Efek Penghambatan Siklus Sel Dan Pemacuan Apoptosis Kombinasi Ekstrak Umbi Lapis Bawang Sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) dan Doksorubisin Pada Sel Kanker Payudara

(1)

TESIS

EFEK PENGHAMBATAN SIKLUS SEL DAN PEMACUAN

APOPTOSIS KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS

BAWANG SABRANG (

Eleutherine bulbosa

(Mill.) Urb.) DAN

DOKSORUBISIN PADA SEL KANKER PAYUDARA

Oleh:

FITRI YANTI

NIM 127014002

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK PENGHAMBATAN SIKLUS SEL DAN PEMACUAN

APOPTOSIS KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS

BAWANG SABRANG (

Eleutherine bulbosa

(Mill.) Urb.) DAN

DOKSORUBISIN PADA SEL KANKER PAYUDARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FITRI YANTI

NIM 127014002

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

EFEK PENGHAMBATAN SIKLUS SEL DAN PEMACUAN APOPTOSIS KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS BAWANG SABRANG (Eleutherine

bulbosa (Mill.) Urb.) DAN DOKSORUBISIN PADA SEL KANKER

PAYUDARA Oleh: FITRI YANTI NIM 127014002

Medan, Mei 2014 Menyetujui:

Komisi Pembimbing, Komisi Penguji,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195103261978022001 NIP 195301011983031004

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt. NIP 130935857 NIP 194908111976031001

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130935857

Mengetahui: Disahkan Oleh:

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Fitri Yanti Nomor Induk Mahasiswa : 127014002

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Penghambatan Siklus Sel Dan Pemacuan Apoptosis Kombinasi Ekstrak Umbi Lapis Bawang Sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.)

Urb.) dan Doksorubisin Pada Sel Kanker Payudara

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada hari Selasa tanggal dua puluh lima bulan Maret tahun dua ribu empat belas.

Mengesahkan: Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji Tesis : Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Anggota Tim Penguji Tesis : Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa : Fitri Yanti

Nomor Induk Mahasiswa : 127014002

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Penghambatan Siklus Sel Dan Pemacuan

Apoptosis Kombinasi Ekstrak Umbi Lapis Bawang Sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) dan Doksorubisin Pada Sel Kanker Payudara

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri, bukan plagiat dan apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Maret 2014 Yang membuat pernyataan,

Fitri Yanti NIM 127014002


(6)

EFEK PENGHAMBATAN SIKLUS SEL DAN PEMACUAN APOPTOSIS KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS BAWANG SABRANG

(Eleutherine bulbosa (Mill) Urb.) DAN DOKSORUBISIN

PADA SEL KANKER PAYUDARA ABSTRAK

Bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) sudah digunakan secara turun temurun untuk berbagai penyakit seperti kanker payudara dan kolon, hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol dan stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik dari ekstrak umbi lapis bawang sabrang, indek selektivitas, efek kombinasinya dengan doksorubisin, siklus sel, apoptosis dan penekanan ekspresi siklin D1 dan Bcl-2 pada sel T47D dengan metode imunositokimia.

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi bertingkat menggunakan pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, n-heksan, etilasetat dan etanol serta dilakukan skrining fitokimia dan karakterisasi terhadap simplisia dan ekstrak. Ekstrak diuji sitotoksiknya terhadap sel T47D dengan menggunakan metode MTT, indeks selektivitas, kombinasi ekstrak aktif dengan doksorubisin, siklus sel, apoptosis dan penekanan ekspresi siklin D1 dan Bcl-2 pada sel T47D dengan metode imunositokimia.

Hasil karakterisasi simplisia, ekstrak n-heksana bawang sabrang (ENBS), ekstrak etilasetat bawang sabrang (EEABS) dan ekstrak etanol bawang sabrang (EEBS) diperoleh kadar air berturut-turut 8,64%; 4,98%; 8,27% dan 9,11%; kadar sari larut air 8,52%; 1,12%; 9,51% dan 72,19%; kadar sari larut etanol 14,05%; 2,28%; 49,26% dan 81,66%; kadar abu total 2,89%; 0,34%; 0,43% dan 1,73% serta kadar abu yang tidak larut asam 0,59%; 0,06%; 0,07% dan 0,20%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak diperoleh golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, antrakuinon glikosida, tannin dan triterpenoid/ steroid.

Hasil pengujian sitotoksik larutan uji terhadap sel T47D memberikan nilai IC50 ENBS sebesar 265,023 µg/ml, EEABS 147,124 µg/ml dan EEBS 3.782,29

µg/ml. Pengujian dengan sel vero menunjukkan EEABS selektif terhadap sel T47D (IS>3). Selanjutnya EEABS dikombinasikan dengan doksorubisin terhadap sel T47D memberikan efek sinergis kuat. Konsentrasi kombinasi optimum yang memberikan efek sinergis kuat terdapat pada konsentrasi EEABS - doksorubisin 36,75 µg/ml – 1,0 µg/ml (1/4 IC50 – 1/2 IC50). EEABS dan kombinasinya dengan

doksorubisin dilakukan uji siklus sel dengan metode flowsitometri, hasilnya menghambat siklus sel pada fase G0-G1 dengan presentase 54,74% disebabkan

terjadi penekanan ekspresi siklin D1 sedangkan pengujian apoptosis menunjukkan mekanisme apoptosis dengan presentase 13,86% dikarenakan terjadi penekananan ekspresi Bcl-2.

Kata kunci: Bawang Sabrang, T47D, Vero, sitotoksik, MTT, indeks kombinasi, siklus sel, flowsitometri, apoptosis, imunositokimia, siklin D1dan Bcl-2


(7)

THE CELL CYCLE INHIBITON AND APOPTOSIS TRIGGERING EFFECTS OF THE COMBINATION OF SABRANG ONION BULBS

EXTRACT (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) AND DOXORUBICIN

AGAINST BREAST CANCER CELLS ABSTRACT

Sabrang onion bulbs (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) have been used for generations against various diseases such as breast and colon cancer, hypertension, hyperglycemia, hypercholesterolemia and stroke. This research was aimed to determine the cytotoxic effect of sabrang onion bulbs extract, its selectivity index, its effect when combined with doxorubicin, its cell cycle inhibition effect, its apoptosis triggering effect and its suppression of cyclin D1 and Bcl-2 expression in T47D cells.

Extracts preparation was done using stepwise maceration method using solvents based on polarity level, which were n-hexane, ethylacetate and ethanol, and phytochemical screening along with extracts and simplex characterization were also done. The extracts were tested for their cytoxicity against T47D cells with MTT method, their selectivity index, combination of active extracts with doxorubicin. The cell cycle inhibition effect and apoptosis triggering effect were tested using flowcytometry method, and the suppression of cyclin D1 and Bcl-2 expression was tested using immunocytochemistry method.

The result of simplex characterization, n-hexane extract of sabrang onion (NESO), ethylacetate extract of sabrang onion (EAESO) and ethanol extract of sabrang onion (EESO) were as such : water content 8.64%; 4.98%; 8.27% and 9.11%; levels of water-soluble extract

Keyword(s) : sabrang onion, T47D, Vero, cytotoxic, MTT, CI (combination index), cell cycle, flowcytometry, apoptosis, immunocytochemistry,

cyclin D1 and Bcl-2.

