Alternatif Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Anak Usia 2-12 Tahun di Indonesia

ALTERNATIF INDEKS GIZI SEIMBANG
UNTUK MENILAI KUALITAS KONSUMSI PANGAN ANAK
USIA 2-12 TAHUN DI INDONESIA

ANGGA HARDIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Alternatif Indeks Gizi
Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Anak Usia 2-12 Tahun di
Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2015

Angga Hardiansyah
NIM I1511300061

RINGKASAN
ANGGA HARDIANSYAH. Alternatif Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai
Kualitas Konsumsi Pangan Anak Usia 2-12 Tahun di Indonesia. Dibimbing oleh
HARDINSYAH dan DADANG SUKANDAR.

Saat ini masih banyak anak Indonesia yang mengalami masalah gizi.
Sebesar 19,6% balita mengalami berat kurang (underweight) dan lebih dari 30%
balita dan anak pendek (stunting). Di sisi lain, balita gemuk dilaporkan sebesar
11,9% pada tahun 2013. Pengendalian masalah gizi tersebut dilakukan Kemenkes
dengan menyusun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014 sebagai pedoman diet sehat
bagi semua kelompok umur termasuk kelompok anak. Meskipun telah memiliki
pedoman makan, Indonesia belum memiliki instrumen untuk menilai kualitas
konsumsi pangan secara praktis dan menyeluruh untuk kelompok anak. Padahal, di
negara lain seperti Amerika, Australia dan Thailand telah dikembangkan instrumen

tersebut yang disebut dengan Healthy Eating Index (indeks gizi seimbang) bagi
semua kelompok umur. Di Indonesia sendiri, Indek Gizi Seimbang baru
dikembangkan untuk kelompok dewasa. Oleh karena itu, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk mengembangkan indeks gizi seimbang (IGS) untuk menilai
kualitas konsumsi pangan anak usia 2-12 tahun di Indonesia, dengan tujuan khusus:
1) menganalisis konsumsi pangan anak usia 2-12 tahun di Indonesia, 2)
mengembangkan beberapa alternatif IGS untuk anak usia 2-12 tahun di Indonesia,
dan 3) menguji validitas berbagai alternatif IGS dan menentukan IGS terpilih.
Penelitian pengembangan IGS ini dilakukan pada bulan September 2014 –
Mei 2015. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia 2-12 tahun hasil Riskesdas
2010. Jumlah subjek yang telah ditapis sesuai dengan kriteria eksklusi sebanyak
38890 anak usia 2-12 tahun. Terdapat 3 tahapan dalam pengembangan IGS, yaitu
1) pengelompokan pangan, 2) pengembangan alternatif IGS dan sistem penilaian,
dan 3) validasi IGS melalui uji korelasi yang dilakukan antara alternatif IGS dengan
nilai mutu gizi pangan (MGP) subjek. Terdapat 15 zat gizi yang dipertimbangkan
dalam perhitungan MGP, yaitu energi, protein, lemak, karbohidrat, air, vitamin A,
vitamin B1, folat, vitamin B12, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, seng, natrium. Data
asupan gizi tersebut diperoleh dari hasil konversi data konsumsi pangan hasil
Riskesdas 2010 menggunakan daftar komposisi pangan indonesia, nutrition fact
pada pangan berlabel, USDA nutrient database, dan nutrisurvey software. Terdapat

12 alternatif IGS yang dikembangkan dalam penelitian ini. Perbedaan dari setiap
IGS terletak pada cara pemberian nilai serta komponen penilaian yang disertakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh IGS yang dikembangkan
memiliki korelasi positif terhadap nilai MGP subjek (r = 0.27 – 0.60). IGSK-60
yaitu IGS dengan cara penilaian kontinyu, terdiri atas 6 komponen penilaian dan 0
aspek pangan terkait penyakit tidak menular (PTM) merupakan IGS yang paling
valid (r=0.6). IGS3-60 yaitu IGS dengan cara penilaian 3 tingkat, terdiri atas 6
komponen penilaian dan 0 aspek pangan terkait PTM merupakan IGS yang paling
praktis dan valid (r=0.58). IGSK-104 yaitu IGS dengan cara penilaian kontinyu,
terdiri atas 10 komponen penilaian dan 4 aspek pangan terkait PTM merupakan IGS
yang paling lengkap untuk menilai kualitas konsumsi pangan subjek untuk studi
terkait PTM (r=0.42).

