TANAH ULAYAT DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT H

UNIVERSITAS INDONESIA

TANAH ULAYAT DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT
HUKUM ADAT KARUHUN URANG SUNDA DI KECAMATAN
CIGUGUR, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA
BARAT

ARI KURNIA RAHMAN A
DION VALERIAN
IRENA LUCY ISHIMORA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

1.

Latar Belakang
Valerine J. Kriekhoff menjelaskan bahwa tanah adat adalah tanah yang di


atasnya berlaku aturan-aturan adat. Jika hak atas tanah adat tersebut berada pada
sekelompok orang dan diatur pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok,
maka hak bersama itu dinamakan sebagai tanah ulayat atau beshickking-recht
(istilah van Vollenhoven).1 Tak berbeda dengan penjelasan Kriekhoff, G.
Kertasapoetra et. al. menjelaskan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah
yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin
ketertiban pemanfaatan atau pendayagunaan tanah. Dalam hak ulayat tersebut,
para warga masyarakat yang menjadi bagian dari persekutuan hukum itu
mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua
persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).2
Hak ulayat mengandung sifat komunalistik dan magis-religius. Bersifat
komunalistik sebab ia merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat
atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius dari hak ulayat eksis karena
hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama; ia diyakini memiliki sifat
gaib serta merupakan peninggalan nenek moyang dari kelompok masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Bagi Boedi Harsono, hak ulayat mempunyai
kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Berlaku ke dalam berhubungan dengan
para warganya, Sedangkan kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan
pihak-pihak yang tidak tergabung dalam masyarakat hukum adat itu.3
Penelitian ini dilakukan untuk menggali pengetahuan mengenai tanah

ulayat di kesatuan masyarakat hukum adat penghayat Sunda Wiwitan bernama
Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda di Kecamatan Cigugur, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat.4 Ira Indrawardana menjelaskan bahwa terdapat
1

_Valerine J. Kriekhoff, “Kedudukan Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah:
Suatu Kajian dengan Memanfaatkan Pendekatan Antropologi Hukum,” (Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, Jakarta, 1991), hlm. 24-26.
2
_G Kertasapoetra, et. al., Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 88.
3
_Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 190.
4
_Nama “AKUR Sunda Cigugur” ini penulis dapatkan dari Ira Indrawardana,
“Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan,” Jurnal Melintas (30 Januari
2014), hlm. 114.

2


beberapa ciri adat dan aturan adat dalam masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di
AKUR Sunda Cigugur, yaitu:5
a. Eksistensi ajaran dan budaya spiritual kesundaan masyarakat AKUR
Sunda merupakan warisan serta pengembangan dari leluhur Sunda sejak
adanya manusia dan kebudayaan Sunda.
b. Aturan-aturan kehidupan sosial budaya warga diatur oleh hukum adat atau
hukum tidak tertulis dengan norma-norma etika kesundaan yang
diselaraskan dengan perkembangan masyarakat, tanpa meninggalkan
budaya spiritual Sunda.
c. Ajaran-ajaran budaya spiritual yang berkembang dalam tuntunan ajaran
religiositas masyarakat AKUR Sunda berasal dari tuntunan spiritual
Ketuhanan Yang Maha Esa leluhur Sunda tanpa menyerap unsur-unsur
ritual dan ajaran dari keyakinan agama “luar”.
d. Tuntunan kemanusiaan dan kemasyarakatan masyarakat AKUR Sunda
dilandaskan pada cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa sesuai kodrat dari
Tuhan Yang Maha Esa yang telah dijadikan landasan berperilaku.
e. Penerapan ajaran atau tuntunan berdasarkan cara-ciri manusia dan bangsa
dalam masyarakat AKUR berlaku dalam aspek aturan-aturan adat.
Berdasarkan uraian yang diberikan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto di kelas

Antropologi Hukum dan Metode Penelitian Sosio-Legal, penulis mengetahui
bahwa keadaan tanah ulayat di masyarakat hukum adat AKUR Sunda Cigugur
tidak sedang baik-baik saja. Masyarakat AKUR Sunda Cigugur menghadapi
kemungkinan ekspansi kapital yang dapat merampas tanah ulayat mereka. Di
samping itu, diketahui pula bahwa tanah ulayat di masyarakat AKUR Sunda
Cigugur dapat dimiliki oleh orang perseorangan dan dapat dijual ke pembeli yang
notabene bukan anggota dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Kenyataankenyataan itu membuat penelitian yang akan kami kerjakan ini memiliki nilai
penting. Secara garis besar, penulis akan meneliti mengenai sejarah tanah ulayat
AKUR Sunda Cigugur dan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada tanah
ulayat tersebut hingga saat ini. Dalam aspek hak ulayat, penulis juga akan meneliti
5

_Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman,” (Makalah dipresentasikan
dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II di Gedung Merdeka, Bandung, 19-22 Desember
2011), hlm. 12-13.

3

mengenai hubungan masyarakat hukum adat AKUR Sunda Cigugur dengan tanah
ulayatnya. Dalam aspek penelitian hukum normatif, penulis akan meneliti

mengenai instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang perlindungan tanah
ulayat. Di Indonesia, perlindungan tanah ulayat dicapai melalui mekanisme
pembuatan peraturan daerah mengenai pengakuan dan pengukuhan masyarakat
hukum adat.
2.

Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian dalam sub Latar Belakang di atas, penulis

merumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan tanah ulayat serta hak hak
ulayat di masyarakat AKUR Sunda Cigugur hingga masa sekarang?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum Indonesia terhadap tanah ulayat
masyarakat AKUR Sunda Cigugur?
3.

