Analisis Marjin Pemasaran Contract Farming, menggambarkan perjanjian pasokan yang disepakati antara
Proses produksi garam di Kabupaten Rembang sangat mengandalkan sinar matahari, sehingga proses produksi hanya berlangsung pada saat musim kemarau
yaitu pada bulan Juli hingga November. Teknologi yang digunakan juga sangat sederhana tanpa sentuhan teknologi tinggi seperti kincir angin dan ebor untuk
memindahkan air dari petakan ke petakan yang lain, silinder atau gilidan yang digunakan untuk mengeraskan meja garam dan garuk yang digunakan dalam
proses pemanenan. Satu-satunya alat mekanis adalah mesin diesel yang digunakan petani untuk menyedot air laut dari saluran air agar bisa masuk kedalam petak
penampungan. Aktifitas produksi garam dimulai dengan menormalisasikan saluran dari laut, kemudian dengan memanfaatkan mesin diesel, air laut ditarik
untuk masuk kedalam petakan-petakan. Petakan dibagi menjadi 3 bagian yaitu petakan penampung air, petakan peminihan untuk mengalirkan air tua dan petakan
meja garam yang digunakan untuk proses kristalisasi garam. Petakan peminihan dibagi lagi menjadi 6-8 petak dan petakan meja garam sebanyak 6-8 petak dengan
asumsi satu lahan garapan seluas 1 ha. Untuk mengalirkan air antar petakan masing-masing petani menggunakan alat yang berbeda. Petani di wilayah Lasem
menggunakan pipa paralon dengan ukuran 2 dim dan 1 dim, petani di Dusun Dresikulon Kaliori menggunakan selang, dan petani di Dusun Puworejo
menggunakan bambu atau hanya sekedar lubang untuk saluran air. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor modal yang dimiliki masing-masing petani.
Proses pembuatan garam diawali dengan memasukan air laut kedalam kolam penampungan melalui mesin diesel, kemudian air laut dialirkan kedalam
kolam peminihan selama 10 hari hingga mencapai 22 Be kemudian dialirkan ke meja garam untuk proses kritalisasi garam. Apabila sampai dengan 10 hari kadar
NaCL air belum mencapai 22 Be maka air dialirkan kembali kesaluran air dan masuk kembali ke kolam peminihan. Garam yang telah mencapai kadar 28 Be
siap dipanen. Air tua yang memiliki salinitas lebih dari 29 Be merupakan limbah dan dibuang. Alat pengukur kadar garam dengan menggunakan Beumemeter.
Untuk mengalirkan air dari saluran air peminihan ke meja garam menggunakan kincir angin, namun sebagian kecil petani garam menggunakan peralatan ebor
seperti timba. Lamanya proses persiapan hingga proses pemanenan berlangsung kurang lebih selama 1 bulan, dimana persiapan saluran dan petakan sekitar 14
hari, proses peminihan berlangsung selama 10 hari dan proses kristalisasi garam berlangsung antara 3 hingga 7 hari. Setelah itu panen dapat berlangsung 3-4 hari
dengan mengatur jadwal panen per petakan meja garam. Proses produksi garam dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Proses produksi garam di Kabupaten Rembang.
Pompa untuk
menyedot air laut
dari saluran
Bak penampungan air laut Waduk untuk
pengendapan partikel lumpur
salinitas 3-3,5 Be Kolam peminihan 1
untuk pengendapan CO2 lumpur
salinitas 3-3,5 Be Kolam Peminihan
2 untuk pengendapan Ca
salinitas 15 Be
Kolam kristalisasi garam 1
salinitas 25 Be Kolam kristalisasi
garam 2 salinitas 28 Be
Air bitter senyawa Mg dibuang
salinitas 29 Be
Proses produksi ini telah dilakukan secara turun temurun. Penerapan teknologi baru seperti geomembran masih dirasakan belum diperlukan bagi petani
contoh. Dari 30 responden petani hanya 3 orang yang mengetahui informasi terkait manfaat geomembran, sisanya belum pernah mendengar. Dari 3 orang
yang mengetahui geomembran menyatakan bahwa teknologi tersebut tidak diperlukan karena yakin bahwa jumlah garam yang dihasilkan sangat tergantung
cuaca dan kualitas yang dihasilkan sangat tergantung oleh kualitas lahan dan lamanya hari panen. Sedangkan bagi petani contoh yang baru mendengar
geomembran tidak begitu tertarik untuk mengetahui lebih mendalam manfaat teknologi tersebut karena menganggap proses produksi yang telah dilakukan
selama turun temurun sudah cukup baik.
Gambar 8 Lahan garam di Kabupaten Rembang.
Produksi garam di Kabupaten Rembang untuk 1 ha lahan garapan menghasilkan 1-2 ton perharinya. Umumnya petani menghasilkan garam kualitas
2 yang diistilahkan oleh para petani adalah jenis UP yaitu umum putih sedangkan untuk garam kualitas 1 dikenal sebagai garam premium. Hanya sedikit petani
yang bersedia memproduksi garam dengan kualitas 1. Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh petani contoh untuk lebih memilih memproduksi kualitas 2
yaitu 1 karena petani membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, apabila memproduksi kualitas 1 membutuhkan waktu selama 5 hingga 7 hari baru bisa
panen, sedangkan untuk menghasilkan kualitas 2 cukup membutuhkan 3 hingga 4 hari untuk panen, 2 Selisih harga jual yang tidak terlalu besar, harga garam
kualitas 1 dengan kualitas 2 hanya selisih sekitar 40-50 rupiah, sehingga tidak memberikan insentif bagi petani untuk tertarik menghasilkan kualitas 1, 3
kualitas lahan garapan, jika lahan garam memiliki dasar berpasir maka mudah untuk menghasilkan kualitas 1 sedangkan untuk lahan garap dengan dasar lahan
tanah sangat tidak memungkinkan untuk menghasilkan garam dengan kualitas 1. Dari 30 petani garam yang digunakan sebagai responden diketahui kualitas garam
yang dihasilkan petani contoh sebagian besar adalah kualitas 2 dan hanya 2 orang yang menghasilkan kualitas 1. Perbedaan antara kualitas 1 dan 2 yaitu pada
besaran butiran garam, kejernihan warna garam dan jumlah kandungan NaCL dan air. Tabel 3 menunjukkan perbedaan kualitas garam yang dihasilkan oleh petani
dengan garam berstandar nasional
Tabel 3 Perbedaan kualitas garam
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011
Total produksi garam di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar 163 487.43 ton. Produksi terbesar adalah kecamatan Kaliori sebesar 100 855.9 ton,
diikuti Kecamatan Lasem sebesar 44 668.42 ton, Rembang sebesar 34 446.1 ton, Sarang 4 044 ton dan Sluke 2 517.5 ton. Berdasarkan data tahunan produksi
garam pada tahun 2012 diketahui produksi garam baru dihasilkan pada bulan Juli hingga November sedangkan pada bulan desember hingga juni garam tidak
diproduksi. Hal ini disebabkan aktivitas produksi garam sangat tergantung oleh cuaca, sehingga proses produksi hanya bisa berlangsung pada musim kemarau.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa panen raya di Kabupaten Rembang terjadi pada bulan Agustus dengan total produksi mampu mencapai 53 574.67 ton. Produksi
garam yang dihasilkan petani berupa garam krosok tanpa melalui proses pengolahan.
Gambar 9. Data produksi garam tahun 2012 di Kabupaten Rembang
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang 2012 10000
20000 30000
40000 50000
60000
T o
ta l p
ro d
u k
si g
a ra
m to
n
Bulan produksi garam tahun 2012
No Uraian
SNI KP1
Garam Rakyat KP2
1 Visual
a. Bentuk Kristal Besar
Kecil-Besar b. Keselarasan
Keras Rapuh-Cukup Keras
c. Warna Putih
Putih agak buram Putih Kekuningan
2 Komposisi
a. NaCL 94.7
80-95 b. Air
7 7-11
c. As ppm 0.1
na d. Hg ppm
0.1 na
e. Cu ppm 10
na f. Pb ppm
10 na
Aktivitas Pengolahan Garam di Kabupaten Rembang
Proses pengolahan garam baru dilakukan pada saat garam masuk ke pabrik. Garam krosok yang dihasilkan petani diolah menjadi garam briket dan halus
melalui beberapa tahapan. Untuk menghasilkan garam briket tahap awal garam dicuci hingga 3 kali dengan tujuan bahan baku garam menjadi bersih dan warna
menjadi lebih putih, kemudian ditiriskan, setelah garam agak kering dengan kadar air sekitar 5 hingga 7 persen kemudian dimasukkan ke mesin penyelipan yang
berfungsi untuk menghaluskan garam, setelah garam menjadi halus di semprotkan yodium secara merata. Pemberian yodium menjadi syarat wajib bagi industri
garam konsumsi dengan ketentuan minimum yodium 30ppm. Setelah itu garam dicetak, ada dua tehnik pencetakan yaitu pencetakan dengan menggunakan mesin
dan pencetakan dengan alat cetak manual
yang terbuat dari baja. Cetakan dengan mesin mampu memproduksi garam briket 10 kali lipat dibandingkan secara
manual. Rata-rata produksi garam briket per hari dengan menggunakan mesin mampu mengolah hingga 10 ton bahan baku garam, sedangkan garam yang
dicetak manual hanya mencapai 1 ton per hari. Beberapa perusahaan yang masih menggunakan cetakan manual menyebutkan bahwa cetakan manual masih
dipertahankan karena keterbatasan mesin yang dimiliki. Garam yang telah dicetak kemudian dipanaskan melalui oven. Proses pemanasan bertujuan untuk
memanaskan garam sehingga menghilangkan kadar air dalam garam. Untuk menghasilkan garam halus tahapannya hampir sama, perbedaan hanya pada oven
yang digunakan. Pada garam briket oven yang digunakan merupakan bangunan bata berukuran 4m
2
yang dipanaskan dengan api, sedangkan untuk garam halus
menggunakan alat pemanas khusus yang terbuat dari tembaga berbentuk cerobong. Setelah proses pemanasan garam siap dikemas dan dipasarkan. Proses
pembuatan garam dapat dilihat pada Gambar 10
.
Gambar 10. Proses pembuatan garam briket di Kabupaten Rembang
Kabupaten Rembang memiliki 5 perusahaan pengolahan garam yang seluruhnya berlokasi di Kecamatan Kaliori. Ke lima perusahaan tersebut
menghasilkan garam briket dan halus. Tiga perusahaan terbesar adalah PT. Apel Merah, PT. Garam Mas dan PT. Ndandut Ria dengan kapasitas produksi masing-
masing sebesar 50 tonhari, sedangkan PT. Sukamaju dan PT. Finaba Mandiri memiliki kapasitas produksi sebesar 25 tonhari. Adapun jumlah perusahaan
garam rakyat di Kabupaten Rembang cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan
saat ini hanya terdapat 5 perusahaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang 2012. Kapasitas produksi dari masing-masing perusahaan pengolahan
Garam dicuci dan ditiriskan
Garam dihaluskan dengan mesin selip
Garam disemprotkan yodium
Garam dicetak dengan mesin pencetak alat
cetak manual Garam dipanaskan
dengan oven untuk mengurangi kadar air
Garam siap dikemas
garam briket dan halus yang terdapat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kapasitas produksi perusahaan pengolahan garam briket dan halus
Nama Perusahaan Lokasi
Kapasitas Produksi PT. Apel Merah
Desa Purworejo, Kec Kaliori 50 tonhari
PT. Garam Mas Desa Tambakagung, Kec Kaliori
50 tonhari PT. Ndandut Ria
PT. Suka Maju Desa Purworejo, Kec Kaliori
Desa Purworejo, Kec Kaliori 50 tonhari
25 tonhari PT. Finaba Mandiri
Desa Dresi Kulon, Kec Kaliori 25 tonhari
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013
Gambar 11. Produk garam briket dan halus
Aktivitas Pemasaran Garam Rakyat
Saluran pemasaran garam melibatkan enam lembaga pemasaran yaitu penggarap, pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus penggarap, pedagang perantara,
perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar. Masing-masing lembaga pemasaran melakukan fungsi pemasaran yang berbeda. Fungsi pemasaran
merupakan aktivitas-aktivitas yang ditampilkan oleh perusahaan atau organisasi ketika menciptakan nilai value secara spesifik untuk produk atau jasa yang
ditawarkannya. Menurut Kohls dan Uhl 2002 fungsi pemasaran dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran pembelian,
penjualan, fungsi fisik pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan fungsi fasilitas standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, informasi pasar.
Pada petani garam terdapat fungsi pertukaran yaitu penjualan dan fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko apabila cuaca tidak mendukung maka bisa
saja terjadi gagal panen seperti pada tahun 2010. Fungsi penanggungan biaya juga dialami oleh petani yang meminjam uang kepada pedagang pengumpul, dimana
petani harus membayar pinjamannya walaupun tanpa bunga namun petani harus menerima harga jual garam dibawah harga yang seharusnya diterima.
Selanjutnya, fungsi fasilitas lainnya yaitu informasi pasar berupa harga. Petani mendapatkan informasi harga dan kebutuhan garam oleh pasar dari petani lainnya.
Informasi ini berguna untuk menentukan harga penjualan garam.
Pedagang perantara melakukan seluruh fungsi pemasaran yaitu fungsi pertukaran jual-beli, fungsi fisik yaitu melakukan proses penyimpanan garam
digudang sampai pada kuantitas tertentu baru dilakukan pengangkutan ke gudang milik perusahaan pengolahan. Terdapat penanggungan risiko yaitu pedagang
memiliki penanggungan risiko atas garam yang disimpan digudang dengan penyusutan berat hingga 10 persen. Fungsi fasilitas lainnya yang dilakukan
pedagang adalah dengan melakukan sortasi standarisasi atas produk yang dibeli dari para petani, sortasi atas kualitas ini dilakukan berdasarkan permintaan dari
konsumen yaitu perusahaan pengolahan garam maupun pedagang besar. Sedangkan informasi pasar atas harga dan kualitas diperoleh dari sesama
pedagang maupun industri, informasi ini sangat berguna untuk mengetahui peluang pasar. Fungsi pemasaran dari pedagang perantara hampir sama dengan
pedagang besar.
Fungsi pemasaran pada perusahaan pengolahan meliputi fungsi pertukaran, yaitu dengan membeli bahan baku berupa garam krosok dari pedagang perantara
dan menjual garam briket dan halus kepada agen. Selanjutnya untuk fungsi fisik perusahaan pengolahan melakukan proses pengolahan garam krosok menjadi
garam briket atau halus, kemudian garam olahan tersebut sebagian besar didistribusikan kepada agen dan sebagian disimpan. Untuk fungsi fasilitas pihak
perusahaan juga melakukan standarisasi atas produk yang dihasilkan, selain itu juga perusahaan menanggung risiko, apabila hasil pengecekan oleh Tim
pemeriksan garam konsumsi beryodium GAKY, garam yang dihasilkan mengandung yodium kurang dari 30 ppm maka harus ditarik dari pasaran
sedangkan untuk produk yang disimpan di gudang apabila lebih dari seminggu maka garam briket bisa remuk sehingga tidak laku dijual. Sedangkan untuk
informasi pasar pihak perusahaan pengolahan memperoleh dari para agen untuk menentukan waktu penjualan dari garam briket atau halus tersebut. Tabel 5
memperlihatkan fungsi pemasaran dari masing-masing lembaga pemasaran.
Tabel 5 Fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran garam
Lembaga Pemasaran Fungsi Pemasaran
Keterangan a. Petani
Fungsi pertukaran Fungsi fasilitas
Penjualan Penanggungan risiko
Pembiayaan Informasi pasar
b. Pedagang perantara Fungsi pertukaran
Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pembelian dan penjualan Pengangkutan
Penyimpanan Standarisasi
Penanggungan risiko Pembiayaan
Informasi pasar
c. Pedagang besar Fungsi pertukaran
Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pembelian dan penjualan Pengangkutan
Penyimpanan Standarisasi
Penanggungan risiko Pembiayaan
Informasi pasar
d. Perusahaan pengolahan Fungsi pertukaran
Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pembelian dan penjualan Pengolahan
Pengangkutan Penyimpanan
Standarisasi Penanggungan risiko
Informasi pasar
Karakteristik Pelaku Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang
Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah i petani, ii pedagang perantara, iii pedagang pengumpul
besar, iv perusahaan pengolahan garam. Berdasarkan teori kontrak agen Furubothn dan Ritcher 2000
1
petani merupakan agen, pedagang pengumpul besar dan perusahaan pengolahan merupakan prinsipal, sedangkan pedagang
perantara merupakan mitra antara yang bertindak sebagai prinsipal pada hubungan tingkat pertama dan menjadi agen pada hubungan tingkat kedua.
Karakteristik Petani Garam di Kabupaten Rembang
Total petani contoh sebanyak 30 orang terdiri dari 4 pemilik lahan, 12 pemilik lahan sekaligus penggarap dan 14 orang adalah penggarap. Responden
petani diambil dari 3 kecamatan yaitu Kaliori, Lasem dan Rembang. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat produksi yang
relatif tinggi dibandingkan Kecamatan lainnya, selain itu lokasi industri pengolahan garam menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini
responden diambil dari 3 kecamatan terbesar yaitu Kecamatan Kalori dengan Desa Tambakagung, Dresikulon, Dresiwetan, Tasikharjo dan Purworejo, untuk
Kecamatan Lasem penelitian dilakukan di Desa Gedongmulyo, Dorokandang dan Dasun dan di Kecamatan Rembang dilakukan di Desa Punjulharjo. Tabel 6
memperlihatkan jumlah responden petani garam berdasarkan lokasi penelitian.
Tabel 6 Jumlah responden petani garam dan lokasi penelitian
No. Kecamatan
Desa Pemilik
lahan Penggarap
Pemilik lahan sekaligus
penggarap 1.
Kaliori Purworejo
4 2
3 Dresikulon
2 1
Tambakagung 1
1 Tasikharjo
2 Dresiwetan
2 2
. Lasem Gedungmulyo
2 2
Tasiksono 2
2 Dorokandang
1 1
Dasun 1
3 Rembang
Punjulharjo 1
Jumlah 4
14 12
Mayoritas 60 umur petani contoh berada pada usia diatas 50 tahun. Temuan ini memperkuat fenomena yang umum disinyalir bahwa telah terjadi
pergeseran budaya dimana petani didominasi oleh penduduk tua, jika pun terdapat usia muda jumlahnya sangat sedikit dan biasanya karena terpaksa atau tidak ada
1
Teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan layanan yang diinginkan
prinsipal
alternatif pekerjaan lain
2
. Hasil diskusi dengan petani contoh menyimpulkan sebagian besar pemuda didesanya lebih memilih untuk menjadi buruh bangunan
atau buruh ke kota-kota besar dibandingkan menjadi petani penggarap. Proses untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi pengetahuan dan
teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Petani pemilik contoh yang menyerahkan sepenuhnya lahannya kepada penggarap umumnya adalah
pengusaha atau perangkat pemerintah dengan tingkat pendidikan SMA dan S1, sedangkan pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP
dan SMA. Sedangkan penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP dan SD. Berdasarkan tingkat pengalaman kerja, 70 persen petani responden telah bekerja
sebagai petani garam lebih dari 10 tahun.
