PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK

PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik dan Media Massa yang
diampu oleh Drs. Romula Adiono, M.AP)

Oleh :
Riska Dewi Aprilia

115030101111041

Devi Prahara Putri

115030101111035

Kurnia Dewi

115030107111115

Yunita Susilawati

115030101111034


Halimah Wati H.

115030107111121

Renanda Exsa P.

115030100111055

Singgih Wiliyanto

115030107111067

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014

A. Perspektif dan Model Komunikasi Politik
Dari Paradigma ke Perspektif
Istilah paradigma berasal dari Thomas Kuhn (1974) yang digunakan untuk 21

cara yang berbeda. Namun Robert Frederich berhasil merumuskan paradigma itu
secara disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Kuhn melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuna bukan terjadi secara
kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi
oleh paradigma tertentu. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari
paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Paradigma baru bukanlah
kelanjutan dari paradigma lama. Sosiologi misalnya dalam perkembangannya menurut
George Ritzer (1985) memiliki tiga paradigma (1) fakta sosial (2) definisi sosial (3)
perilaku sosial. Sehingga menurut Kuhn bahwa ilmu tidak berkembang secara
kumulatif melainkan secara revolusi.
B Aubrey Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal dalam dekade
terakhir ini telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang
pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi. Sesuai dengan judul buku
yang ditulisnya, yaitu Perspective on Human Communication (terbit pertama kali
1978), Fisher tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah perspektif.
Alasan, Fisher karena menurut pendapatnua istilah paradigma mencegah penggunaan
yang netral. Namun, apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama
dengan perspektif. Fisher (1990:85-86), mengakui bahwa perspektif dalam arti
pandangan yang realistis, tidak mungkin lengkap, sebab pasti sebagai dari fenomena
yang sedang dilihat itu hilang dan lainnya mengalami distorsi. Selain itu, objek yang

berada lebih jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat
lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Itu adalah resep
elementer dari hakikat perspektif.
Ilmu politik dan ilmu komunikasi

masing-masing

telah

mengalami

perkembangan yang amat pesat. Bahkan ilmu komunikasi sebagai bidang kajian telah
mengalami krisis dan sekaligus revolusi dalam perkembanganya. Krisis dan revolusi
terjadi dalam ilmu komunikasi itu, juga terjadi dalam studi komunikasi politik, bahkan
hingga kini revolusi itu belum selesai.
Meskipun fenomena komunikasi politik luas dan multi makna dan memiliki
paradigma ganda, namun sangat berguna jika empat paradigma atau perspektif
komunikasi dari Fisher tersebut diterapkan dalam komunikasi politik.

Keempat


perspektif tersebut yaitu mekanisme, psikologi, interaksional, dan pragmatis. Justru

itu perspektif boleh diartian sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka
konseptual komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut.
1. Perspektif dan Model Mekanistis
Model mekanistis merupakan model yang paling lama dan paling banyak
dianut sampai sekarang. Berbagai studi telah dilakukan dan banyak buku
diterbitkan sehingga pengaruh model mekanistis sangat kuat dan meluas.
Pengaruh model mekanistis ini, selain dikalangan masyarakat akademis juga pada
masyarakat luas. Paradigma ini telah berkembang jauh melalui pergumulan yang
seru dari pendekarnya.
Komponen dalam model mekanistis ini yaitu sumber, penerima, saluran, dan
pesan/umpan balik/efek. Sesuai dengan doktrin dan prinsip mekanisme (idealisme
mekanistis) yang berdasarkan cara berpikir sebab akibat maka titik berat kajian
komunikasi pada efek. Hal ini tercermin dalam kajian mengenai persuasi, efek
media masa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan komunikasi, yang
seluryhnya menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Model mekanistis
selain telah menghasilkan banyak studi dan tidak terlalu sulit dipahami. Model ini
merupakan model lama atau model klasik dalam studi komunikasi.

