Strategi Peningkatan Konsumsi Pangan di Kota Bogor

STRATEGI PENINGKATAN KONSUMSI PANGAN
DI KOTA BOGOR

ADE CUCU WAHYUDIN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Peningkatan
Konsumsi Pangan di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Ade Cucu Wahyudin
NIM I14100083

ABSTRAK
ADE CUCU WAHYUDIN. Strategi Peningkatan Konsumsi Pangan di Kota
Bogor. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis situasi konsumsi pangan
di Kota Bogor, (2) Merumuskan alternatif strategi berdasarkan analisis SWOT
sesuai dengan faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap
peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor, dan (3) Merumuskan prioritas
strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor berdasarkan metode AHP
(Analitical Hierarchy Process). Data yang dikumpulkan adalah data skunder dan
data primer. Data sekunder dianalisis secara deskriptif untuk mengetahuai kondisi
aktual konsumsi pangan di Kota Bogor dan merumuskan faktor internal dan faktor
eksternal lingkungan strategi konsumsi pangan. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara dan kuisioner. Hasil dari penelitian ini menunjukan konsumsi pangan
di Kota Bogor secara kuantitas mencapai 88.8% dari AKE, secara kualitas
mencapai 81.8 dari skor PPH. Strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota
Bogor berada pada kuadran I (mendukung strategi agresif). Prioritas strategi

pertama dalam peningkatan konsumsi pangan adalah meningkatkan akses dan
ketersediaan pangan.
Kata kunci: AHP, konsumsi pangan, strategi kebijakan, SWOT

ABSTRACT
ADE CUCU WAHYUDIN. Strategy for increasing food consumption in Bogor
City. Supervised by IKEU TANZIHA.
.
The purpose of this study were: 1) to analyze the situation of food
consumption in Bogor City, 2) Formulate strategic alternatives based on the
SWOT analysis in accordance with the internal and external factors that affect the
increase in food consumption in Bogor City, and 3) formulate strategies for
improving food consumption priorities in Bogor City based AHP (Analytical
Hierarchy Process). The data collected is of secondary data and primary data.
Secondary data were analyzed descriptively to determine the actual condition of
food consumption in Bogor City and formulate internal factors and external
factors environmental strategy of food consumption. Primary data was collected
through interviews and questionnaires. The results of this study indicate food
consumption in the city of Bogor reached 88.8% of RDA for energy in quantity,
reaches Desirable Dietary Pattern Score 81.8 in quality. Strategy for increasing

food consumption in Bogor City is in quadrant I (supporting aggressive
strategies). The first strategic priority in increasing food consumption is to
increase access and availability of food.
Keywords: AHP, food consumption, policy strategy, SWOT

STRATEGI PENINGKATAN KONSUMSI PANGAN
DI KOTA BOGOR

ADE CUCU WAHYUDIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul
Nama
NIM

: Strategi Peningkatan Konsumsi Pangan di Kota Bogor
: Ade Cucu Wahyudin
: I14100083

Disetujui oleh

Dr Ir Ikeu Tanziha, MS
Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Agustus
2014 di daerah Kota Bogor ini adalah Strategi Peningkatan Konsumsi Pangan di Kota
Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku
dosen pembimbing dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku penguji yang telah
memberikan banyak masukan yang teramat berharga bagi penulis. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada ibu, bapa, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya, selain itu juga kepada teman-teman Lingkung Seni Sunda Gentra
Kaheman IPB, Kosan Jamparing, Gizi Masyarakat angkatan 47, dan Dirjen Dikti atas
dukungan dan bantuannya. Penulis memohon maaf atas segala kekurangan ataupun
kekhilafan yang penulis lakukan, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.
Demikian yang bisa penulis sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.

Bogor, September 2014
Ade Cucu Wahyudin


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan

2

Manfaat Penelitian

2

KERANGKA PEMIKIRAN

2

METODE

3

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

3


Jenis dan Cara Pengumpulan Data

3

Pengolahan Analisis Data

4

Definis Operasional

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Kondisi Geografis

9


Kelembagaan Ketahanan Pangan

9

Penduduk

10

Peraturan Pemerintah Tentang Pangan

10

Situasi Konsumsi Pangan dan Gizi di Kota Bogor

11

Distribusi dan Perekonomian

11


Status Gizi

12

Potensi Produksi dan Ketersediaan Pangan

12

Konsumsi Pangan

13

Analisis Lingkungan Strategi
SIMPULAN DAN SARAN

15
23

Simpulan


23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13

Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian
Contoh Matrik Perbandingan Berpasangan
Skala perbandingan berpangsangan
Fluktuasi harga bahan pangan pokok strategis
Indikator status gizi tahun 2011 sampai 2013
Tingkat dan Gap Ketersediaan Energi Menurut Kelompok Pola Pangan
Harapan (PPH) Berdasarkan Neraca Bahan Makanan Wilayah Kota
Bogor Tahun 2012
Skor Pola Pangan Harapan menurut Kelompok Pangan di Kota Bogor
Tahun 2013
Perbandingan Situasi Konsumsi Pangan Kota Bogor Tahun 2013 dan
Ideal
Evaluasi Faktor Internal (IFE) dan Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)
Strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor
Prioritas aktor penentu hierarki peningkatan konsumsi pangan di Kota
Bogor
Bobot tujuan untuk hierarki peningkataan konsumsi pangan di Kota
Bogor
Prioritas strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor

4
5
6
12
12

13
14
15
18
19
20
21
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
Hierarki Strategi peningktatan konsumsi pangan di Kota Bogor
Posisi strategi peningkatan konsumsi pangan Kota Bogor
Hasil pengolahan vertikal AHP Strategi peningkatan konsumsi pangan
di Kota Bogor
5 Hasil analisis sensitivitas strategi peningkatan konsumsi pangan secara
mengeluruh

3
7
19
20
22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Produksi, Import dan Ketersediaan Pangan untuk Konsumsi Penduduk
di Wilayah Kota Bogor Berdasarkan Neraca Bahan Makanan Tahun
2012
2 Skor Pola Pangan Harapan Ketersediaan Pangan Wilayah Berdasarkan
Neraca Bahan Makanan Wilayah Kota Bogor Tahun 2012
3 Prioritas aktor penentu peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor
4 Prioritas strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor

27
27
28
28

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hak asasi atas pangan telah menjadi komitmen pemerintah, yang dinyatakan
dalam UU No 18 Tahun 2012. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya
Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Ketahanan pangan telah menjadi prasyarat dasar yang harus
dimiliki oleh daerah otonom. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38
tahun 2007 yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib
pemerintah (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota).
Kinerja pembangunan ketahanan pangan yang harus dipenuhi oleh
pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) diatur oleh Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 mengenai Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Ketahanan Pangan. Pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota wajib menyelenggarakan empat jenis pelayanan dasar bidang
ketahanan pangan, yaitu (a) ketersediaan dan cadangan pangan; (b) distribusi dan
akses pangan; (c) penganekaragaman dan keamanan pangan; serta (d) penanganan
kerawanan pangan.
Kota Bogor sebagai daerah otonom yang diatur dalam UU No 32 Tahun
2004 tentang pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam menyelenggarakan
urusan ketahanan pangan, salah satunya yaitu upaya pencapaian SPM bidang
penganekaragaman dan keamanan pangan. Konsumsi pangan merupakan output
pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah. Oleh karena itu,
penganekaragaman konsumsi pangan merupakan isu penting yang harus
ditingkatkan upaya pencapaiannya.
Tingkat konsumsi pangan penduduk Kota Bogor pada tahun 2013 masih
berada di bawah standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan.
Berdasarkan hasil survei konsumsi pangan tahun 2013 yang dilakukan oleh
Kantor Ketahanan Pangan, penduduk Kota Bogor baru mengonsumsi energi
sebesar 88.4% dari AKE atau setara dengan 1769 Kal/kapita/hari. Menurut
kriteria Peraturan menteri Pertanian nomor 65/Permentan/Ot.140/12/2010,
konsumsi energi tersebut berada pada kriteria rawan pangan. Skor PPH yang
menunjukkan kualitas konsumsi pangan penduduk baru mencapai angka 81.8 dari
skor maksimal 100.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah
produksi, dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1988 dalam Prathivi 2012).
Selain itu, konsumsi pangan penduduk juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
sosial, pendidikan, gaya hidup, pengetahuan, aksesibilitas, dan sebagainya.
Bahkan, faktor prestise dari pangan kadang kala menjadi sangat menonjol sebagai
faktor penentu daya terima pangan (Martianto dan Ariani 2004).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya pengembangan konsumsi
pangan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan di Kota
Bogor. Peningkatann konsumsi pangan yang dilakukan harus berlandaskan pada

2
SPM bidang penganekaragaman pangan melalui analisis faktor-faktor strategis
eksternal dan internal dengan metode SWOT dan AHP. Pada akhirnya, kajian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk rekomendasi perencanaan
konsumsi pangan penduduk yang berujung pada perwujudan ketahanan pangan di
Kota Bogor.

Tujuan
Tujuan umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan strategi
kebijakan peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor tahun 2015 - 2019.
Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis situasi konsumsi pangan di Kota Bogor.
2. Merumuskan alternatif strategi berdasarkan analisis SWOT sesuai dengan
faktor internal dan eksternal yang perpengaruh terhadap peningkatan
konsumsi pangan di Kota Bogor
3. Merumuskan prioritas strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor
berdasarkan metode AHP (Analitical Hierarchy Process).

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi bagi
pihak pemerintahan Kota Bogor terkait dengan perencanaan dan perumusan
strategi peningkatan konsumsi pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan
wilayah di Kota Bogor tahun 2015 - 2019.

KERANGKA PEMIKIRAN
Ketahanan pangan merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan peran
lintas sektor dengan penanganan secara multi disiplin. Ketahanan pangan terdiri
dari subsistem ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Subsistem
konsumsi pangan merupakan indikator hasil (outcome indicators) dari kinerja
pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah (Frankenberger 1992 dalam
Prathivi 2012).
Strategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor dilakukan dengan
tahap awal menganalisis dokumen-dokumen ketahanan pangan di Kota Bogor,
tahap kedua adalah menganalisis lingkungan eksternal yang dapat menjadi
peluang maupun ancaman serta lingkungan internal yang dapat menjadi kekuatan
dan kelemahan terkait pengembangan konsumsi pangan di Kota Bogor. Tahapan
analisis selanjutnya adalah menyusun formulasi strategi yang memadukan faktor
eksternal dan internal melalui analisis SWOT. Alternatif strategi yang dihasilkan
selanjutnya diprioritaskan menggunakan AHP untuk memenuhi tujuan

3
peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor menuju ideal. Kerangka pemikiran
konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Kebijakan Pemerintah
Daerah, Kelembagaan ,
Demografis

Situasi Konsumsi
Pangan di Kota Bogor

Identifikasi Faktor
Internal
(Strength, Weakness)

Identifikasi Faktor
Eksternal
(Opportunities, Threat )

Analisis Alternatif
Strategi
(Matriks SWOT)

Prioritas Strategi
(Analytical Hierarchy
Process)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODE
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pengambilan data
dilakukan di Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja).
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli dan Agustus 2014.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer terdiri dari faktor-faktor strategis, aktor, dan tujuan
mengenai upaya pengembangan konsumsi pangan di Kota Bogor. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner. Data sekunder
diperoleh dari instansi terkait ketahanan pangan dan studi pustaka yang relevan.
Wawancara dilakukan terhadap pemerintah, swasta dan masyarakat yaitu: 1)
Kepala Bidang THP; 2) Kepala Bidang Peternakan; 3) Kepala Bidang Perikanan;

4
4) Kepala Seksi Penganekaragaman dan Keamanan Pangan; 5) Staf Gizi; 6)
Sekretariat DPRD Kasubag THP; 7) Bappeda Kabid Ekonomi; 8) Kepala Seksi
Perdagangan; 9) Masyarakat (Pelaku Konsumsi Panga) ; dan 10) Swasta (Pelaku
Bisnis Pangan). Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data terdapat pada Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian
No
1

Jenis Data
Keadaan
demografi

Sumber Data
Bappeda (Data Sekunder)

2

Ketersediaan
pangan

Kantor Ketahanan Pangan (Data
Sekunder)

3

Konsumsi pangan

Kantor Ketahanan Pangan (Data
Sekunder)

4

Harga pangan

5

Status Gizi

Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan (Data Sekunder)
Dinas
Kesehatan
(Data
Sekunder)

6

PDRB

Bappeda (Data Sekunder)

7

Laju inflasi

Bappeda (Data Sekunder)

