Aktivitas Protein Umbi Sebagai Antiproliferasi Sel Kanker Mcf 7 Dan Karakterisasi Lektin Umbi Dari Keladi Tikus (Typhonium Flagelliforme

AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI
SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI
DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)

MUHAMMAD ALFARABI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul "Aktivitas Protein
Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi
dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)" adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Alfarabi
NIM G363100081

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
MUHAMMAD ALFARABI. Aktivitas Protein Umbi sebagai
Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi
Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume). Dibimbing oleh MIFTAHUDIN,
CHAIDIR, dan MARIA BINTANG.
Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit yang banyak menyebabkan
kematian di Indonesia. Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel
tidak terhambat secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya.
Masyarakat di Indonesia secara tradisional telah banyak menggunakan tumbuhan

keladi tikus (Typhonium sp.) untuk pengobatan kanker. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, tanaman keladi tikus dari jenis Typhonium divaricatum (L.) Decne
yang tumbuh di daerah Chengdu (Cina) memiliki aktivitas sebagai antikanker. Hal
ini dikarenakan pada bagian umbi tanaman tersebut mengandung lektin yang
dapat menghambat proliferasi sel kanker. Keladi tikus yang tumbuh di Indonesia
tidak memiliki informasi ilmiah mengenai hal tersebut hingga saat kini, sehingga
tidak ada data fitofarmaka yang mendukung lektin umbi keladi tikus memiliki
aktivitas antikanker. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
protein dan lektin dari umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di
beberapa wilayah Indonesia. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
informasi ilmiah mengenai profil protein dan lektin umbi dari keladi tikus (T.
flagelliforme) yang tumbuh di wilayah Indonesia. Informasi ini dapat dijadikan
dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis lektin sebagai obat antikanker.
Penelitian ini menggunakan umbi segar dari 7 aksesi T. flagelliforme
(Lodd.) Blume yang didapatkan dari beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Bogor
(Jawa Barat), Yogyakarta (Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Jawa Tengah),
Singaraja (Bali), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan Solok (Sumatera Barat).
Tanaman tersebut ditumbuhkan di rumah kaca pada Pusat Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Umbi yang digunakan adalah
umbi yang dipanen pada umur 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam. Umbi tersebut

diekstrak proteinnya untuk diukur kadar total protein umbi, nilai toksisitas, dan
aktivitas hemaglutinasi dari lektin yang terkandung pada total protein umbi.
Aksesi umur 6 bulan setelah tanam yang terpilih berdasar aktivitas hemaglutinasi
tertinggi hasil dari proses ekstraksi menggunakan NaCl dilakukan fraksinasi
protein terhadap ekstrak protein umbinya untuk mendapatkan lektin terpurifikasi.
Tahap selanjutnya adalah identifikasi gen pengkode lektin dilakukan dari setiap
aksesi tanaman sehingga didapatkan sekuens basa dari gen tersebut. Selanjutnya,
umbi dari tanaman berumur 6 bulan setelah tanam juga dilakukan ekstraksi
dengan akuades untuk pengujian terhadap kultur sel mamalia (sel MCF-7 dan
fibroblas). Ekstrak protein menggunakan ekstraksi akuades yang sudah diseleksi
berdasarkan aktivitas hemaglutinasi dan efek toksik dengan metode BSLT (Brine
Shrimp Lethality Test) dilanjutkan dengan uji antiproliferasi terhadap sel kanker
(MCF-7) dan sitotoksisitas terhadap sel normal (fibroblas).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua bobot umbi dari setiap
aksesi mengalami peningkatan bobot pada setiap bulannya, terdapat fluktuasi
bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja, Merapi Farm, Indmira,
dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih menunjukan peningkatan bobot

umbi pada setiap bulannya, dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Hasil
pengamatan kadar total protein selama masa tanam menunjukkan bahwa hanya

aksesi Ogan Ilir yang kadar total protein umbinya meningkat dari umur tanam 1
bulan hingga 6 bulan, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar
total protein umbi selama masa tanam. Kandungan protein umbi pada aksesi
Bogor umur 1 bulan tidak terdeteksi. Hasil pengamatan deteksi lektin umbi
menunjukkan bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur tanaman 1 bulan
setelah tanam, yaitu aksesi Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Lektin pada
aksesi lainnya terdeteksi pada umur tanaman 3 bulan setelah tanam. Tidak
terdapat aksesi yang menunjukkan peningkatan kadar lektin secara linier pada
umur tanam 1 bulan hingga 6 bulan, kecuali aksesi Bogor. Pengamatan profil
protein umbi setiap aksesi menunjukkan protein umbi memiliki banyak
kandungan protein yang berbobot molekul di bawah 30 kDa. Protein-protein umbi
yang berbobot molekul di atas 30 kDa terdeteksi ketika umur tanaman 5 dan 6
bulan setelah tanam.
Fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok dilakukan karena ekstrak
protein umbi tersebut memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi. Hasilnya
didapatkan lektin terpurifikasi yang terkandung pada umbi aksesi Solok dengan
bobot molekul 12.67 kDa, dengan kadar lektin sekitar 0.35 % dari kadar total
protein umbi, stabil pada suhu 20-40 °C, dan stabil pada pH 5-7.2.
Hasil analisis sekuens basa parsial gen pengkode lektin yang terdeteksi dari
setiap aksesi berukuran 600 pb. Sekuens tersebut memiliki kesamaan tertinggi

