Tinjauan Hukum terhadap Manajemen Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Olah TKP

(1)

(2)

(3)

Nama : Farhan Aziz

Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 08-06-1992 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jl.Tubagus Ismail Dalam

Telepon : 088901742446

Email : Kingdom.pirates@gmail.com

Status : Belum Menikah

PENDIDIKAN FORMAL :

TK Tunas Muda Sukabumi : 1997-1999 SDN Nagasari IV Karawang : 1999-2004 SMP Negeri 138 Jakarta Timur : 2004-2007 SMA Negeri 1 Simpenan Sukabumi : 2007-2010 Universitas Komputer Indonesia : 2010-Sekarang PENGALAMAN KERJA


(4)

B. Identifikasi Masalah

...

10

C. Maksud dan Tujuan

...

11

D. Manfaat Kegiatan

...

11

E. Jadwal Penelitian

...

12

BAB II MANAJEMEN PENYIDIKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM OLAH TKP

...

13

A. Tinjauan Teoritis Terhadap Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penyidikan Tindak Pidana

...

13

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

13

a. Pengertian Polisi Secara Etimologis

...

13

b. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

14

c. Dasar Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

15

d. Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

15

2. Wewenang Penyidik POLRI Dalam Melakukan Penyidikan Menurut Peraturan Perundang-undangan

...

16

a. Definisi Wewenang

...

16

b. Definisi Penyidikan Menurut Pasal 1 Ayat (2) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

18

c. Penyidik dan Penyidik Pembantu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

19

1) Pengertian Penyidik Menurut Pasal 1 Ayat (1) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

19

a) Wewenang Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 7 Ayat (1) KUHAP

...

21

b) Syarat Menjadi Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

21

2) Pengertian Penyidik Pembantu Menurut Pasal 1 Ayat (3) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

...

23

a) Wewenang Penyidik Pembantu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal

...

25

b) Syarat Menjadi Penyidik Pembantu

...

26

3. Tindak Pidana

...

27

a. Definisi Tindak Pidana

...

27


(5)

B. Tinjauan Terhadap Satuan Reserse Kriminal Kepolisian

Resort Kota Besar Bandung

...

32 1. Sejarah Singkat Kepolisian Resort Kota Besar

(POLRESTABES) Bandung

...

32 2. Sejarah Singkat Satuan Reserse Kriminal

POLRESTABES Bandung

...

35 3. Struktur Organisasi SAT RESKRIM

POLRESTABES Bandung Unit II JATANRAS (Kejahatan dengan Kekerasan)

...

38 4. Lokasi Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES

Bandung

...

39

BAB III LAPORAN KEGIATAN KERJA PRAKTIK DI SAT

RESKRIM POLRESTABES BANDUNG

A. Tugas Harian

...

40

B. Tugas Pokok

...

41 1. Tata Cara Pembuatan BAP

2. Tata Cara Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka

...

42 3. Tata Cara Pengambilan Sidik Jari

...

44

BAB IV MANAJEMEN PENYIDIKAN KEPOLISIAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA PADA BERKAS PERKARA NOMOR B/233/XI/2013/RESKRIM

...

46 A. Penerapan Wewenang Penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia Dalam Melakukan Penyidikan

Pada Berkas Perkara Nomor

B/233/XI/2013/RESKRIM

...

46

B. Peran Olah Tempat Kejadian Perkara (Olah TKP) Dihubungkan Dengan Keyakinan Hakim di Persidangan

...

53

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

...

59


(6)

46

kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta karena ridho-Nya peneliti bisa dapat menyelesaikan laporan kerja praktik ini, serta salawat dan salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW (allahumma sholli ala saydina Muhammad wa’ala ali saydina Muhammad) yang telah menjadi contoh tauladan bagi umat manusia untuk memiliki keperibadian yang lebih baik.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Muntadhiroh Alchujjah, S.H., LLM sebagai pembimbing I dan Aiptu Bambang Syahindra sebagai pembimbing II, karena telah meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti saat dimulainya pengangkatan judul hingga penulisan laporan kerja praktik.

Peneliti menyadari dalam penyusunan laporan kerja praktik ini tidak terlepas dari kesalahan, sehingga Peneliti mengharapkan kritik dan saran.

Pada pembuatan laporan kerja praktik ini, Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Prof. Dr. Mien Rukmini, S.H., M.H.

2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia, Hetty Hassanah, S.H., M.H.

3. Koordinator Kerja Praktek, Arinita Sandria, S.H., M.Hum.

4. Ibu dan Ayah, yang selalu mendoakan peneliti untuk menyelesaikan tugas laporan kerja praktek.

5. Teman-teman satu perjuangan angkatan 2010 di Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang saling memberikan motivasi.


(7)

6. Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung yang telah menyediakan tempat dan waktunya untuk peneliti melakukan penelitian

Semoga penulisan laporan kerja praktek ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Amin ya Robbal alamin. Wassalam.

Bandung, 12 Februari 2014 Peneliti


(8)

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta 1996

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Departemen Kehakiman, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Jakarta 1983 Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987

Hari sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, 2008

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Putusan-putusan di Bidang Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Jakarta, 2013

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984 Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009 Soedjono Dirdjosisworo, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni, Bandung, 1982

Suharto, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai proses Penyelidikan Hingga Persidangan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999


(9)

B. Sumber Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PERKAP POLRI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutment dan Seleksi Penyidik

PERKAP POLRI Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

PERKAP POLRI Nomor 15 tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Surat Keputusan Kapolri, No.Pol:Skep/1205/IX/2000

C. Sumber Lain

Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya, 1995

Budi Setyawan, Tinjauan Yuridis Penanganan Perkara Penipuan, 2012

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, 2004

Indranas Gaho, Pertimbangan Polisi Dalam Menentukan Tindak Pidana Dan Tersangka Berdasarkan Bukti Permulaan Yang Cukup Dalam Penyalahgunaan Narkotika, 2012

Muhammad Andi Dirgantara, Peranan Polisi Sebagai Penyidik Dalam Mencari Bukti Pada Proses Penanganan Tempat Kejadian Perkara, 2011

Ni Luh Putu Miarmi, Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau, 2013


(10)

D. Situs Kbbi.web.id

http://reskrim-restabesbandung.blogspot.com/2012/05/sejarah-singakat-reskrim-polrestabes.html


(11)

1 A. Latar Belakang

Kerja praktik adalah penyelenggaraan perkuliahan yang pelaksanaannya merupakan implementasi teoritis materi perkuliahan terhadap dunia praktisi pekerjaan yang berkaitan di bidang hukum, dan untuk para mahasiswa dalam mengembangkan ilmunya.

Pelaksanaan kerja praktik merupakan salah satu usaha untuk menciptakan lulusan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) khususnya Fakultas Hukum yang berkualitas dan menjadi manusia yang seutuhnya yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sehingga dapat berguna dalam kehidupan bermasyarakat.

Kerja praktik di Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar (SAT RESKRIM POLRESTABES) Bandung, secara praktis memberikan pengalaman kerja di ruang lingkup instansi kepolisian untuk menegakkan norma hukum serta melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat.

Kerja praktik yang peneliti lakukan di SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung, dilaksanakan minimal 100 (seratus) jam sebagai salah satu syarat tugas akhir kerja praktik.

Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtstats).1 Konsep negara

hukum atau rechtstats tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai bentuk dari perwujudan Indonesia merupakan


(12)

negara hukum maka dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang salah satu dari perundang-undangan tersebut adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bagaimana cara beracara dalam Hukum Pidana.2

Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.3

Negara hukum memerlukan alat penegak hukum, dalam hal ini salah satu alat penegak hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang memiliki fungsi penegakan hukum (Law Enforcement Function) secara aktual (The Actual Enforcement), dengan meliputi tindakan:

1. Penyelidikan ; 2. Penyidikan ;

3. Penangkapan (arest) ;dan 4. Penahanan (detention).4

Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.5 Selanjutnya, pengertian Kepolisian

2Muhammad Andi Dirgantara, Peranan Polisi Sebagai Penyidik Dalam Mencari Bukti

Pada Proses Penanganan Tempat Kejadian Perkara, 2011

3Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Dep. Kehakiman, Jakarta, 1983, hlm 3 4M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar

Grafika, Jakarta, 2010, hlm 90


(13)

tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa:

“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pengertian mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan:

“(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri ;

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia tercantum di dalam Pasal 13 huruf a, b, dan c, yang menyebutkan:

“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pada saat melaksanakan tugas pokok yang disebutkan pada Pasal 13 huruf a, b, dan c, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas yang harus dijalankan menurut Pasal 14 ayat (1), yaitu:

“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;


(14)

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan

teknis terhadap kepolisiankhusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta;

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan penyidik dan penyidik pembantu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap peristiwa tindak pidana sebagai tugas dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menegakkan hukum, konstitusi memberi hak istimewa (hak privilese) kepada POLRI untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.

Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dapat melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip setiap tersangka berhak diselidiki atas landasan sesuai dengan hukum (the


(15)

right of due proccess). Prinsip the right of due proccess bersumber dari cita-cita negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is supreme) yang menegaskan pemerintah di perintah oleh hukum dan bukan oleh orang (government of law and not of men).

Bertitik-tolak dari prinsip di atas, POLRI dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penyidikan harus berpatokan dan berpegang pada ketentuan khusus (special rule) yang diatur oleh Hukum Acara Pidana (criminal prosedure) yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana nomor 8 tahun 1981 (KUHAP).6

Kegiatan pertama yang dilakukan dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah penyelidikan dan penyidikan.7 Tindakan penyelidikan dan

penyidikan dimaksudkan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar suatu tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang dan jelas, serta dapat menemukan dan menentukan siapa pelakunya.8 Bagian-bagian hukum

acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah melakukan tindakan pertama tempat kejadian perkara dan olah TKP.9 Definisi Tempat Kejadian

Perkara atau TKP menurut pasal 1 ayat (19) PERKAP POLRI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu:

“Tempat Kejadian Perkara adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.”

6Op.Cit, hlm 95

7Indranas Gaho, Pertimbangan Polisi Dalam Menentukan Tindak Pidana Dan

Tersangka Berdasarkan Bukti Permulaan Yang Cukup Dalam Penyalahgunaan Narkotika, 2012

8Budi Setyawan, Loc.Cit

9Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996,


(16)

Definisi Olah Tempat Kejadian Perkara (Olah TKP) terdapat pada Petunjuk Lapangan dan Petunjuk Tekhnis (JUKLAK dan JUKNIS) No.Pol:Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara, yang menyebutkan:

“Pengolahan tempat kejadian perkara adalah tindakan penyidik/penyidik pembantu untuk memasuki tempat kejadian perkara dalam rangka melakukan pemeriksaan TKP, mencari informasi tentang terjadinya tindak pidana, mengumpulkan/mengambil/membawa barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi untuk diambil alih penguasaannya atau menyimpan barang bukti tersebut guna kepentingan pembuktian.”

Pengolahan tempat kejadian perkara yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu diharapkan dapat menemukan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana serta menemukan pelakunya.10Hasil penyidikan pada

Olah TKP dapat menjadikan petunjuk bahwa dalam suatu TKP telah terjadi peristiwa tindak pidana, dari hasil tersebut dapat ditemukan barang bukti yang diduga telah digunakan atau ditinggalkan pelaku tindak pidana, sehingga setelah semua laporan penyelidik dilimpahkan kepada penyidik mengenai adanya suatu persitiwa tindak pidana, baru dapat dilakukan tindakan penyidikan untuk barang bukti dan menemukan pelaku.

Barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara dapat dijadikan sebagai penguat keterangan terdakwa, keterangan terdakwa merupakan salah satu dari ke-5 alat bukti yang sah untuk meyakinkan Hakim dipersidangan dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, sebagai mana yang terdapat didalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:11

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

10 Muhamma Andi Dirgantara, Op.Cit, hlm 5 11 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 151


(17)

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Melihat begitu pentingnya suatu alat bukti yang nantinya akan menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak di persidangan maka pengolahan tempat kejadian perkara sangat dibutuhkan pada suatu tindak pidana agar barang bukti yang didapatkan dari tempat kejadian perkara dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan tersangka serta menjadi kekuatan bagi ke-5 alat bukti yang pada saat persidangan sangat mempengaruhi keyakinan hakim dalam melakukan putusan bersalah terhadap terdakwa.

Mengenai kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipatuhi di dalam manajemen penyidikan tindak pidana. Prinsip-prinsip tersebut tercantum pada Pasal 3 Perkap POLRI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu:

“a. Legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Profesional, yaitu penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang penyidikan sesuai kompetensi yang dimiliki;

c. Proporsional, yaitu setiap penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya;

d. Prosedural, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;

f. Akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; dan

g. Efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah dan tuntas.”


(18)

Sehubungan dengan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penyidik, dan penyidik pembantu dalam melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara (Olah TKP), maka peneliti mengambil studi kasus di POLRESTABES BANDUNG. Selanjutnya, peneliti tertarik terhadap sebuah kasus pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Sri Erna Evalita yang dilakukan oleh tersangka Pian Sopian, korban beralamat di Komplek Perluasan Jalan Terusan Arcamanik Endah, Rt. 05/Rw. 01, Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung. Pada saat itu yang menangani perkara adalah SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung, terlebih dahulu laporan mengenai dugaan tindak pidana tersebut ditangani oleh Unit II JATANRAS SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung.

Pada kasus tersebut, penyidik dan penyidik pembantu melakukan Tindakan Pertama Tempat Kejadian Perkara (TPTKP) yang selanjutnya melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara (Olah TKP) guna menemukan barang bukti yang digunakan pelaku untuk melakukan pencurian serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Sri Erna Evalita.

Saat peristiwa terjadi tidak ada saksi yang melihat. Peristiwa tersebut baru diketahui ketika anak dan suami korban datang kerumah sepulangnya dari sekolah anak korban. Korban diketahui oleh suami dan anaknya sudah terbaring di kamar mandi dengan keadaan hanya memakai baju dan tangan yang terikat ke belakang serta kepala hancur berlumuran darah. Setelah suami dan anak korban melihat kejadian tersebut lalu mereka berdua melaporkan kejadian tersebut ke unit II JATANRAS Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Bandung. Petugas unit II JATARNAS yang saat itu sedang melakukan piket langsung mendatangi lokasi dengan di dampingi


(19)

oleh unit identifikasi sebagai bantuan teknis Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung untuk melakukan pengamanan lokasi agar tetap menjadi status quo (kondisi TKP tidak berubah atau rusak) dan memasang garis polisi.

