Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus

PENGARUH PEMBERIAN DAUN ACACIA VILLOSA
DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS

DIYAH KUSWARINI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK

DIYAH KUSWARINI. 2007. Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus
dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus. Dibimbing
oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.
Acacia villosa adalah leguminosa yang potensial sebagai pakan ternak
karena mengandung protein tinggi (22-28%). Namun pemanfaatan Acacia villosa
terkendala karena mengandung senyawa sekunder yang bersifat toksik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap senyawa sekunder
daun Acacia villosa yang diamati melalui performa, nilai fungsi dan gambaran

histopatologi ginjal serta gambaran darah tikus setelah percobaan selama 4
minggu. Sebanyak 18 ekor tikus (Rattus rattus) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
kelompok kontrol yang diberi pakan kontrol, kelompok KS yang diberi pakan
yang dicampur dengan tepung daun Acacia villosa dikukus, dan kelompok TKS
yang diberi pakan yang mengandung daun Acacia villosa tidak dikukus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa tikus kelompok KS tidak
berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok TKS, namun ginjal kedua kelompok
mengalami edema glomerulus dan degenerasi tubular akut. Kadar ureum darah
pada pemeriksaan fungsi ginjal menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada
kelompok KS dan TKS (p>0.05). Kelompok tikus yang diberi daun Acacia villosa
dikukus memperlihatkan kadar hematokrit dan hemoglobin yang lebih tinggi dan
berbeda nyata (p0.05) in performance but all
groups have glomerular edema and hydropic degeneration and necrosis of
proximal tubulus. The group of steamed leaf showed lower presentation of
glomerular edema and necrosis of proximal tubules. The rats treated with
steamed and un-steamed of Acacia villosa leaf give effect on kidney function,
especially on ureum level. Based on these parameters on rat bioassays conclude
that steaming of Acacia villosa leaf lowered nephrotoxic secondary compounds

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 April 1984 dari pasangan
Kuswara Adras dan Tati Suharti sebagai anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan Dasar diselesaikan penulis di SDN Pasir Eurih 1 Bogor tahun
1990-1996, dilanjutkan ke SMPN 3 Bogor (1996-1999) danSMUN 3 Bogor
(1999-2002). Pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama perkuliahan penulis aktif tergabung ke dalam HKSA (Himpunan
Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik) (2003-2006), Paduan
Suara Gita Klinika (2003-2006) dan menjadi asisten praktikum mata kuliah
Patologi Veteriner Sistemik II (2006-2007).

sekamar di asrama Putri A2 271 dan 270, teman Paduan Suara Gita Klinika,
Steril, Puzzle, HKSA dan Gita, terimakasih untuk segala dukungan dan doanya

Bogor, Februari 2007

Penulis

DAFTAR ISI


Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL

…………………………………………………… vii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang

…………………………………………… 1

Tujuan ………………………………………………………….. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Acacia villosa …………………………………………………... 3

Tannin ………………………………………………………....... 3
Asam Amino non-protein

………………………………….... 5

Ginjal ………………………………………………………….... 6
Detoksikasi Senyawa Sekunder Acacia villosa

………….... 9

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat

………………………………………….... 10

Bahan dan Alat

….………………………………………... 10

Metode


.…………………………………………………... 10

Pembuatan Sediaan Tepung Daun Acacia villosa
Desain Penelitian

….... 10

…………………………………… 10

Pembuatan Preparat Histopatologi……………………….
Evaluasi Histopatologi

11

…………………………… 11

Analisa Data ………………………………………........ 12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus dan Tidak

Dikukus Terhadap Performa Tikus……………………………....

13

Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Ginjal

…...

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

…………………………………………………...

25

Saran …………………………………………………………...


25

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...

26

PENGARUH PEMBERIAN DAUN ACACIA VILLOSA
DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS

DIYAH KUSWARINI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK

DIYAH KUSWARINI. 2007. Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus

dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus. Dibimbing
oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.
Acacia villosa adalah leguminosa yang potensial sebagai pakan ternak
karena mengandung protein tinggi (22-28%). Namun pemanfaatan Acacia villosa
terkendala karena mengandung senyawa sekunder yang bersifat toksik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap senyawa sekunder
daun Acacia villosa yang diamati melalui performa, nilai fungsi dan gambaran
histopatologi ginjal serta gambaran darah tikus setelah percobaan selama 4
minggu. Sebanyak 18 ekor tikus (Rattus rattus) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
kelompok kontrol yang diberi pakan kontrol, kelompok KS yang diberi pakan
yang dicampur dengan tepung daun Acacia villosa dikukus, dan kelompok TKS
yang diberi pakan yang mengandung daun Acacia villosa tidak dikukus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa tikus kelompok KS tidak
berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok TKS, namun ginjal kedua kelompok
mengalami edema glomerulus dan degenerasi tubular akut. Kadar ureum darah
pada pemeriksaan fungsi ginjal menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada
kelompok KS dan TKS (p>0.05). Kelompok tikus yang diberi daun Acacia villosa
dikukus memperlihatkan kadar hematokrit dan hemoglobin yang lebih tinggi dan
berbeda nyata (p0.05) in performance but all
groups have glomerular edema and hydropic degeneration and necrosis of

proximal tubulus. The group of steamed leaf showed lower presentation of
glomerular edema and necrosis of proximal tubules. The rats treated with
steamed and un-steamed of Acacia villosa leaf give effect on kidney function,
especially on ureum level. Based on these parameters on rat bioassays conclude
that steaming of Acacia villosa leaf lowered nephrotoxic secondary compounds

