbeda dengan undang-undang perlindungan anak, dalam Undang-undang kesejahteraan anak, seorang yang disebut “anak” yaitu seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun, dan masih merupakan kewajiban orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan demi kesejahteraan anaknya. Setelah umur 21 tahun tersebut, maka tanggung jawab kesejahteraan


(55)

berada pada diri anak tersebut karena telah dianggap bukan lagi seorang “anak”.

f) Undang-Undang Jabatan Notaris

Pasal 39 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notarisini menyatakan bahwa untuk menjadi seorang Penghadap, minimal usia seseorang adalah 18 tahun atau telah menikah.

g) Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia ini tidak secara gamblang dikatakan bahwa anak yang telah berusia 18 tahun atau sudah menikah disebut sebagai orang dewasa, namun beberapa pasal dalam undang-undang ini menyiratkan hal tersebut. Hal ini terllihat dari pasal 4c, 4d, 4h dan 4l. Dimana seorang anak yang berasal dari perkawinan campuran, baik anak dari perkawinan sah maupun perkawinan yang tidak sah, hingga usia 18 tahun mendapatkan kewarganegaraan ganda. Hal ini berarti bahwa seorang anak yang belum berusia 18 tahun masih berada dalam pengawasan orang tuanya, oleh karena itu dia belum dapat menentukan kewarganegaraannya.

h) Undang-Undang Administrasi Kependudukan

Dalam pasal 63 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukandisebutkan bahwa warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah kawin wajib memiliki KTP (Kartu


(56)

Tanda Penduduk). Hal ini sebagai identitas bahwa orang tersebut telah dewasa sehingga memiliki kartu kependudukan yang terpisah dari orang tuanya. Bagi anak yang belum berusia 17 tahun, identitas kependudukannya hanya berada di dalam KK (Kartu Keluarga) beserta dengan anggota keluarga yang lainnya. Dengan memiliki KTP (17 tahun atau sudah kawin) banyak sekali pengaruhnya bagi seorang warga negara, diantaranya dia dianggap telah mampu dan dapat bertanggungjawab.


(57)

BAB III

NIKAH SIRRI DAN DISPENSASI NIKAH

A.Pengertian Nikah Sirri

1. Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam

Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam suatu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum.1

Yang dimaksud kawin dalam tulisan ini adalah kawin (perkawinan), nikah (pernikahan). Kawin dalam Alqur’an disebut “Nikah”. Sedangkan Nikah adalah merupakan Jima’ yang berarti penggabungan & pencampuran; berhimpun/Watha’.2

Dalam terminologi Islam, nikah di bawah tangan atau KBT (Kawin Bawah Tangan) lazim disebut kawin sirri.3 Dari segi etimologi, kata sirri berasal dari bahasa Arab, sirrun (gelap, tersembunyi).4 Jika kita telaah lebih jauh lagi,

1

Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri, dikutip dari

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/problematika%20nikah%20sirri%20(%20syukri-vita%20UNY).pdf,13April 2014 2

Lihat Riana Kesuma Ayu, Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Perkawinan (2), diakses dari www.riana.com 13 April 2014

3

Akhsin Muamar, Nikah Bawah Tangan versi anak kampus, Cet- 1, (Jakarta: Qultum Media, 2005) h. 18

4


(58)

kata sirri itu berarti rahasia atau tidak terbuka.5 Sebagaimana al-Qur’an menyatakan kata sirri dalam surat at-Taubah ayat 78:

لّلعلهلّ َأ لمهوَل لُ ِّلَعيلهلّ َألأو لعيلمَأ

لٰـ

ل ويغالم

بوتا(

:

ل

٨٧

)

Artinya : ”Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib”. (At-Taubah: 78)

Secara bahasa, nikah sirri adalah perkawinan (pernikahan) secara sembunyi-sembunyi (secret marriage) dan hakekat kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan tanpa dicatatkan.6

