Kinerja Pengrajin Boneka Di Kota Bekasi Dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak

KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI
DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA
MAINAN ANAK

TINTIN PRIHATININGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Pengrajin
Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI Mainan Anak adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Tintin Prihatiningrum
NIM I351130151

RINGKASAN
TINTIN PRIHATININGRUM. Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam
Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Dibimbing oleh PUDJI
MULJONO dan DWI SADONO.
Penduduk Indonesia terdiri dari 25 persen anak-anak berusia 0 sampai 14
tahun, dengan tingkat impor mainan anak yang mencapai 60 juta dolar AS pada
Agustus 2013, namun mainan anak-anak tersebut belum tentu seluruhnya
memenuhi standar keselamatan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Surat
Keputusan No.55/M-IND/PER/11/2013 tentang pemberlakuan wajib Standar
Nasional Indonesia (SNI) pada mainan anak. Penerapan standar wajib seharusnya
dimulai pada bulan April 2014, tetapi sebagian besar pengrajin boneka yang
berada di industri skala kecil belum siap.
Kinerja industri kecil dalam pelaksanaan standar wajib adalah penting
karena mereka memiliki kontribusi terhadap PDB Indonesia dan pada tahun 2013,
3,9 juta UKM mampu menyerap tenaga kerja dari 9,14 juta orang. Tujuan dari

penelitian ini adalah: 1) menganalisis kinerja boneka pengrajin di Kota Bekasi
dalam penerapan SNI mainan anak, 2) menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan
SNI mainan anak.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 sampai November 2016 di
Bekasi. Populasi penelitian ini adalah 46 pengrajin inti yang memiliki modal
ekonomi dalam bentuk bahan baku, mesin dan biaya operasional produksi.
Pengumpulan data dilakukan dengan sensus terhadap 46 pengrajin inti. Data yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensial (Rank
Spearman).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kinerja pengrajin boneka
dalam penerapan SNI mainan anak tergolong pada kategori tinggi dalam tingkat
pemenuhan persyaratan administasi, pengujian dan penandaan. Hasil analisis
korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa faktor karakteristik yang berkorelasi
dengan kinerja adalah pendidikan formal, pengalaman bisnis, kemampuan
memenuhi permintaan pasar dan investasi usaha. Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa faktor motivasi yang berkorelasi dengan kinerja adalah kebutuhan untuk
kekuasaan. Faktor eksternal yang berkorelasi dengan kinerja adalah tingkat
ketersediaan informasi dan tingkat pemberdayaan boneka pengrajin melalui

pelatihan. Tidak satu pun dari faktor atribut inovasi yang terdiri dari tingkat
keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas dan observabilitas, yang
berkorelasi dengan kinerja.
Kata Kunci:

Standar Nasional Indonesia, penerapan SNI, kinerja, SNI mainan
anak.

SUMMARY
TINTIN PRIHATININGRUM. Performance of Doll Craftsman in Bekasi in
Indonesian National Standard of Children Toys Implementation.
Undersupervision of PUDJI MULJONO dan DWI SADONO.
Indonesian population consist of 25 percent children age 0 until 14 years
old, with imported children toys reach 60 million dollars in August 2013,
but those children toys may not all of it meet safety standards. Government of
Indonesia has issued Decree No.55/M-IND/PER/11/2013 regarding The
Mandatory of Indonesian National Standard (SNI) on Children Toys. The
mandatory standards implementation have to start in April 2014, but most of the
doll craftsman which are in small scale industry not ready yet.
Performance of smallscale industry in mandatory standards

implementation is importance since they have contribution to Indonesia GDP and
in 2013, 3,9 million SMEs were able to absorb the labor force of 9.14 million
people. The objectives of this study were: 1) to analyze the performance of doll
craftsman in Bekasi in the implementation of SNI of children toys, 2) to analyze
the factors related to the performance of doll craftsman in Bekasi in the
implementation of SNI of children toys.
This research was conducted in April 2015 to November 2016 in Bekasi.
The population were 46 core doll craftsman who have economic capital in the
form of raw materials, machinery and operational costs of production. The data
collection was conducted by census on the population. The analysis of data was
performed by using the correlation test of rank Spearman.
The results of this research showed that the performance level of the doll
craftsman in Indonesian National Standard of Children Toys Implementation was
high in the rate of administration requirement, testing requirement and marking
requirement. The characteristic factors correlated with performance were formal
education, business experience, the ability to meet market demand and business
investment. The motivation factors correlated with performance was needs for
power. The external factors correlated with performance were the availability of
information and the level of doll craftsman empowerment through training. None
of the attribute of innovation factors correlated with performance.

Key words:

Indonesian national standard, implementation of SNI, performance,
SNI on toys.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI
DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA
MAINAN ANAK

TINTIN PRIHATININGRUM


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Anna Fatchiya, MSi

Judul Tesis : Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar
Nasional Indonesia Mainan Anak
Nama
: Tintin Prihatiningrum
NIM
: I351130151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi
Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 25 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 sampai dengan November
2016 ini ialah Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI
Mainan Anak.
Terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada
Bapak Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan Dr Ir Dwi Sadono, MSi selaku komisi
pembimbing atas pengertian, dukungan, ilmu dan semangat yang diberikan
kepada penulis saat penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Dr Ir
Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Sumardjo,
MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan beragam masukan
dan saran konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini.
Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh
dosen dan staf kependidikan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, yang

