BAHAN TEORI POLITIK

Karl Marx, pelopor utama gagasan “sosialisme ilmiah” dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman,
Ayahnya ahli hukum dan di umur tujuh belas tahun Karl masuk Universitas Bonn,juga belajar hukum.
Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari
Universitas Jena.
Entah karena lebih tertarik, Marx menceburkan diri ke dunia jurnalistik dan sebentar menjadi
redaktur Rheinische Zeitung di Cologne. Tapi, pandangan politiknya yang radikal menyeretnya ke
dalam rupa-rupa kesulitan dan memaksanya pindah ke Paris. Di situlah dia mula pertama bertemu
dengan Friederich Engels. Tali persahabatan dan persamaan pandangan politik mengikat kedua orang
ini selaku dwi tunggal hingga akhir hayatnya.
Marx tak bisa lama tinggal di Paris dan segera ditendang dari sana dan mesti menjinjing koper pindah
ke Brussel. Di kota inilah, tahun 1847 dia pertama kali menerbitkan buah pikirannya yang penting dan
besar The poverty of philosophy (Kemiskinan filsafat). Tahun berikutnya bersama bergandeng tangan
dengan Friederich Engels mereka menerbitkan Communist Manifesto, buku yang akhirnya menjadi
bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Cologne untuk kemudian diusir lagi dari sana
hanya selang beberapa bulan. Sehabis terusir sana terusir sini, akhirnya Marx menyeberang Selat
Canal dan menetap di London hingga akhir hayatnya.
Meskipun ada hanya sedikit uang di sakunya berkat pekerjaan jurnalistik, Marx menghabiskan
sejumlah besar waktunya di London melakukan penyelidikan dan menulis buku-buku tentang politik
dan ekonomi. (Di tahun-tahun itu Marx dan familinya dapat bantuan ongkos hidup dari Friederich
Engels kawan karibnya). Jilid pertama Das Kapital, karya ilmiah Marx terpenting terbit di tahun 1867.
Tatkala Marx meninggal di tahun 1883, kedua jilid sambungannya belum sepenuhnya rampung.

Kedua jilid sambungannya itu disusun dan diterbitkan oIeh Engels berpegang pada catatan-catatan
dan naskah yang ditinggalkan Marx.
Karya tulisan Marx merumuskan dasar teoritis Komunisme. Ditilik dari perkembangan luarbiasa
gerakan ini di abad ke-20, sangat layaklah kalau dia mendapat tempat dalam urutan tinggi buku ini.
Masalahnya, seberapa tinggi?
Faktor utama bagi keputusan ini adalah perhitungan arti penting Komunis jangka panjang dalam
sejarah. Sejak tumbuhnya Komunisme sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah masa kini, terasa
sedikit sulit menentukan dengan cermat perspektif masa depannya. Kendati tak seorang pun
sanggup memastikan seberapa jauh Komunisme bisa berkembang dan berapa lama ideologi ini bisa
bertahan, yang sudah pasti dia merupakan ideologi kuat dan tangguh serta berakar kuat
menghunjam ke bumi, dan sudah bisa dipastikan punya pengaruh besar di dunia untuk paling sedikit
beberapa abad mendatang.
Pada saat kini, sekitar seabad sesudah kematian Marx, jumlah manusia yang sedikitnya terpengaruh
oleh Marxisme sudah mendekati angka 1,3 milyar banyaknya. Jumlah penganut ini lebih besar dari
jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia. Bukan sekedar jumlahnya yang
mutlak, melainkan juga sebagai kelompok dari keseluruhan penduduk dunia. Ini mengakibatkan
kaum Komunis, dan juga sebagian yang bukan Komunis, percaya bahwa di masa depan tidak bisa
tidak Marxisme akan merebut kemenangan di seluruh dunia. Namun, adalah sukar untuk
memantapkan kebenarannya dengan keyakinan yang tak bergoyah. Telah banyak contoh-contoh
ideologi yang tampaknya sangat punya pengaruh penting pada jamannya tapi pada akhirnya melayu


dan sirna. (Agama yang didirikan oleh Mani bisa dijadikan misal yang menarik). Jika kita surut ke
tahun 1900, akan tampak jelas bahwa demokrasi konstitusional merupakan arus yang akan jadi
anutan masa depan. Berpegang pada harapan, tampaknya memang begitu, tapi sekarang tak ada lagi
orang yang yakin segalanya sudah terjadi sebagaimana bayangan semula.
Sekarang menyangkut Komunisme. Taruhlah seseorang percaya sangat dan tahu persis betapa
hebatnya pengaruh Komunis di dunia saat ini dan di dunia masa depan, orang toh masih
mempertanyakan arti penting Karl Marx di dalam gerakan Komunis. Politik pemerintah Uni Soviet
sekarang kelihatannya tidak terawasi oleh karya-karya Marx yang menulis dasar-dasar pikiran seperti
dialektika gaya Hegel dan tentang teori “nilai lebih.” Teori-teori itu kelihatan kecil pengaruhnya dalam
praktek perputaran roda politik pemerintah Uni Soviet, baik politik dalam maupun luar negerinya.
Komunisme masa kini menitikberatkan empat ide: (1) Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam
kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup
bergelimang papa sengsara. (2) Cara untuk merombak ketidakadilan ini adalah dengan jalan
melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem di mana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh
pribadi swasta. (3) Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem
sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan. (4) Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus
diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.
Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx. Sedangkan ide keempat berasal
dari gagasan Marx mengenai “diktatur proletariat.” Sementara itu, lamanya masa berlaku

kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan hasil dari langkah-langkah Lenin dan Stalin daripada
gagasan tulisan Marx. Hal ini tampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam
Komunisme lebih kecil dari kenyataan yang sebenarnya, dan penghargaan orang terhadap tulisantulisannya lebih menyerupai sekedar etalasi untuk membenarkan sifat “keilmiahan” daripada ide dan
politik yang sudah terlaksana dan diterima.
Sementara boleh jadi ada benarnya juga anggapan itu, namun tampaknya kelewat berlebihan. Lenin
misalnya, tidak sekedar menganggap dirinya mengikuti ajaran-ajaran Marx, tapi dia betul-betul
membacanya, menghayatinya, dan menerimanya. Dia yakin betul jalan yang dilimpahkannya persis di
atas rel yang dibentangkan Marx. Begitu juga terjadi pada diri Mao Tse Tung dan pemuka-pemuka
Komunis lain. Memang benar, ide-ide Marx mungkin sudah disalah-artikan dan ditafsirkan lain, tapi
hal semacam ini juga berlaku pada ajaran Yesus atau Buddha atau Islam. Andaikata semua politik
dasar pemerintah Tiongkok maupun Uni Soviet bertolak langsung dari hasil karya tulisan Marx, dia
akan peroleh tingkat urutan lebih tinggi dalam daftar buku ini.
Mungkin bisa diperdebatkan bahwa Lenin, politikus praktis yang sesungguhnya mendirikan negara
Komunis, memegang saham besar dalam hal membangun Komunisme sebagai suatu ideologi yang
begitu besar pengaruhnya di dunia. Pendapat ini masuk akal. Lenin benar-benar seorang tokoh
penting. Tapi, menurut hemat saya, tulisan-tulisan Marx yang begitu hebat pengaruhnya terhadap
jalan pikiran bukan saja Lenin tapi juga pemuka-pemuka Komunis lain, jelas punya kedudukan lebih
penting.
Juga ada peluang untuk diperdebatkan apakah penghargaan atas terumusnya Marxisme tidak harus
dibagi antara Karl Marx dan Friederich Engels. Mereka berdua menulis “Manifesto Komunis” dan