Metode Penelitian
3.1

Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini berjenis penelitian hukum empiris. Penelitian hukum

empiris tersebut dilakukan di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan,
Provinsi Jawa Barat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian,
penulis melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan
pemangku adat masyarakat AKUR Sunda Cigugur, Pangeran Djati
Kusumah, dan anaknya yang juga aktivis penghayat kepercayaan, Ratu
Dewi Kanti dan Ratu Juwita. Selain kedua orang informan tersebut,
penulis juga melakukan wawancara dengan suami dari Ratu Dewi Kanti
yakni Bapak Okky Satrio. Penulis juga melakukan wawancara dengan
Bapak Candoli (bendahara di Ais Pangampih) dan 2 (dua) dua orang
warga, yakni Bapak Muhono dan Bapak Robby. Di samping itu, penulis
juga melakukan pengamatan, utamanya untuk melihat aktivitas dan
kehidupan anggota masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan pengolahan tanah ulayat. Untuk mendukung
penelitian ini, penulis terlebih dahulu membaca literatur-literatur yang

4

membahas mengenai dasar hukum adat, tanah ulayat, dan hak ulayat.

Penelitian-penelitian mengenai aspek-aspek kehidupan dan kebudayaan
masyarakat AKUR Sunda Cigugur juga penulis kaji untuk mendapatkan
pemahaman awal mengenai masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Selain itu,
penulis juga melakukan analisis kritis terhadap peraturan perundangundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang
pengukuhan masyarakat hukum adat sebagai bentuk perlindungan tanah
ulayat. Analisis itu membahas apakah peraturan perundang-undangan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki relevansi dengan
konsepsi tanah ulayat dan hak ulayat yang terdapat pada masyarakat
AKUR Sunda Cigugur.
3.2

Pengalaman Penelitian
Penulis melakukan penelitian di Kecamatan Cigugur, Kabupaten

Kuningan, Provinsi Jawa Barat tersebut selama 3 hari. Selama penelitian,
penulis menginap di dalam salah satu bangunan dalam kompleks Paseban
Tri Panca Tunggal. Dalam rentang waktu penelitian yang sangat singkat
tersebut, penulis mencoba menghimpun data sebanyak dan seakurat
mungkin dengan melakukan wawancara kepada beberapa pihak yang
memahami tanah ulayat dan hak ulayat secara komprehensif. Penulis

menyadari bahwa meneliti tanah ulayat serta hak ulayat yang terdapat pada
masyarakat AKUR Sunda Cigugur bukanlah suatu hal yang mudah. Secara
konseptual, tanah ulayat dan hak ulayat merupakan konstruksi yang sangat
kompleks, apalagi dalam tataran factual sebagaimana yang terdapat dalam
masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Pada awal-awal berada di lokasi
penelitian, penulis memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan
pengamatan terhadap pola interaksi sosial serta cara kehidupan dari
masyarakat akur sunda cigugur. Tujuan awal dari pengamatan singkat
tersebut adalah agar penulis menemukan pendekatan yang paling tepat
dalam melakukan penggalian data dari masyarakat setempat. Akan tetapi,
setelah melakukan proses pengamatan singkat tersebut, penulis justru
mendapati bahwasanya daftar pertanyaan yang telah penulis susun
sebelumnya ternyata tidak cukup relevan dengan kondisi dan situasi dari

5

masyarakat sunda cigugur. Artinya, penulis harus menginventarisasi
kembali semua pertanyaan yang lebih sesuai dengan kondisi sosial-budaya
di lokasi penelitian. Hal inilah yang menjadi alasan kebingungan penulis
pada masa-masa awal penelitian.


Penulis juga mengalami kesulitan

dalam hal kuantitas informan yang dapat diwawancarai mengenai tema
yang penulis bahas. Penyebabnya adalah terbatasnya pihak yang
memahami secara holistik tanah ulayat dan hak ulayat. Dengan
keterbatasan informan tersebut, penulis mencoba untuk benar-benar
menggali informasi sebanyak dan seakurat mungkin dari informan yang
tersedia. Selama melakukan penelitian, penulis menemukan banyak sekali
fakta yang sangat menarik dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur
tersebut. Salah satunya adalah mengenai konstruksi tanah ulayat dan hak
ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang ternyata tidak seperti
konstruksi tanah ulayat dan hak ulayat yang dipahami dalam hukum
agraria. Ada banyak sekali pengalaman berkesan yang penulis rasakan
selama melakukan kegiatan penelitian, dari mengenali secara lebih dekat
masyarakat AKUR Sunda Cigugur, mengikuti kegiatan masyarakat di sana
seperti upacara panen, mengikuti forum ais pangampi, bertemu dan
berinteraksi dengan raja dan ratu di dalam Paseban, dan banyak hal
lainnya. Mendapati situasi dan kondisi dari masyarakat di lokasi penelitian
yang sangat khas dan berkarakter membuat proses penelitian menjadi jauh

lebih menyenangkan. Rentang waktu 3 (tiga) hari terasa sangat singkat
untuk dapat memahami secara paripurna tanah ulayat dan hak ulayat
masyarakat akur sunda cigugur pada khususnya dan pola kehidupan
masyarakat akur sunda cigugur pada umumnya.
3.3

Refleksi Metodologi
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian hukum

empiris. Secara sederhana, penelitian hukum empiris menghendaki adanya
suatu analisa yuridis terhadap data empiris yang ditemukan selama proses
penelitian berlangsung. Hal ini menghendaki adanya relevansi antara
hukum positif dengan data empiris. Akan tetapi, sebagaimana konsep

6

paling mendasar dari antropologi hukum, let the society speaks for itself,
setelah penulis melakukan wawancara dengan para informan, ditemukan
fakta bahwa pemahaman dalam kerangka hukum positif yang akan
dijadikan pisau analisa terhadap data empiris ternyata tidak cukup relevan.