8
9

IPM
Renstra ketahanan
pangan
Kelembagaan
ketahanan pangan

Bappeda (Data Sekunder)
Kantor Ketahanan Pangan (Data
Sekunder)
Kantor Ketahanan Pangan (Data
Sekunder)

Presepsi tentang
Strategi
peningkatan
konsumsi pangan

Dinas dan organisasi terkait
ketahanan pangan, masyarakat
dan swasta (Data primer)

10

11

Cara Pengumpulan Data
Pencatatan
data
jumlah,
komposisi, kemiskinan dan laju
pertumbuhan penduduk
Pencatatan hasil dan print out
NBM dan PPH Kota Bogor
(Tahun 2013)
Pencatatan hasil dan print out
situasi konsumsi pangan Tahun
2013
Pencatatan data harga pangan
Tahun 2012 dan 2013
Pencatatan data persentase status
gizi balita (Tahun 2011, 2012
dan 2013)
Pencatatan data PDRB atas dasar
harga konstan dan berlaku
(Tahun 2012)
Pencatatan data laju inflasi
(Tahun 2012)
Pencatatan IPM tahun 2012
Copy dokumen
Pencatatan Perda No 13 Tahun
2008 tentang Pembentukan
Lembaga Teknis Daerah
Pengisian
kuesioner
dan
wawancara

Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif bertujuan untuk mengetahui kondisi aktual konsumsi
pangan yang diperoleh dari data sekunder kemudian dirumuskan faktor internal
dan faktor eksternal yang mempengaruhi konsumsi pangan di Kota Bogor yang
dilakukan dengan pendekatan SWOT.
Analisis Koefisien Variasi
Analisis koefisien variasi bertujuan untuk mengetahui sebaran data harga
bahan pangan dari rata-rata hitungnta per tahun.
KV = S x 100%
x

5
Dimana KV = koefisien variasi
S
= simpangan standar
= rata-rata
x
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threat)
Kegiatan pengamatan dan identifikasi secara cermat lingkungan strategis
faktor internal dan eksternal yang terdiri dari kekuatan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), ancaman (threats). Dalam pelaksanan
analisis lingkungan dilakukan penyusunan terhadap faktor internal dan eksternal,
masing-masing faktor diberi bobot berdasarkan pertimbangan para pakar/pelaku
(berpengalaman dan teoritis) mulai dari 1.0 (sangat penting) sampai 0.0 (tidak
penting). Perhitungan rating terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan
pengaruhnya terhadap kondisi konsumsi pangan di Kota Bogor adalah sebagai
berikut : Rating 4 (sangat berpengaruh), Rating 3 (berpengaruh), Rating 2
(lemah), Rating 1 (sangat lemah). Apabila rating tersebut dikalikan dengan bobot,
maka akan diperoleh skor, kemudian skor tersebut dijumlahkan. Skor yang paling
tinggi adalah 4.00 dan skor yang paling rendah adalah 0.00. Analisis ini akan
dipergunakan untuk mengamati dan mengidentifikasi berbagai lingkungan strategi
peningkatan konsumsi pangan yang dilakukan oleh pakar/pelaku bidang pangan
baik dari pemerintan, swasta dan masyarakat, sehingga dapat disusun strategistrategi peningkatan konsumsi pangan di Kota Bogor.

Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menetukan alternatif
strategi sesuai dengan faktor penentu, aktor dan tujuan yang ingin dicapai dalam
pengembangan konsumsi pangan di Kota Bogor. Penentuan faktor, aktor dan
tujuan dilakukan melalui kuesioner, sedangkan alternatif strategi dilakukan
dengan analisis SWOT. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam metode AHP
(Saaty 1991):
1.
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
2.
Membuat struktur hirarki secara menyeluruh (Gambar 2)
3.
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing
tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4.
Melakukan perbandingan berpasangan, dimulai dari level hierarki paling
atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya X, kemudian diambil
elemen yang akan dibandingkan, missal X1, X2, dan X3. Sehingga, susunan
elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel
2 berikut.
Tabel 2 Contoh Matrik Perbandingan Berpasangan
FAKTOR
X1
X2
X3

X1
1
½
1/5

X2
2
1
2

X3
5
¼
1

Penentuan nilai kepentingan relatif antar elemen menggunakan skala
bilangan 1 sampai 9 seperti pada Tabel 3. Apabila suatu elemen

6
dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i
dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j
dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya.
Tabel 3 Skala perbandingan berpangsangan
Nilai
1
3
5
7
9
2, 4, 6, 8

Keterangan
Kriteria/Alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B
A sedikit lebih penting dari B
A jelas lebih penting dari B
A sangat jelas lebih penting dari B
Mutlak lebih penting dari B
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

5.

Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
pengambilan data diulangi
6.
Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki
7.
Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada
tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
8.
Memeriksa konsistensi hierarki, jika nilainya kurang dari 10 persen maka
penilaian judgement diterima
9.
Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka
penilaian data judgement harus diperbaiki.
Berikut ini adalah persamaan matematika yang digunakan untuk pengolahan data
AHP (Marimin dan Maghfiroh 2010).
1. Penghitungan Bobot (Vektor) Prioritas
Vektor prioritas (VP) atau bobot (W) dari setiap elemen dalam satu level
hirarki terhadap elemen tertentu diatasnya dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Dimana: VE = vektor eigen = rata-rata geometrik satu baris metrik

2. Penghitungan Nilai Eigen ( atau VB)

3.

4.

Dimana VA = vektor antara
VA = ( ) (VP)
Penghitungan Nilai Eigen Maksimum (

maks atau

VBmaks)

Penghitungan Konsistensi (Ratio Consistency)
Tolak ukur konsistensi dinyatakan oleh nilai Indeks konsistensi (CI) dan
nisbah konsistensi (CR). Keduanya menyatakan konsistensi jawaban
responden yang berpengaruh pada kesahihan hasil. Nilai CI dan CR tidak
seragam dipengaruhi oleh responden dan tingkat kepakarannya.

7

5.

, bila CR ≤ 10% dinyatakan konsisten
maksimum
Dimana:
n
= jumlah elemen yang diperbandingkan (ukuran matriks)
CR
= rasio konsistensi
RI
= indeks random
Matriks Pendapat Gabungan
Matriks pendapat gabungan (g) merupakan matrik baru yang elemen
matriknya ( ) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat
individu ( ) yang rasio konsistensinya memenuhi persyaratan.