8.52%; 1.12%; 9,51% and 72.19%; levels of ethanol soluble extract 14.05%; 2.28%; 49.26% and 81.66%; total ash content 2.89%, 0.34%, 0.43% and 1.73% and acid insoluble ash content 0.59%; 0.06%; 0.07% and 0.20%, respectively. The phytochemical screening test results indicated that both simplex and extract contains alkaloid, flavonoid, glycoside, saponin, anthraquinone glycoside, tannin and triterpenoids/steroids. The cytotoxic test on T47D cells showed the IC50 values of NESO at 265.023 ug/ml, EAESO

147.124 ug/ml and EESO 3782.29 mg/ml. Tests using vero cells showed that EAESO was selective on T47D cells (SI >3). Furthermore, EAESO combined with doxorubicin showed strong synergistic effect. The optimal concentration combination that showed strong synergistic effect was found in the concentration of EAESO-doxorubicin 36.75 ug/ml - 1.0 ug/ml (1/4 IC50 - 1/2 IC50). The

combination of EAESO and doxorubicin inhibited the cell cycle at G0-G1 phase

with the percentage of 54.74% due to the suppression cyclin D1 expression, while the apoptosis test showed that the aforementioned combination triggered apoptosis at the percentage of 13.86% due to the suppression of Bcl-2 expression.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENGESAHAN TESIS ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8


(9)

2.1.2 Sistematika tumbuhan ... 8

2.1.3 Sinonim ... 9

2.1.4 Nama daerah ... 9

2.1.5 Morfologi tumbuhan ... 9

2.1.6 Kandungan kimia ... 10

2.1.7 Penggunaan tumbuhan ... 10

2.2 Ekstraksi ... 11

2.2.1 Metode ekstraksi ... 12

2.3 Kanker ... 15

2.3.1 Siklus sel ... 16

2.3.2 Apoptosis dan nekrosis ... 19

2.3.3 Kanker payudara ... 23

2.3.4 Sel T47D ... 25

2.3.5 Doksorubisin efek samping dan resistensinya ... 26

2.3.6 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT ... 27

2.3.7 Indeks selektivitas (IS) ... 28

2.3.8 Indeks kombinasi (IK) ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Alat dan Bahan ... 30

3.1.1 Alat-alat ... 30

3.1.2 Bahan-bahan ... 31

3.2 Penyiapan Bahan Tumbuhan ... 32

3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 32


(10)

3.2.3 Pembuatan simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 32

3.3 Pembuatan Pereaksi ... 33

3.3.1 Besi (III) klorida 1% b/v ... 33

3.3.2 Larutan asam klorida 2 N ... 33

3.3.3 Timbal (II) asetat 0,4 M ... 33

3.3.4 Pereaksi Mayer ... 33

3.3.5 Pereaksi Molish ... 33

3.3.6 Pereaksi Dragendorff ... 33

3.3.7 Larutan kloralhidrat ... 34

3.3.8 Larutan pereaksi asam sulfat 2N ... 34

3.3.9 Pereaksi Bouchardat ... 34

3.3.10 Pereaksi Lieberman-Bouchardat ... 34

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak ... 34

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 34

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 34

3.4.3 Penetapan kadar air ... 35

3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 35

3.4.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 36

3.4.6 Penetapan kadar abu total ... 36

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 36

3.5 Penentuan Golongan Senyawa Kimia ... 37

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 37

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid ... 37


(11)

3.5.3.1 pemeriksaan glikosida antrakuinon ... 38

3.5.4 Pemeriksaan saponin ... 38

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 39

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 39

3.6 Pembuatan Ekstrak Umbi Lapis Bawang Sabrang ... 39

3.7 Sterilisasi Alat dan Bahan ... 39

3.8 Pembuatan Media ... 40

3.8.1 Pembuatan media Roswell Park Memorial Institute .... 40

3.8.2 Pembuatan media komplit (MK-RPMI) ... 40

3.8.3 Pembuatan media M199 ... 41

3.8.4 Pembuatan MK-M199 ... 41

3.9 Penumbuhan Sel ... 42

3.9.1 Penumbuhan sel T47D ... 42

3.9.2 Subkultur sel T47D ... 42

3.9.3 Panen sel T47D ... 43

3.9.4 Penumbuhan sel Vero ... 43

3.9.5 Subkultur sel Vero ... 44

3.9.6 Panen sel Vero ... 44

3.9.7 Penghitungan sel T47D dan sel Vero ... 44

3.10 Pembuatan Larutan Uji ... 46

3.11 Pengujian Sitotoksik ... 46

3.12 Pengujian Sel Vero ... 46

3.13 Analis Hasil ... 48


(12)

3.15 Uji Kombinasi ... 49

3.16 Pengujian Apoptosis dan Siklus Sel dengan Metode Flowsitometri ... 51

3.17 Uji Penekanan Ekspresi Protein Bcl-2 dan Siklin D1 dengan Metode Imunositokimia ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

4.1Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 54

4.2Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ... 54

4.3Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak ... 57

4.4Ekstraksi... 60

4.5Uji Sitotoksik ENBS, EEABS dan EEBS pada Sel T47D ... 61

4.6Indeks Selektivitas ... 64

4.7Uji Kombinasi EEABS - doksorubisin pada T47D ... 64

4.8Uji Penghambatan Siklus Sel ... 67

4.9Uji Apoptosis ... 71

4.10Pengamatan Ekspresi Protein Bcl-2 dan Siklin D1 ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

5.1Kesimpulan ... 82

5.2Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Interpretasi nilai indeks kombinasi (IK) ... 49 4.1 Hasil karakterisasi simplisia umbi lapis bawang sabrang

(Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) ... 55

4.2 Hasil karakterisasi ekstrak umbi lapis bawang sabrang

(Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) ... 56

4.3 Hasil skrining fitokimia simplisia umbi lapis bawang sabrang

(Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) ... 58

4.4 Hasil skrining fitokimia ekstrak umbi lapis bawang sabrang

(Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) ... 58

4.5 Nilai indeks kombinasi (IK) doksorubisin dan EEABS ... 65 4.6 Distribusi sel T47D setelah perlakuan dengan EEABS,

doksorubisin dan kombinasi keduanya ... 68 4.7 Hasil pengujian apoptosis EEABS pada sel T47D dengan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 7

2.1 Bawang sabrang ... 10

2.2 Kanker payudara ... 24

3.1 Hemositometer (kamar hitung) ... 45

4.1 Gambaran siklus sel T47D kontrol ... 68

4.2 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1x IC50 EEABS ... 69

4.3 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ¼ IC50 EEABS dan ½ IC50 doksorubisin ... 69

4.4 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC50 doksorubisin ... 69

4.5 Viabilitas apoptosis dengan pelabelan Anexin V ... 72

4.6 Gambaran presentase kondisi sel T47D kontrol ... 73

4.7 Gambaran presentase kondisi sel T47D yang diberi 1x IC50 EEABS ... 73

4.8 Gambaran presentase kondisi sel T47D yang diberi ½ IC50 EEABS ... 74

4.9 Gambaran presentase kondisi sel T47D yang diberi ¼ IC50 EEABS ... 74

4.10 Gambaran presentase kondisi sel T47D kombinasi EEABS dan doksorubisin ... 75

4.11 Gambaran presentase kondisi sel T47D yang diberi doksorubisin ... 75

4.12 Ekspresi Bcl-2 yang diberi berbagai perlakuan ... 78


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan umbi lapis bawang sabrang ... 92