telah mendidik dan membantu penulis selama penyelesaian studi di IPB. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran Badan Standardisasi
Nasional (BSN), Kementerian Perindustrian, Disperindag Kota Bekasi, HIKIB
(Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI (Himpunan Industri
Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri Pengrajin Boneka
dan Jasa Bordir) dan seluruh pengrajin boneka di Kota Bekasi yang telah
memberikan informasi dan menyediakan waktu dan pikirannya untuk menjadi
responden dalam penelitian ini.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada orang tua tercinta Almarhum Ayahanda Sundarto yang
berpulang ke Rahmatullah di tengah penulisan tesis ini dan Ibunda Suyati atas
kasih sayang, doa, nasihat, dan dukungan moril dan materil yang diberikan kepada
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Adi
Baskoro atas kasih sayang, motivasi dan kesabaran yang diberikan kepada penulis
sampai saat ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada putra putri
tercinta Muhammad Banyu Baskoro atas inspirasi yang diberikan dan Padma
Anindya Baskoro yang hadir di tengah-tengah penulisan tesis ini.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kementerian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis untuk melanjutkan studi di Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih

yang tak terhingga kepada seluruh sahabat keluarga PPN atas kasih sayang,
kebersamaan, diskusi, dukungan, nasihat yang diberikan kepada penulis selama
menyelesaikan studi ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca dan
berkontribusi pada perkembangan standardisasi di Indonesia.
Bogor, November 2016
Tintin Prihatiningrum

ii

DAFTAR ISI
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja
Motivasi Wirausaha
Atribut Inovasi
Pengrajin
Pengrajin Boneka di Kota Bekasi
Pemberlakuan SNI Wajib
Penerapan SNI Wajib Mainan Anak
Faktor Eksternal Pengrajin
Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi, Sampel dan Informan
Data dan Intrumentasi Penelitian
Definisi Operasional
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Deskripsi Perkembangan Kerajinan Boneka di Kota Bekasi
Karakteristik Pengrajin
Motivasi Wirausaha Pengrajin
Faktor Eksternal Pengrajin
Atribut Inovasi SNI Mainan Anak
Kinerja Pengrajin Boneka
Hubungan Karakteristik dengan Kinerja Pengrajin
Hubungan Motivasi Wirausaha dengan Kinerja Pengrajin

i
iii
v
v
1
1
3
4
5
5
6
6
7
8
10
11
12
13
18
18
20
23
25
25
25
25
26
27
33
34
34
36
36
37
38
40
42
43
45
47
48

iv

Hubungan Faktor Eksternal dengan Kinerja Pengrajin
Hubungan Atribut Inovasi SNI Mainan Anak dengan Kinerja
Pengrajin
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

50
51
52
52
52
53
66

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi
3 Jumlah sebaran data penelitian
4 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran
karakteristik pengrajin
5 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran
motivasi wirausaha pengrajin
6 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran
faktor eksternal pengrajin
7 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran
atribut inovasi SNI mainan anak
8 Variabel kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak
9 Sebaran karakteristik pengrajin boneka di Kota Bekasi
10 Rentang skor motivasi wirausaha pengrajin boneka di Kota Bekasi
dalam penerapan sni mainan anak
11 Rentang skor faktor eksternal pengrajin boneka di Kota Bekasi
dalam penerapan SNI mainan anak
12 Rentang skor atribut inovasi SNI mainan anak
13 Rentang skor kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI
mainan anak
14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik pengrajin dengan
kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI
mainan anak
15 Nilai koefisien korelasi antara motivasi wirausaha pengrajin
dengan kinerja pengrajin
16 Nilai koefisien korelasi antara faktor eksternal pengrajin dengan
kinerja pengrajin
17 Nilai koefisien korelasi antara atribut inovasi dengan kinerja
pengrajin

10
12
26
28
29
30
31
32
38
41
42
44
46

48
49
50
51

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Tanda SNI
Contoh penggunaan tanda SNI pada produk boneka pengrajin di
Kota Bekasi
3 Sketsa Peta Kota Bekasi
4 Sosialisasi penerapan SNI mainan anak kepada pengrajin boneka
oleh Dinas Perindag Kota Bekasi
5 Pelatihan manajemen organisasi kepada pengrajin boneka oleh
Dinas Perindag Kota Bekasi
6 Diskusi para pengrajin boneka di Kota Bekasi
7 Proses produksi boneka di Prada Toys Kota Bekasi
8 Wawancara bersama pengrajin boneka di Kota Bekasi
9 Wawancara bersama kepala sub bagian IKM Dinas Perindag
Bekasi
10 Penyuluh magang untuk IKM yang diwawancara