Ketiadaan saksi yang melihat kejadian tersebut tentulah menyulitkan bagi pihak kepolisian untuk segera mencari dan menangkap pelakunya, sehingga untuk memecahkan peristiwa tersebut, dibutuhkan suatu proses pengolahan tempat kejadian perkara guna mencari dan menemukan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan kejadian tersebut dan merupakan langkah dari penyidikan, sehingga dengan adanya bukti tersebut dapat mengarahkan penyidik untuk menyidik peristiwa tindak pidana agar menjadi terang sehingga dapat menemukan pelakunya beserta cara dan maksud dari pelaku melakukan tindak pidana tersebut. Guna kepentingan administrasi penyidikan, dari hasil bukti-bukti yang didapat lihat dilapangan, dapat diketahui apakah perbuatan pelaku tersebut merupakan tindak pidana yang bersifat kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culva), sehingga akan menentukan pasal apakah yang nantinya akan dipergunakan oleh penuntut umum dalam menuntut pelaku.

Dari penelitian yang dilakukan saat melakukan kerja praktik, ditemukan beberapa langkah dalam melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara, yaitu : melakukan pengamatan umum (general observation ); pemotretan dan pembuatan sketsa; penanganan korban, saksi dan pelaku; penanganan barang bukti.12


(20)

Kendala-kendala yang dihadapi oleh Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Bandung antara lain :

a) Kendala mengenai mengungkap pelaku tindak pidana b) Kurangnya saksi saat peristiwa tindak pidana tersebut

terjadi. Pada saat peristiwa tindak pidana itu terjadi, tidak ada saksi yang melihat atau mengetahui bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Sri Erna Evalita, yang ada hanyalah dua orang saksi yang mengetahui sesaat setelah tindak pidana itu terjadi, sehingga menyulitkan pihak penyidik untuk mendapatkan suatu petunjuk yang mengacu kepada pelaku.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik mengangkat judul “Tinjauan Hukum Terhadap Manajemen Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Olah TKP”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat 2 pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana penerapan wewenang penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan pada berkas perkara Nomor B/233/XI/2013/RESKRIM ?

2. Bagaimana peran Olah Tempat Kejadian Perkara (Olah TKP) pada berkas perkara Nomor B/233/XI/2013/RESKRIM dihubungkan dengan keyakinan hakim di persidangan ?


(21)

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dan Tujuan penelitian di Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung, yaitu :

1. Untuk meneliti implementasi wewenang penyidik Unit II JATANRAS Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Bandung dalam melakukan penyidikan pada berkas perkara Nomor B/233/XI/2013/RESKRIM.

2. Untuk mengetahui hubungan antara peran Olah TKP pada berkas perkara Nomor B/233/XI/2013/RESKRIM dengan keyakinan hakim di persidangan.

D. Manfaat Kegiatan

Penulisan laporan kerja praktik ini, diharapkan memberikan manfaat untuk:

1. Mahasiswa

Memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang manajemen penyidikan POLRI dalam melakukan Olah TKP, sehingga menjadi kajian ilmiah bagi para mahasiswa.

2. Masyarakat

Masyarakat sebagai tempat peneliti untuk mengimplementasikan ilmu yang peneliti dapat.

3. Universitas

Sebagai apresiasi atas laporan kerja praktik di Kepolisian Resort Kota Besar Bandung (POLRESTABES Bandung) terhadap Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.


(22)

4. SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung

Peneliti membantu instansi Kepolisian untuk memberikan pengetahuan mengenai wewenang penyidik dan penyidik pembantu dalam melakukan Olah TKP beserta manfaatnya, terhadap penyelesaian perkara pidana secara transparan kepada masyarakat. E. Jadwal Penelitian

Peneliti melampirkan agenda jadwal kegiatan penelitian yang dilakukan selama 107 Jam Kerja Praktik (KP) di Kepolisian Resort Kota Besar Bandung, terhitung sejak hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 sampai dengan hari Kamis tanggal 28 November 2013.

Agenda Jadwal Penelitian BULAN

NO KEGIATAN SEP

2013

OKT 2013

NOV 2013

DES 2013

JAN 2014

FEB 2014 1 Persiapan dan Kerja

Praktik

2 Persiapan Penulisan Laporan Kerja Praktik 3 Pengumpulan Data 4 Bimbingan

5 Pengolahan Data 6 Analisis Data 7 Penyusunan Hasil

Kerja Praktik Ke Bentuk Laporan 8 Sidang Komprehensif 9 Perbaikan

10 Penjilidan 11 Pengesahan


(23)

13

INDONESIA DALAM OLAH TKP

A. Tinjauan Teoritis Terhadap Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penyidikan Tindak Pidana

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia a. Pengertian Polisi Secara Etimologis

Kata polisi telah dikenal dalam bahasa Yunani, yaitu Politeia. Politeia digunakan sebagai judul buku pertama Plato, yakni Politeia yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan di junjung tinggi.13

Pengertian Police dalam Black’s Law Dictionary adalah : “The governmental department charged with the preservation of public order, the promotion of public safety, and the prevention and detection of crime.”

Pengertian Police menurut Black’s Law Dictionary di atas, yaitu tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai departemen pemerintahan atau bagian dari pemerintahan untuk memelihara keamanan ketertiban, ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Polisi adalah:14

1) Badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang) ;dan

13Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif terhadap

Unsur-unsurnya, 1995


(24)

2) Anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga kemanan).

Berdasarkan pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Polisi adalah anggota atau badan pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.

b. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pengertian Kepolisian menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian adalah:

“...Segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Definisi Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan:

“(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri;

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Berdasarkan pengertian Kepolisian dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat disimpulkan


(25)

bahwa Kepolisian Negara Republik adalah alat negara yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi nasional untuk berperan melayani masyarakat dalam ruang lingkup memelihara keamanan dan ketertiban serta menegakkan hukum.

c. Dasar Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dasar hukum yang berkaitan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Surat Keputusan KAPOLRI. d. Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Seperti yang tercantum di dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 2, menyebutkan:

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”


(26)

2. Wewenang Penyidik POLRI Dalam Melakukan Penyidikan Menurut Peraturan Perundang-undangan

a. Definisi Wewenang

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang dalam bentuk kata benda pada istilah hukum Belanda diartikan sebagai “bevoegheid”. Jika dicermati, terdapat perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah wewenang (bevoegheid) yang terletak pada karakter hukumnya, kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal atau kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya sebagai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Pada kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).15

Secara teoritis, kewenangan/wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai hal tersebut, H.D. Van Wijk/Willem Konijnbelt mendefinisikan sebagai berikut:16

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ/badan pemerintahan (toekening van een bestuurs bevoeg heid door een wetgever an een bestuurs orgaan) ;

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya (overdracht van een bevoegheid van het een bestuurs orgaan aan een ander) ;

3) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (een bestuurs orgaan isst zijn

15Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, 1987, hlm 20

16H.D. Van Wijk.,Willem Konijnbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht, Dalam Ni Luh Putu Miarmi, Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau, 2013


(27)

bevoegheid namenskem vitoevenen door een ander).