2 Gambar tumbuhan umbi lapis bawang sabrang ... 93

3 Gambar simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 94

4 Gambar mikroskopis dari umbi lapis bawang sabrang ... 95

5 Bagan ekstraksi serbuk simplisia secara maserasi bertingkat ... 96

6 Perhitungan kadar air simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 97

7 Perhitungan kadar sari larut air simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 98

8 Perhitungan kadar sari larut etanol simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 99

9 Perhitungan kadar abu total simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 100

10 Perhitungan kadar abu tidak larut asam simplisia umbi lapis bawang sabrang ... 101

11 Perhitungan kadar air ENBS ... 102

12 Perhitungan kadar sari larut air ENBS ... 103

13 Perhitungan kadar sari larut etanol ENBS ... 104

14 Perhitungan kadar abu total ENBS ... 105

15 Perhitungan kadar abu tidak larut asam ENBS ... 106

16 Perhitungan kadar air EEABBS ... 107

17 Perhitungan kadar sari larut air EEABS ... 108

18 Perhitungan kadar sari larut etanol EEABS ... 109

19 Perhitungan kadar abu total EEABS ... 110


(16)

21 Perhitungan kadar air EEBS ... 112

22 Perhitungan kadar sari larut air EEBS ... 113

23 Perhitungan kadar sari larut etanol EEBS ... 114

24 Perhitungan kadar abu total EEBS ... 115

25 Perhitungan kadar abu tidak larut asam EEBS ... 116

26 Perhitungan persen sel hidup T47D ... 117

27 Perhitungan persen sel hidup Vero ... 119

28 Bagan pembuatan media RPMI ... 120

29 Bagan pembuatan media komplit (MK) RPMI ... 121

30 Bagan penumbuhan sel T47D dan Vero ... 122

31 Bagan panen sel T47D dan Vero ... 123

32 Bagan perhitungan sel T47D dan Vero ... 124

33 Bagan pembuatan larutan uji ... 125

34 Bagan pengujian sitotoksik sel T47D dan Vero ... 126

35 Bagan pengujian flowsitometri ... 127

36 Bagan pengujian imunositokimia ... 128

37 Sel T47D dibawah mikroskop ... 130

38 Sel Vero dibawah mikroskop ... 131

39 Mikroplate-96 sumuran dan kristal formazan ... 132

40 Hasil penentuan IC50 sel T47D dengan analisa probit SPSS 17 ... 133

41 Indeks Kombinasi (IK) ... 136

42 Hasil penentuan IC50 sel Vero dengan analisa probit SPSS 17 .... 139


(17)

(18)

DAFTAR SINGKATAN

ABCB1 ATP Binding Cassette Famili B 1

AIF Apoptosis Including Factor

Apaf-1 Apoptosis activating factor-1

ATP Adenosine-Triphosphat

Bcl-2 B cell Limphoma-2

Bcl-XL B cell Limphoma- Extra Large

BCRP Breast Cancer Resistance Protein

CAK CDK Activating Kinase

CDK Cyclin Dependent Kinase

CDKI Cyclin Dependent Kinase Inhibitor

Cdc25c Cell division cycle 25 homolog C

CI Combination Index

Cyc Cyclin

DR Death Reseptor

DMSO Dimethyl Sulfoxide

DNA Deoxiribo Nukleid Acid

Dox Doksorubisin

ENBS Ekstrak n-heksana bawang sabrang EEABS Ekstrak etilasetat bawang sabrang

EEBS Ekstrak etanol bawang sabrang

ER Estrogen Reseptor

FACS Fluorescence Activated Cell Sorting

FADD Fas-associated death domain

FBS Fetal Bovine Serum

HER-2 Human Epidermal growth factor Receptor 2

HIV Human Immunodeficiency Virus

IAP Inhibitory Apoptosis

IK Indeks Kombinasi


(19)

MDR Multi Drug Resistance

MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]

NFĸB Nuclear Factor kappa B

p21 Protein 21

p53 Protein 53

Pgp P-glikoprotein

PI Propidium Iodida

PKC Protein Kinase C

pRB Protein Retinoblastoma

PS Phosphatidylserine

RNA Ribo Nucleid Acid

ROS Reactive Oxygen Species

RPMI Roswell Park Memorial Institute

SDS Sodium Dodesil Sulfat

SI Selectivity Index

TNF Tumor Necrosis Factor

TNFR Tumor Necrosis Factor Receptor


(20)

EFEK PENGHAMBATAN SIKLUS SEL DAN PEMACUAN APOPTOSIS KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS BAWANG SABRANG

(Eleutherine bulbosa (Mill) Urb.) DAN DOKSORUBISIN

PADA SEL KANKER PAYUDARA ABSTRAK

Bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) sudah digunakan secara turun temurun untuk berbagai penyakit seperti kanker payudara dan kolon, hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol dan stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik dari ekstrak umbi lapis bawang sabrang, indek selektivitas, efek kombinasinya dengan doksorubisin, siklus sel, apoptosis dan penekanan ekspresi siklin D1 dan Bcl-2 pada sel T47D dengan metode imunositokimia.

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi bertingkat menggunakan pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, n-heksan, etilasetat dan etanol serta dilakukan skrining fitokimia dan karakterisasi terhadap simplisia dan ekstrak. Ekstrak diuji sitotoksiknya terhadap sel T47D dengan menggunakan metode MTT, indeks selektivitas, kombinasi ekstrak aktif dengan doksorubisin, siklus sel, apoptosis dan penekanan ekspresi siklin D1 dan Bcl-2 pada sel T47D dengan metode imunositokimia.

Hasil karakterisasi simplisia, ekstrak n-heksana bawang sabrang (ENBS), ekstrak etilasetat bawang sabrang (EEABS) dan ekstrak etanol bawang sabrang (EEBS) diperoleh kadar air berturut-turut 8,64%; 4,98%; 8,27% dan 9,11%; kadar sari larut air 8,52%; 1,12%; 9,51% dan 72,19%; kadar sari larut etanol 14,05%; 2,28%; 49,26% dan 81,66%; kadar abu total 2,89%; 0,34%; 0,43% dan 1,73% serta kadar abu yang tidak larut asam 0,59%; 0,06%; 0,07% dan 0,20%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak diperoleh golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, antrakuinon glikosida, tannin dan triterpenoid/ steroid.

Hasil pengujian sitotoksik larutan uji terhadap sel T47D memberikan nilai IC50 ENBS sebesar 265,023 µg/ml, EEABS 147,124 µg/ml dan EEBS 3.782,29

µg/ml. Pengujian dengan sel vero menunjukkan EEABS selektif terhadap sel T47D (IS>3). Selanjutnya EEABS dikombinasikan dengan doksorubisin terhadap sel T47D memberikan efek sinergis kuat. Konsentrasi kombinasi optimum yang memberikan efek sinergis kuat terdapat pada konsentrasi EEABS - doksorubisin 36,75 µg/ml – 1,0 µg/ml (1/4 IC50 – 1/2 IC50). EEABS dan kombinasinya dengan

doksorubisin dilakukan uji siklus sel dengan metode flowsitometri, hasilnya menghambat siklus sel pada fase G0-G1 dengan presentase 54,74% disebabkan

terjadi penekanan ekspresi siklin D1 sedangkan pengujian apoptosis menunjukkan mekanisme apoptosis dengan presentase 13,86% dikarenakan terjadi penekananan ekspresi Bcl-2.

Kata kunci: Bawang Sabrang, T47D, Vero, sitotoksik, MTT, indeks kombinasi, siklus sel, flowsitometri, apoptosis, imunositokimia, siklin D1dan Bcl-2


(21)

THE CELL CYCLE INHIBITON AND APOPTOSIS TRIGGERING EFFECTS OF THE COMBINATION OF SABRANG ONION BULBS

EXTRACT (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) AND DOXORUBICIN

AGAINST BREAST CANCER CELLS ABSTRACT

Sabrang onion bulbs (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) have been used for generations against various diseases such as breast and colon cancer, hypertension, hyperglycemia, hypercholesterolemia and stroke. This research was aimed to determine the cytotoxic effect of sabrang onion bulbs extract, its selectivity index, its effect when combined with doxorubicin, its cell cycle inhibition effect, its apoptosis triggering effect and its suppression of cyclin D1 and Bcl-2 expression in T47D cells.

Extracts preparation was done using stepwise maceration method using solvents based on polarity level, which were n-hexane, ethylacetate and ethanol, and phytochemical screening along with extracts and simplex characterization were also done. The extracts were tested for their cytoxicity against T47D cells with MTT method, their selectivity index, combination of active extracts with doxorubicin. The cell cycle inhibition effect and apoptosis triggering effect were tested using flowcytometry method, and the suppression of cyclin D1 and Bcl-2 expression was tested using immunocytochemistry method.

The result of simplex characterization, n-hexane extract of sabrang onion (NESO), ethylacetate extract of sabrang onion (EAESO) and ethanol extract of sabrang onion (EESO) were as such : water content 8.64%; 4.98%; 8.27% and 9.11%; levels of water-soluble extract

Keyword(s) : sabrang onion, T47D, Vero, cytotoxic, MTT, CI (combination index), cell cycle, flowcytometry, apoptosis, immunocytochemistry,

cyclin D1 and Bcl-2.

8.52%; 1.12%; 9,51% and 72.19%; levels of ethanol soluble extract 14.05%; 2.28%; 49.26% and 81.66%; total ash content 2.89%, 0.34%, 0.43% and 1.73% and acid insoluble ash content 0.59%; 0.06%; 0.07% and 0.20%, respectively. The phytochemical screening test results indicated that both simplex and extract contains alkaloid, flavonoid, glycoside, saponin, anthraquinone glycoside, tannin and triterpenoids/steroids. The cytotoxic test on T47D cells showed the IC50 values of NESO at 265.023 ug/ml, EAESO

147.124 ug/ml and EESO 3782.29 mg/ml. Tests using vero cells showed that EAESO was selective on T47D cells (SI >3). Furthermore, EAESO combined with doxorubicin showed strong synergistic effect. The optimal concentration combination that showed strong synergistic effect was found in the concentration of EAESO-doxorubicin 36.75 ug/ml - 1.0 ug/ml (1/4 IC50 - 1/2 IC50). The

combination of EAESO and doxorubicin inhibited the cell cycle at G0-G1 phase

with the percentage of 54.74% due to the suppression cyclin D1 expression, while the apoptosis test showed that the aforementioned combination triggered apoptosis at the percentage of 13.86% due to the suppression of Bcl-2 expression.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003).

Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker penyebab kematian terbesar di dunia diikuti kanker paru-paru, hepar dan kolon (Yaacob, et al., 2010). Data WHO tahun 2008 menunjukkan ada 1,38 juta kasus baru dan 458.000 kematian di dunia per tahun akibat kanker payudara (Globocan, 2008). Insidensi kanker payudara di Amerika pada tahun 2010 sebesar 209.060 kasus baru (Jemal, et al., 2010). Berdasarkan data American Cancer Society (2011) telah tercatat 230.480 kasus kanker payudara pada perempuan dan 2.140 kasus pada laki-laki. Sedangkan insidensinya di Indonesia 26 per 100.000 perempuan, disusul kanker serviks dengan 16 per 100.000 perempuan. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh Rumah Sakit di Indonesia (Depkes, 2013).


(23)

Salah satu model sel kanker payudara yang sering digunakan dalam penelitian adalah T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line). Sel T47D adalah model sel kanker payudara yang diketahui memiliki p53 yang telah termutasi sehingga resisten terhadap mekanisme apoptosis yaitu suatu mekanisme fisiologis pengurangan sel untuk perbaikan jaringan dan pelepasan sel yang rusak yang dapat membahayakan tubuh (Ruddon, 2007; Junedi, dkk., 2010).

Strategi terapi yang tersedia untuk mengobati kanker payudara, termasuk agen sitotoksik (kemoterapi), telah cukup banyak namun sampai saat ini belum ada pengobatan yang tepat untuk kanker payudara. Penggunaan agen kemoterapi sistemik bukan saja tidak begitu efektif namun juga tidak selektif dan sangat toksik bagi jaringan lain yang normal. Doksorubisin merupakan agen kemoterapi golongan antrasiklin yang memiliki aktivitas antikanker spektrum luas dan telah digunakan pada berbagai jenis kanker seperti kanker payudara. Penggunaan doksorubisin sebagai agen kemoterapi dibatasi oleh efek toksik terhadap jaringan normal terutama jantung dan dapat menekan sistem imun (Wattanapitayakul, et al., 2005) sehingga menjadi tantangan untuk dapat memperbaiki aplikasi klinik agen kemoterapi supaya lebih efektif. Salah satu pendekatan yang kini sedang mendapatkan perhatian adalah penggunaan kombinasi kemoterapi dimana senyawa kemoprevensi yang bersifat non-toksik atau lebih tidak toksik dikombinasikan dengan agen kemoterapi untuk meningkatkan efikasinya dengan menurunkan toksisitasnya terhadap jaringan yang normal. Dengan perspektif ini dilakukan penelitian terhadap agen-agen kemoprevensi untuk mencari kandidat yang memiliki efek sinergis dalam kombinasi dengan obat antikanker. Kombinasi kemoterapi memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan ketika diberikan


(24)

dalam bentuk agen tunggal dan bahwa kombinasi yang mengandung doksorubisin lebih efektif dibandingkan dengan regimen lain (Sharma, et al., 2004).

Bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) dikenal dengan nama bawang dayak atau bawang hantu merupakan tumbuhan khas Kalimantan Tengah. Tumbuhan ini secara turun temurun telah dipergunakan oleh masyarakat Dayak sebagai tumbuhan obat untuk berbagai jenis penyakit seperti kanker payudara dan kolon, hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol dan stroke. Penggunaan bawang sabrang dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, manisan dan dalam bentuk bubuk (powder) (Galingging, 2009).

Hasil uji aktivitas aktioksidan dari ekstrak umbi lapis bawang sabrang dapat meredam radikal bebas DPPH dengan nilai (IC50) pada menit ke 45, 50 dan

55 masing-masing sebesar 137,77, 137,62 dan 138,19 ppm (Sofwan, 2011). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat umbi lapis bawang sabrang segar memiliki nilai antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak

n-heksana, metanol, etanol dan air. Sedangkan ekstrak etanol simplisia memiliki nilai antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak n-heksana, etilasetat, metanol dan air (Alia, 2011).

Hasil penelitian menunjukan bahwa umbi lapis bawang sabrang mengandung senyawa naftakuinon dan turunannya seperti elecanacine, eleutherine, eleutherol dan eleuthernone (Hara, et al., 1997). Naftakuinon memiliki aktivitas biologis sebagai antimikroba, antiviral, antiinflamasi, antipiretik, anti jamur, efek antiproliferatif dan sitotoksik terhadap kanker kolon dan kanker serviks (Babula, et al., 2009; Alves, et al., 2003).


(25)

Ekstrak etanol bawang sabrang mempunyai efek sitotoksik terhadap kanker serviks uteri Hela dengan nilai IC50 84,027 µg/ml dan dapat menurunkan

tingkat ekspresi siklin E serta menekan tingkat ekspresi Bcl-2 dan menginduksi jalur apoptosis sel Hela (Budityastomo, 2010). Ekstrak etanol bawang sabrang mempunyai efek sitotoksik terhadap karsinoma kolon HT29 dengan nilai IC50

3,125 µg/ml dan dapat menekan p53 mutan karena kandungan senyawa triterpenoid, flavonoid, antrakuinon dan kumarin (Yusni, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Li, et al (2008), menunjukkan bahwa bawang sabrang mempunyai efek sitotoksik terhadap sel kanker kolon. Senyawa eleutherine dan elecanacin menghambat pertumbuhan kanker kolon tergantung dosis. Kedua senyawa tersebut juga menunjukkan sitotoksisitas selektif terhadap kanker kolon.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti melakukan uji aktivitas antikanker terhadap cell line T47D melalui uji sitotoksik, indek selektivitas, mekanisme penghambatan siklus sel, pemacuan apoptosis dan pengujian imunositokimia dari kombinasi bawang sabrang dan doksorubisin.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. apakah ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol umbi lapis bawang

sabrang memiliki efek sitotoksik terhadap sel T47D?

b. apakah ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang selektif terhadap sel T47D?

c. apakah ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan doksorubisin dan dapat diketahui konsentrasi optimumnya?


(26)

d. apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat menghambat siklus sel?

e. apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat memacu apoptosis?

f.apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat menekan ekspresi protein siklin D1 dan Bcl-2?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol umbi lapis bawang sabrang memiliki efek sitotoksik terhadap sel T47D.

b. ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang selektif terhadap sel T47D. c. ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang memiliki efek sinergis bila

dikombinasikan dengan doksorubisin dan dapat diketahui konsentrasi optimumnya.

d. ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat menghambat siklus sel.

e. ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat memacu apoptosis.

f.ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat menekan ekspresi protein siklin D1 dan Bcl-2.


(27)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. mengetahui apakah ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol umbi lapis bawang sabrang memiliki efek sitotoksik terhadap sel T47D.

b. mengetahui ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang selektif terhadap sel T47D.

c. mengetahui apakah ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan doksorubisin dan dapat diketahui konsentrasi optimumnya.

d. mengetahui apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat menghambat siklus sel. e. mengetahui apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi

lapis bawang sabrang dan doksorubisin dapat memacu apoptosis. f.mengetahui apakah ekstrak aktif serta kombinasi ekstrak aktif umbi lapis

bawang sabrang dan doksorubisin dapat menekan ekpresi protein siklin D1 dan Bcl-2.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi:

a. Ekstrak bawang sabrang dapat digunakan sebagai terapi

komplementer atau terapi substitusi pada pengobatan kanker payudara.

b. Dapat dilakukan budidaya dan pengembangan bawang sabrang

menjadi sediaan obat tradisional yang efektif dan selektif sebagai anti kanker.


(28)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian

Efek Sitotoksik Ekstrak

Efek sinergis, aditif dan antagonis Pemacuan apoptosis Penghambatan siklus sel Persentase Sel Hidup Indek kombinasi (IK) Persentase apoptosis Persentase siklus sel Sel T47D

Simplisia umbi lapis bawang sabrang

Karakteristik Simplisia/ ekstrak

1. Makroskopik 2. Mikroskopik 3. Kadar Air 4. Kadar abu total

5. Kadar abu tidak larut dalam asam

6. Kadar sari larut dalam air

7. Kadar sari larut dalam etanol. Skrining Fitokimia 1. Alkaloid 2. Flavonoid 3. Tanin 4. Saponin

5. Triterpenoid / Steroid 6. Glikosida

7. Glikosida Antrakinon

Esktrak n-Heksan, etilasetat, etanol umbi lapis bawang

sabrang

doksorubisin Ekstrak Aktif

Sel T47D

Sel Vero Indek selektivitas

(IS) Ekstrak n-heksana

umbi lapis bawang sabrang

Ekstrak etilasetat umbi lapis bawang

sabrang

Ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang

Efek Sitotoksik Ekstrak

Penekanan ekspresi siklin D1

dan Bcl2

Ekspresi siklin D1 dan Bcl2


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa

kimia, serta penggunaan tumbuhan.

2.1.1 Daerah tumbuh

Bawang sabrang termasuk tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis, di Jawa dipelihara sebagai tanaman hias dan di beberapa tempat tumbuh liar antara 600 hingga 1500 Meter di atas permukaan laut, kadang-kadang didapati dalam jumlah besar di pinggir-pinggir jalan yang berumput dan di dalam kebun-kebun

teh, kina dan karet (Ogata, 1995).

2.1.2. Sistematika tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan bawang sabrang menurut LIPI (2013) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Liliales

Famili : Iridaceae

Genus : Eleutherine


(30)

2.1.3 Sinonim

Nama lain Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb. adalah Eleutherine americana

(Aubl) Merr. (LIPI, 2013).

2.1.4 Nama daerah

Nama Indonesia Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb adalah bawang kapal (Sumatera); nama daerah Jawa adalah babawangan beureum, bawang sabrang, bawang siyem, brambang sabrang, luluwan sapi, teki sabrang (Ditjen POM, 1989;

Ogata, 1995).

2.1.5 Morfologi tumbuhan

Merupakan tumbuhan terna, tinggi tanaman mencapai 25-50 cm. Bunganya putih terbuka jam 5 sore dan tertutup pada jam 7 petang, umbi lapisnya berwarna merah (Wardani, 2009; Ogata, 1995). Daun tunggal, letak daun berhadapan, warna daun hijau muda, bentuk daun sangat panjang dan meruncing, tepi daun halus tanpa gerigi, pangkal daun berbentuk runcing dan ujung daun meruncing, permukaan daun atas dan bawah halus dan tulang daun sejajar. Batangnya tumbuh tegak atau merunduk. Umbinya panjang bulat telur, warna merah, tidak berbau sama sekali. Daunnya ada dua macam yaitu yang berbentuk pita dengan ujungnya yang runcing, sedangkan daun-daun lainnya berbentuk menyerupai batang, berwarna hijau, beriga, lebarnya beberapa jari. Bunga warnanya putih, terdapat pada ketiak-ketiak daun atas, dalam rumpun bunga yang terdiri dari 4 sampai 10 bunga (Wardani, 2009). Gambar umbi lapis bawang sabrang dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(31)

Gambar 2.1 Bawang sabrang (Galingging, 2009)

2.1.6 Kandungan kimia

Kandungan kimia umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, glikosida, tanin, fenolik, antrakuinon (Galingging, 2009; Banjarnahor 2010; Singarimbun, 2011). Golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, antrakuinon glikosida, tanin dan triterpenoid/steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi n-heksana adalah triterpen dan steroid. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi etilasetat adalah senyawa fenol, tanin dan flavonoid (Banjarnahon, 2010; Mierza, 2011; Subramaniam, et al., 2012).

2.1.7 Penggunaan tumbuhan

Umbi tanaman dapat mengatasi sembelit, disuria, radang usus, disentri dan luka, daunnya digunakan untuk demam, nifas dan antiemetik (Wardani, 2009; Ogata, 1995; Heyne, 1987). Selain itu umbi dapat digunakan sebagai diuretik, purgatif, mengurangi rasa nyeri (Ditjen POM, 1989); kanker, kista, prostat, diabetes, asam urat, hipertensi, gangguan pencernaan, kolesterol, gondok, bronkhitis, stamina menurun, gangguan seksual, sakit pinggang, pegal-pegal,


(32)

peluruh seni, pencahar, peluruh muntah, obat luka, disentri dan proktitis (radang porus usus). Air rebusan umbi dapat digunakan sebagai obat penyakit kuning, disentri dan radang usus (Wardani, 2009; Heyne, 1987).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap umbi lapis bawang sabrang diantaranya sebagai antimelanogenesis 50 µg/ml dan antijamur (Arung, 2009; Alves, et al., 2003), antibiofilm (Limsuwan, et al., 2008), pengujian ekstrak etanol, fraksi dan isolat murni terhadap bakteri Staphylococcus yang diisolasi dari makanan (Ifesan, et al., 2009), antioksidan (Alia, 2011; Sofwan, 2011), antibakteri (Mierza, 2011; Sirirak dan Voravuthikunchai, 2011; Subramaniam, et al., 2012), antikanker kolon (Li, et al., 2008; Yusni, 2008) dan anti kanker serviks uteri Hela (Budityastomo, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 1986) atau merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Agoes, 2007). Struktur kimia zat aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Ditjen POM, 1986). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat


(33)

Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada skala perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan

campuran antara etanol dan air (Ditjen POM, 1986).

2.2.1 Metode ekstraksi

Ada beberapa metode ekstraksi (Ditjen POM, 1986) yaitu:

a. Cara dingin

i. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, sehingga larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap


(34)

terjaga adanya derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel.

Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979):

Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan dan disaring.

ii. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh adanya kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi, dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kulalitatif pada perkolat terakhir. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak.


(35)

b. Cara panas i. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar.

ii. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada temperatur 40 - 50ºC.

iii. Infundasi

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90ºC selama waktu tertentu 15 - 20 menit).

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur 90ºC.

iv. Sokletasi

Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk


(36)

sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur.

2.3 Kanker

Menurut Franks dan Teich (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen). Paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia, radiasi dan ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003). Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar, et al., 2003).

Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel normal (Kumar, et al., 2005), antara lain sebagai berikut:

a. sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri b. sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif


(37)

d. kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker

e. sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak sebar (metastasis)

f. sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi.

2.3.1 Siklus sel

Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap

2 (G2), dan M (Mitosis) (Rang, et al., 2003). Lamanya siklus tersebut

berbeda-beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20 - 24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8 - 10 jam, fase S 6 - 8 jam, fase G2 5 jam dan

fase M 1 jam (Freshney, 2000).

Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase bergantung siklin (cyclin-dependent kinase). Aktivasi CDK memerlukan ekspresi siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar, et al., 2005).

a. Fase G1

Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh,

struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga


(38)

disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007).

b. Fase S

Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja, 2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007), menyebutkan bahwa pada akhir fase ini terbentuk 2 kromatid.

c. Fase G2

Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan protein (Nafrialdi dan Gans, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada

dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein

kinase yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator menuju fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk

perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000).


(39)

d.Fase M

Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai, et al., 1996).

Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. siklin bersama dengan kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel (G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus

sel, yakni CDK inhibitor (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001).

Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai;

(2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel

memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).


(40)

Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis, sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak terbentuk atau jika kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007).

Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

2.3.2 Apoptosis dan nekrosis

Kematian sel merupakan kehilangan irreversibel dari suatu membran plasma. Secara historis, ada tiga jenis kematian sel pada sel mamalia dengan kriteria morfologi, Type I, dikenal sebagai apoptosis. Apoptosis adalah perubahan karakteristik dalam morfologi, termasuk kondensasi kromatin (pyknosis) dan fragmentasi (karyorrhexis), perubahan minor dalam organel sitoplasma dan penyusutan sel secara keseluruhan. Pecahnya membran plasma dan pembentukan badan-badan apoptosis yang mengandung inti sel atau sitoplasma. Semua perubahan ini terjadi sebelum membran plasma lisis (Golstein, 2006).

Tipe II ditandai dengan akumulasi besar dua membran vakuola dalam sitoplasma. Kematian sel tipe III dikenal sebagai nekrosis, sering didefinisikan


(41)

secara negatif seperti kematian yang tidak memiliki ciri-ciri proses tipe I dan tipe II. Nekrosis didasarkan pada kriteria morfologi kehancuran membran plasma secara awal dan dilatasi organel sitoplasma, khususnya mitokondria (Golstein, 2006).

a. Apoptosis

Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada sel-sel kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan demikian apoptosis merupakan bagian dari sistem imun dan juga untuk mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang, et al., 2003)

Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam nucleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian sitoplasmanya menyusut. Selanjutnya terjadi pelekukan pada membran sel. Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar menuju ke lekukan-lekukan membrane sel membentuk badan apoptosis yang akan difagosit oleh makrofag (Doyle dan Griffiths, 2000; King, 2000).

Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan sitokin. Semua sinyal tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat menimbulkan respon (Lumongga, 2008).


(42)

Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel. Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008).

Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal apoptosis harus dihubungkan dengan jalur kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu: melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter protein (Lumongga, 2008).

Jalur ekstrinsik terjadi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan ligandnya, membrane menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter protein FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase ini kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzim ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzim untuk mediator pada fase eksekusi. Jalur ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan pecahnya enzim procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008).


(43)

Jalur intrinsik terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan protein antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein apoptosis yang utama adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan normal terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan oleh protein pro-apoptosi seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x menurun, permeabilitas membran mitokondria meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. Di dalam sitosol, cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis Including

Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada

keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase (Lumongga, 2008). b. Nekrosis

Nekrosis didefinisikan sebagai kematian sel yang tidak memiliki ciri-ciri seperti apoptosis dan autophagy. Nekrosis sering dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat negatif, namun nekrosis dapat mencakup tanda-tanda proses yang terkontrol seperti disfungsi mitokondria, peningkatkan generasi spesies oksigen reaktif, pengurangan ATP, proteolisis oleh calpains dan cathepsins dan kerusakan membran plasma awal. Selain itu, penghambatan spesifik protein yang terlibat dalam mengatur apoptosis atau autophagy dapat mengubah jenis kematian sel menjadi nekrosis (Golstein, 2006).


(44)

2.3.3 Kanker payudara

Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara sangat beragam, antara lain (Torosian, 2002):

a. kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh radiasi yang berlebihan

b. kegagalan pertahanan imun dalam pencegahan proses malignan pada fase awal c. faktor pertumbuhan yang abnormal

d. malfungsi DNA repairs seperti: BRCA1, BRCA2 dan p53.

Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Semua tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands). Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Dolinsky dan Kayser, 2013).


(45)

Payudara normal Kanker payudara

Gambar 2.2 Kanker Payudara (Dolinsky dan Kayser, 2013).

Faktor risiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada tidaknya riwayat keluarga menderita kanker, pernah tidaknya menderita kanker payudara, pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda (sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun), yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun dan yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3% - 10% penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1 maupun gen BRCA2 (Dolinsky dan Kayser, 2013).

Beberapa faktor yang menaikkan risiko menderita kanker payudara yang dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause), menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi minuman beralkohol 2 - 5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah menopause dan tidak berolahraga (Dolinsky dan Kayser, 2013). Perlu diingat bahwa faktor-faktor risiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan.


(46)

Seseorang tetap dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu pun faktor risiko tersebut. Menghindari faktor risiko tersebut dan deteksi awal adalah cara terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini.

Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).

Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinase 4), siklin E dan CDK2.

2.3.4 Sel T47D

Sel T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line) adalah sel yang mengekspresikan tumor yang telah termutasi pada protein p53. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan esterogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Sel ini berasal dari ductal carcinoma dan mengeksprasikan caspase 3 (Mooney, et al., 2002). Oleh karena itu sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor


(47)

2.3.5 Doksorubisin efek sampingnya dan resitensinya

Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara (Thurston dan Iliskovic, 1998). Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998; Rock, et al., 2003).

Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003).

Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang


(48)

memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005).

2.3.6 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT

Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agen-agen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik dan Stoddart, 2011).

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik dan Stoddart, 2011).

Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik dan Stoddart, 2011).

Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanool atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif


(49)

melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

2.3.7 Indeks selektivitas (IS)

Untuk memperoleh nilai Indeks selektivitas digunakan sel yang berasal dari ginjal monyet hijau afrika (Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari rasio IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih

tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas (keamanan) yang tinggi (Prayong, 2008).

2.3.8 Indeks kombinasi (IK)

Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi (ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen kemoterapi (Sharma, et al., 2004; Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat.

Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).


(50)

Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat

ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif. Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif, atau antagonis diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di bawah, pada, atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).

Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan indeks kombinasi (IK). Analisis IK menghasilkan suatu nilai parameter kuantitatif yang menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.

I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2

I adalah IK. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50 terhadap pertumbuhan sel

kanker payudara. (D)1 dan(D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk

memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama, atau lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif, atau antagonis (Zhao, et al., 2004; Reynold dan Maurer, 2005).


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat (cause and effect

relationship), dengan cara mengekspos satu atau lebih kelompok eksperimental

dan satu atau lebih kondisi eksperimen. Hasilnya dibandingkan dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan (Danim, 2002). Tahap penelitian meliputi identifikasi sampel atau bahan tumbuhan, pengumpulan dan pembuatan simplisia, pembuatan pereaksi, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak n-hexan, etilasetat dan etanol umbi lapis bawang sabrang yang dilakukan di laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengujian efek sitotoksik ekstrak n-heksan umbi lapis bawang sabrang, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol umbi lapis bawang sabrang dan doksorubisin, pengujian indeks kombinasi ekstrak paling aktif dengan doksorubisin, pengujian selektivitas terhadap sel Vero dengan metode MTT, pengujian siklus sel, pengujian apoptosis dengan metode flowsitometri dan penekanan ekspresi protein Bcl2 dan siklin D1 dengan metode imunositokimia dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas,


(52)

(BenMark Biorad), inkubator CO25% (Heraceus), FACScan flowcytometer

(Becton-Dickinson), inverted microscope (Olympus), optilab, krus porselin,

laminar air flow (LAF) (Labconco), mikropipet, flask (wadah kultur),

hemositometer, alat penghitung, neraca kasar (Home Line), neraca listrik (Vibra

AJ), oven (Memmert), penangas air (Yenaco), rotary evaporator (Haake D1),

sentrifugator, seperangkat alat penetapan kadar air, pH meter, seperangkat alat

destilasi, cawan porselen alas rata, krus porselen bertutup, desikator tanur, vortex,

96-well plate, 24-well plate dan 6-well plate.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi lapis bawang sabrang. Bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas

pro analisis, yaitu α-naftol, amonium hidroksida, asam asetat anhidrida, asam asetat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, kloralhidrat, bismut (III) nitrat, etanol, eter, etilasetat, n-heksan, hepes (Sigma), iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, petroleum eter, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, sodium hidrogen sulfat (Macalai tesque), timbal (II) asetat, toluena., air suling, dimethyl sulfoxide (DMSO) (Sigma). Sel kanker payudara T47D yang merupakan koleksi Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM, Media penumbuh Roswell Park Memorial Institute (RPMI),

Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), penisillin-streptomisin 2% (v/v)

(Gibco), dan Fungizone (Amphoterisin B) 0,5%. Selain bahan-bahan di atas juga digunakan 0,25% Tripsin-EDTA (Gibco), Phospate Buffer Saline (PBS), MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5difeniltetrazolium bromida] (Sigma), dengan


(53)

konsentrasi 5 mg/mL, sodium deodesil sulfat (SDS) dalam HCl 0,1 N, Anexin V, Triton X-100, propidium iodide (Becton Dickinson), xylol (Merc), antibodi Bcl-2 dan siklin D1(Daco).

3.2 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan dan pembuatan simplisia umbi lapis bawang sabrang.

3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah umbi lapis bawang sabrang berumur ±4 bulan (waktu panen). Bahan tumbuhan diambil dari daerah Desa simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. 3.2.3 Pembuatan simplisia umbi lapis bawang sabrang

Umbi lapis bawang sabrang yang telah dikumpulkan dilakukan sortasi basah, dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan kemudian diiris tipis setiap lapisannya dan ditimbang sebagai berat basah. Bahan ini kemudian dikeringkan di lemari pengering hingga kering, kemudian ditimbang sebagai berat kering. Bahan kemudian diserbuk dengan menggunakan blender. Simplisia dimasukkan dalam wadah plastik dan diikat, diberi etiket lalu disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya matahari.


(54)

3.3 Pembuatan Pereaksi 3.3.1 Besi (III) klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling dan volumenya

dicukupkan hingga 100 ml kemudian disaring (Ditjen POM,1989). 3.3.2 Larutan asam klorida 2N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.3.3 Timbal (II) asetat 0,4 M

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.3.4Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1989)

3.3.5Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 ml

(Ditjen POM, 1989).

