Substitusi Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) dalam Pakan Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) pada Periode Bertelur

(1)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

SKRIPSI AFNIATY INTANIA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

RINGKASAN

AFNIATY INTANIA. 2006. Substitusi Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) dalam Pakan Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) pada Periode Bertelur.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. Pembimbing Anggota : Dra. Masniari Poeloengan, M.S.

Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang memiliki daya guna sebagai hewan peliharaan serta dapat dijadikan bahan pakan dan pangan. Jangkrik memiliki mortalitas yang cukup tinggi karena rentan terhadap penyakit, terutama diare. Peningkatan daya tahan tubuh jangkrik dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan sebagai suplemen, sehingga jika daya tahan tubuh baik, maka kemampuan reproduksinya pun diharapkan akan lebih baik. Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman herba yang memiliki khasiat luar biasa. Kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri, merangsang daya tahan dan kekebalan tubuh, serta meningkatkan aktivitas seksual.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membandingkan pengaruh dari substitusi berbagai tingkat substitusi tepung kunyit (Curcuma domestica Val.) pada pakan terhadap penampilan reproduksi jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus). Penampilan reproduksi yang dikaji adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, produksi telur, konversi pakan terhadap produksi telur, waktu tetas, dan mortalitas induk.

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai sejak tanggal 16 Pebruari sampai 26 April 2006, bertempat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian pada fase pertumbuhan sebelumnya. Pemeliharaan pada fase bertelur (reproduksi) dimulai pada saat jangkrik berumur 51 hari.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan ulangan yang tidak sama. Perlakuan yang diberikan yaitu pakan campuran konsentrat dengan 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% tepung kunyit. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Minitab 14 karena hasil analisis statistik menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah sehingga mengindikasikan banyak faktor lain yang mempengaruhi respon/peubah yang diamati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jangkrik dengan substitusi 0,4% tepung kunyitmemiliki produksi telur dan pertambahan bobot badan tertinggi serta konversi pakan terhadap produksi telur yang terendah selama 36 hari masa bertelur. Grafik penampilan reproduksi setelah masa bertelur hari ke-36 menunjukkan ketidakefisienan jangkrik dalam memproduksi telur. Jangkrik yang sudah mencapai masa bertelur lebih dari 36 hari lebih baik diafkir untuk dijadikan bahan pangan atau pakan agar lebih bernilai ekonomis.Daya menghambat reproduksi dan insektisida terlihat pada jangkrik dengan substitusi 0,8% tepung kunyit. Hasil ini diperlihatkan oleh jumlah produksi telur yang terendah dengan tingkat mortalitas tertinggi pada penelitian ini.


(3)

ABSTRACT

The Substitution of Turmeric (Curcuma domestica Val.) Meal Treatments in Cricket’s (Gryllus bimaculatus) Feed during Egg Laying Period

Intania, A., H. C. H. Siregar, M. Poeloengan

Reproduction is an important thing in rearing kalung crickets (Gryllus bimaculatus). Crickets need good feed to support their eggs production. Diarrhae is one of the common disease in this species thus feed supplements are needed to enhance cricket’s durabilities. Turmeric (Curcuma domestica Val.) contains curcuminoid that acts as antibacteria, stimulating body immune systems, and enhancing sexual activities. The research about substitution of turmeric meal in cricket’s feed had been done to study and compare the effects of this feed supplement in various concentration to the reproduction performance (feed consumption, eggs production, daily weight gain, feed conversion, hatching time, and mortality) in G. bimaculatus. This research was conducted in two months at the Non Ruminant and Prospective Animal Division, Department of Animal Production and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. This research was carried out as a continuity from the previous growth phase research. A completely randomized design was used as the experimental design, with four level of treatments and unbalanced replications. The given treatments were feed substitution with 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% of turmeric meal. The obtained data was analyzed descriptively because the statistical analysis resulting a low determination coefficient (R2) value, thus indicating that there were another factors affecting the observed parameters. The best turmeric meal treatment was determined by the reproduction performance of G. bimaculatus during its 36 days of laying period. The reproduction performance graphic after this period showed an unefficient reproduction performance. Crickets with 0,4% of turmeric meal treatment has the highest egg production and daily weight gain, with the lowest feed conversion to egg production during the 36 days laying period. Cricket which have reached more than 36 days of laying period should be culled and transformed as food or feed substance to increase its economical value. The inhibitory and insecticide properties of turmeric can be found in crickets with 0,8% of turmeric meal treatments.


(4)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

AFNIATY INTANIA D14102065

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

Oleh Afniaty Intania

D14102065

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 Agustus 2006

Pembimbing Utama

Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. NIP. 131 881 141

Pembimbing Anggota

Dra. Masniari Poeloengan, M.S. NIP. 131 881 141

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. NIP. 131 624 188


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 September 1984 di Garut, Jawa Barat. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Deden Herawan dan Ibu Euis Rohmayati.

Pendidikan dari TK sampai dengan SMU diselesaikan di kota Garut. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Kiansantang, Garut. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SMPN 2 Garut. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Tarogong, Garut.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan tinggi, Penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (Himaproter) sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 2002-2003, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB sebagai staf Departemen Penerangan tahun 2003-2004 dan Direktur Badan Khusus Media dan Komunikasi tahun 2004-2005, serta Paguyuban Seni Teater KANDANG, Fakultas Peternakan. Penulis juga pernah aktif di kegiatan luar fakultas yaitu menjadi penyiar di Radio Komunitas IPB, Agri FM.


(7)

KATA PENGANTAR

Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang pemeliharaannya dapat dikatakan ”gampang-gampang susah”. Pemeliharaan pada fase reproduksi memiliki tujuan utama untuk memproduksi jumlah telur yang banyak sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh. Timbulnya penyakit diare yang sering menyerang jangkrik mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi berkurang. Permasalahan inilah yang menjadi dasar pemberian substitusi tepung kunyit pada pakan jangkrik kalung, baik pada fase pertumbuhan maupun fase reproduksi (periode bertelur). Kunyit merupakan tanaman herba yang memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan vital energi, antiradang, antibakteri, menambah nafsu makan, dan merangsang daya tahan tubuh. Kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang ini juga dapat meningkatkan aktivitas seksual.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari fase pertumbuhan yang dilakukan oleh Dian Susilawati. Informasi yang lengkap mengenai pengaruh kunyit pada fase pertumbuhan dan reproduksi diperlukan agar peternak ataupun masyarakat yang ingin beternak jangkrik memiliki pengetahuan dalam penggunaan pakan tambahan (suplemen) berupa tepung kunyit pada jangkrik. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah informasi mengenai budidaya jangkrik terutama jenis Gryllus bimaculatus.

Bogor, 28 Agustus 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi, Morfologi, dan Habitat Jangkrik Kalung ... 4

Siklus Hidup dan Reproduksi Jangkrik ... 5

Alat Reproduksi ... 6

Perkawinan ... 7

Telur Jangkrik ... 8

Penetasan ... 9

Mortalitas ... 10

Pakan Jangkrik ... 11

Daun Singkong ... 11

Konsentrat ... 12

Kunyit ... 13

Taksonomi dan Morfologi Kunyit ... 13

Kandungan, Zat Aktif, dan Manfaat ... 13

METODE Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Jangkrik ... 16

Kandang dan Peralatan ... 16

Media Bertelur dan Penetasan ... 17

Pakan ... 17

Rancangan ... 19

Peubah yang Diamati ... 19


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Suhu dan Kelembaban Kandang ... 25

Penampilan Reproduksi Induk Jangkrik Kalung ... 25

Konsumsi Pakan ... 27

Produksi Telur ... 31

Total Produksi Telur per Ekor ... 31

Produksi Telur Harian per Ekor ... 33

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Induk ... 35

Konversi Pakan terhadap Produksi Telur ... 38

Waktu Tetas ... 40

Mortalitas Induk ... 41

Penentuan Kadar Substitusi Tepung Kunyit Terbaik ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

UCAPAN TERIMA KASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik Produksi dan Reproduksi Jangkrik Kalung

(Gryllus bimaculatus) ... 6 2. Kandungan Nutrisi Daun Singkong (per 100 gram) ... 12 3. Komposisi Kimia Kunyit dan Tepung Kunyit ... 14 4. Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung dalam Rimpang

Kunyit ... 15 5. Kandungan Nutrisi Pakan Konsentrat, Tepung Kunyit, dan

Daun Singkong ... 18 6. Mutu Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) ... 18 7. Rataan dan Koefisien Keragaman Penampilan Reproduksi

Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam

Pakan Konsentrat ... 26 8. Rataan Konsumsi Pakan Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur

dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 29 9. Rataan Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur

dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 35 10. Nilai Kumulatif dan Rataan Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung Selama 36 Hari Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit


(11)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

SKRIPSI AFNIATY INTANIA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(12)

RINGKASAN

AFNIATY INTANIA. 2006. Substitusi Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) dalam Pakan Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) pada Periode Bertelur.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. Pembimbing Anggota : Dra. Masniari Poeloengan, M.S.

Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang memiliki daya guna sebagai hewan peliharaan serta dapat dijadikan bahan pakan dan pangan. Jangkrik memiliki mortalitas yang cukup tinggi karena rentan terhadap penyakit, terutama diare. Peningkatan daya tahan tubuh jangkrik dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan sebagai suplemen, sehingga jika daya tahan tubuh baik, maka kemampuan reproduksinya pun diharapkan akan lebih baik. Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman herba yang memiliki khasiat luar biasa. Kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri, merangsang daya tahan dan kekebalan tubuh, serta meningkatkan aktivitas seksual.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membandingkan pengaruh dari substitusi berbagai tingkat substitusi tepung kunyit (Curcuma domestica Val.) pada pakan terhadap penampilan reproduksi jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus). Penampilan reproduksi yang dikaji adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, produksi telur, konversi pakan terhadap produksi telur, waktu tetas, dan mortalitas induk.