Engels jelas punya pengaruh mendalam terhadap penyelesaian final Das Kapital. Meskipun masing-

masing menulis buku atas namanya sendiri-sendiri tapi kerjasama intelektual mereka begitu intimnya
sehingga hasil keseluruhan dapat dianggap sebagai suatu karya bersama. Memang, Marx dan Engels
diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam buku ini walaupun yang dicantumkan cuma nama Marx
karena (saya pikir saya benar) dia dianggap partner yang dominan dalam arti luas.
Akhirnya, sering dituding orang bahwa teori Marxis di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak
keliru. Tentu saja, banyak dugaan-dugaan tertentu Marx terbukti meleset. Misalnya, Marx
meramalkan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis kaum buruh akan semakin melarat dalam
perjalanan sang waktu. Jelas, ramalan ini tidak terbukti. Marx juga memperhitungkan bahwa kaum
menengah akan disapu dan sebagian besar orang-orangnya akan masuk ke dalam golongan proletar
dan hanya sedikit yang bisa bangkit dan masuk dalam kelas kapitalis. Ini pun jelas tak pernah
terbukti. Marx juga tampaknya percaya, meningkatnya mekanisasi akan mengurangi keuntungan
kaum kapitalis, kepercayaan yang bukan saja salah tapi sekaligus juga tampak tolol. Tapi, terlepas
apakah teori ekonominya benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh
Marx. Arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada
masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari
sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting yang luarbiasa hebatnya.
Sebagaimana sudah kita tulis di Fikiran Ra’jat nomor percontohan tentang sebab-sebabnya
kemelaratan yang diderita oleh kaum Buruh ialah stelsel kapitalisme itu, maka di nomor ini kita akan

terangkan bahwa di antara beberapa cara untuk melenyapkan stelsel kapitalisme atau kapital itu
terutama dua cara yang perlu kita ketahui. Kedua faham dan cara yang mempunyai pengikut berjutajuta kaum buruh ialah faham kaum sosial-demokrat dan fahamnya kaum komunis.
Banyak aliran-aliran lain yang juga berdasarkan ilmu sosialisme, aliran-aliran yang menentang
kapitalisme dan imperialisme. Tetapi oleh karena lain-lain aliran sosialistis itu tidak begitu besar
artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya
mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang di dunia politik Indonesia umumnya
tidak asing lagi.
Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, oleh
karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi: berdiri di atas faham
Marxisme. Kedua faham adalah mengaku menjadi pengikut Marx.
Sebagaimana kapitalisme sendiri adalah sebuah faham yang mempunyai beberapa aliran, aliranaliran mana mempunyai isme-isme sendiri yang semuanya itu bersendar di atas faham kapitalisme,
maka sosialisme sebagai hasilnya kapitalisme, juga mempunyai beberapa aliran.
Di dalam faham sosialisme itu termasuk juga syndikalisme dan anarkisme, kedua faham yang di
halaman Fikiran Ra’jat No. 2 kita akan kupas.
Sesudah kapitalisme itu melahirkan faham-faham baru, yang bertentangan sekali dengan fahamfaham yang hidup di zaman feodalisme, maka anggapan pemandangan dan pikiran rakyat di dalam
sesuatu masyarakat itu dapat maju, jika tiap-tiap orang di dalam masyarakat itu hanya mempunyai
kemerdekaan untuk berusaha dan berdagang, mempunyai kemerdekaan dalam pemilikan dan
kemerdekaan mengadakan perjanjian-perjanjan, di dalam praktiknya ternyata tidak betul. Justru oleh
karena kemerdekaan itulah maka kapitalisme makin deras, sehingga kemelaratan lebih hebat,


kesengsaraan masuk di desa-dsa di rumahnya bapak tani, menghinggapi rumah tangganya kaum
pedagang dan pertukangan kecil-kecil. Oleh karena kemerdekaan itu maka nasib Rakyat menjadi
nasib proletar: oleh karena kemerdekaan itu maka di satu pihak timbul kelas kapitalisme dan di lain
pihak timbul kelas proletar. Kelak kaum proletar ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas alatalat pembuatan barang-barang di pabrik-pabrik dan di-onderneming-onderneming.
Sesudah kapitalisme tua disokong oleh tenaga mesin-mesin menjadi kapitalisme modern, maka
nasibnya kaum proletar itu makin jelek.
Kesengsaraan dan kesedihan yang diderita sehari-hari oleh kaum buruh tentulah melahirkan cita-cita
dan harapan untuk menyelamatkan pergaulan hidup manusia yang bobrok. Cita-cita dan harapan
melenyapkan kemiskinan dan kebobrokan di dalam masyarakat itu melahirkan faham sosialisme yang
mengajarkan kepada pengukut-pengikutnya bahwa agar supaya pergaulan hidup bisa selamat
susunannya harus bersendikan di atas aturan-aturan sosialistis. Mereka yang memiliki faham itu
dinamakan kaum Sosialis.
Mula-mula mereka ini belum terang betul bagaimanakah caranya stelsel kapitalisme ini harus
dilenyapkan. Mereka masih membayangkan saja. Penganjur-penganjurnya belum mendapat jalan
yang terang untuk menyelamatkan pergaulan hidup. Mereka masih menghayal tentang pergaulan
hidup yang selamat ialah pergaulan hidup yang tidak mengenal kesengsaraan. Kaum sosialis yang
mendasarkan “teorinya” ini atas khayalan belaka itu dinamakan kaum “sosialis-utopis” (Robert
Owen, Saint Simon dll).
Tetapi lambat laun mereka itu makin sadar bahwa teori yang bersandar kepada utopi itu adalah teori
yang tidak dapat memberi senjata untuk membasmi kepitalisme itu dengan akar-akarnya.

Teori yang dapat menyadarkan kaum proletar tentang kedudukannya di dalam masyarakat itu ialah
hanya teori yang berdasar wetenschap, ialah teori yang hasilnya jadi ilmu, penyelidikan dan
pengupasan yang dalam dan luas. Teori yang berdasarkan wetenschap itu dinamakan
wetenschapppelijk—schapppelijk-sosialisme, lawannya utopistis-sosialisme. WatenschapppelijkSosialieme bukan sosialisme khayalan, tetapi sosialisme perhitungan.
Watenschapppelijk-sosialisme itu lahir di dunia sesudah pendekar kaum proletar yang terbesar, Karl
Marx mempropagandakan teorinya, bagaimanakah harusnya perjuangan kaum buruh itu untuk
menuju ke dunia sosialisme.
Setelah Karl Marx mengadakan penyelidikan sedalam-dalamnya tentang akar-akarnya kapitalisme
yang kebutuhannya selalu bertentangan dengan kebutuhannya kaum buruh, maka Marx
mengajarkan bahwa yang dapat menjungjung derajat kaum buruh itu ialah kaum buruh sendiri.
Maka dari itu kaum proletar ini harus disusun di dalam satu organisasi yang menyadarkan mereka
tentang nasibnya dan oleh karena itu keharusan mereka berjuang melenyapkan segala rintangan
yang menentang usaha mereka menuju ke jaman sosialisme itu. Karl Marx adalah “bapaknya” dari
kaum proletar.
Sebagaimana Marxisme itu adalah teorinya pergerakan kaum buruh di Eropa, Marhaenisme itu
adalah teorinya kaum Marhaen di Indonesia. Teori Marhaenisme yang terkenal adalah meerwaardeteori, ialah mengajarkan bahwa sesuatu barang itu karena tenaga kaum buruh menjadi tambah
harganya. Misalnya besi yang berharga f 500—, oleh tenaga kaum buruh dibuat menjadi mesin yang

berharga f 2500—. Pertambahan harga adalah f 2000—. Tetapi f 2000— ini tidak jatuh ke tangan
kaum buruh (mereka menerima sedikit sekali) tetapi di tangan kaum pemodal sendiri, dan dipakainya

untuk menambah besarnya modal, karena itu maka modal itu mempunyai watak melembungkan
badannya, artinya kaum pemodal itu senantiasa mempunyai watak membesar-besarkan modalnya.
Teorinya yang lain, yang juga termasyur ialah “Fase Teori”, atau “Evolusi-Teori”, ialah teori yang
mengajarkan arahnya perubahan dari tiap-tiap pergaulan hidup manusia yang juga menjadi sebab
perubahan fahamnya, anggapan dan pikiran rakyat.
Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat itu di jaman purbakala adalah Ur-komunistis, artinya
pergaulan hidup manusia di jaman purbakala itu diatur menurut cara tidak ada ningrat-ningratan
atau kelas-kelasan. Sesudah jaman ur-komunisme ini lalu, lantas lahirlah jaman feodal. Sendi
dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja, ningrat dan
“hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan
kemudian jadi modern kapitalisme. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini
dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mulamula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx.
Sekarang orang tanya mengapa kaum sosialis yang bersendi atas Marxisme itu terpecah menjadi dua
aliran atau sayap yang menimbulkan faham sendiri-sendiri?
Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 kedua sayap ini diikat oleh satu badan yang bernama TweedeInternationale atau di dalam bahasa Indonesia: Internasional-Kedua. Tetapi dalam tahun 1914
persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran: sayap yang satu memisahkan diri
menjadi sosial-demokrat dan sayap yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu
terjadi oleh karena kedua sayap ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau
tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di
tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia itu, tetapi kaum komunis

sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut
menyokong pemerintahan dalam negeri “verdedigings-oorlog jika ada musuh menyerang negerinya.
Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: "Derde-Internasionale” ialah InternasionalKetiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin,
Trotsky dan Zinoview mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh
sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat
mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak
harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme.
Dus pergaulan hidup Rusia yang masih feodal itu bisa terus masuk jaman sosialisme, zonder
menginjak fase jaman kapitalisme dulu, asal saja cukup alat-alatnya. Teori yang demikian ini
dinamakan teori fase-sprong.
Kaum sosial-demokrat membantah teori fase-sprong ini. Oleh sosial-demokrat fase-sprong ini
disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh
menurut wet-wet-nya alam. Karl Kautsky, pemimpinnya sosial-demokrat berkata bahwa wet-evolusi
—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk. Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang,
bahwa masyarakat bergerak melalui beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase urkomunisme, kemudian fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase modern-kapitalisme, kemudian

fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase
feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme; dan begitu seterusnya. Dus
masyarakat tidak bisa melompati sesuatu fase. Misalnya naik kereta api dari Bandung ke Jakarta
harus melalui Cimahi, kemudian Padalarang, kemudian Purwakarta, kemudian Cikampek, kemuduan

Kerawang, kemudian Jakarta. Mau-tidak-mau semua tempat itu harus dilalui oleh kereta api itu.
Tidak bisa dari Cimahi sekonyong-konyong Purwakarta, dengan melompati Purwakarta, dengan
melampaui Padalarang itu dengan secepat-cepatnya, melompati Padalarang kita tidak bisa. “Begitu
pula dalam kita masuk ke fase sosialisme. Kapitalisme tidak boleh tidak harus dilewati. Bagian kita
ialah melewati fase kapitalisme itu dengan secepat-cepatnya, supaya bisa selekas-lekasnya diganti
fase sosialisme!”—begitulah kaum sosial demokrat berkata sebagai bantahan atas sikap kaum
komunis yang dari feodalisme (masyarakat Rusia masih 60% feodalisme) ujung-ujung masuk ke fase
sosialisme.
Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang—menurut kaum sosial-demokrat—yang hidup di
dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh karena itu ia berhak
mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. Dus
dengan lain perkataan pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis. Tetapi kaum komunis
mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat.
Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu
tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. Dus demokrasi itu
adalah perkataan kosong belaka. Kaum komunis oleh karena itu tidak mufakat dengan demokrasi itu
tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar
saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia itu bagi keselamatan
masyarakat. Diktato-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialistis
—begitulah kaum komunis berkata. Di dalam diktator-proletariat ini, maka orang-orang yang bukan

proletar tidak boleh ikut bersuara. Orang-orang yang bukan proletar tidak diberi stem di dalam
pemerintahan negeri.
Inilah perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunis tentang asas, yakni dua berpedaan yang
fundamental. Untuk kali ini cukuplah sekian saja. Masih banyak lagi berbedaan-perbedaan yang lain.
Tetapi untuk sekarang sekian saja.
Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India
mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!
—Feodalisme—
Sejarah feodalisme tidak bisa dipisahkan dengan Dark Ages (Jaman Kegelapan) yang pada abad ke-5
tengah melanda Eropa. Sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, sejak itu pula
hampir seluruh Eropa mengalami kemunduran dan kemerosotan di banyak bidang, terutama bidang
ekonomi.
Kemunduran tersebut juga memaksa Eropa—yang sebelumnya menjadi salah satu pusat
perdagangan terbesar di dunia pada masa itu—beralih menjadi masyarakat agraris. Perubahan
menjadi masyarakat agraris tersebut dipilih sebagai jalan tengah untuk tetap survive (bertahan
hidup) di tengah keterpurukan.