Dimana:
= elemen matriks gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
m = jumlah pengolah data
= elemen matriks individu pada baris ke-i kolom ke-j
Hasil pendapat gabungan tersebut kemudian dihitung dengan prosedur yang
sama seperti perhitungan vektor prioritas gabungan. Komponen hierarki yang
memiliki nilai eigen prioritas gabungan tertinggi pada setiap level, merupakan
komponen prioritas pertama. Alternatif strategi prioritas adalah alternatif strategi
yang memiliki eigen vektor prioritas tertinggi. Penyelesaian perhitungan
dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan untuk
mensintesa pengaruh faktor terhadap alternatif strategi dengan menggunakan
Program Expert Choice v11.
Strategi Operasional

Pemerintah

Swasta

Peningkatan konsumsi
pangan secara kuantitas

Mengoptimalkan
sumberdaya

Menguatkan dan
meningkatkan kinerja
kelembagaan

Masyarakat

Peningkatan konsumsi
pangan secara kualitas

Meningkatkan akses
dan ketersediaan pangan

Mendorong prilaku
konsumsi pangan

Gambar 2 Hierarki Strategi peningktatan konsumsi pangan di Kota Bogor

8
Definisi Operasional

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan
baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Situasi konsumsi pangan adalah gambaran konsumsi pangan penduduk Kota
Bogor berdasar konsumsi energi dan skor PPH yang diperngaruhi oleh
demografi, kelembagaan ketahanan pangan, kebijakan pembangunan
daerah, ketersedian, distribusi dan status gizi.
Konsumsi pangan adalah kualitas dan kuantitas pangan yang dimakan oleh
penduduk Kota Bogor, yang dilihat dari aspek jumlah energy, protein dan
skor PPH.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Ketersedian pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang tersedia untuk
dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan penduduk, yang ditunjukan dari
ketersediaan energy dan skor PPH.
Distribusi pangan adalah fasilitas penyaluran pangan agar dapat tersalurkan dari
tempat produksi kelokasi dimana pangan tersebut dapat dikonsumsi, yang
dapat dilihat dari fluktuasi harga pangan.
Status gizi adalah keadaan gizi anak balita di Kota Bogor yang dilihat dari
presentase gizi buruk dan gizi kurang.
Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan
konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada
potensi sumber daya lokal.
Strategi kebijakan peningkatan konsumsi pangan adalah suatu ketetapan yang
memuat urutan prioritas strategi untuk meningkatkan konsumsi pangan di
Kota Bogor, berdasarkan analisis SWOT dan AHP.
Demografi adalah kondisi wilayah, jumlah, komposisi dan laju pertumbuhan
penduduk di Kota Bogor.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kelembagaan ketahanan pangan adalah institusi pemerintahan maupun non
pemerintahan yang menangani ketahanan pangan baik yang berkaitan
dengan subsistem ketersediaan, distribusi, konsumsi dan status gizi.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis
Secara Geografis, Kota Bogor terletak diantara 1060 48’ BT dan 60 26’ LS,
yaitu ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor dan lokasinya sangat dekat
dengan Ibukota Negara.
Oleh karena itu, Kota Bogor potensial bagi
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, serta berpeluang untuk
dijadikan pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi,
komuoinikasi dan pariwisata.
Luas wilayah Kota Bogor mencakup 11 850 Ha, terdiri dari 6 Kecamatan
dan 68 Kelurahan. Secara administratif, Kota Bogor dikelilingi oleh wilayah
Kabupaten Bogor dengan batas wilayah sebagai berikut: (a) Sebelah Utara
berbatasan dengan Kec. Kemang, Kec. Bojong Gede dan Kec. Sukaraja,
Kabupaten Bogor; (b) Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec.
Ciawi, Kabupaten Bogor; (c) Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan
Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor; serta (d) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.
Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor.
Kelembagaan Ketahanan Pangan
Kelembagaan ketahanan pangan adalah institusi pemerintahan maupun non
pemerintahan yang menangani ketahanan pangan baik yang berkaitan dengan
subsistem ketersedian, distribusi, konsumsi dan status gizi. Lembaga struktural
ketahanan pangan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13
tahun 2008 adalah Kantor Ketahanan Pangan (KKP). Kantor Ketahana Pangan
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan di bidang
ketahanan pangan yaitu: 1) Perumusan kebijakan teknis di bidang ketahanan
pangan; 2) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
dibidang ketahanan pangan; 3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang
ketahanan pangan; 4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan walikota sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Struktur organisasi Kantor Ketahanan Pangan Kota Bogor terdiri: 1) Kepala
Kantor, 2) Sub Bagian Tata Usaha, 3) Seksi Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
4) Seksi Penganekaragaman dan Keamanan Pangan, 5) Seksi Kelembagaan dan
Infrastruktur Pangan. Keadaan kepegawaian di lingkungan Kantor Ketahanan
Pangan Kota Bogor terdiri dari secara struktural yaitu esselon III berjumlah 1
orang, esselon IV 4 orang, pelaksana 11 orang dan penyuluh pertaniaan
berjumalah 7 orang.
Untuk melaksanakan fungsi koordinasi pembangunanan ketahanan pangan
Kota Bogor, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 510.15-109 Tahun
2010 dibentuk lembaga fungsional ketahanan pangan yaitu Dewan Ketahanan
Pangan (DKP), yaitu di ketuai oleh Walikota dan sekertaris kepala Kantor
Ketahanan Pangan. Sementara anggota Dewan Ketahanan Pangan yaitu Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Pengelola Lingkungan Hidup, Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencan, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Dinas Binamarga dan Dumber