3.3.6 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air suling secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).


(55)

3.3.7Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling (Ditjen POM, 1989).

3.3.8 Larutan pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml (Ditjen POM,1979).

3.3.9 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling secukupnya kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit, cukupkan dengan air suling sampai 100 ml(Ditjen POM, 1989).

3.3.10Pereaksi Liebermann-Bouchardat

Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat (Merck, 1978).

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam.

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan memperhatikan morfologi luar, warna, bentuk, ukuran, bau dan rasa dari dari umbi lapis bawang sabrang.

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap terhadap serbuk simplisia umbi lapis bawang sabrang. Sampel diletakkan diatas kaca objek yang telah


(56)

ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan cover glass (kaca penutup), kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima 10 ml.

a. Penjenuhan toluene

Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Kemudian kedalam labu tersebut dimasukkan 5 gram serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air


(57)

ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105o

3.4.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1989).

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105o

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600

C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

3.4.6 Penetapan kadar abu total

o

3.4.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

C selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan (Ditjen POM, 1989).

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total, dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam


(58)

asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan pada suhu 600 sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (Ditjen POM, 1989).

3.5 Penentuan Golongan Senyawa Kimia

Penentuan golongan senyawa kimia Skrining fitokimia dilakukan pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, glikosida antrakinon (Ditjen POM, 1989). saponin, tanin, glikosida sianogenik (Farnsworth, 1966) dan triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.5.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1989).

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g simplia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok


(1)

Lampiran 41 Indek kombinasi (IK)

I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2 I = IK

Dx = konsentrasi dari satu senyawa tunggal (IC50)

(D)1 dan (D)2 = besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama absorbansi tunggal

ug/ml EEABS ug/ml doksorubisin tunggal

73,50 0,224 0,265 0,254 1,00 0,467 0,413 0,441 kontrol sel

55,125 0,350 0,366 0,361 0,75 0,401 0,405 0,392 1,189 1,025 1,012 1,075333

36,75 0,647 0,652 0,625 0,50 0,449 0,424 0,407 kontrol media

18,38 0,669 0,653 0,613 0,25 0,388 0,359 0,355 0,14 0,15 0,159 0,150

Sel hidup tunggal

ug/ml EEABS

rata-rata ug/ml doksorubisin tunggal

rata-rata

73,50 17,61 23,34 22,13 21,03 1,00 54,28 46,13 50,35 50,25

55,125 36,62 39,03 38,28 37,98 0,75 44,32 44,92 42,96 44,06

36,75 81,44 82,19 78,12 80,58 0,50 51,56 47,79 45,22 48,19


(2)

absorbansi kombinasi dokso 1,00 dokso 0,75 dokso 0,50 dokso 0,25

73,5 0,191 0,193 0,186 0,177 0,185 0191 0,188 0,178 0,186 0,202 0,205 0,210

ug/ml 55,125 0,205 0,218 0,275 0,179 0,175 0,189 0,288 0,216 0,198 0,184 0,185 0,185

36,75 0,458 0,466 0,655 0,281 0,181 0,282 0,462 0,389 0,408 0,435 0,387 0,361

18,38 0,477 0,421 0,555 0,184 0,186 0,633 0,502 0,494 0,521 0,475 0,490 0,459

sel hidup kombinasi Dokso 1,0 dokso 0,75 dokso 0,5 dokso 0,25

EEABS 73,50 12,63 12,93 11,87 10,51 11,72 12,63 12,17 10,66 11,87 14,29 14,74 15,49

ug/ml 55,125 14,74 16,70 25,30 10,81 10,21 12,32 27,26 16,40 13,68 11,57 11,72 11,72

36,75 52,92 54,12 82,65 26,21 11,12 26,36 53,52 42,51 45,37 49,45 42,20 38,28

18,38 55,78 47,33 65,56 11,57 11,87 79,33 59,56 58,35 62,42 55,48 57,75 53,07

Dokso

EEABS 0 1,0 0,75 0,5 0,25

0 100 50,25 44,06 48,19 39,24

73,50 21,03 12,47 11,62 11,57 14,84

55,125 37,98 18,91 11,12 19,11 11,67

36,75 80,58 63,23 21,34 47,13 43,31


(3)

dokso tunggal

1,0 0,75 0,5 0,25

1,0 17,439 17,793 17,814 16,460

0,75 14,772 18,002 14,689 17,773

0,50 3,585 13,814 3,083 4,666

0,25 0,960 8,417 2,293 0,355

EEABS

73,5 55,125 36,75 18,38

73,5 104,129 104,440 104,458 103,268

55,125 101,784 104,623 101,711 104,422

36,75 85,646 100,941 91,507 92,900

18,38 87,954 96,197 86,781 88,485

IK Dokso

EEABS 1,0 0,75 0,50 0,25

73,5 0,78 0,76 0,75 0,74

55,125 0,62 0,58 0,59 0,55

36,75 0,16 0,43 0,57 0,46


(4)

Lampiran 42. Hasil penentuan IC50 sel vero dengan analisa probit SPSS 17 Confidence Limits

Probability

95% Confidence Limits for konsentrasi

95% Confidence Limits for

log(konsentrasi)a

Estimate

Lower Bound

Upper

Bound Estimate

Lower Bound

Upper Bound

PROBIT .010 2.190E34 . . 34.340 . .

.020 5.461E30 . . 30.737 . .

.030 2.826E28 . . 28.451 . .

.040 5.389E26 . . 26.731 . .

.050 2.151E25 . . 25.333 . .

.060 1.387E24 . . 24.142 . .

.070 1.253E23 . . 23.098 . .

.080 1.456E22 . . 22.163 . .

.090 2.057E21 . . 21.313 . .

.100 3.393E20 . . 20.531 . .

.150 1.953E17 . . 17.291 . .

.200 5.197E14 . . 14.716 . .

.250 3.211E12 . . 12.507 . .

.300 3.333E10 . . 10.523 . .

.350 4.836E8 . . 8.684 . .

.400 8711541.433 . . 6.940 . .

.450 178805.914 . . 5.252 . .

.500 3903.254 . . 3.591 . .

.550 85.206 . . 1.930 . .

.600 1.749 . . .243 . .

.650 .032 . . -1.502 . .

.700 .000 . . -3.340 . .

.750 .000 . . -5.324 . .

.800 .000 . . -7.533 . .

.850 .000 . . -10.108 . .

.900 .000 . . -13.348 . .

.910 .000 . . -14.130 . .

.920 .000 . . -14.980 . .

.930 .000 . . -15.915 . .

.940 .000 . . -16.959 . .

.950 .000 . . -18.150 . .

.960 .000 . . -19.549 . .

.970 .000 . . -21.268 . .

.980 .000 . . -23.554 . .

.990 .000 . . -27.158 . .


(5)

Lampiran 43. LAF (Laminar Air Flow), inkubator CO2 dan mikroskop inverted

Keterangan: Laminar Air Flow

Keterangan : Mikroskop inverted


(6)

Lampiran 44. ELISA reader dan flowsitometer

Keterangan : Elisa reader