60
60
61
62
62
63
63
64
64
65

vi

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengrajin boneka di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini
telah berpusat di Kota Bekasi, setelah sebelumnya, selamanya dua dekade sempat
berkembang di daerah Bandung dan Cengkareng. Awal mula hadirnya pengrajin
boneka di Kota Bekasi ditandai dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun
1998 dan membuat beberapa pabrik boneka asing di Kota Bekasi yang menutup
pabriknya sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja. Kebutuhan ekonomi dan
lapangan kerja membuat beberapa orang kemudian membangun usaha pembuatan
boneka yang terus berkembang hingga saat ini.
Sejalan dengan perkembangan industri boneka di Indonesia saat ini telah
diberlakukan wajib standar mainan anak untuk produksi boneka yang juga
mengatur berbagai jenis mainan lainnya seperti kelereng, puzzle, baby walker dan
lainnya. Standar merupakan sebuah inovasi yang penting bagi industri karena
memberikan dampak perbaikan pada setiap produk, baik berupa barang maupun
layanan jasa, mulai dari alat transportasi, alat komunikasi, barang-barang
elektronik hingga kebutuhan sandang pangan sehari-hari. Standar awalnya
diterbitkan untuk memastikan barang dan jasa agar dapat diproduksi dan
digunakan pada negara yang berbeda. Standar juga digunakan untuk mengurangi
hambatan perdagangan barang dan jasa sehingga dapat diperdagangkan dengan
bebas di seluruh dunia. Standar berlaku secara nasional maupun internasional dan
pada dasarnya penerapannya bersifat sukarela (BSN 2011).
British Standard Institution (BSI) menyebutkan bahwa standar akan
membantu memastikan industri mendapatkan hasil terbaik dengan menghasilkan
produk berkualitas, menjaga konsistensi, efisiensi dan praktek terbaik serta
menunjukkan bagaimana untuk terus meningkatkannya. Adopsi terhadap standar
akan membantu untuk membuat produk dan jasa menjadi lebih aman, yaitu
dengan mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa, misalnya dengan
menetapkan standar minimum untuk produk-produk seperti makanan, minuman,
pakaian bayi, keselamatan kebakaran, peralatan listrik, atau pada penelitian ini
misalnya pada mainan anak yaitu boneka, sehingga standar dapat melindungi dan
memberi informasi yang dibutuhkan bagi konsumen untuk membuat pilihan (BSI
2009).
Berhasil atau tidaknya pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan
penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) mainan anak berhubungan dengan
banyak faktor yang berada di dalam maupun di luar diri pengrajin. Faktor-faktor
tersebut turut menentukan bagaimana hasil produksinya dapat memenuhi
persyaratan dan diterima oleh semua pasar yang dituju.
International Standard Organization (ISO) menjelaskan bahwa standar
berkontribusi pada penghematan atau peningkatan pemasukan. Satu faktor yang
menonjol adalah dampak standar akan semakin terlihat bila diikuti dengan
pembentukan pasar atau market baru, artinya bagi pengrajin boneka adalah
mereka selain dapat memenuhi permintaan pasar dalam negeri, juga mampu
bersaing di pasar dunia. Standar dalam hal ini sangat berperan untuk menciptakan
kepercayaan calon konsumen terhadap teknologi baru, memudahkan perusahaan
memasuki pangsa pasar baru yang secara konsisten mengirimkan produk dan jasa

2

sesuai keinginan konsumen. Studi membuktikan bahwa fokus pada standar dapat
menjadi penentu utama dalam strategi upgrading memasuki segmen pertambahan
nilai yang lebih tinggi, di mana hasil penelitian memperlihatkan secara konsisten
keuntungan pemakaian standar (ISO 2011).
SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku nasional di seluruh Indonesia
yang dirumuskan oleh panitia teknis yang berada di masing-masing institusi teknis
dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga
pemerintah yang bertugas dalam pengembangan kegiatan standardisasi di
Indonesia. Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional sesuai Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional adalah meningkatkan perlindungan kepada masyarakat untuk
keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup
(BSN 2010a).
Melalui program Gerakan Penerapan Standar Nasional Indonesia (Genap
SNI), pada 11 komoditas prioritas dalam rangka China ASEAN Free Trade
Agreement (CAFTA), Badan Standardisasi Nasional (BSN) mencanangkan salah
satunya Program Penerapan SNI mainan anak. Hal ini termasuk dengan kebijakan
edukasi pada penerap SNI yang tergolong pada Industri Kecil Menengah (IKM)
seperti pengrajin boneka di tengah banyaknya impor mainan anak dari Cina (BSN
2010b).
Adopsi SNI mainan anak oleh pengrajin boneka dengan modal sosial
ekonomi yang terbatas menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena dibutuhkan
komitmen dan motivasi yang kuat dari pihak manajemen untuk meningkatkan
kinerja dalam penerapan SNI. Penerapan SNI sangat erat kaitannya dengan
kesiapan untuk mengerahkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Analisis
kemampuan industri mainan anak menunjukkan bahwa dari sudut penerapan
teknologi, banyak produsen mainan anak di dalam negeri berproduksi dengan
teknologi rendah, padahal tuntutan industri mainan anak semakin maju.
Pembinaan penerapan SNI membantu pengrajin boneka mencapai kinerja yang
diharapkan dalam penerapan SNI, sehingga produk yang dihasilkan dapat sesuai
dengan SNI dan mengurangi adanya risiko bahan-bahan kimia berbahaya yang
terkandung pada mainan anak (BSN 2010c).
Mainan anak merupakan salah satu bisnis terbesar di dunia yang
menjanjikan keuntungan besar, dan menjadi komoditi yang berpengaruh pada
Indonesia sebagai negara dengan populasi anak usia 0 sampai dengan 14 tahun
yang berdasarkan CIA World Factbook mencapai lebih dari 25 persen (CIA 2016).
Mainan anak adalah salah satu sasaran utama industri global, menurut
Kementerian Perdagangan, hingga bulan Agustus 2013 nilai impor mainan anak
telah mencapai 60 juta dolar, dengan 95 persen di antaranya berasal dari Cina.
Namun, belum tentu seluruh mainan yang beredar itu aman untuk anak, hingga
kemudian standar mainan anak diberlakukan wajib (Suryowati 2013).
Produk Mattel buatan Cina juga ditarik di Amerika pada tahun 2007karena
memiliki kandungan timbal berlebihan dan magnet yang dapat tertelan dan
membuat tersedak. Penarikan mainan anak ini terjadi, dan menjadi salah satu
kasus yang terbesar sepanjang sejarah (Story & Barboza 2007). Timbal
merupakah bahan kimia berbahaya yang sering ditemukan pada mainan anak,
kandungan timbal yang di atas batas toleransi dapat menyebabkan keracunan
kronik pada otak, pembuluh darah dan syaraf tubuh. Akibatnya, anak yang