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai sejak tanggal 16 Pebruari sampai 26 April 2006, bertempat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian pada fase pertumbuhan sebelumnya. Pemeliharaan pada fase bertelur (reproduksi) dimulai pada saat jangkrik berumur 51 hari.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan ulangan yang tidak sama. Perlakuan yang diberikan yaitu pakan campuran konsentrat dengan 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% tepung kunyit. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Minitab 14 karena hasil analisis statistik menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah sehingga mengindikasikan banyak faktor lain yang mempengaruhi respon/peubah yang diamati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jangkrik dengan substitusi 0,4% tepung kunyitmemiliki produksi telur dan pertambahan bobot badan tertinggi serta konversi pakan terhadap produksi telur yang terendah selama 36 hari masa bertelur. Grafik penampilan reproduksi setelah masa bertelur hari ke-36 menunjukkan ketidakefisienan jangkrik dalam memproduksi telur. Jangkrik yang sudah mencapai masa bertelur lebih dari 36 hari lebih baik diafkir untuk dijadikan bahan pangan atau pakan agar lebih bernilai ekonomis.Daya menghambat reproduksi dan insektisida terlihat pada jangkrik dengan substitusi 0,8% tepung kunyit. Hasil ini diperlihatkan oleh jumlah produksi telur yang terendah dengan tingkat mortalitas tertinggi pada penelitian ini.


(13)

ABSTRACT

The Substitution of Turmeric (Curcuma domestica Val.) Meal Treatments in Cricket’s (Gryllus bimaculatus) Feed during Egg Laying Period

Intania, A., H. C. H. Siregar, M. Poeloengan

Reproduction is an important thing in rearing kalung crickets (Gryllus bimaculatus). Crickets need good feed to support their eggs production. Diarrhae is one of the common disease in this species thus feed supplements are needed to enhance cricket’s durabilities. Turmeric (Curcuma domestica Val.) contains curcuminoid that acts as antibacteria, stimulating body immune systems, and enhancing sexual activities. The research about substitution of turmeric meal in cricket’s feed had been done to study and compare the effects of this feed supplement in various concentration to the reproduction performance (feed consumption, eggs production, daily weight gain, feed conversion, hatching time, and mortality) in G. bimaculatus. This research was conducted in two months at the Non Ruminant and Prospective Animal Division, Department of Animal Production and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. This research was carried out as a continuity from the previous growth phase research. A completely randomized design was used as the experimental design, with four level of treatments and unbalanced replications. The given treatments were feed substitution with 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% of turmeric meal. The obtained data was analyzed descriptively because the statistical analysis resulting a low determination coefficient (R2) value, thus indicating that there were another factors affecting the observed parameters. The best turmeric meal treatment was determined by the reproduction performance of G. bimaculatus during its 36 days of laying period. The reproduction performance graphic after this period showed an unefficient reproduction performance. Crickets with 0,4% of turmeric meal treatment has the highest egg production and daily weight gain, with the lowest feed conversion to egg production during the 36 days laying period. Cricket which have reached more than 36 days of laying period should be culled and transformed as food or feed substance to increase its economical value. The inhibitory and insecticide properties of turmeric can be found in crickets with 0,8% of turmeric meal treatments.


(14)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

AFNIATY INTANIA D14102065

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(15)

SUBSTITUSI TEPUNG KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus

bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR

Oleh Afniaty Intania

D14102065

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 Agustus 2006

Pembimbing Utama

Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. NIP. 131 881 141

Pembimbing Anggota

Dra. Masniari Poeloengan, M.S. NIP. 131 881 141

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. NIP. 131 624 188


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 September 1984 di Garut, Jawa Barat. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Deden Herawan dan Ibu Euis Rohmayati.

Pendidikan dari TK sampai dengan SMU diselesaikan di kota Garut. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Kiansantang, Garut. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SMPN 2 Garut. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Tarogong, Garut.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan tinggi, Penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (Himaproter) sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 2002-2003, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB sebagai staf Departemen Penerangan tahun 2003-2004 dan Direktur Badan Khusus Media dan Komunikasi tahun 2004-2005, serta Paguyuban Seni Teater KANDANG, Fakultas Peternakan. Penulis juga pernah aktif di kegiatan luar fakultas yaitu menjadi penyiar di Radio Komunitas IPB, Agri FM.


(17)

KATA PENGANTAR

Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang pemeliharaannya dapat dikatakan ”gampang-gampang susah”. Pemeliharaan pada fase reproduksi memiliki tujuan utama untuk memproduksi jumlah telur yang banyak sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh. Timbulnya penyakit diare yang sering menyerang jangkrik mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi berkurang. Permasalahan inilah yang menjadi dasar pemberian substitusi tepung kunyit pada pakan jangkrik kalung, baik pada fase pertumbuhan maupun fase reproduksi (periode bertelur). Kunyit merupakan tanaman herba yang memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan vital energi, antiradang, antibakteri, menambah nafsu makan, dan merangsang daya tahan tubuh. Kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang ini juga dapat meningkatkan aktivitas seksual.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari fase pertumbuhan yang dilakukan oleh Dian Susilawati. Informasi yang lengkap mengenai pengaruh kunyit pada fase pertumbuhan dan reproduksi diperlukan agar peternak ataupun masyarakat yang ingin beternak jangkrik memiliki pengetahuan dalam penggunaan pakan tambahan (suplemen) berupa tepung kunyit pada jangkrik. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah informasi mengenai budidaya jangkrik terutama jenis Gryllus bimaculatus.

Bogor, 28 Agustus 2006


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi, Morfologi, dan Habitat Jangkrik Kalung ... 4

Siklus Hidup dan Reproduksi Jangkrik ... 5

Alat Reproduksi ... 6

Perkawinan ... 7

Telur Jangkrik ... 8

Penetasan ... 9

Mortalitas ... 10

Pakan Jangkrik ... 11

Daun Singkong ... 11

Konsentrat ... 12

Kunyit ... 13

Taksonomi dan Morfologi Kunyit ... 13

Kandungan, Zat Aktif, dan Manfaat ... 13

METODE Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Jangkrik ... 16

Kandang dan Peralatan ... 16

Media Bertelur dan Penetasan ... 17

Pakan ... 17

Rancangan ... 19

Peubah yang Diamati ... 19


(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Suhu dan Kelembaban Kandang ... 25

Penampilan Reproduksi Induk Jangkrik Kalung ... 25

Konsumsi Pakan ... 27

Produksi Telur ... 31

Total Produksi Telur per Ekor ... 31

Produksi Telur Harian per Ekor ... 33

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Induk ... 35

Konversi Pakan terhadap Produksi Telur ... 38

Waktu Tetas ... 40

Mortalitas Induk ... 41

Penentuan Kadar Substitusi Tepung Kunyit Terbaik ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

UCAPAN TERIMA KASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik Produksi dan Reproduksi Jangkrik Kalung

(Gryllus bimaculatus) ... 6 2. Kandungan Nutrisi Daun Singkong (per 100 gram) ... 12 3. Komposisi Kimia Kunyit dan Tepung Kunyit ... 14 4. Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung dalam Rimpang

Kunyit ... 15 5. Kandungan Nutrisi Pakan Konsentrat, Tepung Kunyit, dan

Daun Singkong ... 18 6. Mutu Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) ... 18 7. Rataan dan Koefisien Keragaman Penampilan Reproduksi

Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam

Pakan Konsentrat ... 26 8. Rataan Konsumsi Pakan Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur

dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 29 9. Rataan Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur

dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 35 10. Nilai Kumulatif dan Rataan Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung Selama 36 Hari Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit


(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Jangkrik Kalung Dewasa ... 4

2. Anatomi Jangkrik ... 5

3. Profil Telur Jangkrik yang Diperbesar (a) dan Perkembangan Telur Sudah Sempurna (Oda dan Kubo, 1997) ... 8

4. Jangkrik Betina Bertelur dalam Tanah (Oda dan Kubo, 1997) ... 9

5. Rumus Bangun Kurkumin ... 13

6. Kandang Indukan (a) dan Kandang Penetasan Jangkrik (b) ... 15

7. Media Bertelur (a) dan Media Penetasan Telur Jangkrik (b) ... 16

8. Skema Bagan Penelitian ... 22

9. Urutan Pelipatan Media Tetas dari Kain (Paimin, 1999) ... 23

10. Grafik Konsumsi Pakan Total Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 28

11. Grafik Konsumsi Pakan Hijauan (a) dan Konsentrat (b) Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 30

12. Diagram Total Produksi Telur Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 32

13. Grafik Produksi Telur Harian Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 33

14. Grafik Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 36

15. Diagram Pertambahan Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 37

16. Grafik Pertambahan Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 38

17. Diagram Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 39

18. Grafik Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 40

19. Grafik Mortalitas Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat ... 41


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Suhu dan Kelembaban pada Kandang Penelitian ... 50 2. Analisis Ragam Konsumsi Hijauan ... 51 3. Analisis Ragam Konsumsi Konsentrat ... 51 4. Analisis Ragam Konsumsi Pakan Total ... 51 5. Analisis Ragam Bobot Awal Jangkrik Betina ... 51 6. Analisis Ragam Bobot Akhir Jangkrik Betina ... 52 7. Analisis Ragam Produksi Telur ... 52 8. Analisis Ragam Waktu Tetas ... 52 9. Analisis Ragam Mortalitas ... 52 10. Analisis Deskriptif Konsumsi Hijauan ... 53 11. Analisis Deskriptif Konsumsi Konsentrat ... 53 12. Analisis Deskriptif Konsumsi Pakan Total ... 53 13. Analisis Deskriptif Bobot Awal Jangkrik Betina ... 53 14. Analisis Deskriptif Bobot Akhir Jangkrik Betina ... 53 15. Analisis Deskriptif Pertambahan Bobot Badan ... 53 16. Analisis Deskriptif Produksi Telur ... 53 17. Analisis Deskriptif Waktu Tetas ... 54 18. Analisis Deskriptif Mortalitas ... 54 19. Asumsi Berat Telur Jangkrik (Widiyaningrum, 2001) ... 54 20. Bahan Kering (BK) Pakan yang Digunakan ... 54 21. Rangkuman Grafik Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung ... 54


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman fauna di Indonesia merupakan salah satu komoditas dalam negeri yang patut untuk dikembangkan, termasuk diantaranya yang berasal dari kelas serangga. Salah satu serangga yang telah dibudidayakan adalah jangkrik (Gryllus sp.). Jangkrik merupakan jenis serangga yang dikenal masyarakat sebagai hewan peliharaan karena suaranya yang unik serta digunakan sebagai pakan satwa piaraan khususnya untuk bermacam-macam burung berkicau, arwana dan satwa pemakan serangga yang lain. Jangkrik memiliki siklus hidup yang pendek, mudah dalam pemeliharaan, mudah beradaptasi dengan pakan yang diberikan, serta modal yang dibutuhkan untuk usaha budidaya jangkrik ini cukup murah.

Jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani alternatif karena mengandung asam amino, asam lemak, serta sistein yang sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan Glutation Stimulation Hormone (GSH) yang merupakan zat antioksidan alami pada tubuh manusia. Kandungan-kandungan tersebut telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi, makanan manusia dan substitusi pakan ternak dalam bentuk tepung jangkrik. Peningkatan produktivitas terutama dalam hal reproduksi jangkrik perlu dilakukan agar perkembangbiakan maksimal sehingga persediaannya dapat mencukupi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat.

Jangkrik yang biasa dibudidayakan peternak adalah jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus), jangkrik cliring (G. mitratus) dan jangkrik cendawang (G. testacius). Jangkrik kalung memiliki keunggulan dalam laju pertumbuhan dan konversi pakan serta memiliki kulit tubuh lebih lunak sehingga lebih disukai burung dan satwa pemakan serangga yang lain.

Selain kelebihan-kelebihan di atas, jangkrik juga memiliki mortalitas yang cukup tinggi karena rentan terhadap penyakit, pengaruh lingkungan yang buruk, gangguan predator dan kanibalisme, terutama jika persediaan pakan tidak mencukupi. Penyakit yang sering terdapat pada jangkrik adalah diare. Penyakit ini dapat disebabkan oleh pemberian hijauan yang berkadar air terlalu tinggi, lingkungan kandang yang kotor, seperti pakan yang tidak bersih atau adanya kotoran jangkrik yang mengundang bakteri sehingga daya tahan tubuh jangkrik harus ditingkatkan.


(24)

Peningkatan daya tahan tubuh jangkrik dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan sebagai suplemen, sehingga jika daya tahan tubuh baik maka kemampuan reproduksinya pun diharapkan akan lebih baik.

Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman herba yang memiliki khasiat luar biasa. Kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, pencegah kanker, menurunkan resiko serangan jantung, antikejang, antiradang, merangsang daya tahan tubuh, stamina dan kekebalan tubuh, serta meningkatkan aktivitas seksual. Fungsi-fungsi ini akan sangat berpengaruh kepada peningkatan produktivitas makhluk hidup terutama manusia dan hewan. Pengaruh kunyit terhadap reproduksi perlu dikaji lebih lanjut karena beberapa literatur menyatakan bahwa kunyit dapat bersifat antifertilitas yang dapat menghambat reproduksi mamalia dan serangga hama gudang dan bertentangan dengan fungsinya yang dapat meningkatkan aktivitas seksual.

Perumusan Masalah

Persediaan jangkrik di alam yang tidak kontinyu menyebabkan permintaan masyarakat terhadap jangkrik menjadi kurang terpenuhi sehingga diperlukan suatu cara agar persediaan jangkrik selalu ada dalam jumlah yang cukup banyak. Permasalahan yang dikaji adalah bagaimana cara untuk meningkatkan daya reproduksi jangkrik yang umumnya rentan terhadap penyakit terutama diare. Permasalahan tersebut diharapkan dapat terpecahkan dengan penambahan tepung kunyit pada kadar tertentu dalam pakan. Kunyit memiliki fungsi-fungsi yang dapat meningkatkan produktivitas dan diharapkan dapat menimbulkan pengaruh yang sama baiknya pada jangkrik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai kombinasi pemberian pakan yang dapat meningkatkan reproduksi dan daya tahan tubuh jangkrik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan pengaruh dari pemberian berbagai tingkat substitusi tepung kunyit (Curcuma domestica Val.) pada pakan (0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% tepung kunyit) terhadap penampilan reproduksi (konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, produksi telur, konversi pakan

terhadap produksi telur, waktu tetas dan mortalitas induk) jangkrik kalung (G. bimaculatus).


(25)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi mengenai penggunaan tepung kunyit pada jangkrik kalung selama masa reproduksi dan dapat dipertimbangkan untuk penggunaan pada hewan lain terutama serangga.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi, Morfologi dan Habitat Jangkrik Kalung

Menurut Paimin et al. (1999), tercatat kurang lebih ada 123 jenis jangkrik di Indonesia. Jangkrik yang biasa dibudidayakan peternak antara lain jangkrik kalung

(G. bimaculatus), jangkrik cliring (G. mitratus), dan jangkrik cendawang (G. testacius) (Widiyaningrum, 2001). Borror et al. (1992) menyatakan bahwa

jangkrik kalung termasuk filum Arthropoda, subfilum Atelocerata, kelas Hexapoda (Insekta), ordo Orthoptera, subordo Ensifera, famili Gryllidae dan genus Gryllus.

Jangkrik kalung memiliki kulit dan sayap luar berwarna hitam atau agak kemerahan dan pada bagian punggung (pangkal sayap luar) terdapat garis kuning sehingga menyerupai kalung (Widiyaningrum, 2001). Jangkrik jantan dan betina dewasa dapat dibedakan dari ada atau tidaknya ovipositor pada ujung abdomen yang mencirikan jangkrik betina (Gambar 1). Meskipun secara umum ukuran-ukuran tubuh jangkrik jantan lebih besar, jangkrik betina memiliki bobot badan lebih tinggi daripada jantan (Herdiana, 2001).

Jantan Betina

Gambar 1. Jangkrik Kalung Dewasa (dokumentasi pribadi)

Jangkrik kalung memiliki siklus hidup pendek, daya tetas telur tinggi, pertumbuhan cepat dan konversi pakan rendah, serta memiliki kulit tubuh lebih lunak sehingga lebih disukai burung dan satwa pemakan serangga lainnya. Pembawaan dari spesies jangkrik ini tenang, tidak nervous, kerikannya nyaring, lebih agresif dari spesies lainnya dan suka berkelahi sehingga dikenal sebagai jangkrik aduan (Widiyaningrum, 2001).

Struktur tubuh dari berbagai macam spesies jangkrik dewasa sama secara umum, hanya saja terdapat variasi pada ukuran dan warna. Morfologi tubuh jangkrik


(27)

pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen (Corey et al., 2000). Anatomi tubuh jangkrik dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi Jangkrik (www.repvet.co.za, 2006)

Kepala terdiri dari mata tunggal yang tersusun dalam satu segitiga tumpul, sepasang antena, satu mulut dan dua pasang sungut. Toraks (dada) merupakan tempat melekatnya enam tungkai dan empat sayap. Abdomen (perut) pada bagian posterior terdiri dari ruas-ruas (Sribimawati, 1984) serta terdapat alat pencernaan makanan, pernafasan dan reproduksi (Corey et al., 2000). Ujung abdomen pada jantan dan betina terdapat sepasang cerci yang panjang serta tajam dan berfungsi sebagai penerima rangsang atau pertahanan apabila ada musuh dari belakang.

Jangkrik dapat ditemui di hampir seluruh Indonesia dan hidup dengan baik pada daerah yang bersuhu antara 20-32°C dan kelembaban sekitar 65-80%, bertanah gembur/berpasir dan memiliki persediaan tumbuhan semak belukar. Jangkrik hidup bergerombol dan bersembunyi dalam lipatan-lipatan daun kering atau bongkahan tanah (Sukarno, 1999). Jangkrik tidak selalu dapat dijumpai di alam karena hanya bermunculan pada bulan-bulan tertentu saja yaitu pada Juni-Juli dan Nopember-Desember. Jangkrik sulit ditemui pada bulan Januari-Mei dan Agustus-Oktober karena jumlahnya terbatas dan bukan merupakan musim jangkrik (Paimin, 1999).

Siklus Hidup dan Reproduksi Jangkrik

Jangkrik termasuk serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna karena tidak melewati tahapan larva dan pupa. Jangkrik merupakan serangga ovipar, yaitu serangga muda menetas dari telur sesudah telur dikeluarkan dari ovipositor.


(28)

Siklus hidupnya dimulai dari telur kemudian menjadi jangkrik muda (nimfa) dan melewati beberapa kali stadium instar sebelum menjadi jangkrik dewasa (imago) yang ditandai dengan terbentuknya dua sayap (Borror et al., 1992). Hasegawa dan Kubo (1996) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan nimfa untuk tumbuh dewasa tergantung pada cuaca, spesies dan jenis makanannya. Karakteristik produksi dan reproduksi jangkrik kalung hasil penelitian Widiyaningrum (2001) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Produksi dan Reproduksi Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus)

No. Karakteristik Rataan

1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13

Bobot jantan dewasa (g/ekor) Bobot betina dewasa (g/ekor)

Pertambahan bobot hidup (mg/ekor/hari) Konsumsi (mg/ekor/hari)

Konversi pakan

Bobot badan 50 hari (mg/ekor) Lama masa bertelur (hari) Produksi telur (butir/ekor) Daya tetas (%)

Produksi telur kumulatif (butir/ekor) Mortalitas masa produktif (%) Lama fase nimfa (hari)

Umur mencapai imago (hari)

0,86 0,88 12,50 11,19 0,89 501,47

32-36 1.375 60,23 203 35,04 50-55 55-60

Sumber: Widyaningrum (2001)

Total perkembangan yang diperlukan oleh seekor jangkrik kurang lebih 78-105 hari (Paimin et al., 1999), atau 6-7 minggu pada suhu 32°C (Patton, 1963). Menurut Widiyaningrum (2001), jangkrik kalung memiliki siklus hidup sampai 75-78 hari.

Alat Reproduksi

Alat genital luar jangkrik betina disebut ovipositor yang berbentuk seperti jarum dan terletak di ujung perut berfungsi untuk meletakkan telur. Jangkrik betina


(29)

mempunyai sepasang ovarium yang terletak pada punggung bagian tengah di atas saluran pencernaan (Budi, 1999).

Jangkrik jantan memiliki sepasang testis berwarna putih krem yang terletak di atas saluran pencernaan. Masing-masing testis terdiri dari beberapa folikel yang berhubungan tipis memanjang ke belakang sampai mencapai saluran ejakulator. Sepasang kelenjar asesori yang terdiri dari seminali vesicle dan pembuluh yang berbelit cukup panjang terdapat di atas saluran ejakulator (Youdeowai, 1974). Alat genital jantan disebut clasper yang berfungsi sebagai alat kopulasi yang memindahkan sperma ke saluran alat genital betina (Budi, 1999).

Perkawinan

Sridadi dan Rachmanto (1999) menyatakan bahwa tanda-tanda jangkrik telah birahi adalah bulu punggung tampak mengkilat dan ovipositor pada betina telah panjang, kaku, berwarna hitam dan ujung abdomen sebelah bawah telah berbentuk seperti kantong. Jangkrik jantan yang siap kawin memiliki tanda-tanda sayapnya sudah lengkap, telah berumur 60 hari, sudah mengerik, suaranya keras dan gerakannya lincah (Sukarno, 1999).

Tingkah laku kawin jangkrik diawali dengan bunyi kerikan (nyanyian) jantan dari jauh untuk memikat betina dari spesies yang sama dan akan merespon nyanyian tersebut. Getaran suara nyanyian ditangkap oleh selaput yang terdapat pada kaki depan betina, kemudian dia akan mencari dan mengikuti asal suara. Setelah bertemu dan saling mendekat, jantan dan betina akan saling meneliti muka dan antena untuk memastikan bahwa mereka merupakan spesies yang sama. Jangkrik jantan akan merayap dari belakang ke bawah jangkrik betina dan meletakkan kantong kecil berwarna putih berisi sperma saat perkawinan akan berlangsung. Ketika mereka sudah siap berkopulasi, sperma tersebut akan masuk dan disimpan di bawah abdomen jangkrik betina untuk bertemu dengan sel telur yang siap untuk dibuahi. Kopulasi berlangsung kira-kira seperempat jam (Hasegawa dan Kubo, 1996). Satu ekor jantan dapat mengawini satu sampai lima ekor betina secara ideal (Paimin et al., 1999).


(30)

Telur Jangkrik

Telur dari genus Gryllus termasuk jangkrik berbentuk seperti pisang ambon, berwarna kuning muda bening dengan panjang rata-rata 2,5-3 mm. Bagian atas telur terdapat tonjolan yang disebut operculum, yang merupakan tempat keluar nimfa dari dalam telur. Kulit telur jangkrik sangat liat dan kuat, berfungsi melindungi bagian dalam telur (Paimin et al., 1999). Profil telur jangkrik dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3. Profil Telur Jangkrik yang Diperbesar (a) dan Perkembangan Telur Sudah Sempurna (b) (Oda dan Kubo, 1997)

Telur yang bagus berwarna kuning bening dan mengkilap. Telur yang embrionya tumbuh ditandai dengan warna kecoklatan mengkilat dan bening (Raharjo, 1999). Perkembangan nimfa ditandai dengan pembentukan ruas-ruas pada tubuhnya. Ketika hampir menetas, mata majemuknya berubah menjadi coklat (Oda dan Kubo, 1997) (Gambar 3b).

Seekor induk jangkrik kalung dapat menghasilkan 1.375 butir telur (Widiyaningrum, 2001), sedangkan penelitian Fitriyani (2005) menghasilkan 3.154-4.128 butir telur/ekor. Produksi telur pada berbagai spesies jangkrik sangat bervariasi karena pengaruh berbagai faktor meliputi faktor genetik dan lingkungan, dengan proporsi 30% faktor genetik dan 70% faktor lingkungan.

Jangkrik betina memiliki kemampuan bertelur meskipun tanpa pejantan namun telur-telur yang dihasilkan akan infertil (steril) dan tidak akan menetas. Telur yang fertil adalah telur-telur yang dibuahi pejantan (Paimin et al., 1999). Jangkrik betina bertelur dengan cara memasukkan ovipositor ke dalam tanah atau pasir pada kedalaman 1,25 cm (Gambar 4). Telur yang berada di dalam tanah akan memperoleh kehangatan alami sampai akan menetas (Sridadi dan Rachmanto, 1999).


(31)

Gambar 4. Jangkrik Betina Bertelur dalam Tanah (Oda dan Kubo, 1997)

Proses bertelur diawali dengan pembuatan lubang kecil dengan menggerakkan ovipositor ke dalam media bertelur sampai terbentuk luasan yang cukup. Betina akan membuang kotoran dekat lubang tersebut dan mendepositkan telur-telurnya melalui ovipositor. Proses bertelur diakhiri dengan peletakan kotoran di atas permukaan tanah yang menjadi tempat bertelur (Matheson, 1951).

Penetasan

Telur jangkrik yang baru dikeluarkan dari ovipositor berwarna kuning muda, cerah dan segar, kemudian warnanya berubah menjadi kuning cerah dengan garis-garis halus berwarna abu-abu. Menjelang menetas, telur menjadi kusam dan ujungnya tampak berwarna hitam yang menandakan bahwa telur sudah tua (Raharjo, 1999). Telur yang mati atau tidak dapat menetas memiliki ciri berwarna coklat atau hitam berjamur dengan permukaan keriput. Telur yang berjamur atau busuk menandakan kelembaban yang terlalu tinggi, sebaliknya jika terlalu kering maka telur akan mati (Sukarno, 1999). Kelembaban relatif yang dibutuhkan untuk penetasan telur berkisar antara 65%-80% dengan suhu udara 26 °C (Sukarno, 1999). Ciri telur yang steril adalah warna telur bening dan beberapa hari setelah diinkubasi akan mengkerut, kecil, membusuk dan menghilang (Pusparini, 2001).

Jangkrik membutuhkan media untuk bertelur (media peneluran) dan media tetas untuk menetaskan telur-telurnya. Penelitian Destephano et al. (1982) yang menggunakan empat macam media peneluran untuk jangkrik Acheta domesticus yaitu pasir lembab, pasir kering, media kaus basah, dan tanpa media, dihasilkan bahwa media pasir lembab sangat efektif merangsang peneluran sehingga menghasilkan jumlah telur yang lebih tinggi. Media tetas dapat berupa pasir, tanah, campuran pasir dan tanah, kapas, dan kain (Paimin et al., 1999). Pusparini (2001)


(32)

menyatakan bahwa perbedaan media tetas mempengaruhi waktu tetas jangkrik kalung. Telur yang ditempatkan pada media tetas berupa kapas lebih cepat menetas dibandingkan pada pasir.

Telur-telur tidak sekaligus menetas dalam waktu yang bersamaan melainkan secara bertahap (Sridadi dan Rachmanto, 1999). Telur jangkrik lokal di alam akan menetas menjadi nimfa dalam jangka waktu 15-17 hari (Rifadah, 2000); 13-14 hari (Paimin et al., 1999); 10-14 hari (Patton, 1963) terhitung sejak induk mulai kawin sampai menetas.

Mortalitas

Aryani (2002) menyatakan bahwa jangkrik kalung berperilaku sangat agresif dan cenderung suka berkelahi sehingga tingkat mortalitasnya tinggi. Mortalitas dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pemeliharaan (Tim PPPI, 1999). Penyakit, lingkungan, gangguan predator serta kanibalisme merupakan penyebab gangguan reproduksi jangkrik yang dapat meningkatkan mortalitas pula. Kanibalisme dapat ditekan dengan menyediakan tempat persembunyian yang memadai di dalam kandang (Paimin, 1999).

Diare (mencret) merupakan penyakit yang umum ditemukan pada jangkrik. Penyakit ini disebabkan oleh lingkungan kotak pemeliharaan yang tidak bersih, seperti makanan yang tidak bersih atau adanya kotoran jangkrik yang dapat mengundang bakteri dan mudah berkembang pada makanan yang banyak mengandung air. Jangkrik yang terkena diare ditandai dengan tubuh yang lemas dan tidak banyak bergerak, nafsu makan berkurang, indera penglihatan mulai tertutup, dari mulutnya keluar cairan, dan kotorannya lembek (Paimin et al., 1999).

Predator yang biasa memangsa jangkrik antara lain semut, laba-laba, cecak dan kecoa (Paimin, 1999). Kanibalisme dapat terjadi apabila ketersediaan pakan kurang, terdapatnya jangkrik kuat (besar) dan lemah (kecil) dalam satu populasi dan kondisi kandang yang terlalu padat (Clifford et al., 1977). Ventilasi yang kurang lebar atau sirkulasi udara yang kurang lancar menyebabkan jangkrik kekurangan oksigen dan akan mati lemas (Sridadi dan Rachmanto, 1999).


(33)

Pakan Jangkrik

Pakan menyediakan protein dan energi bagi kelangsungan berbagai proses dalam tubuh, menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaiki jaringan tubuh yang telah rusak atau terpakai dan mengatur kelestarian dan kondisi lingkungan dalam tubuh (Jurd, 1997). Jangkrik dewasa memakan apa saja yang ditemukannya seperti halnya pada nimfa, tetapi tidak seperti jangkrik muda yang makan agar tumbuh dewasa, jangkrik dewasa makan agar ia mendapatkan energi untuk kawin dan berkembangbiak (Hasegawa dan Kubo, 1996). Menurut Borror et al. (1992), pakan dapat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku dan sifat-sifat morfologis lainnya seperti ukuran dan warna.

Jangkrik tidak minum seperti kebanyakan hewan lainnya melainkan memperoleh air dari makanannya. Jangkrik menyukai daun muda yang banyak mengandung air sebagai pengganti air minum seperti sawi, kubis, bayam, kangkung, daun singkong dan lain-lain (Paimin et al., 1999). Kekurangan air dalam tubuh hewan akan mengurangi nafsu makan dan feed intake. Jangkrik lebih memilih mengkonsumsi air yang terkandung dalam sayuran meskipun sudah disediakan ad libitum dalam kapas (Tillman et al., 1991).

Mutu pakan biasanya dinilai dari efisiensi penggunaan pakan yang salah satu cara mengukurnya adalah dengan menghitung konversi pakan. Konversi pakan merupakan perbandingan antara unit pakan yang diberikan dengan unit produk yang dihasilkan (Hardjosubroto dan Astuti, 1994).

Daun Singkong (Manihot esculenta, Crantz)

Daun singkong merupakan salah satu pakan yang disukai jangkrik. Kelebihan yang dimiliki daun singkong adalah kandungan air yang relatif rendah jika dibandingkan dengan pakan sayuran jangkrik lainnya. Kandungan air yang tidak terlalu tinggi ini dapat mengurangi kemungkinan jangkrik terkena diare. Kandungan nutrisi daun singkong disajikan pada Tabel 2.