Bagi usaha tambak garam rakyat, lahan merupakan investasi yang paling penting karena menyangkut keberlangsungan usaha. Lahan memiliki fungsi
penting bagi petani karena selain sebagai faktor produksi yang memberikan keamanan jangka panjang bagi keluarga namun juga merupakan bagian dari status
sosial. Di Kabupaten Rembang status sosial sangat berkorelasi positif dengan status ekonomi. Petani yang memiliki lahan garam 1 ha pada umumnya
memiliki kemampuan ekonomi yang baik sehingga dalam masyarakat memiliki status sosial yang tinggi dan pengelolaan lahan dilakukan oleh penggarap,
sedangkan pemilik lahan sempit dengan luasan 1 ha menggarap lahannya sendiri dengan dibantu satu orang penggarap. Secara umum identitas petani garam
dapat digambarkan berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan yang dimiliki petani dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7 Identitas responden petani garam di Kabupaten Rembang
No. Keterangan
Jumlah Petani Orang
Persentase 1.
Kelompok Umur Tahun 25-39
4 13.33
40-49 8
26.67 50
18 60.00
Jumlah 30
100 2.
Tingkat Pendidikan SD
11 36.67
SMP 11
36.67 SMA
6 20.00
S1 2
6.67 Jumlah
30 100
3. Pengalaman Usaha Tambak garam Tahun
10 9
30.00 10
21 70.00
Jumlah 30
100 4.
Luas lahan Petani Ha 14
46.67 0.5 - 1.0
12 40.00
1.0 4
13.33 Jumlah
30 100
2
Dananjoyo Kusumo. Indonesia hadapi krisis petani muda. http :www.jurnas.com. diunduh [19 juli 2011]
Para petani garam umumnya memiliki profesi sampingan, karena aktifitas garam hanya dilakukan pada bulan Mei sampai dengan November. Gambar 12
menunjukkan bahwa dari 30 petani contoh diketahui sebanyak 4 orang bekerja sebagai petani tebu, 1 orang sebagai eksportir rajungan, 11 orang merupakan
nelayan, 8 orang merupakan petani sawah dan 3 orang bekerja sebagai pembudidaya ikan bandeng. Sisanya 3 orang yang semuanya merupakan petani
pemilik bekerja sebagai perangkat desa. Sebagian besar petani contoh mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan aktifitas sampingan yang mereka
geluti, usaha tambak garam jauh lebih menguntungkan, namun karena usaha tersebut sangat tergantung musim maka untuk menutupi biaya hidup para petani
garam harus melakukan usaha sampingan diluar musim kemarau.
Gambar 12 Persentase pekerjaan sampingan petani garam
Karakteristik Pedagang Perantara
Pedagang perantara merupakan mitra antara yang berperan mendistribusikan bahan baku garam krosok ke perusahaan pengolahan garam briket atau ke
pedagang pengumpul besar. Didalam satu kecamatan umumnya terdapat 2-3 orang pedagang perantara. Responden yang menjadi pedagang perantara berusia
antara 40 sampai 50 tahun dan memiliki pengalaman selama 6 sampai 20 tahun dengan tingkat pendidikan beragam SD,SMP dan SMA. Dalam aktivitas
pengumpulan garam, pedagang memiliki tenaga kerja tidak tetap sebanyak 2 hingga 3 orang. Pedagang perantara juga memiliki petani mitra tetap sebagai
sumber bahan pasokan garam. Rata-rata jumlah petani yang telah bekerjasama sebanyak 10 sampai 15 orang per kecamatan.
Dari 6 orang pedagang perantara contoh menyatakan memilih menjadi pedagang perantara karena melihat besarnya keuntungan yang diperoleh tanpa
harus mengeluarkan investasi dan biaya operasional yang besar. Masing-masing pedagang perantara memiliki wilayah pembelian masing-masing, antara satu
pedagang dengan pedagang lainya tidak bisa saling berpindah petani. Terdapat hambatan masuk bagi pedagang baru kecuali pedagang tersebut bekerjasama
terlebih dahulu dengan pedagang yang sudah lama. Seperti halnya dengan petani, para pedagang perantara ini memiliki profesi yang berbeda setelah musim
produksi garam berakhir yaitu menjadi pedagang pengumpul untuk komoditas yang berbeda seperti ikan dan padi.
Petani Tebu 13 Eksportir
rajungan 3
Nelayan 37
Petani sawah 27
Pembudidaya bandeng
10 Perangkat
desa 10
Karakteristik Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus
Perusahaan pengolahan garam contoh diambil 4 unit dari 5 unit perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Rembang yaitu PT. Apel Merah PT. Garam Mas,
PT. Ndandut Ria dan PT. Suka Maju. Perusahaan pengolahan garam pertama kali berdiri adalah PT Garam Mas yang berdiri pada tahun 1969, kemudian PT Apel
Merah berdiri pada tahun 1993, PT. Ndandut Ria pada tahun 2002, dan terakhir adalah PT Suka Maju yang baru berdiri pada tahun 2011. Sebelum mendirikan
usaha pengolahan garam, keempat pemilik usaha ini mengakui bergerak terlebih dahulu sebagai pedagang perantara kemudian tertarik untuk meningkatkan nilai
tambah atas produk garam setelah mengetahui kebutuhan pasar atas produk garam briket dan garam halus.
Keempat perusahaan pengolahan di Kabupaten Rembang memproduksi garam briket dan halus. Proses pengolahan keempat perusahaan kurang lebih
sama, alat yang digunakan juga sama, tidak terdapat teknologi terbaru untuk mengolah garam krosok menjadi produk garam briket dan halus. Jumlah tenaga
kerja yang dimiliki PT Ndandut Ria dan PT Garam Mas masing-masing sebanyak 30 orang, sedangkan PT Apel merah memiliki tenaga kerja sebanyak 39 orang dan
PT Sukamaju sebanyak 23 orang. Tingkat produksi garam per hari masing-masing perusahaan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Profil perusahaan pengolahan usaha garam rakyat di Kabupaten
Rembang
No Nama Perusahaan
Tahun berdiri
Jumlah Produksi tonhari
Jumlah Garam
Briket Garam
Halus Tenaga Kerja
orang 1
PT. Ndandut Ria 2002
9 1
30 2
PT. Garam Mas 1969
10 5
30 3
PT. Apel Merah 1993
10 5
39 4
PT. Sukamaju 2011
10 1
23
Masing-masing perusahaan memiliki pasar yang berbeda, PT Apel Merah memasarkan produknya ke wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Lampung
dan pasar tradisional di wilayah Rembang, sedangkan PT. Ndandut Ria memasarkan produk garamnya ke Ambarawa, Sragen, Lamongan dan Purwakarta
dan PT Sukamaju memasarkan produknya ke wilayah Bandung, Jakarta dan Lampung. Rata-rata total penjualan garam industri ke masing-masing wilayah
pemasaran berkisar 20 ton per minggu
Karakteristik Pedagang Pengumpul Besar
Jumlah pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang sangat terbatas, jumlahnya kurang lebih 5 orang. Pedagang pengumpul besar berperan untuk
memenuhi kebutuhan industri pengguna garam seperti untuk industri pupuk, industri pakan ternak dan industri pengolahan ikan yang lokasinya berada di luar
Kabupaten Rembang. Pedagang pengumpul besar memperoleh garam dari para pedagang perantara dengan jenis dan mutu yang berbeda. Kualitas garam yang
dipasarkan sangat tergantung permintaan konsumen, dimana untuk industri pupuk dan pakan ternak lebih mengutamakan garam dengan butiran besar tapi tidak
terlalu mempermasalahkan warna garam, namun berbeda dengan industri pengasinan ikan yang meminta garam dengan butiran halus, putih dan masih
mengandung kadar air yang tinggi.
Jumlah responden pedagang pengumpul besar sebanyak 2 orang dengan tingkat pendidikan adalah SMA. Satu orang responden pedagang pengumpul
besar adalah wanita yang telah bekerja sebagai pengumpul besar lebih dari 10 tahun. Dari pedagang pengumpul besar contoh teridentifikasi adanya saling
kerjasama antara pedagang pengumpul besar untuk saling membantu memenuhi kebutuhan pelanggannya dan berusaha menghambat adanya pemain baru untuk
bisa masuk kedalam pasar. Hambatan ini berupa sulitnya memperoleh garam dari pedagang perantara maupun dari petani langsung bagi pemain baru, masing-
masing pelaku yaitu petani maupun pedagang perantara telah menjalin kerjasama yang kuat dengan para pedagang pengumpul besar.
6 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG
Kemitraan antara pelaku pasar pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang terjadi dalam tiga tingkatan yaitu antara penggarap dengan pemilik,
pemilik lahanpemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam atau dengan
pedagang pengumpul besar yang menyuplai garam ke industri pengguna garam industri pupuk, industri pakan ternak dan pengolahan ikan. Analisis karakteristik
kelembagaan meliputi identifikasi model kelembagaan kemitraan yang terjalin, aturan yang dipergunakan formal dan informal dan identifikasi konflik serta
analisis perilaku oportunis pasca kontrak
Kemitraan Penggarap dengan Pemilik Lahan
Bentuk kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan berupa sistem bagi hasil maro 1:1 dengan mekanisme seluruh hasil panen yang dihasilkan
penggarap diberikan kepada pemilik lahan, dan pemilik lahan membayar setengah dari hasil produksi. Harga jual garam ditentukan oleh pemilik lahan. Kesepakatan
kontrak yang diatur dalam sistem bagi hasil maro yaitu pemilik lahan memiliki kewajiban untuk menyediakan segala keperluan peralatan untuk memproduksi
garam mesin diesel, silindergilidan, garuk, kincir angin serta mengeluarkan alokasi biaya untuk menormalisasi saluran air. Sedangkan penggarap memiliki
kewajiban untuk mempersiapkan petakan peminihan dan meja kristalisasi, mengelola lahan sampai pada proses pemanenan. Pemilik lahan memiliki hak
untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan proses produksi yang dilakukan oleh penggarap agar hasil produksi sesuai dengan target yang diharapkan.
Sedangkan penggarap memiliki hak untuk mempergunakan waktu sesuai kebutuhan, tidak ada aturan baku berapa jam perhari penggarap harus berada di
lahan garam.
Model kontrak bagi hasil maro antara penggarap dengan pemilik lahan telah berlangsung cukup lama 3 tahun. Kemitraan antara penggarap dengan
pemilik lahan diperkuat dengan adanya pemberian pinjaman uang tunai oleh pemilik lahan kepada penggarap pada saat persiapan lahan, yaitu sekitar bulan
Mei-Juni. Pinjaman ini digunakan oleh penggarap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pada saat persiapan lahan garam, penggarap belum memiliki
pendapatan. Penggarap akan melunasi pinjaman pada saat menerima pembayaran bagi hasil dari pemilik. Kemudahan atas pinjaman uang tunai pada
saat yang dibutuhkan menyebabkan penggarap memiliki ketergantungan yang tinggi dengan pemilik lahan. Ketergantungan ini menciptakan posisi tawar
pemilik lahan lebih baik dibandingkan penggarap.
Usaha garam tidak luput dari risiko produksi maupun risiko pemasaran. Dalam menghadapi risiko produksi terdapat pembagian risiko yang adil antara
pemilik lahan dan penggarap, apabila terjadi penurunan tingkat produksi karena faktor natural hazard seperti cuaca maka risiko tersebut dibebankan
bersama, namun dalam menghadapi risiko pemasaran berupa harga garam yang fluktuatif dibebankan sepenuhnya kepada penggarap. Pemilik lahan
menetapkan harga beli kepada penggarap dengan harga terendah pada saat transaksi berlangsung, sedangkan pemilik lahan menghindari risiko dengan
menyimpan hasil panen dan menjualnya pada saat harga garam lebih baik. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani dengan pemilik lahan dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani penggarap dengan pemilik lahan
No Uraian
Sistem Kontrak 1
Model kontrak Bagi hasil maro penerimaan hasil panen dibagi 50
untuk pemilik lahan dan 50 untuk penggarap 2
Perjanjian Tidak Tertulis
3 Aturan main
Hak-Kewajiban - Pemilik lahan memiliki hak menjual seluruh hasil
panen dan mendapatkan 50 dari hasil penjualan - Penggarap memiliki hak menerima 50 dari
hasil penjualan - Pemilik lahan berkewajiban menyediakan
peralatan produksi yang dibutuhkan penggarap - Penggarap berkewajiban mengelola lahan pemilik
sampai proses pemanenan 4
Pola interaksi Kesepakatan harga
Harga garam ditentukan oleh pemilik lahan Kesepakatan jumlah
Jumlah produksi 1.5-2 ton perhektar per panen Kesepakatan mutu
Memproduksi garam kualitas 1 dan 2 Informasi asimetris
Informasi tidak sepadan antara penggarap dan pemilik lahan
Pembagian risiko Risiko produksi dibagi bersama, risiko harga
dibebankan sepenuhnya ke penggarap Perilaku oportunis
- Penggarap menghasilkan garam kualitas 2 karena
kebutuhan -
Pemilik lahan menetapkan harga jual garam lebih rendah
5 Mekanisme penegakan
Sanksi sosial
Kelembagaan yang diatur dalam sistem bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis atau bersifat informal dan tidak memiliki mekanisme penegakan
sehingga sangat mudah munculnya perilaku oportunis. Perilaku oportunis pasca kontrak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara penggarap
dan pemilik lahan. Misalnya kepentingan dari pemilik lahan adalah menginginkan memanen garam dalam waktu 5-7 hari sehingga dapat
menghasilkan kualitas 1, namun penggarap hanya memanen selama 3-4 hari tanpa seijin pemilik lahan sehingga menghasilkan kualitas 2. Pemanenan awal
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Semua petani penggarap contoh 100 mengakui bahwa pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup diperoleh dengan memanen garam lebih cepat. Sebaliknya perilaku oportunis juga diterima penggarap dalam bentuk bagi hasil yang
rendah, dimana petani penggarap menerima harga jual garam lebih rendah dari harga yang diterima pemilik dari pedagang perantara. Mekanisme penegakan
atas pelanggaran yang dilakukan berupa sanksi sosial yaitu apabila penggarap melakukan tindakan moral hazard maka tidak akan ada yang mau
memperkerjakannya sebagai penggarap sebaliknya jika pemilik yang berbuat curang maka tidak ada penggarap yang mau mengelola lahannya.
Kemitraan Pemilik Lahan dengan Pedagang Perantara
Bentuk kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara berupa kontrak Pemasaran dengan mekanisme pedagang perantara membeli garam
dari pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan kontrak yang meliputi jumlah produk, kualitas dan waktu pembelian. Dalam setiap transaksi pemilik lahan
tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya tersebut biaya pengemasan dan pengangkutan dibebankan kepada pedagang perantara. Proses transaksi
berlangsung setiap dua minggu sekali, dimana pedagang perantara mendatangi gudang-gudang pemilik lahan yang berlokasi disekitar tambak garam. Proses
penentuan harga garam disepakati bersama, namun bagi pemilik lahan yang memiliki pinjaman modal kepada pedagang perantara umumnya memperoleh
harga sedikit lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang. Bagi pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang dapat
menjual garam dengan harga Rp 350 000 per ton, sedangkan bagi pemilik lahan yang memiliki ikatan hutang, harga jual garam hanya berkisar Rp 300
000 per ton. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan permodalan digunakan sebagai strategi bagi pedagang perantara untuk melemahkan posisi tawar.
Kondisi asimetris informasi juga dihadapi oleh pemilik lahan. Informasi yang seringkali terlambat diperoleh menyebabkan pemilik lahan bersedia
menerima harga garam lebih rendah dari yang seharusnya dimiliki. Begitu juga dengan penentuan kualitas garam, pedagang perantara lebih mendominasi
dalam menentukan kualitas dari garam yang dijual karena keterbatasan informasi yang dimiliki pemilik lahan dalam menentukan kualitas garam yang
dihasilkan. Pemilik lahan contoh mengungkapkan bahwa seringkali pedagang perantara tidak menyepakati garam yang dijual pemilik lahan dengan kualitas1,
namun dinilai sebagai kualitas2.
Kemitraan yang selama ini berjalan bersifat informal, setiap kesepakatan dibuat secara lisan. Dalam kemitraan yang berjalan tidak terdapat konflik,
masing-masing pelaku usaha berusaha menjaga hubungan sehingga terjadi ikatan kerjasama yang baik. Perilaku oportunis terjadi pada pemilik lahan yang
memiliki hutang yaitu dengan menjadikan hutang sebagai alat untuk menekan harga beli garam. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan
dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara
No Uraian
Sistem Kontrak 1
Model kontrak Kontrak pemasaran
2 Perjanjian
Tidak Tertulis 3
Aturan main - Pemilik lahan dan pedagang perantara sama-sama
memiliki hak menetukan harga jual dan kualitas garam
- Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan biaya pengemasan dan pengangkutan
4 Pola interaksi
Kesepakatan harga ada, harga garam ditentukan oleh bersama
Kesepakatan jumlah Ada, disesuaikan kebutuhan pedagang perantara
dengan tingkat produksi garam oleh petani Kesepakatan mutu
Ada, seringkali tidak sesuai kesepakatan Informasi asimetris
Ada, informasi lengkap dimiliki perantara Pembagian risiko
Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke pemilik lahan
Perilaku oportunis Hasil timbangan yang dilakukan pedagang perantara
lebih kecil daripada hasil timbangan pemilik lahan 5
Mekanisme penegakan Sanksi sosial
Kemitraan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap dengan Pedagang Perantara
Pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan definisi yang melekat bagi petani yang memiliki lahan garam sempit 1Ha dan ikut menggarap lahannya
sendiri. Kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara berupa kontrak pemasaran. Pemilik lahan menjual garam kepada
pedagang perantara dengan harga ditetapkan pedagang perantara. Transaksi pemasaran berlangsung seminggu sekali dan dilakukan di lahan tambak petani
maupun digudang-gudang milik petani. Dalam transaksi pemasaran, pemilik lahan sekaligus penggarap tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya
tersebut biaya pengemasan dan pengangkutan dibebankan kepada pedagang perantara. Kontrak pemasaran antara pemilik lahan sekaligus penggarap
dengan pedagang perantara berlangsung secara informal dan tidak secara eksplisit tertulis baik mengenai proses transaksi maupun perjanjian lainnya,
namun aturan-aturan yang menjadi hak dan kewajiban kedua pihak telah diketahui secara luas dan disepakati secara konsesus bersama.
Dalam kontrak pemasaran tidak terdapat aturan terkait syarat mutu dan penetapan harga garam. Penilaian mutu ditentukan secara visual oleh pedagang
perantara dan dari hasil penilaian tersebut akan menentukan harga garam.
Pembayaran oleh pedagang perantara dilakukan secara tunai maupun tempo setelah diperoleh estimasi hasil secara visual berdasarkan kualitas dan hasil
timbangan. Hal ini menunjukan bahwa pemilik lahan sekaligus penggarap tidak memiliki posisi tawar untuk menentukan kualitas dan harga garam yang akan
dijual kepada pedagang perantara. Kondisi ini disebabkan adanya ikatan kerjasama yang kuat dimana pedagang perantara memberikan pinjaman yang
dibutuhkan pada saat mengalami masalah finansial dan pinjaman tersebut akan dibayarkan pada saat panen, maka secara moral petani berkewajiban menjual
hasil panen kepada pedagang perantara tersebut. Dilain pihak walaupun memperoleh pinjaman tanpa bunga namun secara implisit petani mengalami
kerugian dimana pedagang perantara dapat menekan harga serendah mungkin. Hasil penelitian menunjukkan responden pemilik lahan sekaligus penggarap
yang memiliki ikatan pinjaman dengan pedagang perantara memperoleh harga rata-rata sebesar Rp 304 167 per ton.