dengan sekuens CDS (Coding DNA Sequence) lektin dari tumbuhan lain famili
Araceae, yaitu T. divaricatum, Pinellia ternata, dan Pinellia pedatisecta.
Hasil ekstraksi protein umbi menggunakan akuades dari umbi berumur 6
bulan menunjukkan aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi,
sedangkan aksesi Solok memiliki efek toksisitas terhadap larva udang tertinggi.
Oleh karenanya aksesi Bogor dan Solok diuji lanjut ekstrak protein umbinya pada
uji antiproliferasi dan sitotoksik. Hasil uji antiproliferasi dengan metode MTT
menunjukan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki nilai LC50, yaitu
95.36 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan aksesi Bogor, yaitu 102.86
ppm sehingga ekstrak dari aksesi Solok lebih mampu menghambat proliferasi sel
MCF-7. Ekstrak aksesi Bogor dan Solok diuji kembali dengan sel fibroblas
manusia (sel normal) untuk melihat efek toksik ekstrak terhadap sel non kanker.
Proliferasi sel fibroblas meningkat dengan pemberian ekstrak dibandingkan sel
fibroblas tanpa perlakuan. Namun, pada konsentrasi ekstrak 100 ppm untuk aksesi
Solok pertumbuhan sel fibroblas terhambat 8.33 % dan pada konsentrasi ekstrak
200 ppm untuk aksesi Bogor, pertumbuhan sel fibroblas terhambat 29.90 %.
Simpulan penelitian adalah biosintesis lektin pada umbi setiap aksesi T.
flagelliforme berlangsung sampai 6 bulan setelah tanam. Ekstrak protein umbi
memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan tidak toksik
terhadap sel normal fibroblas pada konsentrasi kurang dari 100 ppm untuk aksesi

Solok dan konsentrasi kurang dari 200 ppm untuk aksesi Bogor. Lektin yang
terdeteksi berbobot molekul 12.67 kDa. Gen parsial penyandi lektin dari setiap
aksesi terdeteksi berukuran 600 pb.
Key words: Antiproliferasi, lektin, protein umbi, Typhonium flagelliforme,
toksisitas

SUMMARY
MUHAMMAD ALFARABI. Antiproliferative Activity of Tuber Protein on
Cancer Cell MCF-7 and Tuber Lectin Characterization from Typhonium
flagelliforme (Lodd.) Blume. Under the direction of MIFTAHUDIN, CHAIDIR,
and MARIA BINTANG.
Many people in Indonesia are suffering breast and cervical cancer. Cancer
cell is a cell that continuesly grow without inhibition and it can invade other
normal cells. Traditionally, Typhonium flagelliforme was used for anticancer
treatment in Indonesia. Previous study showed that the T. divaricatum (L.) Decne
from Chengdu (Cina) has anticancer activity because it has antiproliferative effect
of tuber lectin on cancer cell line. However, there is no phytopharmaca
information about tuber lectin of T. flagelliforme in Indonesia. Therefore, the
objective of this research to identify tuber protein and lectin content of T.
flagelliforme from Indonesia. The results of this research provided scientific

information of T. flagelliforme lectin tuber in Indonesia that can be used for
anticancer lectin based drug development.
Seven accessions of T. flagelliforme from Bogor (West Java), Yogyakarta
(Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Central Java), Singaraja (Bali), Ogan Ilir
(South Sumatera), and Solok (West Sumatera) were used in this research. Those
accessions have been cultivated in greenhouse at Biotech Centre, Agency for The
Assessment and Application of Technology, Indonesia. The tubers were harvested
from 1, 3, 5, and 6 months old plant and used as plant materials. The tuber total
protein content, toxicity effect, and hemagglutination activity was determined
from the crude tuber protein extract. The selected of tuber protein extract from 6
months old plant (NaCl extraction) used for protein fractination. The next stage
was to identify of lectin gene from all accession. After that, the selected of tuber
protein extract from 6 months old plant (water extraction) used for mammalian
cell culture test (MCF-7 and fibroblast cells). Those extracts was selected by
hemagglutination activity and toxicity effect on BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test) before mammalian cell culture test performed.
The results showed some accessions have fluctuations of the tuber weight
like Singaraja, Merapi Farm, Indmira, and Solok accession. Bogor, Ogan Ilir, and
Matesih accession showed tuber weight increasing in each month, from 1 to 6
months planting. The observation of the total protein level during growing period

showed that Ogan Ilir protein increased linearly from 1 to 6 months, while other
accessions showed fluctuation in total protein level during growing period. Three
accessions, Singaraja, Merapi Farm, and Indmira have been produced lectin since
1 month planting. The other accessions, Bogor, Ogan Ilir, Matesih, and Solok
were detected of lectin in 3 months planting. There is no accession showed
linearly elevated levels of lectin from 1 month to 6 months planting, except Bogor
accession. The tuber protein content has many proteins under 30 kDa. The above
30 kDa proteins in tuber were detected in 5 and 6 months old plant.
The tuber protein extract of 6 months old plant Solok accession was selected
to lectin purification. It has the highest hemagglutination acitivity than the other
accessions. The molecular weight of lectin from Solok accession is 12.67 kDa.

The lectin content in the total tuber protein is 0.35 %. This lectin was stable in
20-40 °C and pH 5-7.2.
The partial coding DNA sequence of each accessions were isolated with the
size of 600 bp for each accessions. These sequences have high similarity with the
lectin coding DNA sequence of another plants in Araceae, such as T. divaricatum,
Pinellia ternata, and Pinellia pedatisecta.
The tuber protein extract using water from 6 months old plant showed
extract of Bogor accession has the highest hemagglutination activity, while Solok

accession has the highest toxicity on shrimp larvae. Therefore, Bogor and Solok
accession tested for antiproliferative and cytotoxic effect. Antiproliferasi test
results with MTT method showed that the LC50 values of tuber protein extracts of
Solok accession lower than Bogor accession. That means Solok accession was be
able to inhibited the proliferation of MCF-7 cells. In cytotoxic test, the
proliferation of fibroblast cell was increased in lower concentrations of tuber
protein extracts. However, in 100 ppm of Solok accesion extract, the proliferation
of fibroblast cell was inhibited for 8.33 % and in 200 ppm of Bogor accession
extract, the proliferation of fibroblast cell was inhibited for 29.90 %.
The conclusion of this research were the lectin biosynthesis occured during
growing period. The tuber protein extract has antiproliferative activity on MCF-7
cell and no toxic effect to fibroblast cell under 100 ppm of the tuber protein
extract Solok accession and under 200 ppm of the tuber protein extract Bogor
accession. The molecular weight of Lectin was detected at 12.67 kDa and the size
of isolated partial gene of lectin was 600 bp.
Key words: Antiproliferation, lectin, toxicity, tuber protein, Typhonium
flagelliforme

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI
SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI
DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)

MUHAMMAD ALFARABI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Hamim, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)
Dr. Mega Safithri, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. Hamim, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)
Dr. Siswa Setyahadi
(Peneliti pada Teknologi Bioindustri, Laboratoria Pengembangan
Teknoogi Industri Agro dan Biomedika, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi)

Judul Disertasi: Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium
flagelliforme (Lodd.) Blume)
Nama
: Muhammad Alfarabi
NIM
: G363100081

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Ketua

Dr.rer.nat. Chaidir, Apt
Anggota

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian Tertutup: 3 Agustus 2015
Tanggal Sidang Promosi Doktor: 21 Agustus 2015 Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang karena atas rahmat izin dan hidayah-Nya disertasi yang
berjudul “Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan
Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.)
Blume)” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Biologi Tumbuhan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing, yaitu Dr. Ir.
Miftahudin, M.Si, Dr.rer.nat Chaidir, Apt., dan Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS
yang sudah memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian dan penulisan
disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Hamim, M.Si, Dr. Mega
Safithri, M.Si, dan Dr. Siswa Setyahadi selaku penguji pada ujian tertutup dan
ujian terbuka yang telah memberikan saran demi kesempurnaan penulisan
disertasi ini.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. Prasetyawan Yunianto
sebagai Kepala Laboratorium Teknologi Farmasi Medika yang telah mengizinkan
penulis melakukan penelitian di lab tersebut. Selain itu, ucapan terima kasih
penulis kepada Syofi Rosmalawati, M.AgrSc. beserta staf Laboratorium
Bioteknologi Pertanian, Dr. Churiyah beserta staf peneliti Laboratorium Kultur
Sel Hewan, Dr. Kurnia Agustini beserta staf peneliti Laboratorium Farmakologi,
Dr. Siswa Setyahadi beserta staf peneliti Laboratorium Bioseparasi, Fifit Juniarti,
BSc (HONS) beserta staf peneliti Laboratorium Biologi Molekuler, dan Dr.rer.nat
Anis Mahsunah yang telah membantu berjalannya proses kegiatan penelitian di
Laboratorium BPPT, Puspiptek, Serpong. Ungkapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada seluruh dosen dan staf Mayor Biologi Tumbuhan, yang telah
memberikan bekal ilmu dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dengan baik. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada rekan mahasiswa S3 BOT
angkatan 2010, rekan kerja Laboratorium Fisiologi dan Genetika Tumbuhan IPB,
dan rekan kerja di Laboratorium LapTIAB BPPT. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada orang tua, adik, Tyas, serta seluruh keluarga atas segala
doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama penulis menjalani program Doktor di
IPB.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Muhammad Alfarabi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat dan Kebaruan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keladi Tikus
Lektin
Apoptosis
Gen Penyandi Lektin

5
5
6
8
10

3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Tanaman
Metode

12
12
12
12

4 HASIL PENELITIAN
Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam
Fraksinasi Protein Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan
Setelah Tanam
Karakterisasi Lektin
Identifikasi Gen Lektin
Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein
Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam

20
20
22

5 PEMBAHASAN
Profil Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Pola Elektroforegram Total Protein Umbi Setiap Aksesi Selama
Masa Tanam
Karakteristik Lektin Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan
Setelah Tanam
Gen Lektin
Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi
Umur 6 Bulan Setelah Tanam

34
34

6 SIMPULAN DAN SARAN

42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

46

RIWAYAT HIDUP

52

23
26
27
30

36
36
38
40

DAFTAR TABEL
1 Daerah aksesi T. flagelliforme yang digunakan dalam penelitian
2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas
dari ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme
umur masa tanam 6 bulan
3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi
Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharose dan CM-monolitic
4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6
Bulan Tanam
5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap
aksesi T. flagelliforme dengan basis data di NCBI
6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T.
flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae
7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak
akuades 15 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan masa tanam
8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel
MCF-7 dengan berbagai konsentrasi
9 Daya proliferasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap
sel fibroblas dengan berbagai konsentrasi

12

24
25
26
28
28
31
31
33

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi
Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
2 Typhonium flagelliforme
3 Skema aktifasi caspase
4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses apoptosis pada
sel kanker
5 Bagian-bagian ekstraksi protein umbi yang dilakukan pada penelitian
6 Peta fisik vektor dan situs pengklonan pGEM®-T Easy
7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6
bulan setelah tanam
8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1
bulan hingga 6 bulan setelah tanam
9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari
umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam
10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume selama
masa tanam
11 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom
DEAE-Sepharose
12 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom CMmonolitic
13 Karakteristik lektin berdasarkan suhu dan pH
14 Hasil isolasi DNA dan amplifikasi DNA
15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesi T. flageliforme
16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi

4
5
8
9
13
16
20
21
22
23
24
25
26
27
30
32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kurva standar larutan protein menggunakan BSA (BovineSerum
Albumin)
2 Antiproliferasi ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel MCF-7
3 Sitotoksiksitas ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel fibroblas
4 Perhitungan bobot molekul
5 Sekuens fragmen gen lektin tiap aksesi

47
47
48
48
49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kanker merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita oleh
masyarakat dunia. Satu dari empat penderita kanker di Amerika Serikat meninggal
setiap tahunnya (Jemal et al. 2010). Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit
yang banyak menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker payudara dan leher
rahim merupakan jenis kanker yang banyak diderita penderita kanker di Indonesia.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2013 terdapat
sekitar 347792 penderita kanker dan diantaranya 28850 adalah wanita penderita
kanker payudara dan leher rahim stadium IV. Jumlah penderita tersebut terus
meningkat setiap tahunnya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014).
Oleh karenanya, kanker merupakan penyakit yang sangat serius bagi masyarakat
Indonesia sehingga diperlukan penanganan dari berbagai bidang terkait.
Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel tidak terhambat
secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya. Sifat tersebut
menjadikan sel kanker sangat berbahaya. Sel kanker pada awalnya merupakan sel
normal yang tumbuh dan berproliferasi dalam keadaan tidak terkontrol sehingga
menjadi tumor atau neoplasma. Tumor tersebut dapat berkembang dan memiliki
kemampuan untuk menginvasi jaringan disekitarnya yang disebut malignant. Pada
tahap tersebut sudah dapat disebut sebagai sel kanker dan dapat masuk ke dalam
pembuluh darah atau limfa untuk membentuk sel kanker di jaringan lain, tahap ini
disebut dengan metastases (Alberts et al. 2008), sehingga diperlukan pengobatan
yang dapat mencegah, menghambat pertumbuhan, dan mematikan sel kanker.
Pengobatan kanker pada umumnya banyak dilakukan dengan kemo/radioterapi.
Saat ini, selain menggunakan obat dan kemo/radioterapi, pengobatan kanker dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan dari tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat
sebagai antikanker (Mohan et al. 2010, Liu et al. 2010).
Tumbuhan yang telah digunakan dalam pengobatan antikanker dan
diproduksi oleh industri farmasi adalah mistletoe (Viscum album L.). Ekstrak
mistletoe telah banyak digunakan pada perawatan kanker di negara-negara Eropa.
Biasanya diaplikasikan terhadap pasien melalui injeksi subkutan. Efek ekstrak
tersebut adalah dapat meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup dari
penderita kanker, memperkuat sistem imun tubuh penderita, dan mengurangi
gejala dari tumor (Ernst dan CAM-Cancer Consortium 2011). Selain itu,
pengobatan kanker menggunakan ekstrak mistletoe yang digabungkan dengan
kemo/radioterapi dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam melawan dan
bertahan terhadap kanker (Horneber et al. 2010). Ekstrak mistletoe mengandung
banyak senyawa aktif biologi seperti flavonoid (derivat dari kuarsetin),
polipeptida yang bersifat toksik, fenilpropan, lignan, dan lektin (Mistletoe Lectin I,
II, III). Namun, lektin yang banyak dikaji sebagai molekul antikanker dikarenakan
kadarnya yang cukup tinggi dibandingkan molekul lainnya pada mistletoe
(European Medicines Agency, 2013).
Lektin merupakan glikoprotein yang terdapat disemua jenis tumbuhan dan
dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Protein ini merupakan protein non
katalis yang dapat berikatan spesifik dengan molekul karbohidrat dikarenakan

2
memiliki sedikitnya satu domain yang dapat berikatan secara reversible dengan
molekul karbohidrat. Domain inilah yang dapat berinteraksi dengan molekul
karbohidrat pada membran sel dan ikatan yang terjadi spesifik sehingga lektin
merupakan asal kata dari bahasa latin, yaitu lagere yang artinya memilih (Damme
et al. 1998). Contohnya lektin dari Phaseolus lunatus dapat mengaglutinasi
spesifik golongan darah A dan lektin dari Lotus tetragonolobus dapat
mengaglutinasi spesifik golongan darah O. Ikatan spesifik ini dapat terjadi
dikarenakan terdapat interaksi spesifik antara karbohidrat pada permukaan sel
dengan lektin (Sharon dan Lis 2004). Lektin dari tumbuhan telah banyak dikaji
sebagai antikanker (Abdullaev dan Meija 1997), seperti lektin dari Arisaema
tortuosum Schott mampu menghambat proliferasi sel kanker servik SiHa dan usus
besar HT29 secara in vitro (Dhuna et al. 2005). Selain itu, Typhonium
divaricatum (L.) Decne (keladi tikus) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional dari Cina yang memiliki aktivitas antikanker. Tanaman ini terdapat di
daerah Chengdu (Cina) dan mengandung lektin pada umbinya yang memiliki
aktivitas antikanker, yaitu dengan menghambat proliferasi sel kanker prostat Pro01, payudara Bre-04, dan paru Lu-04 secara in vitro (Luo et al. 2007).
Masyarakat Indonesia telah banyak memanfaatkan tanaman obat sebagai
pengobatan alternatif terhadap penyakit kanker, salah satunya adalah keladi tikus
(Typhonium sp.). Tumbuhan ini merupakan kelompok dari jenis keladi yang
tumbuh tersebar di wilayah Indonesia tetapi tidak dibudidayakan oleh masyarakat
dan tidak dapat dikonsumsi. Jenis Typhonium flagelliforme merupakan jenis yang
banyak digunakan untuk ramuan tradisional pengobatan kanker terutama kanker
payudara dengan cara direbus atau dibuat serbuk. Oleh karena memiliki genus
yang sama dengan T. divaricatum, diduga T. flagelliforme memiliki molekul aktif
yang sama yang berperan sebagai antikanker, yaitu lektin pada umbinya. Kajian
ilmiah mengenai T. flagelliforme sebagai tanaman obat antikanker belum banyak
dilakukan di Indonesia. Selain itu, belum banyak yang mengkaji protein aktif,
yaitu lektin dari umbi T. flagelliforme yang tumbuh di wilayah Indonesia.

Perumusan Masalah
Penggunaan T. flagelliforme oleh masyarakat luas sebagai tanaman obat
tradisional untuk mengobati penyakit kanker menunjukkan bahwa pentingnya
tanaman tersebut di bidang farmasi. Kenyataannya produk obat berbasis
tumbuhan tersebut yang beredar di masyarakat adalah dalam bentuk jamu atau
obat tradisional yang diproduksi oleh industri rumah tangga, oleh karenanya
molekul aktif ekstrak tersebut tidak diketahui dengan pasti, terutama kandungan
lektin pada umbi sehingga mekanisme kerja ekstrak tersebut tidak diketahui.
Mekanisme tersebut perlu diketahui sehingga dalam penggunaan ekstrak dapat
diketahui dosis yang tepat. Selain itu, karakteristik dari senyawa aktif juga perlu
diketahui karena informasi ini sangat diperlukan dalam proses pengembangan
obat yang berbasis senyawa tersebut.
Selain senyawa aktif, umur dan kondisi tumbuhan yang digunakan pada
obat tradisional sangat jarang diketahui sehingga tidak terdapat standar mutu
dalam penggunaan tanaman obat, khususnya pada T. flagelliforme sebagai ekstrak
herbal antikanker. Faktor-faktor tersebut, yaitu belum teridentifikasi dan

3
terkarakterisasi senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker di dalam ekstrak,
serta tidak adanya standar mutu penggunaan tumbuhan untuk dijadikan bahan
baku sediaan ekstrak dari T. flagelliforme menjadi dasar dilakukannya penelitian
ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi protein umbi dan lektin
umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia.
Secara terperinci tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui profil protein umbi dan lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme)
yang tumbuh dari beberapa wilayah Indonesia pada masa tanam 1 hingga 6
bulan.
2. Menentukan karakteristik lektin yang terkandung pada umbi keladi tikus.
3. Mengidentifikasi gen penyandi lektin umbi keladi tikus yang tumbuh di
beberapa wilayah Indonesia.
4. Mengkaji aktivitas antikanker dari ekstrak protein umbi terhadap sel kanker
MCF-7.

