Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria crassna).
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan
Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH
RAHAYU dan HAMIM.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750
mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu
(Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm)
dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan
satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit
terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan
Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon
kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada
10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi.
Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit
senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea
xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid.
Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak
hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi,
warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan
wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen.
Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan
bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir.
ABSTRACT
RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid
Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU
and HAMIM.
This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mM
application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8
years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The
wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four
times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by
cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the
observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days
after application.
Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was
deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and
pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in
the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The
longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with
the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components
sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after
the last MeJA application.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Skripsi
: Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang
dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada
Pohon Gaharu (Aquilaria crassna).
: Risa Rosita
: G34103044
Nama
NIM
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Gayuh Rahayu
NIP 131289335
Dr. Ir. Hamim, M.Si.
NIP 131878946
Mengetahui:
Dekan Fakultas dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA
NIP 131578806
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syulur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa
Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Februari
sampai dengan Agustus 2007, bertempat di kebun A. crassna Parung milik Dr. Ir. Gayuh Rahayu,
Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, dan Laboratorium
Mikologi Departemen Biologi FMIPA IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Hamim,
M.Si. yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, motivasi dan fasilitas selama penelitian
dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Triadiati, M.Si. selaku penguji. Ucapan terima kasih juga penyusun sampaikan kepada Ibunda,
kakak, Deden Dewantara, dan keluarga besar Abdullah atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong, staf
Laboratorium Mikologi, Pak Taufik, Pak Gono, Mbak Ade, Mbak Retno, Desi, Isya, Yuli, Mbak
Yul, Ariza, Rika atas bantuan, perhatian, dan dukungannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis berharap smoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2007
Risa Rosita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juli 1985 sebagai anak kedua dari dua
bersaudara, putri pasangan Mansyur Abdullah (Alm.) dan Nursiah. Tahun 2004 penulis lulus dari
SMU Negeri 2 Bogor dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar
pada tahu ajaran 2005/2006 dan 2006/2007, Genetika Dasar pada tahun ajaran 2005/2006, Biologi
Cendawan pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, serta menjadi asisten peneliti Dr. Ir.
Gayuh Rahayu pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Biologi. Penulis melaksanakan praktek lapang dengan judul ”Reduksi
Kadar Nutrisi Limbah Organik secara Biologis di PT. Perfetti van Melle Indonesia” pada bulan
Juli 2006.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. vii
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat .......................................................................................................... 1
Bahan .............................................................................................................................. 1
Metode
Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid ............................................................. 1
Kebugaran Cabang .................................................................................................
2
Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi .................................................................
2
Analisis Terpenoid
Uji Histokimia .................................................................................................
2
Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) ……................................................... 2
HASIL
Kebugaran Cabang ......................................................................................................... 2
Perubahan Warna ...........................................................................................................
3
Tingkat Wangi ................................................................................................................. 4
Analisis Terpenoid .........................................................................................................
5
PEMBAHASAN
Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi ...............................
6
Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia .................................................
8
Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA ...................................................
8
KESIMPULAN .....................................................................................................................
9
SARAN .................................................................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................
9
DAFTAR TABEL
1
Halaman
Rancangan pemberian MeJA 750 mM secara berulang ............................................. 2
2
Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan,
2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden ............................................ 3
3
Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan .......... 4
4
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang
mengarah ke bagian apeks (menuju daun) ................................................................. 4
5
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang
mengarah ke bagian basal (menuju batang utama) ..................................................... 4
6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem
skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali) ....................
7
5
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi
terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu ......................................................... 6
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
A. crassna umur 8 tahun ............................................................................................. 1
2
Kayu A. crassna setelah diberi perlakuan, dari kiri ke kanan (K- ; skor warna kayu
=0,putih),(K+, M1;skor warna kayu =1,putih kecoklatan),(M2; skor warna kayu=2,
coklat),(M3;skor warna kayu =2, coklat),(M4;skor warna kayu=3, coklat kehitaman 3
3
Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju
daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b) ............................................ 4
4
Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan
sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat,
wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali) ................................................................. 5
5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkima
jejari (a), included phloem (b), unsure trakea xylem (c), dan empulur (d) pada panen
10 hsi ........................................................................................................................... 5
6
Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu
alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard ...................................................... 6
7
Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan
pada uji Liebermann-Burchard .................................................................................... 6
3
PENDAHULUAN
Gaharu adalah sejenis kayu dengan
berbagai bentuk dan warna yang khas serta
memiliki kandungan kadar damar wangi
(Dewan Standarisasi Nasional Indonesia
1999). Gaharu merupakan salah satu hasil
hutan bukan kayu yang dapat diandalkan,
apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang
lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan
kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai
bahan dasar dalam industri parfum, dupa
untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik
dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah
satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat
menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria
crassna (Lieu 2003).
Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon
pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai
gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen
atau perlakuan kimiawi (Nobuchi &
Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995),
gaharu mengandung senyawa sesquiterpen
yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga
merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho
2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob
dengan berat molekul rendah yang
terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi
terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002).
Salah satu senyawa sinyal pada tumbuhan
yang
diketahui
dapat
merangsang
pembentukan fitoaleksin adalah metil
jasmonat (MeJA) (Franceschi et al. 2002).
MeJA merupakan fitohormon endogen. MeJA
memiliki peran dalam regulasi beberapa
proses
fisiologis
tanaman,
misalnya,
merangsang
pertumbuhan
akar
dan
transportasi karbon tanaman (Babst et al.
2005), induksi pematangan buah, sinyal
regulasi ekspresi gen pada proses penuaan
daun dan bunga (Srivastava 2002), dan sinyal
transduksi respon ketahanan tanaman terhadap
cekaman biotik dan abiotik (Yang et al. 1997).
MeJA akan menjadi komponen yang lebih
aktif jika diberikan dalam bentuk fitohormon
eksogen (Srivastava 2002).
Menurut Michiho (2005), pemberian
mM
dapat
menginduksi
MeJA 0.1
terbentuknya senyawa terpenoid pada kultur
kalus A. sinensis. Pada A. crassna, satu kali
pemberian MeJA 750 mM juga mampu
menginduksi pembentukan senyawa terpenoid
(Putri 2007). Dari perlakuan MeJA ini,
akumulasi senyawa terpenoid dapat terdeteksi
mulai 5 hari setelah induksi (hsi) dan
menghilang pada 75 hsi (Putri 2007).
Pemberian MeJA 750 mM ini tidak cukup
menyebabkan deposit senyawa terpenoid yang
dapat bertahan setelah 75 hsi. Pemberian
MeJA secara berulang diharapkan dapat
merangsang peningkatan deposit senyawa
terpenoid gaharu. Deposit senyawa terpenoid
gaharu ditemukan dalam jumlah banyak pada
jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah
kecil pada included phloem serta unsur trakea
xilem (Ramadhani 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
efektivitas pemberian MeJA pada konsentrasi
750 mM secara berulang dalam meningkatkan
deposit senyawa terpenoid pada Aquilaria
crassna.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari sampai dengan Agustus 2007, di
kebun
gaharu
Jabon-Parung
(Bogor),
Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, dan Laboratorium Zoologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah tanaman A.
crassna umur 8 tahun (Gambar 1), alkohol 75
%, akuades, metil jasmonat 750 mM (MeJA
750 mM), Tween 80 %, formaldehid 4 %,
larutan gliserin 30 %, larutan K2HPO4, larutan
tembaga asetat 50 %, etanol absolut, dietil
eter, larutan H2SO4 pekat, larutan asam asetat
anhidrat.
Gambar 1 A. crassna umur 8 tahun
Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid
Induksi pembentukan senyawa terpenoid
dilakukan pada cabang pohon A. crassna yang
mempunyai diameter 1 cm. Pertama-tama
cabang dilukai dengan cara dibuang kulit dan
kambiumnya sepanjang 2 cm. Kemudian
MeJA 750 mM diberikan secara berulang,
dengan rancangan pemberian secara berulang
(Tabel 1).
4
Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mM
secara berulang.
Perlakuan
Induksi
M1
M2
M3
M4
Keterangan :
Waktu Induksi / Waktu Pengamatan
(hari ke-)
25
50
75
*
*
√
*
√
√
√
√
√
√
√
√
√ = pemberian
0
10
*
*
*
*
*
*
*
√
* = pengamatan
M1= Perlakuan MeJA 1x induksi
M2= Perlakuan MeJA 2x induksi
M3= Perlakuan MeJA 3x induksi
M4= Perlakuan MeJA 4x induksi
Sebanyak 2 ml MeJA 750 mM (dalam 0.1
% Tween 80) dioleskan pada daerah cabang
yang telah dilukai, dan dibiarkan beberapa
saat sampai mengering, lalu dibungkus
dengan plastik dan diikat dengan tali. Semua
perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan dilakukan
pada cabang yang berbeda. Cabang-cabang
yang dilukai saja (tanpa induksi) sebagai
kontrol positif (K+) serta cabang-cabang yang
tidak dilukai sebagai kontrol negatif (K-)
digunakan sebagai pembanding.
Respon cabang yang diamati adalah
kebugaran cabang, perubahan warna kayu,
wangi kayu, dan analisis terpenoid.
Kebugaran Cabang
Kebugaran
cabang
ditetapkan
berdasarkan persentase daun yang menguning
atau daun gugur, dari total daun yang berada
dari zona induksi ke arah pucuk. Kebugaran
cabang
juga
ditetapkan
berdasarkan
persentase cabang yang mati.
Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi
Deposit terpenoid pada kayu mungkin
berasosiasi dengan perubahan warna dan
pembentukan wangi. Oleh sebab itu,
perubahan warna dan tingkat wangi kayu
diamati, dan dilakukan sebelum analisis
terpenoid.
Pengamatan warna cabang meliputi
perubahan warna dan panjang serta kedalaman
zona perubahan warna. Tingkat perubahan
warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem
skor (0=putih, 1=kuning kecoklatan, 2=coklat,
3=coklat kehitaman). Tingkat perubahan
warna diamati sebanyak 4 ulangan
Tingkat wangi kayu ditetapkan melalui
uji organoleptik yang dinyatakan dengan
rataan skor dari 3 responden. Skala skor
wangi adalah 0=tidak wangi, 1=kurang wangi,
2=wangi, 3=wangi sekali.
Tingkat perubahan warna, panjang
kedalaman zona perubahan warna serta
tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata
± simpangan baku.
Analisis Terpenoid
Uji Histokimia (Martin et al. 2002)
Deposit terpenoid dideteksi dengan
metode histokimia. Bagian cabang yang telah
diinduksi dipotong secara melintang bagian
tengahnya dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.3 cm.
Selanjutnya potongan cabang tersebut
direndam di dalam larutan formaldehid 4 %
dan K2HPO4 100 mM (pH 7.5) selama ± 4
jam. Kemudian sampel dicuci dengan
akuades. Potongan cabang selanjutnya
dibekukan pada suhu -18 ºC sebelum disayat
dengan mikrotom beku (Yamato RV-240).
Sayatan cabang dengan ketebalan antara 1820 µm diletakkan pada gelas objek. Untuk
pengamatan senyawa terpenoid, sayatan
tersebut ditetesi dengan larutan tembaga asetat
50 %. Supaya preparat tidak cepat mengering,
pada sayatan tersebut ditambahkan larutan
gliserin 30 %. Selanjutnya preparat diamati di
bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan
Nikon Obtiphot 2). Deposit terpenoid
ditetapkan berdasarkan persentase (%)
jaringan pengakumulasi yang mengandung
senyawa tersebut pada luasan bidang pandang
tertentu, dari 10 sayatan untuk masing-masing
perlakuan.
Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard)
Sebanyak ± 0.4 gram potongan kayu yang
telah diberi perlakuan dilarutkan dalam 5 ml
etanol absolut panas (100 ºC) kemudian
disaring ke dalam cawan petri steril dan
diuapkan sampai kering hingga terbentuk
endapan berwarna kuning. Endapan kemudian
ditambahkan 1 ml dietil eter dan
dihomogenisasi.
Endapan
yang
telah
dihomogenisasikan selanjutnya dipindahkan
ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan
3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4
pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan
adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987).
HASIL
Kebugaran Cabang. Cabang A. crassna
memberikan respon yang sama terhadap
induksi MeJA dan pelukaan (K+). Induksi
MeJA dan pelukaan menyebabkan terjadinya
perubahan warna pada daun yang berada di
daerah ujung cabang yang diberi perlakuan.
Daun berubah warna dari hijau menjadi
5
kuning dan gugur. Perubahan warna terjadi
satu sampai dua minggu setelah perlakuan.
Daun-daun pada cabang yang diinduksi
dengan MeJA (secara berulang) gugur lebih
awal dibandingkan dengan daun-daun pada
cabang yang hanya dilukai saja. Semakin
banyak
pengulangan,
semakin
besar
persentase cabang yang daunnya gugur. Pada
cabang yang diberi MeJA dengan satu kali
perlakuan,
sebanyak
21%
cabang
menunjukkan gugur daun, kemudian berturutturut pada dua kali perlakuan sebanyak 30%
cabang, tiga kali perlakuan sebanyak 42%
cabang, empat kali perlakuan sebanyak 50%
cabang. Pada kontrol positif hanya ditemukan
10% cabang yang daunnya gugur.
Berbeda dengan kedua perlakuan di atas,
pada cabang yang tidak dilukai (K-) tidak
ditemukan adanya perubahan warna pada
daun, daun tetap segar dan hijau sampai akhir
pengamatan.
Perubahan Warna. Adanya perubahan
warna kayu ditemukan baik pada cabang yang
diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang
menjadi K+. Perlakuan dengan MeJA
menghasilkan warna kayu yang beragam
dibandingkan dengan K+ (Tabel 2). Perlakuan
MeJA menghasilkan rata-rata perubahan
warna kayu berkisar antara putih kecoklatan,
coklat, sampai coklat kehitaman. Perlakuan
K+ hanya menghasilkan rata-rata warna kayu
putih kecoklatan, sedangkan pada perlakuan
K- tidak terjadi perubahan warna kayu
(Gambar 2).
Tabel 2 Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat
kehitaman) dari rataan 3 responden.
Waktu
Skor Warna dari Masing-masing Perlakuan
Pengamatan
KK+
M1
M2
M3
M4
(hsi)
10
0±0
0.5 ± 0.3000
1 ± 0.1547
25
0±0
0.5 ± 0.3000
2 ± 1.4142
2.5 ± 0.5774
50
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
75
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
K-
Gambar 2
K+, M1
M2
M3
2.75 ± 0.5000
M4
Kayu A.crassna setelah diberi perlakuan (K-; skor warna 0 = putih), (K+, M1;skor warna
1 = putih kecoklatan), (M2;skor warna 2 = coklat), (M3; skor warna 3 = coklat), (M4;
skor warna 4 = coklat kehitaman).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
pemberian
MeJA
(secara
berulang)
menyebabkan semakin dalam dan semakin
panjang zona perubahan warna yang
terbentuk. Perlakuan MeJA menghasilkan
kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona
perubahan warna yang lebih tinggi (Tabel 4
dan 5) dibandingkan dengan K+. Perlakuan
dengan MeJA 3x dan 4x induksi memiliki
kedalaman paling besar yang terlihat pada
pengamatan 75 hsi. Hal yang menarik adalah
bahwa semua perlakuan MeJA menyebabkan
peningkatan kedalaman warna semakin lama
waktu inkubasi.
Panjang zona perubahan warna yang
mengarah ke arah apeks (menuju daun) (Tabel
4) berbeda dengan besarnya panjang zona
perubahan warna yang mengarah ke arah
basal (menuju batang utama) (Tabel 5). Pada
perlakuan dengan MeJA rata-rata kisaran
panjang zona perubahan warna yang terbentuk
ke arah apeks hanya mencapai 5.48 cm dan
4.59 cm untuk panjang zona perubahan warna
ke arah basal. Sedangkan pada K+, rata-rata
panjang zona perubahan ke apeks sebesar 1.65
cm dan rata-rata panjang zona perubahan ke
basal sebesar 3.53 cm.
6
Tabel 3 Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan.
Kedalaman Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan (cm)
Waktu
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0.3 ± 0.1633
0.75±0.2887
M2
M3
25
0±0
0.63 ± 0.4349
0.93±0.1500
50
0±0
0.85 ± 0.3000
1.45±0.6403
1.75 ± 0.9574
2.75±0.5000
75
0±0
1 ± 0.0000
1.75±0.5000
2.25 ± 0.5000
3±0.0000
M4
1.38 ± 0.7500
3 ± 0.0000
a
b
Gambar 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun
(a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b).
Tabel 4 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah
apeks (menuju daun).
Waktu
Pengamatan (hsi)
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm)
K-
K+
M1
M2
M3
10
0±0
0.90 ± 0.4546
1.90± 0.2943
25
0±0
0.98± 0.2062
2.78± 1.1295
5.48 ± 0.8655
50
0±0
2.25± 0.6245
4.38± 1.4930
5.48 ± 1.0243
6.83±0.5909
75
0±0
2.48 ± 0.3862
4.80± 0.9092
6.93 ± 0.2217
7.40±0.5944
M4
8.80±1.3515
Tabel 5 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah
basal (menuju batang utama).
Waktu
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm)
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0.80 ± 0.2449
1.90 ± 0.4690
M2
M3
25
0±0
1.05 ± 0.1732
2.48 ± 0.9535
50
0±0
2.08 ± 0.6396
4.13± 0.8539
5.75 ± 0.6245
6.65±1.3723
75
0±0
2.48 ± 0.3201
5.60± 2.0591
6.40 ± 0.5291
7.18±0.6701
Tingkat wangi. Aroma wangi pada kayu
hanya terdeteksi pada bagian cabang yang
diinduksi dengan MeJA. Induksi MeJA
menghasilkan aroma wangi dengan indeks
tertinggi pada setiap kali panen dan wangi
hanya bertahan sampai dengan 25 hari setelah
aplikasi MeJA yang terakhir.
Induksi MeJA secara berulang pada
setiap kali panen mampu meningkatkan aroma
wangi kayu yang hilang pada saat induksi
sebelumnya. Pada 1 kali induksi dengan
pemberian MeJA di hari ke 0, aroma wangi
teramati pada panen 10 hsi dan menurun pada
25 hsi. Aroma wangi kemudian akan hilang
pada 50 hsi (Tabel 6). Setelah diinduksi ulang
(dengan 2 kali pemberian MeJA pada hari ke
0 dan dan hari ke 10) aroma wangi yang turun
pada 1 kali induksi saat 25 hsi dapat
M4
5.00 ± 0.5354
8.50±1.0099
meningkat kembali. Pada induksi 2 kali,
aroma wangi juga terdeteksi pada 50 dan 75
hsi. Induksi ulang (dengan 3 kali pemberian
MeJA pada hari ke 0, 10 dan 25) dapat
meningkatkan aroma wangi yang turun pada
50 dan 75 hsi saat induksi 2 kali. Aroma
wangi yang turun saat induksi 3 kali pada 75
hsi dapat ditingkatkan kembali dengan
perlakuan induksi MeJA sebanyak 4 kali
(Tabel 6).
Pada pemberian MeJA secara berulang,
pengaruh warna kayu tidak mempengaruhi
tingkat wangi dengan nilai R2=0.0144
(Gambar 4).
7
Tabel 6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak
wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali).
Skor Wangi dari Masing-masing Perlakuan
Waktu
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0±0
2.25 ± 0.7500
M2
M3
M4
25
0±0
0±0
0.75 ± 0.5000
50
0±0
0±0
0±0
2.5 ± 0.5774
1.5 ± 0.7321
2.25 ± 0.7500
75
0±0
0±0
0±0
1.25 ± 0.5000
1.75 ± 0.6583
2.75 ± 0.5000
3.5
3
Indeks Wangi
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Indeks Warna
Gambar 4 Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem
skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi;
3=coklat kehitaman, wangi sekali).
Analisis Terpenoid
Setelah diamati secara mikroskopis
dengan menggunakan pewarna tembaga asetat
pada uji histokimia, adanya akumulasi
senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan
parenkima jejari, included phloem, unsur
trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid
terdeteksi pada cabang yang diberi perlakuan
MeJA dan kontrol positif mulai 10 hsi
(Gambar 5), sedangkan pada tanaman yang
menjadi kontrol negatif tidak ditemukan
adanya senyawa terpenoid.
Cabang yang diinduksi dengan MeJA
secara berulang memiliki persentase luasan
jaringan pendeposit senyawa terpenoid
b
terbesar setiap kali panen (Tabel 7). Deposit
senyawa terpenoid, terakumulasi paling
banyak pada jaringan parenkima jejari dan
paling sedikit pada included phloem, unsur
trakea xilem dan empulur (Tabel 7).
Berdasarkan uji Lieberman-Burchard,
warna merah atau ungu mengidentifikasikan
adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987)
(Gambar 7). Senyawa triterpenoid terdeteksi
pada kayu yang diberi MeJA mulai 25 hsi
(M25). Senyawa ini tidak terdeteksi pada
kontrol negatif (K-) pada 10 hsi. Pada kontrol
positif (K), mulai 50 hsi.
c
d
a
Gambar 5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkim jejari (a),
included floem (b),unsur trakea (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi.
8
Tabel 7
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada
luasan bidang pandang tertentu (rataan dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan).
Waktu
Pengamatan
(hsi)
10
25
50
75
Jaringan
Pengakumulasi
Terpenoid
Parenkim
jejari
0±0
5.38 ± 0.4819
8.94 ± 0.5966
Included floem
0±0
4.38 ± 0.3580
6.81 ± 0.7430
Akumulasi Terpenoid Pada Perlakuan (%)
K-
K+
M1
M2
M3
M4
Unsur trakea
0±0
3.07 ± 0.1595
5.11 ± 0.8312
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
2.91 ± 0.3549
4.31 ± 0.4284
0±0
14.31±0.3649
22.65±0.6524
32.14±3.1570
Included floem
0±0
6.85 ± 0.5910
18.22±0.2948
21.25±2.3291
Unsur trakea
0±0
5.44 ± 0.6484
13.00±0.3733
20.17±1.8149
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
4.32 ± 0.6138
9.37 ±0.3239
17.18±1.7021
0±0
17.29±0.3114
52.75±1.5365
53.5±3.4826
61.64±2.9695
Included floem
0±0
13.09±0.7977
30.64±0.9668
37.1±1.1900
42.81±1.6775
Unsur trakea
0±0
10.26±0.3538
22.78±1.6379
25.81±0.8761
36.00±0.9949
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
6.71 ±0.5459
14.65±0.7458
20.5±1.6892
31.00±0.9204
0±0
18.30±0.5957
53.61±3.9975
65.78±5.3751
69.00±3.7043
Included floem
0±0
17.09±0.9759
46.81±5.3716
41.5±2.3599
53.75±3.2339
64.97±5.8687
Unsur trakea
0±0
14.63±1.2713
25.93±2.7988
32.16±2.0508
41.50±1.3220
53.42±5.1974
Empulur
0±0
13.70±1.3441
20.30±1.0211
27.75±2.6371
35.50±1.1416
46.50±1.3591
80.76±3.2668
PEMBAHASAN
Gambar
K-
6
Warna merah pada endapan
menunjukkan adanya triterpenoid
pada resin gaharu alam berdasarkan
pada uji Liebermann-Burchard
K10
K50
M50
M10
K25 M25
K75 M75
Gambar 7 Triterpenoid yang telah teridentifikasi
pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi
berdasarkan pada uji LiebermannBurhchard.
Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap
Cabang yang Diinduksi
Induksi MeJA 750 mM dan pelukaan
menyebabkan stress pada pohon A. crassna.
Hal ini ditandai dengan adanya perubahan
warna daun dari hijau menjadi kuning dan
terjadinya gugur daun pada cabang-cabang
yang telah diberi perlakuan. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore
(2003), yang menyatakan bahwa perlakuan
MeJA 10 mM pada tanaman persik (Prunus
persica) mengakibatkan terjadinya penurunan
kadar
klorofil
daun,
penghambatan
pembentukan cabang baru, penurunan jumlah
daun sebanyak 31% dan penurunan berat daun
muda setelah 3 minggu perlakuan. Satu kali
perlakuan MeJA 750 mM tidak menyebabkan
terjadinya klorosis daun, tetapi menyebabkan
cabang yang diberi perlakuan MeJA
mengalami gugur daun sebanyak 20% (Putri
2007).
Cabang yang diinduksi dengan MeJA
(secara berulang) mengalami gugur daun lebih
banyak dibandingkan dengan cabang yang
diberi pelukaan. Meskipun perlakuan MeJA
(secara berulang) mampu menyebabkan gugur
daun hingga mencapai 50 %, tetapi tidak
ditemukan adanya cabang yang mati karena
perlakuan tersebut. Menurut Fillela (2005),
pemberian MeJA secara eksogen dapat
9
menyebabkan tanaman menjadi resisten tanpa
mengakibatkan kerusakan pada tanaman itu
sendiri. Selain pemberian MeJA, gugur daun
dapat mengindikasikan gangguan patologis.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Santoso (1996) yang melaporkan bahwa
pertumbuhan tanaman yang merana dan
mengalami kekeringan berkaitan dengan
gejala patologis terbentuknya gaharu yang
diawali oleh rangsangan luka pada batang,
patah cabang, atau ranting dan pengaruh fisik
lainnya.
Pohon Aquilaria crassna yang merana
akibat gangguan perlakuan kimiawi dan
pelukaan
menunjukkan
proses
awal
pembentukan senyawa gaharu itu sendiri.
Perubahan warna kayu terjadi pada
cabang yang diberi perlakuan MeJA dan
pelukaan (kontrol positif). Hal ini didukung
oleh pernyataan Walker dan Bray (1997),
yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan
warna pada kayu menjadi berwarna coklat
(browning)
dapat
disebabkan
oleh
penggunaan senyawa kimia dan pelukaan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perubahan
warna merupakan respon non-spesifik
tanaman terhadap gangguan, karena respon
dapat ditemukan baik pada cabang yang diberi
perlakuan MeJA maupun cabang yang diberi
pelukaan.
Perlakuan MeJA (secara berulang)
menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu
berkisar antara putih kecoklatan, coklat,
sampai coklat kehitaman. Pada 75 hsi, induksi
MeJA (secara berulang) dengan satu kali, dua
kali, tiga kali dan empat kali pengulangan
menghasilkan rata-rata warna kayu coklat
kehitaman (Gambar 2). Semakin lama periode
induksi (sampai dengan 75 hsi) warna kayu
semakin gelap. Namun, hal tersebut
bertentangan dengan pernyataan Putri (2007),
yang menyatakan bahwa pada satu kali
induksi MeJA pada 75 hsi, umumnya kayu
kembali berwarna putih atau putih kecoklatan.
Pada kayu yang diberi pelukaan (kontrol
positif) hanya menghasilkan rata-rata warna
kayu putih kecoklatan.
Terjadinya perubahan warna kayu pada
cabang yang diberi pelukaan mungkin
disebabkan juga oleh mikroorganisme udara
sebagai akibat adanya kontak langsung antara
kayu dengan lingkungan luar. Menurut
Anonim (1999), terbentuknya warna coklat
pada kayu dapat disebabkan oleh cendawan
mikroskopik penyebab blue stain. Cendawan
penyebab blue stain tidak menyebabkan
kebusukan dan efek tertentu pada kayu, selain
perubahan warna kayu (Anonim 1999).
Umumnya semua cabang yang diberi
perlakuan MeJA dan kontrol positif
menunjukkan adanya perluasan panjang dan
kedalaman zona perubahan warna. Berbeda
dengan kontrol positif, perlakuan dengan
induksi MeJA menyebabkan panjang dan
kedalaman warna yang paling besar. Hal
tersebut mungkin disebabkan karena MeJA
merupakan elisitor kimiawi yang merangsang
pembentukan fitoaleksin. Pada kontrol positif,
penambahan panjang dan kedalaman terjadi
karena adanya pelukaan. Pertambahan
panjang zona perubahan warna menunjukkan
adanya aktivitas fisiologis yang bersifat
sistemik pada kayu.
Kulit kayu dan kambium telah dibuang
saat awal perlakuan induksi MeJA dan
pelukaan, namun arah panjang zona
perubahan warna yang terbentuk menuju ke
dua arah, yaitu ke apeks (menuju daun) dan ke
basal (menuju batang utama) (Gambar 3).
Beberapa data perubahan warna memiliki
nilai simpangan baku yang cukup besar (Tabel
2), hal ini menunjukkan bahwa ulangan untuk
perlakuan MeJA dan pelukaan perlu
ditambah. Adanya nilai simpangan baku yang
cukup besar tersebut ditemukan juga pada
beberapa data kedalaman (Tabel 3) dan
panjang zona perubahan warna kayu (Tabel 4
dan 5) serta tingkat wangi (Tabel 6).
Aroma wangi hanya terdeteksi pada
bagian cabang yang diberi perlakuan MeJA.
Hal ini membuktikan bahwa respon wangi
merupakan respon spesifik terhadap bentuk
gangguan tertentu, yaitu induksi MeJA. MeJA
merupakan senyawa sinyal bagi pembentukan
komponen fitoaleksin (Michiho 2005). Pada
pohon gaharu, salah satu senyawa fitoaleksin
mengeluarkan aroma yang khas. Aroma wangi
yang dihasilkan dari induksi MeJA seperti
wangi bunga melati dan berbeda dengan
aroma wangi gaharu alam.
Aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu
sebanding dengan kepekatan warna kayu. Hal
ini didukung oleh pernyataan Rahayu et al.
(1999), yang menyatakan bahwa terjadinya
pembentukan wangi gaharu tidak selalu
diikuti oleh perubahan warna kayu. Induksi
MeJA (secara berulang) pada setiap kali
panen mampu meningkatkan aroma wangi
kayu yang hilang pada saat induksi
sebelumnya. Adanya pemberian MeJA (secara
berulang) hanya meningkatkan tingkat wangi
tetapi tidak pada perubahan warna. Warna
kayu akan semakin gelap meskipun tidak
diberi perlakuan berulang.
Peningkatan aroma wangi kayu diduga
disebabkan oleh bertambahnya akumulasi
10
senyawa sesquiterpen, sedangkan penurunan
atau hilangnya aroma wangi diduga
disebabkan karena hilangnya senyawa
sesquiterpen. Menurut Michiho (2005), aroma
wangi yang muncul pada kayu gaharu diduga
adalah senyawa sesquiterpen yang memiliki
sifat mudah menguap. Selain itu, peningkatan
dan hilangnya aroma wangi ini kemungkinan
berhubungan dengan sifat MeJA yang mudah
menguap (Srivastava 2002).
Menurut
Franceschi et al. (2002), penggunaan MeJA
pada P. abies yang dilukai dan diinokulasi
dengan
Ceratocystis
polonica
dapat
meningkatkan produksi fitoaleksin.
Aroma wangi kayu hilang seiring dengan
menguapnya MeJA, tetapi akumulasi deposit
senyawa gaharu tetap terdeteksi hingga akhir
pengamatan. Deteksi terpenoid berdasarkan
uji histokimia, bukan spesifik terhadap
kelompok sesquiterpen melainkan terpenoid
secara keseluruhan, sedangkan analisis
terpenoid (Harbone 1987) mendeteksi
kehadiran kelompok terpenoid yang spesifik
yaitu triterpenoid dan bukan sesquiterpen.
Pembentukan Senyawa Gaharu dengan
Induksi Kimia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
induksi MeJA dan pelukaan dapat merangsang
pembentukan senyawa terpenoid. Menurut
Srivastava (2002), pelukaan atau perlakuan
dengan menggunakan protein sistemin pada
jaringan
tanaman
atau
sel
mampu
menginduksi terjadinya pembentukan MeJA.
MeJA akan merangsang ekspresi gen
penyandi respon ketahanan tanaman (Yang
1997).
Meskipun
MeJA
merupakan
fitohormon endogen, MeJA akan jauh lebih
aktif jika diaplikasikan secara eksogen.
Aplikasi MeJA pada kultur sel A. sinensis
dapat merangsang pembentukan senyawa
terpenoid (Michiho 2005). Senyawa terpenoid
adalah metabolit sekunder yang diproduksi
tanaman sebagai respon terhadap pelukaan,
infeksi patogen dan perlakuan kimiawi
(Nobuchi & Siripatanadilok 1991).
Terpenoid disintesis dari isoprenoid
melalui Acetyl CoA dan lintasan asam
mevalonat (Srivastava 2002). Terpenoid
mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan
(Roberts
2007)
dan
dikelompokan
berdasarkan jumlah unsur karbon yang
terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid
terdiri atas beberapa senyawa, mulai dari
komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen
(C10) dan sesquiterpen (C15) yang mudah
menguap, diterpen yang lebih sukar menguap
(C20) dan senyawa yang tidak menguap, yaitu
triterpenoid dan sterol (C30) (Harbone 1987).
Adanya senyawa terpenoid yang dihasilkan
dari induksi MeJA dan pelukaan
ini
dibuktikan pada uji histokimia dan analisis
terpenoid.
Pada uji histokimia, deposit senyawa
terpenoid ditunjukkan dengan butiran
terpenoid yang terakumulasi dalam jumlah
banyak pada jaringan parenkima jejari, dan
dalam jumlah relatif lebih kecil pada included
phloem, unsur trakea xilem dan empulur
(Tabel 6). Hal ini didukung oleh pernyataan
Ramadhani (2005), yang melaporkan adanya
senyawa golongan terpenoid dalam jumlah
banyak pada jaringan parenkima jejari dan
dalam jumlah kecil pada included phloem, dan
unsur trakea xilem. Parenkima jejari
merupakan salah satu jaringan dasar pada
tanaman yang menyusun sebagian besar tubuh
tumbuhan. Menurut Blanchette (2003),
included phloem merupakan jaringan pada
Aquilaria yang mampu mensekresikan resin.
Berbeda dengan parenkima jejari dan included
phloem yang tersusun oleh sel-sel hidup,
unsur trakea xilem dan empulur tersusun dari
sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan
empulur hanya berperan sebagai jaringan
pendeposit saja.
Analisis terpenoid hanya ditujukan untuk
mendeteksi kelompok triterpenoid. Hal
tersebut dibuktikan dengan munculnya warna
merah pada endapan setelah direaksikan
dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Pada
kayu yang diberi perlakuan MeJA, senyawa
triterpenoid mulai terdeteksi pada 25 hsi
(Gambar 7), dan tidak terdeteksi pada 10 hsi.
Senyawa triterpenoid tidak terdeteksi pada 10
hsi mungkin disebabkan oleh jumlah deposit
senyawa terpenoid yang masih sedikit.
Dibandingkan dengan MeJA, pelukaan lebih
lambat merangsang pembentukan senyawa
triterpenoid pada kayu. Triterpenoid pada
kontrol positif terdeteksi mulai 50 hsi
(Gambar 7). Hal ini mungkin disebabkan juga
karena masih terlalu sedikitnya jumlah
senyawa terpenoid yang terakumulasi
sehingga belum cukup untuk membentuk
senyawa triterpenoid.
Triterpenoid terdapat dalam damar dan
getah (Harbone 1987). Triterpenoid berfungsi
sebagai pelindung untuk menolak serangga
dan serangan mikroba (Harbone 1987).
Peluang Pemanfaatan Metode Induksi
dengan MeJA
Induksi gaharu dengan MeJA sejauh ini
mempunyai peluang hasil yang cukup baik
11
dibandingkan dengan metode inokulasi
mikroorganisme, misalnya seperti cendawan
Acremonium sp. (Putri 2007). Induksi MeJA
750 mM (secara berulang) mampu
menghasilkan deposit senyawa
terpenoid
gaharu lebih banyak dibandingkan dengan
satu kali pemberian saja.
Adapun keuntungan dari aplikasi induksi
MeJA diantaranya adalah aplikasinya lebih
sederhana dibandingkan dengan metode
inokulasi cendawan dan bentuk formulasinya
sudah komersial. Adapun kerugian dari
aplikasi ini ialah pembentukan aroma wangi
berfluktuasi. Tingkat wanginya meningkat
ketika diinduksi MeJA dan menurun beberapa
hari setelah induksi.
KESIMPULAN
Perlakuan Aquilaria dengan pelukaan
memiliki respon yang berbeda dengan
perlakuan
MeJA.
Perlakuan
MeJA
memberikan hasil yang lebih baik. MeJA 750
mM dapat menginduksi pembentukan warna
kayu lebih gelap dengan panjang serta
kedalaman zona perubahan warna lebih besar
dibandingkan dengan pelukaan. MeJA
menginduksi pembentukan aroma wangi khas
melati. Pada cabang yang diberi pelukaan
ditemukan adanya perubahan warna kayu,
namun tidak tercium aroma wangi khas
gaharu.
Pemberian MeJA (secara berulang) tidak
dapat menyebabkan indeks warna memiliki
korelasi dengan indeks wangi. Pemberian
MeJA
(secara
berulang)
mampu
meningkatkan deposit senyawa terpenoid
gaharu lebih banyak dibandingkan hanya satu
kali pemberian saja tetapi wangi kayu dapat
bertahan sampai dengan 25 hari setelah
aplikasi terakhir. Hal ini terbukti dengan
semakin banyak pemberian maka semakin
besar pula persentase luasan jaringan yang
mengandung butiran terpenoid pada jaringan
pengakumulasi. Akumulasi senyawa terpenoid
ditemukan paling banyak pada jaringan
parenkima jejari, dan menurun berturut-turut
pada included phloem, unsur trakea xilem dan
empulur.
Senyawa
terpenoid
yang
teridentifikasi berdasarkan analisis terpenoid
mengandung komponen triterpenoid.
SARAN
Teknik lain untuk meningkatkan produksi
gubal gaharu perlu dilakukan. Metode untuk
identifikasi
senyawa
terpenoid
yang
terkandung dalam kayu gaharu perlu untuk
diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Blue Stain. Forest Product
Laboratory.
Madison,
WI:
US.
Departemen of Agriculture.
Babst BA, Ferrier RA, Gray DW. 2005.
Jasmonic acid induces rapid change
transport and partitioning in Populus. Am
J Phytol 167: 63-72.
Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M.
2000. Heart of the Matter: Agarwood Use
and Trade and CITIES Implementation
for Aquilaria malacensis. Cambridge:
Traffict Int.
Blanchette RA. 2003. Agarwood formation in
Aquilaria trees: resin production in nature
and how it can be induced in plantation
grown trees [Abstrak ]. Di dalam: First
International Agarwood Conference;
Vietnam, 10-15 2003. Vietnam: European
Comission.2003. hlm 10. Abstr no 1.
Dewan Standarisasi Nasional. 1999. SNI
01/5009.1-1999 Gaharu. Jakarta : Dewan
Standarisasi Nasional.
Filella I, Joseph P. 2005. Dynamics of the
enhanced emissions of monoterpenes and
methyl salicylate, and decreased uptake
of formaldehyde, by Quercus ilex leaves
after application of jasmonic acid. New
Phytol 169 : 135-144.
Franceschi VR, Trygve K, Erik C. 2002.
Application of Methyl Jasmonate on
Picea Abies (Pinaceae) stem induces
defense related in phloem and xylem. Am
J Bot 89: 578-586.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia.
Padmawinata
K
dan
I
Sudiro,
penerjemah. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Terjemahan
dari:
Phytochemical Methods.
Hoopkins WG, Hiiner NPA. 2004.
Introduction to Plant Physiology Third
Edition. University of Western Ontario
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Janoudi A, Flore JA. 2003. Methyl jasmonate
on fruit ripening leaf gas exchange and
12
vegetative growth in fruit trees [Abstrak
]. J Hort Sci Biotechnol 78: 793-797.
Lieu N X. 2003. Seed Leaflet. Central Forest
Seed Company. http : // www. google.
com / searc? Q = cache : CblancRItgkj:
sl.dk/upload/Aquilaria rassna_100_Html
[20 Januari 2006].
Martin D, Tholl D, Gershenzon J. 2002.
Methyl jasmonate induces traumatic resin
ducts, terpenoid resin biosynthesis, and
terpenoid
resin
accumulation
in
developing xylem of Norway Spruce
stems. Plant Physiol 129: 1003-1008.
Mert-Turk F. 2002. Phytoaleksin : defence or
just respon to stress?. J Cell Mol Biol 1:16.
Michiho I. 2005. Induction of sesquiterpenoid
production by Methyl Jasmonate in
Aquilaria sinensis cell suspension culture.
Essential Oil Research. http//www.
findarticles. com [12 Februari 2006].
Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991.
Preliminary observation of Aquilaria
crassna wood associated with the
formation of aloewood. Bulletin of the
Kyoto University Forest 63: 226-235.
Putri A. 2007. Induksi terbentuknya senyawa
terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria
crassna) dengan Acremonium dan MeJA
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Rahayu G, Isnaeni Y, Umboh MIJ. 1999.
Potensi beberapa hifomiset dalam induksi
gejala pembentukan gubal gaharu.
Makalah Seminar Kongres Nasional Ke
XV dan Seminar Ilmiah PFI: Purwokerto,
16-18 September 1999. Purwokerto :
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
Hlm:1-6.
Ramadhani CH. 2005. Pengamatan included
phloem dan jaringan pengakumulasi
gaharu pada Aquilaria crassna [Skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Roberts SC. 2007. Production and engineering
of terpenoids in plant all culture. Nature
Chem Biol 3: 387-395.
Santoso E. 1996. Pembentukan Gaharu
dengan cara inokulasi. Makalah diskusi
hasil penelitian dalam menunjang
pemanfaatan hutan yang lestari; Bogor,
11-12 Maret 1996. Bogor: Badan Litbang
Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Hlm 1-3.
Growth
and
Srivastava
LM.
Plant
development. 2002. USA : Academic
Press.
Walker D Jr, Bray D. 1997. Diagnosing Field
Problems.
http://ag
Crop
.udel.edu/extension. [3 Maret 2006].
Yang Y, Shah J, Klessig DF. 1997. Signal
perception and transduction in plant
defense response. Review 11:1621-1639.
Yuan QS. 1995. Aquilaria spesies: In vitro
culture and production of eaglewood
(agarwood). Di dalam : Bajaj YPS, editor.
Biotechnol Agric Forest 33. Volume ke15. New York: Springer. Hlm: 36-46.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan
Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH
RAHAYU dan HAMIM.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750
mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu
(Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm)
dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan
satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit
terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan
Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon
kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada
10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi.
Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit
senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea
xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid.
Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak
hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi,
warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan
wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen.
Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan
bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir.
ABSTRACT
RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid
Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU
and HAMIM.
This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mM
application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8
years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The
wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four
times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by
cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the
observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days
after application.
Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was
deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and
pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in
the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The
longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with
the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components
sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after
the last MeJA application.
3
PENDAHULUAN
Gaharu adalah sejenis kayu dengan
berbagai bentuk dan warna yang khas serta
memiliki kandungan kadar damar wangi
(Dewan Standarisasi Nasional Indonesia
1999). Gaharu merupakan salah satu hasil
hutan bukan kayu yang dapat diandalkan,
apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang
lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan
kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai
bahan dasar dalam industri parfum, dupa
untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik
dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah
satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat
menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria
crassna (Lieu 2003).
Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon
pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai
gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen
atau perlakuan kimiawi (Nobuchi &
Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995),
gaharu mengandung senyawa sesquiterpen
yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga
merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho
2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob
dengan berat molekul rendah yang
terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi
terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002).
Salah
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan
Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH
RAHAYU dan HAMIM.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750
mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu
(Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm)
dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan
satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit
terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan
Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon
kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada
10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi.
Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit
senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea
xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid.
Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak
hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi,
warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan
wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen.
Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan
bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir.
ABSTRACT
RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid
Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU
and HAMIM.
This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mM
application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8
years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The
wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four
times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by
cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the
observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days
after application.
Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was
deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and
pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in
the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The
longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with
the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components
sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after
the last MeJA application.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Skripsi
: Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang
dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada
Pohon Gaharu (Aquilaria crassna).
: Risa Rosita
: G34103044
Nama
NIM
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Gayuh Rahayu
NIP 131289335
Dr. Ir. Hamim, M.Si.
NIP 131878946
Mengetahui:
Dekan Fakultas dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA
NIP 131578806
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syulur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa
Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Februari
sampai dengan Agustus 2007, bertempat di kebun A. crassna Parung milik Dr. Ir. Gayuh Rahayu,
Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, dan Laboratorium
Mikologi Departemen Biologi FMIPA IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Hamim,
M.Si. yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, motivasi dan fasilitas selama penelitian
dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Triadiati, M.Si. selaku penguji. Ucapan terima kasih juga penyusun sampaikan kepada Ibunda,
kakak, Deden Dewantara, dan keluarga besar Abdullah atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong, staf
Laboratorium Mikologi, Pak Taufik, Pak Gono, Mbak Ade, Mbak Retno, Desi, Isya, Yuli, Mbak
Yul, Ariza, Rika atas bantuan, perhatian, dan dukungannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis berharap smoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2007
Risa Rosita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juli 1985 sebagai anak kedua dari dua
bersaudara, putri pasangan Mansyur Abdullah (Alm.) dan Nursiah. Tahun 2004 penulis lulus dari
SMU Negeri 2 Bogor dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar
pada tahu ajaran 2005/2006 dan 2006/2007, Genetika Dasar pada tahun ajaran 2005/2006, Biologi
Cendawan pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, serta menjadi asisten peneliti Dr. Ir.
Gayuh Rahayu pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Biologi. Penulis melaksanakan praktek lapang dengan judul ”Reduksi
Kadar Nutrisi Limbah Organik secara Biologis di PT. Perfetti van Melle Indonesia” pada bulan
Juli 2006.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. vii
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat .......................................................................................................... 1
Bahan .............................................................................................................................. 1
Metode
Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid ............................................................. 1
Kebugaran Cabang .................................................................................................
2
Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi .................................................................
2
Analisis Terpenoid
Uji Histokimia .................................................................................................
2
Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) ……................................................... 2
HASIL
Kebugaran Cabang ......................................................................................................... 2
Perubahan Warna ...........................................................................................................
3
Tingkat Wangi ................................................................................................................. 4
Analisis Terpenoid .........................................................................................................
5
PEMBAHASAN
Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi ...............................
6
Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia .................................................
8
Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA ...................................................
8
KESIMPULAN .....................................................................................................................
9
SARAN .................................................................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................
9
DAFTAR TABEL
1
Halaman
Rancangan pemberian MeJA 750 mM secara berulang ............................................. 2
2
Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan,
2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden ............................................ 3
3
Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan .......... 4
4
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang
mengarah ke bagian apeks (menuju daun) ................................................................. 4
5
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang
mengarah ke bagian basal (menuju batang utama) ..................................................... 4
6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem
skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali) ....................
7
5
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi
terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu ......................................................... 6
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
A. crassna umur 8 tahun ............................................................................................. 1
2
Kayu A. crassna setelah diberi perlakuan, dari kiri ke kanan (K- ; skor warna kayu
=0,putih),(K+, M1;skor warna kayu =1,putih kecoklatan),(M2; skor warna kayu=2,
coklat),(M3;skor warna kayu =2, coklat),(M4;skor warna kayu=3, coklat kehitaman 3
3
Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju
daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b) ............................................ 4
4
Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan
sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat,
wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali) ................................................................. 5
5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkima
jejari (a), included phloem (b), unsure trakea xylem (c), dan empulur (d) pada panen
10 hsi ........................................................................................................................... 5
6
Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu
alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard ...................................................... 6
7
Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan
pada uji Liebermann-Burchard .................................................................................... 6
3
PENDAHULUAN
Gaharu adalah sejenis kayu dengan
berbagai bentuk dan warna yang khas serta
memiliki kandungan kadar damar wangi
(Dewan Standarisasi Nasional Indonesia
1999). Gaharu merupakan salah satu hasil
hutan bukan kayu yang dapat diandalkan,
apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang
lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan
kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai
bahan dasar dalam industri parfum, dupa
untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik
dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah
satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat
menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria
crassna (Lieu 2003).
Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon
pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai
gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen
atau perlakuan kimiawi (Nobuchi &
Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995),
gaharu mengandung senyawa sesquiterpen
yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga
merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho
2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob
dengan berat molekul rendah yang
terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi
terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002).
Salah satu senyawa sinyal pada tumbuhan
yang
diketahui
dapat
merangsang
pembentukan fitoaleksin adalah metil
jasmonat (MeJA) (Franceschi et al. 2002).
MeJA merupakan fitohormon endogen. MeJA
memiliki peran dalam regulasi beberapa
proses
fisiologis
tanaman,
misalnya,
merangsang
pertumbuhan
akar
dan
transportasi karbon tanaman (Babst et al.
2005), induksi pematangan buah, sinyal
regulasi ekspresi gen pada proses penuaan
daun dan bunga (Srivastava 2002), dan sinyal
transduksi respon ketahanan tanaman terhadap
cekaman biotik dan abiotik (Yang et al. 1997).
MeJA akan menjadi komponen yang lebih
aktif jika diberikan dalam bentuk fitohormon
eksogen (Srivastava 2002).
Menurut Michiho (2005), pemberian
mM
dapat
menginduksi
MeJA 0.1
terbentuknya senyawa terpenoid pada kultur
kalus A. sinensis. Pada A. crassna, satu kali
pemberian MeJA 750 mM juga mampu
menginduksi pembentukan senyawa terpenoid
(Putri 2007). Dari perlakuan MeJA ini,
akumulasi senyawa terpenoid dapat terdeteksi
mulai 5 hari setelah induksi (hsi) dan
menghilang pada 75 hsi (Putri 2007).
Pemberian MeJA 750 mM ini tidak cukup
menyebabkan deposit senyawa terpenoid yang
dapat bertahan setelah 75 hsi. Pemberian
MeJA secara berulang diharapkan dapat
merangsang peningkatan deposit senyawa
terpenoid gaharu. Deposit senyawa terpenoid
gaharu ditemukan dalam jumlah banyak pada
jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah
kecil pada included phloem serta unsur trakea
xilem (Ramadhani 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
efektivitas pemberian MeJA pada konsentrasi
750 mM secara berulang dalam meningkatkan
deposit senyawa terpenoid pada Aquilaria
crassna.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari sampai dengan Agustus 2007, di
kebun
gaharu
Jabon-Parung
(Bogor),
Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, dan Laboratorium Zoologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah tanaman A.
crassna umur 8 tahun (Gambar 1), alkohol 75
%, akuades, metil jasmonat 750 mM (MeJA
750 mM), Tween 80 %, formaldehid 4 %,
larutan gliserin 30 %, larutan K2HPO4, larutan
tembaga asetat 50 %, etanol absolut, dietil
eter, larutan H2SO4 pekat, larutan asam asetat
anhidrat.
Gambar 1 A. crassna umur 8 tahun
Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid
Induksi pembentukan senyawa terpenoid
dilakukan pada cabang pohon A. crassna yang
mempunyai diameter 1 cm. Pertama-tama
cabang dilukai dengan cara dibuang kulit dan
kambiumnya sepanjang 2 cm. Kemudian
MeJA 750 mM diberikan secara berulang,
dengan rancangan pemberian secara berulang
(Tabel 1).
4
Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mM
secara berulang.
Perlakuan
Induksi
M1
M2
M3
M4
Keterangan :
Waktu Induksi / Waktu Pengamatan
(hari ke-)
25
50
75
*
*
√
*
√
√
√
√
√
√
√
√
√ = pemberian
0
10
*
*
*
*
*
*
*
√
* = pengamatan
M1= Perlakuan MeJA 1x induksi
M2= Perlakuan MeJA 2x induksi
M3= Perlakuan MeJA 3x induksi
M4= Perlakuan MeJA 4x induksi
Sebanyak 2 ml MeJA 750 mM (dalam 0.1
% Tween 80) dioleskan pada daerah cabang
yang telah dilukai, dan dibiarkan beberapa
saat sampai mengering, lalu dibungkus
dengan plastik dan diikat dengan tali. Semua
perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan dilakukan
pada cabang yang berbeda. Cabang-cabang
yang dilukai saja (tanpa induksi) sebagai
kontrol positif (K+) serta cabang-cabang yang
tidak dilukai sebagai kontrol negatif (K-)
digunakan sebagai pembanding.
Respon cabang yang diamati adalah
kebugaran cabang, perubahan warna kayu,
wangi kayu, dan analisis terpenoid.
Kebugaran Cabang
Kebugaran
cabang
ditetapkan
berdasarkan persentase daun yang menguning
atau daun gugur, dari total daun yang berada
dari zona induksi ke arah pucuk. Kebugaran
cabang
juga
ditetapkan
berdasarkan
persentase cabang yang mati.
Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi
Deposit terpenoid pada kayu mungkin
berasosiasi dengan perubahan warna dan
pembentukan wangi. Oleh sebab itu,
perubahan warna dan tingkat wangi kayu
diamati, dan dilakukan sebelum analisis
terpenoid.
Pengamatan warna cabang meliputi
perubahan warna dan panjang serta kedalaman
zona perubahan warna. Tingkat perubahan
warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem
skor (0=putih, 1=kuning kecoklatan, 2=coklat,
3=coklat kehitaman). Tingkat perubahan
warna diamati sebanyak 4 ulangan
Tingkat wangi kayu ditetapkan melalui
uji organoleptik yang dinyatakan dengan
rataan skor dari 3 responden. Skala skor
wangi adalah 0=tidak wangi, 1=kurang wangi,
2=wangi, 3=wangi sekali.
Tingkat perubahan warna, panjang
kedalaman zona perubahan warna serta
tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata
± simpangan baku.
Analisis Terpenoid
Uji Histokimia (Martin et al. 2002)
Deposit terpenoid dideteksi dengan
metode histokimia. Bagian cabang yang telah
diinduksi dipotong secara melintang bagian
tengahnya dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.3 cm.
Selanjutnya potongan cabang tersebut
direndam di dalam larutan formaldehid 4 %
dan K2HPO4 100 mM (pH 7.5) selama ± 4
jam. Kemudian sampel dicuci dengan
akuades. Potongan cabang selanjutnya
dibekukan pada suhu -18 ºC sebelum disayat
dengan mikrotom beku (Yamato RV-240).