Adanya asumsi perilaku bounded rasionality menyebabkan petani tetap mempertahankan kerjasama yang ada saat ini meskipun beberapa kali
mengalami tindakan moral hazard. Perilaku oportunis yang dilakukan oleh pedagang perantara berupa hasil perhitungan timbangan garam yang tidak
sesuai dengan berat sebenarnya maupun harga jual garam yang relatif lebih rendah dibandingkan harga yang sebenarnya. Dari hasil wawancara dengan
petani pemilik sekaligus penggarap 12 orang yang bekerjasama langsung dengan pedagang perantara terungkap sebanyak 2 orang atau 16.67 persen
responden petani berkeinginan untuk beralih kepada perantara lain yang bisa membeli dengan harga lebih baik, sisanya sudah merasa cukup puas telah
bekerjasama dengan pedagang perantara tersebut.
Pada saat panen raya umumnya pedagang perantara melakukan pembelian garam sebanyak-banyaknya untuk sebagian disimpan dan akan dijual kembali
pada saat tidak musim garam. Hal ini dilakukan dengan dalih menjaga harga garam agar tidak jatuh pada saat panen raya, namun pada kenyataannya
kegiatan penimbunan sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan berlipat pada saat ketersediaan garam langka. Pengalaman di tahun 2010
kegiatan penimbunan garam menjadikan pedagang pengumpul kaya raya, karena harga garam melonjak 4 kali lipat yaitu mencapai Rp. 1200 pada saat
terjadi kelangkaan ketersediaan garam Dinas Perikanan Kabupaten Rembang, 2013. Pemilik lahan sekaligus penggarap maupun pedagang perantara yang
melanggar kesepakatan tidak dikenakan sanksi dalam bentuk uang, namun mendapatkan sanksi sosial berupa reputasi yang buruk, apabila pemilik lahan
sekaligus penggarap tidak melunasi pinjaman maka sanksi berupa tertutupnya akses pasar kepada pedagang perantara manapun, sedangkan bagi perantara
yang melakukan kecurangan maka petani secara berkelompok akan menolak kehadiran pedagang perantara tersebut dan beralih ke pedagang lainnya.
Karakteristik kelembagaan kemitraan antara Pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 11
Tabel 11 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara
No Uraian
Sistem Kontrak 1
Model kontrak Kontrak pemasaran
2 Perjanjian
Tidak Tertulis 3
Aturan main - Petani memiliki hak untuk menjual garam dengan
kuantitas dan kualitas yang diinginkan petani - Petani berkewajiban menjual garam kepada
pedagang perantara yang memberikan pinjaman modal
- Pedagang perantara memiliki hak menetukan harga jual garam berdasarkan penilaian secara visual atas
kualitas garam yang dihasilkan petani - Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan
biaya pengemasan dan pengangkutan 4
Pola interaksi Kesepakatan harga
Tidak ada, harga garam ditentukan oleh pedagang perantara
Kesepakatan jumlah Tidak ada, tergantung hasil produksi petani
Kesepakatan mutu Tidak ada, tergantung hasil produksi petani
Informasi asimetris Informasi yang dimiliki pedagang perantara lebih baik
Pembagian risiko Risiko produksi dan risiko harga dibebankan
sepenuhnya ke petani Perilaku oportunis
- Pedagang perantara menetapkan harga jual garam lebih rendah kepada petani yang memiliki ikatan
pinjaman - Jumlah bobot garam yang ditimbang oleh pedagang
perantara lebih kecil dibandingkan hasil timbangan petani
- Penilaian kualitas secara visual yang tidak jujur, menurut petani menghasilkan kualitas 1, namun
pedagang perantara menilainya sebagai kualitas 2 - Pedagang perantara melakukan penimbunan garam
pada saat panen raya dan akan dijual pada saat garam langka untuk memperoleh keuntungan lebih
besar 5
Mekanisme penegakan Sanksi sosial
Kemitraan Pedagang Perantara dengan Perusahaan Pengolahan
Kontrak yang terjalin antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam briket dan halus berupa kontrak pemasaran. Pedagang
perantara melakukan 4 kali transaksi penjualan garam per bulan ke perusahaan. Rata-rata penjualan garam setiap kali transaksi sekitar 30 hingga 40 ton. Peran
pedagang perantara sangat penting bagi perusahaan karena memasok kebutuhan bahan baku garam secara kontinyu. Kemitraan yang terjalin antara pihak
pedagang perantara contoh dengan perusahaan pengolahan cukup lama yaitu lebih dari 10 tahun. Masing-masing perusahaan memiliki pedagang perantara tertentu,
tidak semua pedagang perantara di Rembang dapat memasok ke perusahaan,
karena adanya faktor kepercayaan yang kuat sehingga sulit bagi pemain baru bermitra dengan pihak perusahaan.
Seperti halnya kemitraan dengan pelaku usaha garam lainnya, kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan dilakukan
secara informal dan tidak ada aturan tertulis, kelembagaan yang ada saat ini merupakan hasil kesepakatan yang telah lama disetujui oleh kedua belah pihak.
Kesepakatan kontrak yaitu perusahaan memiliki hak untuk menentukan kualitas garam yang diterima dari pedagang perantara dan berdasarkan kualitas tersebut
pihak perusahaan dapat menentukan harga beli garam. Penetuan harga dan kualitas dilakukan oleh manajer operasional atau pemilik pada saat bongkar muat
digudang pabrik. Seluruh biaya pemasaran berupa biaya pengemasan, pengangkutan, distribusi dari gudang pedagang perantara ke gudang pabrik
menjadi tanggung jawab pedagang perantara sedangkan biaya bongkar muat dari truk ke gudang pabrik menjadi tanggung jawab pihak perusahaan.
Sebelum dilakukan proses transaksi jual beli, umumnya pihak perusahaan pengolahan menentukan permintaan bahan baku garam berdasarkan kuantitas,
kualitas dan waktu pengiriman, setelah itu pihak pedagang perantara akan mengirimkan sampel garam kepada perusahaan dan melakukan kesepakatan
harga, jika perusahaan menyepakati sampel yang dikirim maka pedagang perantara akan mengirimkan sesuai kuantitas dan waktu yang telah disepakati dan
menerima harga yang telah disepakati, namun apabila kualitas garam yang dikirim tidak sesuai dengan sampel yang disepakati maka pihak perusahaan berhak
menolak membeli atau menentukan secara sepihak harga beli garam tersebut.
Pedagang perantara menghadapi risiko produksi maupun harga, pada saat harga garam rendah pedagang perantara tetap secara kontinyu memasok bahan
baku ke industri untuk menjaga kerjasama supaya dapat berkelanjutan, sedangkan risiko produksi yang dihadapi berupa penyusutan bobot garam yang disimpan
lama digudang. Pada saat panen raya pedagang perantara akan membeli sebanyak- banyaknya garam dari petani, namun penyimpanan garam lebih dari 3 bulan
digudang akan terjadi penyusutan bobot garam hingga 10 persen.
Sebagai upaya menjaga kemitraan bisa berlangsung kerkelanjutan maka pihak industri berusaha memberikan jaminan\pemasaran diantaranya adalah
penawaran berupa pengunaan sarana gudang untuk penyimpanan garam bila diperlukan oleh pedagang perantara dan kemudahan pinjaman tanpa bunga.
Pembayaran pinjaman dilakukan dengan memotong hasil penerimaan pada saat transaksi penjualan garam. Adanya pinjaman memperkuat ikatan kerjasama dan
menyebabkan pedagang perantara tidak memiliki pilihan untuk beralih ke industri pengolahan lain. Hasil identifikasi atas perilaku oportunis dan konflik tidak
ditemukan, perusahaan sebisa mungkin menjaga hubungan kerjasama secara baik dengan pedagang perantara dan sebisa mungkin keputusan bisnis disepakati
bersama. Sanksi yang diberikan kepada pedagang perantara yang melanggar kesepakatan adalah sanksi sosial berupa pemutusan hubungan kerjasama.
Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan
perusahaan pengolah dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolah garam briket dan halus
No Uraian
Sistem Kontrak 1
Model kontrak Kontrak pemasaran
2 Perjanjian
Tidak Tertulis 3
Aturan main -
Pedagang perantara memiliki hak menetapkan kualitas dan harga garam yang akan dijual dan
memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku garam perusahaan pengolahan secara kontinyu
dan betanggung jawab atas biaya pengiriman ke gudang pabrik
- Perusahaan pengolahan memiliki hak yang sama
dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh hasil
pembelian garam secara tunaitempo sesuai kesepakatan
4 Pola interaksi
Kesepakatan harga ada, harga garam sesuai kesepakatan
Kesepakatan jumlah ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan
Kesepakatan mutu ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan
Informasi asimetris Tidak ada, perusahaan memberikan informasi secara
langsung kepada pedagang perantara Pembagian risiko
Risiko produksi dan risiko harga dibebankan
sepenuhnya ke pedagang perantara Perilaku opportunis
Tidak ada 5
Mekanisme penegakan Sanksi sosial
Kemitraan Pedagang Perantara dengan Pedagang Pengumpul Besar
Kemitraan yang berlangsung antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar berupa kontrak pemasaran. Seperti kontrak yang dilakukan
dengan pelaku usaha lainnya bahwa kontrak yang ada bersifat informal berupa aturan main yang disepakati bersama. Pedagang perantara memasok kebutuhan
bahan baku ke pedagang pengumpul besar sangat tergantung pada kesepakatan yang dilakukan. Hal ini disebabkan bahan baku garam bersifat spesifik karena
sangat tergantung pada tujuan pasar. Tujuan pasar dari pedagang pengumpul besar adalah industri pengguna garam seperti industri pupuk, pakan ternak dan industri
pengasinan ikan, sehingga garam yang ditawarkan berbeda dengan garam yang dikirim ke industri pengolahan. Secara spesifik garam yang dibutuhkan untuk
industri pengasinan ikan harus memiliki warna putih, butiran garam yang kecil dan mengandung kadar air tinggi, sedangkan untuk industri pakan ternak, jenis
garam yang dibutuhkan tidak memperhatikan warna dan butiran garam yang besar. Kesulitan yang seringkali dihadapi pedagang perantara untuk memasok ke
pedagang pengumpul adalah tidak semua hasil produksi petani sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan pedagang pengumpul besar.
