2. pendidikan, semakin maju dan
tingginya tingkat pendidikan ma- syarakat, maka semakin banyak
anggota masyarakat yang mem- persoalkan dan mempertahankan
hak dan kewajibannya jika diabai- kan oleh pihak lain.
3. komunikasi dua arah, kurang-
nya komunikasi antara salah satu pihak yang merasa dirugikan de-
ngan yang menerbitkan kerugian mengakibatkan munculnya konlik
pertanahan yang berkepanjangan.
4. budaya masyarakat, ini juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya
konlik pertanahan. Pada kelompok kehidupan tertentu masih terdapat
suatu sikap budaya masyarakat yang masih mempertahankan pola
atau adat istiadat masa lampau
sehingga dapat memicu sengketa tanah.
2. Pola-Pola Penyelesaian Konlik Per- tanahan dan Aturan Hukum yang
Digunakan oleh Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Barat.
A. Pola-Pola Penyelesaian Konlik Pertanahan di Masyarakat Adat di
Wilayah NTB. Pola-pola penyelesaian konlik perta-
nahan yang terjadi di dalam masyarakat adalah dapat dalam bentuk penyelesaian
konlik secara litigasi dan penyelesaiaan konlik secara nonlitigasi. Penyelesaian
konlik secara litigasi adalah penyelesaian konlik yang dilakukan melalui lembaga
pengadilan formal, sedangkan penyelesaian konlik secara nonlitigasi adalah penyelesaian
konlik pertanahan yang dilakukan oleh para pihak di luar lembaga peradilan, yaitu dapat
dilakukan dengan negosiasi, musyawarah mufakat, atau mediasi.
Penyelesaian konlik pertanahan de- ngan negosiasi dilakukan oleh para pihak
yang bersengketa untuk mendapatkan kese- pakatan bagi kedua pihak dengan jalan win-
win solution , tidak ada pihak yang merasa
dirugikan. Penyelesaian sengketa pertanahan secara musyawarah dan mufakat dilakukan
oleh para pihak untuk menyelesaikan seng- ketanya dengan melibatkan keluarga para
pihak yang disaksikan oleh pemuka agama atau pemuka masyarakat. Sedangkan penye-
lesaian sengketa pertanahan secara mediasi yaitu di mana para pihak menunjuk pihak-
pihak tertentu yang dihormati dan dihar- gainya sebagai mediator penengah dalam
penyelesaian tersebut. Untuk lebih jelasnya di bawah ini digambarkan pola penyelesaian
sengketa yang terjadi pada masyarakat adat di wilayah NTB berdasarkan hasil wawan-
cara dengan responden.
Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa dari berbagai jenis konlik pertanah-
an yang terjadi di masyarakat, baik yang terjadi di kalangan masyarakat Suku Sasak,
Samawa, maupun Mbojo yang mendiami wilayah NTB ini mayoritas dilakukan secara
nonlitigasi dibandingkan dengan menyele- saikan secara litigasi Hal ini menunjukkan
bahwa mayoritas masyarakat di wilayah NTB ini menginginkan pola penyelesaian
sengketa dalam konlik pertanahan dilaku- kan secara damai, yaitu melalui negosiasi,
musyawarah-mufakat dan mediasi.
Tabel 6. Pola-pola penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat se-NTB
No. Pola
Penyelesaian Konlik
Pertanahan Jenis Konlik
indiv. dengan
indiv. indiv.
dengan masy.
masy. dengan
masy. masy.
dengan pem.
Rerata Persen
1. Litigasi
24 16
- 6
11,5 21,30
2. Non litigasi
30 38
54 48
42,5 78,70
Jumlah 54
54 54
54 54
100
Sumber data: Data primer diolah.
Akan tetapi, masing-masing lingkungan hukum di wilayah Nusa Tenggara Barat ini
mempunyai pola atau tata cara sendiri-sendiri dalam menyelesaikan konlik pertanahan.