Penulis menemukan data bahwasanya dalam konstruksi tanah ulayat dan
hak ulayat, masyarakat AKUR Sunda Cigugur memiliki pola khusus yang
tidak sama dengan pemahaman terhadap konsep tanah ulayat dan hak
ulayat pada hukum agrarian Indonesia serta putusan Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, merujuk kembali pada konsep dasar dari
antropologi hukum di atas, maka dalam laporan ini, analisa yang penulis
lakukan akan dikontekstualisasikan dengan konstruksi tanah ulayat serta
hak ulayat dari masyarakat akur sunda cigugur tersebut. Akan tetapi,
penemuan yang penulis temukan dalam penelitian ini justru menjadi lebih
menantang, yakni lebih membutuhkan pikiran kritis untuk mampu
menganalisa data-data empiris yang tersedia secara komprehensif.
Selain itu, penulis menggunakan metode wawancara mendalam
dengan berbagai informan. Kelebihan dari metode ini adalah bahwasanya
penulis mendapatkan data dari sumber primer, sehingga data menjadi lebih
akurat dan terpercaya. Akan tetapi, kelemahannya justru terletak pada
terbatasnya jumlah informan yang dapat penulis wawancarai karena pihak
yang memahami secara holistik konsepsi tanah ulayat dan hak ulayat dari
masyarakat AKUR Sunda Cigugur tidaklah banyak, terbatas pada
pemangku adat dan beberapa masyarakat saja. Dengan kondisi demikian,
maka penulis menyiasati hal tersebut dengan menggali sebanyak mungkin
informasi dari pihak-pihak yang memahami secara holistik tema penelitian
yang penulis angkat ditambah dengan pengamatan yang penulis lakukan
terhadap aktivitas serta kehidupan anggota masyarakat AKUR Sunda
Cigugur yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat.
4.

Temuan
4.1

Hubungan Manusia dan Alam Raya dalam Ajaran Sunda
Wiwitan

7

Masyarakat AKUR Sunda Cigugur adalah masyarakat agraris.
Penghidupan

utamanya

berasal

dari

pertanian

dan

perkebunan.

Berdasarkan komunikasi dengan beberapa orang warga adat AKUR Sunda
Cigugur, penulis menyimpulkan bahwa masyarakat AKUR Sunda Cigugur
memiliki hubungan yang sangat dalam dengan alamnya (termasuk tanah).
Hubungan tersebut bahkan harus dijelaskan dengan perspektif yang
metafisik, sebab masyarakat AKUR Sunda Cigugur tidak menganggap
tanah hanya sebagai faktor produksi saja. Keterikatan mereka dengan
tanahnya disebabkan oleh alasan-alasan yang sangat filosofis.
Pada hari kedua penelitian, penulis mengunjungi Situs Cipari,
suatu situs peninggalan masa Megalitikum (zaman batu besar). Situs ini
diyakini masyarakat sebagai tempat berenergi magis yang memiliki medan
magnet kuat. Dipercaya bahwa situs ini adalah tempat meditasi yang tepat
karena “doa yang diucapkan di sini sampai langsung ke hadapan Tuhan”.
Situs Cipari juga merupakan situs yang keramat bagi warga AKUR Sunda
Cigugur. Hal-hal mengenai Situs Cipari ternyata berhubungan pula dengan
filosofi hubungan manusia dan alam raya dalam perspektif Sunda
Wiwitan.
Pangeran Djati Kusumah menjelaskan, bahwa antara manusia dan
alam raya adalah “satu tubuh”. Manusia adalah jagat mikrokosmos,
sedangkan alam raya adalah jagat makrokosmos. Oleh karena itu, pada
esensinya ajaran Sunda Wiwitan berpandangan bahwa manusia adalah
bagian dari alam raya. Dari penjelasan tersebut, penulis berpandangan
bahwa karena dianggap manusia dan alam raya adalah satu tubuh, maka
alam raya tidak dianggap sebagai yang-di-luar-manusia. Alam raya tidak
dipandang sebagai suatu entitas sumber daya yang bisa terus dieksploitasi
hingga habis.
Dalam logika oposisi biner yang mengandaikan perbedaan antara
manusia dan alam, dipandang bahwa manusia dan alam memiliki struktur
dan fungsi yang berlainan. Manusia diberikan peran aktif sebagai pelaku
eksploitasi terhadap alam, sedangkan alam diberikan peran pasif sebagai

8

pihak yang tubuhnya boleh dieksploitasi oleh manusia. Dengan skema
pemosisian manusia dan alam secara opositif tersebut, manusia dianggap
sebagai pihak yang superior dan alam adalah pihak yang inferior. Hal
demikian menjadi berbeda apabila logika yang dipakai adalah menyatunya
manusia dan alam raya dalam satu tubuh kosmos. Dalam logika demikian,
terjadi peleburan subjek; tidak ada yang mengeksloitasi dan tidak ada yang
dieksploitasi. Dengan demikian, jika manusia Sunda memanfaatkan
sumber daya alam, ia berkomitmen bahwa ia tidak akan merusak alam. Itu
menunjukkan bahwa manusia Sunda memahami etika kelestarian alam.
Berdasarkan uraian Pangeran Djati Kusumah dan Okky Satrio (menantu
Pangeran Djati Kusumah, suami dari Ratu Dewi Kanti), penulis
menyimpulkan bahwa hanya karena filosofi kebersatuan mikro dan makro
kosmos itulah yang memungkinkan alam di sekitar Gunung Ciremai tetap
lestari dan tidak rusak.
Dalam satu sesi wawancara dengan Pangeran Djati Kusumah, ia
menjelaskan bahwa yang unik dalam hubungan jagat mikrokosmos dan
makrokosmos adalah adanya hubungan yang sistematis dan saling berpaut
antara satu bagian dengan bagian lain dalam mikro atau makro kosmos
tersebut. Pangeran Djati Kusumah memberikan satu contoh. Pertama-tama
ia menjelaskan konsep itu dalam konteks manusia sebagai jagat
mikrokosmos. Ia menerangkan, bahwa titik-titik tertentu di telapak kaki
apabila ditekan dengan metode pengobatan akupunktur akan mengobati
atau menghilangkan racun di organ tubuh lain. Setiap organ dalam tubuh
manusia ternyata memiliki titik tekannya sendiri yang berada di sekujur
telapak kaki manusia. Terdapat hubungan saling berpaut antara titik-titik
itu dengan organ-organ tubuh manusia yang direpresentasikannya.
Keberkaitan jaringan-jaringan dalam tubuh manusia sebagai mikrokosmos
itu juga ada dalam skema makrokosmos. Alam raya dianggap memiliki
“titik-titik tekan”-nya sendiri berupa lokasi-lokasi yang dikeramatkan.
Lokasi-lokasi keramat itu ditakini memiliki keutamaannya masing-masing.
Pangeran Djati Kusumah mencontohkan bahwa “titik tekan” di bumi yang