IGS3-60 merupakan indeks valid yang dapat digunakan secara praktis untuk
menilai kualitas konsumsi pangan anak. Modifikasi IGS ini ke dalam bentuk kartu
praktis IGS perlu dilakukan untuk lebih memudahkan pengguna. Studi lanjutan juga
perlu dilakukan untuk mempelajari hubungan antara penilaian IGSK-104 dengan
outcome gizi dan kesehatan. Penilaian dengan IGSK-60, IGS3-60, dan IGSK-104
menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat anak Indonesia perlu
dibatasi, sedangkan konsumsi sayur, buah, pangan sumber protein hewani

(termasuk susu), dan pangan sumber protein nabatinya perlu ditingkatkan.
Kata kunci: anak, indeks gizi seimbang, konsumsi pangan

SUMMARY
ANGGA HARDIANSYAH. Alternative of Balanced Diet Index to Assess
the Quality of Food Consumption of Children Aged 2-12 Years. Supervised by
HARDINSYAH and DADANG SUKANDAR

Currently, there are many Indonesian children who experience nutritional
problems. 19.6 % of children under five years are underweight, more than 30% are
stunted. On the other hand ,11.9% of children are overweight in 2013. The Ministry
of Health developed Guidelines for Balanced Diet in 2014 as healthy eating
guidelines for all age groups, including children to control these nutritional
problems. Although the balanced dietary guideline is available, Indonesia has yet
developed a practical and comprehensive instrument to assess children’s food
consumption quality. Other countries, e.g. United States of America, Australia and
Thailand had developed such instrument called Healthy Eating Index (balanced diet
index) for all age groups. Indonesia’s Healthy Eating Index or Balanced Diet Index
was only developed for adult group. Therefore, this study was aimed generally to
develop the balanced diet index (BDI) for Indonesian children aged 2-12 years. The

specific purposes of this study were to analyze food consumption of Indonesian
children aged 2-12 years, to develop several alternatives of BDIs for Indonesian
children aged 2-12 years, and to select the most appropriate BDI for Indonesian
children.
The study was conducted from September 2014 to May 2015. Subjects were
healthy children aged 2-12 years from the Basic Health Research (Riskesdas) in
2010. 38890 children were selected as final subjects after data cleaning based on
exclusion criteria. The development of balanced diet index (BDI) was performed in
three steps, namely 1) the classification of food, 2) the development of BDI
alternatives and assessment systems, and 3) validation of the BDI using correlation
test between BDI alternatives with the nutritional quality (NQ) of the diet of the
subject. Mean adequacy level of 15 nutrients was included in the calculation of NQ
of the subjects’ diet, i.e. energy, protein, fat, carbohydrate, water, vitamin A,
vitamin B1, vitamin B9 (folate), vitamin B12, vitamin C, sodium, calcium, iron,
phosphorus, and zinc. The nutrient intake data were obtained from conversion of
food consumption data of Riskesdas 2010 using Indonesian food composition
tables, nutrition fact of labeled foods, the USDA nutrient database, and nutrisurvey
software. 12 alternatives of BDI were developed in this study. The difference of
each BDI was on the scoring systems and the components that were included in the
assessment.

The study results showed that all of BDI developed positively correlated
with the NQ value of the subjects (r = 0.27 – 0.60). BDIC-60, BDI with continuous
scoring system, consisting of six components of the assessment and 0 food aspects
related to noncommunicable diseases (NCDs) was the most valid BDI (r = 0.6).
BDI3-60, BDI with 3-level discrete scoring systems, consisting of six components
of the assessment and 0 food aspects related to NCDs was the most practical and
valid BDI (r = 0.58). BDIC-104, BDI with continuous scoring system, consisting
of 10 components of the assessment and 4 food aspects related to NCDs was the
most complete BDI to assess the quality of the diet of the subjects (r = 0.42).

BDI3-60 was a valid index that can be used practically to assess the quality
of children’s food consumption. The BDI modification in the form of practical card
is needed to make it more user-friendly. Further study should also be conducted to
study the relationship between BDIC-104 score and nutrition or health outcomes.
The assessment with BDIC-60, BDI3-60, and BDIC-104 showed that the
consumption of carbohydrate foods for Indonesian children should be limited, and
the consumption of vegetables, fruits, animal protein foods (including dairy), and
plant protein foods should be improved.

Keywords: balanced diet index, child, food consumption


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

ALTERNATIF INDEKS GIZI SEIMBANG
UNTUK MENILAI KUALITAS KONSUMSI PANGAN ANAK
USIA 2-12 TAHUN DI INDONESIA

ANGGA HARDIANSYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yayuk Farida Baliwati MS

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:


Alternatif Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai
Kualitas Konsumsi Pangan Anak Usia 2-12 Tahun
di Indonesia
Angga Hardiansyah
I151130061

Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hardinsyah, MS
Ketua

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Gizi Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2015
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan
tesis oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis ini tidak
lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Hardinsyah, MS dan Prof Dr Ir
Dadang, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan,
dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan

kepada Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS selaku penguji luar komisi dan kepada
Prof. Dr Ir Ali Khomsan MS selaku pemandu ujian tesis atas saran perbaikan yang
diberikan dalam penyusunan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan izin
untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Terima kasih
juga diucapkan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa program pascasarjana kepada
penulis. Rasa terimakasih dan penuh kasih sayang juga penulis ucapkan kepada istri
tercinta, kedua orang tua, adik, keluarga besar, teman seperjuangan penulis, yang
senantiasa mendukung dan memberikan semangat serta kepercayaan kepada
penulis sehingga penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik.
Karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis memohon saran dan masukan dari pembaca karena
pembelajaran adalah proses yang tidak pernah berhenti. Semoga karya ilmiah ini
dapat membawa manfaat.

Bogor, Agustus 2015

Angga Hardiansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
2 TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Anak Indonesia
Perkembangan Konsep Gizi Seimbang
Penilaian Kualitas Konsumsi Pangan Anak
Mutu Gizi Pangan (MGP)
Pola Pangan Harapan (PPH)
Healthy Eating Index (HEI)
Prinsip Pengembangan HEI
3 KERANGKA KERJA
Kerangka Kerja
Definisi Operasional
4 METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Karakteristik Sosial Ekonomi Subjek
Konsumsi Pangan Subjek
Asupan Zat Gizi Subjek
Kebutuhan Zat Gizi Subjek
Analisis Mutu Gizi Pangan (MGP)
Pengembangan Indeks Gizi Seimbang
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi
Konsumsi Pangan dan Asupan Gizi
Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan
Kuantitas Konsumsi Pangan
Asupan Gizi
Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS)
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

i
ii
ii
ii
1
1
3
3
3
3
4
5
5
6
6
12
13
13
15
16
16
16
17
18
18
19
19
19
22
22
25
25
27
27
27
29
31
39
39
39
39
42
52

ii

DAFTAR TABEL
1 Komponen penilaian dalam HEI 1995
2 Komponen penilaian dalam HEI 2005
3 Komponen penilaian dalam HEI 2010
4 Komponen THEI dan sistem penilaiannya
5 Komponen HEI Australia dan sistem penilaiannya
6 Alternatif IGS untuk pria dan wanita dewasa
7 IGS3-60 untuk pria dewasa Indonesia dan sistem penilaiannya
8 IGS3-105 untuk pria dewasa Indonesia dan sistem penilaiannya
9 Jenis dan cara pengumpulan data
10 Kebutuhan energi subjek menurut usia dan jenis kelamin
11 Angka kecukupan protein subjek menurut usia dan jenis kelamin
12 Kebutuhan air subjek menurut berat badan
13 Kebutuhan zat gizi mikro subjek
14 Alternatif IGS yang dikembangkan
15 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi
16 Tingkat partisipasi (%) konsumsi kelompok pangan
17 Rataan dan standar deviasi konsumsi kelompok pangan
18 Rataan dan standar deviasi asupan gizi subjek
19 Tingkat kecukupan gizi (%) dan mutu gizi pangan subjek
20 Hasil uji korelasi pearson antara IGS dan mutu gizi pangan subjek
21 Kriteria penilaian IGSK-60 untuk anak 2-3 tahun
22 Rataan dan standar deviasi skor IGSK-60 anak usia 2-12 tahun
23 Kriteria penilaian IGS3-60 untuk anak usia 2-3 tahun
24 Rataan dan standar deviasi skor indeks gizi seimbang IGS3-60
25 Kriteria penilaian IGSK-104 untuk anak 2-3 tahun
26 Rataan dan standar deviasi skor IGSK-104 anak usia 2-12 tahun
27 Kualitas konsumsi pangan subjek menurut batasan skor IGS
28 Sebaran subjek menurut batasan skor IGSK-60
29 Sebaran subjek menurut batasan skor IGS3-60
30 Sebaran subjek menurut batasan skor IGSK-104

7
7
8
9
10
11
11
12
18
20
21
21
22
24
26
27
28
30
31
32
33
33
34
34
35
35
36
37
37
37

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka kerja pengembangan Indeks Gizi Seimbang
2 Proses penapisan subjek
3 Kurva persamaan garis linier antara porsi konsumsi sayur dengan skor IGS

14
17
24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria IGSK-60, IGS3-60, dan IGSK-104 untuk anak 4-12 Tahun
2 Rataan dan standar deviasi skor IGS anak usia 2-12 tahun
3 Keterangan porsi makan
4 Rataan dan standar deviasi MGP subjek menurut batasan skor IGS