(34)

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Daun Singkong (per 100 gram)

Kandungan Satuan Jumlah

Vitamin A Vitamin C Vitamin B1 Kalsium Energi Fosfor Protein Lemak Hidrat arang Zat besi

SI mg mg mg kal mg g g g mg

11000 275 0,12 165 73 54 6,8 1,2 13 2 Sumber: Darjanto dan Murjanti (1980)

Selain kandungan protein yang cukup tinggi, daun singkong memiliki kandungan asam sianida (HCN) yang bersifat racun (Eviyanti, 1993). Sianida dapat menghambat pembentukan ATP di dalam tubuh sehingga pasokan energi ke dalam sel-sel tubuh berkurang (Cheeke, 1989). Kadar racun tersebut dapat dikurangi dengan pelayuan atau pencincangan daun singkong sebelum diberikan kepada jangkrik tanpa mempengaruhi kandungan protein secara nyata. Pencincangan daun singkong akan mengakibatkan HCN dalam bentuk bebas menguap (Ravindran et al., 1985).

Konsentrat

Pemberian pakan buatan (konsentrat) biasanya diberikan untuk jangkrik yang diternakkan terutama pada masa pembesaran yakni 10 hari setelah telur menetas (Sridadi dan Rachmanto, 1999). Tujuan pemberian konsentrat adalah untuk mempercepat pertumbuhan, gerakan menjadi lincah, nimfa menjadi tidak lunak, serta tidak mudah mati (Tim PPPI, 1999). Hasil penelitian Lumowo (2001) menyatakan bahwa jangkrik yang diberi pakan buatan dengan kadar protein 20%-22% lebih baik produksinya daripada jangkrik yang diberi pakan dengan kadar protein 16%-18%.


(35)

Kunyit

Taksonomi dan Morfologi

Kunyit merupakan tanaman tahunan yang tumbuh merumpun, dapat mencapai tinggi hingga satu meter. Kunyit termasuk ke dalam kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup), kelas Monocotyledonae (biji berkeping satu), ordo Zingiberales, famili Zingiberceae, genus Curcuma, spesies Curcuma domestica Val. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara dan Asia Selatan tetapi sekarang banyak dijumpai di daerah-daerah lain seperti India, Cina, Himalaya dan sebagainya (Purseglove et al., 1981).

Kandungan, Zat Aktif, dan Manfaat

Komponen utama yang terpenting dalam kunyit adalah kurkuminoid dan minyak atsiri (Natarajan dan Lewis, 1980). Kurkuminoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada kunyit sebanyak 3-6% serta terdiri dari kurkumin (70-75%), demetoksikurkumin (15-20%) dan bisdemetoksikurkumin (3%). Kurkuminoid diperoleh dari kunyit dengan cara ekstraksi dengan etanol. Kurkumin merupakan zat yang umum dipelajari dari kurkuminoid dengan rumus molekul C12H20O6 (www.pdrhealth.com). Kurkumin terdapat dalam dua bentuk yaitu keto

dan enol. Bentuk keto cenderung muncul dalam padatan, sedangkan bentuk enol muncul dalam larutan (www.wikipedia.com). Rumus bangun senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Bentuk Keto Bentuk Enol

Gambar 5. Rumus Bangun Kurkumin (www.wikipedia.com, 2006)

Substansi murni kurkumin adalah bubuk kristal kuning jingga yang memiliki titik cair 180-182 ºC, tidak larut dalam air, sangat larut dalam ether, larut dalam alkohol, asam asetat glasial dan juga larut dalam alkali yang memberi warna coklat kemerah-merahan. Kandungan minyak atsiri kunyit tersusun dari 60% turmeron,


(36)

25% zingiberene dan sedikit d-α-phellanarene, d-sabinene, cineole dan borneol (Natarajan dan Lewis, 1980). Komposisi kimia kunyit disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Komposisi Kimia Kunyit dan Tepung Kunyit

Komponen Kunyit Tepung Kunyit

Energi (kal) Air (g) Protein (g) Lemak

Total karbohidrat (g) Serat kasar (g) Abu (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Natrium (g) Kalium (g) Besi (g) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg)

Asam nikotinat (mg)

Asam askorbat/ vitamin C (mg) Vitamin A (IU)

Kurkuminoid (%)

Minyak atsiri (%)

349,00 13,10 6,30 5,10 69,40 2,60 0,15 0,28 0,03 3,30 18,60 0,03 0,00 - 2,30 0,00 50,00 1,8-5,4 2,5-7,2 390,00 5,80 8,60 8,90 69,90 6,90 6,80 0,20 0,26 0,01 2,50 47,50 0,09 0,19 4,80 - 49,80 175,00 1,3-2,1 1,3-5,5

Sumber: Shankaracharya dan Natarajan (1977)

Kunyit dapat menambah nafsu makan (Darwis et al., 1991) dan digunakan sebagai bumbu masakan karena kunyit mengandung kurkumin yang pada kadar tertentu dapat meningkatkan palatabilitas, tetapi jika diberikan berlebihan dapat menurunkan palatabilitas makanan (Sambaiah, 1982). Berdasarkan hasil penelitian, kunyit memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan vital energi, antiradang (anti-inflamasi), antibakteri, memperlancar pengeluaran empedu (kolagogum), dan


(37)

pelembab (astringent). Kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang ini juga dapat meningkatkan aktivitas seksual (Winarto, 2004). Beberapa zat aktif kunyit dengan efek farmakologis disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung dalam Rimpang Kunyit

Zat Aktif Efek Farmakologis

Caffeic acid

L-α dan L-βcurcumae Guanicol

Protochatechuic acid Ukanon A, B, C, dan D Zingiberene

Merangsang semangat, penyegar, mengurangi rasa lelah, antiradang, antikejang dan antioksidan.

Penyegar

Menurunkan kepekaan saraf peraba dan menekan batuk Merangsang daya tahan tubuh

Merangsang daya tahan, stamina dan kekebalan tubuh Feromon (zat pengharum obat atau tanaman)

Sumber: Karyasari dalam Winarto (2004)

Selain kegunaan-kegunaan tersebut, kunyit pernah digunakan sebagai pengendali hama tikus secara biologis karena tanaman ini bersifat antifertilitas (pengurang kesuburan) meskipun penggunaannya masih sangat terbatas (Aisyah, 1997). Menurut Watt dan Breyer-Brandwijk (1932) dalam Amir et al., (1976), kurkumin yang terkandung dalam beberapa spesies Curcuma famili Zingiberaceae mempunyai potensi untuk menghambat reproduksi hewan mamalia sedangkan minyak atsiri dapat menyebabkan kontraksi uterus pada hewan (Gunster, 1943 dalam Hadi, 1985). Pendapat lain dikemukakan oleh Winarto (2004) yang mengemukakan bahwa kunyit dapat meningkatkan aktivitas seksual tetapi mampu menghambat perkembangan serangga hama gudang (Sitophilus zeamais) dengan efek yang ditimbulkannya adalah dalam bentuk daya tolak (repellent) dan daya pencegah (antifeedant) (Sudiarsih, 1999). Hasil penelitian Aisyah (1997) menyatakan bahwa penambahan tepung rimpang kunyit dengan taraf pemberian 4%, 8% dan 12% pada mencit tidak berpengaruh terhadap populasi mencit dan cenderung menurunkan angka kematian anak mencit saat penyapihan sehingga jumlah anak mencit yang hidup semakin banyak walaupun jumlahnya masih lebih rendah daripada kontrol (0%). Semakin tinggi konsentrasi tepung rimpang kunyit, ada kemungkinan pengurangan jumlah anak.


(38)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilakukan selama dua bulan, dimulai sejak tanggal 16 Pebruari sampai 26 April 2006, bertempat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Jangkrik

Jangkrik yang digunakan sebanyak 360 ekor jenis Gryllus bimaculatus (jangkrik kalung) dewasa berumur 51 hari, terdiri dari 60 ekor jantan dan 300 ekor betina. Jangkrik diperoleh dari salah satu peternakan jangkrik di daerah Depok.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan terdiri dari 12 kandang indukan dan 120 kandang penetasan. Kandang indukan berukuran 45x30x30 cm terbuat dari kayu reng sebagai rangkanya serta triplek kayu sebagai dinding kandang (Gambar 6). Bagian dinding luar kandang diolesi kapur insektisida untuk mencegah serangan hama semut dan bagian dalam tepi atas dinding dilapisi dengan lakban coklat selebar 10 cm. Permukaan lakban yang licin dapat mencegah jangkrik merayap keluar kandang.

(a) (b)

Gambar 6. Kandang Indukan (a) dan Kandang Penetasan Jangkrik (b)

Tutup kandang terbuat dari kayu reng dan kawat nyamuk serta bagian kaki kandang diberi gelas plastik berisi air untuk mencegah predator masuk ke dalam kandang. Setiap kandang dilengkapi egg tray (tempat telur) yang terbuat dari kertas sebagai tempat persembunyian jangkrik. Kandang penetasan terbuat dari kotak karton berukuran 30x30x12 cm yang telah dilapisi selotip selebar lima sentimeter di


(39)

bagian dalam tepi atas dan dilengkapi dengan media penetasan yang dialasi kapas basah untuk minum anak jangkrik dan menjaga kelembaban kandang.

Peralatan lain yang digunakan yaitu alat tulis, tempat pakan hijauan dan konsentrat, sendok dan gelas plastik, timbangan digital JKH-500, termohigrometer, penyemprot, saringan, baskom plastik, kuas, alat penghitung telur (counter), lakban, gunting, dan pisau.

Media Bertelur dan Penetasan

Bahan yang digunakan untuk media bertelur yaitu pasir hitam yang sudah disangrai dan disaring dua kali agar lebih halus dan berukuran seragam. Kondisi pasir selalu diusahakan dalam keadaan lembab dengan disemprot air dan disimpan dalam kotak plastik berukuran 14,5x7,5x2,5 cm (Gambar 7).

(a) (b)

Gambar 7. Media Bertelur (a) dan Media Penetasan Telur Jangkrik (b)

Bahan untuk media penetasan menggunakan kain katun berukuran 20x20 cm yang dilipat pada setiap sisinya dan dialasi kapas lembab (Gambar 7). Media penetasan diletakkan dalam kandang penetasan.

