Efek Imunostimulator Ekstrak Etanol Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume.) terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

(1)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL UMBI

KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume)

TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS

TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI

SEL IMUN MENCIT JANTAN

SKRIPSI

OLEH:

MUAMMAR ALFAROUQ

NIM 060804052

`

PROGRAM SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL UMBI

KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume)

TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS

TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI

SEL IMUN MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MUAMMAR ALFAROUQ

NIM 060804052

PROGRAM SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL UMBI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume) TERHADAP

RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

OLEH:

MUAMMAR ALFAROUQ NIM 060804052

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal : Juni 2012

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

NIP 195301011983031004 NIP 195311281983031002

Pembimbing II, Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 195301011983031004

Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt.

NIP 195008221974121002 Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt.

NIP 194909101980031002

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001

Medan, Juni 2012 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume.)

terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., dan Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan banyak waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt., Bapak Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt., dan Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., selaku penguji yang telah memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Juga kepada Ibu Dra. Siti Nurbaya, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi USU.

Penulis mengucapkan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga kepada Ayahanda Marhadenis Nasution dan Ibunda Arnof Yerni tercinta atas


(5)

segala-galanya, juga kepada kedua adik penulis Maulana Chalid Albanna dan Fatiya Kamila Hanoum atas doa dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para sahabat dan rekan-rekan seperjuangan angkatan 2006 : Yogi, Rico, Azhar, Aulia, Hendra, Gokman, Rian, Roni, Ari, Jon, Jandri, juga kepada semua orang di Laboratorium Farmakologi Farmasi : Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt, Ibu Marianne, M.Si., Apt, Abangnda Imam Bagus Sumantri, M.Si, Apt, Dadang Irfan Husori., Apt, dan Abdi Wira Septama, M.Sc serta adik-adik asisten Puji, Yani, Aristo, Meliza, Fany, atas semua dukungan dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu farmasi.

Medan, Juni 2012 Penulis,


(6)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL UMBI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume) TERHADAP

RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan agen-agen penyebab infeksi, seperti mikroorganisme patogen. Dalam keadaan sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting agar sistem imun tetap bekerja dengan maksimal. Peningkatan sistem imun dapat dilakukan dengan menggunakan imunomodulator, khususnya yang bersifat imunostimulan.

Menurut Wagner (1990), terdapat dua kelas senyawa yang memiliki aktivitas imunostimulasi potensial. Kelas pertama terdiri dari senyawa-senyawa alkaloid, terpenoid, kuinon dan senyawa fenolik sederhana, sedangkan kelas kedua terdiri dari polisakarida, peptida, glikoprotein dan nukleotida. Tumbuhan keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume), suku Araceae, sudah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat. Berdasarkan hasil skrining fitokimia oleh Nasution (2010) dan Nobakht et al., (2007), diketahui keladi tikus mengandung senyawa alkaloid dan triterpenoid, sehingga diduga umbi keladi tikus memiliki aktivitas stimulasi terhadap sistem imun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun pada mencit jantan.

Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak etanol umbi keladi tikus diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif dan sel darah merah domba (Ovis aries) digunakan sebagai antigen.

Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan ANAVA satu arah, pemberian ekstrak umbi keladi tikus diketahui meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi secara signifikan terhadap kelompok kontrol (p<0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak umbi keladi tikus mempunyai efek imunostimulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Kata kunci: imunostimulator, respon hipersensitivitas tipe lambat, titer antibodi, umbi keladi tikus


(7)

THE IMMUNOSTIMULATORY EFFECT OF RODENT TUBER (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume) ETHANOLIC EXTRACT

TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY RESPONSE AND IMMUNITY CELLS ANTIBODY TITER OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system in humans holds an important key role in maintaining the body condition from the invasion of infectious agents, such as pathogenic microorganisms. In the event where the immune system is unable to work adequately, the improvement of the immune system becomes very important to keep it working in maximal condition. The improvement of the immune system can be achieved by using immunomodulatory agents, especially those with immunostimulatory properties.

According to Wagner (1990), there are two class of compounds with potential immunostimulatory activity. The first consists of alkaloid compounds, terpenoids, quinones, and simple phenolic compounds, while the second class consists of polysaccharides, peptides, glycoproteins and nucleotides. Rodent tuber plant (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume), fam. Araceae, is widely used in traditional medicine. Based of the result of pythochemical screening by Nasution (2010) and Nobakht et al., (2007), rodent tuber was found to contains alkaloids and triterpenoids, therefore it is suspected the tuber of the plant has stimmulation activity to the immune system. The objective of this study was to observe the immunostimulatory effect of the ethanolic extract of rodent tuber to delayed type hypersensitivity response and immunity cells of male mice.

In this study, the immunostimulatory effect test of rodent tuber ethanolic extract was conducted to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immunity cells of male mice. The rodent tuber ethanolic extract was administered orally with the doses of 100 mg/kg, 200 mg/kg, and 400 mg/kg. Cyclophosphamide with the dose of 50 mg/kg was used as positive control, 1% CMC suspension was used as negative control and sheep (Ovis aries) red blood cells was used as antigens

Based on the result of statistical test using One Way-ANOVA, the administration of rodent tuber ethanolic extract was found to increase the delayed-type hypersensitivity response and antibody titer significantly against the control group (p<0,05). Thus, it is concluded that the ethanolic extract of rodent tuber has immunostimulatory effect to delayed type hypersensitivity response and immunity cells antibody titer of male mice.

Keyword(s): immunostimulatory, delayed type hypersensitivity response, antibody titer, rodent tuber


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.6. Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Uraian Tumbuhan... 6

2.1.1. Sistematika Tumbuhan ... 6

2.1.2. Sinonim ... 6


(9)

2.1.4. Nama Asing ... 6

2.1.5. Habitat dan Penyebaran ... 7

2.1.6. Morfologi ... 7

2.1.7. Kandungan Kimia ... 7

2.1.8. Khasiat Tumbuhan ... 7

2.2. Ekstraksi ... 7

2.3. Metode-Metode Ekstraksi... 8

2.4. Sistem Imun ... 10

2.4.1. Respon Imun Nonspesifik ... 11

2.4.2. Respon Imun Spesifik ... 12

2.4.3. Imunomodulator ... 17

2.4.4. Siklofosfamida ... 18

2.4.5. Metode Pengujian Efek Imunomodulator ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1. Alat dan Bahan ... 20

3.1.1. Alat-alat ... 20

3.1.2. Bahan-bahan ... 21

3.1.3. Hewan Percobaan ... 21

3.2. Penyiapan Sampel ... 21

3.3. Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 22

3.3.1. Pemeriksaan Makroskopik ... 22

3.3.2. Pemeriksaan Mikroskopik ... 22

3.3.3. Penetapan Kadar Air Simplisia ... 22


(10)

3.3.5. Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol ... 23

3.3.6. Penetapan Kadar Abu Total ... 24

3.3.7. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 24

3.4. Pembuatan Ekstrak Etanol Umbi Keladi Tikus ... 25

3.5. Uji Efek Imunomodulator ... 25

3.5.1. Penyiapan Hewan Percobaan ... 25

3.5.2. Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, Larutan Penyangga dan Antigen ... 26

3.5.2.1. Penyiapan CMC 1% ... 26

3.5.2.2. Penyiapan Suspensi Siklofosfamida 0,5% .. 26

3.5.2.3. Penyiapan Suspensi Ekstrak Umbi Keladi Tikus 2% ... 27

3.5.2.4. Penyiapan Phospate Buffered Saline ... 27

3.5.2.5. Penyiapan Sel Darah Merah Domba ... 27

3.5.3. Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 28

3.5.4. Uji Titer Antibodi ... 29

3.6. Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Simplisia dan Ekstrak ... 31