10
Daya Air, Dinas Pertanian, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dewan
Ketahanan Pangan sebagai institusi koordinasi fungsional bertanggung jawab
memfasilitasi berbagai pertemuan baik yang bersifat formal maupun informal.
Pertemuan dilaksanakan untuk menggalang keterlibatan pemerintah daerah,
organisasi non pemerintahan (LSM, Pondok Pesantren, PKK, Perusahaan Swasta,
Organisasi profesi dan organisasi pelaku) untuk lebih peduli terhadap pentingnya
pemenuhan pangan bagi masyarakat dan ketahanan nasional serta menyadarkan
semua pihak bahwa tanggung jawab mewujudkan masyarakat Jawa Barat yang
sejahtera terbebas dari kemiskinan dan kelaparan terletak pada seluruh komponen
masyarakat.
Kelompok lumbung pangan di Kota Bogor terdapat 13 lumbung pangan
yang tersebar di setiap Kecamatan di Kota Bogor. Kota Bogor memiliki
sumberdaya kelembagaan pangan 168 kelompok Tani yang terdiri dari: Kelompok
Wanita Tani (KWT), Kelompok Tani Dewasa (KTD) dan Kel Taruna Tani (KTT),
dan mempunyai 41 Gapoktan yang tersebar di Kota Bogor.
Permasalahan kelembagaan ketahanan pangan di Kota Bogor adalah
lembaga ketahanan pangan yang masih berbentuk kantor sehingga menjadi
permasalahan dalam koordinasi, struktural organisasi masih lemah karena jumlah
pegawai yang terbatas dan terbatasnya yang mempunyai pengetahuan terhadap
pangan, jumlah penyuluh lapang yang ahli terbatas serta tidak ada bagian
distribusi.
Penduduk
Pada tahun 2012, jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 1 004 831 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 510 884 jiwa dan perempuan 493 947 jiwa (Kota Bogor
Dalam Angka 2013). Dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah penduduk Kota
Bogor Tahun 2012 bertambah sebanyak 37 433 orang atau meningkat sebanyak
3.87%. Dengan luas wilayah 118.50 km2, kepadatan penduduk di Kota Bogor
pada tahun 2012 mencapai 8480 orang per km2.
IPM Kota Bogor pada tahun 2012 sebesar 76.47 meningkat 0.39 point
dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 76.08, dengan angka harapan hidup 69.07
tahun, angka melek huruf 98.97%, rata-rata lama sekolah 9.81 tahun, purchasing
power parity Rp 655 000/kapita/tahun. Berdasarkan dari indeksnya, maka pada
tahun 2012; indeks kesehatan sebesar 73.45, indeks pendidikan 87.78, dan indeks
daya beli 68.17.
Peraturan Pemerintah Tentang Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Undang-undang tentang pangan tercantum dalam UU No 18 Tahun 2012.
Kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya
lokal diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009 kemudian
diterjemahkan dalam gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumberdaya lokal dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor

11
43/Permentan/OT.140/10/2009 dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 60 Tahun
2010. Landasan hukum ini menjadi dasar pembuatan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kantor Ketahanan
Pangan dalam program peningkatan ketahanan pangan di Kota Bogor khususnya
penyedian konsumsi masyarakat.

Situasi Konsumsi Pangan dan Gizi di Kota Bogor
Distribusi dan Perekonomian
Jumlah perusahaan perdagangan formal di Kota Bogor mencapai 342
perusahaan pada tahun 2012, terdiri dari 7 perusahaan besar, 49 perusahaan
menengah, 192 perusahaan kecil dan 94 perusahaan mikro. Sementara itu, untuk
pelaksanaan transaksi jual beli, terdapat 7 pasar di Kota Bogor yang mengelola
sebanyak 5938 kios dan los.
Pada tahun 2012, inflasi di Kota Bogor secara umum mencapai 3.96%.
Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi dan
olahraga yaitu mencapai 13.89%, tertinggi kedua dari kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau sebesar 4.80% dan tertinggi ketiga dari kelompok
bahan makanan sebesar 4.13%.
Secara umum, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2012 adalah
sebesar 6.15% dengan struktur ekonomi yang masih tetap didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 36.23%, diikuti oleh
sektor industri pengolahan sebesar 27.51%. Sedangkan sektor pertanian
merupakan kontributor terendah dengan sumbangan sebesar 0.17%.
Kota Bogor yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata
tidak diikuti oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini tercermin dari
masih tingginya jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran terbuka
(TPT). Data tahun 2012 menunjukan bahwa persentase penduduk miskin Kota
Bogor mencapai 8.41% dari total penduduk sebesar 1 004 831 jiwa. Pada kurun
waktu yang sama, TPT Kota Bogor adalah 9.33%
Stabilitas harga diukur dengan koefesien variasi harga pada tahun 2012 dan
2013, hasil pengolahan harga pada tabel 4 menunjukan fluktuasi harga pangan
pokok strategis di Kota Bogor pada tahun 2012 yang terbilang tinggi yaitu jagung
pipilan (44.85%) diikuti oleh cabe merah (26.66%), gula pasir (12.17%), dan
daging sapi (11.74%). Fluktuasi harga yang paling rendah terdapat pada bahan
pangan pokok beras yaitu 5.90%. Pada tahun 2013 fluktuasi harga yang paling
tinggi yaitu pada bahan pangan cabe merah sebesar 21.63% diikuti oleh daging
ayam (11.31%) dan minyak goreng (9.57%). Fluktuasi harga paling rendah atau
tidak mengalami kenaikan atau penurunan harga yaitu pada bahan pangan jagung
pipilan sebesar 0%.

12
Tabel 4 Fluktuasi harga bahan pangan pokok strategis
Fluktuasi Harga ( Koefesien Variasi)
2012 (%)
2013 (%)
1
Beras
5.90
2.88
2
Jagung Pipilan
44.85
0
3
Kedelai
10.97
8.04
4
Daging Sapi
11.74
4.42
5
Daging Ayam
6.05
11.31
6
Telur Ayam Ras
6.78
8.57
7
Minyak Goreng
7.89
9.57
8
Gula Pasir
12.17
5.00
9
Cabe Merah
26.66
21.63
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor
No

Nama jenis bahan pangan pokok

Status Gizi
Status gizi adalah merupakan salah satu gambaran kesehatan masyarakat.
Konsumsi pangan yang cukup merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan gizi bagi tubuh. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi
dan protein dalam jangka waktu tertentu akan berdampak pada menurunnya
produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status
gizi kurang dan buruk yang jika tidak diatasi akan mengakibatkan lost generation
(Hardinsyah dan Martianto 1992).
Tabel 5 Indikator status gizi tahun 2011 sampai 2013
Tahun

Total Penduduk

Jumlah Balita

2011
987 315
91 850
2012
1 004 831
88 467
2013
77 857
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor

Jumlah Balita Dengan
Gizi Buruk
Gizi Kurang
185 (0.21%)
107 (0.11%)
70 (0.1%)

1958 (2.4%)
1862 (2.2%)
2240 (2.8%)