3

keracunan timbal akan menderita penyakit pernapasan akut, penyakit pencernaan
akut, serta melemahnya kerja zat-zat pembangun tulang sehingga berpotensi
menyebabkan kerapuhan tulang (BPOM 2014).
Radio Australia menyebutkan bahwa pemerintah Cina menutup beberapa
pabrik setelah penarikan tersebut, dan memulai program pendidikan. Sebagai
negara pengekspor mainan terbesar di dunia, dengan 22 miliar mainan buatan
Cina terdapat di luar Cina pada tahun 2006, hal ini menjadi perhatian khusus
pemerintah Cina (Barboza & Story 2007).
Menurut International Standard Organization (ISO), dari hasil penelitian
Statistic Brain, tiga penyebab penarikan produk di seluruh dunia adalah karena
luka bakar, tersedak dan laserasi atau luka robek, dengan 17 persen di antaranya
produk mainan anak. Penarikan produk paling banyak dilakukan untuk produk
yang berasal dari Asia, dengan jumlah sebanyak 72 persen. Dalam penarikan ini
paling banyak dilakukan pada produk asal Cina, disusul produk yang berasal dari
Amerika Latin (ISO Focus 2013). Kejadian tersebut menjadi perhatian AsiaPacific Economic Cooperation (APEC) Toy Safety Initiative yang kemudian
mendorong adanya harmonisasi standar terkait keamanan mainan anak di antara
negara-negara anggota APEC dengan mengacu pada standar ISO (Nadarajan
2013).
Selain menjadi perhatian dalam konferensi APEC, menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), persaingan terkait mutu dan keamanan produk yang
dihasilkan sangat penting dan menentukan kelangsungan usaha. Bagi pengrajin
boneka, peluang dalam menghadapi tantangan tersebut adalah dengan
meningkatkan kemampuan dan mencapai kinerja maksimal dalam menghasilkan
produk-produk boneka yang berkualitas dan aman. Kinerja tersebut salah satunya
terkait pada peningkatan jumlah produksi boneka sesuai dengan permintaan pasar
dan pemenuhan standar yang menjamin kekuatan fisik boneka serta keamanan zat
kimia yang terkandung dalam bahan-bahan pembuatnya. Pemenuhan standar ini,
selain karena SNI mainan anak sudah wajib, juga untuk menghindari konsekuensi
yang tidak diinginkan.
Perumusan Masalah
Terhitung sejak Oktober 2013 lalu, di Indonesia, melalui Peraturan Menteri
Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 yang kemudian direvisi melalui Peraturan
Menteri No.55/M-IND/PER/11/2013 diberlakukan SNI mainan anak secara wajib
untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan pada anak. SNI
mainan anak tersebut secara umum mengatur spesifikasi sifat fisis dan mekanis
(SNI ISO 8124-1:2010), spesifikasi sifat mudah terbakar (SNI ISO 8124-2:2010),
perpindahan unsur tertentu atau migrasi zat kimia (SNI ISO 8124-3:2010),
keamanan dan keselamatam mainan yang bisa dinaiki (SNI ISO 8124-4:2010),
keamanan mainan elektrik (SNI IEC 62115:2011), persyaratan zat warna azo dan
kadar formaldehida (SNI 7617:2010) (Kemenperin 2013a).
Peraturan tersebut berlaku untuk semua mainan yang digunakan oleh anak
di bawah usia 14 tahun, baik saat awal diterima konsumen, penggunaan normal
hingga penggunaan kasar, termasuk mainan boneka yang menjadi salah satu
komoditi yang dihasilkan oleh pengrajin boneka di Kota Bekasi. Peraturan
tersebut diberlakukan untuk menjamin keamanan mainan dan memastikan

4

pemenuhan persyaratan sesuai standar dilakukan pengujian yang terdiri dari di
antaranya uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia pada satu lot produksi,
dengan ketentuan satu lot produksi merupakan hasil produksi selama enam bulan.
Pengujian ini dilakukan melalui laboratorium penguji yang telah mendapatkan
akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditunjuk oleh Menteri
Perindustrian dan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan ruang lingkup
produk mainan (Kemenperin 2013a).
Keberadaan SNI bertujuan untuk mengurangi risiko dan bahaya penggunaan
mainan anak. Harapannya hal ini akan mendukung upaya agar industri dapat
memenuhi persyaratan minimal dalam proses produksinya. Pemberlakuan SNI
mainan anak menunjukkan bahwa SNI berlaku sebagai acuan pasar selain juga
menjadi tanda jaminan mutu, keamanan dan keselamatan konsumen, khususnya
pada bayi dan anak. Pemberlakuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan daya
saing industri nasional dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil
(Kemenperin 2013b).
Persyaratan administrasi, persyaratan sertifikasi dan persyaratan penandaan
harus dipenuhi oleh seluruh industri mainan anak, baik untuk skala usaha kecil,
sedang, maupun besar, buatan dalam maupun luar negeri. Jika pengrajin boneka
tidak memiliki motivasi maupun kemampuan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan tersebut maka sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian, produk
mainan anak yang diproduksi tidak boleh beredar di Indonesia. Ketentuan ini
memberi dampak yang luas dari sisi kelangsungan usaha kecil menengah,
ketenagakerjaan serta devisa negara. Bagi pengrajin boneka, tantangan ini dapat
menjadi sebuah nilai tambah, namun juga dapat menjadi hambatan bagi
kelangsungan usaha, karena itu, langkah apa yang dipilih akan menentukan
perkembangan usahanya.
Tantangan ini akan menjadi hambatan jika pengrajin boneka tidak dapat
dalam mencapai kinerja yang diharapkan dalam memproduksi boneka yang
mampu bersaing. Penerapan SNI merupakan salah satu inovasi teknologi dalam
upaya pengembangan produk dan perwujudan kemampuan menyesuaikan diri
dengan tuntutan pasar. Proses untuk mencapai kinerja ini membutuhkan dukungan
dan peningkatan sumber daya manusia.
Sejalan dengan uraian di atas, dalam penelitian ini dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI
mainan anak?
2. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di
Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian:
1. Menganalisis kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI
mainan anak.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka
di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.