Manfaat dan Kebaruan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai fase pertumbuhan T. flagelliforme yang terkait dengan aktivitas lektin
umbi. Selain itu, memberikan informasi tentang keragaman profil protein dan
lektin umbi T. flagelliforme yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia.
Informasi ini dapat dijadikan dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis
lektin sebagai obat antikanker.
Penelitian ini memiliki kebaruan yaitu: (1) kandungan protein umbi dan
aktivitas lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme) dari berbagai aksesi wilayah
Indonesia, (2) aktivitas antiproliferasi sel kanker MCF-7 dari ekstrak protein umbi
keladi tikus, (3) karakteristik lektin dari aksesi terseleksi, yaitu Solok, (4) parsial
gen penyandi lektin dari berbagai aksesi keladi tikus.

Ruang Lingkup Penelitian
Tahapan penelitian yang dirancang sebagai solusi permasalahan yang ada
terdiri atas 3 bagian dengan alur sebagai berikut (Gambar 1), yaitu (1)
menganalisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari setiap aksesi T.
flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam), (2)
mengkarakterisasi lektin terpurifikasi dari aksesi T. flagelliforme terpilih (aksesi
Solok berumur 6 bulan setelah tanam), (3) mengidentifikasi gen penyandi lektin
dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah tanam, (4)
menganalisis efek toksik terhadap Artemia sp. dan aktivitas lektin dari ekstrak
protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme umur 6 bulan setelah tanam, dan (5)
menganalisis aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan efek toksik
terhadap sel nomal fibroblas dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme aksesi
terpilih yang berumur 6 bulan masa tanam.

4
Umbi T. flagelliforme (aksesi: Bogor, Yogyakarta (Merapi Farm dan
Indmira), Matesih, Bali (Singaraja), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan
Solok (Sumatera Barat)

Analisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari
setiap aksesi T. flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3,
5, dan 6 bulan masa tanam)

Karakterisasi lektin terpurifikasi
dari aksesi T. flagelliforme
terpilih (aksesi Solok berumur 6
bulan setelah tanam)

Identifikasi gen penyandi lektin
dari setiap aksesi T. flagelliforme
yang berumur 6 bulan setelah
tanam

Analisis efek toksik terhadap
larva Artemia sp. dan aktivitas
lektin dari ekstrak protein umbi
setiap aksesi T. flagelliforme
umur 6 bulan setelah tanam

Analisis aktivitas antiproliferasi
terhadap sel kanker MCF-7 dan efek
toksik terhadap sel nomal fibroblas
dari ekstrak protein umbi T.
flagelliforme aksesi terpilih yang
berumur 6 bulan setelah tanam

Karakteristik protein dan
lektin umbi T. flagelliforme

Gambar 1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi
Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keladi Tikus
Keladi tikus merupakan tumbuhan yang tersebar luas dari daerah tropis
hingga daerah subtropis Asia serta daerah Australia. Tumbuhan ini telah diketahui
sampai saat ini terdiri atas 40 spesies. Keladi tikus merupakan tumbuhan herba
dan dapat tumbuh mencapai 5-12 cm panjangnya. Tanaman ini memiliki umbi
yang tumbuh di bawah permukaan tanah. Daunnya bertangkai membentuk jantung
dengan bagian ujung lainnya meruncing serta tepi daun yang rata. Selain itu, daun
berwarna hijau dan mengkilap (Wang dan Yang 1996). Batang tumbuhan ini
berwarna hijau dan pada pangkal batang berwarna putih. Umbi keladi tikus
berwarna cokelat muda dibagian luar dan putih di bagian dalam serta berlendir
(Gambar 2) (Syahid 2008). Perkembangbiakan tumbuhan ini dapat dilakukan
secara vegetatif dengan pemisahan umbi. Namun, tumbuhan ini tidak
dibudidayakan oleh masyarakat (Surachman 2009). Klasifikasi ilmiah dari keladi
tikus adalah Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, famili
Araceae, subfamily Aroideae, suku Areae, genus Typhonium (Wang dan Yang
1996).
Terdapat 3 spesies Typhonium yang penting sebagai tanaman obat, yaitu T.
trilobatum, T. roxburghii, dan T. flagelliforme. Secara kekerabatan, T. trilobatum
memiliki kesamaan 63 % dengan T. roxburghii sedangkan T. flagelliforme
memiliki kesamaan 43 % dengan T. trilobatum dan T. roxburghii (Rout 2006).
Tumbuhan keladi tikus ini di Indonesia dan di beberapa negara di Asia digunakan
sebagai obat tradisional untuk mengobati kanker dan penyakit lainnya. Secara
fitokimia, keladi tikus (T. flagelliforme) memiliki kandungan flavonoid dan
alkaloid (Nobakht et al. 2010). Secara ilmiah, penelitian menggunakan ekstrak
diklorometana keladi tikus (T. flagelliforme) dapat berperan sebagai anti leukemia
dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel (Mohan et al. 2010). Selain itu,
keladi tikus (T. divaricatum) mengandung lektin yang dapat berfungsi sebagai
antivirus dan anti-proliferatif pada cell line kanker manusia (Luo et al. 2007).
Kajian-kajian ilmiah tersebut menjadikan keladi tikus merupakan tumbuhan
yang penting bagi perkembangan obat antikanker. Kajian ilmiah mengenai keladi
tikus sampai saat ini belum banyak dilakukan, terutama kajian mengenai
keragaman kandungan dan aktivitas lektin pada keladi tikus (T. flagelliforme)
yang tumbuh di Indonesia. Oleh karena itu hal tersebut menarik untuk dikaji lebih
lanjut mengenai lektin yang terkandung di keladi tikus yang tumbuh di Indonesia.