Prinsip mekanisme diwaranai oleh cara berpikir kasual atau determinisme
yang sangat mudah dipahami terutama dalam merumuskan komunikasi sebagai
proses. Berdasarkan prinsip inilah komunikasi dikonseptualisasikan sebagai
proses mekanis. Artinya, dalam komunikasi terdapat sesuatu (pesan) mengalir
melintasi ruang dan waktu dari satu titik (sumber/penerima) ke titik yang lain
(sumber/penerima) secara simultan. Eksistensi empiriknya (lokusnya) terletak atau
berada pada saluran. Model ini digambarkan oleh fisher (1990:154) sebagai ban
berjalan.
Paradigma ini sempat memudar dan mengalami krisis karena timbulnya
kekecewaan terhadap hasil studi yang dahulunya popular. Dalam perkembangan
studi komunikasi politik, kepercayaan terhadap model ini masih sangat kuat,
terutama di Indonesia. Dalam komunikasi politik, studi mengenai pendapatan
umum, propaganda, perang urat syaraf, kampanye pengaruh media massa terhadap
sosialisasi politik, masih sangat dominan.
Pada tingkat awal dan tingkat awam, paradigma mekanistik bermanfaat
diteruskan dan dikembangkan. Krisis dan kritik yang dialaminya tidaklah berarti
bahwa paradigma ini akan runtuh secara total, namun usaha untuk
mengembangkan paradigma baru terus mengebu-gebu. Dengan kata lain model
mekanisme ini tetap sah sebagai suatu paradigma. Hanya perlu dipahami bahwa


paradigma ini adalah paradigma yang paling tua dan tunduk dibawah dominasi
ilmu fisika (Arifin, 2003:30).
Paradigma baru sudah lahir dan sudah mulai berkembang dan telah menarik
banyak minat ilmiah di Amerika. Paradigma atau perspektif baru yang dimaksud,
sebagaimana yang diperkenalkan oleh Fisher (1990:228:360) ialah paradigma atau
perspektik psikologi, perspektif interaksional dan perspektif pragmatis. Paradigma
atau perspektif baru tersebut memiliki konseptualisasi yang sangat berbeda
dengan konseptualisasi mekanistis yang telah dikenal luas. Dengan demikian,
komponen mekanistis seperti pesan/umpan balik/efek, saluran, sumber/penerma
tidaklah begitu penting. Dalam paradigma atau perspektif baru komponen
mekanistis itu dapat diabaikan karea terdapat komponen lain yang lebih relevan.
Alasan lainnya, bukan saja karena baru tumbuh dan berkembang, tetapi juga jauh
berbeda dengan paradigma mekanistis, bahkan sama sekali bukan kelanjutan
paradigma tersebut.
Di Indonesia paradigma baru yang sedang tumbuh dalam satu dekade,
memang belum banyak dikenal. Pada hakikatnya, paradigma baru itu memerlukan
perubahan mendasar, dan bahkan penjungkir balikan atau revolusi dari cara
berpikir mekanistis yang klasik itu.
2. Perspektif dan Model Psikologi
Menurut paradigma atau perspektif


baru

psikologi,

komunikasi

dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengelolaan informasi pada
individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis (tidak mendalam
sebagaimana pengaruh fisika terhadap perspektif mekanisme) oleh psikologi ini
adalah mengadaptasikan konsep S-R (Stimulasi-Respon) dalam komunikasi.
Adaptasi ini menimbulkan orientasi komunikasi yang berpusat pada diri individu
(penerima).
Komponen komunikasi dalam perspektif ini bukan lagi sumber, penerima,
saluran, dan pesan/umpan balik/efek melainkan stimulasi dan respon. Dengan
fokus kajian pada individu (penerima), dalam batas tertentu orientasi para
penerima dari model ini merupakan reaksi terhadap model mekanisme yang
bersifat satu arah dari saluran yang terkandung didalamnya. Dasar konseptual
model ini, ialah bahwa penerima adalah menjadi yang aktif atas stimuli
tersetruktur yang mempengaruhi esan dan salurannya.

Menurut Arifin (2003:32) eksistensi empirik (lokusnya) bukan lagi terletak
pada saluran sebagaimana dalam perspektif mekanistis, melainkan terletak pada
diri individu yang dinamakan filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan

internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep kotak
hitam (black box). Walaupun filter ini tidak dapat diminati secara langsung,
namun sangat mempengaruhi setiap peristiwa komunikasi.
Filter konseptual itu dapet digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif,
dorongan, citra, konsep diri, tanggapan dan persepsi, yang dapat menjadi pangkal
atau sebaliknya dari rangsangan yang menyentuh individu. Filter konseptual dari
Fisher (1990:206) itu dapat disamakan sebagai kesadaran aku yang lahir dari pola
pikir dan lapangan pengalaman seseorang. Cara kerja filter konseptual (input)
stimulasi (rangsangan) menjadi iuaran (output) yang berbentuk prilaku atau
tindakan.
Berhubung komunikan atau penerima kesadaran memiliki unsur pengendalian
yang bersumber pada kesadaran aku atau filter konseptual pada informasi yang
diproses, kemampuan konseptual komunikator untuk mengontrol komnikasi
menjadi sangat terbatas. Dalam hal ini selektivitas individu dalam informasi,
sangat menentukan respon dan perilaku komunikasinya.
Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajukan

dalam erspektif psikologi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara
tuntas. Namun, tidaklah berarti bahwa paradigma ini akan ditinggalkan melainkan
akan ditumbuhkan dan dikembangkan terus. Sejak awal telah diterapkan studi
komunikasi politik, terutama studi tentang persuasi dan perubahan sikap dan
perilaku pemilihan dalam pemilihan umum.
Demikian juga studi tentang persepsi politik, citra diri khalayak politik,
penolakan konsep politik, motif yang menggerakkan unjuk rasa dan
pemberontakan, dan perubahan pola pikir, semuanya dapat dikaji dalam
paradigma psikologi.
3. Perspektif Interaksional
Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan
merupakan reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi).
Dalam

perspektif

ini,

menurut


fisher

(1990:228-266)

komunikasi

dikonseptualisasikan sebagai interaksi manusiawi pada masing-masing individu.
Walaupun interaksi itu sering juga disamakan dengan komunikasi terutama
komunikasi dua arah, namun dalam paradigma ini, konsep itu tidak berlaku.
Dalam perspetif ini, komunika ini dipahami sebagai sistem perilaku.
Eksistensi empirisnya lokusnya berada pada perilaku yang berurutan, sehingga
komponennya meliputi pola, interaksi sistem, struktur, dan fungsi. Titik berat atau
fokus pengkajian dan penelitian adalah pada perilaku interaktif.

Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional ialah
penonjolan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal itu
disebabkan manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling
berhubungan, serta mayarakat dan buah pikiran. Justru itu, setiap bentuk interaksi
sosial dimuali dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Itulah
sebabnya perspektif ini, dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif

komunikasi yang ada.
Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai
komunikasi dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal itu
merupakan reaksi humanistis terhadap model direndahkan yang monolog individu
yang berkomunikasi direndahkan harkatnya menjadi pemberi dan penerima
pesan, baik aktif maupun pasif karena mereka telah ditentukan nasibnya sebagai
yang memerlukan. Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi
diangkat derajatnya ke posisi yang mulia karena dialog mengandung arti
pengungkapan diri dan saling pengertian bersama-sama dengan pengembangan
diri melalui interaksi sosial.
Titik berat pengkajian dalam paradigma interaksional ini yaitu terletak pada
tindakan sosial atau tindakan bersama. Pada waktu individu berperilaku dalam
tindakan sosial, ia mengembangkan definisi tentang diri hal ini merupakan
definisi

tidak

langsung

dari

cabang

sosiologi

yang

dikenal

sebagai

interaksionalisme simbolik (tokoh utamanya antara lain George Herbert Mead).
Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor manusiawi,
sangat relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep
demokrasi yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang
hak-hak asasi manusia serta mengembangkan prinsip-prinsipegaliter dan populis
sangat sesuai dengan paradigma interaksional komunikasi politik yang
menghendak adanya partisipasi politik yang tinggi misalnya, sudah seyogyanya
menerangkan komunikasi yang bersifat dialogis.
Dalam komunikasi dialogis pada paradigma interaksional ini kita dapat
mengambil contoh politik yang khas di Indonesia. Dengan kata lain, komunikasi
politik yang dimaksud ialah musyawarah dan mufakat. Dalam musyawarah dan
mufakat, manusia diangkat harkatnya ke posisi yang mulia karena individu dapat
menemukan dan mengembangkan diri dalam situasi komunikasi. Selain itu, yang
penting dalam musyawarah ialah penekanan yang manusiawi pada diri sebagai
unsur pokok dalam komunikasi dialogis. Dalam model ini, individu tidak menjadi

