Pembuatan Dan Karakterisasi Dekstrin Dari Pati Umbi Talas (Xanthosoma Sagittifolium (L.) Schott) Dengan Metode Katalis Asam Dan Enzimatis

(1)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI DEKSTRIN

DARI PATI UMBI TALAS (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

DENGAN METODE KATALIS ASAM DAN ENZIMATIS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SELVIA WILIANTARI

NIM 111501152

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI DEKSTRIN

DARI PATI UMBI TALAS (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

DENGAN METODE KATALIS ASAM DAN ENZIMATIS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SELVIA WILIANTARI

NIM 111501152

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI DEKSTRIN

DARI PATI UMBI TALAS (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

DENGAN METODE KATALIS ASAM DAN ENZIMATIS

OLEH:

SELVIA WILIANTARI

NIM 111501152

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 30 Mei 2015 Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt.

NIP 195409091982011001 NIP 195201171980031002

Pembimbing II, Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 195409091982011001

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 197712262008122002 NIP 195504241983031003

Dra. Azizah Nasution, M.Sc, Ph.D., Apt. NIP 195503121983032001

Medan, Juni 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan dan Karakterisasi Dekstrin dari Pati Umbi Talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan Metode Katalis Asam dan Enzimatis”. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., dan Ibu Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisaputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan bantuan dan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, serta kepada Ibu Sri Yuliasmi, S.Farm, M.Si., Apt., selaku penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Ibu Lia Laila, S.Farm., M.Sc., Apt., dan Bapak Bayu Eko Prasetyo, S. Farm., M.Sc., Apt., selaku dosen yang telah memberi arahan dan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian di Laboratorium Penelitian.


(5)

v

Penulis juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Kapten Inf Busril dan Ibunda Dra. Ernawilis, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti kepada penulis. Adikku tercinta Detia Wilian Refindani dan Satria Wilian Nofriadi serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Teman-teman terbaikku Wetcy, Hesti, Husna, Nanda, Fhatma, Tiwi, Eka, Silvia, Arie, teman-teman STF 2011 dan FKK 2011 serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2015 Penulis,

Selvia Wiliantari NIM 111501152


(6)

vi

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI DEKSTRIN DARI

PATI UMBI TALAS (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

DENGAN METODE KATALIS ASAM DAN ENZIMATIS

ABSTRAK

Latar belakang: Talas merupakan penghasil karbohidrat sehingga berpotensi sebagai subsitusi terigu dan beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan dan bahan baku industri farmasi.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pembuatan dan karakterisasi dekstrin dari pati umbi talas sebagai bahan baku pembuatan dekstrin, yang dibuat dengan metode katalis asam dan metode enzimatis.

Metode: Umbi talas dihaluskan dan didekantasi dengan akuades. Pembuatan dekstrin dilakukan dengan dua metode yaitu metode katalis asam dengan HCl 1 N dan metode enzimatis dengan enzim α-amilase. Kemudian dekstrin dikarakterisasi dan diuji persyaratan mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992. Karakterisasi meliputi rendemen, pemeriksaan warna, pengujian kualitatif dengan larutan lugol, kehalusan 80 mesh, kadar air, kadar abu, kelarutan dalam air dingin, dekstrosa ekuivalen, titik lebur, dan derajat asam.

Hasil: Hasil Penelitian menunjukkan bahwa rendemen dekstrin yang diperoleh dengan metode katalis asam adalah 41,73 % sedangkan metode enzimatis adalah 67,10 %. Pemeriksaan warna dengan metode katalis asam diperoleh dekstrin berwarna kekuning-kuningan sedangkan dengan metode enzimatis diperoleh dekstrin berwarna putih. Pengujian kualitatif dengan larutan lugol dekstrin pada metode asam dan metode enzimatis menunjukkan hasil yang sama yaitu ungu kecoklat-coklatan. Kehalusan 80 mesh dekstrin dengan metode katalis asam dan metode enzimatis berturut-turut adalah 94,7 % ± 0,06 dan 93,96 % ± 0,02. Kadar air dekstrin dengan metode katalis asam adalah 8,79 % ± 0,15 sedangkan metode enzimatis adalah 7,62 % ± 0,23. Kadar abu dekstrin dengan metode katalis asam adalah 0,45 % ± 0,02 sedangkan metode enzimatis adalah 0,42 % ± 0,04. Kelarutan dalam air dingin dekstrin dengan metode katalis asam adalah 57,47 % ± 0,25 sedangkan metode enzimatis adalah 63,09 % ± 0,1. Dekstrosa ekuivalen dekstrin dengan metode katalis asam adalah 13,65 ± 0,36 sedangkan metode enzimatis adalah 15,31 ± 0,41. Titik lebur dekstrin dengan metode katalis asam adalah 185 oC ± 0,57 sedangkan metode enzimatis adalah 182 oC ± 0,57. Derajat asam dekstrin dengan metode katalis asam adalah 2,86 ± 0,23 sedangkan metode enzimatis adalah 4,39 ± 0,4.

Kesimpulan: Hasil penelitian memperlihatkan bahwa karakterisasi dekstrin dengan metode asam dan metode enzimatis memenuhi persyaratan mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992.


(7)

vii

DEXTRIN OF TARO TUBER STARCH

(Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) PREPARATION

AND CHARACTERIZATION WITH ACID CATALYST

AND ENZYMATIC METHODS

ABSTRACT

Background: Taro produces carbohydrate, thus it has potentially as a substitute material of wheat and rice or as a diversification of food and pharmaceutical industrial raw materials.

Objective: The aim of this study was to preparation and characterization dextrin of taro tuber starch as raw material to produce dextrin, which was made by acid catalyst and enzymatic methods.

Methods: The taro tuber was mashed and decantated with distilled water. The dextrin was made by two methods, there were acid catalyst method with HCl 1 N and enzymatic method with α-amylase enzyme. Then dextrin was characterized and it’s quality requirements was tested according to the Indonesian National Standard (SNI) 01-2593-1992. The characterization included yield value, color test, qualitative test of Lugol solution, 80 mesh fineness, water content, ash content, solubility in cold water, dextrose equivalent, melting point, and acid degree.

Results: The results showed that the yield value of dextrin by acid catalyst method was 41.73 % while by the enzymatic method was 67.10 %. The color test showed that the dextrin was yellowish by acid catalyst method while the enzymatic method was white. The qualitative test of lugol solution showed similar results by acid catalyst method and enzymatic method, there was brownish purple of the dextrin. The 80 mesh fineness of the dextrin by acid catalyst and enzymatic methods showed there were 94.7 % ± 0.06 and 93.96 % ± 0.02. The water content of the dextrin by acid catalyst method was 8.79 % ± 0.15 while by enzymatic method was 7.62 % ± 0.23. The ash content of the dextrin by acid catalyst method was 0.45 % ± 0.02 meanwhile by enzymatic method was 0.42 % ± 0.04. The solubility of the dextrin in the cold water by acid catalyst method was 57.47 % ± 0.25 while by enzymatic methods was 63.09 % ± 0.1. Dextrose equivalent of the dextrin by acid catalyst method was 13.65 ± 0.36 while by enzymatic method was 15.31 ± 0.46. The melting point of the dextrin by acid catalyst method was 185 oC ± 0.57 and by enzymatic method was 182 cC ± 0.57. The acid degree of the dextrin by acid catalyst method was 2.86 ± 0.23 while by enzymatic method was 4.39 ± 0.4.

Conclusion: This research suggests that the characterization of dextrin by acid and enzymatic methods meet the quality requirements of Indonesian National Standard (SNI) 01-2593-1992.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... . vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Uraian Tumbuhan ... 8

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 9

2.1.2 Nama lain ... 9

2.1.3 Pengolahan talas ... 9

2.1.4 Kandungan gizi ... 10


(9)

ix

2.2.1 Pembuatan pati ... 13

2.3 Dekstrin ... 14

2.3.1 Hidrolisis asam ... 15

2.3.2 Enzim α-amilase ... 17

2.3.3 Penggunaan dekstrin ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Jenis Penelitian ... 21

3.3 Alat ... 21

3.4 Bahan ... 21

3.5 Pembuatan Pereaksi ... 22

3.5.1 Larutan HCl 1 N ... 22

3.5.2 Larutan Na2CO3 1 N ... 22

3.5.4 larutan lugol ... 22

3.5.5 Larutan NaOH 0,1 N ... 22

3.5.5 Larutan fenolftalein LP ... 22

3.6 Penyiapan Sampel ... 22

3.6.1 Pengambilan sampel ... 23

3.6.2 Identifikasi sampel ... 23

3.6.3 Pengolahan sampel ... 23

3.7 Metode Pembuatan Dekstrin ... 24

3.7.1 Metode katalis asam ... 24

3.7.2 Metode enzimatis ... 24

3.8 Pemeriksaan Rendemen ... 25


(10)

x

3.9.1 Pemeriksaan warna ... 25

3.9.2 Pengujian kualitatif dengan larutan lugol ... 25

3.9.2.1 Metode katalis asam ... 25

3.9.2.2 Metode enzimatis ... 25

3.9.3 Penetapan kehalusan 80 mesh ... 26

3.9.4 Penetapan kadar air ... 26

3.9.5 Penetapan kadar abu ... 26

3.9.6 Penetapan kelarutan dalam air dingin ... 27

3.9.7 Penetapan kadar dekstrosa ekuivalen (DE) ... 27

3.9.8 Pengujian titik lebur ... 28

3.9.9 Penetapan derajat asam ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Identifikasi Sampel ... 29

4.2 Rendemen ... 29

4.3 Karakteristik Dekstrin ... 32

4.3.1 Warna dekstrin ... 33

4.3.2 Pengujian kualitatif dengan larutan lugol …. ... 34

4.3.3 Kehalusan 80 mesh ... 34

4.3.4 Kadar air ... 35

4.3.5 Kadar abu ... 35

4.3.6 Kelarutan dalam air dingin ... 36

4.3.7 Kadar dekstrosa ekuivelen (DE) ... 38

4.3.8 Titik lebur ... 40

4.3.9 Derajat asam ... 40


(11)

xi

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi gizi umbi talas mentah (per 100 g) ... 11

Tabel 4.1 Orientasi metode katalis asam (HCl 1 N) ... 29

Tabel 4.2 Orientasi metode enzimatis (enzim α-amilase) ... 30


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Struktur pati ... 13 Gambar 2.2 Struktur dekstrin ... 15 Gambar 2.3 Formasi aktivitas α-amilase pada amilopektin ... 18


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) ... 47

Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott). .. 47

Lampiran 3. Oven ... 48

Lampiran 4. Autoklaf ... 48

Lampiran 5. Tanur ... 49

Lampiran 6. Orbital shaker ... 49

Lampiran 7. Melting point ... 50

Lampiran 8. pH meter ... 50

Lampiran 9. Hasil identifikasi tumbuhan LIPI ... 51

Lampiran 10. Sertifikat analisis enzim α-amilase ... 52

Lampiran 11. Skema pembuatan pati umbi talas ... 53

Lampiran 12. Skema pembuatan dekstrin metode katalis asam ... 54

Lampiran 13. Skema pembuatan dekstrin metode enzimatis ... 55

Lampiran 14. Pengujian kualitatif dengan larutan lugol pati umbi talas ... 56

Lampiran 15. Perhitungan rendemen ... 57

Lampiran 16. Warna dekstrin ... 58

Lampiran 17. Pengujian kualitatif dengan larutan lugol ... 59

Lampiran 18. Perhitungan kehalusan 80 mesh ... 60

Lampiran 19. Perhitungan kadar air ... 62

Lampiran 20. Perhitungan kadar abu ... 64

Lampiran 21. Perhitungan kelarutan dalam air dingin ... 66


(15)

xv

Lampiran 23. Hasil pengujian titik lebur ... 72 Lampiran 24. Perhitungan derajat asam ... 73


(16)

vi

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI DEKSTRIN DARI

PATI UMBI TALAS (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

DENGAN METODE KATALIS ASAM DAN ENZIMATIS

ABSTRAK

Latar belakang: Talas merupakan penghasil karbohidrat sehingga berpotensi sebagai subsitusi terigu dan beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan dan bahan baku industri farmasi.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pembuatan dan karakterisasi dekstrin dari pati umbi talas sebagai bahan baku pembuatan dekstrin, yang dibuat dengan metode katalis asam dan metode enzimatis.

Metode: Umbi talas dihaluskan dan didekantasi dengan akuades. Pembuatan dekstrin dilakukan dengan dua metode yaitu metode katalis asam dengan HCl 1 N dan metode enzimatis dengan enzim α-amilase. Kemudian dekstrin dikarakterisasi dan diuji persyaratan mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992. Karakterisasi meliputi rendemen, pemeriksaan warna, pengujian kualitatif dengan larutan lugol, kehalusan 80 mesh, kadar air, kadar abu, kelarutan dalam air dingin, dekstrosa ekuivalen, titik lebur, dan derajat asam.

Hasil: Hasil Penelitian menunjukkan bahwa rendemen dekstrin yang diperoleh dengan metode katalis asam adalah 41,73 % sedangkan metode enzimatis adalah 67,10 %. Pemeriksaan warna dengan metode katalis asam diperoleh dekstrin berwarna kekuning-kuningan sedangkan dengan metode enzimatis diperoleh dekstrin berwarna putih. Pengujian kualitatif dengan larutan lugol dekstrin pada metode asam dan metode enzimatis menunjukkan hasil yang sama yaitu ungu kecoklat-coklatan. Kehalusan 80 mesh dekstrin dengan metode katalis asam dan metode enzimatis berturut-turut adalah 94,7 % ± 0,06 dan 93,96 % ± 0,02. Kadar air dekstrin dengan metode katalis asam adalah 8,79 % ± 0,15 sedangkan metode enzimatis adalah 7,62 % ± 0,23. Kadar abu dekstrin dengan metode katalis asam adalah 0,45 % ± 0,02 sedangkan metode enzimatis adalah 0,42 % ± 0,04. Kelarutan dalam air dingin dekstrin dengan metode katalis asam adalah 57,47 % ± 0,25 sedangkan metode enzimatis adalah 63,09 % ± 0,1. Dekstrosa ekuivalen dekstrin dengan metode katalis asam adalah 13,65 ± 0,36 sedangkan metode enzimatis adalah 15,31 ± 0,41. Titik lebur dekstrin dengan metode katalis asam adalah 185 oC ± 0,57 sedangkan metode enzimatis adalah 182 oC ± 0,57. Derajat asam dekstrin dengan metode katalis asam adalah 2,86 ± 0,23 sedangkan metode enzimatis adalah 4,39 ± 0,4.

Kesimpulan: Hasil penelitian memperlihatkan bahwa karakterisasi dekstrin dengan metode asam dan metode enzimatis memenuhi persyaratan mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992.


(17)

vii

DEXTRIN OF TARO TUBER STARCH

(Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) PREPARATION

AND CHARACTERIZATION WITH ACID CATALYST

AND ENZYMATIC METHODS

ABSTRACT

Background: Taro produces carbohydrate, thus it has potentially as a substitute material of wheat and rice or as a diversification of food and pharmaceutical industrial raw materials.

Objective: The aim of this study was to preparation and characterization dextrin of taro tuber starch as raw material to produce dextrin, which was made by acid catalyst and enzymatic methods.

Methods: The taro tuber was mashed and decantated with distilled water. The dextrin was made by two methods, there were acid catalyst method with HCl 1 N and enzymatic method with α-amylase enzyme. Then dextrin was characterized and it’s quality requirements was tested according to the Indonesian National Standard (SNI) 01-2593-1992. The characterization included yield value, color test, qualitative test of Lugol solution, 80 mesh fineness, water content, ash content, solubility in cold water, dextrose equivalent, melting point, and acid degree.

Results: The results showed that the yield value of dextrin by acid catalyst method was 41.73 % while by the enzymatic method was 67.10 %. The color test showed that the dextrin was yellowish by acid catalyst method while the enzymatic method was white. The qualitative test of lugol solution showed similar results by acid catalyst method and enzymatic method, there was brownish purple of the dextrin. The 80 mesh fineness of the dextrin by acid catalyst and enzymatic methods showed there were 94.7 % ± 0.06 and 93.96 % ± 0.02. The water content of the dextrin by acid catalyst method was 8.79 % ± 0.15 while by enzymatic method was 7.62 % ± 0.23. The ash content of the dextrin by acid catalyst method was 0.45 % ± 0.02 meanwhile by enzymatic method was 0.42 % ± 0.04. The solubility of the dextrin in the cold water by acid catalyst method was 57.47 % ± 0.25 while by enzymatic methods was 63.09 % ± 0.1. Dextrose equivalent of the dextrin by acid catalyst method was 13.65 ± 0.36 while by enzymatic method was 15.31 ± 0.46. The melting point of the dextrin by acid catalyst method was 185 oC ± 0.57 and by enzymatic method was 182 cC ± 0.57. The acid degree of the dextrin by acid catalyst method was 2.86 ± 0.23 while by enzymatic method was 4.39 ± 0.4.

Conclusion: This research suggests that the characterization of dextrin by acid and enzymatic methods meet the quality requirements of Indonesian National Standard (SNI) 01-2593-1992.


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis. Negara Indonesia ini mempunyai kekayaan alam yang melimpah terutama pada jenis tanaman pangan lokal umbi-umbian, namun sampai saat ini pemanfaatan umbi belum optimal. Agar kecukupan pangan saat ini dapat terpenuhi, maka upaya yang dilakukan adalah meningkatkan produktivitas budidaya pangan dengan pemanfaatan teknologi. Salah satunya adalah bahan lokal talas (Nurcahya, 2014).

Pemanfaatan sumber pangan dari komoditas pertanian berupa umbi-umbian di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk menambah devisa negara. Tanaman umbi-umbian seperti ubi kayu dan ubi jalar sudah sering digunakan sebagai sumber pangan dan bahan baku industri. Padahal umbi-umbian lain seperti talas mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan (Ridal, 2003).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang pemanfaatan umbi kayu (tapioka) dalam pembuatan dekstrin diantaranya adalah Jati (2006) yang melakukan penelitian tentang pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi HCl terhadap nilai Dextrose Equivalen (DE) dan karakterisasi mutu pati termodifikasi dari pati tapioka dengan metode hidrolisis asam untuk mengetahui pengaruh faktor lama pemanasan, konsentrasi HCl dan interaksi antara keduanya dalam pembuatan pati termodifikasi secara metode basah (gelatinisasi) dan metode kering (penyangraian). Peneliti lainnya Ningsih (2010) melakukan penelitian tentang pembuatan dekstrin dari pati ubi kayu (Manihot esculenta) menggunakan enzim amilase dari Azospirillum sp. JG3 untuk meningkatkan kegunaan pati yang


(19)

2

lebih luas dan dikarakterisasi sesuai dengan syarat mutu dekstrin untuk industri pangan SNI 1992. Kemudian Pudiastuti dan Pratiwi (2013) juga telah melakukan penelitian tentang pembuatan dekstrin dari tepung tapioka (merk “Gunung Agung”) secara enzimatik (α-amilase dari Bacillus licheneformis) dengan pemanasan microwave sebagai pengganti pemanas konvensional dan mengkaji pengaruh konsentrasi pati dan waktu likuifaksi terhadap DE dan viskositas. Selain itu Santosa (2010) juga telah melakukan penelitian tentang hidrolisa enzimatik pati tapioka (merk “Gunung Agung”) dengan kombinasi pemanasan microwave-water bath pada pembuatan dekstrin sebagai salah satu usaha untuk mengkonversi pati tapioka menjadi dekstrin dengan ketersediaan bahan baku pati tapioka yang terpenuhi, sehingga dapat mengurangi volume impor dekstrin. Peneliti lain Triyono (2007) telah melakukan pemanfaatan jenis umbi lain yaitu ubi jalar (Ipomea batatas (L.)) untuk meningkatkan fungsional pati dari ubi jalar dengan menggunakan enzim α-amilase dari Bacillus subtilis sebagai bahan subsitusi pengolahan pangan dengan memperhatikan pengaruh pH dan konsentrasi pati yang dikarakterisasi sesuai persyaratan mutu Standar Nasioanal Indonesia (SNI). Sun, et., al (2010) juga telah melakukan penelitian tentang pembuatan dekstrin menggunakan pati jagung dan memperhatikan pengaruh suhu, waktu reaksi dan penambahan α-amilase netral dan α-amilase termostabil pada nilai dextrose equivalen (DE), yang kemudian dikarakterisasi dari morfologi, kristalografi, distribusi ukuran partikel, scanning electron microscope, X-ray difraktometer,


(20)

3

Penelitian tentang pemanfaatan umbi talas dalam pembuatan dekstrin masih terbatas, beberapa yang telah diteliti diantaranya Perwitasari (2009) yang melakukan pembuatan dekstrin sebagai bahan perekat dari pati umbi talas (Colocasia esculenta (L.)) dengan menggunakan variasi jumlah katalisator HCl dan suhu pemanasan. Kemudian Ridal (2003) telah melakukan penelitian tentang sifat fisiko-kimia tepung dan pati talas (Colocasia esculenta) dan kimpul (Xanthosoma sp) yang dikarakterisasi dan diuji penerimaan α-amilase (Bacillus licheneformis) terhadap pati talas dan kimpul. Peneliti lain Triyono (2006) melakukan upaya pemanfaatan umbi talas (Colocasia esculenta) sebagai bahan pati pada pengembangan teknologi pembuatan dekstrin menggunakan enzim α -amilase jenis fungamil (fungi) dengan variasi konsentrasi pati dan enzim yang digunakan. Penelitian-penelitian diatas umumnya menggunakan umbi talas jenis

Colocasia esculenta (L.) sebagai bahan baku pembuatan dekstrin, sementara talas jenis Xanthosoma sagittifolium (L.) pemanfaatannya masih terbatas dan memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan dekstrin.

Talas adalah umbi dari tanaman tropis yang banyak dimanfaatkan di beberapa negara karena sebagian besar bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh manusia. Talas merupakan penghasil karbohidrat sehingga berpotensi sebagai subsitusi terigu dan beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya. Talas (Xanthosoma sp) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu 85,68 %. Umbi talas kaya akan gum (musilages) yang dimanfaatkan sebagai bahan pengikat, emulsifier, dan karena mempunyai granula pati yang kecil dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengisi untuk pembuatan film polietilen yang dapat didegradasi secara


(21)

4 biologis (Ridal, 2003).

Dalam industri farmasi terdapat dua jenis pati yang sering digunakan yaitu pati alami dan pati modifikasi. Pati dalam bentuk alami (native starch) adalah pati yang dihasilkan dari sumber umbi-umbian dan belum mengalami perubahan sifat fisik dan kimia. Pati yang belum dimodifikasi mempunyai beberapa kekurangan yaitu membutuhkan waktu pemasakan yang lama (sehingga membutuhkan energi tinggi), pasta yang terbentuk keras dan tidak bening, sifatnya terlalu lengket, tidak tahan dengan perlakuan asam dan kelarutan rendah. Kendala-kedala tersebut menyebabkan pati alami penggunaannya terbatas dalam industri pangan, oleh karena itu dikembangkan teknologi untuk memodifikasi pati sehingga diperoleh pati dengan kecerahan lebih tinggi (pati lebih jernih), kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi maupun suhu rendah, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel yang terbentuk lebih lunak, granula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu dalam gelatinisasi yang lebih rendah, kelarutan tinggi, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah lebih rendah (Koswara, 2009).

Salah satu produk modifikasi pati adalah dekstrin. Pembuatan dekstrin dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode kering (penyangraian) dan metode basah. Metode kering (penyangraian) menghasilkan perubahan warna pada pati selama proses pembuatan sehingga dekstrin yang diperoleh berwarna lebih gelap. Oleh karena itu dipilih pembuatan dekstrin dengan menggunakan metode basah yang dilakukan dengan penambahan asam atau enzim. Pembuatan dekstrin dengan menggunakan katalis asam memiliki keunggulan karena prosesnya mudah, bahan baku mudah didapatkan dan murah (Jati, 2006). Sedangkan pembuatan dekstrin dengan enzim dapat dilakukan pada kondisi


(22)

5

proses yang tidak ekstrim (suhu sedang dan pH mendekati normal), tingkat konversi yang lebih tinggi dan diperoleh reaksi yang lebih spesifik (Ridal, 2003).

Dekstrin adalah polimer dekstrosa dalam bidang farmasi digunakan sebagai

diluent tablet dan kapsul, pengikat, bahan selaput gula yang berfungsi sebagai

plasticizer, perekat dan agen pengetal (thickening agent) untuk suspensi (Rowe, et al., 2009).

Dunia industri farmasi di Indonesia menggunakan dekstrin yang selama ini diimport dari luar. Kebutuhan dekstrin dalam industri farmasi dari tahun ke tahun semakin meningkat (Triyono, 2007). Volume import dekstrin Indonesia pada tahun 2007 mencapai 39.309.703 kg senilai US$ 26.209.257. Itu meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 36.747.033 kg senilai US$ 21.791.938 (Pudiastuti dan Pratiwi, 2013).

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian pembuatan dekstrin dari pati umbi talas sehingga meningkatkan pemanfaatan pati umbi talas. Kemudian dilakukan karakterisasi dekstin yang didapatkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2593-1992).

1.2 Perumusan Masalah

a. Apakah dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992 ?

b. Apakah dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode enzimatis memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992 ?


(23)

6

c. Apakah terdapat perbedaan karakterisasi dekstrin yang diperoleh dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam dan metode enzimatis ?

1.3Hipotesis

a. Dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992. b. Dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)

dengan metode enzimatis memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992. c. Terdapat perbedaan karakterisasi dekstrin yang diperoleh dari pati umbi

talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam dan metode enzimatis.

1.4Tujuan Penelitian

a. Mengetahui dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam apakah memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992.

b. Mengetahui dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode enzimatis apakah memenuhi persyaratan SNI 01-2593-1992.

c. Mengetahui apakah terdapat perbedaan karakterisasi dekstrin yang diperoleh dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam dan metode enzimatis.


(24)

7

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan teknologi formulasi khususnya dalam pembuatan bahan tambahan farmasi.


(25)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) merupakan keluarga talas yang berasal dari Amerika Tengah dan menyebar ke daerah-daerah tropika. Tanaman kimpul dapat tumbuh di hampir seluruh kepulauan di Indonesia hingga ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Talas kimpul merupakan tanaman tegak dengan pelepah berwarna hijau muda. Pelepah menyatu dengan batang dan akan terasa halus ketika diraba. Daun berwarna hijau terang dengan permukaan yang berlapis lilin dan memiliki bentuk seperti jantung (Setyawan, 2015).

Tanaman kimpul tumbuh baik di daerah tropika basah dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Umumnya tanaman kimpul akan memberikan hasil optimum pada lahan darat yang gembur. Tanaman kimpul dapat tumbuh baik di tanah yang terlindung sinar matahari. Kemampuan tanaman kimpul untuk tumbuh di tempat ideal untuk mengisi lahan kosong di pedesaan. Tanaman kimpul cocok untuk tanaman tumpang sari pada kebun-kebun kopi karena tahan terhadap lingkungan (Ridal, 2003).

Talas merupakan tanaman sekulen yaitu tanaman yang umbinya banyak mengandung air. Umbi tersebut terdiri dari umbi primer dan umbi sekunder. Kedua umbi tersebut berada dibawah permukaan tanah. Hal yang membedakan adalah umbi primer merupakan umbi induk yang memiliki bentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 15 cm, sedangkan umbi sekunder merupakan umbi yang tumbuh disekeliling umbi primer dengan ukuran yang lebih kecil. Umbi sekunder ini digunakan oleh talas untuk melakukan perkembangbiakannya secara


(26)

9

vegetatif. Umur panen umbi berkisar antara 6-18 bulan dan ditandai dengan daun yang tampak mulai menguning atau mengering (Nurcahya, 2014).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arales Famili : Araceae

Spesies : Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott (Nurcahya,2014).

2.1.2 Nama lain

Talas mempunyai beberapa nama umum yaitu Talas Belitung (Kimpul), Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo (e)’. Di beberapa negara juga dikenal dengan nama lain, seperti : Abalong (Philipina), Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaya), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol) dan Yu-tao (China) (Nurcahya, 2014).

2.1.3 Pengolahan talas

Salah satu hambatan pada produksi dan konsumsi talas adalah kandungan kristal-kristal kalsium oksalat pada umbi dan daun segar yang dapat menyebabkan rasa gatal pada kulit mulut dan tenggorokan (Rahmawati, dkk., 2012). Timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh kalsium oksalat bentuk rapida yang keluar dari sel tumbuhan, sehingga dapat melakukan kontak secara langsung dengan


(27)

10

lidah, bibir dan langit-langit mulut ketika dikunyah (Ridal, 2003). Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas. Kalsium oksalat dari persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Ion ini sangat bermanfaat untuk proses metabolisme dan untuk pertahanan internal bagian talas (Nurcahya, 2014).

Cara tradisional dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal dengan perebusan secukupnya. Selain itu dapat dilakukan dengan perendaman semalaman dalam air (Rahmawati, dkk., 2012). Langkah lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas dapat dilakukan sebagai berikut :

a) Talas dicuci sampai bersih selama 5 menit menggunakan perbandingan talas dan air (1:4) (Nurcahya, 2014).

b) Talas direndam selama 20 menit menggunakan NaCl berkadar 1 % dan talas dicuci kembali dengan air (1:4) (Nurcahya, 2014).

c) Perlakuan kimiawi dengan penambahan asam kuat (HCl) yang mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat. Reaksi antara HCl dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan CaCl2 dan asam

oksalat yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi :

2HCl (l) + CaC2O4 (S) CaCl2(s) + H2C2O4 (l) (Ridal, 2003).

2.1.4 Kandungan gizi

Talas merupakan sumber pangan yang penting karena selain merupakan sumber karbohidrat, protein dan lemak, talas juga mengandung beberapa unsur- unsur mineral dan vitamin. Sebagai pengganti nasi, talas mengandung banyak karbohidrat dan protein yang terkandung dalam umbinya, sedangkan daunnya dipergunakan sebagai sumber nabati (Nurcahya, 2014).


(28)

11

Umbi talas mengandung komponen makronutrien dan mikronutrien meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, fosfor, kalsium, besi, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C (Nurcahya, 2014).

Tabel 2.1 Komposisi gizi umbi talas mentah (per 100 g) Kandungan gizi Jumlah

Energi (kal) 98,00 Protein (g) 1,90 Lemak (g) 0,20 Karbohidrat (g) 3,70 Kalsium (mg) 28,00

Fosfor (mg) 61,00 Besi (mg) 1,00 Vitamin A (mg) 20,00 Vitamin C (mg) 4,00

Vitamin B1 (g) 0,13

Air (g) 73,00

(Turang dan Matindas, 2011). Komposisi kimia tersebut tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis varietas, usia dan tingkat kematangan dari umbi. Faktor iklim dan kesuburan tanah juga turut berperan terhadap perbedaan komposisi kimia dari umbi talas. Nilai lebih dari umbi talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Hal ini disebabkan oleh ukuran granula patinya yang cukup kecil dan patinya mengandung amilosa dalam jumlah yang cukup banyak (20-25%). Selain itu talas juga bebas dari gluten, maka pangan olahan dari talas dapat digunakan untuk diet individual yang memiliki alergi terhadap gluten (Nurcahya, 2014).


(29)

12

2.2 Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 2004).

Secara umum pati terdiri dari 20 % bagian yang larut air panas (amilosa) dan 80 % bagian yang tidak larut air panas (amilopektin). Amilosa merupakan molekul yang lurus, terdiri dari 250-300 satuan D-glukopiranosa dan dihubungkan secara seragam oleh ikatan α-1,4 glukosida. Amilopektin terdiri dari 1000 atau lebih satuan glukosa yang kebanyakan juga dihubungkan dengan hubungan α-1,4 glukosida. Namun, terdapat juga sejumlah hubungan α-1,6 glukosida yang terdapat pada titik-titik percabangan. Jumlah hubungan semacam ini terdapat kurang lebih 4 % dari seluruh jumlah hubungan atau satu untuk setiap 25 satuan glukosa (Gunawan dan Mulyani, 2010). Struktur kimia pati (Rowe, et al., 2009) ditunjukkan pada gambar 2.1 dengan n = 300-1000.


(30)

13

Gambar 2.1 Struktur pati

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen penting pembentuk struktur dasar pati, dan sangat mempengaruhi karakteristik fisiko kimia pati yang dihasilkan. Amilosa memiliki karakteristik rantai relatif lurus, struktur gel kuat, serta apabila diberi pewarna iodine akan menghasilkan warna biru. Sementara itu, amilopektin memiliki karakteristik rantai bercabang, struktur gel lembek, dan apabila diberi pewarna iodine akan menghasilkan warna coklat kemerahan (Herawati, 2012).

2.2.1 Pembuatan pati

Pembuatan pati melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, pemotongan, penghalusan, peremasan, penyaringan, pengendapan, pencucian, pengeringan, penghalusan dan pengayakan. Proses pengupasan dan pencucian bertujuan untuk membersihkan umbi dari akar, kulit dan kotoran yang melekat pada umbi tersebut. Pemotongan dimaksudkan untuk mempermudah proses penghalusan umbi, penghalusan dilakukan bertujuan untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar pati dapat keluar (Ridal, 2003).


(31)

14

Peremasan dimaksudkan untuk menyempurnakan kerusakan jaringan umbi agar pati dapat keluar dari jaringannya dengan menambahkan akuades pada proses penghalusan. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran yang sukar dihilangkan dengan pencucian dan memisahkan ampas dengan pati yang diperoleh. Pati dibiarkan mengendap selama satu malam, kemudian dilakukan pencucian dengan dengan akuades untuk mendapatkan pati yang bersih dan berwarna putih (Ridal, 2003)

Pengeringan pati basah dilakukan dengan meletakkan pati basah pada suhu ruangan hingga pati kering. Kemudian dilakukan penghalusan pati dan pengayakan untuk mendapatkan pati yang halus.

2.3 Dekstrin

Dekstrin adalah pati atau hidrolisis pati secara parsial dimodifikasi oleh pemanasan dalam keadaan kering dengan atau tanpa asam, alkali atau agen kontrol pH (USP, 2007).

Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan dengan beberapa cara, yaitu memberikan perlakuan suspensi pati dalam air dengan asam atau enzim pada kondisi tertentu, atau degradasi pati dalam bentuk kering dengan menggunakan perlakuan panas atau kombinasi antara panas dan asam atau katalis lain. Dekstrin mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n dan memiliki struktur serta

karakteristik intermediate antara pati dan dekstrosa (Herawati, 2010).

Dekstrin praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%), eter, dan propan-2-ol, sedikit larut dalam air dingin dan sangat larut dalam air panas membentuk larutan mucilaginous. Berat molekul dekstrin secara khas adalah 4.500-85.000 dan tergantung pada jumlah unit (C6H10O5)n di dalam ikatan polimer dengan n = 28-


(32)

15

525. Struktur kimia dekstrin (Rowe, et al., 2009) ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur dekstrin

2.3.1 Hidrolisis asam

Hampir semua reaksi hidrolisis memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam. Asam yang dipakai beraneka ragam mulai dari asam klorida, asam sulfat, sampai asam nitrat. Yang berpengaruh pada kecepatan reaksi adalah konsentrasi ion H+, bukan jenis asamnya. Meskipun demikian, di dalam industri umumnya dipakai asam klorida. Pati termodifikasi dengan hidrolisis asam klorida menghasilkan pati yang strukturnya lebih renggang, sehingga air lebih mudah menguap pada waktu pengeringan (Agra, dkk., 1973).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis : 1. Suhu

Suhu mempengaruhi jalannya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan reaksinya. Untuk kisaran suhu 90-100 oC, kecepatan reaksi meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 5 oC. Sedangkan secara keseluruhan, pada umumnya kecepatan reaksi hidrolisis akan meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 10 oC. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu reaksi dapat diminimalkan (Groggins, 1997).


(33)

16

Penggunaan suhu tinggi juga dapat meminimalkan penggunaan katalisator sehingga biaya operasional lebih ekonomis.

2. Katalisator

Penggunaan katalisator pada reaksi hidrolisis dilakukan pertama kali oleh Braconnot pada 1819. Beliau menghidrolisis linen (selulosa) menjadi gula fermentasi dengan menggunakan asam sulfat pekat. Setelah itu ditemukan bahwa asam dapat digunakan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi hidrolisis (Groggins, 1997). Katalisator yang biasa di gunakan berupa asam, yaitu asam klorida, asam sulfat, asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator dengan konsentrasi kecil (larutan encer) lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi.

3. Waktu

Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang di hasilkan. Hal ini disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang di hasilkan semakin tinggi (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

4. Netralisasi

Proses hidrolisis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan proses hidrolisis partial, sehingga diperlukan penghentian reaksi agar tak terjadi


(34)

17

pemecahan senyawa lebih lanjut. Proses hidrolisis diakhiri dengan menghentikan pemanasan yang dilakukan dalam autoklaf, dan menetralisasi suasana asam. Kondisi asam oleh asam klorida dinetralisasi dengan larutan natrium karbonat (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

Reaksi :

2 HCl + Na

2CO3 2 NaCl + H2O + CO2 2.3.2 Enzim α-amilase

α-amilase (α-1,4-glukan-4-glukanohidrolase) adalah enzim yang terdapat dalam getah pankreas dan ludah yang dapat menghidrolisis amilum dengan pemecahan secara acak terhadap ikatan glukosidik α-1,4. Amilosa memberikan campuran dari glukosa, maltosa sedangkan amilopektin memberikan campuran dari oligosakarida bercabang yang mengandung ikatan α-1,6 (Gunawan dan Mulyani, 2010). α-amilase merupakan endo-enzim yang memecah ikatan α-1,4 secara random atau pada ikatan yang berada ditengah rantai polimer (Ridal, 2003). α-amilase adalah jenis enzim amilase terbesar yang terkandung dalam tubuh manusia dan mamalia yang lain. Pada tubuh manusia α-amilase terdapat pada saliva dan pankreas. Selain itu, α-amilase juga dapat ditemukan pada gandum (barley), jamur (ascomycetes), dan bakteri (bacillus). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, Bacillus subtilis, Bacillus coagulans, Pseudomonas saccharophila, Aspergillus orizae, dan Aspergillus candidus

(Robyt, 1984).

Hidrolisis enzimatis memberikan beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah,


(35)

18

dihasilkan lebih sedikit abu dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Setyawan, 2015) serta dihasilkan tingkat konversi yang lebih tinggi (Ridal, 2003).

Gambar 2.3Formasi aktivitas α-amilase pada amilopektin (Meyer, 1973). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim yaitu:

a. Suhu, semua reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi katalis enzim dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi karena enzim merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu tinggi maka enzim memiliki suhu optimum dalam melakukan kerjanya. Setiap enzim memiliki temperatur optimum yang berbeda-beda sehingga diperoleh efisiensi yang maksimum (Mckee dan Mckee, 2004).

b. Nilai pH, konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi kerja enzim. Perubahan pH yang tajam dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa enzim aktif hanya pada nilai pH yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap enzim sangat bervariasi (Mckee dan Mckee, 2004).

c. Konsentrasi substrat, untuk dapat terjadi kompleks enzim substrat perlu adanya kontak antara enzim dengan subtrat pada bagian aktif enzim. Menurut Robyt (1984) α-amilase mempunyai bagian aktif anion


(36)

19

karboksilat dan kation imidazolium. Pada konsentrasi substrat rendah, bagian aktif enzim hanya menampung sedikit substrat. Bila konsentrasi substrat diperbesar, makin banyak substrat yang dapat berhubungan dengan enzim pada bagian aktif tersebut. Dengan demikian konsentrasi kompleks enzim substrat makin besar dan hal ini menyebabkan makin besarnya kecepatan reaksi. Pada suatu batas konsentrasi substrat tertentu, semua bagian aktif telah dipenuhi oleh substrat atau telah jenuh dengan substrat. Dalam keadaan ini, bertambah besarnya konsentrasi substrat tidak menyebabkan bertambah besarnya konsentrasi kompleks enzim substrat, sehingga jumlah hasil reaksinya pun tidak bertambah besar (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

d. Konsentrasi enzim, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Dalam hal ini substrat yang digunakan dalam jumlah yang berlebih (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

2.3.3 Penggunaan dekstrin

Dekstrin dapat digunakan dalam bidang farmasi dan pangan. Dalam bidang farmasi dekstrin digunakan sebagai diluent tablet dan kapsul, pengikat, bahan selaput gula yang berfungsi sebagai plasticizer, perekat dan agen pengetal (thickening agent) untuk suspensi (Rowe, et al., 2009).


(37)

20

Beberapa sediaan farmasi yang menggunakan dekstrin sebagai bahan tambahan :

1. OptiNateTM merupakan kapsul multivitamin/mineral yang diberikan sebelum/sesudah melahirkan dan tablet kombinasi dengan asam lemak esensial (Niazi, 2009a).

2. Krim hidrokortison 0,5 % dan krim hidrokortison 1 % (Niazi, 2009b).

Pada bidang pangan dekstrin dapat dimanfaatkan sebagai komponen utama maupun bahan tambahan makanan dalam koridor food ingredient yang merupakan komponen bahan makanan untuk memproduksi makanan siap saji. Dekstrin dapat berfungsi sebagai bahan pengikat dan enkapsulasi yang diaplikasikan dalam pengembang kue, perisa, rempah dan minyak (Herawati, 2012). Selain itu dekstrin dapat digunakan juga sebagai sumber karbohidrat bagi orang yang menjalani program diet karena dekstrin memiliki kandungan elektrolit yang rendah dan bebas dari laktosa dan sukrosa (Rowe, et al., 2009).


(38)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Teknologi Sediaan Farmasi III Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan sifat dari suatu keadaan secara sistematis, yaitu untuk mengetahui karakteritik dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium

(L.) Schott) dengan metode katalis asam dan metode enzimatis.

3.3 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, autoklaf (Wisd Laboratory Analytical), ayakan 80 mesh, batang pengaduk, blender (Miyako), buret (Oberol), cawan porselen, freezer (LG), hot plate stirer (Thermo Scientific Cimarec), kertas saring, klem, krus porselen, melting point (Stuart), orbital shaker (Major Science), oven (Dynamica), penangas air, penjepit tabung, pH meter (Eco Tester), saringan kain halus, statif, spatula, spot plate, tanur (Stuart), termometer, dan timbangan digital (Boeco Germany).

3.4 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi talas (Xanthosoma sagittifolium

(L.) Schott), akuades, enzim α-amilase (Sigma All-rich), etanol absolut p.a (Merck), larutan fehling A (Fluka Analytical Sigma-Aldrich), larutan fehling B (Fluka Analytical Sigma-Aldrich), HCl 1 N, indikator fenolftalein, larutan lugol,


(39)

22 Na2CO3 1 N dan NaOH 0,1 N.

3.5 Pembuatan Pereaksi

3.5.1 Larutan HCl 1 N

Sebanyak 8,5 ml larutan asam klorida P diencerkan dengan akuades hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.2 Larutan Na2CO3 1 N

Sebanyak 5,3 gram natrium karbonat dilarutkan dalam akuades hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.3 Larutan lugol

Sebanyak 5 g iod (I2) dan 10 g KI dilarutkan dalam 10 ml akuades, setelah

larut kemudian diencerkan menjadi 100 ml (SNI, 1992).

3.5.4 Larutan NaOH 0,1 N

Sebanyak 0,4 gram natrium hidroksida dilarutkan dalam akuades bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM,1979).

3.5.5 Larutan fenolftalein LP

Sebanyak 1 gram fenolftalein P dilarutkan dalam 100 ml etanol P (Ditjen POM, 1995).

3.6 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel, identifikasi sampel dan pengolahan sampel.


(40)

23

3.6.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purporsif, artinya tanpa membandingkan sampel yang diambil dengan sampel yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott), yang diperoleh di Pasar Sore Jamin Ginting yang berasal dari Tanah Karo (Berastagi), Kecamatan Medan Baru, Sumatera Utara.

3.6.2 Identifikasi sampel

Identifikasi sampel (umbi talas) dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor.

3.6.3 Pengolahan sampel

Sebanyak 8 kg umbi talas dikupas dan dicuci menggunakan air bersih. Kemudian umbi talas dipotong melintang dengan ukuran ± 1 cm, lalu dimasukkan ke dalam blender dan ditambah akuades dengan perbandingan 5L/kg. Blender hingga halus dan disaring dengan saringan kain halus sambil diperas, dipisahkan ampas umbi talas dan suspensi pati. Kemudian ditambahkan akuades ke ampas sambil diperas, lalu disaring dan uji perlakuan ini diulangi hingga didapat air sarian bening. Suspensi pati didiamkan dalam wadah hingga pati mengendap selama ± 24 jam. Setelah 24 jam bagian atas larutan yang keruh dibuang dan tambahkan sebanyak 2L/kg akuades dibiarkan selama ± 24 jam lagi. Kemudian dibuang cairan bening bagian atas dan endapan pati dikeringkan pada suhu ruangan. Pati kering yang diperoleh kemudian dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ayakan 80 mesh. Kemudian dilakukan pengujian kualitatif pati dengan larutan lugol (Ningsih, 2010). Hasil pengujian warna dengan larutan lugol


(41)

24 dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 56.

3.7 Metode Pembuatan Dekstrin

3.7.1 Metode katalis asam

Sebanyak 300 g pati ditambahkan dengan akuades hingga 1,5 L dibuat suspensi pati 20 %. Kemudian ditambahkan dengan katalis asam (HCl 1 N) 150 ml dan diaduk hingga homogen. Suspensi pati dipanaskan dalam autoklaf selama 10 menit pada suhu 110 oC. Reaksi hidrolisis dihentikan dengan menambahkan Na2CO3 1 N (217 ml) hingga didapat pH 7 dan didinginkan pada suhu ruangan.

Kemudian ditambahkan etanol absolut p.a sebanyak 300 ml (1:1) dan diaduk. Dekstrin didinginkan dalam freezer selama ± 12 jam hingga terbentuk dua lapisan. Selanjutnya disaring dan endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 3 jam, didapatkan dekstrin kasar, kemudian dekstrin dihaluskan mengunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh serta dilakukan pengujian kualitatif dengan larutan lugol. Hasil yang diperoleh adalah serbuk dekstrin (Perwitasari, 2009).

3.7.2 Metode enzimatis

Sebanyak 50 g pati ditambahkan dengan akuades hingga 250 ml di buat suspensi 20 %. Kemudian dilakukan pengecekan pH (pH=6,8). Kemudian suspensi pati dipanaskan diatas hot plate stirer pada suhu 95 oC dan diaduk hingga didapat gel bening (gelatinisasi). Selanjutnya suhu diturunkan hingga 40 oC dan kemudian tambahkan enzim α-amilase 0,025 g/50 g pati (likuifaksi). Dilakukan hidrolisis selama 24 jam sambil terus diaduk dan dilakukan pengujian kualitatif dengan larutan lugol tiap 3 jam. Enzim dirusak dengan memanaskan


(42)

25

dekstrin hingga mendidih dan dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 7 jam. Kemudian dekstrin dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ayakan 80 mesh. Hasil yang diperoleh adalah serbuk dekstrin (Ningsih, 2010).

3.8 Pemeriksaan Rendemen

Rendemen dekstrin yang diperoleh dapat dihitung dengan cara membandingkan antara berat pati yang digunakan dan berat dekstrin yang diperoleh (Ningsih, 2010).

Rendemen = �

� x 100 %

Dimana; a = berat pati yang digunakan (g) b = berat dekstrin yang diperoleh (g)

3.9 Pemeriksaan Karakteristik Dekstrin

3.9.1 Pemeriksaan warna

Pemeriksaan warna dilakukan dengan mengamati warna dekstrin putih sampai kekuning-kuningan (SNI, 1992).

3.9.2 Pengujian kualitatif dengan larutan lugol

3.9.2.1 Metode katalis asam

Sebanyak 0,5 g serbuk dekstrin dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 25 ml air suling dan ditetesi dengan larutan lugol, warna yang terjadi diamati (SNI, 1992).

3.9.2.2 Metode enzimatis


(43)

26

konsentrasi pati 20 % pada suhu 95 oC, dilanjutkan pada suhu 40 oC selama 24 jam dan dilakukan pengujian kualitatif dengan larutan lugol setiap 3 jam (Ningsih, 2010).

3.9.3 Penetapan kehalusan 80 mesh

Sebanyak 10 g serbuk dekstrin diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh. Bagian yang tertinggal dalam ayakan ditimbang (SNI, 1992).

Kehalusan 80 mesh = (100 – a) %

Dimana: a= persentase dari bagian yang tidak melewati ayakan 80 mesh

3.9.4 Penetapan kadar air

Sebanyak 2 g serbuk dekstrin dimasukkan dalam sebuah krus porselen yang telah diketahui bobotnya. Dibiarkan selama 2 jam dalam lemari pengering pada suhu 100 oC. Setelah itu didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pekerjaan ini dilakukan berulang kali selang 1 jam sampai bobot tetap (SNI, 1992).

Kadar air

=

Penyusutan bobot serbuk dekstrin (g)

Bobot serbuk dekstrin (g) X100 % 3.9.5 Penetapan kadar abu

Krus porselen kosong dipijar dan didinginkan, kemudian ditimbang sampai bobot tetap, kedalam krus ini ditimbang 2 g serbuk dekstrin diarangkan perlahan-lahan dalam tanur pada suhu 600 °C, dipijarkan sampai menjadi abu. Setelah itu krus didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap (SNI, 1992).

Kadar abu = Bobot abu (g)


(44)

27

3.9.6 Penetapan kelarutan dalam air dingin

Sebanyak 0,5 g serbuk dekstrin ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dilarutkan dengan air dalam labu ukur 50 ml sampai tanda tera. Kemudian disaring dan dipipet 10 ml, diuapkan dipenangas air. Setelah itu dipanaskan dalam lemari pengering pada suhu 100 oC selama 3 jam hingga bobot tetap (SNI, 1992).

Kelarutan dalam air dingin = a (g)

Bobot serbuk dekstrin (g)X fp x 100 %

Dimana : a = bobot kering dari 10 ml larutan fp= faktor pengenceran

3.9.7 Penetapan kadar dekstrosa ekuivalen (DE)

Nilai dekstrosa ekuivalen diawali dengan mancari nilai Fehling Factor

dengan cara 2,5 gram glukosa dilarutkan dengan akuades sampai 1000 ml lalu diambil 15 ml dan ditambahkan larutan fehling A dan B masing-masing 5 ml. campuran dididihkan kemudian dititrasi dalam keadaan mendidih dengan larutan glukosa sampai warna coklat kemerahan. Kebutuhan titran dicatat lalu Fehling Factor dihitung dengan cara:

Faktor Fehling (FF) = Kebutuhan titran (ml )x berat glukosa (g)

1000

Nilai dekstrosa ekuivalen ditentukan dengan cara : larutan dekstrin dibuat dengan konsentrasi 2,5 g/50 ml, lalu dimasukkan buret. Sebanyak 50 ml akuades ditambahkan masing-masing 5 ml larutan fehling A dan B dan 15 ml larutan glukosa. Larutan dididihkan dan dititrasi dengan larutan dekstrin sampai berwarna coklat kemerahan. Titran yang dibutuhkan dicatat dan nilai dekstrosa ekuivalen dihitung dengan cara (Ningsih, 2010) :


(45)

28

DE = FF x 100

konsentrasi larutan dekstrin (g/ml ) x kebutuhan titran (ml )

3.9.8 Pengujian titik lebur

Sebanyak 50 mg serbuk dekstrin dimasukkan ke dalam pipa kapiler. Kemudian diletakkan dalam alat melting point, atur suhu hingga mencapai 200 oC, amati serbuk dekstrin dalam pipa kapiler yang melebur melalui kaca pembesar. Catat suhu serbuk dekstrin mulai melebur.

3.9.9 Penetapan derajat asam

Sebanyak 5 g serbuk dekstrin dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dituangi 100 ml etanol absolut p.a yang terlebih dahulu dinetralkan dengan fenolftalein. Biarkan tertutup selama 24 jam, sambil kadang-kadang digoyangkan (Orbital Shaker). Setelah disaring dengan kertas saring, 50 ml saringan dititar dengan NaOH 0,1 N, dicatat volume NaOH 0,1 N yang diperlukan untuk menitar 100 g serbuk dekstrin (SNI, 1992).

Derajat asam = fp x ml titrasi x N NaOH x 100 g

bobot serbuk dekstrin (g)


(46)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel telah dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor adalah umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dari famili Araceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 51.

4.2 Rendemen

Sebelum pembuatan dekstrin dilakukan orientasi beberapa formula pembuatan dekstrin, dengan formula sebagai berikut :

Tabel 4.1 Orientasi metode katalis asam (HCl 1 N)

Variabel F1 F2 F3 F4

Konsentrasi pati 20 % 20 % 20 % 20 % HCl 1 N 15 ml 15 ml 10 ml 10 ml Suhu 110 oC 110 oC 110 oC 110 oC Waktu 10 menit 10 menit 10 menit 10 menit Na2CO3 1 N 28,7 ml 25,5 ml 14,5 ml 18,3 ml

Etanol absolut p.a - 100 ml 100 ml 100 ml Pengeringan Oven Hot plate Oven Hot plate

Hasil Dekstrin lengket Dekstrin basah Serbuk dekstrin kekuningan Serbuk dekstrin coklat

Dari Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa hasil orientasi dengan metode katalis asam (HCl 1 N) pada formula 1 (F1) diperoleh dekstrin yang lengket. Hal ini disebabkan masih terdapatnya air dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menyebabkan dekstrin dapat terhidrolisis lebih lanjut pada saat pengeringan.


(47)

30

Sedangkan pada formula 2 (F2) diperoleh dekstrin yang basah. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah HCl yang digunakan, semakin banyak jumlah katalis asam maka semakin cepat proses hidrolisis, walaupun telah dilakukan pemisahan dengan etanol absolut p.a. Pada formula 4 (F4) diperoleh serbuk dekstrin berwarna coklat dengan menggunakan HCl 1 N 10 ml dan pemisahan dengan etanol absolut p.a. Hal ini dapat disebabkan karena pengeringan dekstrin menggunakan hot plate menghasilkan panas yang tidak merata dan menghasilkan dekstrin berwarna coklat. Oleh karena itu digunakan formula 3 (F3) sebagai formula terbaik dengan diperoleh serbuk dekstrin berwarna kekuningan.

Tabel 4.2 Orientasi metode enzimatis (enzim α-amilase)

Variabel F1 F2 F3

Konsentrasi Pati 30 % 20 % 15 % Suhu 95 oC 95 oC 95 oC Enzim α-amilase 0,03 g 0,01 g 0,0075 g

Hasil Gel mengendap dekstrin tidak terbentuk Gel keruh serbuk dekstrin putih terbentuk Gel bening Serbuk dekstrin putih terbentuk Dekstrin - 13,4208 g 5,2450 g

Dari Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa hasil orientasi metode enzimatis (enzim α-amilase) pada formula 1 (F1) dekstrin tidak terbentuk karena diperoleh gel yang mengendap pada bagian dasar beaker pada saat gelatinisasi pada suhu 95 oC, sehingga penambahan enzim tidak memberikan pengaruh. Konsentrasi pati yang tinggi yaitu 30 % (30 g ad 100 ml akuades) menyebabkan gelatinisasi sempurna tidak terjadi. Endapan putih lebih banyak terbentuk pada konsentrasi pati yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena panas yang


(48)

31

diberikan tiap satuan waktu tidak cukup untuk memecah semua granula pati membentuk gelatin. Sebagian granula pati lebih dulu mengendap sebelum suhu gelatinisasi tercapai (Santosa, 2010).

Pada formula 2 (F2) merupakan formula terbaik dengan konsentrasi pati 20 % (20 g ad 100 ml akuades) karena dekstrin dapat terbentuk dan dekstrin yang diperoleh cukup banyak yaitu 13,4208 g. Sedangkan pada formula 3 (F3) dekstrin dapat terbentuk dengan konsentrasi pati 15 % (15 g ad 100 ml akuades), namun dekstrin yang dihasilkan sedikit yaitu 5,2540 g. Hal ini dikarenakan semakin sedikit konsentrasi pati yang digunakan maka semakin sedikit dekstrin yang terbentuk. Konsentrasi enzim yang digunakan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Santosa (2010) yaitu konsentrasi enzim α-amilase yang digunakan adalah 0,025 g/50 g pati.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rendemen yang berbeda pada pembuatan dekstrin dengan metode katalis asam sesuai formula 3 (F3) dan metode enzimatis sesuai formula 2 (F2). Dekstrin dengan metode katalis asam didapatkan rendemen yaitu 41,73 % dan dengan metode enzimatis yaitu 67,10 %. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 57. Rendemen yang diperoleh bergantung pada konsentrasi pati yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Triyono (2006) produk dekstrin diperoleh pada kondisi optimal konsentrasi pati 20 %.


(49)

32

4.3 Karakteristik Dekstrin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh dekstrin dengan menggunakan dua metode yaitu metode katalis asam (HCl 1 N) dan metode enzimatis (enzim α-amilase). Kemudian dilakukan karakterisasi sesuai dengan persyaratan mutu SNI 01-2593-1992, hasil dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Karakteristik dekstrin

No. Variabel mutu SNI 01-2593-1992 Dekstrin talas Katalis asam (HCl 1N) Enzimatis (α-amilase) 1. Warna Putih sampai

kekuning-kuningan

Kekuning-kuningan

Putih

2. Pengujian kualitatif dengan larutan lugol Ungu kecoklat-coklatan Ungu kecoklat-coklatan Ungu kecoklat-coklatan

3. Kehalusan 80 mesh (%)

Min 90 (lolos) 94,7 ± 0,06 93,96 ± 0,02

4. Kadar air (%) Maks 11 8,79 ± 0,15 7,62 ± 0,23 5. Kadar abu (%) Maks 0,5 0,45 ± 0,02 0,42 ± 0,04 6. Kelarutan dalam air

dingin (%)

Min 97 57,47 ± 0,25 63,09 ± 0,1

7. Dekstrosa ekuivalen

- 13,65 ± 0,36 15,31 ± 0,46

8. Pengujian Titik Lebur (oC)

- 185 ± 0,57 182 ± 0,57

9. Derajat asam (ml NaOH 0,1 N/100 g)


(50)

33

4.3.1 Warna dekstrin

Dekstrin industri pangan adalah salah satu produk hidrolisis zat pati, berwarna putih sampai kekuning-kuningan (SNI,1992). Hasil penelitian didapatkan, dekstrin talas berwarna kekuning-kuningan yang dibuat dengan metode katalis asam (HCl 1 N) dan yang dibuat dengan metode enzimatis (enzim α-amilase) berwarna putih. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 16, halaman 58. Hal ini telah sesuai dengan persyaratan mutu yang tetapkan dalam SNI 01-2593-1992. Perbedaan warna ini dapat disebabkan karena proses pembuatan dekstrin yang berbeda. Pada pembuatan dekstrin dengan metode enzimatis dilakukan pada suhu yang tidak ekstrim yaitu 40 oC, sehingga tidak terjadi penguraian pati lebih lanjut menjadi glukosa dan dapat diperoleh dekstrin berwarna putih (Ningsih, 2010).

Sedangkan pada pembuatan dekstrin dengan metode katalis asam dilakukan pada suhu yang tinggi yaitu 110 oC yang bisa menyebabkan pati lebih banyak terhidrolisis. Hal ini dapat dicegah dengan netralisasi menggunakan Na2CO3 1 N

dan pemisahan dengan etanol absolut p.a. Netralisasi dan pemisahan dapat mengurangi jumlah HCl dan air yang terdapat dalam dekstrin, sehingga mencegah hidrolisis pati lebih lanjut selama proses pengeringan. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Perwitasari dan Cahyo (2009) konversi pati menjadi dekstrin meningkat dengan bertambahnya suhu, waktu dan konsentrasi HCl yang digunakan. Namun konversi pati akan mengalami titik balik dimana konversi pati akan menurun karena semakin cepat reaksi hidrolisa pati menjadi glukosa, sehingga untuk menghasilkan dekstrin sebagai produk parsial semakin sulit.


(51)

34

4.3.2 Pengujian kualitatif dengan larutan lugol

Pengujian kualitatif dengan larutan lugol menunjukkan hasil yang sama dari pembuatan dekstrin menggunakan metode katalis asam (HCl 1 N) dan metode enzimatis (enzim α-amilase). Warna yang diperoleh adalah ungu kecoklat-coklatan hasil dapat dilihat pada Lampiran 17, halaman 59. Hal ini telah sesuai dengan persyaratan mutu yang tetapkan dalam SNI 01-2593-1992.

Warna ungu kecoklatan menandakan terdapatnya gula pereduksi dari hasil hidrolisis pati dengan metode katalis asam dan metode enzimatis. Hidrolisis ini memecah polisakarida menjadi monomer-monomer yang lebih kecil dan mempunyai sifat mereduksi. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Jati (2006), warna ungu kecoklatan yang dihasilkan menunjukkan telah terjadi pemutusan rantai polisakarida pati menjadi monomer yang lebih sederhana seperti oligosakarida dan monosakarida. Sehingga jumlah gula pereduksi meningkat dan menimbulkan warna ungu kecoklatan saat diberi larutan lugol.

4.3.3 Kehalusan 80 mesh

Kehalusan 80 mesh menunjukkan hasil yang hampir sama pada dekstrin yang dibuat dengan metode katalis asam (HCl 1 N) dan metode enzimatis (enzim α-amilase). Hasil penelitian yang diperoleh dengan metode katalis asam adalah 94,7 % ± 0,06 dan dengan metode enzimatis adalah 93,96 % ± 0,02 . Hasil ini telah sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan SNI 01-2593-1992 min 90 %. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 18, halaman 60.

Ukuran partikel yang halus dan kecil diperlukan untuk mempermudah penggunaan dekstrin. Ukuran yang seragam ini dibuat dengan cara memblender dekstrin kering yang diperoleh, kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh. Ukuran


(52)

35

partikel dekstrin yang kecil akan meningkatkan luas permukaan dekstrin sehingga meningkatkan kelarutan dekstrin. Menurut Jati (2006), semakin halus dekstrin maka semakin bagus pula mutunya karena dekstrin yang memiliki kehalusan yang tinggi akan mudah dalam penangan produksi selanjutnya.

4.3.4 Kadar air

Hasil pengujian kadar air menggunakan metode katalis asam (HCl 1 N) menunjukkan kadar air yang diperoleh lebih besar yaitu 8,79 % ± 0,15 dan dekstrin yang dibuat dengan metode enzimatis (enzim α-amilase)memiliki kadar air yang lebih rendah yaitu 7,62 % ± 0,23. Hasil ini telah sesuai dengan persyaratan mutu SNI 01-2593-1992 maks 11 %. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 62.

Kadar air yang berbeda ini disebabkan karena lama proses pengeringan yang berbeda. Pada pembuatan dekstrin dengan metode katalis asam dekstrin yang diperoleh dikeringkan dalam oven selama 3 jam sedangkan dekstrin yang diperoleh dengan metode enzimatis waktu pengeringannya lebih lama 7 jam, sehingga kadar air yang diperoleh dengan metode enzimatis lebih rendah.

Dekstrin yang bermutu baik akan memiliki kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dan menurunkan kualitas dekstrin. Dekstrin dengan kadar air yang rendah akan lebih mudah dalam penyimpanan dan aplikasinya (Jati, 2006).

4.3.5 Kadar abu

Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral yang terkandung di dalam bahan baku yaitu talas. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik (Triyono, 2006).


(53)

36

Hasil pengujian kadar abu pada dekstrin yang diperoleh dengan metode katalis asam (HCl 1 N) adalah 0,45 % ± 0,02 dan dekstrin yang diperoleh dengan metode enzimatis (enzim α-amilase) adalah 0,42 % ± 0,04. Hal ini telah sesuai dengan persyaratan mutu SNI 01-2593-1992 yaitu maks 0,5 %. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 64.

4.3.6 Kelarutan dalam air dingin

Sebelum penelitian dilakukan percobaan kelarutan air dingin pati umbi talas, diperoleh hasil kelarutan dalam air dingin adalah 3,62 % ± 0,2. Lalu dilakukan pengujian kelarutan dalam air dingin dekstrin yang dibuat dengan metode katalis asam (HCl 1 N) dan metode enzimatis (enzim α-amilase). Hasil yang diperoleh dengan metode katalis asam adalah 57,47 % ± 0,25 dan metode enzimatis adalah 63,09 % ± 0,1. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 21, halaman 66. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan kelarutan dekstrin dengan metode katalis asam dan metode enzimatis. Berdasarkan kelarutannya, dekstrin secara perlahan larut dalam air dingin dan sangat larut dalam air panas (Rowe, et al., 2009).

Modifikasi pati dengan katalis asam terjadi melalui reaksi pemutusan ikatan α-(1,4) glikosidik pati oleh katalisator HCl 1 N dengan adanya air. Sedangkan modifikasi pati dengan metode enzimatis terjadi melalui pemutusan ikatan α-(1,4) glikosidik secara random atau pada tengah rantai polimer (Ridal, 2003). Enzim α -amilase mempunyai bagian aktif anion karboksilat yang bertindak sebagai nukleofil dan kation imidazolium sebagai elektrofil yang dapat memutus ikatan α -(1,4) glikosidik (Robyt, 1984).


(54)

37

Mekanisme reaksi pembentukan dekstrin dengan katalis asam :

n = 300-1000

Pati

n = 28-525

(Humprey, 1979). Mekanisme reaksi pembentukan dekstrin dengan enzim α-amilase :

+ H2O + α-amilase

n = 300-1000

Pati

n = 28-525

(Robyt, 1984). Pemutusan ikatan α-(1,4) glikosidik ini telah menghasilkan monomer yang sederhana sehingga dapat meningkatkan kelarutannya. Selain itu banyaknya

HCl

Dekstrin


(55)

38

jumlah monomer yang dihasilkan bergantung pada besarnya konsentasi asam dan jumlah enzim yang digunakan. Semakin tinggi konsentasi asam dan enzim yang digunakan maka semakin cepat reaksi hidrolisnya dan semakin banyak pula monomer yang dihasilkan (Jati, 2006).

4.3.7 Kadar dekstrosa ekuivalen (DE)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai dekstrosa ekuivalen (DE) yang berbeda dari dekstrin yang diperoleh dengan metode katalis asam (HCl 1N) dan metode enzimatis (enzim α-amilase). Nilai DE dengan metode katalis asam lebih rendah yaitu 13,65 ± 0,36 dan dengan metode enzimatis lebih besar yaitu 15,31 ± 0,46. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 22, halaman 69.

Nilai DE yang berbeda dapat disebabkan karena enzim α-amilase merupakan endo-enzim yang dapat memecah ikatan α-(1,4) secara random atau pada ikatan yang berada ditengah rantai polimer. Sehingga kerja enzim α-amilase lebih spesifik dalam menghidrolisis pati umbi talas menjadi monomer sederhana dengan meningkatnya jumlah gula pereduksi. Sedangkan metode katalis asam bekerja secara acak dalam menghidrolisis pati umbi talas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dekstrin adalah konsentrasi pati, konsentrasi asam, aktivitas enzim dan waktu pembuatan. Konsentrasi pati yang digunakan berpengaruh pada banyaknya pati yang dapat dikonversikan menjadi dekstrin oleh asam dan enzim. Berdasarkan hasil penelitian konsentrasi pati optimum untuk pembuatan dekstrin adalah 20 %. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Santosa (2010) yang menyatakan konsentrasi suspensi pati dalam air dapat dinyatakan sebagai perbandingan mol reaktan. Pada konsentrasi rendah, perbandingan mol air terhadap mol pati tinggi.


(56)

39

Kecenderungan reaksi bergeser ke kanan lebih besar jika dibandingkan dengan konsentrasi tinggi. Dekstrin yang terbentuk lebih banyak, sehingga DE yang diperoleh lebih besar.

Namun, pada suatu batas konsentrasi pati tertentu, semua bagian aktif enzim telah dipenuhi oleh pati atau telah jenuh oleh pati. Dalam keadaan ini bertambahnya konsentrasi pati tidak menyebabkan bertambah besarnya konsentrasi kompleks enzim pati, sehingga jumlah hasil reaksinya pun tidak bertambah besar (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

Besarnya nilai DE yang dihasilkan tergantung pada konsentrasi asam yang digunakan. Semakin besar konsentrasi asam maka semakin cepat reaksi hidrolisis yang terjadi. Dalam penelitian digunakan konsentrasi HCl 1 N sebagai konsentrasi optimum asam dalam menghidrolisi pati umbi talas. Hal ini telah sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Perwitasari dan Cahyo (2009), konversi dekstrin yang dihasilkan meningkat pada konsentrasi HCl 1 N, kemudian akan menurun dengan konsentrasi yang lebih pekat (2N).

Aktivitas enzim dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, dan pH aktif enzim. Kecepatan suatu reaksi menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada konsentrasi pati tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Pada suhu rendah reaksi kimia berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat. Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya kerusakan enzim. Oleh karena itu, pembuatan dekstrin dengan metode enzimatis (enzim α-amilase) dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 40 oC untuk mencegah rusaknya enzim akibat pemanasan. pH optimum enzim amilase adalah


(57)

40 5,6-7,2 (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

Semakin lama waktu pembuatan maka semakin banyak pati umbi talas yang dikonversikan menjadi monomer yang lebih sederhana, sehingga jumlah gula pereduksi akan meningkat dan nilai DE meningkat. Nilai DE merupakan indikator penting untuk mengontrol karakteristik dari produk dekstrin. DE material yang tinggi secara umum menunjukkan pencoklatan, higroskopisitas, rasa manis dan kelarutan, sementara material yang DE nya rendah digunakan sebagai kontrol viskositas, perekat atau bahan pembentuk lapisan film (Sun, et al., 2010).

4.3.8 Titik lebur

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh titik lebur dekstrin dengan metode katalis asam (HCl 1 N) adalah 185 oC ± 0,57 dan metode enzimatis (enzim α -amilase) adalah 182 oC ± 0,57. Titik lebur yang diperoleh ini belum memenuhi titik lebur dekstrin yaitu 178 oC (Rowe, et al., 2009). Perbedaan nilai titik lebur dapat disebabkan karena jumlah gula pereduksi (dekstrosa ekuivalen) yang berbeda karena dekstrin yang diperoleh belum murni sebagai bahan tambahan farmasi.

Titik lebur senyawa murni padat adalah salah satu diantara parameter fisika khas yang bersama-sama dengan parameter lainnya dapat digunakan untuk konfirmasi identitas (Satiadarma, dkk., 2004). Hasil dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 72.

4.3.9 Derajat asam

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan derajat asam pada dekstrin yang diperoleh dengan metode katalis asam (HCl 1 N) adalah 2,86 ± 0,23 dan yang diperoleh dengan metode enzimatis (enzim α-amilase) adalah 4,39 ± 0,4. Hal ini


(58)

41

telah sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan SNI 01-2593-1992 dengan maks 5. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 24, halaman 73.

Hal ini dapat disebabkan karena pada pembuatan dekstrin dengan metode enzimatis dilakukan pada pH yang lebih rendah yaitu 6,8, sehingga derajat asam yang diperoleh dengan metode enzimatis lebih tinggi. Sedangkan pada metode katalis asam dilakukan penetralan dengan Na2CO3 1 N sampai diperoleh pH 7.

Sehingga derajat asam yang diperoleh dengan metode katalis asam lebih rendah. Spesifikasi pH dekstrin adalah 2-8 (Rowe, et al., 2009).

Menurut Jati (2006) derajat asam menyatakan seberapa besar kandungan asam yang terkandung didalam bahan. Semakin besar kandungan asamnya maka semakin rendah pula pH-nya. Derajat asam sangat ditentukan oleh teknik penetralan asam yang dilakukan.


(59)

42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam (HCl 1 N) memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992. Rendemen yang diperoleh yaitu 41,73 %, warna dekstrin kekuning-kuningan, warna dengan larutan lugol ungu kecoklat-coklatan, kehalusan 80 mesh 94,7 % ± 0,06, kadar air 8,79 % ± 0,15, kadar abu 0,45 % ± 0,02, kelarutan dalam air dingin 57,47 % ± 0,25, dekstrosa ekuivalen 13,65 ± 0,36, titik lebur 185 oC ± 0,57 dan derajat asam 2,86 ± 0,23.

b. Dekstrin dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode enzimatis (enzim α-amilase) memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2593-1992. Rendemen yang diperoleh yaitu 67,10 %, warna dekstrin putih, warna dengan larutan lugol ungu kecoklat-coklatan, kehalusan 80 mesh 93,96 % ± 0,02, kadar air 7,62 % ± 0,23, kadar abu 0,42 % ± 0,04, kelarutan dalam air dingin 63,09 % ± 0,1, dekstrosa ekuivalen 15,31 ± 0,46, titik lebur 182 oC ± 0,57, dan derajat asam 4,39 ± 0,4.

c. Terdapat perbedaan dekstrin yang diperoleh dari pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) dengan metode katalis asam dan metode enzimatis yaitu rendemen, warna dekstrin, kehalusan 80 mesh, kadar air, kadar abu, kelarutan dalam air dingin, dekstrosa ekuivalen, titik lebur dan derajat asam.


(60)

43

5.2 Saran

a. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memperhatikan umur umbi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan dekstrin.

b. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan pembuatan dekstrin yang lebih murni sehingga dapat digunakan sebagai bahan tambahan farmasi dan sesuai persyaratan Farmakope Indonesia, USP dan lain-lain.


(61)

44

DAFTAR PUSTAKA

Agra, I.B., Warnijati, S., dan Pujianto, B. (1973). Hidrolisa Pati Ketela Rambat pada Suhu Lebih dari 100 oC. Forum Teknik, 3. Di dalam Lubis, R.M. (2012). Hidrolisis Pati Sukun dengan Katalisator H2SO4 untuk Pembuatan

Perekat. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 9 (2) : 63.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 748.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 1212, 1157.

Gunawan, D., dan Mulyani, S. (2010). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 38, 39.

Groggins, P.H. (1997). Unit Processes in Organic Synthesis 5th edition. New Delhi : Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Hal. 751-783. Herawati, H. (2012). Teknologi Proses Produksi Food Ingredient dari Tapioka

Termodifikasi. Jurnal Litbang Pertanian. 31 (2) : 69, 73, 74, 75.

Humprey, A. E. (1979). The Hidrolysis of Cellulosis Material of Useful Product. 181: 25. Di dalam Jati, P.W. (2006). Pengaruh Waktu Hidrolisis Dan Konsentrasi HCl Terhadap Nilai Dextrose Equivalent (DE) Dan Karakterisasi Mutu Pati Termodifikasi Dari Pati Tapioka Dengan Metode Hidrolisis Asam. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 10.

Jati, P.W. (2006). Pengaruh Waktu Hidrolisis Dan Konsentrasi HCl Terhadap Nilai Dextrose Equivalent (DE) Dan Karakterisasi Mutu Pati Termodifikasi Dari Pati Tapioka Dengan Metode Hidrolisis Asam. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 1, 10, 27, 49, 56.

Koswara, S. (2009). Teknologi Modifikasi Pati.

McKee, T., dan McKee, J.R. (2004). Biochemistry: The Moleculer Basis of Life,

3th Edition. New York : McGraww-Hill. Hal. 188

Meyer, L.H. (1973). Food Chemistry. New Delhi : Affiliated East-West Press PVT. Hal. 78.

Niazi, S.K. (2009)a. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations: Compressed Solid Products 2nd Edition Volume 1. New York : Informa Healthcare USA, Inc. Hal. 585.


(62)

45

Niazi, S.K. (2009)b. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations: Semisolid Products 2nd Edition Volume 4. New York : Informa Healthcare USA, Inc. Hal. 77.

Ningsih, D.R., Asnani, A., dan Fantoni, A. (2010). Pembuatan Dekstrin Dari Pati Ubi Kayu Menggunakan Enzim Amilase dari Azospirillum sp. JG3 Dan Karakterisasinya. Molekul. 5 (1) : 16, 17.

Nurcahya, H. (2014). Budidaya dan Cara Olah Talas Untuk Makanan dan Obat. Yogyakarta. Pustaka Baru Press. Hal. 1 - 21.

Perwitasari, D.S., dan Cahyo, A. (2009). Pembuatan Dekstrin Sebagai Bahan Perekat Dari Hidrolisis Pati Umbi Talas Dengan Katalisator HCl.

Chemical Engineering Seminar Soebardjo Brotohardjono. 4: 4, 6, 7. Poedjiadi, A., dan Supriyanti, T. (2009). Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI

Press. Hal. 158 - 163.

Pudiastuti, L., dan Pratiwi, T. (2013). Pembuatan Dekstrin dari Tepung Tapioka Secara Enzimatik dengan Pemanasan Microwave. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2 (2) : 170, 173.

Rahmawati, W., Kusumastuti, Y.A., dan Aryanti, N. (2012). Karakterisasi Pati Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) Sebagai Sumber Pati Industri di Indonesia. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 1 (1) : 347-348.

Ridal, S. (2003). Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung dan Pati Talas (Colocasia esculenta) dan Kimpul (Xanthosoma sp.) dan Uji Penerimaan α-amilase terhadap Patinya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 1 - 33.

Robyt, J.F. (1984). Enzymes In The Hydrolysis and Synthesis of Starch. Disunting oleh Whistler, R.L., Bemiller, J.N., dan Paschall, E.F. London : Academic Press. Hal. 89, 105.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press. Hal. 220, 221, 223, 685.

Santosa, H. (2010). Hidrolisis Enzimatik Pati Tapioka Dengan Kombinasi Pemanas Mikrowave-Water Bath Pada Pembuatan Dekstrin. Momentum. 6

(2) : 31-33.

Satiadarma, K., Mulja, M., Tjahjono, D.H., dan Kartasasmita, R.E. (2004). Asas Pengembangan Prosedur Analisis. Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 54.


(63)

46

Setyawan, B. (2015). Budidaya Umbi-umbian Padat Nutrisi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press. Hal. 70-71.

Sun, J., Li, X., Zeng, J., Liu, B., dan Li, G. (2010). Characterization Of Dextrin Prepared By Common Neutral And Thermostable α-Amilases. Journal of Food Processing and Preservation. 34 : 622.

Standar Nasional Indonesia. (1992). Dekstrin Industri Pangan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.

Turang, A.C., dan Matindas, L.A. (2011). Mengenal Tanaman Talas/Bete (bhs :

Minahasa) dan Kegunaannya Bagi Manusia.

pertanian.go.id. Diakses 27 April 2015.

Triyono, A. (2006). Upaya Memanfaatkan Umbi Talas (Colocasia esculenta) Sebagai Sumber Bahan Pati Pada Pengembangan Teknologi Pembuatan Dekstrin. Prosiding Seminar Nasional Iptek Solusi Kemandirian Bangsa. 98, 99.

Triyono, A. (2007). Peningkatan Fungsional Pati dari Ubi Jalar (Ipomea batatas

L.) dengan enzim α-amilase (Bacillus subtilis) Sebagai Bahan Substitusi Pengolahan Pangan. Jurnal Sains MIPA. 13 (1) : 60-61.

USP 30-NF 25. (2007). United States Pharmacopeia and The National Formulary. Rockville (MD): The United States Pharmacopeial Convention. Hal. 1109.

Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 27.


(64)

47

LAMPIRAN

Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott)


(65)

48

Lampiran 3. Oven


(66)

49

Lampiran 5. Tanur


(67)

50

Lampiran 7. Melting point


(68)

51


(69)

52


(1)

69

Lampiran 22. Perhitungan kadar dekstrosa ekuivalen (DE)

Kebutuhan titran : 10,1 ml Berat glukosa : 2,5 g

Faktor Fehling (FF) = 10,1 ml x 2.5 gram

1000

=

0,02525

a. Secara metode katalis asam

1. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,6 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,6 ml

=

14,02

2. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,7 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,7 ml

=

13,65

Faktor Fehling (FF) = Kebutuhan titran (ml )x berat glukosa (g)

1000

DE = FF X 100


(2)

70 Lampiran 22. (Lanjutan)

3. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,8 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,8 ml

=

13,29

DE rata-rata = 14,02 + 13,65 + 13,29

3 =13,65

b. Secara metode enzimatis

1. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,2 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,2 ml

=

15,78

2. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,3 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,3 ml


(3)

71 Lampiran 22. (Lanjutan)

3. FF : 0,02525

Konsentrasi pati : 2,5 g/50 ml Kebutuhan titran : 3,4 ml

DE = 0,02525 x 2,5 g100

50 mlx 3,4 ml

=

14,85

DE rata-rata = 15,78 + 15,30 + 14,85


(4)

72 Lampiran 23. Hasil pengujian titik lebur

a. Secara metode katalis asam

1. Titik lebur serbuk dekstrin = 184 oC 2. Titik lebur serbuk dekstrin = 185 oC 3. Titik lebur serbuk dekstrin = 186 oC

Titik lebur dekstrin rata-rata = (184 + 185 + 186)

3 = 185

o C

Sebelum Sesudah

b. Secara metode enzimatis

1. Titik lebur serbuk dekstrin = 182 oC 2. Titik lebur serbuk dekstrin = 182 oC 3. Titik lebur serbuk dekstrin = 183 oC

Titik lebur dekstrin rata-rata = (182 + 182 + 183)

3 = 182

o C


(5)

73 Lampiran 24. Perhitungan derajat asam

Dimana : fp = faktor pengenceran = 100/50 ml = 2

a. Secara metode katalis asam 1. Bobot serbuk dekstrin : 5,0052 g

Hasil titrasi : 0,75 ml

Derajat asam = 2 x 0,75 ml x 0,1 N x 100 g

5,0052 g = 2,99 2. Bobot serbuk dekstrin : 5,0078 g

Hasil titrasi : 0,65 ml

Derajat asam = 2 x 0,65 ml x 0,1 N x 100 g

5,0078 g = 2,59 3. Bobot serbuk dekstrin : 5,0081 g

Hasil titrasi : 0,75 ml

Derajat asam = 2 x 0,75 ml x 0,1 N x 100 g

5,0081 g = 2,99

Derajat asam rata-rata = 2,99 + 2,59 + 2,99

3 = 2,86

Derajat asam = fp x ml titrasi x N NaOH x 100 g


(6)

74 Lampiran 24. (Lanjutan)

b. Secara metode enzimatis 1. Bobot serbuk dekstrin : 5,0042 g

Hasil titrasi : 1 ml

Derajat asam = 2 x 1 ml x 0,1 N x 100 g

5,0042 g = 3,99 2. Bobot serbuk dekstrin : 5,0092 g

Hasil titrasi : 1,1 ml

Derajat asam = 2 x 1,1 ml x 0,1 N x 100 g

5,0092 g = 4,39 3. Bobot serbuk dekstrin : 5,0003 g

Hasil titrasi : 1,2 ml

Derajat asam = 2 x 1,2 ml x 0,1 N x 100 g

5,0003 g = 4,79

Derajat asam rata-rata = 3,99 + 4,39 + 4,79