9

memiliki keutamaan spiritual itu, dalam kepercayaan Sunda Wiwitan,
adalah Paseban Tri Panca Tunggal dan Situs Megalitikum Cipari.
Paseban Tri Panca Tunggal merupakan lokasi istimewa sebab
Pangeran Madrais memilih lokasi tersebut untuk memberikan pengajaranpengajaran mengenai Sunda Wiwitan pada masa kepemimpinannya. Sejak
saat itu pula, Paseban menjadi pusat kepemimpinan Pangeran Madrais,
hingga berlanjut ke Pangeran Tedja Buana dan Pangeran Djati Kusumah.
Begitupun Situs Megalitikum Cipari, seperti sudah diuraikan sebelumnya,
diyakini sebagai situs yang memancarkan energi spiritual kuat. Sebagai
salah satu “titik tekan” di jagat makro kosmos, masyarakat AKUR Sunda
Cigugur percaya bahwa dengan beribadah di situs itu, mereka menjadi
lebih dekat dengan Tuhan. Sebenarnya, semua situs adat yang
dikeramatkan oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur memiliki nilai
keutamaannya masing-masing sehingga dapat pula disebut sebagai “titiktitik tekan” di jagat makro kosmos. Untuk itu, perlu dikemukakan terlebih
dahulu mengenai wilayah-wilayah mana saja yang merupakan tanah ulayat
bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur.
4.2

Wilayah-wilayah Tanah Ulayat
Secara teoritis, konsepsi hukum adat dalam hak ulayat masyarakat

hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik
religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak-bersama
para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan
hukum disebut hak ulayat. Tanah Ulayat merupakan tanah kepunyaan
bersama yang diyakini sebagai karunia Kekuatan Gaib atau peninggalan
Nenek Moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum
adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan
kelompok tersebut sepanjang masa. Di sinilah tampak sifat religius atau

10

unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat
hukum adat dan tanah ulayatnya itu.6
Dengan demikian, Hak Ulayat masyarakat hukum adat tersebut:
a. Selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama
para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.
b. Juga mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur, dan
memimpin

penguasaan,

pemeliharaan,

peruntukan

dan

penggunaannya, yang termasuk bidang hukum publik.
Dalam lensa positivism hukum, hak ulayat diakui oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria,
tetapi pengakuan itu disertai 2 (dua) syarat yaitu mengenai “eksistensinya”
dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayatn tersebut diakui “sepanjang
menurut kenyataannya masih ada”, sebagaimana yang termaktub pada
Pasal 3 UUPA. Di daerah-daerah di mana hak itu tidak ada lagi, tidak akan
dihidupkan kembali. Di daerah-daerah di mana tidak pernah ada hak ulayat
tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.
Pasal 3 UUPA berbunyi:
Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi…
Berdasarkan keterangan Pangeran Djati Kusumah dan Ratu Juwita
(anak Pangeran Djati Kusumah), di lingkungan masyarakat AKUR Sunda
Cigugur, terdapat pengaturan mengenai tanah dan hak atas tanah. Tanah
dibagi menjadi dua jenis: pertama adalah tanah komunal; dan kedua
adalah tanah warga. Terhadap tanah warga, warga dapat mengenakan hak
milik di atasnya. Sedangkan terhadap tanah komunal, terdapat beberapa
larangan, yaitu:
a. tanah komunal tidak dapat dibagiwariskan;
6

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, hlm. 181-183.

11

b. tanah komunal tidak dapat diperjualbelikan; dan
c. tanah komunal tidak dapat dipindahtangankan.
Dalam konsep masyarakat AKUR Sunda Cigugur, tanah komunal
disebut juga dengan tanah ulayat atau tanah keraton. Istilah itu disebutkan
dalam manuskrip kuno tulisan tangan Pangeran Madrais. Manuskrip
tersebut berisikan ajaran-ajaran Sunda Wiwitan.
Ratu Dewi Kanti (anak dari Pangeran Djati Kusumah, istri Bapak
Okky Satrio) menerangkan bahwa manuskrip kuno Pangeran Madrais
tersebut tersimpan dalam satu lemari besar. Manuskrip-manuskrip tersebut
hingga sekarang masih dalam proses penerjemahan. Menarik diketahui,
bahwa manuskrip itu ditulis dengan aksara khusus yang hanya dipahami
oleh Pangeran Madrais dan keturunan-keturunannya. Pembuatan aksara
khusus tersebut, dijelaskan oleh Ratu Dewi Kanti, bertujuan agar ajaranajaran Sunda Wiwitan tidak bisa dibaca oleh pemerintah kolonial Belanda,
selain itu juga untuk menghindari pencemaran substansi ajaran Sunda
Wiwitan. Saat ini, hanya ada dua orang yang bisa membaca dan
menerjemahkan manuskrip tersebut, yaitu Pangeran Djati Kusumah dan
Pangeran Gumirat Barna Alam, anak laki-laki satu-satunya Pangeran Djati
Kusumah yang akan menggantikannya sebagai pemimpin adat.
Ratu Dewi Kanti menjelaskan bahwa manuskrip tersebut baru giat
diterjemahkan pada tahun 2000-an ini. Manuskrip tersebut sebenarnya
telah ada “sejak dulu” namun tak kunjung dapat diterjemahkan karena
kondisi politik yang keruh dan menyulitkan masyarakat AKUR Sunda
Cigugur. Kondisi politik itu antara lain disebabkan oleh pelarangan ajaran
Sunda Wiwitan (dahulu disebut Agama Djawa Sunda) oleh pemerintah
kolonial Belanda, rezim Soekarno, dan rezim Soeharto. Aktivitas
penerjemahan itu baru bisa dilakukan dengan tenang setelah Presiden
Abdurrahman

Wahid

mencabut

pelarangan

tersebut.

Pemahaman

mengenai manuskrip Pangeran Madrais ini akan menjadi faktor krusial
dalam menentukan wilayah-wilayah tanah ulayat masyarakat AKUR
Sunda Cigugur.

12

Ratu Dewi Kanti dan Ratu Juwita menerangkan bahwa tanah
keraton (masyarakat AKUR Sunda Cigugur lebih sering menyebut “tanah
keraton” daripada “tanah ulayat”) tidak terpusat di wilayah Paseban Tri
Panca Tunggal saja. Tanah keraton itu menyebar di beberapa wilayah.
Mereka menjelaskan bahwa tidak semua warga adat mengetahui batas
tanah keraton ada di mana. Bahkan, orang keraton (keluarga Pangeran
Djati Kusumah) juga belum tahu pasti di mana-mana saja batas tanah
keraton itu. Batas-batas tanah keraton yang belum semuanya diketahui
dengan jelas itu berkaitan langsung dengan proses penerjemahan
manuskrip kuno Pangeran Madrais. Karena belum semua manuskrip itu
diterjemahkan, maka belum dapat diketahui secara lengkap dan pasti
mengenai batas-batas tanah keraton menurut konsep Pangeran Madrais
saat ia menulis manuskrip dulu. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari
Boedi Harsono yang menyatakan bahwa pada umumnya, batas-batas tanah
ulayat suatu masyarakat hukum adat sangat sulit untuk diketahui dan
ditentukan. Satu hal yang dapat diketahui berdasarkan uraian Ratu Dewi
Kanti, ada sinyal yang ditangkap dari penerjemahan manuskrip bahwa
bahwa tanah keraton masyarakat AKUR Sunda Ciggur wilayahnya hingga
daerah Kadugede, Kabupaten Kuningan.
Meskipun manuskrip Pangeran Madrais masih dalam proses
penerjemahan, terdapat beberapa wilayah tanah keraton yang sudah
diketahui secara luas oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Wilayahwilayah tanah keraton yang telah diketahui itu adalah:
1. Paseban Tri Panca Tunggal;
2. Leuweung Leutik (hutan kecil);
3. Petilasan Curug Go’ong;
4. Situ Hyang;
5. Hutan Larangan di Desa Rambatan; dan
6. Tanah di belakang Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Trimulya.
Paseban Tri Panca Tunggal adalah pusat aktivitas atas masyarakat
AKUR Sunda Cigugur sejak masa kepemimpinan Pangeran Madrais,

13

Setiap tanggal 22 Rayagung Tahun Saka Sunda, Paseban menjadi pusat
perayaan upacara adat Seren Taun, suatu upacara adat untuk mensyukuri
berkah Tuhan. Paseban Tri Panca Tunggal telah mendapat pengukuhan
sebagai cagar budaya nasional yang dilindungi.
Leuweung Leutik (hutan kecil) adalah suatu daerah hutan larangan
bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Leuweung Leutik pernah
memiliki girik namun girik itu sekarang telah hilang. Leuweung Leutik dan
tanah di belakang SMP Trimulya sedang disengketakan di Pengadilan
Negeri Kuningan sebab kedua tanah keraton tersebut diperjualbelikan oleh
kerabat keraton kepada pihak luar, padahal tanah keraton dilarang untuk
diperjualbelikan. Menurut sejarahnya, Leuweung Leutik digunakan untuk
ritual menanam. Adanya girik pada lokasi ini juga merupakan suatu hal
yang perlu dianalisa. Sebelum lahirnya UUPA, girik masih diakui sebagai
tanda bukti hak atas tanah, tetapi setelah UUPA lahir dan Peraturan
Pemerintan Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
hanya sertifikat hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan hak
atas tanah. Sekalipun demikian selain sertifikat hak atas tanah nampaknya
tanda hak lain pun masih ada yang berlaku yakni Girik atau kikitir.7
Petilasan Curug Go’ong adalah tempat Pangeran Madrais bersama
pengikutnya mendinginkan lahar letusan Gunung Ciremai pada tahun
1937. Pangeran Madrais dan para pengikutnya mendinginkan lahar letusan
Gunung Ciremai dengan memainkan gamelan. Setelah letusan Gunung
Ciremai berhasil didamaikan, Pangeran Madrais tidak kembali ke Paseban,
namun menetap di petilasan hingga meninggal pada tahun 1939.
Berdasarkan sejarahnya yang demikian, maka petilasan Curug Go’ong
termasuk ke dalam kategori situs kabuyutan, yaitu situs yang memiliki
nilai penting bagi para leluhur, sehingga Curug Go’ong merupakan situs
bersejarah, terutama bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Ada cerita
menarik mengenai penguasaan hak atas tanah di Curug Go’ong. Menurut
Pangeran Djati Kusuma dan Ratu Dewi Kanti, pasca tahun 1945, Curug
7

A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 1999), hlm. 3.