objek atau subjek dari pihak lain, melainkan semuanya harus merasakan diri
sebagai subjek. Sehingga dengan kemampuan empati seperti inilah seseorang
dalam musyawarah dapat mengambiil peran dengan mendefinisikan diri dan diri
orang lain sehingga memungkinkan adanya pengembangan diri dalam proses
sosial. Dengan demikian, keputusan yang diambilnya terinteraksionalisasi
menjadi miliknya, dan kemudian menjadi milik bersama sebagai mufakat karena
melalui komunikasi yang dialogis (musyawarah).
Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra
terhadap komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang bertumbuh dan
berkembang. Dalam arti sebagai revolusi yang belum selesai, yakni setiap
penemuzn penelitian yang relatif baru akan mengarahkan ke dimensi yang baru.
4. Perspektif Pragmatis
Dalam perspektif pragmatis, pesan/ umpan balik/ efek, sumber/ penerima dan
saluran sama sekali tidak penting. Titik berat pengkajian dari paradigma atau
perspektif ini adalah tindakan, khususnya tindakan sosial atau tindakan bersama.
Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan
revolusi yang belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan
masih sedang dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini
memusatkan perhatian pada pragma atau tindakan. Berbeda dengan model
interaksi yang mengamati tindakan sosial dalam konteks budaya, model pragmatis
menurut Fisher (1990:270-320) mengamati tindakan atau perilaku yang berurutan
dalam konteks waktu dalam sistem sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut
dapat berupa ucapan, tindakan atau perilaku.
Paradigma pragmatis juga berbeda dengan perspektif psikologi. Pada
perspektif psikologi, orientasi perilaku pada penerima sebagai hasil informasi
secara internal pada diri individu, sebaliknya perspektif pragmatis orientasi pada
perilaku komunikator dalam sistem sosial. Dalam perspektif pragmatis, tindakan
dan perilaku bukanlah hasil atau efek dari proses komunikasi, melainkan tindakan
atau perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Dengan kata lain,
berkomunikasi, dan berperilaku itu adalah sama (komunikasi = perilaku atau
tindak). Pespektif pragmatis menempatkan eksistensi empiriknya (lokusnya) pada
tindakan atau perilaku yang berurutan. Titik berat pengkajian pada perilaku atau
tindak yang dilakukan dengan ucapan (verbal) maupun bukan ucapan (non
verbal) oleh seseorang dalam peristiwa komunikasi.

Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif
pragmatis, maka dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi
karena setiap orang tidak pernah berhenti bertindak atau berperilaku. Jika hal ini
diterapkan dalam komunikasi politik, bahwa komunikasi politik dapat mencakupi
tindakan atau perilaku yang memiliki kpentingan politik, yaitu tindakan yang
menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan konflik. Misalnya penggunaan
bendera partai, jaket partai, pernyataan pemimpin partai, dan skap tokoh partai.
Aplikasi paradigma pragmatis ini dapat terjadi dalam bentuk komunikasi
nonverbal. Misalnya seorang tokoh politik yang diam atau mengangguk saja
(nonverbal) dalam menanggapi isu penting. Hal ini sesungguhnya adalah
komunikasi politik perspektif pragmatis

(tindakan atau perilaku, yang

mengandung kemungkinan). Jumlah massa, bendera, kendaraan, dan jumlah tokoh
yang hadir dalam rapat raksasa, merupakan peristiwa yang bersifat nonverbal. Hal
ini menurut paradigma pragmatis merupakan bentuk komunikasi politik yang
sangat penting.
B. Teori Komunikasi Politik
Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi
dan dapat dipakai untuk menjelaskan atau menafsirkan fenomena. Berdasarkan
perspektif atau paradigma komunikasi politik yang diuraikan dimuka, menurut Arifin
(2003:41-64) ada empat teori yang dapat digunakan dalam aplikasi komunikasi poitik,
yaitu: (1) Teori Jarum Hipodermik (2) Teori khalayak kepala batu (3) Teori empati
dan Hemofili (4) Teori informasi dan nonverbal (5) teori media kritis.
1. Teori Jarum Hipodermik
Penelitian dengan model ini dilakukan Hovland , yang muncul selama dan
setelah Perang Dunia I. Model ini memiliki asumsi bahwa komponen-komponen
pada komunikasi (komunikator, pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi
komunikasi. Model atau teori ini disebut jarum hipodermik karena dalam model
ini dikesankan seakan-akan komunikasi “disuntik” langsung ke dalam jiwa
komunikan, sehingga pesa-pesan persuasi tersebut dapat mengubah sistem
psikologi jiwa komunikan. Pada umumnya, model ini bersifat linier atau satu arah.
Dalam teori ini jika menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau
media yang benar, komunikan dapat diarahkan sesuai dengan kehendak kita.
Karena behaviorisme sangat mempengaruhi model ini. Dalam model ini para
peneliti memanipulasikan variabel-variabel komunikasi. Kemudian mengukur
variabel antara dan variabel efek.

Variabel komunikator ditunjukkan dengan kredibilitas, daya tarik, dan
kekuasaan. Kredibilitas terdiri dari dua unsur yaitu keahlian dan kejujuran.
Keahlian diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator
mengetahui jawaban yang benar., sedangkan kejujuran dioperasionalkan sebagai
persepsi komunikan tentang sejauh mana komunikator bersikap tidak memihak
dalam menyampaikan pesannya. Daya tarik diukur dengan kesamaan,
familiaritas, dan kesukaan. Kekuasaan (power) dioperassionalisasikan dengan
tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau
memberi ganjaran (perceived control), kemampuan untuk memperhatikan apakah
komunikan tunduk atau tidak (perceived concern), dan kemampuan untuk
meneliti apakan kemampuan komunikan tunduk atau tidak (perceived secrutiny).
Variabel pesan terdiri dari struktur pesan, gaya, dan appeals pesan. Struktur pesan
ditunjukkan dengan pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan
argumentasi (mana yang lebih dulu, mana argumentasi yang disenangi dan tidak
disenangi), pola objektivitas (satu sisi atau dua sisi). Gaya pesan menunjukkan
variasi linguistik dalam penyampaian pesan (perulangan, kemudah dimengertian,
perbendaharaan kata). Appeals pesan mengacu pada motif-motif psikologi yang
dikandung pesan (rasional, emosional, fear appeals, reward appeals). Variabel
media boleh berupa media elektronik, media cetak, atau saluran inter-personal.
Variabel antara ditunjukkan dengan perhatian (sejauh mana komunikan
menyadari adanya pesan), pengertian (sejauh mana komunikan memahami pesan),
serta penerimaan (dibatasi sejauh mana komunikan penyetujui gagasan yang
dikemukakan oleh komunikan). Variabel efek diukur dari segi kognisi (perubahan
pendapat, penambahan pengetahuan, perubahan kepercayaan), segi afektif (sikap,
perasaan, kesukaan), dan segi behavioral (perilaku atau kecenderunagn perilaku).
Pada teori ini, komunikator memberikan pesan-pesan yang langsung
ditembakkan kepada komunikan yang terkesan pada posisi inilah komunikator
yang paling kuat sehingga menimbulkan efek positif dan citra yang baik, sehingga
berasumsi bahwa khalayak (komunikan) tersebut pasif dalam menerima pesan.
Dalam penelitian, ternyata asumsi itu tidak benar seluruhnya, karena efek sangat
bergantung pada kondisi khalayak (komunikan). Meskipun demikian teori jarum
hipodermik ini tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan untuk
menciptakan efektivitas komunikasi politik. Hal ini bergantung pada sistem

politik, sistem organisasi, dan situasi, terutama yang dapat diterapkan ke dalam
sistem politik yang otoriter dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah,
instruksi, penguasaan dan birokrasi, penerapan teori ini tetap relevan dan mampu
menciptakan komunikasi yang efektif.
2. Teori Khalayak Kepala Batu
Dengan gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya dan media perkasa seperti
disinggung di muka, berkembanglah asumsi baru bahwa khalayak justru sangat
bedaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Bahkan,
khalayak memiliki daya tangkap atau daya serap terhadap semua rangsangan
yang menyentuhnya. Dalam hal ini para pakar Wilby Schramm dan Roberts
(dalam Arifin, 2003:46) mengoreksi teorinya dan mengakui adanya teori baru
yang dikenal dengan nama Teori Khalayak Kepala Batu (the obstinate
audience theory).
Teori khalayak kepala batu dikembangkan pakar psikologi-Raymond Bauer
(1973). Bahkan, telah diperkenalkan oleh I.A. Richards sejak 1936, dan telah
diamalkan atau di aplikasikan oleh ahli-ahli retorika pada zaman Yunani dan
Romawi 2000 tahun lalu. Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai
robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu
memberikan keuntungan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan khalayak.
Komunikasi tidak lagi bersifat linier tetapi merupakan transaksi. Media massa
memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau
ditolak oleh filter konseptual atau factor-faktor pribadi yang mempengaruhi
reaksi mereka.
dengan teori khalayak kepala batu itu, focus penelitian bergeser dari
komunikator ke komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama para
pakarpsikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian ke factor individu.
Mereka mengkaji factor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan
komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya teori atau model uses and
gratifications (kegunaan dan kepuasan).
Uses and gratifications dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler,
dan Michael Gurevitch (dalam Arifin, 2003:46). Model ini dibangun dengan
asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang sangat rasional dan sangat
aktif, dinamis, dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Khalayak

yang selektif itu akan memilih berdasarkan kegunaan dan pemenuhan kepuasan
pribadinya.
Uses and Gratifications Model ( Model Kegunaan dan Kepuasan) merupakan
pengembangan dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa
yang dilakukan media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik pada apa yang
dilakukan orang terhadap media. Khalayak dianggap secara aktif menggunakan
media untuk memenuhi kebutuhannya. Studi dalam bidang ini memusatkan
perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan kepuasan
(gratifications) atas kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, sebagian besar
perilaku khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan

(need) dan

kepentingan individu (Ardianto dan Erdinaya, 2004:70).
Katz, Blumler, dan Gurevitch dalam Ardinati dan Erdinaya (2004:71)
menjelaskan mengenai asumsi dasar dari teori uses and gratifications, yaitu :
 Khalayak dianggap aktif, artinya khalayak sebagai bagian pnting dari
penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.
 Dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan
kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada khalayak.
 Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media lebih luas. Bagaimana
kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media sangat bergantung pada
perilaku khalayak yang bersangkutan.
 Tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota
kalayak. Artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan
kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
 Penilaian tentang arti budaya dari media massa harus ditangguhkan sebelum
diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.
Uses and gratification model meneliti asal mula kebutuhan manusia secara
psikologis dan social, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau
sumber-sumber lain (atau keterlibatan pada kegiatan lain) dan menimbulkan
pemenuhan kebutuhan. Penelitian yang menggunakan uses and gratifications
model memutuskan perhatian pada penggunaan isi media untuk memperoleh
gratifikasi atau pemenuhan kebutuhan.

Reaksi yang diberikan khalayak terhadap terapan media didasarkan kepada
member reaksi berdasarkan kegunaan dan kepuasan individu. Hal itu tidak sama
antara satu dengan orang lain. Invidu, tertarik untuk mngikut sajian media massa
karena ada kegunaannya dank area dapat terpenuhi kebutuhannya. Sering juga
terjadi bahwa seseorang menggunakan media massa untuk menghilngkan rasa
tidak enak, seperti kesepian, marah dan kecewa. Bahkan, kadang-kadang media
digunakan tanpa mempersoalkan isi dan programnya.
Pada dasarnya teori khlayak kepla batu dan teori uses and gratifications serta
teori lainnya dan model yang disebutkan di muka dapat dimasukkan ke dalam
kelompok besar perspektif atau paradigm psikologis komunikasi politik.
Meskipun individu menerima pesan karena kegunaan atau untuk memenuhi
kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu, kategori social atau hubungan
social, namun yang terpenting dalam perspektif psikologi inilah semua pesan
politik itu boleh diolah secara internal pada diri individu. Perspektif ini
komunikasi politik tidak digambarkan seperti proses berjalan antara komunikator
dengan penerima, melainkan dikonseptualisasi sebagai penerima dan pengolahan
pesan atau informasi pada diri individu. Pusat pengajiannya para diri individu,
baik sebagai pengirim pesan maupun sebagai penerima pesan politik.
Dari proses berpikir itu kemudian lahirlah pemikiran politik, yang biasa
dikenal dengan nama ideology politik atau filsafat politik. Hal ini telah
berkembang sebagai satu bidang kajian yang menarik banyak peminat. Pada
dasarnya proses berpikir dimulai dari rangsangan pesan politik yang dating dari
luar, diterima dari individu melalui panca indra. Kemudian diteruskan ke otak dan
timbulah pengamatan. Dengan pengamatan itu individu sadar ada pesan dari luar
dirinya. Namun, tidak semua yang diamati itu dapat menjadi perhatian karena
dapt saja gugur atau digeser oleh pengamatan dari rangsangan yang lain. Justru
itu diperlukan pengamatan yang terfokus dan itulah yang disebut perhatian
(masuk dalam hati).
Perhatian menurut Kenneth E. Anderson (dalam Arifin, 2003:49) adalah
perasaan mental ketika pesan (stimuli) dan rangkaian pesan menjadi menonjol
dalam kesadaran pada saat pesan lainnya mlemah. Pesan diperhatikan karena
sifatnya yang menonjol antara lain, gerakan intensitas, pesan kebaruan, dan
perulangan.

