Proses Alih Fungsi Kawasan Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dan Proses Hukum Di Dalamnya

2.2 Proses Alih Fungsi Kawasan Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dan Proses Hukum Di Dalamnya

Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada UGM Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin kehutanan. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta haHutan Indonesia yang hilang akibat ekspansi grup Musim Mas di Kalimantan Tengah.Di Sumatera hutan hanya tersisa 30 persen hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tersisa 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riausekitar 60 persen luas hutannya sudah menjadi kebun sawit. Tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru.Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Sitti Nurbaya.Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal.Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan. Pembakaran lahan merupakan modus termudah dan termurah untuk membuka perkebunan sawit. Dari Penelitian Sawit Watch 2007, disinyalir kuat bahwa 90 perkebunan sawit di Indonesia melakukan praktek konversi secara ilegal baik hutan dan lahan. Perkebunan sawit, dalam peraturannya baru dapat melakukan kegiatan budidaya pertanian setelah mendapatkan HGU. Berdasarkan berita dari Metrotvnews.com, Kuala Lumpur: Badan Pertanahan Nasional menyatakan perusahaan sawit yang membuka lahan di Indonesia tanpa lebih dulu memiliki Hak Guna Usaha HGU berarti ilegal. Hal seperti itu sering terjadi, karenanya harus ada tindakan tegas, menangkap orangorang perusahaan yang bertanggung jawab melakukan kegiatan illegal tersebut, kata Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan, Badan Pertanahan Nasional BPN Iwan Sulanjana, dalam diskusi panel prapertemuan lanjutan tentang minyak sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil-RSPO di Kuala Lumpur, Malaysia, belum lama ini. Proses Perijinan Lokasi Langkah Awal Illegal Konversi 1. Ijin lokasi Dasar hukum : izin usaha perkebunan 100.000 lokasi hukum Peraturan Menteri Agaria Kepala BPN No. 2 Tahun. 1999 tentang Ijin Lokasi 2. Izin Usaha Perkebunan 25 Ha – 100.000 Ha Dasar Hukum : 1. UU Perkebunan No. 18 Th. 2004. 3. Pelepasan Kawasan Hutan Dasar hukum : Kep bersama Menhut, Mentan, dan Kepala BPN Nomor : 364Kpts-1190,519KptsHK.050790 dan 23-VIII-1990 Tentang ketentuan pelepasan kawasan hutan dan pemberian HGU untuk pengembangan usaha. 4. HGU Dasar Hukum : UU No.5 Th 1960 Tentang UUPA Tumpang Tindih Otoritas Dan Konversi Hutan Hutan sebagai sumberdaya alam yang kaya akan nilai biodiversity menjadikannya primadona yang perlu di perebutkan. Tidak hanya oleh para pengusaha tetapi juga pemerintah.Hal ini dibuktikan dengan tidak harmonis dan tidak sinkronnya hukum dan kebijakan.Disharmonis kebijakan perundang- undangan perkebunan, kehutanan, Lingkungan, Tata Ruang, Otonomi Daerah menghasilkan tumpang tindih otoritas.Sehingga pemerintah sulit untuk melakukan perlindungan, perencanaan, Pengelolaan, pengawasan, penegakan hukum dan Pemulihan. Permasalahan Penerapan Hukum Dan Kebijakan 1. Daya penegakan kebijakan masih lemah hukum dan penegak hukum 2. Lemahnya Komitmen Penguasa Pemerintah dan Pengusaha. 3. Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan 4. Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Perkebunan Besar 5. Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan Korupsi danPenerapan Penegakan Hukum Disinyalir Kuat, bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat kaitannya dengan pungutan liar Korupsi. Dugaan terjadinya korupsi di balik perkebunan sawit diperkuat dengan beberapa temuan danfakta lapangan.Informasi yang kami dapatkan bahwa biaya penerbitan ijin lokasi untuk setiap hektarnya sebesar Rp. 500.000- Rp. 1 jutaha rata-rata Rp. 750 jt untuk ijin lokasi seluas 1.000 ha. Bahkan dalam temuan lain, untuk menerbitkan ijin lokasi seluas 1.000 ha dapat meraup keuntungan sampai Rp. 3 Milyar. Fakta lain, aparat penegak hukum yang lebih berpihak ke Perusahaan perkebunan sawit dalam menindak lanjuti laporan pengaduan. Kepolisian lebih melayani laporan Perusahaan sawit. Keberpihakan yang sama juga di perpraktekan oleh pengadilan yang dicerminkan melalui putusanputusannya. Bahkan Laporan pemerintah atas kejahatan perusahaanpun dikalahkan oleh pengadilan. Selain aparat penegak hukum, aparatur negara yang lain juga terbukti melanggengakan pelanggaran yang ada. Ini dapat di buktikan salah satunya dengan ketelibatan pegawai BPN sebagai Karyawan Perusahaan.

2.3 Latar Belakang Terjadinya Pengalihfungsian Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit