25
5. Kualitas Konsumsi Pangan
Kualitas konsumsi pangan ditentukan oleh berbagai faktor. Dalam bahasan berikut, kualitas konsumsi pangan dilihat dari komposisi konsumsi pangan masyarakat
berdasarkan kontribusi energi setiap kelompok pangan yang dikombinasikan dengan tingkat kecukupan energinya. Penilaian kualitas atau mutu konsumsi pangan seperti ini
dilakukan dengan menggunakan skor keanekaragaman pangan yang dikenal dengan skor Pola Pangan Harapan PPH. Nilaiskor mutu PPH ini dapat memberikan informasi
mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam diversifikasi konsumsi pangan. Semakin besar skor PPH maka
kualitas konsumsi pangan dalam artian jumlah dan komposisi dinilai semakin baik. Upaya pemulihan ekonomi telah meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang
ditunjukkan dengan peningkatan skor PPH dari 66,3 pada tahun 1999 menjadi 72,6 pada tahun 2002 . Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada tahun 2005 mencapai
79,1 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 9,0 persen selama 4 tahun dan kemudian meningkat kembali menjadi 83.1 pada tahun 2007 Tabel 4. Laju peningkatan skor
PPH yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan konsumsi energi dan protein mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan yang
mengarah pada pola konsumsi yang semakin beragam dan bergizi seimbang. Tabel 4. Perbandingan Konsumsi Pangan Anjuran dan Aktual
No Kelompok Pangan
Anjuran Konsumsi Aktual kalorikapitahari
1999 2002 2003
2004 2005
2007 1
Padi-padian 1000
1240 1253 1252
1248 1241
1246
2 Umbi-umbian
120 69
70 66
77 73
46
3 Pangan hewani
240 88
117 138
134 139
158
4 Minyak+Lemak
200 171
205 195
195 199
206
5 Buahbiji berminyak
60 41
52 56
47 51
50
6 Kacang2an
100 54
62 62
64 67
74
7 Gula
100 92
96 101
101 99
98
8 Sayur+buah
120 70
78 90
87 93
100
9 Lain-lain
60 26
53 32
33 35
36
TOTAL 2000
1851 1986 1992
1986 1997
2015
Skor PPH 100
66,3 72,6
77,5 76,9
79,1 83.1
26
Meski cenderung meningkat, skor mutu pangan tersebut masih cukup jauh dari kondisi ideal. Belum idealnya mutu konsumsi pangan ini terjadi karena pola konsumsi
pangan masyarakat masih sangat tergantung pada padi-padian, dan masih kurang dalam hal konsumsi pangan hewani, sayuran dan buah serta kacang-kacangan.
6. Keamanan Pangan WHO 2000 mengungkapkan bahwa penyakit karena pangan foodborne disease
merupakan penyebab 70 persen dari sekitar 1,5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun.
Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan.
Data yang diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima mencakup jumlah Kejadian Luar Biasa KLB keracunan pangan, jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang
meninggal. Dalam kurun waktu 5 tahun, periode 2002-2006, jumlah KLB keracunan pangan
cenderung mengalami peningkatan. Data KLB keracunan pangan tahun 2002-2006
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Jumlah Kasus Keracunan Tahun 2001 – 2007
Tahun ∑
KLB ∑
Terpapar ∑
Sakit ∑
Meninggal CFR
IR 2002
43 6543
3635 10
0.28 1.67
2003 34
8651 1843
12 0.65
0.84 2004
164 22297
7366 51
0.69 3.37
2005 184
23864 8949
49 0.55
4.11 2006
159 21145
8733 40
0.46 3.99
2007 179
19120 7471
54 0.72
3.42
Dari tabel tersebut terlihat jumlah orang yang terpapar, orang yang sakit dan meninggal cenderung meningkat setiap tahunnya. Case Fatality Rate CFR
menunjukkan perbandingan antara jumlah yang meninggal dengan jumlah yang sakit dikalikan dengan 100. Sedangkan Incident Rate IR menunjukkan angka kejadian per
100.000 penduduk.
27
Ada beberapa penyebab keracunan makanan, yaitu akibat cemaran mikrobiologi dan cemaran kimia. Penyebab keracunan pangan mikrobiologi yang sering timbul antara
lain Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella sp, dan E.coli patogen. Sementara penyebab keracunan pangan kimia antara lain nitrit, histamin, formalin,
sianida, methanol, serta tetradotoksin. Sumber pangan penyebab keracunan pangan pada umumnya adalah pangan yang disiapkan di rumah tangga, diikuti oleh pangan
olahan, pangan jasa boga, pangan jajanan. Untuk menekan terjadinya penyakit karena pangan dilakukan pengawasan
terhadap keamanan pangan antara lain melalui pengawasan produk pangan terdaftar, pemeriksaan produk pangan beredar, dan pemeriksaan produk pangan yang tidak
memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan pembangunan keamanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan
dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi pangan.
Hasil penilaian sarana produksi pangan dikelompokkan menjadi 3 tiga kategori yaitu baik B, cukup C, dan kurang D. Hasil pemeriksaan sarana produksi untuk
industri pangan menengah ke atas telah mendapat nomor MD selama kurun waktu
2000-2006 disajikan pada Gambar 10 di bawah ini.