5

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis kinerja pengrajin boneka di
Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak dan faktor-faktor yang
berhubungan dengannya. Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk mengkaji
kebijakan dan program penerapan SNI, khususnya dalam program penerapan SNI
Wajib mainan anak, serta untuk merumuskan model kebijakan Program
Penerapan SNI. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai :
1. Bahan acuan analisis kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan
anak.
2. Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam peningkatan kinerja
pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini melingkupi bahasan yang berfokus pada pengrajin boneka di
Kota Bekasi. Pemberlakuan SNI wajib mainan anak memberikan dampak khusus
kepada pengrajin boneka di Kota Bekasi yang merupakan salah satu sentra
produksi boneka di Indonesia. Pemerintah Kota Bekasi juga memfasilitasi IKM
mainan anak untuk mendapatkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT
SNI). Sejumlah pengrajin boneka kemudian berhasil memenuhi persyaratan SNI
melalui program insentif penerapan SNI yang sebagian besar berasal dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bekasi ditambah dengan Kementerian
Perindustrian RI. Program insentif penerapan SNI ditujukan untuk mempercepat
tingkat adopsi inovasi yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam
penerapan SNI mainan anak, sehingga keberhasilan program tersebut menjadi
dasar pemilihan pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penelitian ini.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja
Kinerja diartikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugasnya yang berdasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu (Hasibuan 2006). Sebagai perilaku, kinerja mencakup
tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi.
Kinerja seseorang merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam
melakukan tugas pekerjaannya atau target kerjanya. Berdasarkan As’ad (2012)
tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja adalah kemampuan bekerja
individu, usaha kerja yang didasari keinginan individu untuk bekerja, dan
dukungan organisasional berupa kesempatan untuk bekerja bagi tiap individu.
Menurut Gibson et al. (2011), kinerja dapat dinilai salah satunya dengan menilai
keadaptasian, yaitu bagaimana sebuah organisasi dapat menyesuaikan dirimya
dengan perubahan. Perubahan di sini dapat mengacu pada perkembangan
teknologi, peraturan pemerintah, maupun tuntutan pasar terhadap kualitas dan
variasi produk.
Inovasi sebagai proses gelombang panjang penciptaan nilai di mana
perusahaan pertama kali menemukan dan mengembangkan pasar baru, pelanggan
baru, serta kebutuhan yang sedang berkembang dan tersembunyi dari pelanggan
menuntut adanya perkembangan baru dalam kinerja sebuah organisasi. Menurut
Barney (2002), kinerja perusahaan didefinisikan sebagai perbandingan nilai yang
diciptakan organisasi dengan penggunakan aset dan nilai yang diharapkan
diperoleh oleh pemilik.
Pada penelitian ini kinerja pengrajin boneka dilihat dari segi sejauh mana
penerapan SNI mainan anak dapat tercapai secara keseluruhan untuk mencapai
target produksi boneka yang memenuhi persyaratan pengujian berdasaran SNI
mainan anak dan mampu mendapatkan SPPT SNI beserta pemenuhan aplikasinya
pada produk.
Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI adalah dengan memenuhi
persyaratan SPPT SNI mainan anak, sesuai dengan tata cara memperoleh SPPT
SNI yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur
Nomor:02/BIM/PER/1/2014, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan
dan Pengawasan Penerapan SNI Mainan Anak Secara Wajib. Persyaratan
memperoleh SPPT SNI yang dimaksud adalah memiliki Ijin Usaha (IUI atau
TDI), sertifikat merek atau TDM, surat pernyataan jaminan untuk tidak
mengedarkan mainan pada saat proses pengujian, surat pencatatan Registrasi
SPPT SNI dan mampu menyediakan satu lot produksi atau hasil produksi selama
enam bulan.
Setelah berhasil memiliki SPPT SNI mainan anak, pengrajin harus mampu
mencantumkan tanda SNI dan Nomor Registrasi Produk (NRP) sesuai ketentuan
persyaratan, setelah tahap ini pengrajin harus melaporkan realisasi produk mainan
sesuai persyaratan penandaan yang berlaku kepada Dinas Perindag Kota Bekasi.
Kinerja pengrajin yang dalam penerapan SNI juga dilihat apakah terdapat
peningkatan omzet penjualan yang signifikan setelah menerapkan SNI.

7

Motivasi Wirausaha
Motivasi pada dasarnya adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang
dapat dipengaruhi oleh berbagai hal di luar dirinya. Terdapat beragam teori
motivasi seperti teori hirarki kebutuhan (Abraham Maslow), teori tiga motif sosial
(David McClelland), teori dua faktor (Frederick Herzberg), teori E-R-G (Clayton
Alderfer), dan berbagai teori lainnya.
Teori hirarki kebutuhan Maslow terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Thoha 2010). Teori ini
menekankan tingkatan kebutuhan di mana ada beberapa kebutuhan yang
diutamakan dan harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lain, misalnya kebutuhan
fisiologis seperti makan dan minum akan didahulukan sebelum kebutuhan
aktualisasi diri. Setelah kebutuhan-kebutuhan dasar itu terpenuh maka akan mucul
kebutuhan-kebutuhan lain (Samsudin 2009).
Kewirausahaan dalam Suryana (2006) adalah merupakan kemampuan
kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari
peluang sukses. Seorang wirausaha memerlukan kreativitas agar usahanya dapat
berjalan dengan baik, yaitu kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru
dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Seorang wirausaha juga
harus memiliki kemampuan inovasi untuk menerapkan kreativitas dalam rangka
memecahkan masalah dan menemukan peluang.
Berdasarkan McClelland (1961) dalam berwirausaha, seseorang dipengaruhi
berbagai motivasi sesuai teorinya yaitu teori tiga motif sosial, motivasi tersebut
adalah:
(1) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement), yaitu pada saat seseorang
melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keingginan mendapatkan
prestasi dan pengakuan dari orang lain. Suryana (2006) menyebutkan bahwa
McClelland mendefinisikan motif berprestasi sebagai dorongan yang ada
pada diri individu untuk meraih sukses yang optimal, yang melebihi
prestasinya di masa lalu dan prestasi orang lain. Kebutuhan akan prestasi
merupakan dorongan untuk unggul, berhubungan dengan seperangkat standar,
dan bagaimana berjuang untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow
terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi
diri. Ciri-ciri individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia
menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan
balik sehubungan dengan hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan
tanggung jawab pemecahan masalah.
(2) Kebutuhan kekuasaan (need for power), yaitu di mana seseorang melakukan
kegiatan kewirausahaan, ia juga didorong oleh keinginan mendapatkan
kekuasaan atas sumberdaya yang ada. Peningkatan kekayaan, pengusaan
pasar sering menjadi pendorong utama wirausaha melakukan kegiatan usaha.
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk
mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori
Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan

8

sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi
kepemimpinan.
(3) Kebutuhan afiliasi (need for affiliation), pada saat seseorang melakukan
kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan untuk berhubungan dengan
orang lain secara sosial kemasyarakatan. Kebutuhan akan afiliasi adalah
hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu
merefleksikan keinginan ini untuk mempunyai hubungan yang erat,
kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang
mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam
pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Teori yang diungkapkan oleh McClelland yaitu achievement motivation
theory atau teori motivasi prestasi, menyebutkan bahwa kebutuhan akan prestasi
adalah dorongan untuk unggul dan sukses sesuai dengan standar yang ditentukan.
Individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko
yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja
mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah (Suryana
2006).
Atribut Inovasi
Suatu inovasi atau sistem baru, biasanya akan melalui berbagai proses
sebelum akhirnya diterima oleh masyarakat. Sebuah inovasi memerlukan waktu
untuk kemudian diadopsi oleh individu ataupun sekelompok masyarakat. Menurut
Rogers (2003), adopsi adalah keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya dari
suatu inovasi sebagai tindakan yang terbaik dan melewati urutan tahapan sebelum
penerimaan produk baru, sedangkan penolakan adalah keputusan untuk tidak
mengadopsi suatu inovasi yang tersedia.
Atribut inovasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat adopsi
yaitu kecepatan relatif suatu inovasi diadopsi oleh anggota atau sistem sosial.
Rogers (2003) menyebutkan terdapat lima atribut dalam teori difusi inovasi yang
menentukan tingkat adopsi inovasi, yaitu:
(1) Keuntungan relatif (relative advantage) adalah sejumlah manfaat yang
diterima dari suatu hasil inovasi dibandingkan manfaat yang diperoleh sistem
lama. Hal ini menunjukkan sejauh mana sebuah inovasi inovasi dianggap
sebagai sesuatu yang lebih baik daripada gagasan yang digantikannya, lebih
bermanfaat dari inovasi sebelumnya, dan dapat dilihat manfaatnya dari sudut
pandang teknis, ekonomis, prestise, kenyamanan dan kepuasan. Jika
seseorang merasa bahwa sebuah inovasi memberikan manfaat yang tinggi
maka ia akan mengadopsi inovasi tersebut. Tingkat keuntungan relatif sering
dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, seperti dari segi prestise sosial, atau
dengan cara lain. Sifat inovasi menentukan jenis suatu keuntungan relatif
apakah secara ekonomi, sosial, dan sejenisnya dianggap penting oleh
pengadopsi, meskipun karakteristik pengadopsi potensial juga dapat
mempengaruhi pandangannya tentang keuntungan relatif mana yang paling
penting.
(2) Kompatibilitas (compatibity) adalah kesesuaian antara teknologi yang ada
dengan teknologi baru, sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan
nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi

9

potensial. Kompatibilitas ini berkaitan erat dengan nilai sosial budaya,
kepercayaan, gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan keperluan yang
dirasakan oleh individu. Hal itu akan dipengaruhi oleh kesesuaian sebuah
inovasi dengan nilai diri adopter, pengalaman adopter, dan kebutuhan
adopter.
(3) Kompleksitas (complexity) adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap relatif
sulit untuk dipahami dan digunakan, mudah tidaknya inovasi dapat
dipraktekkan oleh pemakai, merujuk pada tingkat kesulitan pemahaman dan
penggunaan sebuah inovasi. Semakin kompleks dan rumit sebuah inovasi
akan lebih sulit diadopsi.
(4) Trialibilitas (trialability) adalah tingkat di mana inovasi dicoba diterapkan
sebagian untuk melihat sejauh mana suatu inovasi teknologi dapat diuji.
(5) Observabilitas (observability) merupakan tingkat di mana hasil dari inovasi
terlihat oleh pihak lain, sejauh mana suatu inovasi dianggap mudah diamati
dan dikomunikasikan kepada orang lain, atau dapat terlihat langsung. Atribut
ini menjadi pertimbangan dalam mengadopsi sebuah inovasi terkait sejauh
mana hasil adopsi inovasi dapat diamati dan dikomunikasikan.
Inovasi merupakan bagian dalam transformasi, globalisasi dunia dan
persaingan usaha, hal ini menjadi sebuah kebutuhan, di mana semua industri
bersaing dan bertahan dengan berbagai bentuk penyempurnaan dari produk yang
sudah stabil. Hal ini sesuai dapat dilihat dalam tahapan proses keputusan inovasi
menurut Rogers (2003):
(1) Tahap pengetahuan, yaitu tahapan di mana seorang individu sudah
mengetahui adanya inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu berfungsi.
Tahap ini terkait pada karakteristik sosial ekonomi, variabel kepribadian dan
perilaku komunikasi.
(2) Tahap persuasi, yaitu ketika seorang individu sudah membentuk sikap
terhadap inovasi yaitu apakah inovasi tersebut dianggap sesuai atau tidak bagi
dirinya. Pada tahap ini, terkait bagaimana inovasi dapat diterima atau
diadopsi.
(3) Tahap keputusan, yaitu tahap seorang individu sudah terlibat dalam
pembuatan keputusan yaitu apakah menerima atau menolak inovasi. Adopsi
mengacu pada keputusan untuk adopsi menggunakan seluruh inovasi dengan
usaha yang maksimal, sementara penolakan adalah keputusan untuk tidak
mengadopsi sebuah inovasi. Jika sebuah inovasi memiliki dasar percobaan
parsial, biasanya diadopsi lebih cepat, karena kebanyakan orang pertama
ingin mencoba inovasi dalam situasi mereka sendiri dan kemudian datang ke
keputusan adopsi.
(4) Tahap implementasi, yaitu pada saat seorang individu menerapkan inovasi
berdasarkan keputusan yang telah dibuatnya. Penerapan ini masih memiliki
ketidakpastian akan hasil yang dapat mempengaruhi tindakan selanjutnya.
(5) Tahap konfirmasi, yaitu pada saat seorang individu mencari penguat bagi
keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini pengrajin dapat
mengubah keputusan untuk menolak inovasi yang telah di adopsi
sebelumnya.
Pada sebuah proses adopsi inovasi, kecepatan adopsi dapat berjalan cepat,
lambat atau bahkan menolak, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya
tingkat pendidikan, status sosial, status ekonomi, kemampuan komunikasi dan