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 April 1984 dari pasangan
Kuswara Adras dan Tati Suharti sebagai anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan Dasar diselesaikan penulis di SDN Pasir Eurih 1 Bogor tahun
1990-1996, dilanjutkan ke SMPN 3 Bogor (1996-1999) danSMUN 3 Bogor
(1999-2002). Pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama perkuliahan penulis aktif tergabung ke dalam HKSA (Himpunan
Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik) (2003-2006), Paduan
Suara Gita Klinika (2003-2006) dan menjadi asisten praktikum mata kuliah
Patologi Veteriner Sistemik II (2006-2007).

sekamar di asrama Putri A2 271 dan 270, teman Paduan Suara Gita Klinika,

Steril, Puzzle, HKSA dan Gita, terimakasih untuk segala dukungan dan doanya

Bogor, Februari 2007

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL

…………………………………………………… vii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..

ix

PENDAHULUAN

Latar Belakang

…………………………………………… 1

Tujuan ………………………………………………………….. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Acacia villosa …………………………………………………... 3
Tannin ………………………………………………………....... 3
Asam Amino non-protein

………………………………….... 5

Ginjal ………………………………………………………….... 6
Detoksikasi Senyawa Sekunder Acacia villosa

………….... 9

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat

………………………………………….... 10

Bahan dan Alat

….………………………………………... 10

Metode

.…………………………………………………... 10

Pembuatan Sediaan Tepung Daun Acacia villosa
Desain Penelitian

….... 10

…………………………………… 10

Pembuatan Preparat Histopatologi……………………….
Evaluasi Histopatologi

11

…………………………… 11

Analisa Data ………………………………………........ 12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus Terhadap Performa Tikus……………………………....

13

Pengaruh Pemberian Daun Acacia villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Ginjal

…...

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

…………………………………………………...

25

Saran …………………………………………………………...

25

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...

26

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Performa tikus pasca pemberian daun A.villosa dikukus dan
tidak dikukus selama 4 minggu................................................

13

2. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap gambaran kerusakan glomelurus ginjal........

16

3. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap gambaran kerusakan tubulus ginjal............... 19
4. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap gambaran fungsi ginjal................................. 21
5. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap gambaran darah............................................. 22

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Pengaruh pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap konsumsi pakan tikus selama 4 minggu........

14

2. Pengaruh pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak
dikukus terhadap bobot badan tikus selama 4 minggu............... 14
3. Glomerulus ginjal tikus dengan endapan protein dalam
mesangium dan ruang Bowman serta perluasan ruang
Bowman pasca pemberian daun A.villosa selama 4 minggu.....

17

4. Tubulus ginjal tikus yang mengalami degenerasi hidropis,
nekrosa dan endapan protein dalam lumen pasca pemberian
daun A.villosa selama 4 minggu………………….…………… 18
5. Persentase kerusakan glomerulus ginjal pasca pemberian daun
Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4
minggu………………………………………………………… 19
6. Persentase kerusakan tubulus ginjal pasca pemberian daun
Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu….. 20

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Komposisi pakan...…………………………………………… 30
2. Uji ANOVA Bobot badan....…………………………………. 30
3. Uji ANOVA konsumsi pakan tikus pasca pemberian daun
Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus ............................... 32
4. Kerusakan tubulus pasca pemberian daun Acacia villosa
dikukus dan tidak dikukus........................................................

34

5. Kerusakan glomerulus pasca pemberian daun Acacia villosa
dikukus dan tidak dikukus .......................................................

35

6. Uji ANOVA terhadap kerusakan histopatologi ginjal pasca
pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus......

35

7. Uji ANOVA terhadap fungsi ginjal tikus pasca pemberian
daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus........................ 38
8. Uji ANOVA terhadap gambaran darah tikus pasca pemberian 39
daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus........................
9. Perhitungan indeks eritrosit….…….………………………....

41

10. Pembuatan sediaan histopatologi...…………………………... 42
11. Teknik pewarnaan……………………………………………. 42

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam usaha peningkatan mutu hasil ternak dibutuhkan manajemen
pemeliharaan ternak yang baik. Salah satu usaha manajemen pemeliharaan adalah
pemenuhan pakan ternak yang dapat mendukung kehidupan pokok, produksi dan
reproduksi.

Pakan ternak yang tersedia harus baik dalam kualitas maupun

kuantitas dan sumber nutrien pakan ternak dapat berasal dari hijauan atau
konsentrat.
Sumber pakan ternak utama adalah hijauan atau rumput-rumputan.
Rumput sebagai pakan pokok ternak domba dan kambing mengandung bahan
kering 15-20%, protein ± 2% dan energi ± 4300 kal/g bahan kering (Wiradarya
1991). Di daerah tropis kualitas hijauan sangat rendah sehingga harus dicari
sumber pakan lain yang memiliki kualitas lebih baik dari hijauan tersebut. Hijauan
yang dapat dijadikan sumber protein pakan diantaranya adalah Acacia villosa
yang merupakan salah satu tanaman leguminosa.
A.villosa

adalah tanaman leguminosa dari famili Mimosoideae yang

dibawa ke Indonesia dari Curaco (West Indies) pada tahun 1920. Tanaman ini
tumbuh secara luas terutama di daerah penyangga hutan. A.villosa mengandung
protein sebesar 22-28% sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein
pakan (Wina dan Tangendjaja 2000). Namun demikian tanaman ini juga
mengandung senyawa sekunder yang bersifat antinutrisi diantaranya asam amino
non-protein (AANP), tannin, oksalat, cyanoglikosid, fluroacetat dan saponin yang
bersifat toksik (ILCA dalam Bansi 2001).
Asam amino non-protein yang terkandung dalam A.villosa

adalah 2-

amino-4-acetylaminobutiric acid (ADAB), 2,4-diaminobutiric acid (DABA) dan
oxalylalbizzine (Smith et al. 2001). Senyawa sekunder tanin bersifat sebagai
antinutrisi karena dapat menghambat pertumbuhan. Efek negatif ini sebagai akibat
dari kombinasi antara rendahnya asupan pakan dan protein tercerna (Reed 2004).
Pada pengujian in vivo A.villosa

yang dilakukan oleh Wina dan

Tangendjaja (2000) terhadap domba tanpa adaptasi, menunjukkan terjadinya
kematian yang tinggi hingga 75% dalam satu minggu. Kematian domba diduga

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian

dilaksanakan

di

Bagian

Patologi

Departemen

Klinik,

Reproduksi dan Patologi FKH IPB dan Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi dari
bulan Februari 2005 sampai Juli 2006.

Bahan dan alat
Bahan yang digunakan adalah Acacia villosa, bahan-bahan pakan, eter,
BNF 10%, alkohol bertingkat, alkohol absolut, xylol bertingkat, xylol absolut,
paraffin, pewarna Hematoksilin Eosin, nitrogen cair dan air minum. Hewan
percobaan yang dipakai adalah tikus putih (Rattus norvegicus albino ) betina
berumur 4 minggu. Alat yang digunakan adalah kandang tikus, timbangan, freeze
dryer, dandang dan alat nekropsi.

Metode
1. Pembuatan sediaan tepung daun Acacia villosa
Daun A.villosa segar dikukus selama 10 menit, kemudian direndam dalam
nitrogen cair, selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer selama satu
minggu. Daun yang telah kering kemudian digiling menjadi tepung daun. Sebagai
pembanding, daun Acacia villosa segar langsung direndam dalam nitrogen cair
dan dikeringkan dalam freeze dryer. Sebanyak 21% masing-masing tepung daun
dicampurkan dengan bahan-bahan pakan dan dibuat pellet. Penambahan tepung
daun sebanyak 21% didasarkan pada hasil uji penduluan. Pada konsentrasi ini
tepung daun masih bisa dikonsumsi tikus dalam artian tikus mau memakannya
dan masih bisa dibentuk pellet.

2. Desain penelitian
Sebanyak 18 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, kelompok
kontrol (K) yang diberi pakan tanpa tepung daun, kelompok yang diberi daun
tidak dikukus (TKS) dan kelompok yang diberi daun dikukus (KS).

2

disebabkan aktivitas AANP A.villosa . ADAB diduga mengalami biotransformasi
menjadi DABA yang bersifat toksik selama dicerna ternak (Subagyo 2002).
Pada tanaman Leucaena leucephala, asam amino non-protein mimosin
yang bersifat toksik dapat berubah menjadi 3-hydroxi-4(1H)-pyridone (DHP)
yang kurang toksik melalui proses pemanasan pada suhu 70oC selama 10 menit.
Pada percobaan ini ingin diketahui adakah perubahan senyawa AANP ADAB
menjadi DABA yang kurang toksik di daun seperti terjadi pada tanaman
Leucaena.
Berdasarkan strukturnya yang menyerupai asam amino penyusun protein,
zat anti nutrisi ini kemungkinan bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan
cara pengukusan. Proses pengukusan menyebabkan inaktivasi enzim sehingga
diharapkan konversi ADAB menjadi DABA dapat dicegah.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh pengukusan
terhadap senyawa sekunder daun A.villosa yang diamati melalui performa, nilai
fungsi dan gambaran histopatologi ginjal serta gambaran darah tikus setelah
percobaan selama 4 minggu.