Gambar 2 Typhonium flagelliforme

6
Lektin
Lektin dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Lektin merupakan protein
non enzim yang biasa disebut sebagai sugar binding protein atau glikoprotein
yang bukan dihasilkan dari reaksi imun. Lektin pertama kali ditemukan di
tumbuhan yang diberi nama ricin tetapi glikoprotein ini dapat ditemukan pada
organisme lainnya seperti bakteri dan mamalia. Lektin pada organisme dapat
terikat pada membran atau terlarut pada cairan biologis. Spesifisitas lektin dapat
dikelompokkan berdasarkan interaksinya dengan monosakarida atau oligosakarida
sederhana. Interaksi tersebut dapat menghambat reaksi aglutinasi yang diinduksi
lektin (Goldstein et al. 1980).
Lektin dapat didefinisikan sebagai protein yang mempunyai sedikitnya satu
domain non katalis yang dapat berikatan secara reversible dengan molekul
karbohidrat secara spesifik. Berdasarkan definisi tersebut, maka secara struktur
lektin terdiri atas 4 jenis, yaitu merolectin, hololectin, chimerolectin, superlectin
(Peumans dan Damme 1995).
Merolectin merupakan lektin yang memiliki satu domain untuk berikatan
dengan karbohidrat. Contoh lektin jenis ini adalah hevein dari lateks Hevea
brasiliensis (Parijs et al. 1991). Hololectin merupakan lektin yang memiliki
sedikitnya dua domain yang identik untuk berikatan dengan karbohidrat secara
spesifik. Lektin jenis ini terdapat di banyak jenis tanaman, contohnya adalah
concanavalin A. Chimerolectin merupakan jenis lektin yang mempunyai dua
domain, yaitu domain yang dapat berikatan dengan karbohidrat dan domain yang
memiliki aktivitas biologis lainnya. Dua domain tersebut tidak saling
mempengaruhi. Contoh dari lektin jenis ini adalah ricin, dengan domain pertama
sebagai tempat berikatan dengan karbohidrat dan domain lainnya memiliki
aktivitas toksik. Superlectin merupakan jenis lektin yang hampir sama dengan
chimerolectin tetapi memiliki banyak domain identik (Damme et al. 1998).
Berdasarkan sumber tumbuhannya, lektin dikelompokkan menjadi 7 famili.
Famili pertama adalah lektin legum, yaitu lektin yang berasal dari Leguminoseae.
Namun tanaman legum dapat memproduksi lektin selain famili lektin legum
seperti tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related lectin. Famili kedua
disebut chitin binding lectin, yaitu lektin yang mempunyai sedikitnya satu domain
hevein. Famili ketiga adalah tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related
lectin, yaitu lektin yang memiliki aktivitas inaktivasi ribosom. Famili keempat
adalah jacalin, yaitu lektin yang berasal dari biji nangka dan yang berasal dari
tanaman yang secara evolusi terkait dengan nangka atau memiliki kesamaan
struktur termasuk lektin jenis jacalin. Famili kelima adalah lektin amaranthin,
yaitu lektin yang berasal dari genus Amaranthus. Famili keenam adalah lektin
floem Cucurbitaceae, yaitu lektin yang berasal dari eksudat floem spesies
Cucurbitaceae. Famili ketujuh adalah monocot mannose binding lectin (MMBL),
yaitu lektin yang berasal dari tumbuhan monokotil dan spesifik berikatan dengan
manosa (Damme et al. 1998).
Lektin jenis MMBL ditemukan pada jaringan vegetatif seperti daun, bunga,
umbi, akar, dan rhizoma. Lektin jenis ini terdapat dua macam, yaitu jenis yang
memiliki satu domain dan dua domain. Jenis lektin ini dapat ditemukan pada
enam famili tumbuhan monokotil, yaitu Alliaceae, Amaryllidaceae, Araceae,
Bromeliaceae, Liliaceae, dan Orchidaceae (Damme et al. 1998). Keladi tikus

7
(Typhonium sp.) tergolong famili Araceae, sehingga lektin yang terkandung di
tumbuhan tersebut termasuk jenis MMBL. Lektin jenis ini dapat berikatan
spesifik dengan manosa, yaitu gula sederhana epimer C-2 dari glukosa. Lektin
dari famili Araceae memiliki bobot molekul 12-14 kDa bila dideteksi dengan
elektroforesis SDS-PAGE (Damme et al. 1998). Lektin ini pertama kali terungkap
pada tahun 1987 (Damme et al. 1987), namun lektin yang dihasilkan dari genus
Typhonium belum banyak dikaji secara ilmiah. Informasi ilmiah lektin genus ini
sangat sedikit bila dibandingkan dengan lektin dari famili legume yang telah
dikaji secara lengkap beberapa dekade seperti khasiat dan jalur biosintesisnya
(Damodaran et al. 2008).
Proses biosintesis lektin pada tumbuhan sama seperti sintesis protein pada
umumnya. Perbedaan terdapat setelah proses biosintesis terjadi, yaitu lektin
ditranslokasi ke jaringan penyimpan seperti vakuola. Oleh karenanya, lektin
berfungsi sebagai protein cadangan bagi tumbuhan (Damme et al. 1998).
Contohnya pada umbi Typhonium divaricatum (L.) Decne, terdapat lektin dengan
bobot molekul 48 kDa dan stabil pada kisaran temperatur 20-60 °C dan pH 5.68.6 (Luo et al. 2007).
Lektin bagi tumbuhan berperan sebagai pelindung dari mikroba patogen,
herbivora atau predator. Lektin juga berperan dalam melindungi biji dari predator.
Sebagai contoh beberapa biji tanaman legum mengandung lektin sehingga ketika
biji tersebut dimakan oleh predator atau herbivora maka lektin tersebut akan
berikatan dengan glikoprotein yang berada pada usus halus dan menyebabkan
gangguan penyerapan nutrisi (Hans dan Heldt 2005). Selain itu, lektin dapat
menggumpalkan sel-sel darah merah dari berbagai jenis hewan. Reaksi tersebut
dapat terjadi karena interaksi antara situs-situs pengikatan pada lektin dengan
reseptor spesifik glikokonjugat di permukaan membran sel. Oleh karena fungsi
lektin pada tumbuhan terdapat kaitan dengan pertahanan dan interaksi tumbuhan
dengan lingkungan dibandingkan dengan fungsinya sebagai pertumbuhan dan
perkembangan, maka lektin dapat digolongkan pada kelompok metabolit sekunder
(Makkar et al. 2007). Kemampuan lektin yang dapat berikatan spesifik dengan
senyawa karbohidrat menjadikan lektin dapat diaplikasikan untuk identifikasi sel,
kajian mengenai glikoprotein, kajian histokimia, dan kajian sitokimia. Selain itu,
lektin juga bersifat mitogenik, yaitu memiliki kemampuan merangsang limfosit
ketika proses mitosis (Sharon dan Lis 2004).
Lektin dapat berperan sebagai antikanker dengan mekanisme secara umum
melalui proses apoptosis pada sel kanker sehingga pertumbuhan sel kanker
terhambat. Contohnya lektin dari tumbuhan legum seperti ConA dan ConBr,
mampu menghambat proses proliferasi sel kanker seperti sel HL-60 dan MOLT-4
(Martins et al. 2012). Selain itu, dapat menghambat pertumbuhan sel kanker
melanoma A375. Proses tersebut terjadi melalui proses apoptosis yang diinduksi
oleh lektin melalui mekanisme caspase (Liu et al. 2009a).
Deteksi lektin dari suatu larutan protein umbi pada penelitian ini
menggunakan uji hemaglutinasi. Penggunaan uji ini dikarenakan lektin memiliki
aktivitas mengaglutinasi sel, terutama sel darah merah sehingga lektin dapat
disebut phytohemmagglutinin (Goldstein et al. 1980). Adanya aktivitas aglutinasi
pada eritrosit dari suatu larutan protein dengan konsentrasi rendah, menunjukkan
larutan tersebut mengandung lektin.

8
Oleh karena lektin merupakan molekul protein, maka dalam proses
karakterisasinya diperlukan lektin yang terpurifikasi. Tahapan purifikasi
merupakan proses eksploitasi protein target yang pada penelitian ini protein
targetnya adalah lektin. Purifikasi yang baik adalah mendapatkan protein target
dalam jumlah yang banyak dengan meminimalkan kehilangan aktifitasnya serta
menghilangkan kontaminan (protein lain) secara maksimal (Rosenberg 2005).
Purifikasi protein dilakukan menggunakan teknik kromatografi menggunakan
kolom kromatografi. Kolom yang digunakan dapat berupa kolom afinitas, penukar
ion, atau filtrasi gel. Setelah didapatkan lektin terpurifikasi, karakterisasi lektin
diperlukan untuk menentukan sifat-sifat lektin terpurifikasi. Paramameter yang
perlu diamati adalah aktivitas lektin terhadap temperatur dan pH. Aktivitas lektin
diketahui dari uji hemmagglutinasi. Hal ini dilakukan karena lektin merupakan
protein sehingga sangat dipengaruhi oleh temperatur dan pH. Bila temperatur
terlalu tinggi akan mendenaturasi protein, bila terlalu rendah akan terjadi
inaktivasi protein sehingga aktivitasnya menurun. Nilai pH, akan berpengaruh
pada konformasi protein, sehingga pH yang tidak tepat akan menurunkan aktivitas
protein (Nelson dan Cox 2008).
Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel terencana dan tujuannya pada kondisi
normal untuk menghilangkan sel yang tidak diinginkan. Karakteristik sel yang
mengalami apoptosis adalah terjadi kondensasi sitoplasma dan nukleus,
fragmentasi pada DNA, kontraksi sel, terjadi autofagositosis pada sel tersebut, dan
tidak teraturnya konformasi membran sel. Secara morfologi, sel yang mengalami
apoptosis terdapat kerusakan seperti terbentuknya tonjolan di bagian membran
(Hengartner 2000). Caspase merupakan protease yang menginduksi apoptosis
pada sel normal dan terdapat di sitosol sebagai procaspase (caspase inaktif).
Ketika terdapat sinyal aktivasi caspase, maka aktifnya satu caspase mengaktifkan
reaksi irreversible kaskade caspase (Gambar 3) (Alberts et al. 2008).
Aktifasi procaspase

Kaskade caspase

Aktif caspase

1 molekul caspase
mengaktifkan
caspase lain

potongan

inaktif
procaspase

Aktif caspase
prodomains

molekul terpotong oleh kaspase

Potongan protein
sitosol

Potongan protein inti sel

Gambar 3 Skema aktifasi caspase (Alberts et al. 2008)

9
Faktor yang dapat mengaktifkan caspase adalah faktor ekstrinsik dan
intrinsik. Faktor ekstrinsik merupakan sinyal protein yang dapat berikatan dengan
reseptor kematian sel yang terdapat di permukaan sel. Ketika protein ekstraseluler
berikatan dengan reseptor tersebut, maka ligand protein ekstraseluler-reseptor
membentuk kompleks sinyal induksi kematian (Death Inducing Signaling
Complexs) yang dapat merubah procaspase menjadi caspase. Faktor intrinsik
melibatkan sitokrom c dari mitokondria. Pelepasan sitokrom c diinduksi oleh
sinyal dari luar sel yang bersifat pro-apoptotik. Sitokrom c yang dilepas berikatan
dengan adaptor protein aktifator procaspase Apaf1 dan membentuk kompleks
sinyal induksi kematian yang merubah procaspase menjadi caspase (Alberts et al.
2008). Lektin dapat menginduksi caspase dengan kedua jalur tersebut (Liu et al.
2010). Contohnya lektin mistletoe dapat menginduksi terjadinya ketidakstabilan
permeabilitas membran mitokondria sehingga melepaskan senyawa ROS dan
sitokrom c yang menginduksi apoptosis melalui caspase (Seifert et al. 2008).
Mekanisme molekuler lektin dalam menginduksi proses apoptosis pada sel
kanker dapat dilakukan dengan banyak jalur. POL (Polygonatum odoratum
Lectin) yang merupakan lektin dari kelompok MMBL dapat menginduksi proses
apoptosis melalui jalur reseptor kematian sel dengan meningkatkan protein
intraseluler yang terkait dengan kematian sel (Fas-Associated protein Death
Domain) sehingga mengaktivasi caspase 8. Selain itu, dengan pemberian POL
pada sel kanker, dapat menyebabkan terganggunya potensial transmembran
mitokondria sehingga sitokrom c dilepaskan dari mitokondria dan hal tersebut
mengaktivasi caspase 9 serta caspase 3. Pemberian POL dengan konsentrasi
rendah pada sel kanker pun dapat meningkatkan efek apoptosis dari faktor
nekrosis seluler (Liu et al. 2009b). Lain halnya jalur apoptosis yang dinduksi oleh
lektin dari P. cyrtonema (PCL). Lektin tersebut menginduksi terekspresinya
protein Bax sebagai protein inisiator apoptosis sel dan menghambat kerja protein
Bcl-xL yaitu protein yang berfungsi untuk mencegah pelepasan molekul dari
mitokondria. PCL juga menginduksi mitokondria untuk menghasilkan senyawa
oksigen radikal (Reactive Oxygene Species) sehingga mengaktifkan protein lain
yang terkait dengan stres oksidatif sel (Liu et al. 2009c). Oleh karenanya, proses
induksi apoptosis oleh lektin banyak melibatkan jalur sinyal seluler sehingga jalur
apoptosis sel merupakan mekanisme utama dari lektin sebagai antiproliferasi
terhadap sel kanker (Gambar 4).