14

Go’ong pernah dipatok-patoki dan dimiliki oleh perorangan. Namun
akhirnya Curug Go’ong dibeli kembali oleh Pangeran Djati Kusumah
karena nilai sejarah dan pertimbangan bahwa Curug Go’ong adalah situs
kabuyutan masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Menarik untuk mengetahui
bahwa Curug Go’ong yang merupakan tanah keraton ini ternyata perlu
dibeli kembali sehingga hak miliknya kembali kepada keraton.
Tanah keraton selanjutnya adalah Situ Hyang. Sayang sekali
penulis tidak berhasil menggali lebih dalam mengenai Situ Hyang ini.
Tanah keraton selanjutnya adalah Hutan Larangan di Desa Rambatan.
Hutan ini penulis datangi langsung dengan dipandu oleh Okky Satrio.
Dijelaskan oleh Okky Satrio bahwa Hutan Larangan di Desa Rambatan
dan Leuweung Leutik sama-sama berfungsi sebagai hutan larangan bagi
masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Okky Satrio menunjukkan bahwa alam
di Hutan Larangan di Desa Rambatan telah dirusak oleh aktivitas
penambangan batu onyx yang terkandung dalam Hutan Larangan.
Kerusakan di Hutan Larangan berdampak hingga jarak 10 km dari Hutan
Larangan. Okky Satrio menjelaskan bahwa batu onyx adalah batu yang
kualitasnya lebih tinggi daripada batu marmer. Batu onyx biasa diolah
menjadi meja atau peralatan batu yang harganya mahal sekali. Aktivitas
penambangan tersebut dilakukan oleh suatu perusahaan yang mendapat
izin dari Pemerintah Kabupaten Kuningan.
Okky Satrio menjelaskan juga bahwa karena kodrat “terlarang”nya, telah ada lima pimpinan proyek yang melakukan penambangan di
Hutan Terlarang yang meninggal dunia. Aktivitas penambangan tersebut
sekarang sedang dihentikan untuk sementara. Tanah keraton berupa tanah
di belakang SMP Trimulya juga sedang disengketakan di Pengadilan
Negeri Kuningan, bersama dengan Leuweung Leutik. Perbedaannya, jika
Leuweung Leutik telah kehilangan giriknya, maka tidak dengan tanah di
belakang SMP Trimulya yang masih memiliki girik. Selain tanah-tanah
keraton yang disebutkan di atas, pada masa kepemimpinan Pangeran Tedja
Buana, ada tanah keraton yang sudah dihibahkan ke Gereja Katholik dan
Rumah Sakit.

15

Penulis menganalisis bahwa tanah-tanah keraton ini semuanya
memiliki keutamaan serta nilai sejarah sendiri. Faktor sejarahnya berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan yang Pangeran Madrais pernah lakukan di
tempat tersebut (contohnya Paseban dan Petilasan Curug Go’ong). Oleh
karena itu, beberapa dari tanah keraton ini merupakan situs kabuyutan bagi
masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Sebab memiliki keutamaan dan nilai
pentingnya sendiri, tanah-tanah keraton itu dapat disebut sebagai “titik
tekan” dalam jagat makro kosmos menurut keyakinan Sunda Wiwitan.
Tanah-tanah keraton tersebut dipercaya memiliki hubungan atau dapat
menyambungkan manusia Sunda kepada rahasia alam raya yang besar dan
tak kasat mata.
Selain beberapa tanah keraton yang sudah disebutkan di
atas, penulis juga hendak menguraikan mengenai tanah desa yang
disewa oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Tanah tersebut
merupakan sawah yang digunakan secara kolektif oleh masyarakat
AKUR Sunda Cigugur. Berdasarkan keterangan Muhono dan
Robby, sawah tersebut ditanam secara bersama-sama dan dipanen
secara bersama-sama oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Pada
saat meneliti, penulis berkesempatan mengikuti prosesi panen
tersebut. Dijelaskan oleh Okky Satrio bahwa padi yang dipanen
saat itu akan disimpan di lumbung padi yang terletak di kompleks
Paseban untuk keperluan upacara adat Seren Taun tahun 2016 ini.
Meskipun tanah tersebut bukanlah tanah keraton dan disewa dari
desa, namun pemanfaatannya tetap digunakan untuk kepentingan
kolektif.

4.2

Ikatan Berdasarkan Tanah
Telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat AKUR Sunda
Cigugur sekarang sedang mengajukan gugatan sengketa perdata di
Pengadilan Negeri Kuningan. Yang menjadi objek sengketa adalah
tanah keraton yaitu Leuweung Leutik dan tanah di belakang SMP

16

Trimulya yang diperjualbelikan oleh kerabat keraton secara
melawan hak. Para Penggugat dalam gugatan ini adalah Ais
Pangampih dan Pangeran Djati Kusumah. Ais Pangampih adalah
forum adat masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang salah satu
fungsinya adalah menyelesaikan sengketa adat. Anggota-anggota
Ais Pangampih merupakan perwakilan dari masyarakat penghayat
Sunda Wiwitan yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Barat,
yaitu perwakilan dari:
1. Cisuru;
2. Cigugur;
3. Bunter;
4. Banjar;
5. Tasikmalaya;
6. Garut;
7. Bandung;
8. Cibulit Tabog; dan
9. Subang.
Pusat kegiatan Ais Pangampih adalah di Cigugur. Penulis
sempat mengikuti satu rapat adat yang diadakan oleh Ais
Pangampih. Rapat adat itu biasanya diisi oleh pemberitahuan
kabar-kabar terkini mengenai keadaan masyarakat AKUR Sunda
Cigugur. Seperti pada rapat yang penulis ikuti tersebut, bahasannya
adalah seputar perkembangan gugatan perdata di Pengadilan
Negeri Kuningan. Berdasarkan keterangan Pak Candoli (bendahara
di Ais Pangampih), penulis mengetahui bahwa pengikut Pangeran
Madrais yang menganut Sunda Wiwitan sejak dulu tinggal
menyebar di seluru Jawa Barat, tidak terpusat hanya di Cigugur
saja. Pengikut-pengikut Pangeran Madrais menetap dan menambah
keturunan di sembilan daerah tersebut.
Penemuan menarik yang penulis dapatkan adalah bahwa
meskipun tanah yang disengketakan ada di Cigugur (Leuweung
Leutik dan tanah di belakang SMP Trimulya), namun yang

17

menggugat adalah Ais Pangampih serta Pangeran Djati Kusumah,
padahal diketahui bahwa hanya sedikit anggota Ais Pangampih
yang tinggal di Cigugur. Para anggota Ais Pangampih yang tinggal
di luar Cigugur (delapan daerah) mengikatkan dirinya sebagai
masyarakat penghayat Sunda Wiwitan yang menyatu dengan
masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Ikatan tersebut disebabkan oleh
kesadaran bahwa para anggota Ais Pangampih yang tinggal di luar
Cigugur itu semuanya merupakan pengikut atau keluarga pengikut
dari Pangeran Madrais. Meskipun mereka tidak tinggal di Cigugur,
namun “serangan” terhadap tanah keraton yang letaknya di
Cigugur, juga dianggap sebagai “serangan” kepada mereka.
Dengan konsep bahwa Ais Pangampih yang tinggal di luar Cigugur
adalah satu kesatuan dengan masyarakat AKUR Sunda Cigugur
karena sama-sama pengikut Pangeran Madrais dan penghayat
Sunda Wiwitan, maka tanah keraton masyarakat AKUR Sunda di
Cigugur juga merupakan tanah keraton bagi mereka yang tidak
tinggal di Cigugur. Ikatan tersebut ternyata melampaui batas-batas
geografis.
5.

Analisa
Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat beberapa hal yang sangat
krusial untuk dianalisa, yakni:
1. Konsep tanah ulayat dalam UUPA lebih sempit dibandingkan dengan
konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria, tanah ulayat dikonstruksikan sebagai tanah milik
bersama (komunal) yang digunakan untuk kepentingan bersama
dengan pengaturan yang dijalankan oleh seorang pemimpin kelompok
adat. Terdapat tiga poin utama yang harus kita lihat dari pendekatan
tersebut, yakni:
a. Tanah ulayat adalah tanah milik bersama (masyarakat)
b. Tanah ulayat tersebut digunakan untuk kepentingan bersama

18

c. Tanah ulayat tersebut diatur oleh seorang pemimpin kelompok
adat.
Penulis berpendapat bahwa ketika syarat di atas haruslah
terpenuhi secara kumulatif untuk dapat memandang apakah suatu
tanah merupakan tanah ulayat atau tidak. Syarat-syarat di atas sangat
berbeda dengan apa yang terdapat pada masyarakat AKUR Sunda
Cigugur. Sebagaimana yang penulis paparkan di atas, dalam
masyarakat AKUR Sunda Cigugur, terdapat konstruksi hak ulayat
yang lebih luas, yakni:
a. Konstruksi tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur
yang sesuai dengan UUPA
Konstruksi yang sesuai dengan UUPA ini terlihat pada
hak atas tanah pada Hutan Larangan. Hutan larangan ini dimiliki
oleh masyarakat secara komunal dan digunakan pula untuk
kepentingan

masyarakat

secara

komunal,

sedangkan

pengaturannya dilaksanakan oleh pemimpin kelompok adat,
dalam hal ini Pangeran Djati Kusumah. Konstruksi ini jelas
sesuai dengan konsep dari tanah ulayat yang terdapat dalam
UUPA sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya.
b. Konstruksi yang tidak sesuai dengan UUPA namun dalam
masyarakat AKUR Sunda Cigugur merupakan tanah ulayat.
Konsep tanah ulayat pada UUPA, sebagaimana telah
penulis sampaikan di atas, bersifat kumulatif. Artinya, ketentuan
tersebut menjadi sangat rigid dan sempit. Berbeda dengan
konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur
yang jauh lebih luas dibandingkan dengan tanah ulayat pada
UUPA tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut ialah:
i. Adanya tanah yang hak miliknya dipegang oleh keraton,
tetapi merupakan tanah ulayat.
Dalam konsep UUPA, tanah ulayat haruslah
dimiliki secara komunal oleh masyarakat. Akan tetapi,
dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur, terdapat tanah

19

yang merupakan hak milik keraton -bukan milik
masyarakat secara komunal- akan tetapi merupakan
tanah ulayat. Hal ini dapat dilihat pada Curug Go’ong
yang

tanahnya

dibeli

lagi

oleh keraton

dengan

pertimbangan historis dan manfaat bagi masyarakat
AKUR Sunda Cigugur. Sebagaimana yang kita ketahui,
tanah yang dapat dilakukan proses jual-beli terhadapnya
hanyalah tanah dalam ranah hak milik. Dengan dibelinya
tanah Curug Go’ong tersebut oleh keraton, hal tersebut
menunjukkan bahwa Curug Go’ong adalah hak milik
keraton. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat
AKUR Sunda Cigugur, tanah tersebut adalah tanah
ulayat. Hal ini juga sesuai dengan pemanfaatan dari
Curug Go’ong yang ditujukan bagi kepentingan bersama
(komunal). Selain Curug Go’ong, wilayah tanah lainnya
yang dilekati dengan hak milik keraton namun
merupakan bagian dari hak ulayat adalah tanah keraton
yang dihibahkan kepada Gereja Katholik dan Rumah
Sakit. Penghibahan suatu tanah juga sejatinya berada
dalam ruang lingkup hak milik, dalam hal ini hak milik
keraton dan bukan hak milik masyarakat secara
komunal. Meskipun demikian, tanah keraton yang
dhibahkan tersebut juga menjadi bagian dari tanah ulayat
masyarakat AKUR Sunda Cigugur.
ii.

Adanya tanah dengan girik yang juga menjadi
bagian dari tanah ulayat
Setelah

lahirnya

UUPA,

konsep

girik

sebenarnya sudah tidak dikenal lagi. Akan tetapi, untuk
dapat menganalisa beberapa lokasi tanah ulayat pada
masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang memiliki girik,
penulis akan menggunakan pendekatan historis sebelum
lahirnya UUPA. Sebelum lahirnya undang-undang

20

tersebut, girik dikenal sebagai tanda bukti atas hak atas
tanah karena merupakan surat pajak hasil bumi.
Sehingga, girik merupakan bukti kepemilikan hak atas
tanah. Dengan konstruksi tanah ulayat dalam UUPA,
tentu ketika suatu tanah tersebut tidak dilekati
kepemilikan oleh masyarakat secara komunal, maka
tanah tersebut tidak dapat dikategorisasikan sebagai
tanah ulayat. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan dari
Ratu Dewi Kanti, terdapat tanah ulayat pada masyarakat
AKUR Sunda Cigugur yang dilekati dengan girik yang
mana merupakan bukti keraton terhadap hak atas tanahtanah tersebut. Contohnya adalah tanah Leuweung
Leutik dan tanah di belakang SMP Trimulya. Meskipun
saat ini Leuweung Leutik telah kehilangan girik, namun
sejarah tetap menunjukkan bahwa keraton pernah
memiliki girik terhadap lokasi tersebut. Bahkan, tanah
di belakang SMP Trimulya tersebut hingga sekarang
masih memiliki girik. Adanya girik atas dua tanah
tersebut menunjukkan bahwa keraton benar-benar
memiliki hak atas tanah-tanah tersebut. Walaupun
demikian, tanah-tanah tersebut juga masih merupakan
bagian dari tanah ulayat. Hal ini dapat terjadi karena
keraton tidaklah bisa dipandang sebagai suatu institusi
yang

berdiri

sendiri,

terpisah

dari

kehidupan

masyarakatnya. Keraton pada masyarakat AKUR Sunda
Cigugur,
masyarakat

merupakan
AKUR

entitas
Sunda

yang

Cigugur

mewakilkan
itu

sendiri.