42
47
50
51

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini masih banyak anak Indonesia (usia 2-12 tahun) yang mengalami
masalah gizi, baik kekurangan gizi makro, mikro, maupun kelebihan gizi.
Prevalensi balita berat kurang (underweight) di Indonesia pada tahun 2010 sebesar
17,9% dan meningkat menjadi 19,6% pada tahun 2013. Prevalensi balita pendek
(stunting) pada tahun 2010 sebesar 35,6% dan meningkat menjadi 37,2% pada
tahun 2013. Prevalensi pendek pada kelompok anak usia 5-18 tahun juga masih
cukup tinggi,yaitu berkisar antara 23,3-40,2% pada tahun 2013. Permasalahan gizi
mikro seperti anemia juga dilaporkan masih tinggi pada tahun 2013, yaitu 28,1%
pada balita dan 26,4% pada anak usia 5-14 tahun. Di sisi lain terjadi permasalahan
gizi lebih, balita gemuk dilaporkan sebesar 14% pada tahun 2010 dan 11,9% pada
tahun 2013 (Kemenkes 2014).
Masalah gizi yang terjadi pada saat balita dan anak menyebabkan berbagai
dampak negatif, antara lain peningkatan angka kesakitan dan kematian pada balita,
penurunan kemampuan intelektual, serta penurunan kapasitas kerja pada saat
dewasa (Koletzko et al. 2011). Anak wanita yang mengalami masalah gizi akan
tumbuh menjadi wanita dewasa dengan kapasitas reproduktif yang tidak optimal
dan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) (Ramakhrisman
2004; Victora et al. 2008). Rendahnya jumlah dan mutu konsumsi pangan
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya masalah gizi, dan banyaknya anak
yang mengalami masalah gizi mencerminkan lambatnya perkembangan nasional
suatu negara (WHO 2008; Koletzko et al. 2011).
Sejak pasca kemerdekaan, pedoman untuk mengatur konsumsi pangan
masyarakat sebenarnya telah dikembangkan oleh pemerintah sebagai salah satu
upaya perbaikan masalah gizi. Pada tahun 1950an, telah diperkenalkan slogan “4
Sehat 5 Sempurna” yang memberikan pedoman pentingnya mengonsumsi makanan
yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan, serta minum
susu untuk menyempurnakan menu tersebut. Kemudian pada tahun 1992, mulai
dikembangkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Perbedaan mendasar
antara slogan 4 Sehat 5 Sempurna dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang adalah
penekanan dalam zat gizi dalam jenis dan jumlah (porsi) yang sesuai dengan
kebutuhan setiap orang atau kelompok umur. PUGS mengandung 13 pesan gizi
seimbang, dan dalam konsep ini, susu bukan merupakan minuman yang dianggap
sempurna (Kemenkes 2014).
Hasil kajian ilmiah yang diwujudkan dalam Naskah Akademik (2012)
menunjukkan bahwa banyak masalah dan kendala dalam sosialisasi PUGS sehingga
harapan untuk merubah perilaku gizi masyarakat ke arah perilaku gizi seimbang
belum sepenuhya tercapai. Pada tahun 2014, Kemenkes melakukan revisi 13 pesan
PUGS menjadi 10 pesan Gizi seimbang (PGS). PGS dikemas menjadi pesan yang
lebih sederhana agar lebih mudah diterima pada seluruh lapisan masyarakat, dan
tentunya mengandung pesan yang lebih relevan terhadap kecenderungan
permasalahan gizi saat ini. Secara garis besar, terdapat empat pilar Pedoman Gizi
Seimbang (PGS) 2014, yaitu: 1) mengonsumsi makanan beragam, 2) membiasakan

2

perilaku hidup bersih, 3) melakukan aktivitas fisik, 4) mempertahankan dan
memantau berat badan normal (Kemenkes 2014).
Pedoman Gizi Seimbang (PGS) yang digunakan sebagai acuan masyarakat
Indonesia untuk mengonsumsi pangan yang sehat memang telah dikembangkan.
Namun, instrumen (alat ukur) yang digunakan untuk menilai kesesuaian konsumsi
pangan terhadap amjuran PGS tersebut belum disusun dan diaplikasikan untuk
semua kelompok umur. Oleh karena itu, monitoring kesesuaian konsumsi pangan
terhadap PGS belum dapat dilakukan dengan mudah dan tepat untuk semua
kelompok umur. Padahal, di beberapa negara telah dikembangkan instrumen untuk
menilai kesesuaian konsumsi pangan masyarakat terhadap pedoman diet di masingmasing negara. Bahkan, beberapa negara telah melakukan revisi instrumen tersebut
sesuai perkembangan ilmu dan permasalahan gizi.
Guenther et al. (2008; 2010) telah mengembangkan instrumen penilaian
kualitas konsumsi pangan yang disesuaikan dengan pedoman makanan di negara
Amerika (Dietary Guidlines for Americans), yang disebut dengan Healthy Eating
Index (HEI/Indeks Makanan Sehat). HEI tersebut merupakan tabel komponen
pangan yang dianjurkan (whole grain, buah, sayur, daging, susu, kacang-kacangan)
beserta item pangan yang harus dibatasi (gula, lemak jenuh, natrium). Konsumsi
pangan yang dianjurkan dalam jumlah besar mendapatkan skor HEI besar, dan
sebaliknya konsumsi pangan yang dibatasi dalam jumlah besar mendapatkan skor
yang kecil. Skor total HEI merupakan skor kumulatif dari masing-masing item
(rentang skor masing-masing item adalah 0-10). Selanjutnya, Hurley et al.(2009)
memodifikasi HEI yang digunakan untuk kelompok anak dan remaja. Pada kurun
waktu yang sama, Australian Institute of Health and Welfare (2007) menyusun HEI
yang digunakan sebagai instrumen penilaian kualitas konsumsi pangan di negara
Australia. Taechangam et al.(2008) juga menyusun HEI untuk negara Thailand,
tentunya dengan berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan pola konsumsi
masyarakat setempat.
Hardinsyah et al. (2000) sebenarnya telah mengembangkan cara sederhana
penilaian mutu gizi makanan atau Indeks Mutu Gizi Makanan bagi anak batita.
Namun, instrumen tersebut didasarkan pada penelitian skala kecil di Bogor.
Selanjutnya, Amrin et al. (2013) dan Perdana et al. (2014) telah menyusun
instrumen HEI untuk kelompok dewasa di Indonesia yang disebut sebagai Indeks
Gizi Seimbang (IGS). IGS merupakan instrumen atau alat ukur kesesuaian
konsumsi pangan pria dan wanita dewasa terhadap anjuran porsi makan dari
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) 1994. Prinsip penyusunan dan sistem
penilaian IGS didasarkan pada HEI, tentunya dengan modifikasi sesuai PUGS di
Indonesia. Sampai saat ini, di Indonesia belum ada suatu indeks yang
dikembangkan berdasarkan data konsumsi pangan anak berskala nasional untuk
menilai kesesuaian konsumsi pangan anak terhadap anjuran porsi makan PGS 2014.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian menggunakan data konsumsi pangan anak
berskala nasional (Riskesdas 2010) untuk menghasilkan Indeks Gizi Seimbang
(IGS) sebagai instrumen untuk menilai kualitas konsumsi pangan anak Indonesia
dan kesesuaiannya terhadap anjuran porsi makan PGS 2014.

3

Tujuan
Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan indeks gizi
seimbang (IGS) untuk menilai kualitas konsumsi pangan anak usia 2-12 tahun di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Tujuan penelitian ini secara khusus
adalah :
1. Menganalisis konsumsi pangan anak usia 2-12 tahun di Indonesia
2. Mengembangkan beberapa alternatif IGS untuk anak usia 2-12 tahun di
Indonesia
3. Menguji validitas berbagai alternatif IGS

Manfaat
IGS yang dikembangkan pada penelitian ini diharapkan mampu menjadi
suatu instrumen untuk menilai kesesuaian konsumsi pangan anak di Indonesia
terhadap anjuran porsi konsumsi pangan pedoman gizi seimbang 2014. Instrumen
ini diharapkan juga mampu digunakan untuk memonitor perubahan konsumsi
pangan yang terjadi pada anak di Indonesia secara periodik.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Anak Indonesia
Saat ini Indonesia dihadapkan pada permasalahan gizi ganda. Prevalensi
kurang gizi (berat badan menurut umur) pada balita sebesar 18.4% pada tahun 2007,
menurun 17.9% tahun 2010 dan kemudian meningkat menjadi 19.6% pada tahun
2013. Prevalensi pendek (tinggi badan menurut umur) pada balita sebesar 36.7%
tahun 2007, menurun menjadi 35.7% tahun 2010 dan meningkat menjadi 37.2%
pada tahun 2013. Prevalensi anak kurus (berat badan menurut tinggi badan)
menurun dari 13.6 % tahun 2007 menjadi 13.3% pada tahun 2010 dan 12.1% pada
tahun 2013. Permasalahan gizi mikro seperti anemia juga dilaporkan masih tinggi
pada tahun 2013, yaitu 28.1% pada balita. Di sisi lain, prevalensi balita gemuk
dilaporkan sebesar 12.2% pada tahun 2007, 14% pada tahun 2010, dan 11.9% pada
tahun 2013 (Kemenkes 2014).
Permasalahan gizi anak umur 6-12 tahun juga masih perlu perhatian serius.
Prevalensi anak pendek pada kelompok tersebut diatas 30% pada tahun 2010 dan
hingga tahun 2013 masih di atas 30%. Prevalensi anak kurus sebesar 11% dan masih
pada kisaran yang sama pada tahun 2013. Permasalahan gizi mikro seperti anemia
juga dilaporkan masih tinggi pada tahun 2013, yaitu 26.4 pada anak usia 5-14 tahun.
Di sisi lain, prevalensi kegemukan pada anak ditemukan meningkat tajam dari
9.2% pada tahun 2010 menjadi 18.8% pada tahun 2013 (anak usia 5-12 tahun)
(Kemenkes 2014).
Masalah gizi pada anak telah dilaporkan memberikan berbagai dampak
negatif. Permasalahan gizi meningkatkan angka kesakitan yang terjadi pada anak