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.17 Pendapat lain menyebutkan wewenang adalah

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik (Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer).18

Berdasarkan pengertian kewenangan dan wewenang yang sudah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian sebagai kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang. Sebagai contoh bahwa Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penyidikan, hal tersebut yang dikatakan sebagai kewenangan. Berbeda dengan kewenangan, maka wewenang mengandung pengertian suatu spesifikasi atau eksplisit dari ruang lingkup kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

17Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie

Lotulung, Himpunan Putusan-putusan di Bidang Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Jakarta, 2013

18Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan


(28)

b. Definisi Penyidikan Menurut Pasal 1 Ayat (2) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Definisi penyidikan menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”

Selain terdapat di dalam KUHAP, pengertian penyidikan terdapat pada Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Berdasarkan pengertian penyidikan yang telah dijelaskan, penyidikan memiliki arti sebagai tindakan penyidik pada suatu peristiwa tindak pidana untuk mendapatkan keterangan tentang:19

1) Tindak pidana apa yang terjadi (what); 2) Kapan tindak pidana itu terjadi (when); 3) Di mana tindak pidana itu terjadi (where);

4) Siapa yang menjadi korban dan pelaku pada tindak pidana tersebut (who);

5) Mengapa pelaku melakukan tindak pidana tersebut (why);

6) Dengan alat atau cara apa pelaku melakukan tindak pidana tersebut (with);

7) Bagaimana pelaku melakukan tindak pidana tersebut (how).

19Soedjono Dirdjosisworo, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni,


(29)

c. Penyidik dan Penyidik Pembantu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

Polisi sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat, berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia serta ketertiban dan kepastian hukum, dalam rangka penegakan hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan tugas-tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu baik oleh fungsi reserse maupun fungsi operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan secara profesional.20

1) Pengertian Penyidik Menurut Pasal 1 Ayat (1) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pengertian penyidik di dalam KUHAP terdapat pada Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan:

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Selain terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP, pengertian penyidik diatur pada Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 2

20Suharto, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai proses


(30)

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan:

“Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.“

Secara umum, maka yang berhak untuk melakukan tindakan penyidikan pada suatu kasus tindak pidana umum dan menjadi pejabat penyidik penuh adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena pada dasarnya wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP hanya melakukan tugas penyidikan pada kasus tindak pidana khusus yang bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya.21

Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, undang-undang pidana khusus memberikan wewenang kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan, sebagai contoh Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang menegaskan bahwa kewenangan melakukan penyidikan Tindak Pidana Merek dilimpahkan kepada PPNS.22 Berdasarkan isi Pasal 80

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, dapat disimpulkan PPNS hanya melakukan tindakan penyidikan pada suatu tindak pidana tertentu atau khusus, sehingga jika didalam kasus tindak

21M.Yahya.Harahap. Op.Cit, hlm 113 22Ibid


(31)

pidana umum seperti pembunuhan atau tindak pidana umum lainnya, yang berwenang melakukan penyidikan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.

a) Wewenang Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 7 Ayat (1) KUHAP

Menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP, wewenang penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di

tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan

diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”

b) Syarat Menjadi Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

Menjadi penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki syarat berdasarkan kepangkatan yang diatur oleh peraturan. Syarat menjadi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia tercantum di dalam Pasal 2A ayat (1) PP. Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan


(32)

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan bahwa syarat menjadi penyidik adalah:

“(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan:

a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;

b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;

c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. Memiliki kemampuan dan integritas moral

yang tinggi.”

Dapat dengan jelas terlihat di dalam Pasal 2A PP. Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa syarat menjadi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut pangkat jabatan adalah berpangkat Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu.


(33)

2) Pengertian Penyidik Pembantu Menurut Pasal 1 Ayat (3) KUHAP Juncto Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Penyidik pembantu merupakan penyidik yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan seperti halnya penyidik penuh, akan tetapi dalam hal melakukan wewenangnya tersebut tetap saja memiliki batasan wewenang yang tidak sepenuhnya dimiliki seperti halnya wewenang penyidik penuh. Terdapat beberapa pertanyaan dari berbagai kalangan mengenai adanya penyidik pembantu dalam hal melakukan penyidikan, dikarenakan pertanyaan tersebut merujuk kepada tumpah tindih wewenang penyidikan antara penyidik penuh dengan penyidik pembantu. Oleh karena itu untuk membedakan wewenang antara penyidik penuh dengan penyidik pembantu dapat melihat wewenang yang telah diuatur oleh Undang-Undang. Sebelum membahas mengenai wewenang penyidikan, penulis akan membahas pengertian penyidikan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 KUHAP, yang mana menjelaskan bahwa penyidik pembantu adalah :

“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.”

Sedangkan penyidik pembantu menurut Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia


(34)

berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.”

Untuk mengklasifikasikan perbedaan penyidik penuh dengan penyididik pembantu, maka dapat dipahami alasan buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:23

a) Disebabkan terbatasnya tenaga POLRI yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah terpencil masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara; b) Seandainya syarat kepangkatan pejabat

penyidik sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua POLRI (dalam PP nomor 58 tahun 2010 tentang pelaksanaan KUHAP telah diubah menjadi Inspektur Dua Polisi), sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidik pembantu adalah membantu proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik penuh yang sudah berpangkat minimal perwira, sehingga penyidik penuh dalam melakukan suatu proses penyidikan dapat lebih menghemat waktu dan mempercepat proses penyelesaian perkara pidana ditingkat kepolisian.


(35)

a) Wewenang Penyidik Pembantu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal

Secara garis besar bahwa wewenang penyidik pembantu dalam hal melakukan penyidikan hampir sama keseluruhan wewenangnya dengan penyidik penuh, kecuali sepanjang penahanan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 11 KUHAP, yang menyebutkan :

“Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.”

Pasal 7 ayat 1 memuat wewenang penyidik penuh, sehingga dapat disimpulkan menurut penjelasan pada Pasal 11 KUHAP bahwa penyidik pembantu memiliki wewenang yang sama dengan penyidik penuh. Setelah melakukan tugas penyidikan, penyidik pembantu harus membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik untuk selanjutnya penyidik menyempurnakan dan menyerahkannya kepada penuntut umum. Penyidik pembantu dapat menyerahkan berkas acara kepada penuntut umum hanya pada perkara dengan acara pemeriksaan yang singkat.


(36)

b) Syarat Menjadi Penyidik Pembantu

Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, syarat seorang penyidik pembantu berdasarkan pangkat jabatan Kepolisian, adalah :

“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; b. Mengikuti dan lulus pendidikan

pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

c. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;

d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.”

Berdasarkan syarat kepangkatan menurut Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 58 Tahun 2010, maka terdapat perbedaan pangkat jabatan antara penyidik dengan penyidik pembantu kepolisian, karena penyidik pembantu kepolisian berpangkat minimal brigadir dua, sedangkan penyidik penuh berpangkat Inspektur Dua Polisi atau perwira.