Sehingga, adanya girik yang dimiliki oleh keraton,
bukanlah menjadi bukti hak atas tanah yang dimiliki
semata-mata oleh keraton, melainkan harus dipandang
lebih luas, yakni merupakan bukti hak atas tanah yang
dimiliki oleh seluruh masyarakat AKUR Sunda

21

Cigugur. Hal ini juga terbukti dalam sengketa yang saat
ini terjadi pada Leuweung Leutik dan tanah di belakang
SMP Trimulya, pihak yang menjadi penggugat bukan
hanya pihak dari keraton akur sunda cigugur yang
berada di Paseban Tri Panca Tunggal dalam hal ini
diwakili oleh Pangeran Djati Kusumah, melainkan juga
ais pangampih yang merupakan perwakilan anggota
masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa girik dalam
masyarakat AKUR Sunda Cigugur haruslah dimaknai
sebagai girik milik masyarakat secara komunal.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwasanya
pengaturan mengenai tanah ulayat masyarakat AKUR
Sunda

Cigugur

bukan

hanya

dipandang

dari

kepemilikan secara komunal yang terdapat dalam
UUPA, akan tetapi jauh lebih luas, yakni hak milik
keraton juga dapat menjadi dasar bagi keberadaan tanah
ulayat dengan menekankan aspek pemanfaatan bagi
masyarakat AKUR Sunda Cigugur itu sendiri. Hal ini
perlu mendapatkan perhatian khusus, karena dengan
lebih luasnya ketentuan mengenai tanah ulayat pada
masyarakat

AKUR Sunda Cigugur dibandingkan

hukum positif di Indonesia, berarti terdapat kekosongan
hukum terhadap ketentuan-ketentuan di luar hukum
positif tersebut. Artinya, perlindungan terhadap tanah
ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur belum
holistik dan komprehensif.

2. Ikatan terhadap tanah yang begitu kuat bagi seluruh pengikut atau
keluarga pengikut Pangeran Madrais.
Hal ini terbukti dengan adanya sengketa tanah Leuweung
Leutik dan tanah di belakang SMP Trimulya dimana para

22

penggugatnya ternyata bukan hanya berasal dari daerah Cigugur saja.
Terdapat ais pangampih yang berada di luar daerah Cigugur yang ikut
menjadi penggugat. Hal ini didasarkan adanya paradigma bahwa
“serangan” terhadap tanah keraton di Cigugur merupakan “serangan”
pula kepada mereka. Hal ini dapat terjadi karena ais pangampih yang
berada di luar Cigugur merupakan suatu kesatuan dengan masyarakat
AKUR Sunda Cigugur karena sama-sama pengikut Pangeran Madrais
dan penghayat Sunda Wiwitan. Ikatan-ikatan tersebut nyatanya tidak
dibatasi oleh garis-garis administrasi maupun batas geografis.
3. Pasal 3 UUPA yang dikhawatirkan dapat mereduksi atau bahkan lebih
parah, menghilangkan hak-hak ulayat masyarakat AKUR Sunda
Cigugur.
Pasal 3 UUPA sejatinya berisi rumusan bahwa di daerahdaerah di mana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali.
Di daerah-daerah di mana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan
dilahirkan hak ulayat baru. Dengan adanya rumusan seperti ini, maka
secara tidak langsung UUPA telah menutup ruang bagi lahirnya
tanah-tanah ulayat baru. Padahal, sebagaimana dipaparkan oleh Ratu
Dewi Kanti, manuskrip yang menjadi dasar pedoman hidup
masyarakat AKUR Sunda Cigugur, yang berisikan ketentuanketentuan mengenai wilayah-wilayah tanah ulayat, masih dalam
proses transliterasi. Artinya, hingga saat ini, wilayah-wilayah tanah
ulayat yang terdapat di dalam manuskrip tersebut belumlah
sepenuhnya

dapat

diketahui.

Seiring

dengan

adanya

proses

transliterasi tersebut, terdapat kemungkinan adanya lokasi-lokasi baru
yang ternyata merupakan bagian dari tanah ulayat. Di sinilah letak
permasalahan yang timbul, karena UUPA sudah menutup ruang bagi
munculnya tanah-tanah ulayat yang baru. Padahal, nyatanya, masih
terdapat kemungkinan penemuan-penemuan lokasi tanah ulayat yang
baru.
6.

Kesimpulan

23

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
i. Bahwa di dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur terdapat
hak ulayat serta tanah ulayat.
ii. Bahwa tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur
sangat kental dengan aspek historis dari keberadaan suatu tanah
ulayat tersebut.
iii. Bahwa konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda
Cigugur lebih luas dibandingkan dengan konsep tanah ulayat
pada UUPA.
iv. Bahwa perbedaan konsep tersebut terutama terletak pada
kepemilikan atas tanah serta pemanfaatan tanah ulayat tersebut
v. Dengan konsep tanah ulayat yang lebih luas dibandingkan
dengan UUPA, perlindungan terhadap tanah ulayat yang tidak
diatur dalam UUPA tersebut menjadi tidak ada. Hal ini
dikhawatirkan menimbulkan pereduksian, bahkan lebih parah,
dapat menghilangkan hak-hak ulayat masyarakat AKUR Sunda
Cigugur.

Terlebih

lagi

masih

adanya

kemungkinan

ditemukannya lokasi-lokasi baru yang menjadi tanah ulayat
berdasarkan manuskrip yang masih dalam proses transliterasi.

24