Sayatan cabang dengan ketebalan antara 1820 µm diletakkan pada gelas objek. Untuk
pengamatan senyawa terpenoid, sayatan
tersebut ditetesi dengan larutan tembaga asetat
50 %. Supaya preparat tidak cepat mengering,
pada sayatan tersebut ditambahkan larutan
gliserin 30 %. Selanjutnya preparat diamati di
bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan
Nikon Obtiphot 2). Deposit terpenoid
ditetapkan berdasarkan persentase (%)
jaringan pengakumulasi yang mengandung
senyawa tersebut pada luasan bidang pandang
tertentu, dari 10 sayatan untuk masing-masing
perlakuan.
Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard)
Sebanyak ± 0.4 gram potongan kayu yang
telah diberi perlakuan dilarutkan dalam 5 ml
etanol absolut panas (100 ºC) kemudian
disaring ke dalam cawan petri steril dan
diuapkan sampai kering hingga terbentuk
endapan berwarna kuning. Endapan kemudian
ditambahkan 1 ml dietil eter dan
dihomogenisasi.
Endapan
yang
telah
dihomogenisasikan selanjutnya dipindahkan
ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan
3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4
pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan
adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987).
HASIL
Kebugaran Cabang. Cabang A. crassna
memberikan respon yang sama terhadap
induksi MeJA dan pelukaan (K+). Induksi
MeJA dan pelukaan menyebabkan terjadinya
perubahan warna pada daun yang berada di
daerah ujung cabang yang diberi perlakuan.
Daun berubah warna dari hijau menjadi
5
kuning dan gugur. Perubahan warna terjadi
satu sampai dua minggu setelah perlakuan.
Daun-daun pada cabang yang diinduksi
dengan MeJA (secara berulang) gugur lebih
awal dibandingkan dengan daun-daun pada
cabang yang hanya dilukai saja. Semakin
banyak
pengulangan,
semakin
besar
persentase cabang yang daunnya gugur. Pada
cabang yang diberi MeJA dengan satu kali
perlakuan,
sebanyak
21%
cabang
menunjukkan gugur daun, kemudian berturutturut pada dua kali perlakuan sebanyak 30%
cabang, tiga kali perlakuan sebanyak 42%
cabang, empat kali perlakuan sebanyak 50%
cabang. Pada kontrol positif hanya ditemukan
10% cabang yang daunnya gugur.
Berbeda dengan kedua perlakuan di atas,
pada cabang yang tidak dilukai (K-) tidak
ditemukan adanya perubahan warna pada
daun, daun tetap segar dan hijau sampai akhir
pengamatan.
Perubahan Warna. Adanya perubahan
warna kayu ditemukan baik pada cabang yang
diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang
menjadi K+. Perlakuan dengan MeJA
menghasilkan warna kayu yang beragam
dibandingkan dengan K+ (Tabel 2). Perlakuan
MeJA menghasilkan rata-rata perubahan
warna kayu berkisar antara putih kecoklatan,
coklat, sampai coklat kehitaman. Perlakuan
K+ hanya menghasilkan rata-rata warna kayu
putih kecoklatan, sedangkan pada perlakuan
K- tidak terjadi perubahan warna kayu
(Gambar 2).
Tabel 2 Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat
kehitaman) dari rataan 3 responden.
Waktu
Skor Warna dari Masing-masing Perlakuan
Pengamatan
KK+
M1
M2
M3
M4
(hsi)
10
0±0
0.5 ± 0.3000
1 ± 0.1547
25
0±0
0.5 ± 0.3000
2 ± 1.4142
2.5 ± 0.5774
50
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
75
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
K-
Gambar 2
K+, M1
M2
M3
2.75 ± 0.5000
M4
Kayu A.crassna setelah diberi perlakuan (K-; skor warna 0 = putih), (K+, M1;skor warna
1 = putih kecoklatan), (M2;skor warna 2 = coklat), (M3; skor warna 3 = coklat), (M4;
skor warna 4 = coklat kehitaman).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
pemberian
MeJA
(secara
berulang)
menyebabkan semakin dalam dan semakin
panjang zona perubahan warna yang
terbentuk. Perlakuan MeJA menghasilkan
kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona
perubahan warna yang lebih tinggi (Tabel 4
dan 5) dibandingkan dengan K+. Perlakuan
dengan MeJA 3x dan 4x induksi memiliki
kedalaman paling besar yang terlihat pada
pengamatan 75 hsi. Hal yang menarik adalah
bahwa semua perlakuan MeJA menyebabkan
peningkatan kedalaman warna semakin lama
waktu inkubasi.
Panjang zona perubahan warna yang
mengarah ke arah apeks (menuju daun) (Tabel
4) berbeda dengan besarnya panjang zona
perubahan warna yang mengarah ke arah
basal (menuju batang utama) (Tabel 5). Pada
perlakuan dengan MeJA rata-rata kisaran
panjang zona perubahan warna yang terbentuk
ke arah apeks hanya mencapai 5.48 cm dan
4.59 cm untuk panjang zona perubahan warna
ke arah basal. Sedangkan pada K+, rata-rata
panjang zona perubahan ke apeks sebesar 1.65
cm dan rata-rata panjang zona perubahan ke
basal sebesar 3.53 cm.
6
Tabel 3 Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan.
Kedalaman Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan (cm)
Waktu
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0.3 ± 0.1633
0.75±0.2887
M2
M3
25
0±0
0.63 ± 0.4349
0.93±0.1500
50
0±0
0.85 ± 0.3000
1.45±0.6403
1.75 ± 0.9574
2.75±0.5000
75
0±0
1 ± 0.0000
1.75±0.5000
2.25 ± 0.5000
3±0.0000
M4
1.38 ± 0.7500
3 ± 0.0000
a
b
Gambar 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun
(a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b).
Tabel 4 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah
apeks (menuju daun).
Waktu
Pengamatan (hsi)
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm)
K-
K+
M1
M2
M3
10
0±0
0.90 ± 0.4546
1.90± 0.2943
25
0±0
0.98± 0.2062
2.78± 1.1295
5.48 ± 0.8655
50
0±0
2.25± 0.6245
4.38± 1.4930
5.48 ± 1.0243
6.83±0.5909
75
0±0
2.48 ± 0.3862
4.80± 0.9092
6.93 ± 0.2217
7.40±0.5944
M4
8.80±1.3515
Tabel 5 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah
basal (menuju batang utama).
Waktu
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm)
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0.80 ± 0.2449
1.90 ± 0.4690
M2
M3
25
0±0
1.05 ± 0.1732
2.48 ± 0.9535
50
0±0
2.08 ± 0.6396
4.13± 0.8539
5.75 ± 0.6245
6.65±1.3723
75
0±0
2.48 ± 0.3201
5.60± 2.0591
6.40 ± 0.5291
7.18±0.6701
Tingkat wangi. Aroma wangi pada kayu
hanya terdeteksi pada bagian cabang yang
diinduksi dengan MeJA. Induksi MeJA
menghasilkan aroma wangi dengan indeks
tertinggi pada setiap kali panen dan wangi
hanya bertahan sampai dengan 25 hari setelah
aplikasi MeJA yang terakhir.
Induksi MeJA secara berulang pada
setiap kali panen mampu meningkatkan aroma
wangi kayu yang hilang pada saat induksi
sebelumnya. Pada 1 kali induksi dengan
pemberian MeJA di hari ke 0, aroma wangi
teramati pada panen 10 hsi dan menurun pada
25 hsi. Aroma wangi kemudian akan hilang
pada 50 hsi (Tabel 6). Setelah diinduksi ulang
(dengan 2 kali pemberian MeJA pada hari ke
0 dan dan hari ke 10) aroma wangi yang turun
pada 1 kali induksi saat 25 hsi dapat
M4
5.00 ± 0.5354
8.50±1.0099
meningkat kembali. Pada induksi 2 kali,
aroma wangi juga terdeteksi pada 50 dan 75
hsi. Induksi ulang (dengan 3 kali pemberian
MeJA pada hari ke 0, 10 dan 25) dapat
meningkatkan aroma wangi yang turun pada
50 dan 75 hsi saat induksi 2 kali. Aroma
wangi yang turun saat induksi 3 kali pada 75
hsi dapat ditingkatkan kembali dengan
perlakuan induksi MeJA sebanyak 4 kali
(Tabel 6).
Pada pemberian MeJA secara berulang,
pengaruh warna kayu tidak mempengaruhi
tingkat wangi dengan nilai R2=0.0144
(Gambar 4).
7
Tabel 6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak
wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali).
Skor Wangi dari Masing-masing Perlakuan
Waktu
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0±0
2.25 ± 0.7500
M2
M3
M4
25
0±0
0±0
0.75 ± 0.5000
50
0±0
0±0
0±0
2.5 ± 0.5774
1.5 ± 0.7321
2.25 ± 0.7500
75
0±0
0±0
0±0
1.25 ± 0.5000
1.75 ± 0.6583
2.75 ± 0.5000
3.5
3
Indeks Wangi
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Indeks Warna
Gambar 4 Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem
skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi;
3=coklat kehitaman, wangi sekali).
Analisis Terpenoid
Setelah diamati secara mikroskopis
dengan menggunakan pewarna tembaga asetat
pada uji histokimia, adanya akumulasi
senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan
parenkima jejari, included phloem, unsur
trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid
terdeteksi pada cabang yang diberi perlakuan
MeJA dan kontrol positif mulai 10 hsi
(Gambar 5), sedangkan pada tanaman yang
menjadi kontrol negatif tidak ditemukan
adanya senyawa terpenoid.
Cabang yang diinduksi dengan MeJA
secara berulang memiliki persentase luasan
jaringan pendeposit senyawa terpenoid
b
terbesar setiap kali panen (Tabel 7). Deposit
senyawa terpenoid, terakumulasi paling
banyak pada jaringan parenkima jejari dan
paling sedikit pada included phloem, unsur
trakea xilem dan empulur (Tabel 7).
Berdasarkan uji Lieberman-Burchard,
warna merah atau ungu mengidentifikasikan
adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987)
(Gambar 7). Senyawa triterpenoid terdeteksi
pada kayu yang diberi MeJA mulai 25 hsi
(M25). Senyawa ini tidak terdeteksi pada
kontrol negatif (K-) pada 10 hsi. Pada kontrol
positif (K), mulai 50 hsi.
c
d
a
Gambar 5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkim jejari (a),
included floem (b),unsur trakea (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi.
8
Tabel 7
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada
luasan bidang pandang tertentu (rataan dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan).
Waktu
Pengamatan
(hsi)
10
25
50
75
Jaringan
Pengakumulasi
Terpenoid
Parenkim
jejari
0±0
5.38 ± 0.4819
8.94 ± 0.5966
Included floem
0±0
4.38 ± 0.3580
6.81 ± 0.7430
Akumulasi Terpenoid Pada Perlakuan (%)
K-
K+
M1
M2
M3
M4
Unsur trakea
0±0
3.07 ± 0.1595
5.11 ± 0.8312
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
2.91 ± 0.3549
4.31 ± 0.4284
0±0
14.31±0.3649
22.65±0.6524
32.14±3.1570
Included floem
0±0
6.85 ± 0.5910
18.22±0.2948
21.25±2.3291
Unsur trakea
0±0
5.44 ± 0.6484
13.00±0.3733
20.17±1.8149
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
4.32 ± 0.6138
9.37 ±0.3239
17.18±1.7021
0±0
17.29±0.3114
52.75±1.5365
53.5±3.4826
61.64±2.9695
Included floem
0±0
13.09±0.7977
30.64±0.9668
37.1±1.1900
42.81±1.6775
Unsur trakea
0±0
10.26±0.3538
22.78±1.6379
25.81±0.8761
36.00±0.9949
Empulur
Parenkim
jejari
0±0
6.71 ±0.5459
14.65±0.7458
20.5±1.6892
31.00±0.9204
0±0
18.30±0.5957
53.61±3.9975
65.78±5.3751
69.00±3.7043
Included floem
0±0
17.09±0.9759
46.81±5.3716
41.5±2.3599
53.75±3.2339
64.97±5.8687
Unsur trakea
0±0
14.63±1.2713
25.93±2.7988
32.16±2.0508
41.50±1.3220
53.42±5.1974
Empulur
0±0
13.70±1.3441
20.30±1.0211
27.75±2.6371
35.50±1.1416
46.50±1.3591
80.76±3.2668
PEMBAHASAN
Gambar
K-
6
Warna merah pada endapan
menunjukkan adanya triterpenoid
pada resin gaharu alam berdasarkan
pada uji Liebermann-Burchard
K10
K50
M50
M10
K25 M25
K75 M75
Gambar 7 Triterpenoid yang telah teridentifikasi
pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi
berdasarkan pada uji LiebermannBurhchard.
Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap
Cabang yang Diinduksi
Induksi MeJA 750 mM dan pelukaan
menyebabkan stress pada pohon A. crassna.
Hal ini ditandai dengan adanya perubahan
warna daun dari hijau menjadi kuning dan
terjadinya gugur daun pada cabang-cabang
yang telah diberi perlakuan. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore
(2003), yang menyatakan bahwa perlakuan
MeJA 10 mM pada tanaman persik (Prunus
persica) mengakibatkan terjadinya penurunan
kadar
klorofil
daun,
penghambatan
pembentukan cabang baru, penurunan jumlah
daun sebanyak 31% dan penurunan berat daun
muda setelah 3 minggu perlakuan. Satu kali
perlakuan MeJA 750 mM tidak menyebabkan
terjadinya klorosis daun, tetapi menyebabkan
cabang yang diberi perlakuan MeJA
mengalami gugur daun sebanyak 20% (Putri
2007).
Cabang yang diinduksi dengan MeJA
(secara berulang) mengalami gugur daun lebih
banyak dibandingkan dengan cabang yang
diberi pelukaan. Meskipun perlakuan MeJA
(secara berulang) mampu menyebabkan gugur
daun hingga mencapai 50 %, tetapi tidak
ditemukan adanya cabang yang mati karena
perlakuan tersebut. Menurut Fillela (2005),
pemberian MeJA secara eksogen dapat
9
menyebabkan tanaman menjadi resisten tanpa
mengakibatkan kerusakan pada tanaman itu
sendiri. Selain pemberian MeJA, gugur daun
dapat mengindikasikan gangguan patologis.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Santoso (1996) yang melaporkan bahwa
pertumbuhan tanaman yang merana dan
mengalami kekeringan berkaitan dengan
gejala patologis terbentuknya gaharu yang
diawali oleh rangsangan luka pada batang,
patah cabang, atau ranting dan pengaruh fisik
lainnya.
Pohon Aquilaria crassna yang merana
akibat gangguan perlakuan kimiawi dan
pelukaan
menunjukkan
proses
awal
pembentukan senyawa gaharu itu sendiri.
Perubahan warna kayu terjadi pada
cabang yang diberi perlakuan MeJA dan
pelukaan (kontrol positif). Hal ini didukung
oleh pernyataan Walker dan Bray (1997),
yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan
warna pada kayu menjadi berwarna coklat
(browning)
dapat
disebabkan
oleh
penggunaan senyawa kimia dan pelukaan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perubahan
warna merupakan respon non-spesifik
tanaman terhadap gangguan, karena respon
dapat ditemukan baik pada cabang yang diberi
perlakuan MeJA maupun cabang yang diberi
pelukaan.
Perlakuan MeJA (secara berulang)
menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu
berkisar antara putih kecoklatan, coklat,
sampai coklat kehitaman. Pada 75 hsi, induksi
MeJA (secara berulang) dengan satu kali, dua
kali, tiga kali dan empat kali pengulangan
menghasilkan rata-rata warna kayu coklat
kehitaman (Gambar 2). Semakin lama periode
induksi (sampai dengan 75 hsi) warna kayu
semakin gelap. Namun, hal tersebut
bertentangan dengan pernyataan Putri (2007),
yang menyatakan bahwa pada satu kali
induksi MeJA pada 75 hsi, umumnya kayu
kembali berwarna putih atau putih kecoklatan.
Pada kayu yang diberi pelukaan (kontrol
positif) hanya menghasilkan rata-rata warna
kayu putih kecoklatan.
Terjadinya perubahan warna kayu pada
cabang yang diberi pelukaan mungkin
disebabkan juga oleh mikroorganisme udara
sebagai akibat adanya kontak langsung antara
kayu dengan lingkungan luar. Menurut
Anonim (1999), terbentuknya warna coklat
pada kayu dapat disebabkan oleh cendawan
mikroskopik penyebab blue stain. Cendawan
penyebab blue stain tidak menyebabkan
kebusukan dan efek tertentu pada kayu, selain
perubahan warna kayu (Anonim 1999).
Umumnya semua cabang yang diberi
perlakuan MeJA dan kontrol positif
menunjukkan adanya perluasan panjang dan
kedalaman zona perubahan warna. Berbeda
dengan kontrol positif, perlakuan dengan
induksi MeJA menyebabkan panjang dan
kedalaman warna yang paling besar. Hal
tersebut mungkin disebabkan karena MeJA
merupakan elisitor kimiawi yang merangsang
pembentukan fitoaleksin. Pada kontrol positif,
penambahan panjang dan kedalaman terjadi
karena adanya pelukaan. Pertambahan
panjang zona perubahan warna menunjukkan
adanya aktivitas fisiologis yang bersifat
sistemik pada kayu.
Kulit kayu dan kambium telah dibuang
saat awal perlakuan induksi MeJA dan
pelukaan, namun arah panjang zona
perubahan warna yang terbentuk menuju ke
dua arah, yaitu ke apeks (menuju daun) dan ke
basal (menuju batang utama) (Gambar 3).
Beberapa data perubahan warna memiliki
nilai simpangan baku yang cukup besar (Tabel
2), hal ini menunjukkan bahwa ulangan untuk
perlakuan MeJA dan pelukaan perlu
ditambah. Adanya nilai simpangan baku yang
cukup besar tersebut ditemukan juga pada
beberapa data kedalaman (Tabel 3) dan
panjang zona perubahan warna kayu (Tabel 4
dan 5) serta tingkat wangi (Tabel 6).
Aroma wangi hanya terdeteksi pada
bagian cabang yang diberi perlakuan MeJA.
Hal ini membuktikan bahwa respon wangi
merupakan respon spesifik terhadap bentuk
gangguan tertentu, yaitu induksi MeJA. MeJA
merupakan senyawa sinyal bagi pembentukan
komponen fitoaleksin (Michiho 2005). Pada
pohon gaharu, salah satu senyawa fitoaleksin
mengeluarkan aroma yang khas. Aroma wangi
yang dihasilkan dari induksi MeJA seperti
wangi bunga melati dan berbeda dengan
aroma wangi gaharu alam.
Aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu
sebanding dengan kepekatan warna kayu. Hal
ini didukung oleh pernyataan Rahayu et al.
(1999), yang menyatakan bahwa terjadinya
pembentukan wangi gaharu tidak selalu
diikuti oleh perubahan warna kayu. Induksi
MeJA (secara berulang) pada setiap kali
panen mampu meningkatkan aroma wangi
kayu yang hilang pada saat induksi
sebelumnya. Adanya pemberian MeJA (secara
berulang) hanya meningkatkan tingkat wangi
tetapi tidak pada perubahan warna. Warna
kayu akan semakin gelap meskipun tidak
diberi perlakuan berulang.
Peningkatan aroma wangi kayu diduga
disebabkan oleh bertambahnya akumulasi
10
senyawa sesquiterpen, sedangkan penurunan
atau hilangnya aroma wangi diduga
disebabkan karena hilangnya senyawa
sesquiterpen. Menurut Michiho (2005), aroma
wangi yang muncul pada kayu gaharu diduga
adalah senyawa sesquiterpen yang memiliki
sifat mudah menguap. Selain itu, peningkatan
dan hilangnya aroma wangi ini kemungkinan
berhubungan dengan sifat MeJA yang mudah
menguap (Srivastava 2002).
Menurut
Franceschi et al. (2002), penggunaan MeJA
pada P. abies yang dilukai dan diinokulasi
dengan
Ceratocystis
polonica
dapat
meningkatkan produksi fitoaleksin.
Aroma wangi kayu hilang seiring dengan
menguapnya MeJA, tetapi akumulasi deposit
senyawa gaharu tetap terdeteksi hingga akhir
pengamatan. Deteksi terpenoid berdasarkan
uji histokimia, bukan spesifik terhadap
kelompok sesquiterpen melainkan terpenoid
secara keseluruhan, sedangkan analisis
terpenoid (Harbone 1987) mendeteksi
kehadiran kelompok terpenoid yang spesifik
yaitu triterpenoid dan bukan sesquiterpen.
Pembentukan Senyawa Gaharu dengan
Induksi Kimia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
induksi MeJA dan pelukaan dapat merangsang
pembentukan senyawa terpenoid. Menurut
Srivastava (2002), pelukaan atau perlakuan
dengan menggunakan protein sistemin pada
jaringan
tanaman
atau
sel
mampu
menginduksi terjadinya pembentukan MeJA.
MeJA akan merangsang ekspresi gen
penyandi respon ketahanan tanaman (Yang
1997).
Meskipun
MeJA
merupakan
fitohormon endogen, MeJA akan jauh lebih
aktif jika diaplikasikan secara eksogen.
Aplikasi MeJA pada kultur sel A. sinensis
dapat merangsang pembentukan senyawa
terpenoid (Michiho 2005). Senyawa terpenoid
adalah metabolit sekunder yang diproduksi
tanaman sebagai respon terhadap pelukaan,
infeksi patogen dan perlakuan kimiawi
(Nobuchi & Siripatanadilok 1991).
Terpenoid disintesis dari isoprenoid
melalui Acetyl CoA dan lintasan asam
mevalonat (Srivastava 2002). Terpenoid
mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan
(Roberts
2007)
dan
dikelompokan
berdasarkan jumlah unsur karbon yang
terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid
terdiri atas beberapa senyawa, mulai dari
komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen
(C10) dan sesquiterpen (C15) yang mudah
menguap, diterpen yang lebih sukar menguap
(C20) dan senyawa yang tidak menguap, yaitu
triterpenoid dan sterol (C30) (Harbone 1987).
Adanya senyawa terpenoid yang dihasilkan
dari induksi MeJA dan pelukaan
ini
dibuktikan pada uji histokimia dan analisis
terpenoid.
Pada uji histokimia, deposit senyawa
terpenoid ditunjukkan dengan butiran
terpenoid yang terakumulasi dalam jumlah
banyak pada jaringan parenkima jejari, dan
dalam jumlah relatif lebih kecil pada included
phloem, unsur trakea xilem dan empulur
(Tabel 6). Hal ini didukung oleh pernyataan
Ramadhani (2005), yang melaporkan adanya
senyawa golongan terpenoid dalam jumlah
banyak pada jaringan parenkima jejari dan
dalam jumlah kecil pada included phloem, dan
unsur trakea xilem. Parenkima jejari
merupakan salah satu jaringan dasar pada
tanaman yang menyusun sebagian besar tubuh
tumbuhan. Menurut Blanchette (2003),
included phloem merupakan jaringan pada
Aquilaria yang mampu mensekresikan resin.
Berbeda dengan parenkima jejari dan included
phloem yang tersusun oleh sel-sel hidup,
unsur trakea xilem dan empulur tersusun dari
sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan
empulur hanya berperan sebagai jaringan
pendeposit saja.
Analisis terpenoid hanya ditujukan untuk
mendeteksi kelompok triterpenoid. Hal
tersebut dibuktikan dengan munculnya warna
merah pada endapan setelah direaksikan
dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Pada
kayu yang diberi perlakuan MeJA, senyawa
triterpenoid mulai terdeteksi pada 25 hsi
(Gambar 7), dan tidak terdeteksi pada 10 hsi.
Senyawa triterpenoid tidak terdeteksi pada 10
hsi mungkin disebabkan oleh jumlah deposit
senyawa terpenoid yang masih sedikit.
Dibandingkan dengan MeJA, pelukaan lebih
lambat merangsang pembentukan senyawa
triterpenoid pada kayu. Triterpenoid pada
kontrol positif terdeteksi mulai 50 hsi
(Gambar 7). Hal ini mungkin disebabkan juga
karena masih terlalu sedikitnya jumlah
senyawa terpenoid yang terakumulasi
sehingga belum cukup untuk membentuk
senyawa triterpenoid.
Triterpenoid terdapat dalam damar dan
getah (Harbone 1987). Triterpenoid berfungsi
sebagai pelindung untuk menolak serangga
dan serangan mikroba (Harbone 1987).
Peluang Pemanfaatan Metode Induksi
dengan MeJA
Induksi gaharu dengan MeJA sejauh ini
mempunyai peluang hasil yang cukup baik
11
dibandingkan dengan metode inokulasi
mikroorganisme, misalnya seperti cendawan
Acremonium sp. (Putri 2007). Induksi MeJA
750 mM (secara berulang) mampu
menghasilkan deposit senyawa
terpenoid
gaharu lebih banyak dibandingkan dengan
satu kali pemberian saja.
Adapun keuntungan dari aplikasi induksi
MeJA diantaranya adalah aplikasinya lebih
sederhana dibandingkan dengan metode
inokulasi cendawan dan bentuk formulasinya
sudah komersial. Adapun kerugian dari
aplikasi ini ialah pembentukan aroma wangi
berfluktuasi. Tingkat wanginya meningkat
ketika diinduksi MeJA dan menurun beberapa
hari setelah induksi.
KESIMPULAN
Perlakuan Aquilaria dengan pelukaan
memiliki respon yang berbeda dengan
perlakuan
MeJA.
Perlakuan
MeJA
memberikan hasil yang lebih baik. MeJA 750
mM dapat menginduksi pembentukan warna
kayu lebih gelap dengan panjang serta
kedalaman zona perubahan warna lebih besar
dibandingkan dengan pelukaan. MeJA
menginduksi pembentukan aroma wangi khas
melati. Pada cabang yang diberi pelukaan
ditemukan adanya perubahan warna kayu,
namun tidak tercium aroma wangi khas
gaharu.
Pemberian MeJA (secara berulang) tidak
dapat menyebabkan indeks warna memiliki
korelasi dengan indeks wangi. Pemberian
MeJA
(secara
berulang)
mampu
meningkatkan deposit senyawa terpenoid
gaharu lebih banyak dibandingkan hanya satu
kali pemberian saja tetapi wangi kayu dapat
bertahan sampai dengan 25 hari setelah
aplikasi terakhir. Hal ini terbukti dengan
semakin banyak pemberian maka semakin
besar pula persentase luasan jaringan yang
mengandung butiran terpenoid pada jaringan
pengakumulasi. Akumulasi senyawa terpenoid
ditemukan paling banyak pada jaringan
parenkima jejari, dan menurun berturut-turut
pada included phloem, unsur trakea xilem dan
empulur.
Senyawa
terpenoid
yang
teridentifikasi berdasarkan analisis terpenoid
mengandung komponen triterpenoid.
SARAN
Teknik lain untuk meningkatkan produksi
gubal gaharu perlu dilakukan. Metode untuk
identifikasi
senyawa
terpenoid
yang
terkandung dalam kayu gaharu perlu untuk
diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Blue Stain. Forest Product
Laboratory.
Madison,
WI:
US.
Departemen of Agriculture.
Babst BA, Ferrier RA, Gray DW. 2005.
Jasmonic acid induces rapid change
transport and partitioning in Populus. Am
J Phytol 167: 63-72.
Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M.
2000. Heart of the Matter: Agarwood Use
and Trade and CITIES Implementation
for Aquilaria malacensis. Cambridge:
Traffict Int.
Blanchette RA. 2003. Agarwood formation in
Aquilaria trees: resin production in nature
and how it can be induced in plantation
grown trees [Abstrak ]. Di dalam: First
International Agarwood Conference;
Vietnam, 10-15 2003. Vietnam: European
Comission.2003. hlm 10. Abstr no 1.
Dewan Standarisasi Nasional. 1999. SNI
01/5009.1-1999 Gaharu. Jakarta : Dewan
Standarisasi Nasional.
Filella I, Joseph P. 2005. Dynamics of the
enhanced emissions of monoterpenes and
methyl salicylate, and decreased uptake
of formaldehyde, by Quercus ilex leaves
after application of jasmonic acid. New
Phytol 169 : 135-144.
Franceschi VR, Trygve K, Erik C. 2002.
Application of Methyl Jasmonate on
Picea Abies (Pinaceae) stem induces
defense related in phloem and xylem. Am
J Bot 89: 578-586.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia.
Padmawinata
K
dan
I
Sudiro,
penerjemah. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Terjemahan
dari:
Phytochemical Methods.
Hoopkins WG, Hiiner NPA. 2004.
Introduction to Plant Physiology Third
Edition. University of Western Ontario
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Janoudi A, Flore JA. 2003. Methyl jasmonate
on fruit ripening leaf gas exchange and
12
vegetative growth in fruit trees [Abstrak
]. J Hort Sci Biotechnol 78: 793-797.
Lieu N X. 2003. Seed Leaflet. Central Forest
Seed Company. http : // www. google.
com / searc? Q = cache : CblancRItgkj:
sl.dk/upload/Aquilaria rassna_100_Html
[20 Januari 2006].
Martin D, Tholl D, Gershenzon J. 2002.
Methyl jasmonate induces traumatic resin
ducts, terpenoid resin biosynthesis, and
terpenoid
resin
accumulation
in
developing xylem of Norway Spruce
stems. Plant Physiol 129: 1003-1008.
Mert-Turk F. 2002. Phytoaleksin : defence or
just respon to stress?. J Cell Mol Biol 1:16.
Michiho I. 2005. Induction of sesquiterpenoid
production by Methyl Jasmonate in
Aquilaria sinensis cell suspension culture.
Essential Oil Research. http//www.
findarticles. com [12 Februari 2006].
Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991.
Preliminary observation of Aquilaria
crassna wood associated with the
formation of aloewood. Bulletin of the
Kyoto University Forest 63: 226-235.
Putri A. 2007. Induksi terbentuknya senyawa
terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria
crassna) dengan Acremonium dan MeJA
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Rahayu G, Isnaeni Y, Umboh MIJ. 1999.
Potensi beberapa hifomiset dalam induksi
gejala pembentukan gubal gaharu.
Makalah Seminar Kongres Nasional Ke
XV dan Seminar Ilmiah PFI: Purwokerto,
16-18 September 1999. Purwokerto :
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
Hlm:1-6.
Ramadhani CH. 2005. Pengamatan included
phloem dan jaringan pengakumulasi
gaharu pada Aquilaria crassna [Skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Roberts SC. 2007. Production and engineering
of terpenoids in plant all culture. Nature
Chem Biol 3: 387-395.
Santoso E. 1996. Pembentukan Gaharu
dengan cara inokulasi. Makalah diskusi
hasil penelitian dalam menunjang
pemanfaatan hutan yang lestari; Bogor,
11-12 Maret 1996. Bogor: Badan Litbang
Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Hlm 1-3.
Growth
and
Srivastava
LM.
Plant
development. 2002. USA : Academic
Press.
Walker D Jr, Bray D. 1997. Diagnosing Field
Problems.
http://ag
Crop
.udel.edu/extension. [3 Maret 2006].
Yang Y, Shah J, Klessig DF. 1997. Signal
perception and transduction in plant
defense response. Review 11:1621-1639.
Yuan QS. 1995. Aquilaria spesies: In vitro
culture and production of eaglewood
(agarwood). Di dalam : Bajaj YPS, editor.
Biotechnol Agric Forest 33. Volume ke15. New York: Springer. Hlm: 36-46.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG
DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID
PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan
Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH
RAHAYU dan HAMIM.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750
mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu
(Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm)
dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan
satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit
terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan
Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon
kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada
10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi.
Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit
senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea
xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid.
Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak
hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi,
warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan
wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen.
Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan
bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir.
ABSTRACT
RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid
Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU
and HAMIM.
This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mM
application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8
years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The
wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four
times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by
cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the
observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days
after application.
Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was
deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and
pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in
the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The
longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with
the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components
sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after
the last MeJA application.
3
PENDAHULUAN
Gaharu adalah sejenis kayu dengan
berbagai bentuk dan warna yang khas serta
memiliki kandungan kadar damar wangi
(Dewan Standarisasi Nasional Indonesia
1999). Gaharu merupakan salah satu hasil
hutan bukan kayu yang dapat diandalkan,
apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang
lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan
kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai
bahan dasar dalam industri parfum, dupa
untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik
dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah
satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat
menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria
crassna (Lieu 2003).
Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon
pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai
gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen
atau perlakuan kimiawi (Nobuchi &
Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995),
gaharu mengandung senyawa sesquiterpen
yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga
merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho
2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob
dengan berat molekul rendah yang
terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi
terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002).
Salah