Dengan demikian, setip individu akan menyaring, menyeleksi, dan mengolah
secara internal semua pesan yang berasal dari luar dirinya. Itulah proses
psikologis yang sangat mendasar, dan karenanya setiap individu harus memiliki
daya seleksi yang oleh B. Abrey Fisher (1990:202-208) dinamakan filter
konseptul atau oleh Anwar Arifin (1986) disebut kesadaran Aku. Filter konseptual
kesadaran Aku dalam komunikasi politik dapat berupa keyakinan politik, dan
tanggapan politik. Cara kerja filter konseptual itu dapat diamati melalui masukan
(input) rangsangan (output) yang berbentuk tindakan atau perilaku.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh pakar tentang persuasi. Namun,
pada dasarnya persuasi dapat disebut sebagaiupaya mengubah sikap mental dan
perilaku orang dengan menggunakan kata-kata yang terucap dan tertulis, dengan
terlebih dahulu menciptakan situasi yang mudah terkena sugesti. Situasi yang
mudah terkena sugesti sangat ditentukan oleh kecakapan untuk mengsugesti atau
menyarankan sesuatu kepada khalayak, dan khalayak itu sendiri diliputi oleh
situasi yang mudah untuk menerima pengaruh.
Dengan demikian,persuasi yang positif dikembangkan tanpa menggunakan
sugesti dan tanpa suasana yang mudah terkena sugesti. Hal ini dilakukan dengan
cara terlebih dahulu memahami kerangka pemikiran dan lapangan pengalaman
khalayak. Dengan pemahaman tersebut, pendapat dan perilaku khalayak dapat
diubah secara rasional dan sistematis. Model semacam ini dikembangkan dalam
agenda setting. Teori khalayak kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka
acuan dalam melaksanakan komunikasi politik di Negara demokrasi. Itulan
sebabnya di negara-negara demokrasi kegiatan public relations itu tumbuh dan
berkembang, dan sebaliknya kegiatan agitasi dan propaganda politik itu sangat
tercela dan bahkan ditolak.
3. Teori Empati dan Homofili
Secara sederhana, empati merupakan kemampuan menempatkan diri pada
situasi dan kondisi orang lain. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk
memproyeksikan dirinya ke dalam peranan orang lain. Daniel Larner (1978:34),
mengartikam empati sebagai kesanggupan seseorang melihat diri sendiri ke
dalam situasi orang lain, dan kemudian melakukan penyesuaian. Dalam hal ini,
individu harus memiliki kepribadian mobil, yaitu kepribadian yang mudah
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi orang lain. Teori empati merujuk
pada sikap dan perasaan yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang

lain. Empati memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain,
memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi
mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).
Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam
empati orang lain memberikan peluang ke politikus untuk berhasil dalam
pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain
itu memang sangat tidak mudah. Justru itu empati dapat ditingkatkan dan
dikembangkan oleh politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik
yang sering dilakukan. Dengan demikian empati dalam komunikasi politik adalah
sifat yang sangat dekat dengan citra politikus tentang diri dan tentang orang lain.
Itu lah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui
komunikasi antarpersonal.
Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi itu, Rogers dan
Shoemaker (1978) memperkenalkan homofili. Konsep ini diartikan sebagai
kemampuan individu untuk menciptakan kebersamaan, baik fisik maupun non
mental. Dengan homofili dapat tercipta hubungan sosial dan komunikasi yang
intensif dan efektif. Istilah Homophily ini berasal dari perkataan Yunani Homoios,
yang mempunyai arti sama (alike) atau serupa (equal). Secara etimologis
homophily berarti afiliasi atau komnikasi dengan pribadi yang sama, atau yang
memiliki atribut tertentu yang sama atau serupa. Jadi homofili berarti komunikasi
dengan orang yang sama, yaitu derajat orang berkomunikasi memiliki kesamaan
dalam beberapa hal. Heterophily adalah cermin kebalikan Homophily. Konsep itu
didefenisikan sebagai tingkat ketika pasangan individu yang berkomunikasi
berbeda atribut tertentu, seperti pendidikan, status sosial, dan konteks sosial.
Homofili dalam komunikasi politik, dapat dilihat pada para politikus atau
kader partai di Indonesia yaitu kostum seragam jas mereka miliki. Bahkan,
sejumlah politikus yang memiliki agama yang sama, berkumpul membentuk partai
yang sama. Demikian juga mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama,
membentuk koalisi untuk memperjuangkan kepentingan politik bagi mereka.
Menurut Arifin (2003:557) kedua teori tersebut sangat berguna dalam
komunikasi antarpersonal, baik dalam komunikasi sosial, maupun dalam
komunikasi politik. Justru itu, teori empati maupun teori homofili paling relevan
ditempatkan pada paradigma kelompok besar atau perspektif interaksional
komunikasi politik. Dalam hal ini penonjolan nilai-nilai dan harkat manusia diatas

segala pengaruh yang lainnya sangat dominan karena manusia adalah makhluk
yang relatif sempurna.
Berarti empati dan homofili dapat menciptakan suasana yang akrab dan intim
sehingga komunikasi politik dapat berjalan secara iinteraksional. Dalam hal ini
interaksi yang berlangsung adalah interaksi antara dua subjek (bukan antara
subjek dan objek) yang selevel dan sederajat (misalnya interaksi antara dua orang
yang bersahabat, suami istri, atau dua orang yang berpacaran). Dalam komuniasi
politik yang bersifat dialogis, tidak dikembangkan: aku atau kamu, melainkan
yang menonjol adalah: kita (misalnya sebangsa dan setanah air).
Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diaplikasikan ke
dalam bentuk idiologi politik yang sama, visi dan misi politik yang sama, doktrin
politik yang sama, simbol yang sama, pakaian yang sama, dan keputusan politik
bersama. Dengan adanya kebersamaan itu setiap kader partai merasa dihargai dan
diangkat harktanya sebagai manusia. Hal ini disebut juga sebagai hubungan
manusiawi (human relations).
4. Teori Informasi dan Nonverbal
Dalam “teori informasi” menurut B.Aubrey Fisher(1990), informasi diartikan
sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan tujuan untuk
menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang
absolut dan relatif karena informasi diartikan “bukan pesan” melaikan “jumlah”,
benda dan energi. Informasi politik dalam “teori informasi” pada hakikatnya
adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal (tidak terucapkan).
Komunikasi nonverbal menurut Mark L. Knapp(1972) adalah (1)repetisi, yaitu
mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikansecara verbal, (2) subtitusi,
yaitu menggantikan lambang-lamban verbal, (3) kontradiksi, yaitu memberikan
makna yang lain terhadap pesan verbal.(4)komplemen, yaitu melengkapi atau
memperkaya pesan verbal.(5)aksentuasi. Yaitu lebih menegaskan pesan verbal.
Informasi memiliki tiga pengertian. Menurut (schramm, 1977:13) pertama,
informasi dipahami sama dengan pesan sebagaimana dianut dalam proses
komunikasi mekanistis. Kedua, informasi adalah data yang sudah diolah,
sebagaimana yang dipahami dalam SIM(sistem Informasi Manajemen). Ketiga
informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian atau mempunyai
jumlah kemungkinan alternatif.
Menurut “teori informasi” tidak satupun “tindakan politik” para politikus atau
kader partai yang bukan komunikasi politik, tapi juga dapat dipandang sebagai
komunikasi politik nonverbal. Namun harus dipahami betul bahwa tindakan atau

ucapan itu sesungguhnya boleh dianalisis sebagai sebuah pesan, melainkan adalah
sebuah kemungkinan atau alternatif.
Teori informasi itu dapat diterapkan dalam komunikasi politik dalam banyak
bentuk seperti (1) memasang bendera, umbul-umbul, spanduk dan mendengarkan
musik karena akan ada upacara partai politiki.(2) memakai pakaian seragam
karenan ada pertemuan kader. (3) mempromosikan anggota partai yang
berprestasi. Teori ini sangat beragam dalam menentukan pilihan penempatan
kader dalam menduduki jabatan-jabatan politik.
5. Teori Media Kritis
Teori media kritis menurut Hollander dikutip (Arifin, 2003:61) adalah teori
media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam
mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui fungsi media
massa dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah.
Kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat
tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru
tidak berlaku. Bertolak dari aspek kemasyarakatan, pendukung teori media kritis
seperti Ardono dan Horkheimer (dalam Arifin, 1997:52), memandang bahwa
media massa merupakan produsen utama dari kebudayaan massa. Penganut teori
komunikasi kritis memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem
komunikasi.
Teori permainan yang dikembangkan oleh Willian Stephenson menjelaskan
bahwa mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori
kesenangan

diturunkan

dari

gagasan

kesenangan

berkomunikasi,

dan

kegembiraan yang diperoleh orang dari mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan
dalam menonton film.
Penggagas teori parasosial berpandangan bahwa media massa berfungsi
dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hal ini tercapai
apabila media massa member peluang hubungan parasosial yang akrab.
Akhirnya, Malvin L. DeFleur memperkenalkan beberapa teori dalam
mengukur efek komunikasi massa terhadap masyarakat antara lain :
1.

Teori perbedaan-perbedaan individu

2.

Teori penggolongan sosial

3.

Teori hubungan sosial

4.

Teori norma-norma budaya

C. Kesimpulan
Robert Frederich berhasil merumuskan paradigma itu secara disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Kuhn melihat
bahwa perkembangan ilmu pengetahuna bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi
secara revolusi. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh paradigma tertentu.
Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang
memudar ke paradigma baru. Empat paradigma atau perspektif komunikasi dari
Fisher tersebut diterapkan dalam komunikasi politik. Keempat perspektif tersebut
yaitu mekanisme, psikologi, interaksional, dan pragmatis. Justru itu perspektif boleh
diartian sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka konseptual komunikasi
selama ini ke dalam empat perspektif tersebut.
Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi
dan dapat dipakai untuk menjelaskan atau menafsirkan fenomena. Berdasarkan
perspektif atau paradigma komunikasi politik yang diuraikan dimuka, menurut Arifin
(2003:41-64) ada empat teori yang dapat digunakan dalam aplikasi komunikasi poitik,
yaitu: (1) Teori Jarum Hipodermik (2) Teori khalayak kepala batu (3) Teori empati
dan Hemofili (4) Teori informasi dan nonverbal (5) teori media kritis.