Lambat laun, pilihan itu tidak hanya berpengaruh terhadap aspek ekonomi saja, namun secara
sosiologis pilihan tersebut juga mempertegas pelapisan sosial yang telah ada. Pelapisan sosial yang
ditandai dengan adanya kelas-kelas di dalam masyarakat Eropa pada masa itu, sejatinya dipicu oleh
sistem pengaturan tanah yang dinamai feodalisme.
Secara etimologis, feodalisme berasal dari kata feodus yang dalam Bahasa Latin berarti “Perjanjian”.
Secara sepintas, feodalisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang lahir dari tata-aturan yang
dibuat oleh negara atau raja yang bertujuan mengatur peminjaman tanah kaum bangsawan.
Bangsawan yang memperoleh pinjaman tanah tersebut kemudian menyewakan tanah pinjaman itu
kepada para petani dengan sistem bagi hasil atau sewa tenaga. Keadaan ini menyebabkan pengaruh
bangsawan pada masa itu menjadi sedemikian besarnya. Bangsawan-bangsawan berupaya tetap
memelihara “hubungan baik” mereka dengan negara atau raja lewat berbagai cara, meski harus
mengorbankan para buruh dan petani penggarap tanah mereka. Feodalisme juga memicu lahirnya
tuan-tuan tanah yang menggarap tanah mereka hanya untuk peningkatan hasil/produksi semata.
Dan, tentu saja hal tersebut dilakukan para tuan tanah untuk menjaga “hubungan baik” mereka
dengan bangsawan yang tanahnya mereka sewa, tanpa mempedulikan kesejahteraan buruh dan
petani penggarap tanah mereka.
Peningkatan produksi yang tidak mempedulikan nasib buruh dan petani penggarap tanah ini,
akhirnya bermuara pada makin melimpahnya kekayaan raja-raja atau penguasa. Dalam menjalankan
kekuasaannya, penguasa-penguasa pada masa itu berupaya memperoleh dukungan legal dari kaum
agamawan (gereja) cara memberikan subsidi kepada gereja.
Tentunya mudah diterka, jika pemberian subsidi tersebut diniatkan untuk menarik dukungan gereja.
Hal ini penting bagi para raja, karena pada masa itu masyarakat meyakini bahwa segala sesuatu yang
berasal dari gereja dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dibantah. Dukungan gereja menjadi
penting bagi para penguasa karena dukungan gereja akan melegitimasi sistem feodalisme yang
mereka terapkan.
Feodalisme akhirnya melahirkan simbiosis mutualisme antara para raja, gereja, bangsawan dan tuan
tanah. Karena itu, menjadi masuk akal jika masing-masing dari unsur simbiosis saling
menguntungkan itu berupaya untuk tetap melestarikan sistem yang telah meminggirkan kaum buruh
dan petani itu.
Feodalisme sebagai upaya untuk mengatasi keterpurukan Eropa, memang berhasil mengeluarkan
Eropa dari Dark Ages sekalipun mengorbankan petani dan buruh. Terbukti pada masa Perang Salib
(1096-1291) perdagangan Eropa muncul kembali. Hal ini ditandai dengan tampilnya kawasan Italia
sebagai salah satu pusat penting perdagangan dunia pada masa itu.
Bangkitnya pusat perdagangan di Laut Tengah tersebut juga dibarengi dengan meningkatnya jumlah
kaum pengusaha kaya di kota-kota dagang yang biasanya disebut sebagai kaum Borjuis. Bejibunnya
borjuis pada masa itu, tidak hanya berpengaruh pada iklim perekonomian Eropa, tetapi juga
berpengaruh pada sosio-kulturnya. Kultur feodalisme yang mulanya membangun kultur Eropa itu
pun mengalami perubahan seiring dengan munculnya gerakan renaissance yang disponsori oleh

kaum borjuis.
Renaissance secara etimologis berasal dari kata re yang berarti kembali, dan naitrie yang artinya
bangun. Terjemahan bebasnya adalah bangun kembali. Maknanya, kurang lebih bangun kembali
untuk melepaskan diri dari ikatan feodalisme yang hanya menguntungkan raja, bangsawan, tuan
tanah, dan gereja. Renaissance juga dimaknai sebagai penggalian kembali filsafat dan ilmu
pengetahuan yang berkembang pada jaman Yunani.
Renaissance sebenarnya merupakan reaksi dari feodalisme yang telah menindas buruh dan petani.
Jika pada masa feodalisme, filsafat dan ilmu pengetahuan harus tunduk kepada fatwa gereja, maka
pada masa renaissance filsafat dan ilmu pengetahuan diletakkan kembali pada tempat semestinya.
Renaissance juga lahir sebagai buah ketidakpuasan pemimpin masyarakat, serta para pemikir pada
masa itu yang mendukung feodalisme. Ketidakpuasan ini akhirnya mengejahwantah jadi gerakan
masyarakat yang disponsori oleh kaum borjuis.
Selain merombak tradisi lama Eropa yang bercorak feodalis dan gerejawi, renaissance juga
merangsang pemikir-pemikir yang awalnya berada di bawah tekanan dogmatis gereja untuk tampil
mengemukakan pikiran-pikirannya. Salah satunya adalah Nikolaus Copernicus yang menyatakan
bahwa bumi sebenarnya bulat seperti bola. Astronom kelahiran Polandia, 19 Februari 1473 itu juga
menyatakan bahwa matahari merupakan pusat peredaran planet-planet (teori heliosentris).
Teori Copernicus ini berlawanan dengan konsepsi kuno yang disahkan gereja, yang menyatakan
bahwa bumi menjadi pusat tatasurya (geosentris). Meski secara ilmiah berhasil dibuktikan oleh
cendikiawan lainnya yang bernama Galileo Galilei, teori bumi bulat dan heliosentris tetap
mendapatkan tentangan dari pihak gereja.
Sejarah akhirnya mencatat, teori Copernicus tersebut tidak hanya benar, tetapi juga menjadi salah
satu faktor munculnya kolonialisme dan imperialisme sebagai turunan dari feodalisme.
—-Kolonialisme dan Imperialisme—
Bangkitnya Eropa yang ditandai dengan bangkitnya kawasan Laut Tengah—khususnya Italia—sebagai
salah satu pusat penting perdagangan dunia, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1453, Kota
Konstantinopel (Romawi Timur) jatuh ke dalam genggaman Turki yang diperintah Dinasti Usmani.
Jatuhnya Konstantinopel ini mempengaruhi denyut nadi perdagangan Eropa karena seketika itu pula
kawasan Laut Tengah berada di dalam kendali Turki. Keadaan ini memaksa Eropa untuk mencari
daerah di luar kawasan Laut Tengah sebagai penopang perekonomian mereka.
Pencarian daerah baru menjadi “wabah” yang secara cepat menjangkiti bangsa-bangsa Eropa saat
itu. Selain mendapatkan dukungan dari raja, pencarian daerah baru ini juga mendapatkan sokongan
dari saudagar atau pemilik modal besar.
Selain motif ekonomi, pencarian daerah baru juga dipicu motif lainnya, seperti dahaga untuk
mendapatkan nama yang termasyur, iming-iming penghargaan tinggi dari raja, serta motif untuk

menjadi bangsa yang disegani dan dielu-elukan. Motif lainnya adalah motif penyebaran Kristen
sebagai agama mayoritas penduduk Eropa pada masa itu. Motivasi-motivasi tersebut akhirnya
populer disebut 3 G, akronim dari Gold (Emas, yang makna luasnya adalah kekayaan), Glory
(kejayaan), dan Gospel (tugas suci, agama).
Pencarian daerah baru juga didorong oleh perasaan bangsa-bangsa Eropa yang menganggap dirinya
lebih unggul daripada bangsa-bangsa lainnya. Faktor pendorong lainnya adalah teori Copernicus yang
menyatakan bahwa berbentuk bulat seperti bola.
Faktor lainnya adalah keberhasilan ekspedisi pelayaran kerajaan Spanyol pada tahun 1492 yang
dipimpin Christoporus Columbus (pelaut asal Italia). Keberhasilan Columbus tersebut makin
menggelorakan semangat pencarian daerah baru. Setelah mempelajari catatan-catatan Columbus,
pada tahun 1519 Kerajaan Spanyol kembali mengirimkan rombongan ekspedisi pelayarannya yang
dipimpin Ferdinand Magelhaens.
Meski Magelhaens meninggal karena pertempuran dengan penduduk Filipina, ekspedisi yang
selanjutnya dipimpin Juan Sebastian del Cano (asal Italia) ini dinilai berhasil oleh Kerajaan Spanyol.
Ekspedisi yang berlangsung selama 3 tahun itu tidak hanya berhasil mencari daerah baru penghasil
komiditi penting perdagangan, tetapi juga berhasil menjadikan Filipina sebagai daerah koloni
Spanyol.
Tidak hanya menjadi bukti kebenaran teori Copernicus, ekspedisi Magelhaens—yang dicatat sejarah
sebagai pelayaran pertama yang benar-benar mengitari bumi—juga menjadi salah satu faktor yang
mendorong bangsa Eropa lainnya untuk melakukan ekspedisi serupa.
Sementara itu, klaim sepihak Spanyol atas Filipina telah menginspirasi bangsa Eropa lainnya untuk
melakukan hal yang sama. Klaim sepihak negara-negara Eropa terhadap daerah baru yang mereka
temukan, serta upaya mereka menjadikan daerah baru tersebut sebagai koloni inilah yang akhirnya
lazim disebut sebagai praktek kolonialisme.
Pencarian daerah baru yang awalnya dilakukan sebagai jalan keluar atas penguasaan Laut Tengah
oleh Turki, serta sebagai upaya alternatif untuk mencari komiditi dagang itu telah berubah
tujuannnya. Jika awalnya hanya bermotif dagang semata, maka selanjutnya pencarian daerah baru
tersebut bermotif perluasan kawasan dan penguasaan/penjajahan daerah-daerah penghasil komiditi
dagang (terutama emas dan rempah-rempah)
Kalau sebelumnya feodalisme dijadikan sebagai jalan keluar untuk mengentas Eropa, pada masa ini
kolonialisme-lah yang dijadikan sebagai jalan bagi Eropa untuk memperkuat perekonomiannya. Sama
dengan feodalisme, kolonialisme juga merupakan kolaborasi antara penguasa, bangsawan, pemilik
modal besar (kapitalis), dan gereja. Dari waktu ke waktu, terbukti bahwa kolonialisme berhasil
memperderas aliran emas dan rempah-rempah ke pasaran Eropa, yang pada gilirannya membuahkan
keuntungan yang fantastis bagi penguasa, bangsawan, dan kapitalis.
Semangat untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar tersebut tidak hanya merangsang
bangsa-bangsa Eropa untuk menguras habis daerah koloninya, tetapi lambat laun takaran

keuntungan atau kekayaan hasil kolonialisme itu dijadikan sebagai alat ukur tinggi rendahnya derajat
suatu bangsa di Eropa. Akibatnya bisa ditebak, masing-masing bangsa Eropa berkompetisi
menumpuk kekayaan yang diperoleh dari kolonialisme yang mereka terapkan. Kompetisi inilah yang
disebut sebagai Merkantilisme.
Karena jumlah logam mulia yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam merkantilisme, maka emas
sebagai logam mulia memegang peranan penting pada masa itu. Konsekuensi logisnya, perluasan
koloni—terutama yang bermotif perburuan emas—pun makin menjadi-jadi.
Setelah itu, emas dan rempah-rempah tidak hanya mendorong perluasan koloni. Tetapi juga menjadi
alasan utama bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai secara bulat dan utuh daerah koloni mereka
dengan cara mengambil paksa kekuasaan-legal yang ada di dalam koloni tersebut. Upaya penguasaan
secara utuh serta pengambilan paksa kekuasaan-legal sebuah koloni inilah yang dinamakan praktek
imperialisme. Setelah pengambilan paksa kekuasaan-legal, episode selanjutnya yang dimainkan
penjajah adalah memobilisasi-paksa penduduk asli agar melakukan segala sesuatu demi kepentingan
negara induk (negara penjajah).
—Revolusi Prancis, Revolusi Industri dan Kapitalisme—
Laju aliran emas dan rempah-rempah yang dihasilkan oleh kolonialisme/imperialisme ternyata juga
dibarengi dengan majunya khasanah ilmu pengetahuan. Sebagaiman diulas sebelumnya, pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak lepas dari pengaruh renaissance.
Di sisi lain, renaissance tidak hanya membawa “aufklarung” (pencerahan, bhs. Jerman) bagi
masyarakat Eropa, tetapi juga mengilhami banyak orang—terutama pemikir—untuk melakukan
revolusi (perubahan) tatanan masyarakat, terutama pemerintahan.
Revolusi yang melanda hampir seantero Eropa tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas
absolutisme raja-raja Eropa pada masa itu. Absolutisme raja-raja Eropa tersebut sedikit-banyak
dipengaruhi oleh Machiavellisme, yakni sebuah isme tentang mutlaknya kekuasaan raja yang
dicetuskan oleh Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (artinya: Sang Raja),
Machiavelli menyatakan, kekuasaan raja bersifat mutlak dan tak terbatas atas suatu negara, sehingga
raja berhak atas segala sesuatu yang ada di dalam negara, termasuk harta pribadi rakyat, dan bahkan
rakyat itu sendiri.
Jelas, absolutisme raja-raja Eropa tersebut menyakiti hati rakyat. Timbunan kekecewaan rakyat Eropa
atas absolutisme raja dari hari ke hari tak ubahnya seperti bom waktu yang hanya menunggu detikdetik ledakan. Beberapa pemikir tampil menentang kesewenang-wenangan itu. Salah satunya,
seorang filsuf dari Inggris yang bernama John Locke (1632-1704), yang menyatakan, seharusnya
negara tidak diatur oleh absolutisme raja, tetapi oleh konsitusi (undang-undang). Locke juga
menyatakan, negara harus mengakui hak-hak manusia yang dimiliki sejak lahir, seperti hak merdeka,
hak untuk hidup, hak untuk memilih, dan hak untuk memiliki sesuatu.
Pikiran Locke yang jelas-jelas menghantam machiavellisme itu telah memancing pikiran-pikiran kritis
lainnya. Seorang di antaranya adalah Montesqiueu, pemikir Prancis yang menolak pemusatan

kekuasaan negara yang hanya bertumpu kepada seorang raja. Menurut Montesqiueu, kekuasaan
negara harus dibagi jadi tiga, yakni kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat UU), kekuasaan
eksekutif (kekuasaan unuk melaksanakan UU), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili
setiap pelanggaran UU). Pokok pikiran Montesqiueu ini dikenal sebagai Trias Politica.
Kritik dari Perancis terhadap absolutisme raja, tidak hanya disuarakan Montesqiueu. Seorang pemikir
Prancis lainnya, Jacques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Countract Social (artinya:
Perjanjian Masyarakat) menyatakan, sesungguhnya sejak lahir semua manusia merdeka dan setara.
Tak hanya menentang absolutisme raja, Rousseau juga menyatakan, membela hak dan kepentingan
rakyat merupakan tindakan yang sangat suci.
Kritik terhadap absolutisme raja yang diusung pemikir-pemikir masa itu telah menginspirasi banyak
orang untuk mengorganisir dan memobilisasi diri guna melakukan perlawanan fisik. Perlawanan yang
fenomenal terjadi di Prancis. Pada tanggal 14 Juli 1789, Penjara Bastile yang jadi lambang
absolutisme Raja Prancis diserbu rakyat.
Penyerbuan ini mengakibatkan kekuasaan Prancis beralih kepada pemerintahan sementara yang
disebut Pemerintahan Revolusi. Segera setelah itu, Pemerintahan Revolusi menghapus hak-hak
istimewa yang dimiliki raja, bangsawan dan pendeta. Tak cukup di situ, Pemerintahan Revolusi juga
membentuk Pasukan Keamanan Nasional dan Majelis Konstituante (Dewan Rakyat).
Selain memutuskan pelenyapan gelar kebangsawanan, Pemerintahan Revolusi juga mengumumkan
pengakuan dan penghormatan hak-hak manusia dan warga negara. Pengakuan tersebut dicatat
sejarah sebagai salah satu piagam hak asasi manusia.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, dan lunturnya absolutisme raja
sejak Revolusi Prancis telah memperluas ruang aktualisasi personal rakyat Eropa pada umumnya.
Aktualisasi personal di bidang ilmu pengetahuan telah memicu para cendikiawan pada masa itu
untuk melakukan penelitian-penelitian. Sedangkan aktualisasi di bidang ekonomi telah mendorong
rakyat Eropa—terutama yang bermodal besar—untuk berwiraswasta dalam skala besar.
Minat berwiraswasta dalam skala besar tersebut bertemu dengan semangat para cendikiawan dalam
melakukan penelitian. Seiring dengan laju hasil bumi yang menderas dari bumi jajahan, para pelaku
wiraswasta skala besar (kapitalis) terus berpikir tidak hanya tentang bagaimana memperdagangkan
hasil bumi jajahan tersebut ke pasaran Eropa. Mereka pun berpikir bagaimana hasil bumi itu diolah
atau diindustrialisasi agar ragam barang dagangan mereka banyak.
Industrialisasi yang ditujukan untuk memperbanyak jenis dagangan, ternyata hanya memberi
kepuasan sementara kepada pemodal besar. Mereka pun berpikir tidak hanya kepada perbanyakan
jenis dagangan, tetapi juga kepada percepatan proses produksi. Sebuah industrialisasi yang dapat
mengolah hasil bumi jajahan dengan proses yang singkat, dengan hasil produk yang variatif, serta
kuantitas produk siap jual banyak, merupakan “kegelisahan” pemodal besar pada saat itu.
“Kegelisahan” para kapitalis ini bertemu dengan semangat para cendikiawan. Kapitalis memberikan

suntikan dana bagi penelitian-penelitian para cendikiawan. Hasil dari relasi kapitalis dan cendikiawan
ini adalah penemuan-penemuan yang tidak hanya membawa keuntungan bagi kapitalis, tetapi secara
sosio-kultural membawa perubahan besar bagi peradaban Eropa.
Beberapa penemuan yang menonjol diantaranya adalah Spinning Jenny (alat pemintal) yang
diciptakan oleh James Hargreaves pada 1762, dan penemuan mesin uap oleh James Watt pada 1796.
Mesin uap merupakan penemuan fenomenal yang penting, karena membawa perubahan besar
dalam dunia industri. Selain itu, banyak cendikiawan yang terinspirasi penemuan James Watt ini.
Beberapa diantaranya, Richard Trevitchik penemu lokomotif tenaga uap (1804), Robert Fulton
penemu kapal tenaga uap, serta Cugnot & Daimler penemu mobil tenaga uap. Oleh banyak
sejarawan, penemuan mesin uap James Watt ditetapkan sebagai titik awal Revolusi Industri.
Berbagai penemuan tersebut telah menjawab “kegelisahan” kapitalis yang selalu ingin menghasilkan
produk dalam dalam jumlah besar dengan cara yang murah dan cepat. Bukan cuma membuat para
kapitalis jadi kaya raya, revolusi industri pun makin mengukuhkan eksistensi kelas kapitalis sebagai
kelas yang penting dan berpengaruh. Revolusi industri juga berperanan memodernisasi kapitalisme.
Kapitalis yang mulanya hanya berkutat sebagai produsen pengolah bahan mentah, sejak penemuanpenemuan mesin-mesin tersebut telah berubah menjadi pedagang sekaligus distributor. Ini terjadi
karena ada serangkaian proses produksi yang berhasil diringkas oleh mesin-mesin mutakhir kala itu.
Kesadaran bahwa posisi mereka kian penting dan berpengaruh, telah menstimulasi kapitalis untuk
mempengaruhi kebijakan penguasa negara. Pengaruh tersebut dilakukan oleh kaum pemodal agar
penguasa negara makin meningkatkan intensitas kolonialisme dan imperialisme. Tujuannya jelas,
kaum kapitalis ingin meningkatkan bahan mentah dari daerah jajahan dalam jumlah yang besar
untuk menjamin stabilitas industrialisasi mereka, serta perolehan laba yang lebih besar. Tujuan ini
bertemu dengan kebutuhan penguasa negara atas dana pengembangan kolonialisme dan
imperialisme. Perluasan dan pengelolaan daerah jajahan jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit,
dan kaum kapitalis bersedia memenuhi kebutuhan tersebut asalkan tujuan mereka terpenuhi.
Dari sini terlihat bahwa intensitas kolonialisme dan imperialisme terkadang tidak hanya murni
keinginan penguasa belaka, tetapi juga tercampuri oleh kemauan kelas kapitalis. Dari sini pula makin
terlihat betapa eratnya hubungan antara kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.
Sementara itu, pesatnya laju revolusi industri makin mempertinggi posisi tawar kaum pemodal
terhadap kaum pekerja. Dengan menggunakan mesin-mesin hasil penemuan cendikiawan, kaum
pemodal dapat melakukan proses produksi secara cepat, murah, dan dengan hasil yang lebih banyak.
Penggunaan mesin-mesin ini pada gilirannya meminimalkan peranan pekerja.
Peran pekerja yang sebagaian besar telah diganti dengan mesin-mesin itu, membuat kaum pemodal
berpikir tentang efisiensi dengan cara mengurangi jumlah pekerja. Besarnya jumlah pekerja yang
kehilangan pekerjaanya ini telah membawa beberapa dampak. Salah satu dampaknya, kelas pemodal
makin leluasa menentukan upah pekerja. Kelas pekerja yang posisi tawarnya rendah, mau tak mau
menerima upah rendah yang telah ditetapkan oleh kelas pemodal. Keadaan ini makin mempertajam
keesenjangan hubungan antara kaum pemodal dengan kelas pekerja.

Kesenjangan tersebut tidak hanya memicu munculnya pengangguran, kemiskinan, kejahatan serta
masalah-masalah sosial lainnya. Tajamnya kesenjangan ini juga mengundang lahirnya pikiran-pikiran
kritis yang menentang arogansi kaum pemodal. Akhirnya, pikiran-pikiran kritis tersebut mendorong
lahirnya sebuah isme (paham), yakni sosialisme.
—Sosialisme Pra-Marx—
Secara luas, sosialisme merupakan paham yang menentang kemutlakan hak milik pribadi. Hak milik
pribadi—terutama yang terkait dengan hal-ikwal produksi—diubah jadi hak komunal (masyarakat).
Dalam memperbincangkan sosialisme—terutama pada era pasca-Karl Marx—kita sulit menghindari
obrolan tentang ajaran Karl Marx yang lazim disebut marxisme. Selain keterkaitannya demikian erat,
marxisme menjadi mata air utama bagi sosialisme itu sendiri. Tokoh-tokoh sosialisme seperti Lenin,
Stalin, dan Mao Tse Tung pun menjadikan marxisme sebagai acuan gerakan mereka.
Seperti uraian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sosialisme lahir sebagai reaksi terhadap
kapitalisme, maka sesungguhnya gagasan sosialisme ini telah ada sebelum era Karl Marx. Satu dari
sekian tokoh sosialisme pra-Marx adalah seorang pelaku sejarah Revolusi Prancis yang bernama Noel
Babeuf (1760-1767). Anggota Jacobin (fraksi radikal dalam Revolusi Prancis) ini menyerukan, agar
kaum miskin bersatu memerangi kaum kaya. Babeuf mengemas sosialisme-nya dalam gagasan
pendirian “Republik Rakyat Setara”, yakni republik yang meniadakan kelas-kelas di dalam masyarakat.
Pada 1797, Babeuf menjalani hukum penggal kepala karena dituduh telah merencanakan gerakan
radikal sosialis.
Yang menarik adalah sosialisme yang digagas oleh Robert Owen (1771-1858). Menjadi menarik
karena sosialisme ini digagas oleh Owen yang notabene adalah pemodal. Pengusaha asal Lanark,
Inggris, yang mempekerjakan sekitar 2.500 buruh ini jadi populer setelah menulis bukunya yang
berjudul A New View of Society, an Essay on the Formation of Human (Pandangan Baru terhadap
Masyarakat, sebuah Esai tentang Format Karakter Manusia). Owen berpendapat, karakter manusia
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pendapat ini tak hanya tertuang sebagai wacana dalam
bukunya, tetapi juga dia praktekkan dalam kenyataan. Selaras dengan pendapatnya, Owen menutup
kedai-kedai minuman yang berada di sekitar pabriknya, lantas menggantinya dengan membangun
perumhan serta tempat rekreasi bagi pekerja-pekerjanya.
Owen juga menentang eksploitasi pekerja anak-anak dengan menerbitkan larangan mempekerjakan
anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. Owen pun mendirikan koperasi konsumsi bagi buruhnya,
serta membangun Labour Exchange yang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi penganggur.
Di Labour Exchange, orang-orang yang belum memiliki pekerjaan itu memperoleh bon kerja yang
berfungsi sebagai gaji. Dengan cara-cara tersebut, Owen memperoleh keuntungan karena
meningkatnya mutu kerja, loyalitas, serta komitmen yang dimiliki buruhnya.
Tokoh sosialisme pra-Marx yang tak kalah menariknya adalah Saint Simon (1760-1825). Agak mirip
dengan Owen, sisi menarik Simon terletak pada latarbelakang dirinya. Jika Owen berasal dari
kalangan pemodal, maka Simon berasal dari kalangan bangsawan Prancis. Bangsawan yang pernah
jadi anggota Pasukan Sukarela Prancis untuk perang kemerdekaan Amerika itu berpendapat,

Golongan III (pekerja) berkewajiban melanjutkan pengembangan masyarakat, terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan dan industri, maka karena itu Golongan III merupakan golongan yang
penting dalam masyarakat.
Menurut Simon, golongan pekerja tersebut penting juga karena golongan feodal dan bangsawan
merupakan golongan parasit yang tidak menghasilkan apa-apa, dan tak berguna. Oleh sebab itu,
menurut Simon, golongan borjuis masih tetap diperlukan, dan sudah saatnya kepemimpinan
masyarakat dipegang oleh Golongan III
Gagasan sosialisme pra-Marx lainnya dituangkan seorang filsuf yang bernama Pierre Joseph Proudon
(1809-1865). Dalam karya filosofisnya yang berjudul “Philosophi de la Misere” (Filsafat
Kesengsaraan), Proudon menjelaskan, kesengsaraan tidak hanya disebabkan oleh alat-alat produksi,
namun juga oleh uang dan sistem rente (hutang yang berbunga).
Proudon punya pandangan tersendiri mengenai hak milik. Menurut filsuf yang lahir dari keluarga
miskin tersebut, hak milik merupakan “pencurian”. Karena itu, pemikir yang memperoleh beasiswa
Akademi Beacon itu menyatakan, hak milik harus dibagikan kepada tiap-tiap individu secara merata
dan sukarela, tanpa ada pemaksaan dari negara. Pandangan Proudon mengenai pembagian hak milik
inilah yang disebut sebagai Pandangan Mutualisme.
Proudon tak hanya berkutat di dunia pemikiran saja. Sejak menulis “Philosophi de la Misere”, filsuf
yang juga mendapatkan julukan Bapak Anarkisme Modern itu juga gigih mewujudkan konsepsi
sosialisme-liberalnya secara praksis.
Tokoh sosialisme lainnya adalah Charles Fourier (1772-1837). Pemikir asal Prancis itu dalam bukunya
yang berjudul “Theorie des Quatre Mouvements et Destines Generales” mengemukakan, penghuni
suatu pemukiman yang berkisar antara 1600-1800 orang merupakan suatu kesatuan. Untuk itu, perlu
adanya suatu wilayah atau “daerah tertentu” yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. “Daerah
tertentu” tersebut, menurut Fourier diperlukan agar para penghuni bisa saling berkomunikasi
dengan mudah. “Daerah tertentu” itu juga ditujukan sebagai tempat kerja yang menganut sistem
koperasi.
Dengan sistem koperasi, Fourier berpendapat, pemerataan akan tercipta karena lama-kelamaan tiaptiap orang akan menjalani kehidupan yang seragam. Dalam konsepsi Fourier, pendidikan akan
terjamin karena menjadi bagian dari fasilitas yang harus dibangun di dalam “daerah tertentu” yang
dia cita-citakan. Tidak hanya itu, optimalisasi hasil kerja juga akan tercapai karena tempat penitipan
anak bagi para pekerja juga akan dibangun di dalam “daerah tertentu” yang ia gagas. Karena
konsepsinya yang teramat jauh dari kenyataan itu, Fourier dan pengikut gagasannya disebut sebagai
Kaum Sosialis Utopis.
—Marx-Engels dan Sosialisme—
Karl Heinrich Marx (1818-1883) lahir di kota Trier, Jerman. Tokoh penting sosialisme yang juga bapak
komunisme internasional ini, tak hanya seorang teoritikus tetapi juga organisator gerakan sosialisme
Jerman.

Karena pandangan dan aktivitasnya, peraih gelar doktor filsafat Universitas Jena, Jerman, dan
redaktur Rheinische Zeitung itu diusir dari Jerman. Marx pun pindah ke Paris. Di ibukota Prancis
inilah Marx bertemu dengan Friederich Engels (1820-1899) yang ternyata memiliki pandangan politik
yang sama.
Di paris ini pula Marx mengalami pengusiran lagi. Marx pindah ke Brussel. Di kota inilah, pada 1847
dia pertama kali menerbitkan karya pentingnya yang berjudul “The Proverty of Philosophy”
(Kemiskinan Filsafat). Tahun berikutnya, bersama Engels, dia menerbitkan “Communist Manifesto”,
sebuah buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Jeman,
untuk kemudian selang beberapa bulan berikutnya diusir lagi.
Setelah terusir sana-sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Channel, dan menetap di London hingga
akhir hayatnya. Di ibukota Inggris tersebut, dengan sedikit uang yang diperolehnya dari hasil
pekerjaan jurnalistik, Marx masih menyempatkan diri untuk melakukan penelitian dan penulisan
buku-buku tentang ekonomi dan politik.
Marx beruntung memiliki sahabat seperti Engels. Bukan cuma membantu penelitian dan penerbitan
buku-buku yang ditulisnya, Engels juga membantu biaya hidup Marx dan keluarganya. Bersama
Engels ini pula, Marx menghasilkan karya terpentingnya, Das Kapital.
Dalam menganalisis masyarakat, dalam mengajukan teori, dan menghasilkan karya-karyanya, Marx
sangat dipengaruhi pikiran-pikiran George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf
kelahiran Jerman yang berpendapat bahwa sejarah adalah perenungan yang panjang. Siapapun yang
mempelajari sejarah dengan mendalam, menurut Hegel, pasti akan menjumpai “aturan-aturan
tertentu” yang berlaku dalam sejarah. Yang dimaksud dengan “aturan-aturan tertentu” tersebut
adalah pergulatan pemikiran dari satu era dengan era lainnya.
Menurut Hegel, pemikiran-pemikiran yang berada dalam suatu jaman biasanya diajukan atas dasar
pemikiran-pemikiran yang telah lebih dahulu diajukan. Keadaan ini akan menimbulkan
“pertentangan” (dialektika) di antara kedua pemikiran itu. ketegangan tersebut akan mencair bila
muncul pemikiran ketiga, yang biasanya mengakomodasi hal-hal terbaik yang terdapat di dalam
kedua buah pemikiran yang “bertentangan” itu.
Pemikiran pertama biasanya disebut tesa, pemikiran kedua disebut antitesa, dan pemikiran ketiga
disebut sebagai sintesa. “Pertentangan” antara tesa dan antitesa, hingga melahirkan sintesa inilah
yang dinamai Proses Dialektika.
Dalam dialektika, sintesa yang telah dihasilkan suatu ketika akan menjadi tesa baru, yang berarti juga
bahwa suatu saat sintesa tersebut akan berhadap-hadapan dengan pemikiran baru yang menjadi
antitesanya, hingga nantinya sintesa yang lebih baru akan muncul, dan begitu seterusnya.
Dari cara berpikir yang dialektis ini pula Marx menganalisis masyarakat pada jamannya. Marx
mengurai bahwa dalam seluruh tahapan sejarah selalu ada pertentangan di antara dua kelas
masyarakat. Marx menyatakan, pertentangan pada jaman kuno (yang diistilahkan Marx sebagai masa

masyarakat budak) terjadi antara warga bebas dan budak.
Sementara dalam masyarakat feodal, Marx menyatakan, pertentangan terjadi antara para tuan tanah
feodal dengan pekerja pengolah lahan. Pertentangan dalam masyarakat feodal berkembang menjadi
pertentangan antara kelas bangsawan dengan warganegara biasa.
Pada gilirannya, Marx menelaah pertentangan yang ada di dalam masyarakat pada jaman dia hidup.
Marx mengistilahkan masyarakat pada jamannya itu sebagai masyarakat borjuis atau masyarakat
kapitalis. Menurut Marx, pertentangan dalam masyarakat borjuis akan terjad