4

dan menjadi salah satu penyebab tingginya kematian pada balita. Permasalahan
gizi akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang
mengalami permasalahan gizi cenderung tumbuh menjadi dewasa dengan
kemampuan fisik dan mental yang tidak optimal, dan mempunyai produktifitas
yang lebih rendah (Koletzko et al. 2011). Kondisi ini akan berdampak luas bagi
perkembangan sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Oleh karena itu, asupan gizi optimal dari makanan sangat dibutuhkan untuk
menunjang perkembangan suatu negara
Perkembangan Konsep Gizi Seimbang
Sejak tahun 1950an, konsep gizi seimbang di Indonesia telah diperkenalkan
oleh Prof. Poorwo Soedamo dengan slogan “4 Sehat 5 Sempurna”. Konsep tersebut
merupakan hasil adaptasi dari prinsip “Basic Four” Amerika Serikat yang mulai
dikembangkan pada era 1940an. Alasan dikembangkannya konsep gizi seimbang
ini adalah adanya fakta bahwa pada dasarnya tidak ada satupun bahan makanan
dengan kandungan gizi lengkap, sehingga seseorang harus mengombinasikan
berbagai makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi hariannya. Slogan “4 Sehat 5
Sempurna” memberikan pedoman pentingnya mengonsumsi makanan yang terdiri
dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan, serta minum susu untuk
menyempurnakan menu tersebut. Namun, slogan tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ilmu dan permasalahan gizi dewasa ini sehingga perlu
diperbarui dengan pedoman yang sesuai dengan kondisi saat ini (Kemenkes 2014).
Pada tahun 1992, mulai dikembangkan prinsip Nutrition Guide for
Balanced Diet sebagai hasil kesepakatan konferensi pangan se-dunia di Roma. Di
Indonesia prinsip tersebut dikenal dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
Perbedaan mendasar antara slogan 4 Sehat 5 Sempurna dengan Pedoman Umum
Gizi Seimbang adalah penekanan dalam zat gizi dalam jenis dan jumlah (porsi)
yang sesuai dengan kebutuhan setiap orang atau kelompok umur. Diektorat Bina
Gizi, Departemen Kesehatan, pada tahun 1995 menerbitkan buku panduan 13 Pesan
Dasar Gizi Seimbang. Ke-13 pesan tersebut adalah (1) makanlah aneka ragam
makanan, (2) makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi, (3) makanlah
makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi, (4) batasi konsumsi
lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi, (5) gunakan garam
beryodium, (6) makanlah makanan sumber zat besi; (7) berikan ASI saja kepada
bayi sampai usia 6 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya, (8) biasakan makan
pagi, (9) minumlah air bersih yang aman yang cukup jumlahnya, (10) lakukan
aktivitas fisik secara teratur, (11) hindari minum minuman berakohol, (12)
makanlah makanan yang aman bagi kesehatan, dan (13) bacalah label makanan
yang dikemas (Kemenkes 2014).
Hasil kajian ilmiah yang diwujudkan dalam Naskah Akademik (2012)
menunjukkan bahwa banyak masalah dan kendala dalam sosialisasi PUGS sehingga
harapan untuk merubah perilaku gizi masyarakat ke arah perilaku gizi seimbang
belum tercapai sepenuhya. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa stunting pada
balita dan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) makin meningkat. Dengan
kondisi demikian maka perhatian terhadap masalah gizi ganda perlu lebih
ditingkatkan antara lain melalui penyempurnaan pedoman gizi yang dinilai cukup
sulit disosialisasikan (Kemenkes 2014).

5

Pada tahun 2014, Kemenkes telah melakukan revisi 13 pesan PUGS
menjadi 10 pesan Gizi seimbang (PGS). PGS dikemas menjadi pesan yang lebih
sederhana agar lebih mudah diterima pada seluruh lapisan masyarakat, dan tentunya
mengandung pesan yang lebih relevan terhadap kecenderungan permasalahan gizi
saat ini. Ke-10 pesan PGS tersebut adalah 1) syukuri dan nikmati aneka ragam
makanan, 2) banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan, 3) biasakan
mengonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi, 4) biasakan
mengonsumsi aneka ragam makanan pokok, 5) batasi konsumsi pangan manis,
asin, dan berlemak, 6) biasakan sarapan, 7) biasakan minum air putih yang cukup
dan aman, 8) biasakan membaca label pada kemasan pangan, 9) cuci tangan pakai
sabun dengan air bersih mengalir, 10) lakukan aktifitas fisik yang cukup dan
pertahankan berat badan normal (Kemenkes 2014).
Penilaian Kualitas Konsumsi Pangan pada Anak
Pedoman Gizi Seimbang 2014 memang telah dikembangkan di Indonesia,
tetapi sampai saat ini belum terdapat suatu instrumen untuk menilai kesesuaian
konsumsi pangan anak di Indonesia terhadap anjuran porsi konsumsi makanan dari
PGS 2014. Beberapa cara menilai kualitas konsumsi pangan yang telah
dikembangkan hingga saat ini antara lain yaitu konsep Mutu Gizi Pangan (MGP),
Pola Pangan Harapan, dan Healthy Eating Index (HEI) dari beberapa negara.
Mutu Gizi Pangan
Mutu Gizi Pangan merupakan persentase asupan gizi terhadap kecukupan
atau kebutuhannya. Komponen yang dibutuhkan dalam perhitungan MGP adalah
asupan gizi dari aneka ragam pangan yang dikonsumsi dan kebutuhan zat gizi dari
seseorang. Rumus perhitungan MGP sebagai berikut:
MGP = ∑TKG-i / n
Keterangan:
MGP = Mutu Gizi Pangan
TKG-i = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu konsumsi zat gizi kei/kecukupan zat gizi ke-i
n
= Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP
Penilaian MGP mampu menghasilkan suatu nilai yang mudah untuk
dianalisis karena merupakan peubah kontinyu (dapat dicari rataan, median, standar
deviasi, serta dapat dianalisis secara regresi). Setiap nilai TKGi bernilai maksimum
100 (truncated at 100) dengan alasan untuk meminimalkan kompensasi antara nilai
TKGi yang rendah dan tinggi secara matematik, karena secara biologis antar zat
gizi yang berbeda tidak dapat saling substitusi melainkan saling berinteraksi. Ada
empat kategori yang digunakan untuk mengelompokkan MGP yaitu sangat kurang
(2.5
≥ 4.3 oz/1000 kkal s/d ≤1.8
oz/1000 kkal
≥ 2.0 gr/1000 kkal s/d ≤1.1
gr/1000 kkal
≥ 50% energi sehari s/d
≤ 19% energi sehari