10

umur. Hal ini menurut Rogers (2003) dapat digambarkan dalam kategori
pengadopsi yang dikelompokkan sebagai berikut yaitu:
(1) Innovators, yaitu kelompok yang berjiwa petualang, sehingga berani
mengambil resiko, kelompok ini bersifat cerdas dan biasanya memiliki
kemampuan ekonomi tinggi. Innovator, kemudian meneruskan inovasi
melalui pengguna lain hingga akhirnya diterima oleh masyarakat sebagai
bagian dari kegiatan produktif. Meskipun begitu inovator bukanlah opinion
leaders, karena secara umum, dalam mencoba hal baru inovator berpikir
untuk kemanfaatan dirinya sendiri (jumlahnya sekitar 2,5%).
(2) Early Adopters, yaitu kelompok merupakan perintis atau pelopor, sehingga
menjadi teladan bagi masyarakat, biasanya mereka adalah pemuka pendapat,
orang yang dihormati dengan akses yang tinggi di dalam masyarakat.
Pengadopsi awal ini memiliki status di lingkungan sosial dan menjadi
pemimpin opini, mereka mengadopsi produk yang berhasil membuat mereka
lebih dapat diterima dan dihormati (jumlahnya sekitar 13,5%).
(3) Early Majority atau pengikut dini, yaitu mayoritas awal yang penuh
pertimbangan dan memiliki interaksi internal tinggi. Kelompok ini lebih
konservatif dan memiliki status sedikit di atas rata-rata, cenderung lebih
berhati-hati dan hanya mengadopsi produk yang memiliki penerimaan sosial
baik (jumlahnya sekitar 34%).
(4) Late Majority atau pengikut akhir, memiliki ciri skeptis, menerima karena
pertimbangan ekonomi, dan terlalu berhati-hati. Kelompok ini tidak mau
mengambil resiko dan memilih untuk melakukan apa yang sudah dilakukan
orang lain (jumlahnya sekitar 34%).
(5) Laggards atau kelompok kolot, merupakan mereka yang bersifat tradisional,
terisolasi, wawasan terbatas dan bukan opinion leaders. Kelompok ini adalah
yang terakhir di dalam suatu sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi.
Mereka bersifat tradisional dan tidak suka menggunakan hal-hal baru
(jumlahnya sekitar 16%).
Pengrajin
Pengrajin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang menghasilkan
kerajinan dengan skala usaha Industri Kecil Menengah (IKM). Menurut BPS
pembagian kriteria IKM didasarkan pada jumlah tenaga kerja, seperti yang
dijabarkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
No.
Jenis Industri
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
1. Industri Rumah Tangga
1-4
2. Industri Kecil
5-19
3. Industri Sedang atau Menengah
20-99
4. Industri Besar
> 99
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Adapun kriteria kelompok usaha berdasarkan atas Undang-Undang No. 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut:

11

(1) Organisasi Kecil, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan
memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling
banyak 500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai
dengan paling banyak 2 miliar 500 juta rupiah.
(2) Organisasi Menengah, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan
memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling
banyak 10 miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2 miliar 500 juta rupiah
sampai dengan paling banyak 50 miliar rupiah.
Industri kecil yang dimaksud dalam penelitian ini sesuai dengan Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor:41/M-IND/PER/2008, yaitu yang memiliki
investasi seluruhnya di atas lima juta rupiah sampai dengan dua ratus juta rupiah
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau dengan kata lain industri
kecil yang termasuk kategori wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI).
Kesiapan pengrajin dalam menerapkan SNI berkaitan dengan
keberlangsungan usaha, sehingga hal ini menjadi perhatian khusus. Berdasarkan
data Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2013, dari 3,9 juta IKM yang ada di
Indonesia, mampu menyerap tenaga kerja sebesar 9,14 juta orang. Industri kecil
menengah (IKM) di Indonesia berkontribusi 10 persen untuk Produk Domestik
Bruto (PDB) Nasional pada tahun 2012 dan ditargetkan kontribusi IKM dapat
mencapai 50 persen pada tahun 2025.
Peluang IKM di tengah pertumbuhan kelas`menengah masyarakat Indonesia
yang terus meningkat sangatlah besar. Dalam era ASEAN Economic Community
saat ini, pertumbuhan ekonomi tersebut jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan
menjadi lahan yang digarap oleh industri dari negara lain.
Pengrajin Boneka di Kota Bekasi
Pada pemberlakuan SNI wajib mainan anak, dari 12 jenis mainan yang
termasuk di dalamnya, salah satunya adalah boneka. Kota Bekasi merupakan
salah satu sentra produksi boneka di Indonesia. Jumlah keseluruhan pengrajin
boneka di Kota Bekasi hingga tahun 2015 terdapat sekitar 300 pengrajin yang
menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kota Bekasi terdiri
dari 46 pengrajin inti yaitu pengrajin boneka yang memiliki modal ekonomi dan
selebihnya terdiri dari pengrajin plasma yaitu pengrajin yang merupakan binaan
pengrajin inti untuk mengerjakan kerajinan boneka sesuai standar yang
ditentukan. Pengrajin plasma dalam menjalankan produksinya tergantung pada
permintaan dari pengrajin inti dalam hal jumlah maupun spesifikasi dan mutu
produk. Secara keseluruhan bidang kerajinan boneka ini mampu menyediakan
lapangan kerja untuk 10.000 orang yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota
Bekasi.
Dinas Perindag Kota Bekasi bekerjasama dengan lembaga sertifikasi produk
dan beberapa asosiasi pengrajin boneka yang ada di Kota Bekasi membuat sebuah
program yang membantu pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak.
Program ini diselenggarakan mulai tahun 2014 dengan membantu 9 pengrajin
boneka dan 1 pengrajin mainan edukasi melalui pendampingan pemenuhan

