Analisis Irigasi Tetes Dengan Infus Sebagai Emiter Pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.)
ANALISIS IRIGASI TETES DENGAN INFUS SEBAGAI
EMITER PADA TANAMAN MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
SKRIPSI
Oleh
DESNATALIA MILALA 050308043/TEKNIK PERTANIAN
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010
(2)
ANALISIS IRIGASI TETES DENGAN INFUS SEBAGAI
EMITER PADA TANAMAN MENTIMUN (Cucumis sativus L.)
SKRIPSI
Oleh
DESNATALIA MILALA 050308043/TEKNIK PERTANIAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
(Ir. Edi Susanto, M.Si) (Ainun Rohanah, STP, M.Si) Ketua Anggota
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010
(3)
ABSTRAK
DESNATALIA MILALA: Analisis Irigasi Tetes Dengan Infus Sebagai Emiter Pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.), dibimbing oleh EDI SUSANTO dan AINUN ROHANAH.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji respon pertumbuhan dan produktivitas tanaman mentimun terhadap perlakuan yang diberikan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak-petak Terbagi dengan 3 (tiga) faktor dan 3 ulangan. Faktor I Ketinggian Sumber Air (T) terdiri dari 2 taraf yaitu 1 meter dan 2 meter. Faktor II Jarak Tanam (D) yaitu 40 cm dan 20 cm. Faktor III Panjang Selang Infus (P) yaitu 150 cm dan 75 cm, sehingga diperoleh 8 kombinasi perlakuan. Parameter yang diamati adalah diameter batang (cm), tinggi tanaman (cm), produktivitas buah dan keseragaman irigasi.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa interaksi antara ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter batang, tinggi tanaman, dan produktivitas buah. Keseragaman irigasi untuk perlakuan T1D1P1 sebesar 95.7%, T1D1P2 sebesar 95.11%, T1D2P1 sebesar 93.16%, T1D2P2 sebesar 93.69%, T2D1P1 sebesar 92.74%, T2D1P2 sebesar 98.12%, T2D2P1 sebesar 96.28%, dan T2D2P2 sebesar 95.14%.
Kata kunci : Irigasi tetes, Mentimun, Emiter alternatif.
ABSTRACT
DESNATALIA MILALA: Analysis of Drip Irrigation using Infus Emitter at Cucumber Plants ( Cucumis Sativus L.), supervised by EDI SUSANTO and AINUN ROHANAH.
The research was held to test the growing response and productivity of cucumber to the given treatments. Split Plot-plot Design with three factors was used with three replications. The first factor was height of water source (T) that is 1 meters and 2 meters. The second was the distance of the plants (D) that is 40 cm and 20 cm. The third was the length of infus hose that is 150 cm and 75 cm, therefore, there were 8 combinations. The parameters abserved were the diameter of trunk, height of plants, productivity and irrigation uniformity.
The results of this experiment indicated that the interactions of the three treatments had significant effect on diameter of trunk, height of plants, and productivity of cucumber. Irrigation uniformity for the treatment of T1D1P1 was 95.7%, T1D1P2 was 95.11%, T1D2P1 was 93.16%, T1D2P2 was 93.69%, T2D1P1 was 92.74%, T2D1P2 was 98.12%, T2D2P1 was 96.28%, and T2D2P2 was 95.14%. Keyword : Drip Irrigation, Cucumber, Alternative Emitter.
(4)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sarinembah pada tanggal 3 Desember 1986 dari ayah
(alm.) N. Milala dan ibu B. Sinuraya. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Teknik
Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Ikatan
Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) sebagai Sekretaris umum.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pabrik Kelapa
(5)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan berkat dan karunia kepada penulis sehingga dapat
menyusun skripsi yang berjudul ” Analisis Irigasi Tetes dengan Infus sebagai
Emiter pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.)”. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada orang tua penulis (B. br Sinuraya) yang telah membesarkan,
memelihara dan mendidik penulis selama ini dan seluruh keluarga atas dukungan
dan motivasinya. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Komisi Pembimbing,
Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Ainun
Rohanah, STP, M.Si., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah berupaya semaksimal mungkin,
namun penulis menyadari tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Untuk itu
penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi
ini.
Akhirnya penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
(6)
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Irigasi ... 5
Irigasi Tetes ... 6
Komponen Irigasi Tetes ... 11
Jaringan pipa irigasi tetes ... 11
Emiter ... 12
Tekanan ... 13
Jumlah Emiter ... 13
Debit ... 14
Keseragaman Irigasi ... 15
Hidroponik ... 16
Media Tanam ... 17
Mentimun ... 18
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
Bahan dan Alat Penelitian ... 21
Bahan ... 21
Alat ... 21
Metode Penelitian ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 22
Parameter Penelitian ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Diameter Batang ... 25
Pengaruh Perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman ... 27
Pengaruh Perlakuan Terhadap Produktivitas Buah ... 29
Pengaruh Perlakuan-perlakuan Terhadap Diameter Batang ... 32
Pengaruh Ketinggian Sumber Air ... 32
Pengaruh Jarak Tanam ... 32
Pengaruh Panjang Selang Infus ... 32
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus ... 32
Pengaruh Perlakuan-perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman ... 33
Pengaruh Ketinggian Sumber Air ... 33
(7)
Pengaruh Panjang Selang Infus ... 33
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus ... 33
Pengaruh Perlakuan-perlakuan Terhadap Produktivitas Buah ... 34
Pengaruh Ketinggian Sumber Air ... 34
Pengaruh Jarak Tanam ... 34
Pengaruh Panjang Selang Infus ... 34
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus ... 34
Debit Air Keluar Rata-rata ... 35
Keseragaman Air Irigasi ... 39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41
Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
(8)
DAFTAR TABEL
No. Hal
1. Pengaruh perlakuan terhadap diameter batang ... 26
2. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman ... 28
3. Pengaruh perlakuan terhadap produktivitas buah ... 29
4. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari pertama ... 35
5. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari kedua ... 36
6. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari ketiga ... 37
(9)
DAFTAR GAMBAR
No. Hal
1. Perbedaan diameter batang pada 2 MST dengan 5 MST ... 27
2. Perbedaan tinggi tanaman pada 2 MST dengan 5 MST ... 29
3. Perbedaan produktivitas buah I dengan buah II ... 31
4. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang pada 2 MST ... 32
5. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 2 MST ... 33
6. Pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang pada 2 MST ... 34
7. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam, dan panjang selang infus terhadap diameter batang pada 2 MST ... 35
8. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang pada 5 MST ... 36
9. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 5 MST ... 37
10. Pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang pada 5 MST ... 38
11. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam, dan panjang selang infus terhadap diameter batang pada 5 MST ... 39
12. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman pada 2 MST... 40
13. Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 2 MST ... 41
14. Pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 2 MST ... 42
15. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam, dan panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 2 MST ... 43
16. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman pada 5 MST... 44
17. Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 5 MST ... 45
18. Pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 5 MST ... 46
19. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam, dan panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 5 MST ... 47
20. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap produktivitas buah ... 48
21. Pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas buah ... 49
22. Pengaruh panjang selang infus terhadap produktivitas buah ... 50
23. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam, dan panjang selang infus terhadap produktivitas buah ... 51
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal
1. Konstruksi jaringan irigasi tetes ... 61
2. Flow chart penelitian ... 64
3. Data diameter batang pada 2 MST dan 5 MST ... 65
4. Data tinggi tanaman pada 2 MST dan 5 MST ... 66
5. Data produktivitas buah ... 67
6. Data pengamatan diameter batang pada 2 MST ... 68
7. Uji Jarak Duncan (UJD) diameter batang pada 2 MST ... 69
8. Data pengamatan diameter batang pada 5 MST ... 71
9. Uji Jarak Duncan (UJD) diameter batang pada 5 MST ... 72
10. Data pengamatan tinggi tanaman pada 2 MST ... 74
11. Uji Jarak Duncan (UJD) tinggi tanaman pada 2 MST ... 75
12. Data pengamatan tinggi tanaman pada 5 MST ... 77
13. Uji Jarak Duncan (UJD) tinggi tanaman pada 5 MST ... 78
14. Data pengamatan produktivitas buah ... 80
15. Uji Jarak Duncan (UJDproduktivitas buah ... 81
16. Data debit air tertampung ... 83
17. Data keseragaman air irigasi... 84
18. Contoh perhitungan debit air keluaran emiter rata-rata ... 85
(11)
ABSTRAK
DESNATALIA MILALA: Analisis Irigasi Tetes Dengan Infus Sebagai Emiter Pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.), dibimbing oleh EDI SUSANTO dan AINUN ROHANAH.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji respon pertumbuhan dan produktivitas tanaman mentimun terhadap perlakuan yang diberikan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak-petak Terbagi dengan 3 (tiga) faktor dan 3 ulangan. Faktor I Ketinggian Sumber Air (T) terdiri dari 2 taraf yaitu 1 meter dan 2 meter. Faktor II Jarak Tanam (D) yaitu 40 cm dan 20 cm. Faktor III Panjang Selang Infus (P) yaitu 150 cm dan 75 cm, sehingga diperoleh 8 kombinasi perlakuan. Parameter yang diamati adalah diameter batang (cm), tinggi tanaman (cm), produktivitas buah dan keseragaman irigasi.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa interaksi antara ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter batang, tinggi tanaman, dan produktivitas buah. Keseragaman irigasi untuk perlakuan T1D1P1 sebesar 95.7%, T1D1P2 sebesar 95.11%, T1D2P1 sebesar 93.16%, T1D2P2 sebesar 93.69%, T2D1P1 sebesar 92.74%, T2D1P2 sebesar 98.12%, T2D2P1 sebesar 96.28%, dan T2D2P2 sebesar 95.14%.
Kata kunci : Irigasi tetes, Mentimun, Emiter alternatif.
ABSTRACT
DESNATALIA MILALA: Analysis of Drip Irrigation using Infus Emitter at Cucumber Plants ( Cucumis Sativus L.), supervised by EDI SUSANTO and AINUN ROHANAH.
The research was held to test the growing response and productivity of cucumber to the given treatments. Split Plot-plot Design with three factors was used with three replications. The first factor was height of water source (T) that is 1 meters and 2 meters. The second was the distance of the plants (D) that is 40 cm and 20 cm. The third was the length of infus hose that is 150 cm and 75 cm, therefore, there were 8 combinations. The parameters abserved were the diameter of trunk, height of plants, productivity and irrigation uniformity.
The results of this experiment indicated that the interactions of the three treatments had significant effect on diameter of trunk, height of plants, and productivity of cucumber. Irrigation uniformity for the treatment of T1D1P1 was 95.7%, T1D1P2 was 95.11%, T1D2P1 was 93.16%, T1D2P2 was 93.69%, T2D1P1 was 92.74%, T2D1P2 was 98.12%, T2D2P1 was 96.28%, and T2D2P2 was 95.14%. Keyword : Drip Irrigation, Cucumber, Alternative Emitter.
(12)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat, dengan
demikian kebutuhan akan pangan, sandang dan papan pun akan meningkat juga.
Hal ini merupakan suatu bentuk krisis bila tidak ditangani secara efisien. Salah
satunya bila dipandang dari segi pangan yang merupakan kebutuhan utama
manusia untuk menjalankan kegiatannya. Tanpa adanya makanan manusia tidak
akan mampu beraktivitas, namun seiring dengan pertambahan penduduk maka
kebutuhan akan pangan juga meningkat. Peningkatan di sektor ini harus dipenuhi
dengan ketersediaan air untuk tanaman. Persoalan yang terjadi air yang tersedia
semakin menipis dikarenakan penebangan hutan yang mempengaruhi ketersediaan
air di dalam tanah. Selain itu lahan yang tersedia untuk menanam juga semakin
sedikit karena dimana-mana dibangun perumahan untuk masyarakat. Untuk
mengantipasi hal tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk memudahkan kita dalam
menghasilkan pangan, dengan air minimal digunakan namun hasilnya cukup
optimal.
Secara alami sebenarnya tanaman sudah mendapatkan air dari hujan, tetapi
sebagian besar air hujan itu hilang melalui penguapan, perkolasi dan aliran
permukaan. Sehingga hanya tinggal sebagian kecil di sekitar akar, maka air ini
sering tidak mencukupi kebutuhan tanaman. Oleh sebab itu dalam
membudidayakan tanaman harus diusahakan agar kebutuhan air selama
pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara memberikan air dalam jumlah, waktu,
(13)
Pada beberapa tahun terakhir ini perkembangan penggunaan sistem irigasi
sprinkler dan drip sangat pesat sekali tetapi sistem irigasi tradisional, irigasi
permukaan, masih merupakan sistem yang paling banyak dipergunakan. Lebih
dari 95% irigasi yang ada di dunia adalah menggunakan irigasi permukaan. Irigasi
di Indonesia masih menggunakan sistem irigasi permukaan, dan tanaman yang
diberi air dengan metode ini pada umumnya padi. Sedangkan sistem sprinkler dan
drip masih sangat jarang digunakan (Ginting, 1994).
Saat ini telah banyak digunakan sistem irigasi curah atau tetes. Dengan
sistem ini dapat memberikan efisiensi sampai lebih dari 90% dan efektifitas yang
cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Hal ini akan lebih
berhasil jika sistem irigasi tetes dirancang dengan tepat dan dioperasikan dengan
teratur sesuai dengan jumlah kebutuhan dan waktu pemberian air
(Sapriyanto dan Nora, 1999).
Menurut Murty (2002) sistem irigasi tetes memiliki beberapa keuntungan
yaitu distribusi air yang tertutup dekat dengan akar tanaman sehingga efisiensi
penyaluran jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem irigasi yang lainnya,
distribusi air yang lebih terkontrol, tidak ada aliran permukaan (run off) yang
dapat menyebabkan erosi, pemberian air dan pupuk dapat dilakukan secara
bersamaan, pertumbuhan gulma pada daerah yang terbasahi berkurang,
penggunaan air yang efisien dan meningkatkan produktivitas tanaman.
Irigasi cucuran juga disebut irigasi tetesan, terdiri dari jalur pipa yang
biasanya dihubungkan secara ekstensif yang memberikan air langsung ke tanah
dekat tanaman. Alat pengeluaran air pada pipa disebut emiter yang meneteskan air
(14)
secara otomatis untuk menyalurkan volume air sesuai dengan yang dibutuhkan,
menurut waktu yang ditentukan (Hansen, dkk., 1992).
Emiter merupakan alat pemancar air yang dipasang di dekat tanaman dan
permukaan tanah. Menurut Prihmantoro dan Yovita (2000) jarak antara emiter
berdasarkan kepada jarak tanam. Pemasangan emiter yang terlalu banyak
menyebabkan pemborosan air dan merusak tanaman. Menurut Keller dan Bliesner
(1990) emiter berfungsi sebagai alat pengatur debit. Debit yang besar dan jarak
emiter yang dekat satu sama lain merupakan suatu pemborosan. Jadi semakin
tinggi tangki penampungan maka semakin besar debit yang dihasilkan.
Melihat kondisi pertanian kita yang sangat tergantung cuaca, menanam
dengan menggunakan irigasi tetes yang diaplikasikan langsung dengan
pemupukan dalam suatu ruangan, merupakan jawaban untuk memenuhi
kebutuhan akan pangan. Dengan sistem ini luas lahan dan ketersediaan air tidak
lagi menjadi kendala dalam menanam, karena kedua hal ini mampu dikendalikan
secara optimum. Selain itu, pupuk yang diberikan kepada tanaman tidak akan
hilang begitu saja karena adanya aliran permukaan, karena air diberikan langsung
ke daerah perakaran tanaman.
Penggunaan sistem ini di kalangan masih sangat minim, hal ini
dikarenakan perlunya biaya yang sangat mahal dalam membuat instalansi jaringan
irigasi tetes ini. Namun bila semua komponen penyusunnya diganti dengan yang
lebih sederhana tetapi kegunaannya tetap sama, maka sudah pasti petani akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Mengacu pada persoalan-persoalan tersebut maka penulis mencoba
(15)
tanaman mentimun pada sistem irigasi tetes, dengan maksud mengetahui seberapa
besar keuntungan yang akan diperoleh bila tanaman mentimun ditanam dengan
irigasi tetes pada ketinggian sumber air yang berbeda.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketinggian sumber air,
jumlah emiter/jarak tanam dan panjang selang infus yang diaplikasikan terhadap
pertumbuhan tanaman mentimun dengan menggunakan irigasi tetes sederhana.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan bagi penulis untuk menyusun skripsi yang merupakan
syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian
Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara.
(16)
TINJAUAN LITERATUR
Irigasi
Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanaman
untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
Meskipun demikian, suatu definisi yang lebih umum dan termasuk sebagai irigasi
adalah penggunaan air pada tanah untuk setiap jumlah delapan kegunaan berikut :
1. Menambah air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan
untuk pertumbuhan tanaman
2. Untuk menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang
pendek
3. Untuk mendinginkan tanah dan atmosfir, sehingga menimbulkan
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman
4. Untuk mengurangi bahaya pembekuan
5. Untuk mencuci atau mengurangi garam dalam tanah
6. Untuk mengurangi bahaya erosi tanah
7. Untuk melunakkan pembajakan dan penggumpalan tanah
8. Untuk memperlambat pembentukan tunas dengan pendinginan karena
penguapan
(Hansen, dkk., 1992).
Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka
pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan
konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan
pembangunan pertanian berkelanjutan yang memiliki ciri-ciri seperti : pertanian
(17)
dengan keadaan fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak mengakibatkan
degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi tersebut dapat diterapkan
oleh masyarakat (Sinukaban, 1994).
Irigasi mikro dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan produktivitas
lahan kering. Sistem irigasi ini hanya mengaplikasikan air di sekitar perakaran
tanaman. Ada beberapa jenis irigasi mikro, yaitu irigasi tetes (drip irrigation),
microspray, dan mini-sprinkler. Masing-masing jenis irigasi tersebut dapat
dibedakan berdasarkan tipe outlet atau pengeluaran air yang digunakan, yaitu :
(1) irigasi tetes, meneteskan air melalui pipa berlubang dengan diameter kecil atau
sangat kecil, (2) micro-spray, mencurahkan air di sekitar perakaran dengan
diameter pembasahan 1-4 m, dan (3) mini-sprinkler, mencurahkan air di sekitar
perakaran dengan diameter pembasahan hingga 10 m (Anonim, 2008).
Irigasi Tetes
Irigasi tetes merupakan cara pemberian air dengan jalan meneteskan air
melalui pipa-pipa secara setempat di sekitar tanaman atau sepanjang larikan
tanaman. Disini hanya sebagian dari daerah perakaran yang terbasahi tetapi
seluruh air yang ditambahkan dapat diserap cepat pada keadaan kelembapan tanah
rendah. Jadi keuntungan cara ini adalah penggunaan air irigasi yang sangat efisien
(Nasution, dkk., 1986).
Irigasi tetes pertama kali diterapkan di Jerman pada tahun 1869 dengan
menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat. Di Amerika, metode irigasi ini
berkembang mulai tahun 1913 dengan menggunakan pipa berperforasi. Pada
(18)
Penerapan irigasi tetes di lapangan kemudian berkembang di Israel pada tahun
1960-an (Prastowo, 2003).
Irigasi tetes mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
a. Meningkatkan nilai guna air
Secara umum, air yang digunakan pada irigasi tetes lebih sedikit
dibandingkan dengan metode lain
b. Meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil
Dengan irigasi tetes, kelembaban tanah dapat dipertahankan pada tingkat
yang optimal bagi pertumbuhan tanaman
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemberian
Pemberian pupuk dan bahan kimia pada metode ini dicampur dengan air
irigasi, sehingga pupuk atau bahan kimia yang digunakan menjadi lebih
sedikit, frekuensi pemberian lebih tinggi dan distribusinya hanya di sekitar
daerah perakaran
d. Menekan resiko penumpukan garam
Pemberian air secara terus-menerus akan melarutkan dan menjauhkan garam
dari daerah perakaran
e. Menekan pertumbuhan gulma
Pemberian air pada irigasi tetes hanya terbatas di daerah sekitar tanaman,
sehingga pertumbuhan gulma dapat ditekan
f. Menghemat tenaga kerja
Sistem irigasi tetes dapat dengan mudah dioperasikan secara otomatis,
(19)
Sedangkan kelemahan atau kekurangan dari metoda irigasi tetes adalah sebagai
berikut :
a. Memerlukan perawatan yang intensif
b. Penumpukan garam
c. Membatasi pertumbuhan tanaman
d. Keterbatasan biaya dan teknik
(Prastowo, 2003)
Irigasi tetes dapat dibedakan atas dua jenis yaitu irigasi tetes dengan
pompa dan irigasi tetes dengan gaya gravitasi. Irigasi tetes dengan pompa yaitu
irigasi tetes dengan sistem penyaluran air diatur pompa. Irigasi tetes pompa ini
umumnya memiliki alat dan perlengkapan yang lebih mahal daripada irigasi
sistem gravitasi. Irigasi sistem gravitasi yaitu irigasi yang menggunakan gaya
gravitasi dalam penyaluran air dari sumber. Irigasi ini biasanya terdiri dari unit
pompa air untuk penyediaan air, tangki penampungan untuk menampung air dari
pompa, jaringan pipa dengan diameter yang kecil dan pengeluaran air yang
disebut pemancar ”emiter” yang mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam
(Hansen, dkk., 1992).
Sistem irigasi tetes tidak harus selalu menggunakan pompa untuk
mengalirkan air ke setiap tanaman. Ada cara yang lebih simpel yaitu dengan
memanfaatkan gaya gravitasi bumi. Cara ini cocok untuk sumber air yang lebih
tinggi dari kebun. Bahkan tinggi sumber air 1 m pun memungkinkan. Sistem
gravitasi bisa lebih menghemat biaya, petani tidak perlu membeli pompa untuk
mengalirkan air ke seluruh kebun. Instalasi irigasi tetes sistem gravitasi
(20)
saringan (filter), pipa PVC, sambungan pipa, dan pipa tetes (drip line) tempat air
menetes ke setiap akar tanaman. Kapasitas tangki yang lebih besar tentunya akan
menghasilkan tekanan lebih besar pula sehingga tetesan semakin cepat. Namun
hal itu tergantung pada keperluan, untuk skala hobi kapasitas tangki bisa 100 liter,
200 liter, atau 300 liter. Namun untuk kebun hidroponik kapasitas penampung air
bisa lebih besar, 2.000 liter misalnya. Yang lebih sederhana bisa memanfaatkan
ember yang digantung setinggi 1 m. Akibat beda ketinggian ini, air akan mengalir
dari tangki melalui pipa PVC, dari pipa PVC air kemudian mengalir ke drip lines
yang memiliki lubang-lubang untuk meneteskan air ke setiap tanaman. Pengaturan
waktu penyiraman dilakukan dengan cara membuka-tutup kran. Kran sebaiknya
dilengkapi dengan filter agar kotoran tidak masuk ke dalam pipa (Suhaya, 2008).
Dengan teknologi irigasi tetes, tanaman tidak harus berbunga pada musim
hujan sehingga bakal buah terselamatkan. Teknologi ini juga bisa menyehatkan
tanaman sepanjang tahun dan tidak membutuhkan bendungan besar tapi cukup
dengan bendungan kecil atau waduk. Irigasi tetes memasang perangkatnya persis
seperti infus pada tubuh manusia. Selang emiter disambungkan dengan selang
tabung yang diikatkan di batang. Setelah tersambung, tabung kemudian diisi
avron (nutrisi) yang sudah dicampur air (perbandingan campuran, 1 liter air dan
1,25 cc avron). Maka nutrisi tersebut akan langsung dikonsumsi tanaman lewat
tetesan yang keluar dari tabung emiter sebanyak 0,03 digit per detik, interval
pemberiannya 5-7 hari sekali. Selama setahun pemberian nutrisi ini terhitung 18
hingga 22 kali dan nutrisi atau jumlah makanan yang diberikan sudah cukup bagi
(21)
Menurut Murty (2002) sistem irigasi tetes memiliki beberapa keuntungan
antara lain distribusi air yang tertutup ke dekat akar tanaman sehingga efisiensi
penyaluran besar, distribusi air yang seragam (merata) dan terkontrol, tidak ada
aliran permukaan (run off) seperti faktor yang dapat menyebabkan erosi, aplikasi
(pemberian) air dan pupuk dapat dilakukan secara bersamaan, mengurangi
(membatasi) pertumbuhan gulma pada daerah yang terbasahi, penyimpanan air
yang efisien dan secara umum meningkatkan hasil.
Pengoperasian irigasi tetesan yang baik akan menjamin tegangan air pada
tanah di daerah pertumbuhan akar konstan. Efisiensi penggunaan air dengan
metode ini dapat menjadi baik karena distribusinya pada daerah perakaran cukup
baik. Etcrop pada saat daun tanaman hampir atau seluruhnya sudah menutupi tanah tidak akan dipengaruhi oleh pemberian air dengan metode irigasi ini
(Ginting, 1994).
Selama beberapa kurun waktu kegiatan irigasi dalam pertanian telah
mengalami perkembangan dari tradisional yaitu irigasi permukaan (bahasa jawa =
leb) kemudian irigasi curah (sprinkler) sampai irigasi tetes (drip irrigation).
Teknologi drip irrigation ini banyak digunakan di daerah yang kekurangan air,
makanya tidaklah mengherankan bila pertanian di Arab Saudi, maupun Israel
berkembang dengan menggunakan sistem irigasi ini. Teknologi mikro-irigasi
seperti irigasi curah maupun irigasi tetes memberikan keuntungan dalam efisiensi
penggunaan air dan pupuk. Irigasi tetes mampu menyimpan (menghemat) air serta
mampu meningkatkan produktifitas tanaman hortikultura. Sistem irigasi ini
ternyata lebih efisien 40 – 50 % dibandingkan irigasi konvensional dimana
(22)
efisiensi/penghematan sebesar 34 kg/ha/mm (dalam luasan satu hektar untuk
pengairan setebal 1 mm mampu menghemat air sebanyak 34 kg) sedangkan untuk
irigasi tetes mencapai efisiensi 52 kg/ha/mm dan 60 kg/ha/mm bila irigasi tetes
dipadukan dengan penggunaan mulsa. Bagaimanapun dengan perluasan tanah
yang harus terairi menyebabkan ketersediaan air dan pupuk menjadi lebih efisien
dan terjamin. Keunggulan lain dari irigasi tetes adalah mengurangi kesalahan saat
melakukan penyiraman dimana bisa saja dalam kegiatan penyiraman tersebut ada
bagian yang memperoleh air yang cukup, ada yang kurang bahkan ada pula yang
berlebihan. Tentu saja hal ini kurang baik bagi perkembangan tanaman
(Yustina, 2008).
Komponen Irigasi Tetes Jaringan Pipa Irigasi Tetes
Pipa yang digunakan pada irigasi tetes terdiri dari pipa lateral, pipa
sekunder dan pipa utama komponen pentig dari irigasi tetes. Tata letak dari irigasi
tetes dapat sangat bervariasi tergantung kepada berbagai faktor seperti luas tanah,
bentuk dan keadaan topografi. Irigasi tetes tersusun atas dua bagian penting yaitu
pipa dan emiter. Air dialirkan dari pipa dengan banyak percabangan yang
biasanya terbuat dari plastik yang berdiameter 12 mm (1/2 inchi) – 25 mm
(1 inchi) (Hansen, dkk., 1992).
Jaringan irigasi tetes menggunakan pipa PVC (Polyvinylchloride) dan PE
(Polyethylene). Seluruh pipa tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terdapat
pipa utama, pipa sekunder dan kalau ada pipa tersier. Pipa yang digunakan
biasanya berukuran 0,5 – 1 inchi (1,27 – 2,54 cm) dan pipa sekunder
(23)
Menurut Prastowo (2003) pipa utama umumnya terbuat dari pipa polyvinychloride
(PVC), galvanized steel atau besi cor dan berdiameter antara 7,5 – 25 cm. Pipa
utama dapat dipasang di atas atau di bawah permukaan tanah. Pipa pembagi
(sub-main, manifold) dilengkapi dengan filter kedua yang lebih halus (80 – 100 µ m),
katup selenoid, regulator tekanan, pengukur tekanan dan katup pembuang. Pipa
pembagi terbuat dari pipa PVC atau pipa HDPE (high density polyethylene)
dan berdiameter antara 50 – 75 mm.
Pipa lateral umumnya terbuat dari pipa PVC fleksibel atau pipa
polyethylene dengan diameter 12 mm – 32 mm. Emiter dimasukkan ke dalam pipa
lateral pada jarak yang ditentukan yang dipilih sesuai dengan perforasi yang kecil
digunakan pada beberapa instalansi untuk menggunakan keduanya sebagai pipa
pembawa dan sebuah system emiter (Hansen, dkk., 1992).
Emiter
Emiter merupakan alat pengeluaran air yang disebut pemancar. Emiter
mengeluarkan dengan cara meneteskan air langsung ke tanah ke dekat tanaman.
Emiter mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam. Dari emiter air keluar
menyebar secara menyamping dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar
pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Daerah yang dibasahi emiter tergantung
pada jenis tanah, kelembaban tanah, permeabilitas tanah. Emiter harus
menghasilkan aliran yang relatif kecil dan menghasilkan debit yang mendekati
konstan. Penampang aliran perlu relatif kecil dan menghasilkan debit yang
mendekati konstan. Penampang aliran perlu relatif lebar untuk mengurangi
(24)
Menurut Keller dan Bliesner (1990) emiter merupakan alat pembuangan
air, emiter dipasang di dekat tanaman dan tanah. Semakin dekat ke tanah semakin
efisien air yang diterima tanah dan tanaman karena semakin besar daerah yang
terbasahi semakin tinggi kelembaban tanah. Semakin dekat jarak emiter maka
semakin banyak daerah yang terbasahi.
Berdasarkan pemasangan di pipa lateral, penetes dapat menjadi (a) on-line
emitter, dipasang pada lubang yang dibuat di pipa lateral secara langsung atau
disambung dengan pipa kecil; (b) in-line emitter, dipasang pada pipa lateral
dengan cara memotong pipa lateral. Penetes juga dapat dibedakan berdasarkan
jarak spasi atau debitnya, yaitu (a) point source emitter, dipasang dengan spasi
yang renggang dan mempunyai debit yang relatif besar; (b) line source emitter,
dipasang dengan spasi yang lebih rapat dan mempunyai debit yang kecil. Pipa
porous dan pipa berlubang juga dimasukkan pada kategori ini (Prastowo, 2003).
Tekanan
Menurut Erizal (2003) keseragaman pemberian air ditentukan berdasarkan
variasi debit yang dihasilkan emiter. Karena debit merupakan fungsi dari tekanan
operasi, maka variasi tekanan operasi merupakan faktor keseragaman aliran. Oleh
karena tekanan berpengaruh pada debit emiter maka semakin besar tinggi air
tangki penampungan akan semakin tinggi pula tekanan. Sehingga debit akan
semakin besar.
Jumlah Emiter
Emiter merupakan alat pemancar air, emiter digunakan tergantung dari
(25)
satu per polybag. Untuk tanaman buah 1-2 buah per pohon dengan operasi
pemberian air 12 jam/hari (Prihmantoro dan Yovita, 2000).
Debit
Debit adalah banyaknya volume air yang mengalir per satuan waktu. Pada
irigasi tetes debit yang diberikan hanya beberapa liter per jam. Debit untuk irigasi
tetes tergantung dari jenis tanah dan tanaman. Debit irigasi tetes yang umum
digunakan 4 l/jam namun ada beberapa pengelolaan pertanian menggunakan debit
2; 6; 8 l/jam. Penggunaan debit berdasarkan jarak tanam dan waktu operasi
(Keller dan Bliesner, 1990).
Debit air keluaran emiter rata-rata adalah volume dari keseluruhan air
yang tertampung dari semua emiter per satuan waktu dan jumlah emiter yang ada.
Debit air keluar emiter rata-rata (Qa) dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
Np Ta
G Qa
.
= ………. (1)
dimana:
Qa = debit rata-rata dari keseluruhan emiter (l/jam)
G = volume air irigasi keseluruhan per tanaman per hari (l)
Ta = lama pemberian air (jam/hari)
Np = jumlah emiter per tanaman
(Sapei, 2003).
Pemberian air dalam jumlah yang kecil kemungkinan tidak akan dapat
terserap oleh tanah dan tanaman, namun pemberian air dalam jumlah yang besar
(26)
tetes erat kaitannya dengan debit, hanya saja pada irigasi tetes debit relatif kecil
per detiknya (James, dkk., 1982).
Menurut Prihmantoro dan Yovita (2000) frekuensi pemberian air
dilakukan 6-9 kali sehari tergantung kondisi cuaca. Pemberian air dilakukan
antara 07.00-16.00 WIB dengan selang waktu sekitar 1 jam. Jumlah air yang
diberikan disesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman dan kondisi tanah.
Keseragaman Irigasi
Menurut Sapei (2003), keseragaman aplikasi air merupakan salah satu
faktor penentu efisiensi irigasi yang dihitung dengan persamaan koefisiensi
keseragaman irigasi (CU/Coefficient Uniformity) dengan menggunakan
persamaan Christiansen :
− − =
∑
∑
x x xiCu 100 1
Dimana :
Cu = koefisiensi keseragaman irigasi (%)
xi = volume air pada wadah ke-i (ml)
x = nilai rata-rata dari volume air pada wadah (ml)
∑
xi−x = jumlah dari deviasi absolut dari rata-rata pengukuran (ml).Keseragaman irigasi tetes dapat dikatakan seragam atau layak
apabila nilai Cu lebih besar dari 90% (>90%). Nilai Cu yang rendah dapat
(27)
Hidroponik
Hidroponik berasal dari kata Yunani yaitu hydro yang berarti air dan
ponos yang artinya daya. Jadi hidroponik berarti budidaya tanaman yang
memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam atau
soilles. Pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan untuk skala usaha
komersial harus diperhatikan. Tidak hanya air yang digunakan sebagai media
pengganti tanah tapi juga media lain yang dapat menjadi media tanam. Contoh
batu/kerikil, pasir, sekam, silikat, busa, serabut kelapa dan masih banyak lagi
media tanam yang dapat digunakan sebagai media pengganti tanah
(Tim Penulis PS, 1997).
Beberapa keuntungan budidaya secara hidroponik sebagai berikut :
1. Persoalan sempitnya lahan bukan lagi menjadi kendala karena kegiatan
budidaya bisa dilakukan dimana pun, baik di dalam rumah, di kapal, di
lahan kritis, di padang pasir, maupun di tengah kota yang sempit
2. Penanaman tidak tergantung pada musim
3. Media tanam yang digunakan bisa berulang-ulang
4. Jika penanaman hidroponik diusahakan di dalam rumah kaca, risiko
serangan hama dan penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan relatif kecil
5. Bebas dari gulma yang merugikan tanaman pokok
6. Penggunaan pupuk lebih efisien dan efektif tetapi tanaman mampu
memberikan hasil dengan kualitas dan kuantitas yang maksimal
(28)
Media Tanam
Media tanam adalah media yang digunakan untuk menumbuhkan
tanaman/bahan tanaman, tempat akar atau bakal akar akan tumbuh dan
berkembang. Disamping itu media tanam juga digunakan tanaman sebagai tempat
berpegangnya akar, agar tajuk tanaman dapat tegak kokoh berdiri di atas media
tersebut dan sebagai sarana untuk menghidupi tanaman. Tanaman mendapatkan
makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangannya dengan cara
menyerap unsur-unsur hara yang terkandung di dalam media tanam. Media
tumbuh tanpa tanah mempunyai banyak keuntungan dibandingkan media tanah
yaitu kualitasnya tidak bervariasi, bobot lebih ringan, tidak mengandung
inokulum penyakit, dan lebih bersih (Wuryaningsih, 2008).
Sekam bakar atau arang sekam adalah sekam/kulit padi yang dibakar
dengan teknik sedemikian rupa, sehingga menghasilkan sekam yang menjadi
arang. Sekam bakar yang baik adalah sekam yang sudah terbakar, tetapi tidak
terlalu hancur. Sifat sekam bakar yang porous dan mampu menyimpan air, hampir
mirip dengan cacahan pakis. Untuk itu saat ini banyak pekebun dan hobiis yang
mengalihkan penggunaan cacahan pakis menjadi sekam bakar. Sekam bakar juga
mampu “memegang” tanaman dengan baik. Relatif mudah ditemui, serta harga
juga relatif lebih murah (Emigarden, 2008).
Arang sekam mempunyai karakteristik ringan (berat jenis 0,2 kg/l), kasar
sehingga sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna hitam
sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari dengan efektif. Rongganya banyak
sehingga akan baik aerasi dan drainasenya, sedangkan akar akan mudah bergerak
(29)
pembuatannya telah mendapat panas yang tinggi dari proses pembakaran sehingga
tidak memerlukan desinfeksi dengan kemikalia apapun, mempunyai daya melapuk
lambat dan dianggap dapat bertahan kira-kira satu tahun sehingga dapat
digunakan beberapa kali penyetekan. Berdasarkan observasi media yang sama
dapat digunakan 4-5 kali penyetekan. Analisis Japanese Society for Examining
Fertilizer and Fodders komposisi arang sekam paling banyak mengandung
senyawa SiO2 = 52 %, C = 31 %; Fe2O3; K2O; MgO; CaO; MnO dan Cu dalam jumlah yang sangat kecil, juga mengandung bahan-bahan organik. Sedangkan
menurut analisa Suyekti (1993) arang sekam mengandung N 0,32 %, P 0,15 %, K
0,31 %, Ca 0,96 %, Fe 180 ppm, Mn 80,4 ppm, Zn 14,10 ppm dan pH 6,8
(Wuryaningsih, 2008).
Mentimun
Mentimun atau ketimun atau timun (Cucumis sativus L.) merupakan salah
satu jenis sayuran dari keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae) yang sudah populer
di seluruh dunia. Menurut sejarahnya mentimun berasal dari benua Asia.
Beberapa sumber literatur menyebutkan daerah asal mentimun adalah Asia Utara,
tetapi sebagian lagi menduga berasal dari Asia Selatan. Di Indonesia tanaman
mentimun banyak ditanam di dataran rendah. Pada tahun 1991, luas areal panen
mentimun nasional mencapai 55.792 hektar dengan produksi 268.201 ton
(Rukmana, 1994).
Pada tahun 2006 luas areal panen mentimun nasional mencapai 55,792 ha
dengan produksi 268,201 ton. Luas areal panen komoditi mentimun di Sumatera
Utara pada tahun 2006 sebesar 3,591 ha dengan produksi rata-rata 125,06 kw/ha
(30)
Mentimun dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah, dataran
menengah, sampai dengan dataran tinggi. Mentimun diusahakan sebagai tanaman
utama atau sebagai tanaman sela setelah panen padi dan palawija. Pada dasarnya
mentimun dapat tumbuh dan beradaptasi di hampir semua jenis tanah. Tanah
mineral yang bertekstur ringan sampai pada tanah yang bertekstur liat berat dan
juga pada tanah organik seperti tanah gambut dapat diusahakan sebagai lahan
penanaman mentimun. Kemasaman tanah yang optimal untuk mentimun adalah
antara 5,5 – 6,5. Tanaman mentimun dapat tumbuh baik di ketinggian 0-1000 m di
atas permukaan air laut (Sumpena, 2007).
Kedudukan tanaman mentimun dalam tatanama tumbuhan,
diklasifikasikan ke dalam :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Cucurbitales
Family : Cucurbitaceae
Genus : Cucumis
Species : Cucumis sativus L.
(Rukmana, 1994).
Mentimun termasuk tanaman semusim (annual) yang bersifat menjalar
atau memanjat dengan perantaraan pemegang yang berbentuk pilin (spiral).
(31)
mencapai 50 cm – 250 cm, bercabang dan bersulur yang tumbuh di sisi tangkai
daun (Rukmana, 1994).
Daun mentimun berbentuk bulat dengan ujung daun runcing berganda dan
bergerigi, berbulu halus, memiliki tulang daun menyirip dan bercabang-cabang,
kedudukan daun tegap. Mentimun berdaun tunggal, bentuk, ukuran dan
kedalaman lekuk daun mentimun bervariasi (Cahyono, 2003).
Perakaran mentimun memiliki akar tunggang dan bulu-bulu akar, tetapi
daya tembusnya relatif dangkal, pada kedalaman 30-60 cm. Oleh karena itu,
tanaman mentimun termasuk peka terhadap kekurangan dan kelebihan air
(Rukmana, 1994).
Pertumbuhan dan pearkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh
keadaan air dalam jaringan tanaman. Jika kandungan air dalam jaringan tanaman
cukup, maka semua proses yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman akan berjalan sebagaimana mestinya. Jika kandungan air
dalam jaringan tanaman kurang, maka semua proses yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terganggu, akibatnya tanaman
akan layu dan mati (Alwi, dkk., 2006).
Peranan suplai unsur hara untuk tanaman menunjukkan manfaat yang
sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan, hasil, dan kualitas hasil
mentimun. Jenis pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk organik dan
anorganik. Pupuk organik yang berupa pupuk kandang biasanya diberikan pada
saat pengolahan lahan. Sementara pupuk anorganik yang berupa pupuk buatan
(32)
Kebutuhan tanaman mentimun terhadap pupuk NPK cukup besar. Pupuk
yang diperlukan untuk tanaman mentimun seluas 1 ha meliputi Urea 225 kg atau
ZA 300 kg, TSP atau SP-36 150 kg dan KCl 100 kg. Pemupukan dilakukan 2 kali.
Setengah dosis diberikan bersamaan dengan pemberian pupuk kandang dengan
cara dihamparkan atau ditaburkan di atas pupuk kandang. Setengah dosis lainnya
diberikan setelah tanaman berumur 1 bulan. Caranya ditugal di antara tanaman
dengan jarak antara lubang tugal 5-10 cm dan dosisnya 10 g/pohon
(Sumpena, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Hortikultura (Balithor)
Lembang, produktivitas mentimun lokal antara 0.938 kg- 1.638 kg/tanaman dan
setiap pohon menghasilkan 4-5 buah. Produktivitas mentimun hibrida dapat
mencapai 10 kg/tanaman, dan setiap pohon menghasilkan antara 10-12 buah
(Rukmana, 1994).
Mentimun menjadi salah satu pilihan komoditas usaha tani karena
penanganan jenis sayuran ini relatif mudah, murah dan berumur pendek bila
dibandingkan tomat, cabai atau terong. Selain itu, mentimun dapat pula ditanam
sebagai tanaman selang setelah palawija, padi, atau sayuran lainnya. Pemasaran
mentimun cukup baik karena buah mentimun dapat dijual sebagai buah segar,
yaitu untuk lalap, asinan, acar, dan bahan industri (untuk kosmetika dan
obat-obatan). Selain itu, pemasaran dalam bentuk processing product, seperti dalam
bentuk kalengan, juga terbuka lebar. Mentimun dalam bentuk tersebut terutama
untuk memenuhi pasar ekspor ke negara Jepang dan Korea. Fluktuasi harga
mentimun pun termasuk rendah bila dibandingkan dengan fluktuasi harga sayuran
(33)
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan mulai bulan November 2010 - Januari 2011.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah : emiter alternatif (dalam
penelitian ini yang digunakan adalah selang infus), pupuk NPK dan pupuk Urea,
benih tanaman mentimun (Cucumis sativus L.), media tanam arang sekam dan
polibag.
Alat
Adapun alat-alat yang digunakan adalah : jaringan irigasi tetes, gelas ukur,
timbangan, alat tulis, kalkulator, stopwatch dan komputer.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian faktorial dengan model rancangan
yang digunakan adalah rancangan petak-petak terbagi yang terdiri dari tiga faktor
perlakuan yaitu :
Faktor I : ketinggian sumber air, dengan dua taraf perlakuan
T1 = ketinggian sumber air 1 m T2 =ketinggian sumber air 2 m
Faktor II : jumlah emiter pada tiap-tiap pipa lateral/jarak tanam
D1 = 5 emiter/40 cm D2 = 10 emiter/20 cm
(34)
Faktor III : Panjang selang infus
P1 = 150 cm P2 = 75 cm
Jumlah kombinasi perlakuan sebanyak Tc = 2 x 2 x 2 = 8, sehingga ulangan percobaan dapat dihitung :
Tc (n-1) ≥15 8 (n-1) ≥ 15 (n-1) ≥ 1.875
n ≥ 2.875 dibulatkan menjadi 3
Penelitian dilakukan dengan ulangan sebanyak 3 kali ulangan, dengan kombinasi
perlakuan sebagai berikut :
T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Dirancang jaringan irigasi tetes sederhana.
2. Dipasang pipa utama pada bagian bawah drumlalu diletakkan pada menara
air.
3. Dipasang pipa manifold ke pipa lateral kemudian ke pipa utama.
4. Dipasang emiter yang sudah dibersihkan ke masing-masing pipa lateral sesuai
dengan perlakuan yang diberikan.
5. Dilakukan pengujian keseragaman aliran air yang keluar dari emiter.
6. Dilakukan penyemaian benih mentimun, setelah berumur ±10 hari bibit
(35)
Prosedur Penelitian
1. Diletakkan polibag yang telah ditanami dengan bibit mentimun pada
masing-masing perlakuan.
2. Dialirkan air, emiter dibuka selama 5 menit dengan setelan yang sama untuk
menstabilkan aliran air.
3. Diberi pupuk NPK dan Urea dengan selang 2 hari pada 2 MST dan 4 MST
dengan berat masing-masing 10 gram.
4. Dilakukan pengamatan terhadap parameter yang diamati.
5. Dianalisis data-data yang diperoleh dari kinerja irigasi tetes sederhana untuk
tanaman mentimun.
Parameter yang diamati 1. Diameter tanaman
Pengukuran diameter batang dilakukan pada buku pertama pada tanaman
dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran diameter batang dilakukan
sejak tanaman berumur 2 MST (minggu setelah tanam) hingga panen pertama
(kira-kira 5 MST).
2. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur mulai dari buku pertama pada tanaman sampai dengan
titik tumbuh dengan menggunakan meteran. Pengukuran panjang tanaman
dilakukan sejak tanaman berumur 2 (MST) hingga panen pertama (kira-kira 5
MST).
3. Produktivitas buah
Produktivitas buah dilihat dengan menimbang buah pada tiap-tiap pipa
(36)
4. Koefisien keseragaman Cu
Keseragaman irigasi dihitung dengan menggunakan persamaan (2).
Keseragaman irigasi dihitung dengan mengukur kedalaman air pada wadah
(37)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Terhadap Diameter BatangKetiga faktor perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
diameter batang baik pada 2 MST maupun 5 MST. Hal ini dikarenakan oleh
perpaduan masing-masing faktor dengan taraf yang berbeda akan memberikan
pengaruh keseragaman aliran air yang berbeda juga pada masing-masing
perlakuan. Pengaruh dari masing-masing perlakuan yang diberikan dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap diameter batang Perlakuan Diameter batang 2 MST
(cm)
Diameter Batang 5 MST (cm)
T1D1P1 0.247 0.318
T1D2P1 0.202 0.271
T1D1P2 0.268 0.373
T1D2P2 0.218 0.313
T2D1P1 0.295 0.447
T2D2P1 0.223 0.371
T2D1P2 0.337 0.454
T2D2P2 0.242 0.426
Dari Tabel 1 dapat dilihat diameter batang terbesar pada 2 MST terdapat
pada perlakuan T2D1P2, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan T1D2P1. Demikian juga dengan diameter batang pada 5 MST hasil yang terbesar terdapat
pada T2D1P2, sedangkan yang terkecil terdapat pada perlakuan T1D2P1. Hal ini disebabkan karena debit air yang dihasilkan pada perlakuan T2D1P2 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Walaupun dapat dilihat juga pada
perlakuan T2D1P1 tidak terlalu jauh berbeda dengan T2D1P2.
Dari Tabel 1 dapat juga dilihat bahwa diameter batang baik pada 2 MST
(38)
bila dibandingkan dengan sumber air pada ketinggian 1 meter. Ini menunjukkan
bahwa keseragaman air pada ketingggian sumber air 2 meter lebih baik daripada
ketinggian 1 meter.
Grafik 1. Perbedaan diameter batang pada 2 MST dengan 5 MST
Pengaruh Perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ketiga faktor perlakuan
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tinggi tanaman baik pada
pertengahan maupun akhir pertumbuhan mentimun. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman Jarak Tanam Tinggi Tanaman 2 MST
(cm)
Tinggi Tanaman 5 MST (cm)
T1D1P1 48.5 158.3
T1D2P1 37.9 133.0
T1D1P2 49.3 180.3
T1D2P2 40.3 138.0
T2D1P1 51.3 231.0
T2D2P1 41.0 196.0
T2D1P2 55.0 232.0
(39)
Tinggi tanaman yang dihasilkan dengan melihat Tabel 2, pada 2 MST dan 5
MST yang terbesar terdapat pada perlakuan T2D1P2, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan T1D2P1.
Dengan melihat Tabel 2 pada 5 MST tingginya berkisar antara 133 – 232
cm, hal ini sesuai dengan Rukmana (1994) yang menyatakan bahwa panjang atau
tinggi tanaman dapat mencapai 50 – 250 cm.
Berikut ini adalah grafik perbedaan tinggi tanaman pada 2 MST dengan 5
MST.
Grafik 2. Perbedaan tinggi tanaman pada 2 MST dengan 5 MST
Pengaruh Perlakuan Terhadap Produktivitas Buah
Keseluruhan faktor perlakuan yang diberikan pada penelitian ini
menghasilkan perbedaan produktivitas buah dari masing-masing tanaman. Hal ini
(40)
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Produktivitas Buah
Perlakuan Produktivitas Buah I (gram)
Produktivitas Buah II (gram)
Total (gram)
T1D1P1 536 516 1052
T1D2P1 403 343.5 746.5
T1D1P2 594 556 1150
T1D2P2 418 368 786
T2D1P1 704 610 1314
T2D2P1 648.5 529 1177.5
T2D1P2 768 701 1469
T2D2P2 634.5 566 1200.5
Jika masing-masing perlakuan dibandingkan satu dengan yang lainnya maka
diperoleh hasil pada Tabel 3 dimana hasil buah yang paling besar terdapat pada
perlakuan T2D1P2, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan T1D2P1. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor ketinggian sumber air, jarak tanam dan
panjang selang infus.
Pada perlakuan dengan faktor ketinggian sumber air 1 meter buah yang
paling besar hasilnya diperoleh dari perlakuan T1D1P2, sedangkan yang terendah pada perlakuan T1D2P1. Demikian juga dengan ketinggian sumber air 2 meter, hasil yang paling besar didapat dari perlakuan T2D1P2 dan yang paling kecil dari perlakuan T2D2P1. Hal ini sesuai dengan debit yang dihasilkan jaringan irigasi tetes pada masing-masing perlakuan, tiap-tiap emiter menghasilkan debit yang
relatif sama akan tetapi debit terkecil dihasilkan pada emiter akhir pada tiap-tiap
pipa lateral. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebutuhan air tanaman
sangat mempengaruhi produktivitas tanaman. Yang sesuai dengan pernyataan
Najiyati dan Daniarti (1993), bahwa kebutuhan air tanaman berbanding lurus
(41)
Bila diamati secara visual, bentuk dan ukuran mentimun yang dihasilkan
tidak jauh berbeda dengan yang ada di pasaran. Selain itu buah yang dihasilkan
cenderung lebih manis dibandingkan dengan yang dijual di pasa
Bila ditelaah lagi maka dapat dilihat bahwa faktor dengan ketinggian sumber
air 2 meter, menghasilkan buah yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan
ketinggian 1 meter. Demikian juga pada faktor jarak tanam, instalasi irigasi tetes
dengan jarak tanam 40 cm tentu saja menghasilkan buah yang lebih besar
dibandingkan dengan jarak tanam 20 cm. Selain itu efisiensi penyiraman
dihasilkan juga dari faktor panjang selang infus, infus dengan panjang 75 cm tentu
saja memberikan debit yang lebih besar dibandingkan pada panjang selang infus
150 cm.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi sumber air
maka aliran debit yang dihasilkan akan cenderung lebih konstan. Jarak tanam
yang diberikan juga mempengaruhi kondisi tanaman, karena debit air akan lebih
besar dengan penyetelan kran yang sama pada semua perlakuan. Sedangkan
panjang selang yang semakin pendek cenderung mempercepat aliran air yang
disampaikan ke tanaman.
Berikut ini adalah diagram grafik perbedaan produktivitas buah I dengan
(42)
Grafik 3. Perbedaan produktivitas buah I dengan buah II
Analisa statistik yang dilakukan untuk perlakuan ketinggian sumber air,
jarak tanam dan panjang selang infus terhadap diameter batang, tinggi tanaman
dan produktivitas buah yang diamati dapat dilihat pada uraian berikut ini :
Diameter Batang
1. Diameter Batang 2 MST Pengaruh Ketinggian Sumber Air
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 6 dapat dilihat bahwa perlakuan
ketinggian sumber air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter
batang pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang
pada 2 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan
(43)
Gambar 1. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang pada 2 MST Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa diameter batang terbesar pada T2 dengan nilai 0.274 cm dan diameter batang terendah pada T1 dengan nilai 0.234 cm. Semakin tinggi sumber air maka diameter batang semakin besar, hal ini
disebabkan oleh pendistribusian air yang lebih merata pada ketinggian sumber air
yang lebih tinggi.
Pengaruh Jarak Tanam
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 6 dapat dilihat bahwa perlakuan
jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter batang
pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 2
MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan garis
(44)
Gambar 2. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 2 MST Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa diameter batang yang paling besar
terdapat pada D1 dengan nilai 0.287 cm, sedangkan yang terendah pada D2 dengan nilai 0.221 cm. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin sempit
ruang jarak tanam maka diameter batang yang dihasilkan akan semakin kecil, dan
semakin besar ruang jarak tanam maka diameter yang dihasilkan akan semakin
besar.
Pengaruh Panjang Selang Infus
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 6 dapat dilihat bahwa perlakuan
panjang selang infus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter
batang pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang
pada 2 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan
(45)
Gambar 3. Pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang pada 2 MST Dari Gambar 3 dapat dilihat diameter batang yang terbesar terdapat pada P2 dengan nilai 0.266 cm dan yang terkecil pada P1 dengan nilai 0.242 cm. Pada P1 dimana panjang selang infus yang digunakan 150 cm terlihat bahwa diameter
batang lebih kecil. Hal ini karena air yang disalurkan ke tanaman akan semakin
lama bila saluran air semakin panjang.
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus
Pada analisa sidik ragam Lampiran 6 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan
ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus berpengaruh sangat
nyata terhadap diameter batang. Interaksi yang sangat nyata juga ditunjukkan pada
interaksi perlakuan ketinggian sumber air dengan jarak tanam. Sedangkan
pengaruh yang tidak nyata diperoleh dari interaksi antara ketinggian sumber air
dengan panjang selang infus, dan interaksi jarak tanam dengan panjang selang
(46)
Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang
infus terhadap diameter batang 2 MST pada garis regresi linier pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus terhadap diameter batang pada 2 MST
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa diameter batang meningkat seiring
dengan meningkatnya ketinggian sumber air pada semua perlakuan. Dengan
demikian sangat jelas bahwa perbedaan ketinggian sumber air memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter batang.
2. Diameter Batang 5 MST
Pengaruh Ketinggian Sumber Air
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 8 dapat dilihat bahwa perlakuan
ketinggian air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter batang
pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang
pada 5 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Sedangkan
(47)
Gambar 5. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap diameter batang pada 5 MST Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa diameter batang terbesar pada T2 dengan nilai 0.425 cm dan diameter batang terendah pada T1 dengan nilai 0.319 cm. Hasil ini sama dengan pengaruh ketinggian sumber air pada diameter batang pada 2
MST.
Pengaruh Jarak Tanam
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 8 dapat dilihat bahwa perlakuan
jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter batang
pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 5
MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Sedangkan garis
(48)
Gambar 6. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter batang pada 5 MST Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa diameter batang yang paling besar
terdapat pada D1 dengan nilai 0.398 cm, sedangkan yang terendah pada D2 dengan nilai 0.345 cm.
Pengaruh Panjang Selang Infus
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 8 dapat dilihat bahwa perlakuan
panjang selang infus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap diameter
batang pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang
pada 5 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Sedangkan
(49)
Gambar 7. Pengaruh panjang selang infus terhadap diameter batang pada 5 MST Dari Gambar 7 dapat dilihat diameter batang yang terbesar terdapat pada P2 dengan nilai 0.392 cm dan yang terkecil pada P1 dengan nilai 0.352 cm.
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus
Pada analisa sidik ragam Lampiran 8 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan
ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus berpengaruh sangat
nyata terhadap diameter batang. Sedangkan interaksi yang berbeda nyata
ditunjukkan pada interaksi perlakuan ketinggian sumber air dengan jarak tanam.
Pengaruh yang tidak nyata diperoleh dari interaksi antara ketinggian sumber air
dengan panjang selang infus, dan interaksi jarak tanam dengan panjang selang
infus.
Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang
(50)
Gambar 8. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang Selang infus terhadap diameter batang pada 5 MST
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa diameter batang meningkat seiring
dengan meningkatnya ketinggian sumber air pada semua perlakuan.
3. Tinggi Tanaman 2 MST
Pengaruh Ketinggian Sumber Air
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 10 dapat dilihat bahwa perlakuan
ketinggian air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman
pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman
pada 2 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sedangkan
(51)
Gambar 9. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman pada 2 MST Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman terbesar pada T2 dengan nilai 47.63 cm dan tinggi tanaman terendah pada T1 dengan nilai 44.0 cm.. Terlihat bahwa ketinggian sumber air mempengaruhi pertumbuhan tinggi
tanaman.
Pengaruh Jarak Tanam
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 10 dapat dilihat bahwa perlakuan
jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman
pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 2 MST
untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sedangkan garis regresi
(52)
Gambar 10. Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 2 MST Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman yang terbesar terdapat
pada D1 dengan nilai 51.0 cm, sedangkan yang terendah pada D2 dengan nilai 40.6 cm.
Pengaruh Panjang Selang Infus
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 10 dapat dilihat bahwa perlakuan
panjang selang infus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi
tanaman pada 2 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman
pada 2 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sedangkan
(53)
Gambar 11. Pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 2 MST Dari Gambar 11 dapat dilihat tinggi tanaman yang terbesar terdapat pada P2 dengan nilai 46.97 cm dan yang terkecil pada P1 dengan nilai 44.7 cm.
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus
Pada analisa sidik ragam Lampiran 10 dapat dilihat bahwa interaksi
perlakuan ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus
berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 2 MST. Demikian juga
dengan interaksi antara ketinggian sumber air dengan jarak tanam dan interaksi
antara ketinggian sumber air dengan panjang selang infus. Sedangkan pengaruh
interaksi yang tidak nyata hanya terdapat pada interaksi antara jarak tanam dengan
panjang selang infus.
Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang
(54)
Gambar 12. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 2 MST
Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman semakin besar seiring
dengan pertambahan ketinggian sumber air pada semua perlakuan.
4. Tinggi Tanaman 5 MST
Pengaruh Ketinggian Sumber Air
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 12 dapat dilihat bahwa perlakuan
ketinggian air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman
pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman
pada 5 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 13. Sedangkan
(55)
Gambar 13. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap tinggi tanaman pada 5 MST Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman terbesar pada T2 dengan nilai 219.40 cm dan tinggi tanaman terendah pada T1 dengan nilai 153.3 cm..
Pengaruh Jarak Tanam
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 12 dapat dilihat bahwa perlakuan
jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman
pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 5 MST
untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 13. Sedangkan garis regresi
(56)
Gambar 14. Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman pada 5 MST Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman yang terbesar terdapat
pada D1 dengan nilai 201.4 cm, sedangkan yang terendah pada D2 dengan nilai 171.3 cm.
Pengaruh Panjang Selang Infus
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 12 dapat dilihat bahwa perlakuan
panjang selang infus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi
tanaman pada 5 MST.
Hasil uji Duncan pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman
pada 5 MST untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 13. Sedangkan
(57)
Gambar 15. Pengaruh panjang selang infus terhadap tinggi tanaman pada 5 MST Dari Gambar 15 dapat dilihat tinggi tanaman pada 5 MST yang terbesar
terdapat pada P2 dengan nilai 192.1 cm dan yang terkecil pada P1 dengan nilai 180.6 cm.
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus
Pada analisa sidik ragam Lampiran 12 dapat dilihat bahwa interaksi
perlakuan ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus
berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 5 MST. Demikian juga
dengan interaksi antara ketinggian sumber air dengan jarak tanam dan interaksi
antara ketinggian sumber air dengan panjang selang infus. Sedangkan pengaruh
interaksi yang tidak nyata hanya terdapat pada interaksi antara jarak tanam dengan
panjang selang infus.
Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang
(58)
Gambar 16. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang Selang infus terhadap diameter batang pada 5 MST
Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman semakin besar seiring
dengan pertambahan ketinggian sumber air pada semua perlakuan.
Produktivitas Buah
Pengaruh Ketinggian Sumber Air
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 14 dapat dilihat bahwa perlakuan
ketinggian air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produktivitas
buah rata-rata.
Hasil uji Duncan pengaruh ketinggian sumber air terhadap produktivitas
buah untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 15. Sedangkan garis
(59)
Gambar 17. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap produktivitas buah Dari Gambar 17 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas buah yang
terbesar diperoleh dari perlakuan ketinggian sumber air 2 meter dengan nilai
215.05 gram. Sedangkan yang terendah dari ketinggian sumber air 1 meter yaitu
dengan nilai 155.616 gram. Terlihat bahwa faktor ketinggian sumber air
memberikan hasil yang berbeda juga pada hasil buah mentimun.
Pengaruh Jarak Tanam
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 14 dapat dilihat bahwa perlakuan
jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produktivitas buah
rata-rata.
Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas buah untuk
tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 15. Sedangkan garis regresi yang
(60)
Gambar 18. Pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas buah
Dari Gambar 18 diperoleh bahwa produktivitas buah yang terbesar diperoleh
dari jarak tanam 40 cm sebesar 207.7 gram. Sedangkan yang terendah diperoleh
dari jarak tanam 20 cm dengan nilai 162.96 gram. Faktor jarak tanam memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap produktivitas buah yang dihasilkan oleh tanaman
mentimun.
Pengaruh Panjang Selang Infus
Dari hasil analisa sidik ragam Lampiran 14 dapat dilihat bahwa perlakuan
panjang selang infus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
produktivitas buah rata-rata.
Hasil uji Duncan pengaruh panjang selang infus terhadap produktivitas buah
untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 15. Sedangkan garis regresi
(61)
Gambar 19. Pengaruh ketinggian sumber air terhadap produktivitas buah Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa produktivitas buah terbesar diperoleh
dari faktor panjang selang infus 75 cm yaitu sebesar 191.91 gram. Sedangkan
yang terendah diperoleh dari panjang selang infus 150 cm. Faktor panjang selang
infus memberikan pengaruh juga terhadap produktivitas buah.
Pengaruh Interaksi Ketinggian Sumber Air, Jarak Tanam dan Panjang Selang Infus
Pada analisa sidik ragam Lampiran 15 dapat dilihat bahwa interaksi
perlakuan ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus
berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas buah rata-rata. Demikian juga
interaksi antara tinggi sumber air dengan jarak tanam memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap produktivitas buah rata-rata. Sedangkan interaksi tinggi
sumber air dan panjang selang infus memberikan pengaruh tidak nyata, lain
halnya dengan interaksi jarak tanam dengan panjang selang infus yang
memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap produktivitas buah rata-rata.
Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang
(62)
Gambar 20. Pengaruh interaksi ketinggian sumber air, jarak tanam dan panjang selang infus terhadap produktivitas buah
Dari Gambar 20 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas buah meningkat
seiring dengan meningkatnya ketinggian sumber air.
Debit Air Keluar Rata-rata
Debit adalah banyaknya volume air yang tertampung atau mengalir per
satuan waktu. Debit untuk irigasi tetes tergantung dari jenis tanah dan tanaman
(Keller dan Bliesner, 1990). Debit air keluar rata-rata dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (1).
Pada penelitian ini debit yang ditampung dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu
pada hari pertama, hari kedua dan hari ketiga. Besarnya debit tertampung dapat
(63)
Tabel 4. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari pertama
Perlakuan Volume pada lateral selama 1 jam (ml) Qa (ml/jam)
L1 L2 L3
T1D1P1 38.2 39.2 38.6 522
T1D2P1 26.3 27.4 26.8 805
T1D1P2 34.3 35.2 34.8 580
T1D2P2 29.3 29.9 29.5 887
T2D1P1 59.6 62.4 61.6 918
T2D2P1 43.6 44.1 43.9 1316
T2D1P2 67.4 70.6 68.6 1033
T2D2P2 47.5 49.3 48.2 1450
Dari data volume air tertampung selama 1 jam pada tabel di atas dapat
dilihat bahwa volume air tertampung yang paling besar diperoleh dari perlakuan
T2D1P2 pada L2 yaitu 70.6 ml, dengan debit air keluar rata-rata sebesar 1033 ml/jam. Sedangkan volume air tertampung yang paling kecil diperoleh dari
perlakuan T1D2P1 pada L1 yaitu 26.3 ml, dengan debit air keluar rata-rata 805 ml/jam.
Data debit air keluar rata-rata yang terbesar diperoleh dari perlakuan T2D2P2 sebesar 1450 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 522 ml/jam.
Pada perlakuan faktor ketinggian sumber air 2 meter nilai Qa yang paling
besar diperoleh dari perlakuan T2D2P2 sebesar 1450 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T2D1P1 918 ml/jam. Hasil yang diperoleh sesuai juga dengan faktor ketinggian 1 meter, dimana diperoleh nilai Qa yang paling besar
pada perlakuan T1D2P2 dengan nilai 887 ml/jam dan yang terkecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 522 ml/jam.
(64)
Tabel 5. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari kedua
Perlakuan Volume pada lateral selama 1 jam (ml) Qa (ml/jam)
L1 L2 L3
T1D1P1 36.0 37.2 36.6 477
T1D2P1 24.3 25.4 24.8 745
T1D1P2 31.4 32.2 31.8 549
T1D2P2 36.0 37.2 36.6 797
T2D1P1 57.4 60.4 59.6 887
T2D2P1 41.6 42.1 41.9 1256
T2D1P2 64.4 67.6 65.6 988
T2D2P2 44.4 46.3 45.2 1359
Dari data volume air tertampung pada hari kedua selama 1 jam pada tabel
di atas dapat dilihat bahwa volume air tertampung yang paling besar diperoleh
dari perlakuan T2D1P2 pada L2 yaitu 67.6 ml, dengan debit air keluar rata-rata sebesar 988 ml/jam. Sedangkan volume air tertampung yang paling kecil
diperoleh dari perlakuan T1D2P1 pada L1 yaitu 24.3 ml, dengan debit air keluar rata-rata 745 ml/jam.
Data debit air keluar rata-rata yang terbesar diperoleh dari perlakuan
T2D2P2 sebesar 1359 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 447 ml/jam.
Pada perlakuan faktor ketinggian sumber air 2 meter nilai Qa yang paling
besar diperoleh dari perlakuan T2D2P2 sebesar 1359 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T2D1P1 887 ml/jam. Hasil yang diperoleh sesuai juga dengan faktor ketinggian 1 meter, dimana diperoleh nilai Qa yang paling besar
pada perlakuan T1D2P2 dengan nilai 797 ml/jam dan yang terkecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 447 ml/jam.
(65)
Tabel 6. Volume air tertampung selama 1 jam pada hari ketiga
Perlakuan Volume pada lateral selama 1 jam (ml) Qa (ml/jam)
L1 L2 L3
T1D1P1 34.0 35.2 34.6 447
T1D2P1 21.4 22.4 21.8 656
T1D1P2 32.0 33.2 32.6 489
T1D2P2 24.3 24.9 24.5 737
T2D1P1 55.8 58.4 57.6 859
T2D2P1 38.7 39.1 38.9 1167
T2D1P2 61.4 64.6 62.6 943
T2D2P2 42.4 44.3 43.2 1299
Dari data volume air tertampung pada hari ketiga selama 1 jam pada tabel
di atas dapat dilihat bahwa volume air tertampung yang paling besar diperoleh
dari perlakuan T2D1P2 pada L2 yaitu 64.6 ml, dengan debit air keluar rata-rata sebesar 943 ml/jam. Sedangkan volume air tertampung yang paling kecil
diperoleh dari perlakuan T1D2P1 pada L1 yaitu 21.4 ml, dengan debit air keluar rata-rata 656 ml/jam.
Data debit air keluar rata-rata yang terbesar diperoleh dari perlakuan
T2D2P2 sebesar 1299 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 477 ml/jam.
Pada perlakuan faktor ketinggian sumber air 2 meter nilai Qa yang paling
besar diperoleh dari perlakuan T2D2P2 sebesar 1299 ml/jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan T2D1P1 859 ml/jam. Hasil yang diperoleh sesuai juga dengan faktor ketinggian 1 meter, dimana diperoleh nilai Qa yang paling besar
pada perlakuan T1D2P2 dengan nilai 737 ml/jam dan yang terkecil pada perlakuan T1D1P1 dengan nilai 477 ml/jam.
Dari data volume air tertampung pada hari kedua selama 1 jam diperoleh
(66)
dengan volume air tertampung pada hari pertama. Hal ini karena air yang terdapat
pada drum akan semakin berkurang, dengan berkurangnya volume drum maka
debit yang dihasilkan akan cenderung berkurang juga.
Hasil pengamatan pada hari ketiga sebanding dengan pengamatan pada
hari kedua. Dari semua hasil pengamatan dapat dilihat bahwa debit air keluar
rata-rata yang terbesar diperoleh dari perlakuan dengan tinggi sumber air 2 meter. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Erizal (2003) yang menyatakan bahwa semakin
besar tinggi air penampungan akan semakin tinggi pula tekanan, oleh karena
tekanan berpengaruh pada debit emiter.
Dari data pada tabel di atas dapat dilihat debit keluaran emiter yang
terbesar terjadi pada awal penyiraman air irigasi. Semakin lama air yang
dialirkan/diteteskan, semakin kecil debit yang dihasilkan, hal ini dikarenakan
semakin sedikit ketersediaan sumber air yang berada di dalam tabung (sumber air)
maka tekanan yang dihasilkan juga akan semakin kecil. Debit yang dihasilkan tiap
jamnya relatif sama, namun pada saluran irigasi tetes, debit paling besar terjadi
pada emiter yang berada di tengah tiap-tiap lateral, sedangkan debit terkecil
terjadi pada emiter akhir dari tiap-tiap lateral.
Keseragaman Air Irigasi
Dalam budidaya tanaman secara hidroponik keseragaman air sangat penting
untuk diperhatikan. Nilai keseragaman irigasi diperoleh dengan menghitung nilai
koefisien keseragaman irigasi (CU/Coefficient Uniformity) dengan menggunakan
persamaan (2).
Besarnya nilai keseragaman debit emiter disajikan pada Tabel 1 di bawah
(67)
Tabel 7. Nilai Keseragaman Debit Emiter
Hari T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
I 95.79% 93.94% 95.06% 94.12% 92.99% 96.40% 97.75% 95.42%
II 95.78% 93.26% 95.14% 93.77% 92.88% 96.26% 98.34% 95.03%
III 95.54% 92.29% 95.14% 93.18% 92.36% 96.19% 98.26% 94.96%
Rata-rata 95.70% 93.16% 95.11% 93.69% 92.74% 96.28% 98.12% 95.14%
Dari data yang disajikan di atas dapat dilihat keseragaman debit emiter yang
paling tinggi terdapat pada perlakuan T2D1P2 sebesar 98.12%, sedangkan yang terendah pada perlakuan T2D1P1 yaitu sebesar 92.74%. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keseragaman debit emiter dari semua perlakuan berada
di atas 90%, yang berarti nilai keseragaman debit keluaran emiter sudah
memenuhi standar keseragaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapei (2003) ),
besarnya nilai keseragaman irigasi tetes haruslah lebih besar dari 90%. Hal ini
menunjukkan bahwa jaringan irigasi tetes mampu mendistribusikan air yang
cukup merata pada tiap-tiap emiter dalam setiap perlakuan. Namun apabila nilai
keseragaman irigasi tetes tidak mencapai 90%, maka jaringan irigasi tetes dinilai
tidak layak, karena pendistribusian air tidak merata yang pada akhirnya akan
(68)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dari hasil pengamatan diperoleh diameter batang yang terbesar baik pada
periode tengah tanaman maupun akhir tanaman sama, yaitu pada perlakuan
T2D1P2 dengan nilai 0.337 cm dan 0.454 cm, sedangkan diameter batang yang terkecil dihasilkan dari perlakuan T1D2P1 dengan nilai 0.202 cm dan 0.271 cm.
2. Dengan mengamati tinggi tanaman di lapangan diperoleh data yang sama
baik pada periode pertengahan tanaman maupun akhir tanaman yang paling
besar pada perlakuan T2D1P2 sebesar 55 cm dan 232 cm, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan T1D2P1 yaitu sebesar 37.9 cm dan 133 cm. 3. Produktivitas buah mentimun (Cucumis sativus L.) yang terbesar diperoleh
dari perlakuan T2D1P2 dengan berat total 1469 gram, sedangkan yang terendah pada perlakuan T1D2P1 dengan berat total 746.5 gram.
4. Debit air keluar rata-rata yang terbesar diperoleh dari perlakuan T2D2P2 sebesar 1369.3 ml/jam, sedangkan yang terendah diperoleh dari perlakuan
T1D1P1.
5. Besarnya nilai keseragaman Coefficient Uniformity (CU) yang paling besar
diperoleh dari perlakuan T2D1P2 sebesar 98.12%, sementara yang paling rendah dari perlakuan T2D1P1 dengan nilai 92.74%.
6. Ditinjau dari diameter batang rata-rata, tinggi tanaman, produktivitas buah, dan
(1)
Lampiran 9. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 5 MST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
T1D1P1 156.0 161.0 158.0 475.0 158.3
T1D2P1 130.5 136.0 132.5 399.0 133.0
T1D1P2 177.0 184.0 180.0 541.0 180.3
T1D2P2 136.0 140.0 138.0 414.0 138.0
T2D1P1 228.0 235.0 230.0 693.0 231.0
T2D2P1 192.0 200.0 196.0 588.0 196.0
T2D1P2 229.0 236.0 231.0 696.0 232.0
T2D2P2 213.5 216.5 214.5 644.5 214.8
Total 1462.0 1508.5 1480.0 4450.5
Rataan 182.8 188.6 185.0 185.4
Daftar Analisis Sidik Ragam Tinggi Tanaman 5 MST
Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01
sidik petak utama
ulangan 2 60.3958333 30.1979
faktor petak utama (T) 1 26246.12 26246.1 66112.7 ** 4.28 7.88
galat (t) 2 0.79398148 0.39699
sidik anak petak
faktor anak petak (D) 1 5440.07 5440.07 59.1045 ** 4.28 7.88
TxD 1 92.04 92.0417 156.236 ** 4.28 7.88
Galat (d) 4 2.36 0.58912
sidik anak-anak petak
faktor anak-anak petak (P) 1 797.337963 797.338 31.4509 ** 4.28 7.88
TxP 1 25.352 25.3519 219.04 ** 4.28 7.88
DxP 1 0.11574074 0.11574 0.00026 tn 4.28 7.88
TxDxP 1 444.91 444.907 731.494 ** 4.28 7.88
galat (P) 8 4.866 0.60822
Umum 23 33112.00
Fk = 833282.667
kk (a) = 0.08%. kk (b) = 0.52%. kk (c) = 0.79%
** = nyata pada taraf 1 % tn = tidak nyata
(2)
Lampiran 10. Data Pengamatan Produktivitas Buah
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
T1D1P1 172.0 180.0 174.0 526.0 175.3
T1D2P1 122.0 127.0 124.3 373.3 124.4
T1D1P2 189.0 194.5 191.5 575.0 191.7
T1D2P2 128.3 133.5 131.3 393.0 131.0
T2D1P1 213.0 225.0 219.0 657.0 219.0
T2D2P1 193.8 199.5 195.5 588.8 196.3
T2D1P2 241.0 249.5 244.0 734.5 244.8
T2D2P2 196.5 203.5 200.3 600.3 200.1
Total 1455.5 1512.5 1479.8 4447.8
Rataan 181.9 189.1 185.0 185.3
Daftar Analisis Sidik Ragam Produktivitas Buah
Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01
sidik petak utama
ulangan 2 203.785833 101.89292
faktor petak utama (T) 1 21193.9267 21193.927 7514.467 ** 4.28 7.88 galat (t) 2 5.64083333 2.8204167
sidik anak petak
faktor anak petak (D) 1 12015.375 12015.375 16.50007 ** 4.28 7.88 TxD 1 728.201667 728.20167 291.475 ** 4.28 7.88 Galat (d) 4 9.99333333 2.4983333
sidik anak-anak petak
faktor anak-anak petak (P) 1 1037.535 1037.535 61.02549 ** 4.28 7.88 TxP 1 17.0016667 17.001667 0.045022 tn 4.28 7.88 DxP 1 377.626667 377.62667 6.692344 * 4.28 7.88 TxDxP 1 56.4266667 56.426667 60.83738 ** 4.28 7.88
galat (P) 8 7.42 0.9275
Umum 23 35652.93
Fk = 824362.67
kk (a) = 0.91%. kk (b) = 0.85%. kk (c) = 0.52%
** = nyata pada taraf 1 % * = berbeda nyata pada taraf 5% tn = tidak nyata
(3)
Lampiran 11. Data Debit Air Tertampung Data Debit Air Tertampung pada Hari Pertama
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2 1 34.3 26.3 38.2 29.3 59.6 43.6 67.4 47.5 2 35.2 27.4 39.2 29.9 62.4 44.1 70.6 49.3 3 34.8 26.8 38.6 29.5 61.6 43.9 68.6 48.2 Total 104.3 80.5 116.0 88.7 183.6 131.6 206.6 145.0 Rataan 52.2 40.3 58.0 44.4 91.8 65.8 103.3 72.5 Data Debit Air Tertampung pada Hari Kedua
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2 1 31.4 24.3 36.0 36.0 57.4 41.6 64.4 44.4 2 32.2 25.4 37.2 37.2 60.4 42.1 67.6 46.3 3 31.8 24.8 36.6 36.6 59.6 41.9 65.6 45.2 Total 95.4 74.5 109.8 109.8 177.4 125.6 197.6 135.9 Rataan 31.8 24.8 36.6 36.6 59.1 41.9 65.9 45.3 Data Debit Air Tertampung pada Hari Ketiga
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2 1 31.4 21.4 32.0 24.3 55.8 38.7 61.4 42.4 2 32.2 22.4 33.2 24.9 58.4 39.1 64.6 44.3 3 31.8 21.8 32.6 24.5 57.6 38.9 62.6 43.2 Total 95.4 65.6 97.8 73.7 171.8 116.7 188.6 129.9 Rataan 31.8 21.9 32.6 24.6 57.3 38.9 62.9 43.3
(4)
Lampiran 12. Data Keseragaman Air Irigasi Data keseragaman air irigasi hari I
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
1 96.23% 94.30% 96.02% 94.54% 93.44% 95.87% 96.69% 95.78% 2 95.51% 93.86% 95.51% 93.94% 93.46% 96.35% 98.20% 95.05% 3 95.64% 93.65% 93.65% 93.89% 92.07% 96.99% 98.36% 95.43% Rataan 95.79% 93.94% 95.06% 94.12% 92.99% 96.40% 97.75% 95.42%
Data keseragaman air irigasi hari II
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
1 96.67% 93.83% 96.18% 94.79% 93.58% 95.67% 98.63% 95.67% 2 95.27% 93.38% 94.53% 92.93% 93.25% 95.96% 98.11% 94.73% 3 95.41% 92.58% 94.72% 93.58% 91.81% 97.14% 98.29% 94.70% Rataan 95.78% 93.26% 95.14% 93.77% 92.88% 96.26% 98.34% 95.03%
Data keseragaman air irigasi hari III
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
1 96.47% 92.80% 96.17% 93.83% 92.54% 95.81% 98.56% 95.47% 2 95.00% 92.50% 94.53% 92.37% 93.01% 96.16% 98.02% 94.50% 3 95.14% 91.56% 94.71% 93.06% 91.53% 96.61% 98.21% 94.90% Rataan 95.54% 92.29% 95.14% 93.09% 92.36% 96.19% 98.26% 94.96%
Data keseragaman air irigasi rata-rata
Ulangan T1D1P1 T1D2P1 T1D1P2 T1D2P2 T2D1P1 T2D2P1 T2D1P2 T2D2P2
1 95.79% 93.94% 95.06% 94.12% 92.99% 96.40% 97.75% 95.42% 2 95.78% 93.26% 95.14% 93.77% 92.88% 96.26% 98.34% 95.03% 3 95.54% 92.29% 95.14% 93.18% 92.36% 96.19% 98.26% 94.96% Rataan 95.70% 93.16% 95.11% 93.69% 92.74% 96.28% 98.12% 95.14%
(5)
Lampiran 13. Contoh Perhitungan Debit Air Keluaran Emiter Rata-rata Debit Air Keluaran untuk Perlakuan T1D1P1
jam ml
Np Ta
G Qa
/ 522
1 10
5220 .
= × =
(6)
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Keseragaman Irigasi Keseragaman Irigasi untuk perlakuan T1D1P1 pada ulangan 1
− − =
∑
∑
x x xi Cu 100 1Dimana : 4 . 34 5 33 34 34 35 36 = + + + + = x 4 . 4 4 . 34 33 4 . 34 34 4 . 34 34 4 . 34 35 4 . 34
36− + − + − + − + − =
= −
∑
xi x∑
x=172% 44 . 97 172 4 . 4 1 100 = − = Cu