Gambar 4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses
apoptosis pada sel kanker (Liu et al. 2010)

10
Aktivitas lektin sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker dimodelkan
menggunakan uji toksisitas terhadap larva Artemia sp. dengan menggunakan
metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dan sel kanker pada penelitian ini.
Metode BSLT merupakan metode awal yang efesien untuk mengetahui aktivitas
suatu senyawa bioaktif atau untuk mengetahui efek toksik suatu ekstrak. Larva
Artemia sp. digunakan pada metode ini karena larva ini adalah hewan sederhana
sehingga dapat dianalogikan sebagai sel tunggal dan mudah untuk dikontrol untuk
diuji ketahanannya terhadap toksisitas ekstrak senyawa bioaktif tumbuhan
(Churiyah 2005). Setelah terkonfirmasi larutan protein yang mengandung lektin
memiliki efek toksik pada Artemia sp., pengujian dilanjutkan dengan
menggunakan sel kanker, yaitu MCF-7. Efek toksik dari ekstrak dapat terlihat bila
ekstrak dapat menghambat proliferasi sel MCF-7. Bila proliferasi sel kanker tidak
terjadi penurunan, maka ekstrak protein yang mengandung lektin tidak dapat
berfungsi sebagai antikanker atau tidak memiliki aktivitas antikanker pada jenis
kanker tersebut (Monks et al. 1991).
Gen Penyandi Lektin
Studi pada lektin tumbuhan menunjukkan bahwa protein tersebut terbagi
dalam 7 superfamili berdasarkan sumber tumbuhan penghasil lektin. Legum lektin
yang terdapat pada biji tanaman legum merupakan jenis lektin pertama dan telah
banyak dikaji dari jenis lektinnya dan gen pengkode lektin tersebut. Phyto-erythro
agglutinating (PHA-E) dan Phyto-leuco agglutinating (PHA-L) adalah lektin
yang terdapat pada Phaseolus vulgaris. Kedua protein tersebut dikodekan dari gen
dlec1 dan dlec2. Kedua gen tersebut tidak memiliki intron dan memiliki 2 kodon
ATG pada urutan basa 11-14 (Hoffman dan Donaldson 1985). Selain itu, pada
tanaman legum diketahui dapat memiliki lebih dari satu jenis lektin. Dolichos
biflorus memiliki lektin pada biji dan DB58 (terdapat pada batang dan daun).
Lektin pada biji terdeteksi pada tahap pematangan embrio dan tidak terdeteksi
pada tahap perkecambahan. Lektin ini tidak terdapat pada organ tanaman dewasa,
sedangkan lektin DB58 terdeteksi pada batang dan daun pada tahap
perkecambahan. Kedua jenis lektin ini dikodekan oleh dua gen yang berbeda yang
tidak mengandung intron tetapi terletak di orientasi transkripsi yang sama (Talbot
dan Etzler 1978, Etzler et al. 1984, Harada et al. 1990).
Mistletoe (Viscum album L) merupakan tumbuhan yang mengandung 3 jenis
lektin toksik pada daunnya, yaitu MLI, MLII, dan MLIII. Lektin tersebut
tergolong dalam jenis lektin type 2 RIP related lectin dan banyak digunakan
dalam pengobatan kanker. Perbedaan ketiga lektin tersebut adalah bobot molekul
dan spesifitas reaksi dengan molekul karbohidrat. MLI merupakan senyawa aktif
utama di dalam ekstrak mistletoe yang digunakan untuk terapi tumor. Ketiga
protein ini dikodekan dari gen ml1p, ml2p, dan ml3p. Secara kuantitatif,
transkripsi gen ml1p lebih dominan dari kedua gen lainnya. Ketiga gen ini tidak
mengandung intron dan mengkodekan lektin dalam bentuk perkusor lektin
tunggal (Kourmanova et al. 2004). Gen pengkode lektin dari genus Typhonium,
yaitu dari kelompok MMBL hanya sedikit diketahui. Informasi ilmiah yang telah
diketahui adalah cDNA lengkap dari Typhonium divaricatum Lectin (TDL) dari
daerah Chengdu (Cina) memiliki ukuran 1145 pb, terdiri atas 813 pb ORF (Open
Reading Frame) dan mengkode perkusor lektin yang terdiri atas 271 asam amino

11
dengan bobot molekul 29 kDa (Luo et al. 2007). Selain itu, Kong et al. (2006)
melaporkan bahwa lektin T. divaricatum dari daerah Chongqing memiliki ukuran
cDNA lengkap 870 pb dengan 594 pb ORF. Kedua gen tersebut diduga tidak
mengandung intron.

12

3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Analisis total protein umbi, aktivitas lektin umbi, toksisitas dan penanaman
T. flagelliforme dari bulan Februari 2011 hingga Februari 2013 dilakukan di
laboratorium Pusat Teknologi Farmasi Medika dan Balai Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong,