Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill

PERANAN ZAT EKSTRAKTIF
DALAM PEMBENTUKAN GAHARU PADA Aquilaria crassna
Pierre ex Lecomte DAN Aquilaria microcarpa Baill

EKA NOVRIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peranan Zat Ekstraktif Dalam
Pembentukan Gaharu Pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria
microcarpa Baill belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,


Agustus 2008

Eka Novriyanti
NRP E051060421

ABSTRACT
EKA NOVRIYANTI. The Role of Extractives in The Agarwood Formation at
Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte and Aquilaria microcarpa Baill.
Supervisors are WASRIN SYAFII and ERDY SANTOSA.
This research is aimed at investigating the anti fungal activity (AFA), the
correlation of gaharu tree’s phenolics in relation with the susceptibility of the trees
to Fusarium bulbigenum attack in the formation of agarwood, and to observe total
phenolics content and tree’s chemicals of Aquilaria crassna and Aquilaria
microcarpa pre-inoculation, the reology of tree’s chemical and microorganism
change along inoculation time. There were variations of anti fungal activity
among trees, and the highest is at tree no. 10 that AFA was in the middle class
(39,77%), but entirely agarwood trees exhibited a low anti fungal activity at lab
scale. Further fractionation and bioassay showed that the most active component
are likely in the ethyl acetate fraction that exhibited strong anti fungal activity at

4% concentration. Trees as many as 20 of A. microcarpa at Carita and 10 of A.
crassna at Darmaga were inoculated with isolate of F.bulbigenum in spiral pattern
around the stem. Prior to inoculation, strips were taken from the stem for total
phenolics content and chemicals analyzing. The result revealed that total
phenolics content and infection area exhibited a negative correlation, which means
the higher the phenolics content, the smaller the infection area. The preinoculation chemicals analysis showed that tree with smaller infection area had
larger type of compounds and higher concentration of phenolics than tree with
wider one. Some chemicals that at certain plants acted as defense system,
according to some references, were found at higher concentration in the gaharu
trees with smaller infection or they were not even traced in other tree. The
reology analysis revealed that the largest types of compounds were noticed at
three day’s old inoculation.
Agarwood constituents and other aromatic
compounds were detected since three days after inoculation which is indicated the
agarwood formation was taken place. Meanwhile, the microbiology analysis
showed there was no microbes change in the inoculation sites along 6 month
inoculation time, but some small insects, such as ants and bugs, were found at the
area.
Keywords:


Aquilaria crassna, Aquilaria microcarpa, Fusarium bulbigenum,
anti fungal activity, tree’s phenolics, inoculation, infection area

RINGKASAN
EKA NOVRIYANTI. Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada
Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill. Dibimbing
oleh WASRIN SYAFII dan ERDY SANTOSA.
Gaharu merupakan nama perdagangan dari produk yang dihasilkan oleh
beberapa spesies pohon penghasil gaharu yang sebenarnya merupakan endapan
resin pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi
penyakit. Pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, pengharum dan
parfum. Sampai saat ini, gaharu masih mengandalkan produksi dari hutan alam
yang semakin langka. Tingginya intensitas perburuan telah mengakibatkan dua
genus utama penghasil gaharu tercantum dalam daftar Appendix II CITES.
Fenolik, merupakan metabolit sekunder yang diketahui memiliki fungsi
sebagai senyawa pertahanan terhadap pengaruh lingkungan dan penyakit.
Pengetahuan mengenai fungsi metabolit sekunder dalam pembentukan gaharu
akan sangat berperan dalam keberhasilan produksi gaharu buatan, karena
perlakuan yang diberikan pada pohon-pohon potensial tentunya akan lebih efektif
dan efisien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat anti jamur ekstrak pohon
penghasil gaharu, mengetahui hubungan antara kandungan total fenolik dengan
kerentanan pohon dalam pembentukan gaharu oleh infeksi jamur, dan untuk
mengetahui komposisi senyawa pohon sebelum inokulasi dan perubahannya
setelah inokulasi dilakukan, serta untuk melihat perubahan mikroba di area
infeksi.
Sifat anti jamur pohon penghasil gaharu ini diteliti dengan mengekstrak
serbuk dari batang menggunakan pelarut aseton. Sifat anti jamur pohon A.
crassna dianalisis terhadap Fusarium bulbigenum yang diketahui merupakan
jamur pemicu pembentukan gaharu. Hasil bioasai ekstrak aseton batang A.
crassna terhadap F. bulbigenum menggunakan metode cawan petri menunjukkan
keragaman anti jamur pada pohon-pohon tersebut dan yang tertinggi adalah sifat
anti jamur pohon nomor 10 yang termasuk dalam klasifikasi sedang (39,77%).
Namun secara keseluruhan, pohon penghasil gaharu ini memiliki sifat anti jamur
klasifikasi rendah pada skala laboratorium. Jika dihubungkan antara sifat anti
jamur dengan kandungan ekstrak aseton ataupun kandungan total fenolik setiap
pohon, terlihat kecenderungan hubungan positif dimana semakin tinggi
kandungan ekstrak aseton ataupun kandungan total fenolik maka nilai aktivitas
anti jamur akan semakin tinggi pula yang berarti semakin tinggi ketahanan pohon
terhadap serangan jamur pemicu pembentukan gaharu ini.

Kegiatan ekstraksi dan fraksinasi bertingkat dilakukan pada serbuk yang
diperoleh dari dahan A. crassna untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan
nilai AFA oleh kegiatan fraksinasi. Fraksinasi bertingkat dilakukan menggunakan
pelarut-pelarut n-heksan, etil asetat, dan butanol. Hasil ekstraksi dan fraksinasi
menunjukan bahwa kandungan ekstraktif pada kayu gaharu yang sehat hanya
2,020% dengan sebagian besarnya merupakan senyawa-senyawa yang bersifat
semi polar. Fraksinasi lanjutan dari ekstrak pohon A. crassna memperlihatkan
peningkatan sifat anti jamur. Aktivitas anti jamur tertinggi ditunjukkan oleh fraksi
etil asetat pada konsentrasi uji 4% (klasifikasi kuat, AFA 52,45%), sehingga

komponen aktif yang mampu mengatasi serangan F. bulbigenum diduga terdapat
dalam fraksi ini.
Untuk melihat bentuk hubungan antara kandungan total fenolik dengan
kerentanan pohon yang direfleksikan dengan luasan infeksi, 20 pohon A.
microcarpa di Carita dan 10 A. crassna di Darmaga diinokulasi dengan isolat cair
F.bulbigenum dalam pola spiral mengelilingi batang. Sebelum inokulasi, strip
diambil dari bagian batang untuk analisis kandungan total fenolik dan analisis
senyawa kimia pra-inokulasi. Setelah di-plotting dalam bentuk grafik dua
dimensi, antara hasil analisis kandungan total fenolik dan hasil pengamatan luas
infeksi menunjukkan kecenderungan hubungan negatif antara keduanya.

Kecenderungan ini berarti semakin tinggi kandungan total fenolik maka semakin
kecil luas infeksi yang terjadi pada batang pohon. Hasil analisis GCMS untuk
ekstrak batang pra-inokulasi menunjukkan pohon dengan luas infeksi yang lebih
kecil mengandung lebih banyak jenis senyawa serta konsentrasi senyawa-senyawa
fenolik-nya relatif lebih tinggi daripada pohon yang mengalami infeksi lebih luas.
Beberapa senyawa yang pada berbagai referensi disebutkan sebagai senyawa
pertahanan pada tanaman tertentu, ditemukan dalam konsentrasi yang relatif lebih
tinggi pada pohon dengan infeksi yang lebih kecil atau bahkan sama sekali tidak
ditemukan pada pohon yang infeksinya lebih luas.
Untuk mengetahui perubahan kimiawi yang terjadi selama inokulasi,
dilakukan analasis senyawa batang dalam waktu-waktu tertentu menggunakan
instrumen GCMS. Analisis dilakukan untuk ekstrak dari area nekrosis batang
pada umur inokulasi 3 hari (H3), 2 bulan (B2), dan 6 bulan (B6) serta prainokulasi (H0). Hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan waktu pengamatan
yang lain, jenis senyawa yang tercatat pada hari ketiga, jauh lebih besar.
Beberapa senyawa fenolik yang berdasarkan beberapa rujukan berperan sebagai
senyawa pertahanan pada tanaman tertentu, terdeteksi pada pohon gaharu ini
mulai dari hari ketiga hingga bulan keenam setelah inokulasi. Hasil analisis ini
menunjukkan adanya konstituen gaharu dan senyawa-senyawa aromatis yang
terdeteksi mulai hari ketiga hingga bulan keenam, dan hal ini mengindikasikan
terjadinya proses pembentukan gaharu pada pohon.

Analisis mikrobiologi dilakukan per periode 2 bulanan untuk mengetahui
perubahan mikrobiologis yang terjadi pada titik luka inokulasi. Analisis
dilakukan dengan mengambil bagian batang antara area nekrosis dengan area
yang sehat, dimana bagian yang mengandung miroba ini kemudian dibiakkan
pada media agar. Koloni-koloni mikroba yang muncul selanjutnya diisolasi dan
diidentifikasi jenisnya. Dari hasil analisis mikrobiologis ini diketahui bahwa pada
umur enam bulan inokulasi belum terjadi perubahan mikroorganisme yang
bersifat predasi pada pohon-pohon A. microcarpa dan A. crassna. F. bulbigenum
yang diinokulasikan merupakan satu-satunya jamur yang ditemukan di daerah
nekrosis batang A. crassna dan A. microcarpa. Namun, terjadi asosiasi antara F.
bulbigenum dengan serangga kecil seperti semut dan kumbang di daerah inokulasi
tersebut.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PERANAN ZAT EKSTRAKTIF
DALAM PEMBENTUKAN GAHARU PADA Aquilaria crassna
Pierre ex Lecomte DAN Aquilaria microcarpa Baill

EKA NOVRIYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, M.Sc

Judul Tesis

Nama
NIM

: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu
Pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan
Aquilaria microcarpa Baill
: Eka Novriyanti
: E051060421

Disetujui
Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr
Ketua

Dr. Erdy Santosa, M.S.

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Iman Wahyudi, M.S.

Tanggal Ujian : 19 Agustus 2008

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Tidak akan seseorang memperoleh suatu keberhasilan tanpa redha Allah
SWT, dorongan dan dukungan pihak lain. Karena itu, puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan

penelitian dan penulisan tesis berjudul ‘Peranan Zat Ekstraktif Dalam
Pembentukan Gaharu Pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria
microcarpa Baill’ ini dapat diselesaikan. Terima kasih dan penghargaan penulis
ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan
Dr. Erdy Santosa, M.S. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah
banyak memberi bimbingan dan masukan serta saran dalam berbagai
kesempatan diskusi yang sangat membangun untuk penelitian ini.
2. Departemen Kehutanan atas beasiswa yang diberikan sehingga penulis dapat
menjalani pendidikan di program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah
Pascasarjana IPB.
3. Keluarga besarku tercinta, Mamak dan Bapak, Papa, Mama, Om Yok, Tante
keni, Tante Ii, serta adik-adikku tersayang semuanya.
4. Peneliti dan staf di Laboratorium Mikrobiologi Puslit Hutan dan Konservasi
Alam yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian, Dr. Ir.
Maman Turjaman, DEA, Dr. Irnayuli Sitepu, Pak Najmulah, Pak Yanto, pak
Sugeng, dan Pak Yani. Staf di Laboratorim Kimia Hasil Hutan, Mas Wawan
dan Pak Atin.
5. Prof. Suminar Achmadi dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si atas kesempatan
diskusi dan masukan yang diberikan.
6. Antie dan Bu Syahidah, teman seperjuangan dalam penelitian yang begitu
banyak membantu tanpa pamrih. Tekat dan kak Ida atas dorongan dan
bantuannya. Serta teman-teman angkatan 2006 di pasca sarjana IPK, Erna,
Henti, Ika, Teteh Ratih, Arida, Santi, Colik, Uni Susi dan semuanya, atas
kebersamaan dan semangat selama proses belajar dan penelitian.
7. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, untuk semua
dorongan dan dukungan yang diberikan.
Perjalanan panjang selama lebih dari delapan bulan penelitian yang
dilakukan di Laboratorium Bagian Kimia Hasil Hutan Fahutan IPB,
Laboratorium Mikrobiologi Puslit Hutan dan Konservasi Alam, Laboratorium
Kimia Terpadu IPB, dan Laboratorium Terpadu Puslit Hasil Hutan, akhirnya
dapat disusun dalam bentuk karya ilmiah ini yang semoga bermanfaat.
Bogor, Agustus 2008

Eka Novriyanti

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 7 November 1976, dan
merupakan anak pertama dari Bapak Lasiman Yan dan Ibu Tuti Riwayati.
Pendidikan dasar penulis selesaikan di SD Inpres No. 76 Bukit Canggang
Bukittinggi pada tahun 1989 dan SMP Negeri 1 Bukittinggi hingga tahun 1992,
kemudian penulis melanjutkan ke SMA Negeri 3 Bukittinggi dan lulus tahun
1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknologi Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000.
Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai calon peneliti di Badan Penelitian
dan Pengembangan Hutan Departemen Kehutanan dan ditempatkan di Loka
Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Kuok, Riau, yang sejak tahun 2006 telah
menjadi Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Pada tahun 2006 penulis
berkesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Program Studi Teknologi
Hasil Hutan, dengan bantuan dana dari beasiswa Departemen Kehutanan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul
‘Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada Aquilaria crassna
Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill’ dibawah bimbingan Prof. Dr.
Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Erdy
Santosa, M.S. sebagai anggota Komisi Pembimbing.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv
PENDAHULUAN ..............................................................................................
Latar Belakang ...........................................................................................
Identifikasi Masalah ..................................................................................
Tujuan ........................................................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................................
Hipotesis ....................................................................................................

1
1
3
4
4
5

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6
Gaharu........................................................................................................ 6
Aquilaria spp ............................................................................................. 7
Aquilaria crassna ...................................................................................... 9
Aquilaria microcarpa ................................................................................ 9
Kandungan Kimiawi Gaharu ..................................................................... 10
Budidaya dan Pembentukan Gaharu.......................................................... 11
Zat Ekstraktif Kayu.................................................................................... 15
Fenolik dan Senyawa Pertahanan Tanaman .............................................. 17
Analisis Senyawa Fenolik.......................................................................... 20
Fusarium spp ............................................................................................. 22
BAHAN DAN METODE .................................................................................. 25
Lokasi dan waktu Penelitian ...................................................................... 25
Sifat Anti Jamur Ekstrak Batang A. Crassna Terhadap F. Bulbigenum.... 25
Sifat Anti Jamur Ekstrak Dahan A. Crassna Terhadap F. Bulbigenum .... 28
Hubungan Ekstraktif Pohon Dengan Infeksi Oleh F. bulbigenum ............ 31
Perubahan Senyawa Pada Batang Pohon Gaharu ...................................... 34
Analisis Mikrobiologi ................................................................................ 35
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................... 36
Sifat Anti Jamur Ekstrak Batang A. Crassna Terhadap F. Bulbigenum.... 36
Sifat Anti Jamur Ekstrak Dahan A. Crassna Terhadap F. Bulbigenum .... 40
Hubungan Ekstraktif Pohon Dengan Infeksi Oleh Fusarium sp ............... 44
Perubahan Senyawa Pada Batang Pohon Gaharu ...................................... 53
Analisis Mikrobiologi ................................................................................ 60
SIMPULAN ........................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
LAMPIRAN ........................................................................................................ 72

xi

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6

Klasifikasi kualitas gaharu .............................................................................
Jenis-jenis Aquilaria yang menghasilkan gaharu ...........................................
Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu ........................................
Klasifikasi tingkat aktivitas anti jamur ekstrak ..............................................
Kadar ekstraktif A. crassna ............................................................................
Senyawa-senyawa pada ekstrak pra-inokulasi pohon contoh yang pada
tanaman tertentu disebutkan dalam berbagai tulisan berperan sebagai
senyawa pertahanan........................................................................................
7 Senyawa-senyawa yang berdasarkan beberapa referensi diketahui
merupakan pertahanan pada tanaman tertentu dan terdeteksi pada ekstrak
pohon-pohon contoh .......................................................................................
8 Senyawa-senyawa yang hanya ditemukan pada pohon contoh ke-10............
9 Konstituen gaharu yang terdeteksi pada ekstrak pohon A. microcarpa .........