2. HEI Thailand (THEI)
Taechangam et al. (2008) telah menyusun suatu HEI baru hasil modifikasi
HEI Amerika yang disesuaikan dengan pedoman konsumsi pangan yang relevan di
negara Thailand. Indeks ini digunkaan untuk mengevaluasi seberapa baik pola
makan yang diterapkan masyarakat Thailand terhadap Food Guide Thailand

9

Nutrition Flag. THEI terdiri dari 11 komponen, yang masing-masing
merepresentasikan aspek berbeda dari anjuran konsumsi pangan yang sehat.
Komponen 1-5 mengukur kesesuaian pola makan individu terhadap rekomendasi
porsi sajian 5 kelompok pangan utama berdasarkan Thailand Nutrition Flag: beras
dan sumber pati (beras, roti, sereal dan pasta), sayur-sayuran, buah-buahan, susu
(susu, yogurt dan keju), dan daging (daging, unggas, ikan, kacang, telur) .
Komponen 6,7, dan 8 mengukur lemak total, lemak jenuh dan konsumsi gula
tambahan, dalam bentuk persentase per total asupan energi. Komponen 9 dan 10
mengukur total kolesterol dan asupan sodium dan komponen 11 mengukur
keragaman konsumsi pangan individu.
Kriteria sistem penilaian dikembangkan berdasarkan rekomendasi yang ada
pada pedoman makan Thailand, rekomendasi asupan pangan dan gizi harian
Thailand (DRI), serta berbagai bukti ilmiah tentang kaitan pola makan dengan
penyakit kronis. Masing-masing dari setiap komponen mempunyai rentang skor 0
hingga 10, dengan total skor 110. Skor yang tinggi menandakan kesesuaian dari
pedoman yang dianjurkan, sedangkan skor yang rendah menunjukkan rendahnya
kepatuhan dalam menerapkan pedoman diet yang di anjurkan di Thailand. Skor
total THEI dikategorikan ke dalam 3 tingkat, skor >66 menunjukkan bahwa pola
makan sudah baik, nilai 55-66 menunjukkan perlunya perbaikan, dan skor 30%-e
atau 10%-e
atau < 2%-e
> 20%-e
> 300
atau 2000
atau < 500

5
4-8 porsi
1-3 porsi
½ - 2 porsi
1¼ - 4 porsi
1-3 porsi
¼ - 1 porsi
1-3 porsi
20-30%-e

10
≥ 8 porsi
≥ 3 porsi
≥ 2 porsi
≥ 4 porsi
≥ 3 porsi
≥ 1 porsi
≥ 3 porsi
10-20%-e