4.2. Pengujian Efek Imunomodulator ... 32

4.2.1. Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 35

4.2.2. Titer Antibodi ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1. Kesimpulan ... 42


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 43 LAMPIRAN ... 46


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 32 Tabel 4.2. Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5 Gambar 4.1. Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai

Perlakuan (Rerata ±SEM) ... 36 Gambar 3.2. Titer Antibodi Sel Imun Mencit (Rerata ±SEM) ... 39


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Keterangan Sampel Umbi Keladi Tikus ... 46

Lampiran 2 Hasil identifikasi Umbi Keladi Tikus ... 47

Lampiran 3 Gambar Karakteristik Sampel ... 48

Lampiran 4 Gambar Mikroskopik serbuk simplisia umbi keladi tikus, perbesaran 10 x 40 ... 50

Lampiran 5 Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 51

Lampiran 6 Bagan Alur Penelitian ... 56

Lampiran 7 Gambar Alat-alat ... 57

Lampiran 8 Gambar Hewan Percobaan ... 60

Lampiran 9 Pembengkakan Kaki Mencit dan Hemaglutinasi ... 61


(15)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL UMBI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume) TERHADAP

RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan agen-agen penyebab infeksi, seperti mikroorganisme patogen. Dalam keadaan sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting agar sistem imun tetap bekerja dengan maksimal. Peningkatan sistem imun dapat dilakukan dengan menggunakan imunomodulator, khususnya yang bersifat imunostimulan.

Menurut Wagner (1990), terdapat dua kelas senyawa yang memiliki aktivitas imunostimulasi potensial. Kelas pertama terdiri dari senyawa-senyawa alkaloid, terpenoid, kuinon dan senyawa fenolik sederhana, sedangkan kelas kedua terdiri dari polisakarida, peptida, glikoprotein dan nukleotida. Tumbuhan keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume), suku Araceae, sudah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat. Berdasarkan hasil skrining fitokimia oleh Nasution (2010) dan Nobakht et al., (2007), diketahui keladi tikus mengandung senyawa alkaloid dan triterpenoid, sehingga diduga umbi keladi tikus memiliki aktivitas stimulasi terhadap sistem imun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun pada mencit jantan.

Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak etanol umbi keladi tikus diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif dan sel darah merah domba (Ovis aries) digunakan sebagai antigen.

Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan ANAVA satu arah, pemberian ekstrak umbi keladi tikus diketahui meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi secara signifikan terhadap kelompok kontrol (p<0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak umbi keladi tikus mempunyai efek imunostimulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Kata kunci: imunostimulator, respon hipersensitivitas tipe lambat, titer antibodi, umbi keladi tikus


(16)

THE IMMUNOSTIMULATORY EFFECT OF RODENT TUBER (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume) ETHANOLIC EXTRACT

TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY RESPONSE AND IMMUNITY CELLS ANTIBODY TITER OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system in humans holds an important key role in maintaining the body condition from the invasion of infectious agents, such as pathogenic microorganisms. In the event where the immune system is unable to work adequately, the improvement of the immune system becomes very important to keep it working in maximal condition. The improvement of the immune system can be achieved by using immunomodulatory agents, especially those with immunostimulatory properties.

According to Wagner (1990), there are two class of compounds with potential immunostimulatory activity. The first consists of alkaloid compounds, terpenoids, quinones, and simple phenolic compounds, while the second class consists of polysaccharides, peptides, glycoproteins and nucleotides. Rodent tuber plant (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume), fam. Araceae, is widely used in traditional medicine. Based of the result of pythochemical screening by Nasution (2010) and Nobakht et al., (2007), rodent tuber was found to contains alkaloids and triterpenoids, therefore it is suspected the tuber of the plant has stimmulation activity to the immune system. The objective of this study was to observe the immunostimulatory effect of the ethanolic extract of rodent tuber to delayed type hypersensitivity response and immunity cells of male mice.

In this study, the immunostimulatory effect test of rodent tuber ethanolic extract was conducted to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immunity cells of male mice. The rodent tuber ethanolic extract was administered orally with the doses of 100 mg/kg, 200 mg/kg, and 400 mg/kg. Cyclophosphamide with the dose of 50 mg/kg was used as positive control, 1% CMC suspension was used as negative control and sheep (Ovis aries) red blood cells was used as antigens

Based on the result of statistical test using One Way-ANOVA, the administration of rodent tuber ethanolic extract was found to increase the delayed-type hypersensitivity response and antibody titer significantly against the control group (p<0,05). Thus, it is concluded that the ethanolic extract of rodent tuber has immunostimulatory effect to delayed type hypersensitivity response and immunity cells antibody titer of male mice.

Keyword(s): immunostimulatory, delayed type hypersensitivity response, antibody titer, rodent tuber


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan keterampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sari, 2006).

Keadaan kesehatan dan perekonomian masyarakat Indonesia umumnya masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain, sehingga pemenuhan kebutuhan obat sintetis menjadi terhambat oleh faktor biaya. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat kita dapat dilihat dari angka kematian masyarakat Indonesia yang masih berada di urutan pertengahan di antara negara-negara anggota ASEAN, dengan kisaran angka kematian kasar 6 sampai 10 kematian per 1000 penduduk. Angka kematian yang tinggi ini disebabkan tingginya jumlah penyakit terutama oleh paparan mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri dan jamur yang ada di lingkungan sekitar (Depkes RI, 2006).

Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan oleh sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Hal ini berhubungan dengan peran yang ditunjukkan oleh fungsi dan jumlah sel imun. Namun, pada saat fungsi dan jumlah sel imun kurang memadai, paparan mikroorganisme patogen dapat menimbulkan berbagai penyakit terutama terkait dengan penyakit infeksi. Oleh karena itu, upaya mempertahankan sistem imun tetap maksimal menjadi sangat


(18)

penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti mikroorganisme patogen. Salah satu cara mempertahankan sistem imun adalah dengan pemberian imunomodulator, terutama zat yang meningkatkan sistem imun atau imunostimulator (Bellanti, 1993).

Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta

melepaskan interferon dan interleukin (Tan dan Rahardja, 2007).

Penggunaan imunostimulator dalam terapi kadang kala mengalami hambatan. Di antara hambatan yang sering kali muncul adalah mahalnya imunostimulator yang tersedia di pasaran obat paten, yang mayoritas diimpor dari luar negeri. Dalam kondisi demikian, sangat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan imunostimulator dari bahan alam, oleh karena faktor harga dapat ditekan (Kusmardi, 2007).

Menurut Wagner (1990), terdapat dua kelas senyawa yang memiliki aktivitas imunostimulasi potensial. Kelas pertama terdiri dari senyawa-senyawa alkaloid, terpenoid, kuinon dan senyawa fenolik sederhana, sedangkan kelas kedua terdiri dari polisakarida, peptida, glikoprotein dan nukleotida.

Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) termasuk ke dalam suku Araceae.

Pada Materia Medika Indonesia (MMI) belum ditemukan monografi umbi keladi tikus. Menurut penelitian terdahulu, keladi tikus ini mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid, dan lignan (polifenol) (Harfia, 2006).

Ekstrak polar tanaman ini telah diuji secara in vivo dan diketahui dapat


(19)

(Zhong, et.al., 2001). Studi farmakologis yang dilakukan terhadap tikus juga

menunjukkan bahwa ekstrak keladi tikus dapat mencegah hepatokarsinogenesis (Lai, et.al., 1999). Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa alkaloid,

flavonoid dan terpenoid merupakan konstituen fitokimia utama dari keladi tikus (Nobakht, et.al., 2010).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan uji mengenai efek imunostimulator dari ekstrak etanol umbi keladi tikus terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apakah ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan?

b. apakah ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

a. ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.

b. ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan.


(20)

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus dengan meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan. b. untuk mengetahui efek imunostimulator ekstrak etanol umbi keladi tikus

dengan meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan.

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. dapat menjadi dasar pengembangan umbi keladi tikus menjadi suatu sediaan herbal terstandar dengan efek imunostimulator.

b. dapat menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai imunostimulator.


(21)

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian

Simplisia umbi keladi tikus

Ekstrak etanol umbi keladi tikus

Suspensi Siklofosfamida

CMC Na 1% (Suspensi Kosong)

Karakteristik simplisia

Respon hipersensitivitas tipe

lambat

Pembengkakan 1. Pemeriksaan makroskopik 2. Pemeriksaan mikroskopik 3. Penetapan kadar air 4. Penetapan kadar abu total 5. Penetapan kadar abu tidak

larut asam

6. Penetapan kadar sari yang larut dalam air

7. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Titer antibodi sel

imun Hemaglutinasi

Mencit jantan


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan Keladi Tikus adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Gymnospermae Classsis : Dicotyledonae Ordo : Arales Familia : Araceae

Genus : Typhonium

Spesies : Typhonium flagelliforme (Anonim, 2009)

2.1.2 Sinonim

Sinonim : Typhonium divaricatum

Coleus amboinicus Lour (Anonim, 2009)

2.1.3 Nama Daerah

Nama daerah dari tumbuhan Keladi tikus adalah: gofu sepa (Ternate); bira kecil, daun panta susu, ki babi, trenggiling mentik, ileus, kalamoyang.

2.1.4 Nama Asing

Nama daerah dari tumbuhan Keladi tikus adalah: rodent tuber (Inggris), laoshuyu (Cina).


(23)

2.1.5 Habitat dan Penyebaran

Tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Terdapat di Malaysia, Korea bagian selatan, dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya terdapat di sepanjang pulau Jawa, sebagian Kalimantan dan Sumatra dan Papua. (Mudahar et.al., 2006).

2.1.6 Morfologi

Tanaman keladi tikus adalah tanaman sejenis talas setinggi 25 cm hingga 30 cm, termasuk tumbuhan semak, menyukai tempat lembab yang tak terkena sinar matahari langsung. Tanaman berbatang basah ini biasanya tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Bentuk daun bulat dengan ujung runcing berbentuk jantung. Berwarna hijau segar. Umbi berbentuk bulat rata sebesar buah pala (Mudahar et.al., 2006).

2.1.7 Kandungan Kimia

Tanaman Keladi tikus Typhonium flagelliforme mengandung: Alkaloid,

triterpenoid dan lignan (polifenol).

2.1.8 Khasiat Tumbuhan

Umbi Keladi Tikus berkhasiat sebagai obat borok, luka, koreng, kanker, juga berkhasiat sebagai antivirus dan anti bakteri (Hariana, 2007)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000).


(24)

Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanol-air (Ditjen POM, 1989).

2.3 Metode-Metode Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu: 1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).


(25)

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).


(26)

2.4Sistem Imun

Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel atau gabungan sel, molekul-molekul, dan atau jaringan yang berperan dalam penolakan mikroorganisme penyebab infeksi. Sistem imun berguna sebagai perlindungan terhadap infeksi molekul lain seperti virus, bakteri, protozoa dan parasit (Salmon, 1989).

Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya. Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari

tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel

imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993).

Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah tahap pengenalan. Ada 2 sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam hal ini, yaitu:

1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system) merupakan

sistem kekebalan yang dibawa sejak lahir dan menjadi pertahanan tubuh paling terdepan dalam menghadapi mikroorganisme penyebab penyakit.

Sel-sel fagosit memegang peranan penting dalam mengenal

mikroorganisme tertentu dan segera menghancurkannya.

2. Sistem pertahanan tubuh yang didapat (adaptive immune system), dalam

hal ini antibodi memegang peranan utama. Dalam mengenal molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara menyatukan


(27)

beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003).

Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2010).

Gambar 2.1 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001)

2.4.1 Respon Imun Nonspesifik

Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam

tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut (Kresno, 2010). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan

Sistem imun

Nonspesifik Spesifik

Fisis/ mekanis

Larut Selular

- Kulit - Selaput

lendir - Silia - Batuk - Bersin

Biokimia - Asam

lambung - Lisozim - Laktoferin - Asam

neurominik Humoral - Komplemen - Interferon - C Reactive

Protein (CPR)

Fagosit - Mononuklear

(Monosit dan makrofag) - Polimorfonuklear

(Eosinofil dan Neutrofil) Sel Nol - Natural Killer

Cells (NK Cells) Sel Mediator - Basofil dan

Mastosit - Trombosit

Humoral Selular

Sel B Sel T

- Sel Th (Th1 dan Th2) - Sel Ts - Sel Tc

Sel Plasma


(28)

melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut. Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik, kimiawi, humoral dan selular. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen-komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer

(NK) (Kresno, 2010).

2.4.2 Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive immunity)

dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno, 2010).

Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. Limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B.


(29)

+ +

Gambar 2.2 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001)

Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing.

Sel T

Sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut:

Sel darah merah Trombosit Monosit Granulosit

Sumsum tulang

Sel prekursor Limfosit

Hemopoetik sumsum

Timus

Sel T Sel B

Jaringan limfoid perifer

Sel T Sel B

Invasi asing

Respon imun humoral

Respon imun seluler


(30)

i. Sel Thelper (Sel Th)

Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma (Sherwood, 2001).

ii. Sel Tsuppresor (Sel Ts)

Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance”dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan

aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi (Sherwood, 2001).

iii.Sel Tcytotoxic (Sel Tc)

Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang terinfeksi virus dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi sebelum replikasi virus terjadi (Sherwood, 2001).

Sel B

Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total (Tan, 2007). Pada membran sel B terdapat reseptor khas untuk mengikat antigen. Aktivitas sel B distimulasi dengan adanya sel Th2 menjadi sel plasma dan akan membentuk antibodi.


(31)

Antibodi

Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5 subkelas:

Tabel 2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin

Struktur Subkelas Keterangan

Miu (µ) IgM -Terdapat dalam bentuk pentamer -Merupakan molekul paling besar

-Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respon sel.

Gamma (γ) IgG -Merupakan immunoglobulin yang paling banyak di

dalam serum

Epsilon (ε) IgE -Merupakan mediator antibodi untuk respon alergi

-Mampu melekat pada sel mastosit atau basofil yang melepaskan mediator histamin, heparin, prostaglandin yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat

Alpha (α) IgA -Ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan,

pernafasan, dan genitouria, serta dalam air susu dan air mata

Delta (δ) IgD -Terdapat di permukaan sel B, tetapi fungsinya masih


(32)

2.4.2.1Respon Imun Selular

Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada

permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR)

dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang

diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut. Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan

antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell

contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2010).

2.4.2.2Respon imun humoral

Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel B memory


(33)

2.4.2.3Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral

Salah satu interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral adalah antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada interaksi ini

sitolisis terjadi dengan bantuan antibodi yang berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel natural killer (NK) dan sel-sel fagosit yang mempunyai

reseptor pada fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada antigen sasaran dan menghancurkan antigen tersebut melalui mekanisme fagositosis (Kresno, 2010).

2.4.3 Imunomodulator

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meregulasi sistem imun dengan tujuan menormalkan atau membantu mengoptimalkan sistem imun. Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan imunosupresor.

a. Imunostimulator

Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta

melepaskan interferon dan interleukin (Tan dan Rahardja., 2007). Imunostimulator banyak digunakan menjaga kondisi tubuh saat terjadinya defisiensi imunitas, pada terapi AIDS, infeksi kronik, dan keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik. (Widianto, 1987)


(34)

b. Imunosupresor

Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun yang berlebihan. Imunosupresor mampu menghambat transkripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T (Tan & Rahardja, 2007). Penggunaan klinis imunosupresor di antaranya adalah pencegah penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus.

2.4.4 Siklofosfamida

Gambar 2.4 Siklofosfamida (Anderson, 1995)

Nama kimia : 2-[Bis(2-kloroetil)amino]tetrahidro-2H-1,3,2- oksazafosforin 2-oksida monohidrat

Rumus molekul : C7H15Cl2N2O2P.H2O Berat molekul : 279,10

Pemerian : serbuk hablur, putih.

Kandungan : tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 103,0% C7H15Cl2N2O2P, dihitung sebagai zat anhidrat.

Kelarutan : Siklofosfamida larut dalam air dan dalam etanol (Depkes RI, 1995).

Siklofosfamida merupakan agen alkilasi yang mempunyai efek imunosupresif. Siklofosfamida memiliki aktivitas antiproliferasi yang kuat yang dilihat dari kemampuannya menurunkan produksi antibodi selama fase proliferasi.


(35)

Siklofosfamida memberikan efek pada mencit dengan dosis pemberian 50 mg/kg BB. Siklofosfamida menghambat aksi sel Ts dan sel Th2 sehingga

menekan produksi antibodi oleh sel B. Sel Th1 tidak dipengaruhi oleh siklofosfamida dan tetap bekerja secara normal. Sel Th1 akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan menarik makrofag ke tempat terjadinya infeksi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan di tempat infeksi (Turk, 1989).

2.4.5 Metode Pengujian Efek Imunomodulator

Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah uji respon hipersensitivitas tipe lambat dan pengukuran antibodi (titer antibodi).

a. Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi dan meningkatkan aktivitas makrofag yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roit,1989).

b. Titer Antibodi

Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan respon imun humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibat pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, 1989).


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta menggunakan kelompok kontrol sebagai pembanding, dengan tahapan penelitian yaitu penyiapan sampel, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujian respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi pada hewan percobaan.

Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS (Statistical

Product and Service Solution) versi 17.0.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, neraca kasar, neraca listrik (Vibra), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, perkolator, rotary evaporator (Heidolph VV-300), mikroskop (Boeco), tanur, mortir dan stamfer, neraca hewan (Presica), spuit 1 ml (Terumo), oral sonde, pletismometer air raksa, velocity 18R refrigerated

centrifuge (Dynamic), microtube, microtitration plate, pipet mikro (Brand), dan

kertas saring. Gambar alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 57.


(37)

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi keladi tikus, karboksi metil selulosa (CMC), sel darah merah domba (SDMD), natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dinatrium hidrogen fosfat (Na2HPO4), kalium

dihidrogen fosfat (KH2PO4), aqua bidestilasi, heparin, larutan fisiologis, etanol

96%, toluen, kloroform dan air suling.

3.1.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit jantan dengan berat badan ±20-35 gram berumur 2-3 bulan. Sebelum digunakan, mencit dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungannya, dan diberi makan pelet hewan serta air. Gambar hewan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 60.

3.2 Penyiapan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah berupa serbuk kering umbi keladi tikus, diperoleh dari saudara Pipi Saputri Nasution dalam penelitian Karakterisasi Simplisia Skrining Fitokimia Dan Uji Toksisitas Dari Ekstrak Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST)

(Nasution, 2010).

Umbi keladi tikus segar diperoleh saudara Pipi dari UPT Materia Medica, Kota Batu, Jawa Timur. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong (Nasution, 2010). Hasil identifikasi dan gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 48. Pengolahan sampel tidak dilakukan.


(38)

3.3 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam (Ditjen POM, 1995; WHO, 1992).

3.3.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada serbuk simplisia yang meliput i pemeriksaan bau, rasa dan warna. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 48.

3.3.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat dan kaca objek yang telah ditetesi dengan aquadest kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu dilihat dibawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 50.

3.3.3 Penetapan Kadar Air Simplisia

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari labu alas 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.

Cara penetapan:

Labu bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, didestilasi selama 2 jam. Setelah itu toluena didinginkan dan volume air di dalam tabung penerimaan dibaca. Kemudian ke dalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mulai


(39)

mendidih, kecepatan tetesan diatur, lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling. Kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah 2 jam didestilasi, kemudian toluen dibiarkan dingin, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 51.

3.3.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air

Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan diudara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan penetapan kadar sari yang larut air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 52.

3.3.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan diudara, dimaserasi selama 24 jam dalam etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml


(40)

filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap.

Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (96%) dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan penetapan kadar sari yang larut etanol dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 53.

3.3.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 600°C selama 3 jam. Kemudian krus didinginkan dan ditimbang

sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 54.

3.3.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan abu dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring, dicuci dengan air panas, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 55.


(41)

3.4Pembuatan Ekstrak Etanol Umbi Keladi Tikus

Sebanyak 500 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana tertutup, etanol 96% dituangkan ke dalam bejana sampai seluruh simplisia terendam, aduk, biarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, tuangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan setelah tetesan terakhir perkolat tidak berwarna lagi atau apabila sebanyak 500 mg cairan perkolat diuapkan di atas penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary evaporator). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan

freeze dryer dan diperoleh ekstrak kental sebanyak 16,71 g. Alur pembuatan

ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 56.

3.5Uji Efek Imunomodulator

Uji efek imunomodulator meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan kontrol, bahan uji, larutan penyangga dan antigen, uji respon hipersensitivitas tipe lambat, dan uji titer antibodi.

3.5.1Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat 20-35 g dibagi 5 kelompok, 1 kelompok untuk kontrol negatif, 1 kelompok untuk kontrol positif,


(42)

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu dalam kandang yang baik pada suhu ruangan untuk penyesuaian lingkungan, pengontrolan kesehatan dan berat badan. Mencit diberi makan pelet hewan dan minum air keran. (Shukla et.al.,

2009).

3.5.2Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, Larutan Penyangga dan Antigen

Penyiapan kontrol, bahan uji, larutan penyangga dan antigen meliputi penyiapan CMC 1%, penyiapan suspensi siklofosfamida 0,5%, penyiapan suspensi ekstrak umbi keladi tikus 2%, penyiapan larutan penyangga phosphate

buffered saline, dan penyiapan sel darah merah domba.

3.5.2.1Penyiapan CMC 1%

Pembuatan suspensi CMC 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.5.2.2Penyiapan Suspensi Siklofosfamida (SS) 0,5%

Pembuatan suspensi siklofosfamida0,5% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 125 mg siklofosafamida ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.


(43)

3.5.2.3Penyiapan Suspensi Ekstrak Umbi Keladi Tikus (SEUKT) 2%

Pembuatan suspensi ekstrak umbi keladi tikus 2% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 500 mg ekstrak umbi keladi tikus ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.5.2.4Penyiapan Phosphate Buffered Saline (PBS)

Pembuatan PBS dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 8 gram NaCl, 0,2 gram KCl, 1,44 gram Na2HPO4, 0,24 gram KH2PO4, dilarutkan dalam

800 ml aqua bidestilasi, kemudian dicek pH dengan indikator pH hingga pH ±7 dan dapat disesuaikan dengan penambahan HCl atau NaOH, tambahkan aqua bidestilasi hingga 1 L (DeAngelis, 2007).

3.5.2.5Penyiapan Sel Darah Merah Domba (SDMD)

Penyiapan dan pembuatan SDMD didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Puri, et.al., (1993). Darah segar dikumpulkan dari domba yang disembelih.

Darah dipisahkan dari plasmanya dengan pemusingan 1900 rpm menggunakan alat sentrifugasi pada suhu 4oC selama 10 menit. Kemudian supernatan dibuang. Endapan dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Setelah pencucian selesai, PBS dibuang, maka diperoleh SDMD 100%. Ke dalam SDMD 100% ditambahkan PBS dengan volume yang sama, hingga diperoleh SDMD 50%. Kemudian diambil 0,2 ml SDMD 50%, tambahkan PBS hingga 10 ml, sehingga diperoleh SDMD 1%.


(44)

3.5.3Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Efek imunomodulator ekstrak umbi keladi tikus ditentukan dengan mengukur volume respon hipersensitivitas tipe lambat menggunakan uji pembengkakan telapak kaki hewan uji (foot paw swelling test) (Lakshmi, et.al., 2003;Ray, et.al.,

1996).

Sebanyak 25 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan pembagian sebagai berikut:

Kelompok I diberi suspensi CMC Na 1% (b/v) sebagai kontrol negatif

Kelompok II diberi Suspensi Ekstrak Umbi Keladi Tikus (SEUKT) dengan dosis 100 mg/kg BB

Kelompok III diberi SEUKT dengan dosis 200 mg/kg BB Kelompok IV diberi SEUKT dengan dosis 400 mg/kg BB

Kelompok V diberi Suspensi Siklofosfamida (SS) dengan dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah domba (SDMD) 1% dalam PBS secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sendi kaki mencit sebelah kanan diberi tanda batas pengukur an volume kaki mencit. Volume kaki mencit diukur sebagai volume awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan

dengan 0,1 ml suspensi SDMD 1% dalam PBS secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan.

Pada hari kedelapan (setelah 24 jam) diukur volume pembengkakan kaki mencit dengan platismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan kaki mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda


(45)

batas pengukuran. Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala pada pletismometer sebagai volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume pembengkakan kaki mencit ditentukan berdasarkan selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0). (Shivaprasad, et.al., 2006). Gambar

pembengkakan kaki mencit dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 61.

3.5.4Uji Titer Antibodi

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah domba (SDMD) 1% dalam PBS secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sampel darah masing-masing mencit diambil melalui pembuluh darah vena di bagian ekor. Sampel darah dikumpulkan dalam tabung mikro (microtube), kemudian

dilakukan pemusingan 1900 rpm dengan alat sentrifugasi pada suhu 40C selama 10 menit dan diambil serumnya.

Nilai titer antibodi ditentukan dengan teknik hemaglutinasi. 25 µ l serum diteteskan ke dalam sumur microtitration plate 96 lubang, ditambahkan PBS dan

SDMD dengan volume yang sama, dan diencerkan dua kali lipat (1:2; 1:4; 1:8; 1:16; 1:32; 1:64; 1:128; 1:256; 1:512; 1:1024; 1:2048; 1:4096) kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam dan diamati hemaglutinasi secara visual (Makare, et.al., 2001; Puri, et.al., 1993). Nilai titer antibodi ditentukan

berdasarkan pengenceran terakhir dimana antibodi masih terdeteksi melalui hemaglutinasi yang terlihat secara visual. Nilai titer antibodi tersebut selanjutnya ditransformasikan dengan [2log(titer)+1] (Hargono, 2000). Gambar hasil hemaglutinasi dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 62.


(46)

3.6Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 17.0. Data ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA satu arah (One-Way ANOVA) untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara

perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tukey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan. Berdasarkan nilai signifikansi, p<0,05 dianggap signifikan. Data ditampilkan dalam rerata ± SEM dan dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 63.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 47.

Hasil pemeriksaan secara makroskopik yang dilakukan terhadap serbuk simplisia umbi keladi tikus yaitu berwarna putih kekuningan, rasa sedikit pahit, dan berbau seperti tikus.

Hasil pemeriksaan secara mikroskopik yang dilakukan terhadap serbuk simplisia umbi keladi tikus terlihat hilus, butir pati, dan Ca. Oksalat bentuk jarum. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 50.

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia umbi keladi tikus diperoleh kadar air 8,65%, kadar sari yang larut dalam air 5,79%, kadar sari yang larut dalam etanol 17,04%, kadar abu total 3.61% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,41%. Persyaratan umum pada Materia Medika Indonesia (MMI) adalah kadar air tidak lebih dari 10%, kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 16%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 6%, kadar abu tidak lebih dari 9%, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1,5%. Dengan demikian hasil penetapan kadar air, kadar sari yang larut dalam etanol, kadar abu total dan kadar abu yang tidak larut asam memenuhi persyaratan pada Materia Medika Indonesia, sementara hasil penetapan kadar sari yang larut dalam air tidak memenuhi persyaratan. Hal ini kemungkinan disebabkan umbi keladi tikus lebih


(48)

banyak mengandung senyawa yang larut dalam lemak daripada senyawa yang larut dalam air. Data hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

No Penetapan

Simplisia Kadar

(%)

Persyaratan MMI

1 Kadar air 8,65 ≤ 10

2 Kadar sari larut dalam air 5,79 ≥ 16

3 Kadar sari larut dalam etanol 17,04 ≥ 6

4 Kadar abu total 3,61 ≤ 9

5 Kadar abu tidak larut dalam asam 0,41 ≤ 1,5

Standarisasi diperlukan karena kandungan bahan aktif yang terkandung dalam jenis tanaman yang sama dapat bervariasi, dengan standarisasi diharapkan bahan aktif yang terkandung di dalam bahan baku tersebut cukup konsisten, sehingga takaran yang digunakan untuk pengujian memiliki kandungan aktif yang setara.

Hasil penyarian 500 g serbuk simplisia umbi keladi tikus dengan pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan diperoleh 16,71 g ekstrak

(rendemen 3,342%).

4.2Pengujian Efek Imunomodulator

Pengujian efek imunomodulator ekstrak umbi keladi tikus dilakukan dengan metode respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap aktivitas dan mekanisme sistem imun


(49)

humoral yang melibatkan sel T dan sel B. Menurut Makare, et.al., (2001),

kombinasi kedua metode tersebut mempunyai keuntungan yaitu memungkinkan dua komponen respon imun diukur pada spesies yang sama dibawah kondisi ideal, relatif sederhana dan tidak mahal.

Pengujian dilakukan dengan cara menginduksi sel imun mencit dengan sel darah merah domba (SDMD) sebagai antigen secara intraperitoneal pada hari ke-0. Respon hipersensitivitas tipe lambat diketahui dari volume pembengkakan kaki mencit yang diukur pada hari ke-8 setelah sehari sebelumnya sel imun mencit diinduksikan kembali dengan SDMD secara intraplantar. Pengukuran volume pembangkakan dilakukan dengan menggunakan alat pletismometer air raksa.

Pengukuran nilai titer antibodi dilakukan pada hari ke-7 dengan menggunakan metode hemaglutinasi. Hemaglutinasi adalah ikatan antara sel darah merah sebagai antigen dengan antibodi sehingga menimbulkan suatu gumpalan yang dapat dilihat. Pada lingkungan yang pH-nya netral, sel darah merah bermuatan negatif sehingga akan terjadi aksi tolak-menolak antar sel. Oleh karena itu sel darah merah yang digunakan disuspensikan dalam larutan penyangga dengan pH ±7 (PBS) untuk menjaga agar sel darah merah tetap dalam kondisi pH netral, sehingga tetap bermuatan negatif.

Hemaglutinasi terbentuk karena adanya ikatan silang antara sel darah merah dengan antibodi. Antibodi yang mempunyai kemampuan lebih besar untuk berikatan dengan sel darah merah adalah IgM. IgM mempunyai ukuran yang besar dan valensi yang tinggi, sehingga dapat melawan rintangan elektrik dan membentuk ikatan silang dengan sel darah merah sehingga menyebabkan terjadinya aglutinasi. Antibodi lainnya seperti IgG mempunyai ukuran dan valensi


(50)

yang lebih kecil, sehingga kemampuannya melawan rintangan elektrik lebih lemah dibandingkan dengan IgM (Kuby, 1994). Terkait dengan prinsip hemaglutinasi di atas, maka dalam penelitian ini sel darah merah yang digunakan sebagai antigen adalah sel darah merah domba (SDMD) karena memiliki muatan negatif yang lebih kuat, sehingga kemampuannya untuk berikatan dengan antibodi semakin kuat. Dengan demikian, hasil hemaglutinasi yang diperoleh dapat diketahui dengan mudah. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer Antibodi

No Perlakuan

Volume Kaki

mencit (ml) Nilai Titer Antibodi V0 Vt ∆V Titer antibodi [2(Log titer)+1]

1 CMC Na 1%

0,4 0,8 0,4 4 2,20

0,4 0,9 0,5 4 2,20

0,3 0,8 0,5 8 2,81

0,5 1,1 0,6 4 2,20

0,3 0,8 0,5 8 2,20

2

Suspensi ekstrak umbi keladi tikus dosis 100 mg/kgBB

0,5 1,5 1,0 32 4,01

0,3 1,4 1,1 16 3,41

0,5 1,6 1,1 16 3,41

0,5 1,8 1,3 32 4,01

0,5 1,6 1,1 32 4,01

3

Suspensi ekstrak umbi keladi tikus dosis 200 mg/kgBB

0,6 2,1 1,5 256 5,82

0,4 1,8 1,4 128 5,21

0,4 1,8 1,4 128 5,21

0,8 2,1 1,3 256 5,82

0,7 2,3 1,6 128 5,21

4

Suspensi ekstrak umbi keladi tikus dosis 400 mg/kgBB

0,4 2,2 1,8 512 6,42

0,4 2,2 1,8 512 6,42

0,6 2,5 1,9 256 5,82

0,4 2,6 2,2 512 6,42

0,5 2,0 1,5 512 6,42

5

Suspensi siklofosfamida dosis 50 mg/kgBB

0,3 2,0 1,7 2 1,60

0,5 2,1 1,6 2 1,60

0,3 2,0 1,7 2 1,60

0,6 2,6 2,0 2 1,60


(51)

Suspensi siklofosfamida (SS) digunakan sebagai kontrol positif karena mekanisme kerja siklofosfamida telah diketahui yaitu menekan populasi sel T supresor (Shukla, et.al., 2009;Mitsuoka, 1979). Siklofosfamida dapat membunuh

sel pada setiap siklus perkembangannya dan lebih toksik terhadap sel yang sedang berproliferasi (aktivitas antiproliferatif), termasuk pembentukan antibodi. (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Dengan demikian siklofosfamid hanya berpengaruh pada sel T supresor dan sel B (Turk, 1989).

4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Respon hipersensitivitas tipe lambat dikenali dengan reaksi imuno-inflamasi karena makrofag dan sel Th1 berperan besar dalam proses tersebut (Mukherjee, 2010). Reaksi ini ditandai dengan adanya pembengkakan pada tempat terjadinya induksi antigen.

Pembengkakan terkait langsung dengan cell mediated immunity (CMI), karena

antigen mengaktivasi sel T terutama sel Th1. Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan beberapa sitokin yang bersifat proinflamasi. Sitokin tersebut akan menarik makrofag ke tempat terjadinya induksi dan mengaktivasinya sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas fagositik untuk melawan antigen yang masuk (Fulzele, et.al., 2002). Penarikan makrofag ini terjadinya pembengkakan. Semakin

besar pembengkakan menunjukkan semakin tinggi respon hipersensitivitas tipe lambat sehingga dapat menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun.

Hasil pengukuran volume pembengkakan kaki kanan mencit sebagai respon terhadap hipersensitivitas tipe lambat dapat dilihat pada Gambar 4.1.


(52)

0,5 1,12 1,44 1,84 1,76 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

CMC 1% SEUKT Dosis 100 mg/kgBB

SEUKT Dosis 200 mg/kgBB

SEUKT Dosis 400 mg/kgBB

SS Dosis 50 mg/kgBB Vo lum e P e m be ng k a k a n Perlakuan

Gambar 4.1. Volume pembengkakan kaki mencit pada berbagai perlakuan (Rerata ± SEM)

Keterangan:

SEUKT = Suspensi Ekstrak Umbi Keladi Tikus SS = Suspensi Siklofosfamida

^ = berbeda signifikan dengan CMC 1%

+ = berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 100 mg/kg BB * = berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 200 mg/kg BB

= berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 400 mg/kg BB # = berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB

tb

= tidak berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 400 mg/kg BB tb# = tidak berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB

Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa SEUKT dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB, dan SS dosis 50 mg/kg BB menunjukkan volume pembengkakan yang jauh berbeda dengan suspensi CMC 1% sebagai kontrol. SEUKT dosis 400 mg/kg BB dengan volume pembengkakan 1,84 ml menunjukkan volume pembengkakan yang lebih besar dibandingkan dengan SEUKT dosis 100mg/kg BB, SEUKT dosis 200mg/kg BB dan SS dosis 50 mg/kgBB yang masing-masing bernilai 1,12, 1,44 dan 1,76 ml. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, maka dilakukan analisis variansi (ANAVA)

+*”#

^*”#

^+”#

^+*tb#


(53)

menggunakan program SPSS versi 17.0 terhadap volume pembengkakan kaki mencit. Hasil analisis variansi dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 64. Dari hasil analisis variansi diperoleh harga F hitung>F tabel (F tabel = 2,87). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap volume pembengkakan kaki mencit dengan nilai signifikansi p<0,05. Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tukey terhadap semua perlakuan dimana hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 65.

Hasil uji Post Hoc Tukey menunjukkan bahwa volume pembengkakan kaki mencit kelompok perlakuan SEUKT dosis 400 mg/kg BB tidak berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan SS dosis 50 mg/kg BB (kontrol positif). Hal ini terkait dengan mekanisme kerja siklofosfamid.

Mekanisme kerja siklofosfamida terhadap potensiasi hipersensitivitas tipe lambat adalah dengan menurunkan populasi sel T supresor (Shukla, et.al.,

2009;Mitsuoka,1979) dan menghambat pembentukan antibodi oleh sel B (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010;Turk,1989). Dengan demikian, siklofosfamida diketahui hanya berpengaruh pada sel T supresor dan sel B, tetapi tidak pada sel Th1. Sel Th1 adalah sel yang berperan dalam terjadinya respon hipersensitivitas tipe lambat. Sel Th1 yang teraktivasi oleh antigen akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan menarik makrofag ke area induksi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan pada area induksi (Fulzele, et.al., 2002). Untuk dapat membedakan mekanisme kerja


(54)

siklofosfamida dan ekstrak umbi keladi tikus, maka dilakukan uji berikutnya, yaitu titer antibodi.

Berdasarkan perhitungan statistik di atas, terlihat adanya peningkatan volume pembengkakan kaki mencit pada kelompok perlakuan SEUKT dosis 100, 200, 400 mg/kg BB terhadap kontrol negatif CMC 1%. Peningkatan volume pembengkakan kaki mencit merupakan gambaran adanya peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit tersebut. Peningkatan respon ini mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan sel imun mencit dalam menanggapi antigen terutama peningkatan respon imun spesifik seluler. Sel yang berperan dalam respon imun seluler adalah sel T terutama sel Th. Sel Th memproduksi IFN-γ yang kemudian merekrut dan mengaktivasi makrofag (Kresno, 2010). Dengan demikian, ekstrak umbi keladi tikus menunjukkan efek stimulasi terhadap sel T terutama sel Th.

4.2.2 Titer Antibodi

Titer antibodi ditentukan dengan metode hemaglutinasi. Penentuan hemaglutinasi titer antibodi bertujuan untuk mengetahui respon imun humoral melawan SDMD. Peningkatan respon imun humoral dibuktikan dengan adanya peningkatan titer antibodi mencit yang mengindikasikan peningkatan kepekaan sel T dan sel B terkait dengan produksi antibodi.

Efek pemberian SEUKT dan SS menunjukkan hasil yang berbeda pada titer antibodi. Titer antibodi sel imun mencit dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(55)

2,41 3,77 5,45 6,3 1,72 0 1 2 3 4 5 6 7

CMC 1% SEUKT Dosis 100 mg/kgBB

SEUKT Dosis 200 mg/kgBB

SEUKT Dosis 400 mg/kgBB

SS Dosis 50 mg/kgBB T it e r A nt ibo di Perlakuan

Gambar 4.2. Titer Antibodi Sel Imun Mencit (Rerata±SEM)

Keterangan:

SEUKT = Suspensi Ekstrak Umbi Keladi Tikus SS = Suspensi Siklofosfamida

^ = berbeda signifikan dengan CMC 1%

+ = berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 100 mg/kg BB * = berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 200 mg/kg BB

= berbeda signifikan dengan SEUKT dosis 400 mg/kg BB # = berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB

Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa SEUKT dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB menunjukkan nilai titer antibodi yang berbeda dengan CMC 1% sebagai kontrol. Pemberian SEUKT dosis 400 mg/kg BB menunjukkan peningkatan nilai titer antibodi senilai 6,3. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan SEUKT dosis 100 dan 200 mg/kg BB yang bernilai 3,77 dan 5,45. Perbedaan yang cukup besar juga terlihat antara SEUKT dosis 400 mg/kg BB dengan SS dosis 50 mg/kg BB. Bahkan nilai titer antibodi SS dosis 50 mg/kg BB, yaitu 1,72, lebih rendah dibandingkan CMC 1% yang bernilai 2,41. Hal ini menunjukkan bahwa siklofosfamida menurunkan produksi antibodi. Dengan demikian terbukti bahwa

+*”#

^*”#

^+”#

^+*#


(56)

mempengaruhi sel B. Berdasarkan hasil penelitian ini, siklofosfamida secara keseluruhan konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan mekanisme kerja siklofosfamida dalam model penelitian yang sama. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 17.0 terhadap titer antibodi dimana hasil analisis variansi dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 64. Hasil analisis variansi volume pembengkakan dan titer antibodi di peroleh harga F hitung>F tabel (F tabel = 2,87). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap titer antibodi sel imun, dengan nilai signifikansi p<0,05. Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tukey terhadap semua perlakuan. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 65. Uji Post Hoc Tukey menunjukkan adanya perbedaan titer antibodi yang signifikan dari masing-masing kelompok uji dengan signifikansi p<0,05.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SEUKT dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB memberikan efek peningkatan titer antibodi sel imun mencit. Sedangkan pemberian SS dosis 50 mg/kg BB menurunkan titer antibodi sel imun mencit. Peningkatan titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th, yaitu sel Th2 untuk menstimulasi produksi dan meningkatkan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, et.al., 1989). Antibodi akan berikatan dengan

antigen yang menginfeksi tubuh. Ikatan antigen dan antibodi memberikan gambaran adanya efek stimulasi ekstrak umbi keladi tikus terhadap respon imun humoral yang berkaitan dengan stimulasi dan aktivasi sel B.


(57)

Berdasarkan uraian hasil uji statistik di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SEUKT memberikan efek meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Pemberian SEUKT dosis 400 mg/kg BB memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian SEUKT dosis 100 mg/kg BB dan SEUKT dosis 200 mg/kg BB. Sedangkan pemberian SS dosis 50 mg/kg BB menunjukkan efek yang meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat tetapi menurunkan nilai titer antibodi sel imun mencit. Hal ini sesuai dengan mekanisme siklofosfamida berdasarkan literatur dan hasil penelitian sebelumnya, yaitu menekan proliferasi sel T supresor dan menekan produksi antibodi. (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010; Mitsuoka,1979).

Harfia (2006) menyatakan bahwa pada penelitian terdahulu, keladi tikus mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid, dan lignan (polifenol). Menurut hasil skrining fitokimia oleh Nobakht, et.al., (2010), alkaloid dan flavonoid merupakan

konstituen fitokimia utama dari keladi tikus. Hasil skrining fitokimia oleh Nasution (2010) menunjukkan keladi tikus mengandung alkaloid dan triterpenoid.

Walau belum diketahui dengan spesifik kandungan zat-zat aktifnya, dilihat dari hasil penelitian, umbi keladi tikus dianggap memiliki efek imunostimulan berdasarkan kerjanya yang mampu meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi secara signifikan.

Berdasarkan pengamatan tersebut, keladi tikus dapat digunakan sebagai imunostimulator terkait dengan pengaruhnya dalam meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa :

a. pemberian ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan

b. pemberian ekstrak etanol umbi keladi tikus dapat meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian ini terkait dengan isolasi dan identifikasi zat aktif dalam umbi keladi tikus serta efeknya terhadap sistem imun.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2009). Keladi Tikus. CCRC Farmasi UGM. Tanggal akses 26 April 2012. www.ugm.ac.id/ccrc

Baratawidjaja, G.K., dan Rengganis, I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 529-530.

Bellanti, J.A. (1993). Immunology III. Washington. D.C: Georgetown University School of Medicine. Halaman 18.

DeAngelis, K.M. (2007). Phosphate Buffer Saline a.k.a PBS. Diakses tanggal 15 Agustus 2011. http:

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 266.

Depkes RI. (2006). Profil Kesehatan Indonesia 2004: Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 16, 20, 130.

Ditjen POM. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 169-171.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 300- 306, 321, 325, 333-337.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 5, 10-11.

Fulzele, S.V., Bhurchandi, P.M., Kanoje, V.M., Joshi, S.B., dan Dorle, A.K. (2002). Immunostimulant Acitivity of Astamanghal Ghrita in Rats. Ind J Pharmacol. 34(3): 194-197.

Handojo, I. (2003). Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 1.

Hargono, D., Winarso, M.W., dan Werawati, A. (2000). Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.) terhadap aktivitas Sistem Imun Mencit Putih. Cermin Dunia Kedokteran 127: 22-29.

Kuby, J. (1994). Immunology. Edisi Kedua. New York: W.H. Freeman and Company. Halaman 23-45.

Kresno, B.S. (2010). Imunologi: Diagnosis dan Proses Laboratorium. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 179.


(1)

Lampiran 9. Pembengkakan Kaki Mencit dan Hemaglutinasi

Kaki Mencit Sebelum Induksi Antigen


(2)

Lampiran 9.

(Lanjutan)

Hemaglutinasi Titer Antibodi

Aglutinasi (+)


(3)

Lampiran 10. Tabel Hasil Perhitungan Statistik

Tabel Deskriptif

Descriptives

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

Pembengkakan Kontrol Negatif 5 .5000 .07071 .03162 .4122 .5878 .40 .60 100 mg/kgBB 5 1.1200 .10954 .04899 .9840 1.2560 1.00 1.30 200 mg/kgBB 5 1.4400 .11402 .05099 1.2984 1.5816 1.30 1.60 400 mg/kgBB 5 1.8400 .25100 .11225 1.5283 2.1517 1.50 2.20 Kontrol Positif 5 1.7600 .15166 .06782 1.5717 1.9483 1.60 2.00 Total 25 1.3320 .51698 .10340 1.1186 1.5454 .40 2.20 Titerantibodi Kontrol Negatif 5 2.4040 .37951 .16972 1.9328 2.8752 2.00 2.81 100 mg/kgBB 5 3.7700 .32863 .14697 3.3619 4.1781 3.41 4.01 200 mg/kgBB 5 5.4540 .33411 .14942 5.0391 5.8689 5.21 5.82 400 mg/kgBB 5 6.3000 .26833 .12000 5.9668 6.6332 5.82 6.42 Kontrol Positif 5 1.7200 .26833 .12000 1.3868 2.0532 1.60 2.20 Total 25 3.9296 1.80185 .36037 3.1858 4.6734 1.60 6.42

Tabel Uji Normalitas

Tests of Normality

Perlakuan

Kolmogorov-Smirnov

a

Shapiro-Wilk

Statistic

df

Sig.

Statistic

df

Sig.

Pembengkakan

Kontrol Negatif

.300

5

.161

.883

5

.325

100 mg/kgBB

.372

5

.022

.828

5

.135

200 mg/kgBB

.237

5

.200

*

.961

5

.814

400 mg/kgBB

.237

5

.200

*

.950

5

.740

Kontrol Positif

.254

5

.200

*

.914

5

.492

Titerantibodi

Kontrol Negatif

.305

5

.146

.816

5

.108

100 mg/kgBB

.367

5

.026

.684

5

.006

200 mg/kgBB

.367

5

.026

.684

5

.006

400 mg/kgBB

.473

5

.001

.552

5

.000

Kontrol Positif

.473

5

.001

.552

5

.000

a. Lilliefors Significance Correction


(4)

Lampiran 10.

(Lanjutan)

Tabel Uji ANAVA Satu Arah (

One Way ANOVA

)

ANOVA

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Pembengkakan

Between Groups

5.950

4

1.488

64.121

.000

Within Groups

.464

20

.023

Total

6.414

24

Titerantibodi

Between Groups

75.889

4

18.972

186.860

.000

Within Groups

2.031

20

.102


(5)

Lampiran 9.

(Lanjutan)

Tabel Uji

Post Hoc Tukey

Multiple Comparisons

Tukey HSD

Dependent

Variable (I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound Pembengkakan Kontrol Negatif 100 mg/kgBB -.62000* .09633 .000 -.9083 -.3317

200 mg/kgBB -.94000* .09633 .000 -1.2283 -.6517 400 mg/kgBB -1.34000* .09633 .000 -1.6283 -1.0517 Kontrol Positif -1.26000* .09633 .000 -1.5483 -.9717 100 mg/kgBB Kontrol Negatif .62000* .09633 .000 .3317 .9083 200 mg/kgBB -.32000* .09633 .025 -.6083 -.0317 400 mg/kgBB -.72000* .09633 .000 -1.0083 -.4317 Kontrol Positif -.64000* .09633 .000 -.9283 -.3517 200 mg/kgBB Kontrol Negatif .94000* .09633 .000 .6517 1.2283 100 mg/kgBB .32000* .09633 .025 .0317 .6083 400 mg/kgBB -.40000* .09633 .004 -.6883 -.1117 Kontrol Positif -.32000* .09633 .025 -.6083 -.0317 400 mg/kgBB Kontrol Negatif 1.34000* .09633 .000 1.0517 1.6283 100 mg/kgBB .72000* .09633 .000 .4317 1.0083 200 mg/kgBB .40000* .09633 .004 .1117 .6883

Kontrol Positif .08000 .09633 .918 -.2083 .3683 Kontrol Positif Kontrol Negatif 1.26000* .09633 .000 .9717 1.5483 100 mg/kgBB .64000* .09633 .000 .3517 .9283 200 mg/kgBB .32000* .09633 .025 .0317 .6083 400 mg/kgBB -.08000 .09633 .918 -.3683 .2083 Titerantibodi Kontrol Negatif 100 mg/kgBB -1.36600* .20153 .000 -1.9690 -.7630

200 mg/kgBB -3.05000* .20153 .000 -3.6530 -2.4470 400 mg/kgBB -3.89600* .20153 .000 -4.4990 -3.2930 Kontrol Positif .68400* .20153 .021 .0810 1.2870 100 mg/kgBB Kontrol Negatif 1.36600* .20153 .000 .7630 1.9690 200 mg/kgBB -1.68400* .20153 .000 -2.2870 -1.0810

400 mg/kgBB -2.53000* .20153 .000 -3.1330 -1.9270 Kontrol Positif 2.05000* .20153 .000 1.4470 2.6530 200 mg/kgBB Kontrol Negatif 3.05000* .20153 .000 2.4470 3.6530 100 mg/kgBB 1.68400* .20153 .000 1.0810 2.2870 400 mg/kgBB -.84600* .20153 .004 -1.4490 -.2430

Kontrol Positif 3.73400* .20153 .000 3.1310 4.3370 400 mg/kgBB Kontrol Negatif 3.89600* .20153 .000 3.2930 4.4990 100 mg/kgBB 2.53000* .20153 .000 1.9270 3.1330 200 mg/kgBB .84600* .20153 .004 .2430 1.4490 Kontrol Positif 4.58000* .20153 .000 3.9770 5.1830

Kontrol Positif Kontrol Negatif -.68400* .20153 .021 -1.2870 -.0810 100 mg/kgBB -2.05000* .20153 .000 -2.6530 -1.4470 200 mg/kgBB -3.73400* .20153 .000 -4.3370 -3.1310


(6)

Lampiran 10.

(Lanjutan)

Tabel Homogeneous

Pembengkakan

Tukey HSD

a

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

3

4

Kontrol Negatif

5

.5000

100 mg/kgBB

5

1.1200

200 mg/kgBB

5

1.4400

Kontrol Positif

5

1.7600

400 mg/kgBB

5

1.8400

Sig.

1.000

1.000

1.000

.918

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Titerantibodi

Tukey HSD

a

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1

2

3

4

5

Kontrol Positif

5

1.7200

Kontrol Negatif

5

2.4040

100 mg/kgBB

5

3.7700

200 mg/kgBB

5

5.4540

400 mg/kgBB

5

6.3000

Sig.

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.


Dokumen yang terkait

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

6 95 87

Efek Imunostimulator Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titerantibodi Sel Imun Pada Mencit Jantan

5 78 91

Efek Imunomodulator Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma Heyneana Val. Et Van Zijp.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

4 58 85

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 14

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 2

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 2 5

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 10

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan Chapter III V

0 0 16

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 3 4

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 15