Pakan

Pakan konsentrat yang digunakan adalah campuran pakan ayam broiler komersial yang mengandung protein 20%-22% (kode CP 511) dengan pencampuran tepung kunyit secara substitusi sebesar 0% (P0); 0,2% (P0,2); 0,4% (P0,4); dan 0,8%

(P0,8). Pakan hijauan yang digunakan berupa daun singkong yang telah dilayukan

terlebih dahulu selama satu hari dan dicacah berukuran sekitar dua sentimeter untuk menghilangkan kandungan asam sianida (HCN) (Ravindran et al., 1985). Kandungan nutrisi pakan yang digunakan terdapat pada Tabel 5.


(40)

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Pakan Konsentrat, Tepung Kunyit, dan Daun Singkong

Persentase Tepung Kunyit c) Komposisi Daun

Singkong a)

Tepung Kunyit a)

Konsentratb)

0,2% 0,4% 0,8%

Bahan kering (%) Kadar abu (%) Lemak (%) Protein (%) BETN (%) Serat kasar (%) Phosfor (P) (%) Kalsium (Ca) (%) Gross Energi (kkal/kg) 17,90 1,51 0,48 8,64 4,26 3,01 td td td 83,51 3,62 2,64 14,16 56,37 6,72 td td td 91,67 5,45 7,28 19,99 51,63 6,15 0,17 0,32 3551,67 91,66 5,45 7,27 19,98 51,64 6,15 td td td 91,46 5,44 7,26 19,97 51,65 6,15 td td td 91,60 5,44 7,24 19,94 51,67 6,15 td td td

Keterangan: a) Hasil analisis proksimat di Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan (Maret 2006)

b) Mansy (2002)

c) Hasil perhitungan dari campuran konsentrat dan tepung kunyit td : tidak dianalisis

Tabel 5 menunjukkan bahwa komposisi ransum perlakuan (konsentrat dengan substitusi tepung kunyit) tidak berbeda jauh dengan komposisi ransum konsentrat itu sendiri. Konsentrat dihaluskan dan disaring dahulu sebelum dicampurkan dengan tepung kunyit agar ukurannya seragam dan lebih homogen Tepung kunyit yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balittro) Bogor, sedangkan daun singkong diperoleh dari kebun singkong bagian UPT GOR IPB. Mutu serbuk kunyit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Mutu Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.)

Komposisi Persentase (%)

Kadar Air Sari Air Sari Alkohol Kadar Minyak Kurkumin 8,90 15,72 5,37 4,16 6,57

Sumber: Hasil analisis Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika(Desember 2005)


(41)

Rancangan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat taraf perlakuan dan ulangan yang tidak sama. Perlakuan yang diberikan adalah pakan campuran konsentrat dengan 0%; 0,2%; 0,4%; dan 0,8% tepung kunyit. Jumlah jangkrik setiap ulangan adalah 30 ekor dengan perbandingan jantan dan betina 1:5.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Minitab 14 karena hasil analisis statistik menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah. Nilai R2 yang rendah mengartikan banyak faktor lain yang mempengaruhi respon peubah yang diamati.

Peubah yang Diamati

1. Konsumsi pakan (mg/ekor/hari) dihitung berdasarkan bahan kering (BK). Konsumsi pakan hijauan (KH) dihitung berdasarkan selisih antara pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa lalu dibagi jumlah populasi dan dibagi tiga hari. Konsumsi hijauan ini kemudian dikalikan dengan persentase pakan yang dikonsumsi yang diperoleh dari faktor koreksi penguapan (FKP). Konsumsi pakan campuran konsentrat dan tepung kunyit (KK) dihitung berdasarkan selisih dari pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa lalu dibagi jumlah populasi dan dibagi enam hari. Konsumsi pakan total diperoleh dari penjumlahan konsumsi hijauan dengan konsentrat.

KH = ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ × − × Populasi Σ sisa) BK sisa (Bobot segar) BK pemberian (Bobot

: 3 hari

FKP = ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ × 100% awal kontrol Bobot akhir kontrol bobot -awal kontrol Bobot

(100-FKP)% = persentase pakan yang dikonsumsi jangkrik KH setelah dikoreksi faktor penguapan = KH x (100-FKP)%

KK = ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ × − × Populasi Σ sisa) BK sisa (Bobot segar) BK pemberian (Bobot

: 6 hari


(42)

2. Pertambahan bobot badan (mg/ekor/hari) induk diperoleh dari selisih antara bobot badan saat penimbangan dengan bobot badan pada enam hari sebelumnya, kemudian dibagi enam hari. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Pertambahan Bobot Badan =

hari 6

BB BBtt6

Keterangan :

BBt = bobot badan pada hari ke t (mg)

BBt-6 = bobot badan pada hari ke t-6 (mg)

3. Produksi telur harian (butir/ekor/hari) diperoleh dari jumlah telur hasil pemanenan per hari pada setiap kandang dibagi dengan jumlah induk betina yang hidup. Total produksi telur (butir/ekor) diperoleh dari perhitungan kumulatif produksi telur harian selama masa bertelur sampai jangkrik mati.

Total produksi telur = ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ betina induk Populasi hari per telur Produksi Σ

4. Konversi pakan berdasarkan produksi telur (mg/butir telur) dihitung berdasarkan rataan konsumsi pakan total dibagi dengan rataan jumlah telur yang diproduksi per hari.

Konversi pakan terhadap jumlah telur =

hari) ekor/ (butir/ harian telur Produksi hari) (mg/ekor/ total pakan Konsumsi

5. Waktu tetas (hari) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan pada media tetas (mulai diinkubasi) sampai anak jangkrik yang pertama menetas. 6. Mortalitas induk jangkrik (%) merupakan persentase jumlah induk yang mati dari

total populasi induk selama penelitian. Perhitungan mortalitas dilakukan setiap enam hari dengan rumus:

Mortalitas = 6 -t t 6 t Populasi Populasi Populasi

x 100%

Keterangan :

Populasi t = populasi pada hari ke t (ekor)

Populasi t-6 = populasi pada hari ke t-6 (ekor)


(43)

Prosedur

Penelitian pada fase reproduksi (masa bertelur) ini merupakan rangkaian penelitian dari fase pertumbuhan dengan perlakuan yang sama. Penelitian dimulai dengan pemindahan jangkrik yang sudah dewasa tubuh (berumur 51 hari) dari kandang pembesaran ke kandang indukan (kandang penelitian). Jangkrik yang dijadikan sample penelitian adalah betina yang sudah memiliki ovipositor pada ujung abdomen, sedangkan jantan yang dipilih adalah jangkrik yang sayapnya bergelombang atau tidak rata (Fitriyani, 2005). Jangkrik yang dipilih dalam keadaan sehat dan lengkap (tidak ada bagian tubuh yang hilang seperti kaki, antena, dan lain-lain).

Tahap akhir penelitian fase pertumbuhan hanya menghasilkan jumlah jangkrik yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan banyaknya jangkrik yang mati dengan dugaan suhu dan kelembaban yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jangkrik, mengingat waktu penelitian dilakukan pada saat musim hujan dengan kelembaban yang tinggi (lebih dari 80%). Menurut Sukarno (1999), jangkrik dapat hidup dengan baik pada suhu 20-32 °C dan kelembaban sekitar 65%-80%. Jangkrik yang tersisa dan memenuhi syarat untuk penelitian pada fase reproduksi hanya sebanyak 360 ekor dengan rincian yaitu untuk taraf perlakuan 0%; 0,2%; 0,4%; dan 0,8% tepung kunyit sebanyak 120, 60, 90, dan 90 ekor jangkrik.

Jumlah jangkrik yang terbatas pada fase pertumbuhan menyebabkan ulangan yang dapat dilakukan dalam penelitian ini tidak sama untuk setiap taraf perlakuan. Keempat taraf perlakuan terdiri dari empat ulangan untuk 0% tepung kunyit (P0), dua

ulangan untuk 0,2 % tepung kunyit (P0,2), dan masing-masing tiga ulangan untuk

perlakuan 0,4 % dan 0,8% tepung kunyit (P0,4 dan P0,8) sehingga diperoleh 12

kandang pengamatan. Jumlah ulangan pada penelitian ini tidak sama karena tergantung dari jumlah ternak dari penelitian sebelumnya (fase pertumbuhan) untuk mendapatkan efek kumulatif. Setiap kandang indukan berisi 30 ekor jangkrik dengan perbandingan jantan dan betina 1:5 (Widiyaningrum, 2001) sehingga diperoleh lima ekor jantan dan 25 ekor betina dalam setiap kandang. Kandang penetasan yang berjumlah 120 buah hanya digunakan sebagai tempat penetasan. Skema bagan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.


(44)

0% tepung

kunyit

0,4% tepung

kunyit

0,8% tepung

kunyit 0,2%

tepung kunyit

Jangkrik kalungberumur 21-51 hari (4800 ekor)

120 ekor 60 ekor 90 ekor 90 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor

30 ekor 30 ekor

30 ekor

30 ekor 30 ekor Jangkrik Kalung berumur 51 hari (360 ekor)

Fase Pertumbuhan

Fase Reproduksi 0%

tepung kunyit

0,4% tepung

kunyit

0,8% tepung

kunyit 0,2%

tepung kunyit

Gambar 8. Skema Bagan Penelitian

Penempatan media bertelur dalam kandang dilakukan bersamaan pada saat jangkrik berumur 51 hari dan dimasukkan ke kandang indukan. Media bertelur yang digunakan yaitu pasir yang telah disangrai dan disaring dua kali kemudian dicampur air agar lembab dengan perbandingan satu bagian air dicampur dengan tiga bagian pasir. Pasir tersebut kemudian ditempatkan dalam kotak plastik dengan ketebalan pasir sekitar dua sentrimeter.

Telur yang dihasilkan induk dipanen setiap hari dan diletakkan di media tetas. Pemanenan telur dilakukan dengan cara menyaring pasir sebagai media bertelur


(45)

dengan air agar telur yang dihasilkan bersih dari pasir, kemudian dilakukan perhitungan dan dicatat untuk mengetahui jumlah produksi telur harian. Pemanenan telur dilakukan sampai induk mati seluruhnya untuk mengetahui total produksi telur. Kandang penetasan dan media tetas telur hari pertama terpisah dengan hari kedua dan hari-hari selanjutnya.