(37)

3. Tindak Pidana

a. Definisi Tindak Pidana

Pembentukan undang-undang telah menggunakan perkataan “Strafbaar Feit” untuk menyebutkan perkataan yang dikenal sebagai Tindak Pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan “Strafbaar Feit” tersebut. Perkataan “Feit” sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan (een gedeelte van de werkelijkheid), sedangkan “Strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat diterjemahkan sebagai dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, namun demikian terjemahan tersebut dapat dikatakan tidak tepat dikarenakan yang dapat dihukum tersebut sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.24

Perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.25

Arti dari pidana atau “straf” menurut hukum positif dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang

24P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1997, hlm 181


(38)

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.26

Pidana atau “straf” sebagai alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana.27

Berdasarkan pendapat di atas, pengertian tindak pidana adalah perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana dan aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut, maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, orang tersebut dikatakan sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana.

Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang dan atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Dilarang dan diancamnya suatu perbuatan harus berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), yaitu asas yang menentukan bahwa

26Van Hammel, Dalam Idem, Hukum Penitensier Indonesia, cetakan ketiga,

CV.Armico, Bandung, 1984, hlm 34


(39)

tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, asas tersebut dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).28

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan, untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan Pasal yang mengaturnya.29

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Pengertian dari unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya, sedangkan unsur objektif

28Yani Brilyani Tavipah, Penyampaian Materi Mata Kuliah Hukum Pidana

Internasional, Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013


(40)

adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan tindakan pelaku harus dilakukan. Berikut ini adalah uraian unsur-unsurnya:30

1) Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana: a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau

culva);

b) Maksud (voornmen) pada suatu percobaan (poging);

c) Macam-macam maksud (oognmerk). Misalnya seperti yang terdapat pada kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

d) Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad);

e) Perasaan takut (vress).

2) Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana: a) Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid); b) Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai

seorang pegawai negeri;

c) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Berdasarkan uraian unsur-unsur tindak pidana di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila di dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur subjektif dan unsur objektif.

c. Tindak Pidana Pencurian Di Sertai Dengan Kekerasan

Tindak Pidana Pencurian di Sertai Dengan Kekerasan diatur pada Pasal 365 ayat (1) dan (2) KUHP. Pasal 365 ayat (1) menjelaskan bahwa :

(1) Tindak pidana pencurian yang didahuli, disertai atau diikuti dengan kekerasan akan diancam hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun, dengan maksud akan memudahkan atau menyiapkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau kawannya yang urut melakukan


(41)

kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.

Pada pengertian pasal 365 ayat (1) tersebut, tindak pidana pencurian disertai dengan kekerasan adalah suatu tindak pidana melakukan pencurian terhadap barang milik orang lain serta melakukan kekerasan terhadap orang tersebut dan maksud daripada melakukan kekerasan tersebut adalah untuk meloloskan diri atau untuk melarikan diri setelah melakukan pencurian.

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP, adalah:

1) Pencurian;

2) Didahului atau disertai atau diikuti Kekerasan atau ancaman kekerasan;

3) Terhadap orang;

4) Dilakukan dengan maksud untuk :

a) Mempersiapkan dan/atau Memudahkan;

b) Untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau tersangka lain;

c) Untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicari.

Ancaman pidana terhadap pelaku pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain terdapat pada Pasal 365 ayat (3), yang menyebutkan:

“Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Unsur yang terdapat di dalam Pasal 365 ayat (3) adalah mengakibatkan mati atau hilangnya nyawa seseorang, sehingga pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang tidak dapat dikatakan sebagai pembunuhan, dikarenakan niat (meensrecth) pelaku dalam melakukan tindak pidana


(42)

tersebut adalah melakukan kekerasan untuk meloloskan diri atau mempermudah penguasaan terhadap barang yang dicurinya.

B. Tinjauan Terhadap Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Bandung

1. Sejarah Singkat Kepolisian Resort Kota Besar (POLRESTABES) Bandung

Bangunan Gedung POLRESTABES Bandung yang bertempat di Jl. Merdeka No. 16, 18 dan 20 Bandung, didirikan pada tahun 1866, dulunya berfungsi sebagai Sekolah Guru (Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzers) yang didirikan atas inisiatif seorang kewarganegaraan Belanda, bernama K.F. Hole sebagai Administratur Perkebunan Teh Waspada di Gunung Cikuray, Bayongbong, Garut. Pada sekolah inilah pernah belajarnya tokoh-tokoh nasional, seperti Abdulharis Nasution, Otto Iskandardinata dan yang lainnya. Dilihat dari sejarah berdirinya POLRESTABES Bandung, dimulai pada tahun 1966, dimana belum adanya polsekta-polsekta, Kepolisian di Bandung pada tahun tersebut berdiri dengan nama ”Komtabes-86 Bandung” dengan pembagian wilayah hukum pada saat itu terdiri dari :

a. Seksi I di Jl. Dalam Kaum, Alun-alun Bandung b. Seksi II di Jl. Sawung Galing Bandung

c. Seksi III di Jl. Pasirkaliki Bandung

d. Seksi IV di Jl. Asia Afrika (Simpang Lima) Bandung

Pada tahun 1970, nama Komtabes-86 Bandung berganti nama menjadi ”POLTABES Bandung” (Kepolisian Kota Besar) dengan


(43)

pembagian wilayah hukum pada saat itu terdiri dari 16 (enam belas) Polsekta (Kepolisian Sektor Kota), yaitu:

a. Bandung Kulon; b. Babakan Ciparay; c. Bojong Loa; d. Astana Anyar; e. Andir;

f. Cicendo; g. Sukajadi; h. Sukasari; i. Cidadap; j. Cihapit; k. Coblong; l. Regol; m. Lengkong; n. Batununggal; o. Kiaracondong, dan; p. Cibeunying.

Setelah 18 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1998, dimana pada saat itu Kotamadya Bandung mengalami pemekaran, nama POLTABES Bandung dirubah menjadi “POLWILTABES Bandung” (Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung) yang membawahi tiga Kepolisian Resor Kota (Polresta) yaitu sebagai berikut:

1) POLRESTA Bandung Barat, membawahi 8 Kepolisian Sektor Kota (POLSEKTA), yakni :

a) Polsekta Andir; b) Polsekta Cicendo; c) Polsekta Sukasari; d) Polsekta Astana Anyar; e) Polsekta Bandung Kulon; f) Polsekta Babakan Ciparay; g) Polsekta Bojongloa Kidul; h) Polsekta Bojongloa Kaler;

2) POLRESTA Bandung Tengah, membawahi 9 Kepolisian Sektor Kota (POLSEKTA), yakni:

a) Polsekta Regol; b) Polsekta Cidadap; c) Polsekta Coblong; d) Polsekta Lengkong; e) Polsekta Kiaracondong; f) Polsekta Bandung Wetan;


(44)

g) Polsekta Sumur Bandung; h) Polsekta Cibeunying Kaler. i) Polsekta Cibeunying Kidul

3) POLRESTA Bandung Timur, membawahi 7 Kepolisian Sektor Kota (Polsekta), yakni :

a) Polsekta Cibiru b) Polsekta Rancasari c) Polsekta Antapani d) Polsekta Arcamanik e) Polsekta Buah Batu f) Polsekta Bandung Kidul g) Polsekta Ujung Berung

Kemudian ada perubahan nama Polsekta di wilayah Bandung Timur berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Jabar No. Pol. : Skep/567/VIII/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Perubahan Nama Polsek Jajaran Polda Jabar, sebagai berikut:

a) Nama Polsek Kota Cicadas berubah menjadi Polsek Kota Antapani.

b) Nama Polsek Kota Margacinta berubah menjadi Polsek Kota Buah Batu.