54 184
40 56
143
30 55
209
75 105
236
61 327
229
46 91
390
89 142
352
63 50
100 150
200 250
300 350
400
J u
m la
h
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006
Tahun
Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Pangan Menegah Ke Atas
Baik Cukup
Kurang
Gambar 10. Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Pangan Menengah ke Atas BPOM, 2008
28
Dari Gambar 10 tersebut terlihat bahwa sebagian besar industri menegah ke atas
berpredikat cukup dalam penerapan CPMB. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan untuk persentase sarana produksi yang berpredikat baik dari tahun 2000 19 persen ke
tahun 2004 54 persen, namun pada tahun 2005 terjadi penurunan lagi, menjadi 16 persen dan kembali meningkat pada tahun 2006.
Hasil pemeriksaan sarana produksi untuk industri rumah tangga selama kurun
waktu 2000-2005 dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
83 810
739
52 668
929
66 903
1135
157 512
867 337
1921 1693
101 1287
1167
83 1413
1074
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800 2000
J u
m la
h
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006
Tahun Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Industri Pangan Rumahtangga
Baik Cukup
Kurang
Dari gambar diatas terlihat bahwa sebagian besar industri rumah tangga masih dinilai kurang dalam penerapan CPMB. Jika dilihat dari persentasenya maka sekitar
separuh dari industri rumah tangga masih dinilai kurang dalam penerapan CPMB, dengan kecenderungan jumlah dan persentase industri yang dinilai kurang dalam
menerapkan CPMB semakin meningkat. Faktor yang menjadi penyebab utama industri produk pangan dinilai kurang adalah masih rendahnya penerapan higienitas
perorangan, kurangnya kesadaran dalam pengolahan lingkungan seperti pembuangan sampah, fasilitas pabrik dan kebersihan yang tidak memadai, fasilitas produksi belum
29
terbebas dari binatang serangga dan lain-lain serta peralatan dan suplai air bersih kurang memadai.
Sementara itu pemeriksaan sampling dan pengujian terhadap pangan yang beredar dilakukan secara berkala pada pangan yang terdaftar dengan nomor MDML
dan SPP-IRT, untuk memastikan kesesuaiannya dengan data dan informasi yang disetujui pada proses pendaftaran. Hasil pengujian selama tahun 2001 – 2006 dapat
dilihat pada Gambar 12 dibawah ini.
3817 1399
16542
1396 19289
1258 29564
3176 23372
3924 23341
2626 5000
10000 15000
20000 25000
30000
J u
m la
h p
ro d
u k
p a
n g
a n
2001 2002
2003 2004
2005 2006
Tahun Hasil Pengujian Produk Pangan Beredar
MS TMS
Gambar 12. Hasil pengujian produk pangan beredar BPOM, 2006
Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa sebagian besar produk pangan yang beredar telah memenuhi syarat MS Selama tahun 2002 – 2006, pelanggaran
yang paling banyak ditemukan adalah produk pangan yang menggunakan pemanis buatan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kriteria lain-lain meliputi bobot tuntas, label,
kadar dan penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak termasuk diizinkan maupun
yang dilarang. Pada Gambar 13 terlihat persentase hasil pengawasan selama tahun
2001 – 2006.
30
Persentase Pe langgaran Produk Pangan
15 ,6
5 46
,2 25
,9 1
26 ,5
12 ,1
8 14
,0 6
6, 71
16 ,2
2 30
,4 5
5, 65
2, 62
57 ,9
7
37 ,7
6 40
,8
21 ,4
5 4,
13 5,
49 11
,7 1
16 ,3
7 7,
29 6,
52 9,
81 7,
17
6, 77
8, 43
9, 1
7, 8
16 ,9
4 12
,9 2
13 ,6
1 11
,3 1
20 ,5
4 5,
72 23
,5 5
17 ,0
4 10
,6 4
10 20
30 40
50 60
70
2001 2002
2003 2004
2005 2006
Tahun P
e rs
e n
ta s
e
Pemanis buatan TMS Pengawet TMS
Formalin Boraks
Pewarna bukan untuk makanan Cemaran mikroba TMS
Lain-lain
+
Secara khusus, selama periode 2002 – 2005 juga telah dilakukan pengawasan
terhadap produk pangan jajanan anak sekolah. Gambar 12 menunjukkan data hasil
pemeriksaan produk pangan jajanan anak sekolah tahun 2002 - 2006.
Persentase Hasil Pengawasan Makanan Jajanan Anak Sekolah
56,12 59,91
42,81 60,05
55 57,19
45 39,95
10,09 43,88
10 20
30 40
50 60
70
2002 2003
2004 2005
2006
Tahun P
e rs
e n
ta s
e
MS TMS
, - -
. +
Dari hasil pemeriksaan terlihat bahwa kriteria tidak memenuhi syarat TMS ditemukan karena pelanggaran penggunaan pengawet yang melebihi batas maksimum,
penggunaan bahan berbahaya formalin, boraks, rhodamin-B, penyalahgunaan pemanis buatan dan pangan tercemar mikroba melebihi batas maksimum. Dalam satu sampel
31
produk pangan mungkin ditemukan lebih dari satu kriteria TMS. Tabel 6 berikut
menunjukkan data hasil pemeriksaan produk pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi syarat dari tahun 2002 - 2006:
+
1 2
+
102
+ + ,
- , +
. ,
. +
D. STATUS GIZI MASYARAKAT