6-10%-e

2-6%-e

5-20%-e
200-300

≤5%-e
100-200

1000-2000

500-1500

Prinsip Pengembangan Healthy Eating Index
Pengelompokan Pangan
Prinsip utama yang dijadikan langkah awal dalam penyusunan HEI adalah
pengelompokan pangan berdasarkan Guidlines of Diet. Guenther et al. (2007)
menyusun HEI Amerika dengan membagi item pangan ke dalam 10 kelompok.
Hurley et al. (2009) mengembangkan The Youth HEI, dengan membagi pangan ke
dalam 13 kelompok. Taechangam (2008) membagi item pangan menjadi 10 dalam
penyusunan HEI Thailand, ditambah 1 item keragaman pangan. Australian Institute
of Health and Welfare (2007) menyusun HEI Australia hasil modifiikasi HEI
Amerika dan membagi item pangan ke dalam 7 kelompok. Amrin et al. (2013) dan
Perdana et al. (2013) telah mengembangkan berbagai alternatif HEI Indonesia yang
dinamakan sebagai Indeks Gizi Seimbang (IGS) bagi kelompok dewasa, dimana
item pangan dalam indeks tersebut dibagi ke dalam 5, 6, 8, dan 10 kelompok.
Pengelompokan pangan dari setiap HEI yang disusun oleh masing-masing peneliti
tesebut disesuaikan dengan Guidlines of Diet yang berlaku di masing-masing
negara, dan sesuai dengan perkembangan tren permasalahan gizi dan penyakit tidak
menular dari tahun ke tahun, sehingga memiliki berbagai perbedaan.
Sistem Pembuatan Skor
Sistem Pembuatan skor merupakan langkah selanjutnya setelah
pengelompokan pangan. Pembuatan skor tentunya juga berbeda dari setiap jenis
HEI yang dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah item pangan
dalam HEI yang disusun, serta adanya penekanan terhadap item pangan yang
dianggap penting untuk dibatasi konsumsinya. HEI Amerika yang dikembangkan
pertama kali tahun 1995 memberikan skor 0 hingga 10 dari setiap item pangan.
Semakin banyak porsi pangan yang dianjurkan konsumsinya maka semakin tinggi
skornya. Sebaliknya, konsumsi item pangan yang seharusnya dibatasi mendapatkan
skor yang rendah apabila dikonsumsi lebih besar.
Modifikasi jumlah item pangan yang dilakukan dalam penyusunan HEI
2005 menuntut adanya perubahan pola sistem skor, dengan skor kumulatif tetap 0

13

hingga 100. Beberapa item pangan diberikan skor 0 hingga 5, dan beberapa item
diberikan skor 0 hingga 10, dan ada item yang diberi skor 0 hingga 20. Akan tetapi,
prinsip sistem skor tetap sama, yaitu pangan yang seharusnya dibatasi konsumsinya
akan mendapatkan skor yang rendah apabila dikonsumsi dalam jumlah besar.
Sebaliknya, item pangan yang harus dicukupi, akan mendapatkan semakin besar
skor jika dikonsumsi semakin banyak (Guenther et al. 2007). Pola sistem skoring
HEI Amerika ini menjadi acuan pembuatan sistem skoring dari berbagai HEI,
tentunya dengan berbagai modifikasi.
Validasi
Validasi dilakukan untuk menilai apakah HEI yang dikembangkan cukup
valid dalam mengukur kualitas konsumsi pangan. Ada beberapa jenis uji validitas
yang dapat dilakukan, antara lain yaitu dengan melakukan uji validitas kriteria.
Taechangam et al. (2008) melakukan uji validitas kriteria melalui uji korelasi
pearson antara skor THEI dengan kualitas asupan gizi masyarakat Thailand. Terdapat
hubungan signifikan antara skor HEI tersebut dan kualitas asupan gizi dengan koefisien
korelasi 0.3-0.5 (p< 0.01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor THEI dapat
mencerminkan kualitas asupan gizi masyarakat. Amrin et al. (2013) dan Perdana et al.
(2014) juga melakukan uji validitas kriteria melalui uji korelasi pearson antara skor

IGS dan skor mutu gizi pangan pria dan wanita dewasa. Terdapat hubungan positif
yang signifikan antara skor berbagai alternatif IGS dan skor mutu gizi pangan
dengan koefisien korelasi 0.4-0.6 (Amrin et al. 2013) dan 0.2-0.7 (Perdana et al.
2014). Artinya, IGS yang dikembangkan tersebut mencerminkan mutu gizi pangan
pria dan wanita dewasa di Indonesia.

3 KERANGKA KERJA
Kerangka Kerja
Pengembangan Indeks Gizi Seimbang (IGS) sebagai instrumen untuk
menilai kualitas konsumsi pangan anak Indonesia didasarkan pada metode yang
dilakukan oleh Amrin et al. (2013) dan Perdana et al. (2014). Tahap pertama adalah
formulasi konsep dan tujuan penilaian kualitas konsumsi pangan anak dengan
Indeks Gizi Seimbang. Konsep gizi seimbang yang dijabarkan di dalam pedoman
gizi seimbang (PGS) Indonesia diperoleh melalui studi literatur. Secara garis besar,
terdapat empat pilar Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014, yaitu: 1) mengonsumsi
makanan beragam, 2) membiasakan perilaku hidup bersih, 3) melakukan aktivitas
fisik, 4) mempertahankan dan memantau berat badan normal. Aspek yang dinilai
dalam indeks gizi seimbang adalah aspek pertama terkait konsumsi pangan.
Studi literatur juga dilakukan terhadap konsep pengukuran kualitas
konsumsi pangan yang sudah ada, yaitu mutu gizi pangan (MGP), pola pangan
harapan (PPH) di Indonesia, dan healthy eating index (HEI) di Amerika, Australia,
dan Thailand. Tahap selanjutnya adalah identifikasi kr