xii

7
8
14
27
40

48

49
52
54

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

24

Beberapa struktur kimia komponen gaharu .................................................. 11
Skema ektraksi bertingkat serbuk dahan A. crassna ..................................... 29
Pola pengambilan sampel uji dan pola spiral untuk inokulasi ...................... 32
Pola titik inokulasi F. bulbigenum pada batang pohon contoh ..................... 34
Aktivitas anti jamur dari ekstrak batang A. crassna terhadap
F. bulbigenum setelah inkubasi 10 hari ........................................................ 37
Hubungan kandungan ekstrak aseton batang A. crassna dengan AFA......... 38
Pertumbuhan miselia F. bulbigenum pada media percobaan yang
diberi tambahan ekstrak batang A. crassna setelah inkubasi 10 hari ............ 39
Hubungan kandungan total fenolik batang A. crassna dengan nilai AFA.... 39
Nilai AFA masing-masing fraksi terhadap F. bulbigenum pada kelima
taraf konsentrasi yang dicobakan .................................................................. 41
Rataan nilai AFA masing-masing fraksi terhadap F. bulbigenum ................ 41
Rataan nilai AFA (%) pada berbagai konsentrasi fraksi etil asetat............... 42
Pertumbuhan miselia F. bulbigenum pada media uji yang diberi ekstrak
etanol dahan A. crassna dan fraksi-fraksinya ............................................... 43
Kandungan total fenolik pohon-pohon contoh berdasarkan metode Folin
Ciocalteu ....................................................................................................... 44
Infeksi pohon contoh di Carita dan Darmaga yang diinokulasi dengan
F. bulbigenum pada umur inokulasi 6 bulan ................................................. 45
Hubungan total fenolik dengan luasan infeksi oleh F. bulbigenum pada
batang pohon contoh ..................................................................................... 46
Hubungan total fenolik dengan luas infeksi pada batang A. microcarpa
di Carita ......................................................................................................... 46
Hubungan total fenolik dengan luas infeksi pada batang A. crassna
di Darmaga .................................................................................................... 47
Hubungan kadar ekstrak aseton batang A. crassna dengan luas infeksi ....... 47
Kondisi luasan infeksi pada pohon A. crassna ke-10 dibandingkan dengan
pohon ke-6 di lokasi penelitian Darmaga...................................................... 51
Spora F. bulbigenum koleksi Laboratorium mikrobiologi P3HKA yang
dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 40X .................................... 61
Spora F. bulbigenum yang diisolasi dari daerah infeksi pada A. microcarpa
di Carita yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 40X ............ 61
Spora F. bulbigenum yang diisolasi dari daerah infeksi pada A. crassna
di Darmaga yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 40X........ 61
Perbandingan dengan mata telanjang koloni F. bulbigenum antara koleksi
Laboratorium Mikrobiologi P3HKA dengan hasil isolasi dari daerah
nekrosis pohon A. crassna (Darmaga) dan A. microdarpa (Carita).............. 62
Asosiasi serangga kecil dengan F. bulbigenum di titik inokulasi ................. 62

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2

3
4
5

6
7
8
9
10
11
12

13
14

15

Kadar ekstrak aseton batang A. crassna ...................................................... 72
Rataan diameter pertumbuhan miselia F. bulbigenum setelah 10 hari
inkubasi pada media uji bioasai dan nilai AFA ekstrak aseton batang
A. crassna ..................................................................................................... 72
Analisis sidik ragam rataan nilai AFA ekstrak aseton batang A. crassna .... 72
Uji lanjutan Duncan rataan nilai AFA ekstrak aseton batang A. crassna..... 73
Uji T-berpasangan untuk pertumbuhan miselia F. bulbigenum pada media
dengan ekstrak aseton dari pohon 3 dan 5 terhadap pertumbuhan miselia
pada media kontrol ....................................................................................... 73
Nilai rataan pertumbuhan miselia F. bulbigenum pada media PDA yang
ditambahkan ekstrak etanol dahan A. crassna dan fraksinya ...................... 73
Rataan nilai AFA ekstrak etanol dahan A. crassna dan fraksinya ............... 73
Analisis sidik ragam rataan nilai AFA ekstrak etanol dahan A. crassna
dan fraksinya ................................................................................................ 74
Uji lanjutan Duncan rataan nilai AFA ekstrak etanol dahan A. crassna
dan fraksinya ................................................................................................ 74
Analisis sidik ragam rataan nilai AFA fraksi etil asetat dari dahan
A. crassna pada kisaran konsentrasi yang diujikan ..................................... 74
Uji lanjut Duncan rataan nilai AFA fraksi etil asetat A. crassna pada
kisaran konsentrasi yang diujikan ................................................................ 74
Kandungan total fenolik pohon-pohon contoh berdasarkan metode
Folin Ciocalteu; dan rataan infeksi pada batang pohon contoh di Carita
dan Darmaga yang diinokulasi dengan F. bulbigenum pada umur
inokulasi 6 bulan .......................................................................................... 75
Kondisi pohon contoh dan nilai keliling batang di dua lokasi penelitian .... 76
Senyawa-senyawa hasil analisis GCMS untuk ekstrak pohon contoh
pra-inokulasi yang pada tananam lain disebutkan dalam berbagai
tulisan berperan sebagai pertahanan ............................................................ 77
Kondisi running GCMS pyrolysis menggunakan GCMS Pyrolysis merk
Shimadzu GCMS-QP2010 ........................................................................... 78

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Gaharu merupakan nama perdagangan dari produk kayu (incense) yang
dihasilkan oleh beberapa spesies pohon penghasil gaharu. Dalam perdagangan
internasional, produk ini dikenal sebagai agarwood, aloeswood, atau oudh.
Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan
kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan ataupun infeksi patogen.
Variasi mutu gaharu terjadi selama proses pembentukan gaharu yang
membutuhkan waktu panjang, dimana gaharu dengan mutu paling tinggi diperoleh
pada akhir proses pembentukan ini (Sumadiwangsa dan Harbagung 2000).
Gaharu berbentuk incense, yang akan mengeluarkan bau harum hanya jika bahan
ini dibakar (Anonim 1998). Namun begitu, bentuk perdagangan gaharu beragam,
mulai dari bongkahan, cip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana
2001). Di Indonesia, komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari
penyulingan atau ekstraksi cip gaharu dari kelas yang bermutu rendah. Nilai
ekonomi gaharu yang utama terletak pada batangnya yang mengandung
akumulasi damar wangi.
Sebagai kayu para dewa dengan apresiasi dan harga jual yang tinggi,
pemanfaatan produk ini sangat luas. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah
untuk pengobatan, incense dan parfum (Barden et al. 2000). Sebagai incense,
gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan,
sebagai pengharum ruangan sembahyang, serta untuk benda-benda rohani seperti
rosario dan tasbih (Barden et al. 2000).

Dalam bidang pengobatan, gaharu

dimanfaatkan sebagai obat penenang tradisional, penahan rasa sakit, dan obat
pencernaan di Asia Timur (Yagura et al. 2005).

Gaharu juga dimanfaatkan

sebagai anti inflammatory (Trupti et al. 2007), mengatasi sakit gigi, ginjal,
rematik, asma, diare, tumor, diuretik, anti racun, anti serangga, anti mikrobial,
stimulan kerja saraf dan pencernaan, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat
kuat

pada masa kehamilan dan bersalin (Hayne 1987; Barden et al. 2000;

Suhartono dan Mardiatuti 2002; Adelina 2004). Baru-baru ditemukan bahwa

2

bagian lain dari pohon gaharu juga dapat digunakan sebagai bahan obat, seperti
ekstrak daun Aquilaria sinensis yang memiliki efek laksatif untuk mengatasi
keluhan konstipasi (Hara et al. 2008). Pada industri parfum di Eropa, gaharu
merupakan salah satu bahan yang paling mahal. Asap maupun minyak gaharu
digunakan oleh masyarakat Timur Tengah untuk mengharumkan tubuh dan
ruangan. Wangi gaharu juga dimanfaatkan untuk sabun, sampo, dan aromaterapi.
Indonesia memiliki potensi sumberdaya pohon penghasil gaharu yang
tinggi, namun yang paling banyak dicari oleh para pemburu gaharu adalah dari
genus Aquilaria sp. dan Gyrinops sp. karena kualitas dan harga jualnya yang
relatif lebih tinggi. Intens-nya perburuan gaharu dengan kapasitas pungut yang
tidak terkendali telah mengakibatkan potensi kedua genus ini semakin menurun
dan tercantum dalam daftar Appendix II CITES (Blanchette 2006; Sumarna
2005a; Sumarna 2005b; CITES 2004; Suhartono dan Mardiastuti 2002).
Gaharu sampai saat ini masih mengandalkan produksi dari sumberdaya di
hutan alam yang semakin langka. Di habitatnya, tidak semua tanaman gaharu
menghasilkan produk ini yang hanya akan terbentuk jika tanaman merespon
pelukaan atau infeksi patogen. Mekanisme pembentukan gaharu belum begitu
dipahami, dan mengapa pembentukannya tidak terjadi pada semua tanaman
penghasil gaharu juga masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab tuntas.
Penelitian dan usaha budidaya serta produksi gaharu secara buatan yang telah
sejak lama dilakukan, belum memberi hasil yang memuaskan untuk bisa menutupi
kekurangan suplai dari produksi alam. Perkembangan yang baik dalam bidang
gaharu ini diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama
yang berada di sekitar hutan, dan lebih jauh lagi diharapkan akan berpengaruh
pada kelestarian sumber daya penghasil gaharu di alam.
Mekanisme pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu memang
masih belum begitu dipahami, namun pembentukan ini diduga merupakan bagian
dari

mekanisme pertahanan

tanaman.

Salah

satu

konstituen gaharu,

sesquiterpenoid, diketahui merupakan senyawa pertahanan tanaman

tipe

fitoaleksin. Senyawa pertahanan ini adalah metabolit sekunder yang diproduksi
tanaman dan berfungsi sebagai pertahanan terhadap pengaruh luar, seperti
pengaruh lingkungan dan penyakit.

3

Kerentanan pohon penghasil terhadap pembentukan gaharu dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti yang disebutkan oleh Agrios (1997) bahwa terjadinya
penyakit pada tanaman ditentukan oleh faktor-faktor yaitu kondisi inang, patogen,
kondisi lingkungan, dan peranan manusia. Respon pohon-pohon yang potensial
menghasilkan gaharu terhadap serangan pengaruh luar tidak akan sebesar pohonpohon yang resisten, misalnya saja pohon potensial tidak akan memiliki atau
memproduksi senyawa pertahanan sebanyak pohon yang resisten. Pengetahuan
mengenai fungsi metabolit sekunder, terutama yang berfungsi sebagai senyawa
pertahanan pada pohon penghasil dalam pembentukan gaharu akan sangat
berperan dalam keberhasilan produksi gaharu buatan, karena perlakuan yang
diberikan pada pohon-pohon rentan tentunya akan lebih efektif dan efisien.

Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan dalam kaitannya dengan kondisi gaharu saat ini
adalah:
1.

Produksi gaharu sebagian besar masih tergantung pada sumberdaya di hutan
alam, perburuan yang intens, semakin langkanya sumberdaya gaharu alam
sehingga tercantum dalam Appendix II CITES.

2.

Pembentukan gaharu tidak terjadi pada semua pohon penghasilnya dan tidak
ada ciri-ciri visual yang menjamin secara pasti suatu pohon mengandung
gaharu dengan kualitas dan kuantitas tertentu.

3.

Mekanisme terbentuknya gaharu secara alami memerlukan suatu kondisi
tertentu dan masih belum begitu dipahami, serta membutuhkan waktu yang
cukup panjang.

4.

Usaha domestikasi dan budidaya tanaman penghasil gaharu memang telah
banyak berhasil dilakukan. Namun produksi gaharu secara buatan masih
belum memuaskan dari segi kualitas dan kuantitas.

5.

Zat ekstraktif, termasuk di dalamnya senyawa fenolik, pada tanaman
merupakan senyawa pertahanan. Perlu diketahui apakah ada keterkaitan
antara kandungan ekstraktif, termasuk senyawa fenolik, dengan pembentukan
gaharu pada pohon. Jika memang terdapat keterkaitan, maka pohon gaharu
dengan kelimpahan senyawa fenolik tinggi diduga akan memiliki resistensi

4

tinggi terhadap pembentukan gaharu, sehingga seleksi pohon yang akan
diinokulasi lebih difokuskan pada pohon-pohon dengan kandungan fenolik
relatif rendah (potensial susceptible).

Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1.

Mengetahui sifat anti jamur ekstrak batang Aquilaria crassna terhadap
Fusarium bulbigenum pada skala laboratorium.

2.

Mengetahui sifat anti jamur ekstrak dahan A. crassna dan fraksinya terhadap
F. bulbigenum pada skala laboratorium.

3.

Mengetahui kandungan total fenolik dan komposisi senyawa pada pohon
penghasil gaharu (A. crassna dan A. microcarpa) sebelum inokulasi.

4.

Mengetahui hubungan antara kandungan fenolik dengan kerentanan A.
crassna dan A. microcarpa dalam pembentukan gaharu.

5.

Mengetahui perubahan senyawa yang terjadi pada batang pohon penghasil
dalam proses pembentukan gaharu artifisial.

6.

Mengetahui perubahan mikrobiologis (jenis jamur) yang terjadi selama proses
pembentukan gaharu artifisial.

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut:
1.

Seleksi pohon potensial penghasil gaharu dapat dilakukan berdasarkan
kandungan kimiawi ekstraktif batang.

2.

Pembentukan gaharu budidaya dapat lebih efektif dan efisien karena
dilakukan pada pohon-pohon yang potensial.

3.

Peningkatan kualitas dan kuantitas gaharu budidaya, yang diharapkan
berkontribusi dalam kelestarian sumber daya penghasil gaharu di alam dan
peningkatan perekonomian masyarakat terutama masyarakat desa di sekitar
hutan.

5

4.

Diperolehnya informasi mengenai perubahan senyawa kimia yang terjadi
pada pohon selama terjadinya proses pembentukan gaharu, dimana informasi
tersebut masih jarang ditemukan.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Ekstrak batang A. crassna memiliki sifat anti jamur terhadap F. bulbigenum.

2.

Setidaknya salah satu fraksi dari ekstrak dahan A. crassna memiliki sifat anti
jamur terhadap F. bulbigenum.

3.

Terdapat keterkaitan antara kandungan senyawa fenolik pada A. crassna dan
A. microcarpa dengan kerentanan pohon dalam pembentukan gaharu.

4.

Terjadi perubahan kimiawi pada komponen kimia pohon A. crassna dan A.
microcarpa selama proses pembentukan gaharu.

5.

Terjadi perubahan/perkembangan jenis mikroba setelah beberapa waktu
inokulasi dilakukan.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu
Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga.
Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis
kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan
warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu
proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon
penghasil gaharu.
Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang
ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005).
Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria,
Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea.
Genus Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II
CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES
2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000).
Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130
ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia
(genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus
Aquilaria dan Gyrinops) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya
kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia.
Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada
jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu
gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan
tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan
Mardiastuti 2002).
Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau
bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk
dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia.

Warna bagian kayu

bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap
warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya.

Sedangkan

7

produk berbentuk serbuk biasanya berwarna coklat terang hingga coklat (BSN
1999; Suhartono dan Mardiastuti 2002).
Pemerintah Indonesia membedakan kualitas gaharu ke dalam tiga belas
kelas mutu yang dikelompokkan menjadi tiga sortimen (BSN 1999). Namun,
dalam pasar lokal dan mungkin juga dalam perdagangan internasional, produk ini
dibagi menjadi enam hingga delapan kelas kualitas tergantung daerahnya.
Klasifikasi dibuat berdasarkan kandungan resin, meskipun tidak terdapat standar
formal kandungan resin untuk setiap kelas (Suhartono dan Mardiatuti 2002).
Tabel 1 Klasifikasi kualitas gaharu
1.

2.

3.

Tanda mutu
Sortimen gubal gaharu
U
I
II
Sortimen kemedangan
I

Kelas kualitas

Nama kualitas gaharu

Mutu Utama
Mutu pertama
Mutu kedua

Mutu super
Mutu AB
Sabah super

Mutu pertama

II
II
IV
V
VI
VII
Sortimen abu gaharu
U
I
II

Mutu kedua
Mutu ketiga
Mutu keempat
Mutu kelima
Mutu keenam
Mutu ketujuh

Tanggung A/tanggung
kemedangan 1
Sabah 1
Tanggung AB
Tanggung C
Kemedangan 1
Kemedangan 2
Kemedangan 3

Mutu utama
Mutu pertama
Mutu kedua

Mutu utama
Mutu pertama
Mutu kedua

Sumber: BSN (1999)

Aquilaria spp.
Pohon-pohon penghasil gaharu termasuk dalam family Thymeleacea.
Family ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, dan
Gilgiodaphniodeae.

Salah satu genus dalam famili Thymeleacea yang

menghasilkan gubal gaharu kualitas terbaik dengan permintaan pasar yang cukup
tinggi adalah Aquilaria. Aquilaria termasuk jenis cepat tumbuh yang dapat
memulai pertumbuhan generatifnya pada umur awal empat tahun (Anonim 2002).
Jenis-jenis ini tersebar di Asia Selatan dan Asia tenggara, dari kaki bukit

8

Pegunungan Himalaya hingga di hutan hujan di Papua New Gunea, dan dapat
tumbuh mulai dari ketinggian beberapa meter hingga 1.000 m dpl dengan
pertumbuhan terbaik di sekitar 500 m dpl. Aquilaria dapat tumbuh pada berbagai
tipe tanah, bahkan pada tanah marjinal.
Tabel 2 Jenis-jenis Aquilaria yang menghasilkan gaharu
Negara/daerah
Asia Selatan
Indonesia

Indochina
-

Jenis Aquilaria
Aquilaria agalocha
Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A.
cummingiana, A. filarial, A. hirta, A.
microcarpa
Aquilaria crassna
Aquilaria grandiflora
Aquiaria chinensis

Sumber: Anonim (2002); Wiriadinata dan Sidiyasa dalam Suhartono dan Mardiastuti (2002)

Sumarna (2005b) menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan 27 species
penghasil gaharu dari 8 genus dan 3 famili, yang tersebar di di hutan dataran
rendah dan tinggi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian.

Habitat

tanaman ini biasanya tersebar di wilayah hutan primer dan sekunder 0 – 700 m
dpl, dengan curah hujan 1.500-6.500 mm/tahun, suhu 22 – 34 °C, Rh : 70 – 80 %.
Pohon Aquilaria merupakan pohon yang hijau selama hidupnya (evergreen),
tumbuh dengan tinggi tanaman mencapai 15 - 40 m dengan diameter 0,5 – 2,5 m
(Hayne 1987). Kayu yang sehat (kayu tanpa resin) berwarna putih cerah dan
lunak; sedangkan kayu yang mengandung resin berwarna gelap, keras dan berat.
Daunnya berbentuk elips atau lanceolate, berukuran lebar 3-3,5 cm dan panjang
6-8 cm, serta memiliki 12-16 pasang tulang daun.

Bunganya hermaproditik

dengan warna kuning kehijauan atau putih, panjang mencapai 5 cm. Buah dari
pohon ini berwarna hijau berbentuk kapsul telur dengan panjang 4 cm dan lebar
2,5 cm; exocarp dan berambut halus; terdapat dua benih per buah (Adelina 2004).

9

Aquilaria crassna
Aquilaria crassna memiliki klasifikasi dan nama ilmiah sebagai berikut
(The IUCN Red List of Treatened Species 2007):
Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Myrtales

Famili

: Thymeleacea

Genus

: Aquilaria

Species

: Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte

Penghasil gaharu ini dapat mencapai tinggi 15 – 20 m dan diameter 40 – 50
cm, dengan tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan di
berbagai tipe hutan, hutan primer ataupun hutan sekunder, pada daerah dengan
ketinggian 300 – 800 m dpl dan curah hujan 1.200 – 2.000 mm/ tahun. Tumbuhan
ini tumbuh pada berbagai tipe tanah, tapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu
dengan lapisan tanah ferralitic yang dangkal (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).
A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan
April, dan berbuah antara bulan Mei – Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan
dengan bantuan serangga. Dengan sekitar 4.500 benih per kg dan tingkat
perkecambahan mencapai 80-90%, maka seharusnya tidak terdapat masalah dalam
pembudidayaan jenis ini.

Pohon penghasil gaharu ini merupakan jenis yang

membutuhkan naungan pada saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya
matahari untuk pertumbuhan selanjutnya (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).
Aquilaria microcarpa
Aquilaria microcarpa merupakan tanaman dalam family Thymelaeaceae
yang ditemukan di Indonesia dan Singapura. Seperti halnya spesies dalam genus
Aquilaria yang lain, pemanfaatan dan perdagangan produk dari jenis ini dibatasi
karena termasuk dalam status konservasi vulnerable dan tercantum dalam
Appendix II CITES.

Jenis penghasil gaharu ini tersebar di Semenanjung

Malaysia, Sumatra (Sijunjung, Palembang, dan Lampung), Bangka, Belitung, dan
hampir di seluruh pulau Kalimantan. A. microcarpa tumbuh pada hutan dataran
rendah hingga daerah dengan ketinggian 200 m dpl (CITES 2004).

10

Klasifikasi dan nama ilmiah A. microcarpa adalah sebagai berikut (GRIN
2008):
Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Class

: Magnoliopsida

Ordo

: Thymelaeales

Famili

: Thymeleacea

Genus

: Aquilaria

Species

: Aquilaria microcarpa Baill

Kandungan Kimiawi Gaharu
Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan
terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu
yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna
hitam serta wangi.

Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah

menguap (Ishihara et al. 1991).
Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan
sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama
diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan
senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharyya 1962).
Penelitian Nakanishi berhasil mengkarakterisasi jinkohol (2β-hydroxy-(+)prezizane) dari gaharu asal Indonesia melalui ekstraksi benzene. Tim ini juga
menemukan dua sesquiterpena baru dari Aquilaria malaccensis asal Indonesia,
yaitu jinkoh eremol dan jinkohol II yang disebut sebagai tipe B untuk
membedakannya dengan tipe A dari A. agallocha, serta mengisolasi alphaagarofuran dan (-)-10-epi-gamma-eudesmol, oxo-agarospirol sebagai konstituen
utama pada gaharu tipe B (Burfield 2005a).
Dalam Burfield (2005a) disebutkan bahwa Yoneda telah berhasil
mengidentifikasi sesquiterpena utama yang terdapat pada gaharu tipe A (pada A.
agallocha) dan tipe B (pada A. malaccensis). Tipe A ditemukan mengandung βagarofuran 0,6%, nor-ketoagarofuran 0,6%, agarospirol 4,7%, jinkoh-eremol
4,0%, kusunol 2,9%, dihydrokaranone 2,4%, dan oxo-agarospirol 5,8%.

11

Sedangkan pada tipe B, teridentifikasi senyawa-senyawa α-agarofuran(-)-10-epiγ-eudesmol 6,2%, agarospirol 7,2%, jinkohol 5,2%, jinko-eremol 3,7%, kusunol
3,4%, jinkohol II 5,6%, dan oxo-agarospirol 3,1%.

Gambar 1 Beberapa struktur kimia komponen gaharu.
Yagura et al (2003) menemukan turunan kromone baru, yaitu 5-hydroxy-6methoxy-2-(2-phenylethyl)
chromone,

chromone,

6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)

8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8-

tetrahydro

chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang
diisolasi dari ekstrak MeOH kayu buangan Aquilaria sinensis, disamping tujuh
komponen gaharu lainnya yang telah dikenal.

Budidaya dan Pembentukan Gaharu
Sampai saat ini, gaharu masih dihasilkan dari populasi di hutan alam.
Permintaan gaharu yang semakin tinggi telah menyebabkan eksploitasi yang
berlebihan dan akhirnya memicu langkanya sumber daya penghasil gaharu di
alam.

Tercantumnya dua genus utama penghasil gaharu dalam Appendix II

CITES (CITES 2004) menyebabkan ditetapkannya kuota bagi ekspor produk ini.
Kuota ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 2007 sebesar 130 ton/tahun
(Direktorat Jenderal PHKA 2007).
Penelitian Suhartono dan Newton (2001) menyebutkan terdapat dua teknik
pemungutan gaharu di alam, yaitu tebang langsung dan mengerik/mengikis bagian
batang yang terinfeksi tanpa menebang. Observasi yang dilakukan menunjukkan
frekuensi Aquilaria spp. yang ditebang di Kalimantan Timur lebih tinggi
dibandingkan di Kalimantan Barat dan Sumatra timur (Riau), dimana di
Kalimantan timur empat pohon ditebang per hari.

12

Pemburu-pemburu gaharu menentukan suatu pohon mengandung akumulasi
resin hanya berdasarkan pengalaman.

Seringkali pohon yang telah ditebang

ditinggalkan terbengkalai begitu saja karena ternyata sama sekali tidak
mengandung apa yang dicari. Sampai saat ini tidak ada suatu ciri morfologi
tertentu yang dengan sangat pasti menunjukan suatu pohon mengandung gaharu
dalam kuantitas dan kualitas tertentu.
Beberapa penelitian budidaya dan produksi gaharu buatan telah dimulai
sejak lama.

Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah

mewajibkan setiap eksportir gaharu membudidayakan pohon gaharu di lahan
seluas minimal dua hektar. Di Indonesia tercatat terdapat 28 perusahaan di bidang
gaharu ini (GSA 2005).
Budidaya tanaman penghasil gaharu telah banyak dilakukan, baik oleh
perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga penelitian dan pengembangan.
Propagasi tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara generatif (benih)
maupun vegetatif (anakan alam, stump atau cabutan, stek pucuk), dan dapat juga
dikembangkan dalam kultur vegetatif (Sumarna 2005b). Budidaya ideal adalah
pada kawasan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, seperti pada hutan
campuran, bekas tebangan, HTI daur panjang, Hutan Rakyat, atau dalam pola
diversifikasi dengan kebun karet rakyat, kelapa sawit, dan lain-lain.
Konservasi ex-situ sumber genetik A. malaccensis dan A. microcarpa telah
dilakukan pada tiga lokasi masing-masing di Pekanbaru (50 m dpl), Bogor (200 m
dpl) dan Tondano (600 m dpl) dengan menanam 1.000 bibit yang berasal dari
klon-klon teridentifikasi hasil mikropropagasi. Hasil percobaan seleksi 80 pohon
dengan menggunakan inokulum tunggal F menunjukkan bahwa 33% pohon A.
malaccensis (8 dari 24 pohon) dan 24% pohon A. microcarpa (13 dari 54 pohon)
berpotensi menghasilkan gaharu (Umboh 2006).
Menurut Sumarna (2005a), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat
diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur lima tahun atau pada
saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah). Suatu penelitian
lembaga nonprofit, The Rainforest Project Foundation, mempelajari pembentukan
resin pada Aquilaria dan Gyrinops serta menemukan metode untuk menghasilkan
resin pada tanaman gaharu budidaya.

Teknik yang dilakukan adalah dengan

13

melukai pohon dengan cara-cara tertentu dan memberi perlakuan untuk memicu
respon pertahanan alami pohon.

Penggunaan teknik ini akan mendukung

dihasilkannya resin secara berkelanjutan dari pohon budidaya (Blanchette 2006).
Baik pada habitat alaminya di hutan tropis maupun di hutan tanaman/
budidaya, tidak semua pohon mengandung gaharu dan mekanisme pembentukan
alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk
yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau
patah, tidak menjamin kandungan yang dimiliki pohon tersebut secara pasti. Di
habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan
diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Giano diacu dalam Barden et
al. 2000).

Disebutkan juga bahwa pohon dengan dbh di atas 20 cm yang

mengandung gaharu diperkirakan menghasilkan sekitar 1 kg gaharu per pohon.
Sadgopal (Barden et al. 2000), memperkirakan hasil gaharu yang terbaik
diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih. Penelitian terbaru yang
dilakukan oleh The Rain Forest Project (TRP) di Vietnam menunjukkan
pembentukan gaharu dapat terjadi pada pohon budidaya berumur 3 tahun, yang
telah dikonfirmasi berdasarkan analisis kimia (Barden et al. 2000).
Mekanisme pembentukan gaharu masih menjadi pertanyaan yang belum
terjawab tuntas. Interaksi ekologis antara pohon inang, pelukaan dan/atau jamur
dalam pembentukan gaharu masih belum dipahami. Faktor-faktor lain seperti
umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan
variasi genetik juga berperan penting dalam pembentukan gaharu. Tiga hipotesis
disebutkan sebagai penyebab terbentuknya gaharu, yaitu hasil dari patologis,
pelukaan yang diikuti patologis, dan proses nonpatologis. Namun begitu,
penelitian yang dilakukan masih belum memberi cukup bukti untuk mendukung
hipotesis tersebut (Ng et al diacu dalam Barden et al. 2000).
Patogenesis pada tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan
patogen yang kompatibel, yang menurut Agrios (1997) keberhasilan proses
infeksi oleh suatu patogen sehingga dapat menginduksi gaharu di pengaruhi oleh:
1. Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu.
2. Patogen yang virulen, artinya organisme patogen yang potensial
menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu.

14

3. Lingkungan yang mendukung.
4. Peranan manusia memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang.
Beberapa ahli lain berpendapat pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon
merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba
(Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000; Pojanagaroon dan Kaewrak 2006),
sementara yang lain berpendapat asosiasi mikroorganisme yang menstimulasi
pohon merespon dengan senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharyya 1962;
Burfield 2005a; Sumarna 2005b).
Tabel 3 Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu
Peneliti yang mengisolasi
Bose (1939)
Battcaharrya (1952)
Guangdong Institut of Botany
(1976)
Jalaluddin (1977)
Subansenee et al. (1985)

Parman et al. (1996); Santoso
(1996); Rahayu et al. (1998)