Seiring berjalannya waktu nama POLWILTABES Bandung berganti nama menjadi Polisi Resort Kota Besar Bandung atau Polrestabes Bandung yaitu pada Juli 2010. Berdasarkan KEP. KAPOLRI Nomor : KEP / 366 / VI / 2010 Tanggal 14 Juni 2010 dan Validasi Polresta Bandung Barat, Polresta Bandung Tengah Dan Polresta Bandung Timur. Berdasarkan KEP/366/VI/2010 POLRESTABES membawahi 26 Polsekta antara lain :

a) Polsekta Sukasari b) Polsekta Cicendo c) Polsekta Andir

d) Polsekta Astana Anyar e) Polsekta Bandung Kulon f) Polsekta Babakan Ciparay g) Polsekta Bojongloa Kaler h) Polsekta Bojongloa Kidul i) Polsekta Cidadap


(45)

j) Polsekta Coblong

k) Polsekta Sumur Bandung l) Polsekta Bandung Wetan m) Polsekta Lengkong n) Polsekta Regol

o) Polsekta Kiaracondong p) Polsekta Cibeunying Kaler q) Polsekta Cibeunying Kidul r) Polsekta Cicadas

s) Polsekta Antapani t) Polsekta Arcamanik u) Polsekta Gedebage v) Polsekta Buahbatu w) Polsekta Bandung Kidul x) Polsekta Ujung Berung y) Polsekta Cibiru

z) Polsekta Cinambo

2. Sejarah Singkat Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung Sejarah terbentuknya Satuan Reserse tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Kepolisian Resor Kota Besar Bandung.Seksi I Komtabes menjadi awal mulanya terbentuk Satuan Reserse, dimana pada saat itu sebagai satuan yang menangani masalah kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Kotamadya Bandung. Satuan ini mempunyai reputasi yang cukup membanggakan dalam mengungkap perkara-perkara besar, yang salah satunya menjadi trending topic pada masa itu adalah penangkapan tersangka curas MAT PECI, salah seorang pelaku Pencurian dengan Kekerasan (Curas) yang sulit ditangkap dan sangat ditakuti masyarakat, karena dengan berbagai aksi-aksinya dalam melakukan perampokan. Komandan Sat Serse (DANSAT SERSE) nya pada saat itu adalah Mayor PolTONI SUGIARTO.Kantor Seksi I pada saat itu berada di Jl. Dalem Kaum Bandung (Sekarang Plaza Dalem Kaum) sampai dengan tahun 1978. Kemudian pada 01 Juli 1978, Seksi I Komtabes Bandung pindah ke


(46)

Jl. Merdeka No. 18-20 Bandung.31 Seiring dengan bergantinya

namaKomtabes 86 Bandung menjadi Poltabes Bandung dan Seksi I pun berganti nama menjadi Satuan Reserse, namun satuan ini lebih dikenal dengan sebutan SATRES Jalan Jawa, mengingat lokasi kantornya yang menghadap ke Jalan Jawa Kota Bandung.Pada saat melaksanakan tugasnya serta memudahkan wasdal maka satuan reserse terdiri dari unit-unit sesuai kebutuhan pada saat itu yang terdiri 5 Unit yang menangani Tindak Pidana Umum, yaitu 1 Unit yang menangani Tindak Pidana Narkotika dan Susila dan 1 Unit yang menangani masalah Tindak pidana Ekonomi. Namun demikian sesuai dengan tuntutan serta dinamika tugas yang berkembang dimasyarakat maka Unit-Unit ini juga beberapa kali mengalami perubahan nama yaitu:

1. Unit Resum, menangani Tindak Pidana Umum

2. Unit Udpal, Menangani Tindak Pidana Uang dan Dokumen Palsu

3. Unit Tipiter dan Korwas PPNS, Menangani Tindak Pidana Tertentu dan Perkara yang ditangani oleh PPNS

4. Unit Ekonomi, Menangani Tindak Pidana Ekonomi 5. Unit Ranmor, menangani Tindak kejahatan yang

berkaitan dengan Curanmor dan pemalsuan surat-surat kendaraan bermotor

6. Unit Narkotika, Menangani Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

7. Unit Jatanras, Menangani tindak pidana kejahatan dengan kekerasan

Selain Unit-unit operasional Satuan Reserse juga mempunyai unit identifikasi yang bertugas memberikan bantuan teknis dalam mengungkap perkara secara Scientific Crime (Olah TKP, menemukan dan mengambil sidik jari laten di TKP, dll), kemudian berdasarkan Skep Kapolri pada tahun

31Sumber:


(47)

1999 dibentuk unit khusus yang menangani Anak dan Perempuan sebagai korban kejahatan serta tindak pidana KDRT. Pada tahun 2002 perubahan terhadap struktur organisasi Polri dimana Satuan Reserse dibagi menjadi dua Satuan yaitu :32

1. Satuan Reserse Kriminal, yang menangani tindak pidana umum 2. Satuan Reserse Narkoba, menangani Tindak pidana Narkotika

dan Obat Terlarang

Masing-masing Satuan tersebut secara struktur organisasi berdiri sendiri dengan dipimpin oleh Kepala Satuan (disingkat Kasat) dengan pangkat Pamen (AKBP). Selanjutnya pada bulan Juli 2010 Struktur Organisasi Polwiltabes Bandung berubah menjadi Polrestabes Bandung namun Satuan Reserse Kriminal dan Satuan Reserse Narkoba tidak mengalami perubahan, hanya mako Sat Narkoba yang tadinya berada satu atap dengan Sat Reskrim pindah menempati ex mako Polresta Bandung Barat di Jl. Sukajadi Bandung.33

Gedung Satuan Reserse Kriminal yang saat ini digunakan diresmikan penggunaannya pada 1 Juli 1978 oleh Kadapol VIII Jabar/LLB MAYJEN DRS. MURYONO.

32Ibid 33Idem


(48)

3. Struktur Organisasi SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung Unit II JATANRAS (Kejahatan dengan Kekerasan)

Pada sub bab struktur organisasi ini terdapat susunan jabatan beserta kepangkatan pejabat kepolisian yang berwenang di tempat penulis melakukan kerja praktek. Berikut struktur organisasinya :

KASAT RESKRIM

AKBP., TRUNOYUDO ANDIKO, SIK

.

WAKASAT RESKRIM

KOMPOL., INDRA GUNAWAN, SIK., MH

.

KAUR BIN OPS

AKP., ESTI PRATIWI, SH., MH.

KANIT II JATARNAS

AKP SYAFEI, SH

KASUBNIT II

IPDA NASRUN

PAUR IDENTIFIKASI

AIPTU., DADANG KS

.