Secara harfiah, kata nikah berarti ”untuk mengumpulkan sesuatu”.7

Menurut istilah kata Nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta

(persetubuhan) dengan seorang wanita/melakukan watha dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan/sesusuan. Dalam Shari’ah nikah mengacu pada kontrak. Sebuah kontrak berarti simpul atau dasi. Sebagai seorang wanita dan seorang laki-laki adalah diikat bersama oleh satu simpul (dari pernikahan yang disebut nikah), maka nikah juga disebut „aqd (kontrak).8

5

Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, cet- 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) h. 54

6

Akhsin Muamar, Nikah Bawah Tangan versi anak kampus, h. 19 7

Raghib Ishafani, Mufridat al-Qur’an- Nakaha, (Lahore: Ahl Hadis Academy, 1971) h. 1077 8

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet- 8, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979) h. 167


(59)

Dalam sejarah hukum Islam, istilah pernikahan di bawah tangan (nikah sirri) ini sudah ada sejak zaman Umar ibn Khattab, dalam perkataan Umar yang diriwayatkan Malik dari Abi Zubair al-Makky:9

يمالربزاليأل عل ث ح

ل:

للالهيلعل هشيلملحانبلىأل اطخال بال مل ّ ا

ل أ مال ل ج

ل م لهيفل م ق ل نكلو لهزجأل ل,ّالحانلا هل: اقف

)كمل امالها (

10

Artinya: “Bahwasanya Umar mendatangi perkawinan yang tidak ada kesaksian atasnya, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Umar berkata: ini adalah nikah sirri dan aku tidak membolehkannya. Sekiranya aku mengetahui lebih dulu pasti aku rajam.(Riwayat Imam Malik)

Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh adanya kasus pernikahan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang maka pernikahan yang semacam ini menurut Umar dipandang sebagai nikah sirri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (dibatalkan).11

Menurut KH. Ma’ruf Amin, forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan

9

M. SujariDahlan, Fenomena Nikah Sirri (Bagaimana Kedudukan Munurut Hukum Islam?), cet- 1, (Surabaya: Pustaka Ressif, 1996) h. 33

10

Malik bin Anas Abu Abdillah Al-Ashbahiy, Al-Muwatho' Al-Imam Malik, (Mesir: Daar Ihya At-Tarats Al-Arabi) t.th, Pentahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Juz II, h. 535

11


(60)

pernikahan sirri yang sudah dikenal di masyarakat. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh atau hukum Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di Instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.12

Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’I berpendapat bahwa nikah sirri adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi yang persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati

jumhur fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu orang perempuan.13

Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak memiliki surat nikah yang sah.14

Menurut terminologi fiqh Maliki, nikah sirri adalah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr, yang mengutip

12

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet- 2, (Jakarta: eLSAS, 2008) h. 147

13

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: al-Ilmiyah, 1993) juz V. h. 35-36

14

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Ceraidan Rujuk), cet- 1, (Jakarta: Al-Bayan, 1994) h. 22


(61)

perkataan Abu Umar mengenai Nikah Sirri menurut Imam Malik dan Sahabatnya, yakni:

لل اأ ما ل ج ل وهشال ملهيلعل و يل أل وهشالم ت سيل أ

لهبل صقيلاملك لوح

اعلال ت لرستالىا

15

.

Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut Madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh.16

Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup. Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa persepsi/asumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut:

a. Pernikahan sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Para ulama madzhabsepakat

15

Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Barr An-Namiri, Istidzkar, (Beirut: Daar Al-Kitab Al-'Ulumiyyah, 2000) Cet-1, Pentahqiq: Salim Muhammad 'Atho dan Ali Ma'udh, Juz V, h. 470

16

DR. H. M. Quzwini M.Ag, Perkawinan Siri dalam Perspektif Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diakses dari http://kalsel.kemenag.go.id/file/file/Jurnal/csdq1384098941.pdf , 22 April 2014


(62)

bahwa pernikahan yang semacam ini adalah jelas pernikahan yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perzinahan.

b. Pernikahan sirri yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh petugas pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.17

2. Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat pernikahan merupakan tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum.18

Menurut M. Daud Ali, salah seorang ahli hukum Indonesia, mengemukakan bahwa nikah sirri merupakan nikah bermasalah, sebab menurutnya nikah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sesuatu yang disembunyikan, biasanya mengandung atau menyimpan masalah. Di Indonesia, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang dilakukan menurut hukum Islam

17

Ibid

18

Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri, dikutip dari


(1)

lagi

untuk

mencatatkan.