Berdasarkan Tabel 5 proporsi gizi buruk di Kota Bogor cenderung menurun,
tahun 2011 sebanyak 185 kasus dan gizi kurang sebanyak 1958 kasus, pada tahun
2012 gizi buruk menurun menjadi 107 kasus begitupula dengan gizi kurang yang
ikut menurun menjadi 1862 kasus, sedangakan pada tahun 2013 gizi buruk
menurun menjadi 70 kasus atau 0.1% dan untuk gizi kurang meningkat menjadi
2240 kasus atau 2.8%. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013
adalah 19.6% terdiri dari 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Jika
dibandingkan angka prevalensi gizi buruk-kurang Kota Bogor dengan Nasional,
terlihat bahwa Kota Bogor lebih baik. Masalah kesehatan masyarakat dianggap
serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20-29%, dan dianggap prevalensi
sangat tinggi bila ≥30% (WHO 2010 dalam Riskesdas 2013). Sehingga di Kota
Bogor tidak ada masalah kesehatan yang serius.
Potensi Produksi dan Ketersediaan Pangan
Kota Bogor merupakan wilayah perkotaan dengan lahan pertanian yang
terbatas, yaitu 2374 ha lahan bukan sawah dan 750 ha lahan sawah yang sebagian
besar ada pada wilayah kecamatan Bogor selatan, Bogor Barat dan Bogor Timur.
Sebanding dengan luas lahan pertanian yang ada, maka produksi pangan di Kota
Bogor sebesar 7.69% dari ketersedian sementara 92.31% pangan impor,

13
khususnya beras pada tahun 2012 di Kota Bogor hanya mampu memproduksi
4565.8 ton sementara kebutuhan beras untuk dikonsumsi sebanyak 99 735.3 ton
sehingga sisanya harus mengimpor. Begitupun dengan bahan makanan lain, dapat
dilihat dari lampiran 1, sebagian besar bahan makanan yang dikonsumsi penduduk
Kota Bogor merupakan impor.
Rata-rata ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan penduduk di
wilayah Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sekitar 2278 Kal/kap/hari. Jika
dibandingkan dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan secara
nasional berarti Tingkat Ketersediaan Energi (TKE) di wilayah Kota Bogor telah
mencapai sekitar 103.5 persen pada tahun 2012. Sementara itu, ketersediaan
protein telah mencapai sebesar 76.9 gram/kapita/hari sehingga Tingkat
Ketersediaan Protein (TKP) di wilayah Kota Bogor telah mencapai 134.4%. Skor
PPH ketersediaan pangan di wilayah di Kota Bogor pada tahun 2012 baru
mencapai 90.1 atau kurang 9.9 poin dari skor PPH ideal 100.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 6, kelompok pangan yang
ketersediaannya telah melebihi angka kecukupannya adalah pangan kelompok
padi-padian (lebih 73 Kal atau 6.6%), pangan hewani (lebih 23.3 Kal atau 23.3 %),
minyak dan lemak (lebih 85 Kal atau 39%), dan kacang-kacangan (lebih 32 Kal
atau 30%). Adapun kelompok gula, sayur dan buah serta lain-lain ketersediaanya
masih dibawah angka kecukupan yang dianjurkan, dimana masing-masing masih
kekurangan sekitar 70 Kal, 37 Kal, dan 66 Kal atau sekitar 64%, 28%, dan 100%
dari kecukupannya. Sementara itu, kelompok pangan umbi-umbian dan buah/biji
berminyak memiliki ketersediaan yang hampir sama dengan angka kecukupannya.
Tabel 6 Tingkat dan Gap Ketersediaan Energi Menurut Kelompok Pola Pangan
Harapan (PPH) Berdasarkan Neraca Bahan Makanan Wilayah Kota Bogor
Tahun 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kelompok
Pangan
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan Hewani
Minyak & Lemak
Buah/Biji
Berminyak
Kacang-kacangan
Gula
Sayur dan Buah
Lain-lain

Kal/Kap/Hari

%AKE

Gap

Aktual
1173
128
326
305

Standar
1100
132
264
220

Aktual
53.3
5.8
14.8
13.9

Standar
50
6
12
10

Kal
73
-4
62
85

%AKE
3.3
-0.2
2.8
3.9

%
6.6
-3.3
23.3
39

69

66

3.1

3

3

0.1

3.3

142
40
95
0
2278

110
110
132
66
2200

6.5
1.8
4.3
0
103.5

5
5
6
3
100

32
-70
-37
-66
78

1.5
-3.2
-1.7
-3
3.5

30
-64
-28.3
-100
3.5

Total
Sumber: Laporan NBM Kota Bogor Tahun 2012

Konsumsi pangan
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004,
konsumsi pangan sudah terpenuhi apabila konsumsi energi penduduk Indonesia
mencapai 2000 Kal/kap/hari dan konsumsi protein 52 gram/kap/hari. Jumlah
konsumsi energi dan protein tersebut merupakan jumlah yang diperlukan agar
manusia dapat hidup secara sehat, aktif, dan produktif. Berdasarkan hasil survey

14
konsumsi pangan, pada tahun 2013, rata-rata konsumsi energi penduduk Kota
Bogor adalah sebesar 1769 Kal/kap/hari (88.4% AKE). Menurut kriteria
Peraturan menteri Pertanian nomor 65/Permentan/Ot.140/12/2010, konsumsi
energi tersebut berada pada kriteria rawan pangan.
Berdasarkan hasil survey Kantor Ketahanan Pangan, proporsi penduduk
Kota Bogor dengan konsumsi energy sebanyak 27% penduduk di Kota Bogor
termasuk dalam kategori sangat rawan pangan yang ditandai dengan konsumsi
energi kurang dari 70% AKE, 33% masuk kategori rawan pangan dengan
konsumsi energi 70% - 89.9% AKE, 27% masuk kategori tahan pangan dengan
konsumsi energi 90% - 119.9% AKE dan 13% masuk kategori gizi berlebih
karena konsumsi energinya lebih dari 120% AKE.
Proporsi penduduk Kota Bogor dengan konsumsi protein defisit atau kurang
dari 70% AKP adalah sebesar 12% dan konsumsi protein kurang (70%-80%
AKP) sebanyak 11%. Sementara penduduk yang mengkonsumsi protein dalam
kategori sedang (80%-99% AKP) sebanyak 30% dan konsumsi protein dalam
kategori baik (> 100% AKP) sebanyak 47%. Walaupun secara keseluruhan ratarata tingkat konsumsi protein penduduk Kota Bogor sudah mencapai kondisi ideal,
masih ada 23% penduduk Kota Bogor yang masuk kategori defisit dan kurang
dalam konsumsi protein.
Kualitas konsumsi pangan dicerminkan dari tingkat keberagaman pangan
yang dikonsumsi. Parameter yang digunakan untuk mengetahui keragaman
konsumsi pangan adalah Skor PPH. Berdasarkan hasil analisis, skor PPH
konsumsi penduduk Kota Bogor tahun 2013 adalah 81.8. Skor PPH Kota Bogor
belum mencapai skor ideal, yaitu 100. Bahkan belum mencapai target SPM, yaitu
90. Hal ini menandakan bahwa pola konsumsi pangan penduduk Kota Bogor
masih belum beragam. Target pencapaian skor PPH ideal diharapkan dari tahun
ke tahun meningkat pada tahun 2015 menjadi 90 dan pada tahun 2018 bisa
mencapai skor ideal yaitu 100.
Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa penduduk Kota Bogor mengkonsumsi
pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan dalam jumlah berlebih.
Hal ini ditunjukkan oleh skor AKE yang lebih tinggi dari skor maksimal.
Sementara konsumsi padi-padian, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan buah
masih rendah.
Tabel 7 Skor Pola Pangan Harapan menurut Kelompok Pangan di Kota Bogor
Tahun 2013
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kelompok Pangan

Kalori

% AKE

Padi-padian
914.4
45.7
Umbi-umbian
98.8
4.9
Pangan Hewani
247.5
12.4
Minyak dan Lemak
269.1
13.5
Buah/Biji Berminyak
17.1
0.9
Kacang-kacangan
110.8
5.5
Gula
31.7
1.6
Sayur dan Buah
65.2
3.3
Lain-lain
14.4
0.7
Total
1769.0
88.4
Sumber: Laporan Konsumsi Pangan Kota Bogor Tahun 2013

Skor AKE
22.9
2.5
24.8
6.7
0.4
11.1
0.8
16.3
0.0
85.4

Skor
Maks
25.0
2.5
24.0
5.0
1.0
10.0
2.5
30.0
0.0
100.0

Skor
PPH
22.9
2.5
24.0
5.0
0.4
10.0
0.8
16.3
0.0
81.8

15
Tabel 8 berikut menyajikan perbandingan situasi konsumsi pangan Kota
Bogor tahun 2013 dengan kondisi ideal. Data menunjukkan bahwa konsumsi
kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, buah/biji berminyak, gula, sayur
dan buah belum memenuhi kebutuhan secara kuantitas, karena persentase angka
kecukupan energinya masih dibawah kondisi ideal. Sebaliknya, konsumsi pangan
hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan telah memenuhi kebutuhan.
Hal ini dapat dilihat dari persentase AKE konsumsi pangan hewani, minyak dan
lemak serta kacang-kacangan yang sudah melebihi ideal sehingga skor AKE
kelompok pangan tersebut sudah mencapai skor maksimal.
Tabel 8 Perbandingan Situasi Konsumsi Pangan Kota Bogor Tahun 2013 dan
Ideal
No

Kelompok Pangan

Konsumsi Pangan Tahun 2013
% AKE
Skor PPH

Ideal
% AKE

Skor PPH

1
2

Padi-padian
Umbi-umbian

45.7
4.9

22.9
2.5

50.0
6.0

25.0
2.5

3
4

Pangan Hewani
Minyak dan Lemak
Buah/Biji
Berminyak
Kacang-kacangan
Gula
Sayur dan Buah
Lain-lain

12.4
13.5

24.0
5.0

12.0
10.0

24.0
5.0

0.9

0.4

3.0

1.0

5.0
5.0
6.0
3.0
100.0

10.0
2.5
30.0
0.0
100.0

5
6
7
8
9

5.5
10.0
1.6
0.8
3.3
16.3
0.7
0.0
88.4
81.8
Total
Sumber: Laporan Konsumsi Pangan Kota Bogor Tahun 2013

Analisis Lingkungan Strategi
Identifikasi lingkungan strategi guna mendukung peningkatan konsumsi
pangan dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT. Langkah
pertama yang dilakukan dalam analisis ini adalah dengan menemukan faktor
internal dan eksternal situasi konsumsi pangan Kota Bogor. Faktor internal terdiri
dari kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor eksternal terdiri atas peluang dan
ancaman (Rangkuti 1998 dalam Marimin 2004). Analisis ini berdasarkan hasil
depth interview dengan para pakar/pelaku dan kajian literature serta pengisian
kuisioner untuk menentukan bobot dan rating.
Faktor Lingkungan Internal Kekuatan (Strength)
Terdapat 5 (lima) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan
yaitu: 1) Dewan ketahanan pangan atau lembaga koordinasi ketahanan pangan,
sesuai dengan keputusan Walikota Bogor nomor 510.15-109 tahun 2010 tentang
pembentuka Dewan Ketahanana Pangan; 2) terdapat cukup banyak perusahaan
perdagangan formal dan atau pasar tradisional, ini dilihat dari jumlah perusahaan
perdagangan formal di Kota Bogor mencapai 342 perusahaan pada tahun 2012,
terdiri dari 7 perusahaan besar, 49 perusahaan menengah, 192 perusahaan kecil
dan 94 perusahaan mikro. Sementara itu, untuk pelaksanaan transaksi jual beli,
terdapat 7 pasar di Kota Bogor yang mengelola sebanyak 5938 kios dan los; 3)

16
Konsumsi pangan untuk kelompok pangan hewani, minyak dan lemak serta
kelompok kacang-kacangan sudah ideal, ini dapat dilihat dari persentase AKE
konsumsi pangan hewani 12.4% AKE dengan skor ideal 12% AKE, minyak dan
lemak 13.5% AKE dengan skor ideal 10% AKE serta kacang-kacangan 5.5%
AKE dengan skor ideal 5.0% AKE sudah melebihi ideal sehingga skor AKE
kelompok pangan tersebut sudah mencapai skor maksimal; 4) Kondisi geografis
kota bogor yang strategis, ini dilihat dari secara Geografis, Kota Bogor terletak
diantara 1060 48’ BT dan 60 26’ LS, yaitu ditengah-tengah wilayah Kabupaten
Bogor dan lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara. Oleh karena itu, Kota
Bogor potensial bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, serta
berpeluang untuk dijadikan pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan,
transportasi, komunikasi dan pariwisata; 5) Kualitas sumberdaya manusia sudah
cukup baik ini dapat dilihat dari IPM Kota Bogor tahun 2012, rata-rata lama
sekolah penduduk kota bogor adalah 9.8 tahun dan angka melek huruf mencapai
98.97 %.
Faktor Lingkungan Internal Kelemahan (Weakness)
Terdapat 5 (lima) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kelemahan
yaitu : 1) kualitas dan kuantitas aparatur belum memadai, ini dilihat dari stuktur
organisasi masih ada jabatan stuktural yang kosong dan terbatasnya jumlah
penyuluh lapang dan pegawai yang mempunyai pengetahuaan tentang pangan dan
gizi; 2) keterbatasan sumberdaya lahan Kota Bogor, ini dapat dilihat dari lahan
pertanian bukan sawah seluas 2374 ha dan lahan sawah 750 ha; 3) Produksi
pangan kota bogor, hal ini dapat dilihat produksi pangan kota bogor untuk
ketersedian sebesar 7.69% sementara 92.31% impor; 4) Konsumsi kelompok
padi-padian, umbi-umbian. buah/biji berminyak, sayur dan buah serta gula masih
rendah, ini dilihat dari %AKE konsumsi pangan padi-padian masih di
bawah %AKE ideal yaitu 45.7% (ideal 50%), umbi-umbian %AKE nya yaitu
4.9% (ideal 6.0%) , buah/biji berminyak %AKE nya yaitu 0.9% (ideal 3.0%),
sayur dan buah %AKE nya yaitu 3.3% (ideal 6.0%) dan gula %AKE nya yaitu
1.6% (ideal 5.0%); 5) lembaga struktural ketahanan pangan daerah, sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 tahun 2008 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Kantor Ketahanan Pangan);.
Faktor Lingkungan Eksternal Peluang (Opportunity)
Terdapat 5 (lima) faktor eksternal yang teridentifikasi menjadi peluang
yaitu : 1) pengembangan kelembagaan pangan masyarakat, dilihat dari potensi
pengembangan lumbung pangan masyarakat Kota Bogor saai ini telah terdapat 13
lumbung pangan yang tersebar di setiap kecamatan; 2) adanya kelembagaan gizi
dan kesehatan masyarakat, ini dilihat dari terdapat 24 puskesmas Kota Bogor,
begitupun dengan posyandu yang digalang oleh para kader telah tersebar di setiap
Rukun Warga/RW Kota Bogor; 3) adanya kebijakan program ketahanan pangan
pusat, ini dapat dilihat dari Kebijakan program ketahanan pangan pusat ini
tercantum dalam Peraturan Presiden no. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
dan Peraturan Menteri Pertanian no. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal; 4) impor
pangan, dalam kenyataanya sumberdaya lahan pertanian dan peternakan yang

17
terbatas di Kota Bogor, sehingga mengharuskan impor pangan dari berbagai
wilayah untuk mencukupi ketersedian pangan penduduk Kota Bogor, 92.31%
ketersediaan pangan yang dikonsumsi penduduk Kota Bogor merupakan Impor;
5) ketersediaan pangan kelompok padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak,
dan kacang-kacangan sudah melebihi kecukupan serta pangan umbi-umbian dan
buah/biji berminyak sudah sama dengan kecukupan Pangan kelompok padipadian (lebih 73 Kal atau 6.6%) pangan hewani ( lebih 23.3 Kal atau 23.3%),
minyak dan lemak (lebih 85 Kal atau 39.0%), dan kacang-kacangan (lebih 32 Kal
atau 30.0%) serta umbi-umbian dan buah/biji berminyak sudah sama dengan
kecukupan.
Faktor Lingkungan Eksternal Ancaman (Treaths)
Terdapat 6 (enam) faktor eksternal yang teridentifikasi menjadi ancaman
yaitu: 1) laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor cukup tinggi, ini dilihar dari
setiap tahun jumlah penduduk Kota Bogor meningkat lebih dari 10.000 orang atau
sekitar 2%; 2) laju Inflasi. Pada tahun 2012, inflasi di Kota Bogor secara umum
mencapai 3.96%. Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok pengeluaran pendidikan,
rekreasi dan olahraga yaitu mencapai 13.89%, tertinggi kedua dari kelompok
makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 4.80% dan tertinggi ketiga
dari kelompok bahan makanan sebesar 4.13%. Inflasi terjadi karena kenaikan
harga yang terus menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi; 3) masih tingginya
rumah tangga miskin, ini dilihat pada tahun 2012, 8.41% penduduk Kota Bogor
masih terbilang sebagai kategori miskin; 4) adanya kecenderungan masalah gizi,
ini dapat dilihat dalam catatan dinas kesehatan Kota Bogor pada tahun 2013 masih
terdapat balita gizi buruk sebanyak 70 balita dan gizi kurang 2240 balita; 5) harga
pangan yang fluktuatif, ini dilihat dari Stabilitas harga diukur dengan koefesien
variasi harga pada tahun 2012 dan 2013; 6) Pangan kelompok gula, sayur dan
buah serta lain-lain ketersediannya masih dibawah angka kecukupan, ini dilihat
dari laporan ketersedian pangan Kota Bogor tahun 2013, kelompok gula, sayur
dan buah serta lain-lain keterersediannya masih dibawah angka kecukupan,
dimana masing kekuranga sekitar 70 Kal, 37 Kal, dan 66 Kal atau sekitar 64.0%,
28.0%, dan 100% dari kecukupannya.
Faktor lingkungan strategis di atas disusun dengan menggunakan kuisioner
yang melibatkan 9 orang responden dari pemerintahan, swasta, dan masyarakat
kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan
pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats) (Marimin 2004). Pembobotan dan rating
dilakukan dengan pengisian kuisioner oleh pemerintah yang bersangkutan,
masyarakat, dan swasta sehingga akan menghasilkan strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan konsumsi pangan Kota Bogor.
Analisis SWOT dapat menghasilkan empat kelompok strategi yaitu : 1)
strategi agresif; mengoptimlkan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (SO), 2)
strategi diversifikasi; menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman (ST), 3)
strategi rasionalisasi; mengatasi atau meminimumkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang (WO), strategi difensif; meminimumkan kelemahan untuk
mengatasi tanta