4

2004).
Efek yang dapat timbul secara langsung ketika mengkonsumsi tanin adalah
rasa sepat. Selain itu tanin juga memberi efek negatif terhadap asupan pakan,
kecernaan pakan dan efisiensi produksi. Pada pertumbuhan, tanin juga memberi
efek negatif sebagai akibat dari rendahnya asupan pakan dan protein tercerna
(Reed 1994). Efek negatif tanin dipengaruhi oleh jumlah dan tipe tanin yang
dicerna dan toleransi individu. Menurut Kummar dalam Odenyo et al. (2003), ada
berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi antinutrien pada
tanaman pakan yaitu hasil panen rendah antinutrien, pencucian daun untuk
menghilangkan antinutrien yang larut dalam air, pencampuran pakan, pemanasan,
pemanenan waktu kandungan antinutrien rendah dan pengikatan dengan agen.
Penurunan asupan pakan terjadi karena adanya penurunan palatibilitas
akibat rasa sepat dan adanya efek negatif dari tanin. Pakan hijauan yang kaya akan
kandungan tanin akan lebih baik dikonsumsi dalam keadaan kering dibanding
dalam keadaan segar (Anonim 2006b).
Pengeringan dapat mengurangi kadar tanin dan menyebabkan tanin
membentuk komplek tidak tercerna dengan nutrien. Selain itu, pengeringan juga
dapat merusak struktur reaktif tanin (Ahn et al. dalam Hove et al. 2003) dan dapat
membentuk kompleks antara tanin-protein dan atau tanin-karbohidrat (Hove et al.
2003).
Menurut Makkar dan Singh dalam Hove et al. (2003), pengeringan pada
daun oak mempengaruhi kadar air terhadap ekstrak total fenol dan tanin
terkondensasi. Kadar air yang tinggi menghasilkan ekstrak yang rendah, sehingga
akan mempengaruhi kemampuan tanin dalam berikatan dengan protein.

Asam Amino Non-Protein (AANP)
Asam amino non-protein (AANP) adalah asam amino yang tidak termasuk
dalam kelompok protein. Lebih dari 200 AANP telah diidentifikasi, dan
kebanyakan beranalog dengan asam amino pembentuk protein. AANP bisa
berperan sebagai antimetabolit (Tangendjaja et al. 1992). Sejumlah AANP telah
diidentifikasi terkandung di daun A.angustissima dan dihubungkan dengan
toksisitas pada ruminansia. AANP utama yang terkandung dalam A.angustissima

5

adalah 2,4-diaminobutyric acid (ADAB) (McSweeney 2005) yang akan
dikonversi menjadi DABA di dalam tubuh ruminansia. ADAB yang terkandung
dalam daun A.angustissima memiliki efek dan struktur yang sama dengan DABA
yang terkandung dalam Lathyrus sp (Dewa 2005).
AANP yang lain adalah mimosine yang terkandung pada tanaman
Leucaena leucocephala. Efek toksik mimosine pada manusia dan ruminan adalah
merontokkan rambut. Pemberian mimosine secara intra vena pada domba
menyebabkan pengurangan sintesis tirosin sebagai komponen protein wool. Pada
ruminansia, mimosine dikonversi menjadi dihydroxy pyridine (DHP) di rumen.
DHP merupakan bahan yang bersifat goitrogen, menurunkan level tiroksin darah
dan meyebabkan hilangnya nafsu makan (Jones dalam D’Mello 2003). Mimosine
mengakibatkan efek toksik dengan memblokade metabolisme asam amino
aromatik dan triptofan, juga bersifat antagonis dengan menghalangi biosintesis
protein. Kadar mimosine akan berkurang jika ditambahkan ferrous sulfat atau
dengan memanaskan daun Leucaena leucocephala (D’Mello 1992). Kandungan
mimosine lebih banyak berkurang dengan proses pemanasan dibandingkan
dengan pengeringan. Pemanasan pada suhu 70°C selama 15 menit menurunkan
kadar mimosine sebanyak 90% (Anonim 2006b).
Canavanine merupakan AANP yang secara struktural analog dengan
arginine. Tersebar luas pada berbagai leguminosa termasuk Canavalia ensiformis.
Ternak ayam terutama anak ayam sangat sensitif terhadap canavanine. Pada
mamalia, canavanine dapat dimetabolisme melalui jalur siklus urea. Canavanine
mengurangi asupan pakan dengan cara menghambat sintesis nitrit oksida. Sifat
toksik canavanine yang lain yaitu mampu berperan seperti lysine. Bekerja dengan
cara menghambat aktivitas enzim transamidase sehingga menyebabkan penurunan
sintesis kreatin (D’Mello 2003a).

Ginjal
Ginjal merupakan organ utama sasaran toksisitas karena fungsi ginjal
dalam filtrasi, metabolisme dan ekskresi racun (Seely 1999) dan merupakan organ
yang bertanggung jawab dalam proses homeostatis tubuh. Organ ini berperan
dalam mengeluarkan sisa metabolisme dan mempertahankan material yang

6

dibutuhkan tubuh, termasuk di dalamnya protein dengan berat jenis rendah, air
dan beberapa jenis elektrolit (Cunningham 1997).
Unit fungsional ginjal adalah nefron yang memiliki fungsi dasar dalam
membersihkan plasma darah dari zat-zat metabolit seperti urea, kreatinin, asam
urat dan membersihkan ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen berlebih yang
cenderung terkumpul di tubuh (Guyton 1992). Nefron sebagai unit yang berperan
utama dalam sistem urinari, meregulasi komposisi darah dan mengeluarkan
kotoran dari darah dalam bentuk urin (Tortora 1990).
Setiap nefron terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, loop of henle,
tubulus distal, duktus koloiduktus dan pembuluh darah. Dalam pembentukan urin,
mekanisme kerja dari nefron adalah dengan menyaring sebagian plasma,
mereabsorpsi air dan elektrolit dan mensekresi zat yang tidak dikehendaki
(Guyton 1992). Sebagai suatu unit, kerusakan nefron akan berpengaruh pada
kerusakan komponen lain dan mengurangi fungsi kerja dari seluruh nefron.
Glomerulus tersusun secara kompleks atas kapiler-kapiler dalam suatu
matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Aliran darah yang masuk melalui
kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Menurut Confer dan
Panciera (1995), kerusakan pada barier filtrasi glomerulus menyebabkan berbagai
manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi klinis
tersebut adalah lolosnya protein berberat molekul kecil pada filtrat glomerulus dan
urin. Selain itu, aliran darah abnormal pada kapiler juga dapat menyebabkan
terjadinya edema ginjal.
Edema nefron tergambar dengan adanya peningkatan kadar protein dalam
urin dan penurunan konsentrasi protein dalam plasma. Aakibat permeabilitas
kapiler terhadap protein meningkat dan banyaknya albumin yang hilang
menyebabkan berkurangnya tekanan osmotik dan hidrostatik (Vrzgula 1991).
Menurut Confer dan Panciera (1995), kerusakan glomerulus sering
disebabkan oleh adanya deposisi immun kompleks, thrombosis, emboli dan
infeksi virus atau bakteri secara langsung pada kompenen glomerulus. Kerusakan
akan menyebabkan berbagai dampak baik secara morfologi maupun secara
fungsional. Secara morfologis, kerusakan glomerulus ditandai dengan terjadinya
nekrosa atau proliferasi dari sel, membran dan infiltrasi leukosit. Kerusakan

7

glomerulus secara fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah,
lolosnya protein dan makromolekul lainnya dalam jumlah besar pada filtrat
glomerulus. Kerusakan pada glomerulus berupa atrofi dan fibrosis menyebabkan
atrofi sekunder pada tubulus renalis.
Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali
natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam penggunaan
kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimal paling sering terserang iskemia
atau rusak akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi disebabkan oleh laju
metabolisme yang tinggi.

Tubulus merespon kerusakan dengan degenerasi,

nekrosis dan atrofi.
Menurut Confer dan Panciera (1995), degenerasi hidropis merupakan
gambaran utama dari kerusakan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap
air sehingga menyebabkan sel bengkak. Kerusakan akut terjadi akibat gangguan
pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskemia. Respon
kerusakan setelah degenerasi diikuti oleh nekrosa dan deskuamasi sel epitel
tubulus.
Perjalanan sel dari degenerasi menuju nekrosa dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu perubahan tekanan, pH yang rendah, peningkatan laju metabolisme
dan hipoksia. Semua faktor tersebut menyebabkan kurangnya adenosin trifosfat
(ATP) sebagai sumber energi sel, sehingga proses pemenuhan energi terhenti dan
degenerasi sel berlanjut menjadi nekrosa (Cheville 1999).
Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi utama dalam
memgekskresikan nitrogenous wastes seperti ureum, uric acid, kreatinin dan
ammonium (Mader 2001). Pada studi toksisitas, fungsi ginjal dapat dievaluasi
melalui urinalisis dan serum darah. Serum darah yang diperiksa adalah kreatinin
dan ureum (Seely 1999). Ureum disintesis dari ammonia selama proses
katabolisme protein. Kadar ureum bergantung pada jumlah asam amino yang
dikatabolis (Finco 1980). Menurut Ganong (1995), jumlah ureum bervariasi
dalam urin sesuai dengan jumlah ureum yang difiltrasi dan masukan protein diet.
Kadar ureum yang tinggi diakibatkan oleh faktor ginjal, diet tinggi protein, proses
katabolisme jaringan dan hemoragi pada saluran pencernaan (Meyer et al. 1992).
Kadar ureum yang rendah diakibatkan oleh kurangnya asupan protein akibat

8

kurang makan, gangguan penyerapan dan akibat insufisiensia hati.
Parameter lain yang digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal adalah
kadar kreatinin. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari keratin dan merupakan
produk akhir dari metabolisme otot (Mader 2001). Kreatin disintesis dari asam
amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Penurunan laju filtrasi
glomerulus dapat meningkatkan konsentrasi kreatinin dalam serum (Meyer et al.
1992). Kadar kreatinin tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas dan
diet, dan kreatinin diekskresikan melalui urin.
Darah mentransportasikan oksigen dan nutrien keseluruh tubuh. Darah
memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah mempertahankan homeostatis,
meregulasi suhu tubuh, menjaga pH darah, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan memerangi infeksi. Ginjal dan darah berperan dalam menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit (Mader 2001). Pembentukan darah disebut
hematopoiesis, berlangsung dalam sumsum tulang pada individu dewasa dan di
dalam hati dan limpa pada fetus (Ganong 1995). Darah terdiri dari benda darah
dan plasma darah. Benda darah terdiri dari benda darah merah (BDM), benda
darah putih (BDP) dan platelet.
BDM membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Pembentukkan BDM atau
eritrosit disebut dengan eritropoiesis, dikendalikan oleh hormon eritropoietin yang
disekresikan oleh ginjal (Ganong 1995). Eritropoietin adalah glikoprotein yang
tersusun dari 24% karbohidrat dan 10% sialic acid, ditemukan pada plasma dan
pada konsentrasi yang rendah juga ditemukan dalam urin (Valli 1993).
Hemoglobin adalah pigmen darah, berikatan dengan oksigen membentuk
oksihemoglobin dan berfungsi dalam suplai oksigen ke jaringan. Komponen
penyusunnya adalah besi, protoporfirin dan rantai globin serta disintesis oleh
kontrol genetik (Valli 1993).
BDP atau leukosit dibagi menjadi granular leukosit dan agranular leukosit.
Granular leukosit terdiri dari basofil, eosinofil dan neutrofil. Agranular leukosit
terdiri dari monosit dan limfosit. Setiap jenis leukosit memiliki peranan khusus
dalam pertahanan tubuh melawan penyakit (Mader 2001). Jumlah leukosit dapat
naik atau turun dalam sirkulasi sebagai akibat adanya penyakit (Spector dan
Spector 1993).

9

Pengukusan dan Freeze Dryng
Pengolahan terhadap bahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu perlakuan fisik, kimia dan biologis. Yang paling banyak dilakukan
adalah perlakuan fisik yaitu dengan pemanasan, meliputi pemasakan, pengeringan
dan sterilisasi.
Selama pengolahan dimungkinkan timbul reaksi antara komponen bahan
makanan dengan bahan-bahan yang ditambahkan. Secara umum reaksi yang
timbul menguntungkan tetapi tidak jarang juga merugikan. Reaksi yang
merugikan diantaranya adalah penurunan daya cerna, penurunan ketersediaan zat
gizi bahkan kadang menghasilkan senyawa toksik atau merugikan bagi tubuh
(Muchtadi 1992 ).
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menguapkannya. Terdapat dua
tipe pengeringan, yaitu secara alami dan buatan. Menurut Wirakartakusumah
dalam Manullang (1995), pengeringan dapat dilakukan melalui penguapan
menggunakan energi surya maupun energi panas serta dehydro freeze dan freeze
drying. Lyophilization nama lain untuk freeze drying merupakan proses dehidrasi
yang digunakan untuk mengawetkan bahan makanan yang mudah rusak atau
memudahkan dalam transportasi (Anonim 2006c).
Pengukusan ditujukan untuk menonaktifkan enzim, sehingga dalam
kondisi enzim yang tidak aktif perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang
tidak dikehendaki selama proses penyimpanan dapat dicegah (Sianturi 2002).
Menurut Lowry et al. 1983, pemecahan mimosin menjadi DHP dapat dilakukan
oleh enzim yang ada di daun, batang dan biji lamtoro. Enzim akan menjadi aktif
jika jaringan pada lamtoro segar dihancurkan. Pada suhu 70°C selama 15 menit
terjadi pemecahan yang optimal dari mimosin menjadi DHP. Pada percobaan ini
diharapkan enzim yang dapat merubah ADAB menjadi DABA di daun A.villosa
terinaktivasi oleh pengukusan.

TINJAUAN PUSTAKA
Acacia villosa
Acacia villosa adalah salah satu jenis leguminosa yang termasuk semak
dari keluarga Mimosoidae. Menurut Cheeke (2004), Acacia spp merupakan
tanaman leguminosa yang berasal dari Australia dan Afrika, banyak ditemukan
sebagai tanaman penyangga hutan. A.villosa juga dikenal dengan nama lamtoro
merah. Diantara berbagai jenis akasia ada satu jenis yang menyerupai A.villosa
yaitu A. angustissima, yang sering digunakan sebagai pakan alternatif pengganti
Leucaena leucocephala (Cheeke 2004).
Tanaman A.villosa memiliki kandungan protein kasar sekitar 22-28 %
sehingga tanaman ini potensial digunakan sebagai sumber protein pakan ternak
ruminansia (Wina danTangendjaja 2000). Selain mengandung protein yang tinggi,
A.villosa

juga mengandung senyawa sekunder yang dikenal sebagai AANP

(AANP). Pada tanaman A.villosa terkandung AANP 2-amino-4acetilaminobutiric
acid (DABA), 2,4-diaminobutiric acid (ADAB) dan oxalylalbizzine (Smith et al.
2001). Selain itu A.villosa juga mengandung 3-N-oxalyl-L-2,3-diaminopropanoic
acid atau ODAP yang memiliki kemiripan struktur dengan ADAB (Foster dalam
Wahyuni 2006). Beberapa AANP dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf,
hati, ginjal dan organ lainnya (D’Mello 2003).

Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenolik yang mampu mengikat protein.
Pada tanaman tanin berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap zat patogen,
herbivora dan lingkungan sekitar. Tanin terbagi dalam dua kelompok, yaitu tanin
terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Pada ruminansia, kelompok tanin
terhidrolisis bersifat toksik dan banyak terkandung pada tanaman seperti Oak
(Quercus spp) dan tanaman leguminosa tropis (Anonim 2006b). Tanin
terkondensasi tidak bersifat toksik karena tidak dapat diserap tetapi dapat
menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran pencernaan. Pada konsentrasi yang
tinggi, kelompok tanin dapat menurunkan absorpsi asam amino essensial (Reed
1995). Tanin juga bersifat mengurangi palatibilitas dan kecernaan protein (Cheeke

11

Setiap tikus dipelihara dalam kandang individu, diberi pakan dan minum
adlibitum. Sebelum perlakuan, tikus diadaptasikan terlebih dahulu terhadap suhu
dan pakan. Pemberian pakan dilakukan selama 4 minggu. Setiap minggu
dilakukan penimbangan bobot badan dan sisa pakan untuk mengukur konsumsi
pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan.
Setelah percobaan selesai, seluruh kelompok tikus dinekropsi guna
pengambilan organ ginjal untuk dibuat sediaan histopatologi. Sebelum dilakukan
nekropsi, dalam keadaan terbius per inhalasi menggunakan eter, dilakukan
pengambilan darah intrakardia guna pemeriksaan darah (BDM, PCV, Hb dan
BDP) dan pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).

3.Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal diawali dengan sampling
atau pemotongan organ, lalu potongan organ dimasukkan dalam basket dan
difiksasi dalam larutan fiksatif BNF 10%, proses selanjutnya adalah dehidrasi
jaringan pada larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan 100%

kemudian

dilanjutkan pada larutan alkohol absolut I, II dan III. Tahapan selanjutnya adalah
penjernihan dengan memasukkan jaringan ke dalam xylol I, II dan III. Setelah itu
dilakukan embedding yaitu penanaman dalam blok-blok paraffin. Blok paraffin
yang telah mengeras dipasang dalam mikrotom dan dilakukan pemotongan
jaringan. Potongan jaringan yang sudah berada di gelas objek dideparafinisasi dan
rehidrasi untuk selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin Eosin.

4. Evaluasi Histopatologi
Evaluasi histopatologi dilakukan dengan melihat parameter kerusakan
yang terjadi pada komponen organ ginjal, yaitu glomerulus dan tubulus.
Perubahan histopatologi glomerulus berupa edema glomerulus dievaluasi pada 25
lapang pandang dengan parameter adanya endapan protein dalam mesangium
(PM), protein di ruang Bowman (PB), protein di mesangium dan perluasan ruang
Bowman (PM+LB) serta protein di mesangium, ruang Bowman dan perluasan
ruang Bowman (PM+PB+LB). Presentase kerusakan tubulus dilakukan dengan
cara menghitung 20 buah tubulus proksimal disekitar glomerulus yang mengalami

12

degenerasi hidropis (DH), nekrosa tubulus dengan endapan protein dalam lumen
(N+PL) dan tubulus yang nekrosa (N).

5. Analisa Data
Hasil evaluasi parameter pengamatan berupa konsumsi pakan, bobot
badan, konversi pakan dan persentase evaluasi histopatologi dianalisis
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji
Wilayah Berganda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap
Performa Tikus
Selama perlakuan tidak ditemukan perubahan tingkah laku ataupun tandatanda keracunan pada seluruh kelompok hewan coba. Secara keseluruhan
performa tikus yang meliputi konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan
selama 4 minggu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4
minggu terhadap performa tikus
Kelompok

M1

M2

M3

M4

Konsumsi Pakan
K

79.05± 4.19b

78.43± 2.15b

97.23± 4.83a

96.08± 4.97a

KS

70.95± 6.66a

73.78± 4.06ab

92.23± 4.60a

92.60± 6.87a

TKS

74.03± 2.12ab

72.17± 5.22a

92.47± 4.25a

91.67± 3.96a

Bobot Badan
K

126.20± 3.24b

146.88± 4.12b

169.00± 6.48b

185.50± 7.73b

KS

118.65± 6.20a

131.95± 6.41a

149.62± 7.23a

164.07± 10.71a

TKS

118.82± 4.98a

134.68± 5.43a

153.27± 8.59a

167.85± 13.71a

Konversi Pakan
K

6.47± 0.88a

KS

8.46± 1.04a

TKS

8.15± 2.50a

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p0.05) maupun kelompok kontrol. Hal ini
mengindikasikan pemberian A. villosa tidak mempengaruhi palatibilitas. Selama
dua minggu pertama pemberian pakan terjadi adaptasi tikus terhadap pakan yang
mengandung A.villosa sehingga pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 tikus sudah
terbiasa dengan pakan baru sehingga konsumsi pakan cenderung meningkat.

15

Konnsu
summsi
si PPakan
akan (g
(gram
ram))
Ko

120
120
100
100
80
80

KK
KS
KS

60
60

TKS
TKS

40
40
20
20
00
11

22

33

44

Lama
Lama Pemberian
Pemberian(minggu
(mingguke-)
ke-)

Gambar 1 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus
terhadap konsumsi pakan tikus selama 4 minggu

Bobot
Bobot Badan
Badan

(gra
ram
m ))
BBoobboott bbaaddaann (g

200
200
150
150
KK
KS
KS
TKS
TKS

100
100
50
50
00
11

22

33

44

Lama pemberian (minggu ke-)

Minggu
Minggu keke-

Gambar 2 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap
bobot badan tikus selama 4 minggu

16

Bobot badan tikus kelompok perlakuan (KS dan TKS) berbeda nyata
(p0.05). Hal ini disebabkan oleh tingginya serat kasar yang tidak
tercerna yang terkandung pada A.villosa yaitu sebesar 24 g tiap 100 g bahan
kering (Jukema 1997). Adanya serat kasar yang tinggi mengurangi penyerapan
zat-zat makanan.
Nilai konversi pakan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara
kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan maupun antar
perlakuan (KS dan TKS) (p>0.05). Nilai konversi pakan kelompok kontrol lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok KS maupun kelompok TKS. Hal ini
mengindikasikan bahwa efisiensi penyerapan pakan pada kelompok kontrol lebih
baik dibandingkan kelompok perlakuan. Nilai konversi pakan yang kecil
menggambarkan pakan yang dikonsumsi mampu dikonversikan menjadi zat-zat
yang berguna bagi pertumbuhan (Anggorodi 1980).
Data pada Tabel 1 memberikan informasi bahwa pemberian daun A.villosa
dikukus maupun tidak dikukus tidak mempengaruhi konsumsi pakan dan konversi
pakan tetapi mempengaruhi bobot badan tikus.

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap
Gambaran Histopatologi Organ Ginjal
Pemberian daun A. villosa dikukus maupun tanpa dikukus mengakibatkan
berbagai perubahan pada glomerulus maupun tubulus. Umumnya perubahan
histopatologi yang ditemukan pada glomerukus berupa edema glomerulus dengan
berbagai tingkatan dari ringan hingga berat yaitu endapan protein di mesangium
(PM), protein di ruang Bowman (PB), protein di mesangium dan perluasan ruang
Bowman (PM+LB) serta protein di mesangium, ruang Bowman dan perluasan
ruang Bowman (PM+PB+LB). Adanya endapan protein di berbagai tempat dari
glomerulus menunjukkan dinding kapiler yang menjadi lebih porous sehingga
banyak protein plasma terakumulasi di saringan (mesangium) terutama protein
dengan berat molekul besar. Kebocoran filter glomerulus disebabkan oleh
senyawa nefrotoksik yang terkandung pada A. villosa.

17

Kerusakan tubulus yang ditemui dari ringan hingga berat berupa
degenerasi hidropis (DH), nekrosa tubulus dengan endapan protein di lumen
(N+PL) dan tubulus yang nekrosa (N). Hasil evaluasi histopatologi glomerulus
disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel 2 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap
persentase kerusakan glomelurus ginjal
Kelompok

PM

PM + PB

PM + LB

PM + LB + PB

K

51.45 ± 15.82b

19.06 ± 7.73a

12.14 ± 5.98ab

17.35 ± 11.41a

KS

33.15 ± 4.48a

28.62 ± 12.14ab

14.41 ± 6.31b

23.53 ± 5.19a

TKS

26.06 ± 10.74a

38.02 ± 8.92b

5.77 ± 4.80a

28.88 ± 11.37a

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p