SIE

PHOTOPOL

SIE

DAKTIUM

SIE

DAKTIKRIM


(49)

4. Lokasi Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung

Polisi Resort Kota Besar Bandung (Polrestabes) Alamat : Jln. Merdeka No.18-20 Kota Bandung

No Telp:

Piket SPKT: 022-4207100 Piket K3I: 022-4209100 Piket Reskrim: 022-4203501 Piket Intelkam: 022-4204666 Piket Lantas: 022-4203505 Piket Narkoba: 022-2031181 Piket Bimas: 022-7279334 Piket Sabhara: 022-7271115 Piket Propam: 022-4219312


(50)

40

DI SAT RESKRIM POLRESTABES BANDUNG

A. Tugas Harian

1. Piket

Peneliti melakukan piket atau jaga di dalam Unit Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung dengan sistem tukar (change system) dengan peneliti lain yang pada saat itu satu instansi untuk melakukan penelitian. Berikut jadwal piket berdasarkan tanggal dan waktu:

No. Hari dan Tanggal Pukul Ruang Piket 1. Kamis, 17 Oktober 2013 08.00-15.00 Unit Reserse Umum 2. Rabu, 23 Oktober 2013 07.30-17.00 Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak 3. Jumat, 08 November 2013 07.00-13.00 Unit Ekonomi 4. Kamis, 14 November 2013 07.00-16.00 Unit Identifikasi

(INAFIS) 5. Kamis, 28 November 2013 07.00-11.00 Unit Kejahatan dan

Kekerasan (JATANRAS) 2. Bimbingan

Bimbingan merupakan sebuah kegiatan untuk mendiskusikan hasil penelitian dengan pembimbing instansi. Pada saat itu pembimbing peneliti di SAT RESKRIM POLRESTABES Bandung adalah Brigadir Hendro yang menjabat sebagai moderator rapat gelar perkara, dan AIPTU., Bambang yang menjabat sebagai Urusan Administrasi (UR. Adm)


(51)

B. Tugas Pokok

1. Tata Cara Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di TKP

Berita Acara Pemeriksaan di TKP merupakan Berita Acara yang dibuat oleh penyidik dan penyidik pembantu yang bertugas melakukan pemeriksaan di TKP tindak pidana, untuk selanjutnya BAP TKP tersebut diberikan kepada penyidik penuh atau Kepala Kesatuan (KASAT). Berikut ini adalah contoh Berita Acara Pemeriksaan di TKP:34

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH...RESORT KOTA...

“Pro Justicia”

BERITA ACARA PEMERIKSAAN DI TKP

Pada hari ini ...tanggal...tahun...jam... Di jalan ... Saya ... NRP... Jabatan...Bersama: 1. ...Pangkat/NRP... 2. ...Pangkat/NRP... Berdasarkan Laporan Polisi No. Pol ...tanggal...tahun... telah mendatangi tempat kejadian perkara di ... ... 1. Hasil-hasil yang ditemukan ... ... 2. Tindakan-tindakan yang telah diambil sebagai berikut:

a. ... b. ... c. ... Demikian Berita Acara Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara ini dibuat dengan sebenarnya atas kekuatan sumpah jabatan, kemudian ditutup dan ditandatangani di...pada tanggal...bulan...tahun... Yang membuat Berita Acara ... Pangkat/NRP ...


(52)

2. Tata Cara Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka

Berita Acara Pemeriksaan Tersangka merupakan Berita Acara yang dibuat oleh penyidik saat memeriksa tersangka. Isi dari Berita Acara Pemeriksaan Tersangka adalah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik terhadap tersangka yang berhubungan dengan saksi, korban, dan barang bukti yang ditemukan penyidik saat melakukan Olah TKP. Berikut ini adalah contoh Berita Acara Pemeriksaan Tersangka:35

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH...RESORT KOTA...

“Pro Justicia”

BERITA ACARA PEMERIKSAAN (TERSANGKA)

Pada hari ini, (hari) (tanggal) (bulan) (tahun) saya :

======================(Nama Penyidik)==================== Pangkat... NRP ...Penyidik pada Kantor polisi tersebut di atas, telah melakukan pemeriksaan terhadap laki-laki yang belum saya kenal, mengaku bernama :

=====================(Nama Tersangka)=================== Lahir tanggal ...di ..., pekerjaan ..., agama ..., Kewarganegaraan ..., tempat tinggal ... Ia diperiksa dan didengar keterangannya selaku tersangka dalam perkara ...seperti yang dimaksud dalam Pasal...KUHP, sehubungan dengan No. Pol: ...tanggal... Kepada tersangka sebelum pemeriksaan ini dimulai terlebih dahulu telah diberikan hak-haknya, khususnya yang menyangkut tentang bantuan hukum.

Atas pertanyaan penyidik yang memeriksa, yang diperiksa menjawab dan memberikan keterangan sebagai berikut :

PERTANYAAN JAWABAN

1. Apakah saudara dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan bersedia untuk diperiksa sekarang ini dan akan memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya ?

1. Ya saya sehat jasmani

34Suharto, Op.Cit, hlm 109 35Ibid, hlm 117


(53)

dan rohani dan saya bersedia diperiksa serta akan memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya. 2. Apakah dalam pemeriksaan sehubungan dengan perkara yang

dipersangkakan kepada saudara, akan menggunakan penasihat hukum ?

2. Tidak.

3. Apakah saudara sudah pernah dihukum atau menjadi tersangka perkara pidana ?

3. Belum 4. Ceritakan riwayat hidup saudara !

4. ... 5. Mengertikah mengapa saudara diperiksa sekarang ini ?

5. Mengerti, karena... 6. Kenalkah saudara dengan seorang yang bernama ...?

6. Kenal, sejak ... dengan seorang yang bernama ... yang tinggal di ... 7. Barang yang disita dari diri saudara, berasal dari siapa ?

7. Berasal dari....beralamat di ... 8. Ada hubungan apa saudara dengan pemilik barang tersebut ?

8. Saya dengan pemilik barang tersebut ada hubungan ... 9. Bagaimana cara saudara mendapatkan barang tersebut dari

pemiliknya ?

9. Saya mendapatkannya dengan cara ... Sampai di sini pemeriksaan dihentikan, kemudian berita acara ini dibacakan kembali kepada yang diperiksa dan yang diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang telah diberikan tersebut di atas, untuk menguatkannya membubuhi tanda tangannya berikut ini :

Yang diperiksa

(Nama Tersangka) Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya atas kekuatan sumpah jabatan, kemudian ditutup dan ditandatangani di... pada tanggal ...

Penyidik

... Pangkat/NRP ...


(54)

3. Tata Cara Pengambilan Sidik Jari

Kegiatan yang peneliti sempat dokumentasikan adalah saat berada diruang identifikasi INAFIS Sat Reskrim POLRESTABES Bandung, yang pada saat itu sedang melakukan Daktium atau Daktiloskopi Umum untuk kepentingan sidik jari pembuatan SIM. Pada saat itu peneliti diberi pengetahuan tata cara pengambilan sidik jari pada proses pengolahan tempat kejadian perkara oleh Kepala Urusan Unit Identifikasi Aiptu., Dadang KS.