Setelah

itu

saya

tidak tahu

apakah

bapak

itu

menjalankan yang saya ucapkan atau tidak.

Bagaimana penerapan

dispensui nikah disini menurut

bapak?

-

Sangat

jarang

bahkan

hampir

tidak

ada

yang

melakukan Dispensasi

Nikah

disini.

Jadi, untuk penerapannya sendiri saya kurang begitu tahu ya. Karena memang dari

KUA juga

tidak memantau apalagr memfasilitasi pasangan yang

ingin melakukan nikah di bawah umur untuk mengajukan Dispensasi Nikah.

Apakah

sudah

jadi

tradisi nikah di

bawah

umar

di Desa Sukamaju

ini

menurut

bapak?

-

Yang nikah

di

bawah

umur

sepengetahuan

kami dari pihak

KUA

adalah pasangan yang dinikahkan karena alasan-alasan tertentu seperti

hamil

duluan

misalnya.

Selebihnya

kami

tidak

mengetahui secara

pasti

karena memang

kami tidak memantau langsung perilaku pernikahan di Desa-desa.

Menurut

hasil

pantauan atau

dugaan sayu sementara

di

masyarakat,

yang

menileah

di

bawah

umur

ini

belum mendapatkan

buku nikah

sampai

umarnya

mencukapl Apakah

ini

ada aturannya?

-

KUA

sejauh

ini

menjalankan apa yang sudah terhrlis di dalam Undang-undang

baik

itu

Undang-undang perkawinan maupun peraturan dari pemerintah pusat. Jadi, untuk perilaku seperti

itu

karni belum mendapatkan informasi yang pasti dari para

'amil

di Desa-desa mengenai hal tersebut.

Apakah yang yang seperti tercebutkan

tadi

merupakan

nikah

sirri?

Bagaimana pendapat bapak?


(2)

-

Kalau nikahnya tanpa dicatat

di KUA

itu jelas nikah

sirri.

Sebab selama

ini

biasanya

pelaku

nikah sirri

itu

bagi

orang

yang

ingin

melakukan

poligami

tanpa harus melapor ke Pengadilan Agama ataupun

KUA

setempat.

Menurut

hapuk, &pa

yang

menjadi

faktor

mnsyarakat

tidak

melakuksn

Dispensasi

Nikah?

-

Masyarakat masih kurang pengalaman serta pengetahuannya mengenai hal-hal

tersebut. Terlebih lagi

jika

melakukan atau berperkara

di

Pengadilan Agama.

Bisa

jadi

mereka

beranggapan

bahwa

ke

Pengadilan

Agama

itu

hanya -buang waktu serta biaya yang tidak sedikit.

Bogor, Juni 2014 Mengetahui,

UA

Ke9. Cibungbulang


(3)

Bukti

dokumentasi (foto)

ketika

Peneliti

sedans

mewawancarai Kepala

KUA

Kecamatan Cibunebulane. Bertempat di Balai

Nikah tanggal9 Juni

2014 pada


(4)

Berikut

adalah

hasilwawancara

Pencliti

densan'Amil

Desa

Sukxmaiu

di

kediaman

beliau

pada

tanssal9

Juni 201{

pukul l6.(H

\ffIB:

L

Bagaim*na

praedur ni*ah di

*anpung fui?

Khususnya

antuk

yg

dibawah amrrn

-

Untuk

sekarang sudah

jarang

bahkan

hampir

tidak

ada yang seperti

itu

lagi

disini.