12

persyaratan sertifikasi dan bantuan dana dari APBD sebesar kurang lebih 15 juta
rupiah untuk membiayai sertifikasi SNI mainan anak.
Program ini kembali diadakan pada tahun 2015 dengan target 12 pengrajin
boneka mampu mendapatkan sertifikasi mainan anak. Kriteria pengrajin yang
menerima pendampingan proses pemenuhan persyaratan SPPT (Sertifikat Produk
Penggunaan Tanda) SNI mainan anak ini adalah pengrajin boneka yang telah
memiliki persyaratan administrasi paling lengkap. Hal ini menjadi salah satu
variabel yang ingin dilihat sebagai kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI
mainan anak.
Selain dari Dinas Perindag Kota Bekasi, beberapa pengrajin boneka juga
mendapatkan insentif dari Kementerian Perindustrian RI dengan dana dari APBN
dan pendampingan oleh Dinas Perindag Kota Bekasi, terhitung melalui program
ini di Kota Bekasi terdapat satu pengrajin boneka yang telah memperoleh SPPT
SNI dan dua pengrajin boneka lainnya masih dalam proses.
Data dari Dinas Perindag Kota Bekasi menunjukkan bahwa hampir di
seluruh Kecamatan di Kota Bekasi terdapat pengrajin inti, dengan jumlah paling
banyak di daerah Bantar Gebang dan Rawa Lumbu disusul Mustika Jaya, dan
Bekasi Timur. Pengrajin inti yang tersebar di 8 kecamatan di Bekasi tersebut
sebagian merupakan anggota dari asosiasi yang terdiri dari tiga asosiasi pengrajin
boneka yaitu HIKIB (Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI
(Himpunan Industri Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri
Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir).
Asosiasi tersebut memiliki koperasi yang dipergunakan salah satunya untuk
pengajuan SNI mainan anak untuk merek bersama di samping masing-masing
pengrajin juga memiliki SPPT SNI atas nama perusahaannya untuk produk yang
lebih eksklusif. Jumlah pengrajin inti yang ada di tiap kecamatan di Kota Bekasi,
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi
No. Nama Kecamatan
Jumlah Pengrajin inti
Persentase
1
2
3
4
5
6
7
8

Bantar Gebang
Rawa Lumbu
Mustika Jaya
Bekasi Timur
Jati Asih
Bekasi Barat
Medan Satria
Bekasi Selatan
Total

20
9
7
4
2
2
1
1
46

43,5
19,6
15,2
8,7
4,3
4,3
2,2
2,2

Pemberlakuan SNI Wajib
Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku
secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan
oleh BSN agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas di antara para
stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good

13

practice, yaitu bersifat terbuka, transparan, tidak memihak dan konsensus, efektif
dan relevan, koheren dan berdimensi pembangunan dengan memperhatikan
kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing
perekonomian nasional (BSN 2010b).
Sesuai perjanjian TBT WTO, pengembangan standar nasional diupayakan
mengacu dan tidak menduplikasi standar internasional, memberikan kesempatan
bagi pemangku kepentingan untuk memberikan tanggapan dan masukan, serta
dipublikasikan melalui media yang dapat diakses secara luas selama sedikitnya 60
hari. Hal ini dilakukan oleh BSN sebagai notification body dan enquiry point di
Indonesia. Perbedaan dengan standar internasional harus dengan mudah diketahui
dan diberikan penjelasan mengapa perbedaan tersebut diterapkan (BSN 2010b).
Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, SNI dapat diberlakukan
wajib pada saat diperlukan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan
negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup, pemerintah dapat memberlakukan SNI tertentu secara wajib jika dianggap
penting dan diperlukan. Pemberlakuan ini dilakukan oleh instansi pemerintah
yang berwenang melalui regulasi teknis, dan produk yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut tidak boleh beredar di pasaran, karena itu perlu dilakukan tanpa
menghambat persaingan usaha yang sehat (BSN 2010c).
Pemberlakuan SNI wajib membuat penilaian kesesuaian sebagai salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga perlu didukung oleh pengawasan pasar,
baik pengawasan pra pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah
memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca pasar untuk
mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi
ketentuan SNI (BSN 2010c).
Pemberlakuan standar wajib baru dapat diberlakukan secara efektif
sekurang-kurangnya 6 bulan setelah ditetapkan untuk memberikan kesempatan
semua pihak mempersiapkan diri. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh
membedakan produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk yang
diproduksi di negara lain, dan tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara
tertentu dengan produk dari negara lainnya (BSN 2010c).
Penerapan SNI Wajib Mainan Anak
Melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 dengan
beberapa perubahan pada Peraturan Menteri Perindustrian No.55/MInd/PER/11/2013, diberlakukan SNI Mainan Anak secara wajib bul