Alat yang digunakan dalam pengambilan sidik jari, misalkan pada lantai, adalah :

Sumber: Ruang Unit Identifikasi

Fungsi kuas dan serbuk magnet digunakan untuk menaburi titik tertentu pada lantai atau tempat-tempat yang diduga telah dihinggapi jari pelaku, lalu dengan kuas itulah serbuk magnet dikibaskan hingga pada akhirnya akan membentuk sebuah pola garis sidik jari yang tertempel pada lantai atau tempat di mana jari pelaku menempel.

Sumber: Ruang Unit Identifikasi Gambar 1

Kuas dan Serbuk Magnet

Gambar 2 Glifter


(55)

Glifter berguna untuk menempelkan sidik jari yang timbul pada lantai atau tempat tertentu yang dihinggapi oleh jari pelaku, terlebih dahulu tempat yang diduga telah disentuh jari pelaku ditaburi serbuk magnet lalu menggunakan kuas serbuk yang tertabur tersebut dikibas-kibaskan hingga sidik jari pelaku timbul, setelah itu barulah glifter ini berfungsi untuk memindahkan sidik jari yang timbul tersebut dari lantai atau tempat tertentu menjadi tertempel pada glifter.

Gambar 3

Kepala Urusan Identifikasi Memperagakan

Pengangkatan Sidik Jari Menggunakan Glifter

4.

5.

6.

Demikian tata cara melakukan sidik jari pada pengolahan tempat kejadian perkara yang diperagakan oleh Aiptu., Dadang KS (Kepala Urusan Identifikasi Satuan Reserse Kriminal POLRESTABES Bandung), di ruangan Unit Identifikasi. Proses pengambilan sidik jari pada pengolahan TKP tersebut merupakan bagian dari wewenang penyelidik dan penyidik. Wewenang penyelidik dan penyidik untuk mengambil sidik jari tercantum pada pasal 5 ayat (1) huruf b angka 3 juncto pasal 7 ayat 1 huruf (f) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(56)

46

INDONESIA PADA BERKAS PERKARA NOMOR

B/233/XI/2013/RESKRIM

A. Penerapan Wewenang Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Melakukan Penyidikan Pada Berkas Perkara Nomor B/233/XI/2013/RESKRIM

Hukum Acara Pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan.36

Berdasarkan rumusan tujuan tersebut di atas, sebenarnya dapat dikatakan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana meliputi mencari serta mendapatkan kebenaran, melakukan penuntutan, melakukan pemeriksaan, dan memberikan keputusan.

Menurut Hukum Acara Pidana yang bertugas mencari dan menemukan kebenaran adalah pihak kepolisian yaitu penyelidik dan penyidik, kebenaran yang dimaksudkan adalah keseluruhan fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang ada hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi.37

36Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Dalam Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana

Kontemporer, Bandung, 2007, hlm 4


(1)

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian yang lain.

4) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (2) KUHAP ) petunjuk sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penulisan atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP). 5) Pasal 189 KUHAP menegaskan:

a). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

b) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

c) Keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti, akan tetapi untuk menyimpulkan mengenai pengertian barang bukti, dapat mengacu kepada Pasal 39 ayat (1) KUHAP, menyebutkan apa saja yang dapat disita yaitu:43

a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi

penyelidikan tindak pidana;

d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

43Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 19


(2)

56

Selain itu pada Hetterziene in Landcsh Regerment (HIR) terdapat perihal mengenai barang bukti. Pada Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.44 Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu disita (beslag), yaitu:

a) Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

b) Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

c) Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

d) Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Terdapat pengertian selain daripada pengertian-pengertian barang bukti yang disebutkan di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa sarjana hukum, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai delik tersebut (objek delik) dan dengan cara bagaimana barang tersebut dilakukan didalam delik (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik, ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti:45

a) Merupakan objek materiil ; b) Berbicara untuk diri sendiri ;

c) Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya ;

d) Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

44Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm 14


(3)

Berdasarkan pendapat beberapa sarjana hukum dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a) Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana b) Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan

suatu tindak pidana

c) Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana

d) Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana

e) Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila tidak terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hal tersebut tercantum di dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyebutkan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang

bersalah melakukannya.”

Barang bukti yang ditemukan penyidik pada saat melakukan Olah TKP dilampirkan ke dalam berita acara pemeriksaan TKP (BAP TKP). Berita acara pemeriksaan TKP tersebut selanjutnya oleh penyidik dilampirkan ke dalam berkas perkara. Perihal mengenai pemberkasan BAP TKP ke dalam berkas perkara tercantum di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 7 PERKAP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Menurut Pasal 187 huruf a, berita acara merupakan surat yang dapat dijadikan alat bukti, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c bahwa surat merupakan alat bukti yang sah. Dapat disimpulkan peran Olah TKP dihubungkan dengan keyakinan hakim di persidangan adalah barang bukti yang ditemukan pada saat Olah TKP dilampirkan ke dalam berita


(4)

58

acara, yang selanjutnya berita acara tersebut menjadi alat bukti ke-3 di dalam persidangan yaitu surat.


(5)

59

PENUTUP

A. Simpulan

Penyidikan merupakan salah satu bagian dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Pada saat melakukan penyelesaian perkara pidana diharuskan patuh terhadap peraturan beracara pidana yang tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Seorang penyidik pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan tindak pidana, tidak dapat diangkat atau ditugaskan secara sepihak tanpa adanya wewenang yang diberikan oleh Keputusan KAPOLRI dan PP. Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto PERKAP POLRI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Syarat menjadi penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah minimal berpangkat Inspektur Dua dan berpendidikan paling rendah starata satu (s1).

Penyidikan dalam Olah TKP tindak pidana, dapat bermanfaat bagi pertimbangan keyakinan hakim saat di persidangan dalam menjatuhkan putusan bersalah terhadap terdakwa, dikarenakan saat penyidik menemukan barang bukti pada tempat kejadian perkara, barang bukti yang ditemukan oleh penyidik tersebut akan dilampirkan dan dicatat dalam berita acara. Berita acara tersebut merupakan bagian berkas perkara yang akan menjadi dasar penuntutan terhadap tersangka oleh penuntut umum dipersidangan. Berdasarkan Pasal 187 huruf a, berita acara merupakan alat bukti yang sah


(6)

60

ke-3, yaitu surat. Tanpa adanya barang bukti yang ditemukan di dalam tempat kejadian perkara, maka berita acara tersebut tidak akan tersusun sehingga dapat dikatakan bahwa Olah TKP sangat bermanfaat bagi pertimbangan keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan bersalah terhadap terdakwa.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menguraikan saran-saran sebagai berikut:

1. Perlu pengawasan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang dan memiliki tanggung jawab di bidang administrasi penyidikan kepada Kesatuan Instansi Kepolisian dari tingkat pusat sampai tingkat daerah terhadap manajemen penyidikan agar tidak ada tumpang tindih kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik.

2. Sebagai lembaga negara yang berwenang membuat peraturan, pemerintah harus menerapkan kedisiplinan ke dalam manajemen penyidikan dalam rangka menyelenggarakan penyidikan pada proses penyelesaian perkara pidana.