Saya

juga

sudah menekankan

dan

menghimbau kepada masyarakat

untuk

tidak

menikah

di

usia muda. Kecuali ada yang 'kecelakaan' atau hamil

duluan akibat

pergaulan.

Tapi

dahulu pernah

saya

menangani

atau menikahkan pasangan yang

di

bawah umur. Prosesnya, mereka menikah dan

kemudian akan

di

berikan

buku nikah

yang sah ketika umur

mereka mencukupi.

Berapa

funya*yg

ni*oh

di

burrta*

umur?

-

Tidak

banyaL, karena saya cunna menolong warga masyarakat yang sebagian

memiliki

skonomi yang

tidak

serta tutrtutan

faktor

pendidikan

yang kurang yang memaksakan anaknya rmtuk melangsungkan pernikahan

di

bawah umur.

Apa*nh

'umil

mengins**kikon

dispensosi

ni*ah?

Kenapa?

-

Saya

cuma

sebagai

'amil.

Kalau

itu

mungkin dari pihak

KUA

tugasnya.

Biasanya

setiap

beberapa

bulan

sekali

pihak

KUA

bekerja

sama dengan


(5)

mergadakail penyuluhan

rutin ke

Desa-desa

untuk

memberikan pengetahuan masyarakat seputar masalah pernikahan.

Srrdah berupa lama

prosedw

seperli

ita

berjatan?

-

Proses atau prosedur seperti

ini

sebenarnya saya tidak tahu sudah sejak kapan

berjalan.

Ini

sebernarnya

juga

ilegal

atau tanpa sepengetahuan

dari

pihak

KUA

sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, bagi saya sebagai

'amil

yang terdekat

dengan warga

masyarakat

yang

lebih

tahu kondisi

masyarakat

hanya membantuproses yang bisa dijalankan oleh sebagian masyarakat.

Ap{*sh

tidak

sds bsntaon

dafi

KUA

untuk mela*ukan diryensasinikah?

-

Sejauh

ini KUA

hanya memberikan penyuluhan berupa seminar kepada warga

masyarakat. Untuk bantuan ssmircam

itu

saya rasa belum ada yang melakukan

baik

dari masyarakat yang mengajukan ataupun

pihak

KUA

yang membantu

prosesnya

Bogor, Juni 2014 Mengetahui,

'Amil

Desa Sukamaju


(6)

Bukti

dokumentasi (foto) ketika Peneliti

sedang

mewawancarai

Bapak'Amil

Desa

Sukamaiu. Bertempat

di

kediaman Beliau

Kp.

Cisauk

Desa

Sukamaiu.


Dokumen yang terkait

Praktek Nikah Tahlil (Studi Pada Desa Suka Jaya Kecamatan Muko-Muko Bathin Vii, Kabupaten Bungo, Jambi)

2 41 74

Praktek nikah wisata di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) di tinjau dari hukum islam

1 27 102

Pengaruh Nikah Di Bawah Tangan Terhadapa Psikologis Istri Dan Anak (Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)

1 11 0

Penetapan permohonan dispensasi nikah tahun 2012-2014 (studi pada pengadilan agama rengat provinsi Riau)

0 10 0

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

Praktik pemberian dispensasi nikah (studi penetapan pengadilan agama Tigarakasa Kabupaten Tangerang tahun 2013)

0 9 0

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR DILIHAT DARI SEGI Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dilihat Dari Segi Manfaat Dan Mudharot (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta

0 2 19

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS DISPENSASI PERMOHONAN NIKAH Tinjauan Yuridis Dispensasi Permohonan Nikah Bagi Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Wonogiri).

0 2 12

NASKAH PUBLIKASI TINJAUAN YURIDIS DISPENSASI PERMOHONAN NIKAH Tinjauan Yuridis Dispensasi Permohonan Nikah Bagi Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Wonogiri).

0 1 17

PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI( Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang)

0 0 90