Telur yang telah disaring dari pasir kemudian diletakkan di atas kertas sampai agak kering agar tidak menempel satu sama lain dan memudahkan perhitungan. Telur disimpan dalam media tetas setelah dihitung, kemudian diinkubasi sampai anak jangkrik menetas. Telur ditetaskan dengan ditempatkan secara merata pada bagian tengah kain katun. Kain dilipat pada setiap sisinya ke bagian tengah secara bergantian mulai dari sisi kanan, kiri, atas, dan bawah (Gambar 9). Lipatan kain dibiarkan longgar agar memudahkan anak jangkrik keluar setelah menetas.

Gambar 9. Urutan Pelipatan Media Tetas dari Kain (Paimin, 1999)

Media tetas diletakkan di atas kapas basah untuk menjaga kelembaban dan disemprot setiap hari sampai anak jangkrik menetas. Media tetas ditempatkan di atas alas plastik dalam kandang penetasan.

Perhitungan daya tetas telur pada penelitian ini tidak dapat dilakukan karena timbul jamur pada telur yang disebabkan oleh kelembaban yang tinggi dan suhu yang cukup rendah, mengingat waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada musim hujan. Telur yang berjamur tidak dapat menetas karena telur membusuk dan kemudian mati. Pakan diberikan ad libitum. Penggantian pakan hijauan (daun singkong) dilakukan tiga hari sekali sedangkan untuk campuran konsentrat dan tepung kunyit dilakukan setiap enam hari dengan selalu menimbang sisa pakan untuk mengetahui konsumsi harian. Konsentrat dengan tepung kunyit dicampur dengan perbandingan 99,8 g konsentrat dan 0,2 g tepung kunyit (P0,2); 99,6 g konsentrat dan 0,4 g tepung

kunyit (P0,4); serta 99,2 g konsentrat dan 0,8 tepung kunyit (P0,8). Pencampuran

dilakukan dengan memasukkan konsentrat dan tepung kunyit yang telah ditimbang


(46)

sesuai takaran ke dalam toples bertutup dengan volume 200 g kemudian dikocok-kocok sampai semua bahan tercampur homogen.

Bersamaan dengan pemberian hijauan, sebagian daun singkong diletakkan dalam wadah piring plastik dan disimpan dalam kandang kosong selama tiga hari (sebagai kontrol penguapan). Selisih berat hijauan pada wadah piring di awal dan akhir penyimpanan pada tiap penggantian pakan merupakan faktor koreksi terhadap penguapan air yang digunakan dalam perhitungan konsumsi hijauan. Konsumsi pakan konsentrat dan hijauan dihitung berdasarkan bahan kering.

Penimbangan dan pencatatan bobot badan jangkrik, mortalitas, dan pembersihan kandang dilakukan bersamaan dengan penggantian pakan konsentrat (enam hari sekali). Pencatatan suhu dan kelembaban masing-masing kandang penelitian dilakukan setiap hari. Pencatatan dilaksanakan pada pagi hari (pukul 07.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB), dan sore hari (pukul 17.00 WIB).


(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Suhu dan Kelembaban Kandang

Suhu kandang indukan selama penelitian berkisar antara 26-29 °C dengan rataan 27,18 °C dan kelembaban yang berkisar antara 67%-94% dengan rataan 81,59% (Lampiran 1). Suhu kandang selama penelitian masih dalam kisaran normal, sedangkan kelembaban berada di atas kisaran normal. Jangkrik dapat hidup dengan baik pada kondisi lingkungan bersuhu antara 20-32 °C dengan kelembaban 65%-80% (Sukarno, 1999). Kelembaban yang tinggi pada hari-hari tertentu menimbulkan jamur pada telur yang sedang ditetaskan (diinkubasi), kemudian mati dan tidak dapat menetas sehingga perhitungan daya tetas tidak dapat dilakukan.

Penampilan Reproduksi Induk Jangkrik Kalung

Jangkrik yang dewasa dan siap kawin ditandai oleh ovipositor yang telah tumbuh sempurna (menumpul di bagian ujung seperti ujung korek api) pada jangkrik betina dan timbul suara kerikan dari jangkrik jantan. Tanda-tanda jangkrik yang telah dewasa muncul tidak serempak pada semua individu dalam setiap kandang. Jangkrik pada penelitian ini rata-rata telah memiliki sayap sempurna dan mulai bertelur pada umur 51 hari.

Umur pencapaian dewasa jangkrik pada penelitian ini lebih cepat daripada pernyataan Sukarno (1999) bahwa jangkrik mulai dapat kawin pada umur 60 hari dan Widiyaningrum (2001) yaitu G. bimaculatus mencapai dewasa (imago) dan bertelur pada umur 55-60 hari. Hasil penelitian ini hampir sama dengan pendapat Rahmawati (2005) bahwa jangkrik kalung mencapai dewasa pada umur 45 hari dan bertelur pada umur 50 hari. Penelitian Fitriyani (2005) dengan kombinasi pakan dan seks rasio yang sama menghasilkan jangkrik yang sedikit lebih dini dalam mencapai dewasa, yaitu pada umur 43-45 hari dan mulai bertelur pada umur 48 hari. Hasil ini dapat disebabkan oleh perbedaan tempat asal jangkrik yang digunakan. Jangkrik pada penelitian ini berasal dari sumber peternakan yang sama (Depok) dengan penelitian Rahmawati (2005) dan Fitriyani (2005) sedangkan jangkrik pada penelitian Widiyaningrum (2001) diperoleh dari peternakan jangkrik di Surabaya. Penampilan reproduksi jangkrik kalung dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat pada berbagai persentase selama masa bertelur (mulai umur 51 hari) disajikan pada Tabel 7.


(48)

Tabel 7. Rataan dan Koefisien Keragaman Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Peubah

Rataan KK (%) Rataan KK (%) Rataan KK (%) Rataan KK (%)

Rataan

Konsumsi Pakan

(mg/ekor/hari) 90,38 29,69 117,38 38,00 78,24 42,80 82,66 41,00 92,17

PBB Induk Betina

(mg/ekor/hari) 5,91 - -2,56 - 9,87 - 1,00 - 3,56

Total Produksi Telur

(butir/ekor) 5.344,48 10,34 4.980,34 25,34 5.205,44 11,55 4.146,29 19,54 4.919,14 Produksi Telur Harian

(butir/ekor/hari) 91,12 66,33 102,68 64,88 104,70 73,47 82,91 71,74 95,35

Konversi Pakan terhadap Jumlah Telur

(mg/butir telur)

0,22 - 0,41 - 0,38 - 0,33 - 0,33

Waktu Tetas (hari) 12,42 11,52 12,46 10,07 12,33 9,33 12,27 10,04 12,37

Keterangan:

P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit KK : Koefisien Keragaman


(49)

Konsumsi Pakan

Pakan menyediakan protein dan energi bagi kelangsungan berbagai proses dalam tubuh yang dapat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, dan sifat-sifat morfologis lainnya. Konsumsi pakan total harian (konsentrat dan hijauan) jangkrik selama periode bertelur berkisar antara 78,24-117,38 mg/ekor/hari dengan rataan 92,17 mg/ekor/hari (Tabel 7). Rataan konsumsi pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Fitriyani (2005) dengan

penggunaan jenis pakan yang sama (konsentrat dan daun singkong) yaitu sebesar 124,8 mg/ekor/hari. Perbedaan jumlah rataan konsumsi ini dapat disebabkan oleh

kepadatan kandang yang berbeda yaitu 48 ekor jangkrik dalam kandang berukuran 60x45x30 cm atau 56,25 cm2/ekor (Fitriyani, 2005), sedangkan penelitian ini memiliki tingkat kepadatan kandang sebesar 45 cm2/ekor. Tingkat kepadatan kandang mempengaruhi konsumsi pakan karena semakin banyak jumlah individu per satuan luas kandang, semakin tinggi pula persaingan dalam mendapatkan pakan (Janwar, 2001).

Konsumsi pakan tertinggi (117,38 mg/ekor/hari) terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0,2% tepung kunyit (P0,2) sedangkan konsumsi pakan terendah

terdapat pada P0,4 (78,24 mg/ekor/hari). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa tepung

kunyit dengan kadar 0,2% dalam pakan konsentrat lebih disukai jangkrik daripada tepung kunyit dengan kadar 0%; 0,4%; dan 0,8%.

Pola konsumsi pakan total mengalami peningkatan dari masa bertelur hari pertama sampai hari ke-12 untuk mendukung produksi telur yang tinggi dan sesuai dengan hasil penelitian Fitriyani (2005) yang memiliki puncak produksi rata-rata terjadi pada masa bertelur hari ke-12. Grafik konsumsi pakan total jangkrik kalung dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat dapat dilihat pada Gambar 10.

Konsumsi pakan secara umum menurun setelah masa bertelur hari ke-18 (umur 69 hari) tetapi kemudian terjadi peningkatan kembali meskipun pada akhirnya semakin menurun. Peningkatan konsumsi pada menjelang akhir masa bertelur ini diakibatkan telah banyak jangkrik yang mati sehingga persaingan untuk memperoleh pakan tidak terjadi. Jangkrik yang masih hidup dapat dengan mudah mengkonsumsi pakan tanpa ada saingan dari jangkrik lain.


(50)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 Masa Bertelur (hari ke-)

K

ons

um

si

P

a

ka

n T

ot

a

l

(m

g/

e

kor

/ha

ri

)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Gambar 10. Grafik Konsumsi Pakan Total Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Konsumsi pakan total yang lebih rendah daripada hasil penelitian Fitriyani

(2005) disebabkan oleh konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini, yaitu 23,24 mg/ekor/hari (Tabel 8) berbanding dengan 40,5 mg/ekor/hari, sedangkan

konsumsi konsentrat hampir sama (75,55 mg/ekor/hari berbanding dengan 84,3 mg/ekor/hari). Konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban selama penelitian. Suhu pada penelitian Fitriyani (2005) berkisar antara 25-27 °C dengan kelembaban 60%-68% yang lebih rendah daripada penelitian ini, yaitu berkisar antara 67%-94% (suhu 26-29 °C). Kelembaban yang tinggi mengakibatkan penguapan air tubuh menjadi rendah sehingga jangkrik mengkonsumsi lebih sedikit pakan hijauan yang mengandung kadar air lebih tinggi daripada konsentrat. Hal ini dilakukan oleh jangkrik untuk memperkecil penguapan air tubuh. Paimin et al. (1999) menyatakan bahwa jangkrik memperoleh air dari pakan yang dikonsumsi.


(1)

Lampiran 1. Suhu dan Kelembaban pada Kandang Penelitian

Suhu (°C)

Kelembaban (%)

Hari ke-

Pagi Siang Sore

Rataan

Pagi Siang Sore

Rataan

1-3

4-6

7-9

10-12

13-15

16-18

19-21

22-24

25-27

28-30

31-33

34-36

37-39

40-42

43-45

46-48

49-51

52-54

55-57

58-60

61-63

64-66

27,50

27,50

26,50

26,33

26,50

26,33

26,75

27,25

27,33

27,00

26,75

26,17

26,25

26,50

26,83

26,00

26,67

27,50

26,83

-

26,00

27,50

28,00

27,67

27,50

27,33

26,67

27,67

27,00

28,00

27,67

27,83

27,75

26,50

26,50

27,00

27,67

27,67

27,83

27,50

28,50

-

-

28,00

28,00

27,17

27,00

27,00

26,75

27,00

27,25

27,75

28,50

28,00

27,50

26,50

27,25

27,50

27,75

-

-

-

-

-

-

-

27,83

27,45

27,00

26,89

26,64

27,00

27,00

27,67

27,83

27,61

27,33

26,39

26,67

27,00

27,42

26,84

27,25

27,50

27,67

-

26,00

27,75

86,00

89,00

88,00

88,50

89,00

86,33

81,50

73,33

77,67

79,00

81,25

84,67

85,50

81,50

78,17

79,67

76,17

76,00

79,17

-

78,00

86,50

85,75

83,33

87,50

87,67

88,00

84,00

77,50

76,00

75,33

78,33

79,50

86,50

88,50

85,50

77,33

74,67

73,83

76,50

76,00

-

-

84,00

88,50

85,00

87,00

83,00

89,00

84,75

78,75

76,50

73,50

81,00

81,50

86,00

84,50

84,50

78,75

-

-

-

-

-

-

-

86,75

85,78

87,50

86,39

88,67

85,03

79,25

75,28

75,50

79,44

80,75

85,72

86,17

83,83

78,08

77,17

75,00

76,25

77,59

78,00

85,25


(2)

Lampiran 2. Analisis Ragam Konsumsi Hijauan

Factor Type Levels Values

Perlakuan fixed 4 P0; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for Y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Perlakuan 3 1945,5 1945,5 648,5 1,38 0,251 Error 187 88090,8 88090,8 471,1

Total 190 90036,3

S = 21,7042 R-Sq = 2,16% R-Sq(adj) = 0,59%

Lampiran 3. Analisis Ragam Konsumsi Konsentrat

Factor Type Levels Values

perlak fixed 4 P0; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

perlak 3 5894 5894 1965 1,73 0,167 Error 91 103533 103533 1138

Total 94 109427

S = 33,7302 R-Sq = 5,39% R-Sq(adj) = 2,27%

Lampiran 4. Analisis Ragam Konsumsi Pakan Total

Factor Type Levels Values

Plakuan fixed 4 P0; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for Y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Plakuan 3 6633 6633 2211 1,65 0,182 Error 96 128462 128462 1338

Total 99 135094

S = 36,5806 R-Sq = 4,91% R-Sq(adj) = 1,94%

Lampiran 5. Analisis Ragam Bobot Awal Jangkrik Betina

Factor Type Levels Values

Perlakuan fixed 4 PO; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Perlakuan 3 25716 25716 8572 2,06 0,184 Error 8 33292 33292 4162

Total 11 59008


(3)

Lampiran 6. Analisis Ragam Bobot Akhir Jangkrik Betina

Factor Type Levels Values

Perlakuan fixed 4 PO; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Perlakuan 3 251458 251458 83819 1,75 0,235 Error 8 384167 384167 48021

Total 11 635625

S = 219,137 R-Sq = 39,56% R-Sq(adj) = 16,90%

Lampiran 7. Analisis Ragam Produksi Telur

Factor Type Levels Values

Pelakuan fixed 4 P1, P2, P3, P4

Analysis of Variance for Y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Pelakuan 3 24516 24516 8172 1.58 0.192 Error 552 2846630 2846630 5157

Total 555 2871147

S = 71.8118 R-Sq = 0.85% R-Sq(adj) = 0.32%

Lampiran 8. Analisis Ragam Waktu Tetas

Factor Type Levels Values

PERLAKUAN fixed 4 P0; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for Y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P PERLAKUAN 3 1,635 1,635 0,545 0,33 0,805 Error 324 538,987 538,987 1,664

Total 327 540,622

S = 1,28978 R-Sq = 0,30% R-Sq(adj) = 0,00%

Lampiran 9. Analisis Ragam Mortalitas

Factor Type Levels Values

Perlakuan fixed 4 P0; P0,2; P0,4; P0,8

Analysis of Variance for Y, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Perlakuan 3 743,5 743,5 247,8 0,37 0,774 Error 33 22043,7 22043,7 668,0


(4)

Lampiran 10. Analisis Deskriptif Konsumsi Hijauan

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 22,96 17,88 77,85 5,44 19,03 77,67 P0,2 32,25 31,21 96,75 4,65 26,14 131,64 P0,4 17,45 14,38 82,38 2,80 12,81 52,65 P0,8 20,30 17,60 86,69 4,53 12,93 65,82

Lampiran 11. Analisis Deskriptif Konsumsi Konsentrat

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 67,08 31,96 47,65 25,17 59,57 114,32 P0,2 94,52 27,70 29,31 66,64 87,52 143,75 P0,4 70,7 32,8 46,34 25,7 59,9 121,7 P0,8 69,9 35,1 50,30 17,5 62,7 114,6

Lampiran 12. Analisis Deskriptif Konsumsi Pakan Total

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 90,38 26,83 29,69 56,13 84,56 130,92 P0,2 117,4 38,0 32,36 52,3 114,1 170,3 P0,4 78,2 42,8 54,65 11,5 86,1 138,4 P0,8 82,7 41,0 49,60 9,63 91,6 126,5

Lampiran 13. Analisis Deskriptif Bobot Awal Jangkrik Betina

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum PO 835,0 65,8 7,88 748,0 846,0 900,0 P0,2 892,0 22,6 2,54 876,0 892,0 908,0 P0,4 816,0 70,3 8,62 764,0 788,0 896,0 P0,8 932,0 70,3 7,54 880,0 904,0 1012,0

Lampiran 14. Analisis Deskriptif Bobot Akhir Jangkrik Betina

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum PO 1075,0 170,8 15,89 900,0 1050,0 1300,0 P0,2 650,0 70,7 10,88 600,0 650,0 700,0 P0,4 983 275 28,00 700 1000 1250 P0,8 900 265 29,40 700 800 1200

Lampiran 15. Analisis Deskriptif Pertambahan Bobot Badan

Variable Mean SE Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 5,91 9,91 26,21 443,46 -24,71 -1,29 46,29 P0,2 -2,56 13,2 32,3 -1263,99 -51,8 -5,79 48,8 P0,4 9,87 10,3 23,1 233,91 -15,8 -0,220 42,4 P0,8 0,997 13,3 26,6 2664,61 -25,3 -3,59 36,4

Lampiran 16. Analisis Deskriptif Produksi Telur

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 91,12 60,45 66,33 1,00 76,09 243,03 P0,2 102,68 66,62 64,88 6,00 84,61 248,37 P0,4 104,7 76,9 73,47 6,00 97,5 316,5 P0,8 82,91 59,48 71,74 0,00 64,75 262,91


(5)

Lampiran 17. Analisis Deskriptif Waktu Tetas

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 12,425 1,432 11,52 10,000 12,000 19,000 P0,2 12,463 1,255 10,07 10,000 12,000 17,000 P0,4 12,333 1,151 9,33 10,000 12,000 16,000 P0,8 12,275 1,232 10,04 10,000 12,000 17,000

Lampiran 18. Analisis Deskriptif Mortalitas

Variable Mean StDev CoefVar Minimum Median Maximum P0 37,38 24,65 65,96 23,20 28,07 95,83 P0,2 38,85 15,37 39,55 12,50 39,74 60,71 P0,4 31,56 13,43 42,55 13,33 28,03 50,00 P0,8 42,96 18,00 41,90 13,01 50,00 66,67

Lampiran 19. Asumsi Berat Telur Jangkrik (Widiyaningrum, 2001)

Telur jangkrik sebanyak satu gram setara dengan 1.400 butir telur

Telur jangkrik sebanyak 50 g setara dengan 62.500-80.000 butir telur

Rataan berat telur jangkrik = 0,3-0,4 g per 500 butir

Lampiran 20. Bahan Kering (BK) Pakan yang Digunakan

Jenis Pakan

BK segar (%)

BK sisa (%)

Daun Singkong

25,70

68,80

Konsentrat

Konsentrat + 0,2% tepung kunyit

Konsentrat + 0,4% tepung kunyit

Konsentrat + 0,8% tepung kunyit

86,60

87,45

86,50

87,15

83,58

85,93

84,97

86,40

Lampiran 21. Rangkuman Grafik Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung

(a)

Konsumsi Hijauan

(b)

Konsumsi Konsentrat

(c)

Konsumsi Pakan Total

(d)

Produksi Telur

(e)

Bobot Badan JangkrikBetina

(f)

Pertambahan Bobot Badan

(g)

Konversi Pakan terhadap Produksi Telur

(h)

Mortalitas


(6)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 Masa Bertelur (hari ke-)

K o ns um si H ij a ua n (m g/ e k or /ha ri )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(a)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-)

K ons um si K ons e nt ra t (m g/ e kor /ha ri )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(b)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-)

K o ns um si P a ka n T ot a l (m g/ e k or /h a ri )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(c)

0 50 100 150 200 250 300 350

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64

M asa Bertelur (hari ke-)

P roduks i T el ur H ar ia n ( but ir /e k or )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(d)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-)

B obot B a d a n B e ti n a (m g /e kor )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(e)

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-)

P e rt a m ba h a n B o bo t B a d a n ( m g/ e ko r/ h a ri

0% 0,2% 0,4% 0,8%

(f)

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Masa Bertelur (hari ke-)

K on ve rs i P a k a n t e rh a da p P rodu ks i Te lu r

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(g)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Masa Bertelur (hari ke-)

M o rta lita s ( % )

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(h)