Dalam masyarakat hukum adat Sasak, tatacara penyelesaian sengketa dilakukan
dengan cara sebagai berikut: 1. pertama-tama para pihak yang berseng-
keta duduk bersama untuk menyele- saikan sengketanya dengan cara nego-
siasi;
2. jika cara negosiasi ini tidak bisa meng-
hasilkan kesepakatan bagi para pihak, maka pihak yang dirugikan melaporkan
perselisihannya tersebut kepada kepala dusun atau klian atau kepada adat dan
pemuka agama; 3. selanjutnya kepala adat atau pemuka
agama tersebut memanggil para pihak, atau keluarga dekat dan tetua-tetua adat
untuk menyaksikan proses musyawarah tersebut;
4. dalam musyawarah tersebut, yang ber tindak selaku penengah adalah
pemerintah pemerintah desa atau ke- camatan, pemuka agama kyai, tuan-
tuan guru, atau tokoh adatpemangku Secara umum, pola-pola penyelesaian
sengketakonlik pertanahan yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut: ne-
gosiasi; musyawarah mufakat; dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan di mana
para pihak yang berkonlik duduk bersama untuk mencari jalan yang terbaik dalam pe-
nyelesaian konlik dengan prinsip bahwa pe- nyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan
win-win solution, kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah
mufakat adalah langkah lebih lanjut dari ne-
gosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan,
maka langkah lebh lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pi-
hak lain selaku penengah. Pihak lain tersebut
adalah bisa anggota keluarga, bisa pemuka agama, atau pemuka adat, bahkan aparat
desa. Hasil musyawarah mufakat tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan ber-
sama yang ditandangani oleh para pihak dan para saksi yang disebut dengan “akta per-
damaian”. Sedangkan dalam penyelesaian secara mediasi, yaitu masyarakat melibatkan
pemuka adat, pemuka agama atau kepala desa atau camat sebagai mediatornya.
adatpengemban adat yang bijaksana; 5. keputusan yang diambil didasarkan
pada musyawarah-mufakat yang saling menguntungkan kedua belah pihak;
6. kesepakatan kedua belah pihak tersebut
dibuat secara tertulis berupa akta per- damaian yang ditanda tangani oleh para
pihak dan saksi-saksi dan penengah. Sedangkan di kalangan masyarakat
hukum adat Samawa dan masyarakat hukum adat Mbojo, pola penyelesaian sengketanya
pada prinsipnya sama: 1. Pertama-tama para pihak yang berseng-
keta melakukan negosiasi langsung untuk menyelesaikan masalahnya;
2. Jika jalan negosiasi ini tidak bisa menye- lesaikan persoalan, maka langkah se-
lanjutnya adalah musyawarah mufakat. Bagi yang dirugikan akan melaporkan
persoalan ini kepada pemuka masyara- katadat atau pemuka agama. Pemuka
masyarakatadat atau pemuka agama mengirim kurir kepada para pihak un-
tuk mengkaji akar masalahnya, dan selanjutnya pemuka masyarakatadat
atau pemuka agama mengumpulkan tetua-tetua dalam masyarakat untuk
“mbolo weki”
8
atau “tokal beliuk sier karante”
9
. Para tetua yang diundang adalah tetua-tetua yang: berpengalam-
an, punya ilmu, berakhlak baik, jujur, dan tanpa pamrih, ikhlas, serta hindari
mengundang orang yang bersikap seba- gai pe ngipaspengom por.
Pengambilan keputusan dalam musya- warah ini harus mengandung prinsip-prinsip
sebagai berikut: 1. tidak ada pihak yang merasa kalah dan
tidak ada pihak yang merasa menang prinsip win-win solution;
2. keputusan atas dasar keikhlasan, se-
hingga tidak ada lagi rasa dendam antar sesama;
3. keputusan tersebut tidak boleh berten-
tangan dengan syariat agama dan adat istiadat;
4. keputusan tidak memihak, tidak berat
sebelah; 5. keputusan harus mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, tidak boleh dirubah oleh siapapun, kecuali dengan musya-
warah lagi;
6. keputusan harus disertai dengan ancam-
an hukuman bagi yang tidak mentaati, yaitu harus diusir dari kehidupan terse-
butdikucilkan.
Khusus pada masyarakat adat Suku Mbojo, jika musyawarah mufakat tidak bisa
menyelesaikan persoalan tersebut, maka langkah selanjutnya yang ditawarkan kepada
para pihak adalah sumpah penentu,
yaitu “sumpah ngaha dana”.
10
Bagi yang bohong akan mati lebih dahulu dan jasadnya tidak
diterima oleh tanah dan Allah SWT. Sumpah pemutus ini tidak hanya mengenai mereka
yang bersumpah, akan tetapi berakibat pada keturunan-keturunannya selanjutnya.
Jika jalan itu semua tidak bisa menye- lesaikan persoalan, maka pihak yang merasa
dirugikan dan mampu membiayai proses perkara tersebut, maka akan menempuh
jalur hukum litigasi melalui pengadilan.
8
[Adat Mbojo], duduk bersama untuk musyawarah mufakat.
9
[Adat Samawa], duduk bersama-sama untuk saling mendengar satu sama lain.
10
bersumpah dengan nama Allah SWT disertai dengan memakan tanah.
Pengadilan adalah jalan terakhir jika jalan nonlitigasi tidak bisa menyelesaikan suatu
persoalan tersebut.
B. Prinsip-Prinsip Hukum Adat dalam Penyelesaian Sengketa Berdasarkan