Penetapan harga garam disepakati bersama, posisi tawar antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara seimbang, karena tidak adanya
ikatan berupa pinjaman uang maupun hubungan kekerabatan. Keduanya memiliki informasi pasar yang baik, sehingga kesepakatan yang dibuat diusahakan
memberikan keuntungan yang proporsional. Perilaku oportunis seminimal mungkin dihindari dan tidak pernah terdapat konflik selama kemitraan tersebut
dilakukan. Sanksi atas penyimpangan kesepakatan berupa pemutusan kontrak kerjasama. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara
dengan pedagang pengumpul besar ditunjukka pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan
pedagang pengumpul besar
No Uraian
Sistem Kontrak 1
Model kontrak Kontrak pemasaran
2 Perjanjian
Tidak Tertulis 3
Aturan main -
Pedagang perantara memiliki hak menetapkan harga garam yang dijual dan memiliki kewajiban
memenuhi kebutuhan bahan baku garam yang dibutuhkan pengumpul besar
- Pedagang pengumpul besar memiliki hak yang
sama dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh
hasil pembelian garam secara tunai 4
Pola interaksi Kesepakatan harga
ada, harga garam sesuai kesepakatan Kesepakatan jumlah
ada, tergantung permintaan pedagang pengumpul Kesepakatan mutu
ada, tergantung permintaan pengumpul Informasi asimetris
Tidak ada, pedagang pengumpul dan pedagang perantara memiliki informasi yang sepadan
Pembagian risiko Tidak ada
Perilaku opportunis Tidak ada
5 Mekanisme penegakan
Pemutusan kontrak kerjasama
Hasil analisis karakteristik kelembagaan kemitraan antara pelaku usaha
dapat disimpulkan bahwa terdapat dominasi partisipan yang bermitra dimana kekuatan dari salah satu pihak yaitu pemilik lahan, pedagang perantara dan
perusahaan pengolahan menyebabkan posisi tawar yang tidak seimbang. Ketersediaan akses pasar dan permodalan kepada pihak mitranya tidak pada
tataran kesadaran yang saling menguntungkan, bahkan bantuan modal yang senantiasa diberikan justru dijadikan sebagai strategi untuk mengikat mitra
sehingga terbentuk ketergantungan. 6.
KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG
Analisis ini ditujukan untuk membuktikan apakah kemitraan usaha garam rakyat yang berjalan saat ini memiliki kinerja yang menunjukkan tercapainya
efisiensi bagi para pelaku yang terlibat. Analisis kinerja kelembagaan kemitraan terdiri dari analisis pendapatan, analisis ekonomi kelembagaan dan kinerja
pemasaran.
Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang
Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten
Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam, agen dan pengecer serta pedagang pengumpul besar. Pada penelitian ini
lingkup rantai nilai hanya meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar
Pendapatan Usaha Petani garam
Pendapatan petani garam dibedakan atas pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap dan pendapatan pemilik lahan yang melakukan bagi hasil
dengan penggarap. Pendapatan merupakan hasil akhir yang diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam
usahanya. Oleh karena itu petani harus mampu melakukan tindakan efisiensi dalam menggunakan sumberdaya dimana total penerimaan harus melebihi dari
total pengeluaran. Penerimaan yang diperoleh petani garam merupakan nilai dari total produksi garam yang dihasilkan petani dalam satu musim 6 bulan dengan
asumsi luasan lahan per 1hektar. Dalam menganalisis penerimaan petani garam asumsi yang digunakan bahwa garam yang dihasilkan petani seluruhnya dijual.
Petani menjual dengan bentuk garam krosok. Kualitas yang dihasilkan petani sebagian besar adalah kualitas 2, sehingga dalam analisis ini penjualan garam
berupa garam kualitas 2.
Berdasarkan data yang diperoleh, hasil panen rata-rata yang diperoleh responden pemilik lahan sekaligus penggarap pada musim garam yaitu bulan Juli
hingga November 2012 5 bulan sebesar 66.67 ton per hektar. Tingkat produksi rata-rata sekali panen 1.67 ton per hektar dan dalam satu musim panen dapat
dilakukan sebanyak 40 kali panen. Tingkat harga rata- rata garam yang diperoleh pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp304 167per ton sehingga total
penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 20 277 778. Total pengeluaran dalam satu musim sebanyak Rp 15 368 679 yang terdiri dari pembuatan saluran dan tanggul
12.74, tenaga kerja pengelolaan lahan 46.36, tenaga kerja pemanenan 12.62, pembelian solar 12.09, pajak lahan 0.72, pemeliharaan peralatan
5.75 dan biaya penyusutan gudang dan peralatan 9.72. Total pendapatan yang diperoleh responden petani pemilik sekaligus penggarap contoh
permusimnya sebesar Rp4 909 099. Secara rinci analisis pendapatan petani pemilik sekaligus penggarap dapat dilihat pada Lampiran 5
Penerimaan yang diperoleh pemilik lahan yang melakukan pola kerjasama bagi hasil dengan penggarap menerima bagian 1:1. Berdasarkan data responden
penggarap rata-rata tingkat produksi garam sebesar 1.56 ton per panen per hektar dengan jumlah panen dalam satu musim sebanyak 40 kali sehingga total produksi
garam permusimnya yang diperoleh penggarap sebesar 62.50 ton. Pemilik lahan menetapkan harga beli garam kepada penggarap sebesar Rp 294 643 sehingga
total penerimaan yang diperoleh penggarap sebesar Rp 18 415 179, dengan sistem bagi hasil maka penggarap harus menyerahkan setengah penerimaanya kepada
pemilik lahan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 9 207 589. Total pengeluaran yang dibebankan penggarap terdiri dari pembayaran 1 orang
tenaga kerja yang membantu penggarap mengelola lahan 25.83, pembelian solar untuk menjalankan mesin diesel yang berguna untuk mengalirkan air laut
dari saluran ke petakan 6.75 dan biaya pemeliharaan peralatan 4.51. Biaya pengeluaran terbesar adalah nilai bagi hasil yang diberikan kepada pemilik lahan
62.91. Pendapatan rata-rata responden petani penggarap sebesar Rp 3 779 687 per musimnya. Analisis pendapatan petani penggarap dapat dilihat pada Lampiran
7.
Pemilik lahan memperoleh penerimaan jauh lebih besar dari penggarap yaitu Rp 20 312 500, hal ini disebabkan pemilik memperoleh nilai jual garam ke
pedagang perantara lebih besar dibandingkan nilai penjualan yang diperoleh penggarap dari pemilik lahan. Rata-rata penjualan garam dari responden pemilik
sebesar Rp 325 000 per tonnya. Posisi tawar yang dimiliki pemilik lahan kepada pedagang perantara jauh lebih baik karena tidak adanya ikatan hutang, pemilik
lahan bisa memilih pedagang perantara yang mau menawarkan harga lebih tinggi. Pengeluaran yang dibebankan pedagang pemilik terdiri dari pengeluaran untuk
menormalisasi saluran air 13.72, pajak lahan 0.74, pembayaran bagi hasil untuk penggarap 63.17, pembelian solar 6.78 dan biaya penyusutan
15.59. Pengeluaran atas pembelian solar diasumsikan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap. Pendapatan rata-rata yang diperoleh pemilik lahan
setiap tahunnya sebesar Rp 5 737 201. Analisis pendapatan pemilk lahan dapat dilihat pada Lampiran 7.
Selisih biaya yang dikeluarkan petani pemilik maupun petani penggarap tidak berbeda jauh karena dalam sistem bagi hasil, pemilik hanya menyerahkan
tanggung jawab kepada satu orang penggarap untuk mengelola lahan hingga pemanenan, namun untuk mengelola 1 hektar lahan penggarap tidak bisa bekerja
sendiri sehingga perlu melibatkan 1 orang tenaga kerja tambahan untuk membantunya selama persiapan hingga pemanenan kurang lebih 6 bulan. Upah
kerja atas tenaga kerja tambahan menjadi tanggung jawab dari penggarap itu sendiri. Umumnya tenaga kerja tersebut masih merupakan kerabat atau tetangga
terdekat. Pembayaran upah dilakukan pada saat penggarap menerima bagi hasil dari pemilik lahan. Analisis pendapatan petani garam dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Analisis pendapatan atas biaya total petani garam di Rembang
No Uraian
Satuan Petani Pemilik
sekaligus penggarap
Petani penggarap
Petani Pemilik
lahan 1
Produksi tonha musim
66.67 62.50
62.50 2
Harga jual garam Rpton
304 167 294 643
325 000 3
Nilai Produksi Rpmusim
20 277 778 18 415 179
20 312 500 4
Biaya Total Rphamusim
15 368 679 14 635 492
14 575 299 5
Pendapatan Rptahun
4 909 099 3 779 687
5 737 201 6
RC 1.32
1.26 1.39
Tabel 14 memperlihatkan pendapatan terkecil diperoleh penggarap dan
pendapatan terbesar diterima oleh pemilik lahan. Dengan pendapatan penggarap hanya sebesar Rp 3 779 687 maka dalam 1 musim 6 bulan pendapatan petani
penggarap hanya sebesar 629 948 per bulan. Nilai ini masih jauh dari standar UMR Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar Rp 816 000. Hasil ini
memperkuat pendapat Satria 2011 yang menyatakan petani garam hidup
dibawah garis kemiskinan. Dengan tingkat pendapatan tersebut sulit bagi petani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk juga untuk pendidikan dan
kesehatan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh petani disebabkan harga jual garam yang sangat rendah ditingkat petani. Adanya asimetris informasi terutama
informasi harga dan perilaku oportunis dari pelaku pasar menyebabkan pasar gagal memberikan distribusi pendapatan yang adil kepada petani garam.
Adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan harga dasar garam untuk kualitas dua sebesar Rp 550 000 perton tidak berjalan efektif di Kabupaten
Rembang, faktanya harga rata-rata garam kualitas dua ditingkat petani di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 hanya sekitar Rp 300 000 hingga Rp 350
000 per tonnya. Tidak efektifnya penerapan harga dasar di Kabupetan Rembang disebabkan belum adanya kelembagaan yang mampu mengontrol harga garam
dan lemahnya pengawasan dan mekanisme penegakansanksi bagi pelaku pasar. Saat ini harga garam ditentukan penuh oleh pelaku yang bergerak dijalur
pemasaran.
Berdasarkan tingkat keuntungan relatif dilihat dari nilai RC seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, dimana masing-masing petani memperoleh
keuntungan, namun keuntungan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diterima pelaku usaha lainnya. Keuntungan terkecil diperoleh
penggarap dan keuntungan terbesar diperoleh pemilik lahan. Setiap pengeluaran yang dilakukan masing-masing petani sebesar Rp 1000 maka penggarap
memperoleh penerimaan sebesar Rp 1 260, pemilik lahan sebesar Rp Rp 1 390 dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp 1 320. Komparasi keuntungan
dari ketiga petani garam dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang dilakukan antara pemilik lahan dengan penggarap belum memberikan keuntungan yang
proporsional karena keuntungan yang diterima penggarap lebih kecil dibandingkan pemilik lahan. Sementara bagi pemilik lahan sekaligus penggarap
memiliki keuntungan lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak menggarap lahannya, karena adanya ikatan pinjaman sehingga pedagang perantara
mampu menekan harga, sedangkan bagi pemilik lahan tidak adanya ikatan pinjaman memberikan kekuatan tawar yang jauh lebih baik dan dapat memilih
pembeli yang mau membeli garam dengan harga lebih tinggi.
Berdasarkan Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa dalam mata rantai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, penggarap merupakan pihak yang paling
kecil mendapatkan keuntungan baru berikutnya petani yang memiliki lahan sempit yang menggarap lahannya sendiri dan pemilik lahan. Penggarap sangat
tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak
penjualan kepada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun pemilik lahan sekaligus penggarap hanya dapat menjual pada pedagang perantara
tertentu dan pedagang tersebut cenderung menentukan harga secara sepihak.
Pendapatan Usaha Pedagang Perantara
Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku dari petani ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Umumnya 1 orang
pedagang perantara bekerjasama dengan 10-15 petani yang berada di 2-3 desa. Pedagang perantara contoh membeli garam langsung ditambak-tambak petani atau
gudang petani setiap 4-5 kali dalam sebulan selama musim panen garam 5
bulan. Rata-rata total penjualan garam yang dilakukan pedagang perantara pertahunnya sebesar 1083 ton dengan harga rata-rata penjualan pedagang
perantara contoh ke perusahaan pengolahan sebesar Rp458 333 per ton, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh per tahunnya sebesar Rp 496 375 000. Selain
itu pedagang perantara memperoleh penerimaan tidak tunai dari penimbunan garam sebesar 500 ton yang akan dijual pada saat harga garam tinggi yaitu pada
saat harga mencapai Rp 550 000 per tonnya, sehingga penerimaan tidak tunai sebesar Rp 275 000 000. Total penerimaan yang diperoleh pedagang perantara
setiap tahunnya mencapai Rp 771 375 000.
Pedagang perantara melakukan proses grading, pengemasan dan pendistribusian garam dari tambak petani ke gudang kemudian setelah sesuai
dengan kuantitas tertentu garam didistribusikan ke gudang pabrik pengolahan. Garam krosok yang dibeli dari petani dikemas dalam karung. Biaya
pengangkutan garam berbeda tergantung jauh dekat lokasi tambak dengan jalan raya, apabila dekat dengan jalan raya biaya angkut dan pengemasan untuk 1 ton
garam sebesar Rp 18 000, sedangkan apabila lokasi jauh sebesar Rp 20 000. Rata- rata biaya pengangkutan dan pengemasan yang dibayarkan repsonden pedagang
perantara sebesar Rp 18 667 per tonnya. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan dan pengemasan per tahunnya sebesar Rp 20 216 361 3.89.
Komponen biaya terbesar adalah pembelian garam dari petani. Harga rata- rata pembelian garam ditingkat petani per tonnya sebesar Rp 307 937 dengan total
pembelian permusim sebanyak 1583 ton maka total pengeluaran untuk pembelian garam dari petani sebesar Rp 487 463 492 93.89. Komponen biaya lainnya
yang harus dikeluarkan meliputi biaya tunai yang terdiri atas biaya rata-rata pembelian karung sebesar Rp744 563 0.14. Transaksi pembelian garam dari
petani dilakukan setiap seminggu sekali dalam kurun waktu 5 bulan. Setiap kali pengiriman dari gudang ke gudang milik industri menghabiskan biaya bahan
bakar sekitar Rp 200 000 per bulan, sehingga total biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk aktivitas pengiriman garam ke gudang industri sebanyak Rp 4
050 000 0.78. Rincian biaya produksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Lampiran 9.
Biaya yang diperhitungkan berupa biaya penyusutan peralatan sebesar 8 487 333 1.63. Peralatan yang digunakan oleh pedagang perantara diantaranya
mesin jahit sebanyak 2 unit, genset untuk menyalakan mesin jahit, genset sangat dibutuhkan pedagang perantara karena proses pengemasan berlangsung di lokasi
tambak dan tidak terdapat fasilitas listrik, gerobak untuk mengangkut garam ke truk, gudang sebagai sarana penyimpanan dan truk untuk mendistribusikan garam
kegudang Total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh pedagang perantara setiap tahunnya sebesar Rp520 961 749. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendapatan
atas biaya total yang diperoleh pedagang perantara Rp 250 413 251 dengan nilai RC 1.48
.
Hasil perhitungan pendapatan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang perantara di Kabupaten Rembang
No Uraian
Satuan Nilai
1 Penjualan garam
tontahun 1083
2 Harga jual garam
Rpton 458 333
3 Stok garam penimbunan
Tontahun 500
4 Harga jual garam
Rpton 500 000
5 Penerimaan
Rptahun 771 375 000
6 Biaya Total
Rptahun 520 961 749
7 Pendapatan atas biaya total
Rptahun 250 413 251
8 RC atas biaya total
1.48
Keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani. Hal ini membuktikan bahwa
yang menikmati surplus value adalah pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran bukan petani. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Rochwulaningsih 2008 dimana petani lahan sempit dan penggarap di Kabupaten Rembang hanya diposisikan sebagai produsen yang tidak menikmati
keuntungan dari hasil usahanya. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara penggarap dengan
pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen jadi.
Pendapatan Usaha Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus
Perusahaan pengolahan garam mengolah garam krosok menjadi garam briket dan halus. Bahan baku yang digunakan industri sebagian besar diperoleh
dari pedagang perantara dan sisanya diperoleh dari lahan tambak yang dimiliki sendiri oleh perusahaan. Rata-rata produksi garam briket yang dihasilkan
responden industri pengolahan sebesar 9.75 ton per hari dan produksi rata-rata untuk produk garam halus sebesar 1.50 ton per hari. Dalam setahun rata-rata
produksi garam briket sebesar 2 634 ton dan garam halus 1 184 ton. Harga jual rata-rata untuk garam briket per kg sebesar Rp 1 100 dan garam halus Rp 1 200
per kg. Penerimaan yang diperoleh perusahaan pengolahan atas penjualan garam briket sebesar Rp 2 897 4000 dan garam halus sebesar Rp 1 420 800 000,
sehingga total penerimaan rata-rata perusahaan pengolahan contoh setiap tahunnya sebesar Rp4 318 200 000.
Bahan baku garam krosok yang diterima oleh perusahaan pengolahan di Rembang sebagian besar adalah kualitas dua yang digunakan perusahaan untuk
menghasilkan garam briket, sedangkan kualitas satu yang diperoleh dimanfaatkan untuk menghasilkan garam halus. Perusahaan pengolahan seringkali kesulitan
memperoleh bahan baku garam krosok kualitas satu sehingga alternatif yang digunakan untuk tetap memproduksi garam halus adalah dengan membeli garam
impor. Kelebihan garam impor dimana perusahaan tidak perlu lagi melakukan proses pengolahan seperti penyelipan dan pengovenan namun langsung dapat
dikemas. Namun kelebihan yang dimiliki dari garam impor tidak merubah komitmen responden perusahaan pengolahan di Rembang untuk lebih
mengutamakan garam lokal dibandingkan garam impor. Kesulitan lain untuk memperoleh kualitas satu adalah kurang baiknya proses grading yang dilakukan
pedagang perantara, sehingga pada saat bongkar muat pihak perusahaan sulit memisahkan garam yang berkualitas satu atau dua, akibatnya perusahaan
menetapkan harga beli garam kepada pedagang perantara berupa kualitas dua. Harga jual rata-rata garam krosok yang dibeli perusahaan pengolahan sebesar Rp
458 333 per tonnya. Berbeda dengan kemitraan yang berlaku antara pedagang perantara dengan petani dimana pedagang yang berhak menetapkan harga, namun
pada kemitraan antara pedagang dan pihak perusahaan terjadi kesepakatan harga berdasarkan kesepakatan penilaian mutu yang ditentukan bersama. Umumnya
perusahaan pengolahan bermitra dengan 5-6 pedagang perantara yang memasok garam krosok 20 hingga 30 ton perminggunya. Total pembelian garam responden
perusahaan pengolahan pertahunnya sebesar 4200 ton, sehingga rata-rata pengeluaran perusahaan untuk pembelian bahan baku garam krosok per tahunnya
mencapai Rp 1 925 000 000 72.62. Alokasi pembelian bahan baku garam merupakan pengeluaran terbesar dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan.
Komponen pengeluaran lainnya adalah pembelian iodium. Perusahaan seringkali kesulitan memperoleh iodium karena penyediaan ioduim diatur oleh
asosiasi yang tergabung dalam GAKY dan harganya cukup mahal, dimana harga untuk 1 kg iodium sebesar Rp 625 000. Setiap harinya pihak perusahaan
menggunakan 1 kg iodium yang disemprotkan ke garam yang telah melalui proses pencucian. Dalam satu tahun rata-rata perusahaan pengolahan membutuhkan
iodium sebesar 264 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian iodium dalam satu tahun sebesar Rp 165 000 000 6.22. Bahan baku yang juga sangat
diperlukan adalah plastik, kebutuhan plastik masing-masing perusahaan berbeda karena kemasan produk garam briket dan garam halus sangat beragam. Untuk
garam briket dikemas dalam ukuran 1 kg dan 2 kg, begitu juga dengan garam halus. Estimasi kebutuhan plastik perharinya sebanyak 5000 buah, sehingga
dalam setahun dibutuhkan 1.32 juta buah plastik dengan harga persatuan Rp 50, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pembelian plastik dalam satu tahun
sebesar Rp 66 000 000 2.49. Perusahaan pengolahan garam membutuhkan solar untuk digunakan dalam proses pemanasan oven dan menjalan mesin selip
setiap harinya sebesar 100 liter, sehingga dalam setahun total kebutuhan solar sebanyak 24 000 liter dengan harga solar Rp 4500 per liter maka perusahaan
mengeluarkan biaya untuk pembelian solar pertahunnya sebesar Rp 108 000 000 4.07.
Perusahaan pengolahan menerapkan upah yang berbeda bagi tenaga kerja berdasarkan tugas yang dijalankan. Upah dihitung berdasarkan jumlah hari kerja
dan dibayarkan setiap minggu. Mekanisme pengupahan berdasarkan jumlah hari kerja dianggap paling efektif karena banyaknya kegiatan sosial yang
menyebabkan sejumlah pekerja tidak masuk. Tenaga kerja yang bekerja di pabrik pengolahan garam sebagian besar adalah wanita dan merupakan istri petani
garam. Jumlah tenaga kerja laki-laki hanya sepertiga dari keseluruhan tenaga kerja yang bertugas dibagian pengovenan, penyelipan garam dan iodisasi. Jumlah
tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan garam briket 9.75 ton dan garam halus 1.50 ton sebanyak 30 orang terdiri dari 4 orang tenaga kerja
pencucian dan penyelipan, 2 orang tenaga kerja iodisasi, 9 orang tenaga kerja mencetak garam dengan mesin dimana 1 mesin pencetak dikelola 3 orang, 5
orang tenaga kerja yang mencetak garam secara manual, 4 orang bekerja di ruang pemanasan, 4 orang tenaga kerja pegemasan sekaligus pengepakan dan 2 orang
tenaga kerja pengawas sekaligus administrasi. Alokasi pengeluaran untuk upah tenaga kerja sebesar Rp 317 460 000 11. 98
Komponen biaya lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan meliputi pembayaran pajak bumi 0.01 dan bangunan, listrik 0.05, serta
pemeliharaan peralatan 0.94. Pemeliharaan peralatan menjadi hal yang sangat penting karena bahan baku garam yang berasal dari air laut menyebabkan mesin
sangat mudah berkarat atau rusak apabila tidak dirawat dengan baik. Sedangkan biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya penyusutan mesin dan peralatan
pengolahan sebesar Rp 42 479 167 1.60. Total biaya yang dikeluarkan oleh industri garam per tahunnya sebesar Rp 2 650 762 500. Secara rinci biaya
pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 11.
Hasil perhitungan pendapatan atas biaya total yang diperoleh perusahaan pengolahan garam setiap tahunnya sebesar Rp 1 667 437 500
dan nilai RC sebesar 1.63. Keuntungan relatif yang diperoleh jauh lebih besar dari pelaku usaha
lainnya karena perusahaan melakukan aktivitas penambahan nilai terhadap produk garam yang dihasilkan. Adanya peningkatan nilai tambah maka keuntungan yang
diperoleh akan semakin besar. Hasil perhitungan tingkat pendapatan perusahaan pengolahan garam dapat dilihat pada Tabel 16
Tabel 16 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari perusahaan pengolahan garam briket dan halus di Kabupaten Rembang
No Uraian
Satuan Nilai
1 Penjualan garam briket
tontahun 2 634
2 Harga jual garam briket
Rpton 1 100 000
3 Penjualan garam halus
tontahun 1184
4 Harga jual garam halus
Rptahun 1 200 000
5 Penerimaan
Rptahun 4 318 200 000
6 Biaya Total
Rptahun 2 650 762 500
7 Pendapatan atas biaya total
Rptahun 1 667 437 500
8 RC atas biaya total
1.63
Pendapatan Usaha Pedagang Pengumpul Besar
Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengguna garam, seperti industri pupuk, pakan ternak dan
pengasinan ikan. Bahan baku yang dibutuhkan sedikit berbeda dengan bahan baku yang ditawarkan pedagang perantara ke perusahaan pengolahan, terdapat
spesifikasi tertentu tergantung kebutuhan dari pelanggan. Garam yang dibeli dari pedagang perantara umumnya disimpan di gudang pengumpul besar dengan
kapasitas yang cukup besar. 2 responden pedagang pengumpul besar tidak memiliki gudang sendiri namun menyewa gudang milik pedagang perantara
dengan alasan pembelian garam oleh pihak konsumen tidak dilakukan secara kontinyu, sehingga dengan menyewa jauh lebih efesien. Proses pengiriman garam
biasanya dilakukan 1 bulan sekali selama musim garam 5bulan. Rata-rata penjualan garam dari pedagang pengumpul besar contoh pertahunnya sebesar 967
ton dengan harga rata-rata penjualan garam per tonnya mencapai Rp 666 667, sehingga rata-rata total penerimaan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya
sebesar Rp644 000 000.
Pedagang pengumpul besar memperoleh harga beli garam per tonnya dari pedagang perantara jauh lebih murah Rp 383 333 dibandingkan harga yang
ditawarkan ke pabrikan Rp 466 667, selisih harga ini disebabkan adanya perbedaan biaya distribusi dan pengemasan. Penjualan garam ke perusahaan
pengolahan mengeluarkan biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang industri serta biaya pembelian karung dan pengemasan, sementara penjualan
kepada pedagang pengumpul besar tidak perlu mengeluarkan biaya distribusi karena pihak pengumpul besar yang mengambil langsung dari gudang-gudang
pedagang perantara dan melakukan pengemasan sendiri. Selain itu adanya hubungan kekerabatan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul
besar maka marjin harga diusahakan seminim mungkin. Total pembelian garam rata-rata pedagang pengumpul besar contoh sebesar 1 083 ton per tahun. Sehingga
total biaya yang dikeluarkan unuk pembelian garam setiap tahun sebesar Rp 411 316 617 92.23. Dalam setiap kali proses pengiriman ke tujuan pemasaran,
pedagang pengumpul besar selalu mengalami risiko produksi berupa penyusutan bobot garam antara 10-15. Sehingga dari pengiriman 1 083 ton setelah sampai
ke konsumen bobot garam hanya sebesar 967 ton.
Biaya operasional lain yang dikeluarkan berupa biaya pembelian karung sebesar Rp 1 609 500 0.37, biaya pengangkutan dan pengemasan Rp 20 744
667 4.64, biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang pengumpul besar Rp 4 500 000 1.01. Biaya pengiriman dari Rembang ke tujuan pemasaran
yaitu industri pengguna pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan yang lokasinya berada diluar Kabupetan Rembang seluruhnya menjadi tanggung jawab pihak
pembeli. Pedagang pengumpul hanya mencari truk yang dapat disewa untuk pengiriman dan pembayaran atas sewa truk dibebankan pihak pembeli. Biaya
lainnya berupa biaya yang diperhitungkan berupa sewa gudang pedagang perantara sebesar Rp 7 000 000 pertahun dan biaya penyusutan peralatan Rp 1
533 333. Biaya total yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 438 974 167.
Pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 197 295 833 dengan keuntungan relatif yang diperoleh berdasarkan
RC sebesar 1.44. Apabila dibandingkan dengan keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara, maka pedagang perantara memiliki keuntungan
lebih baik. Risiko yang dihadapi pedagang pengumpul besar jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara. Umumnya pedagang pengumpul besar tidak
mengetahui secara pasti pihak pembeli, proses transaksi hanya berlangsung via telepon. Dengan jaminan kepercayaan pengumpul besar berani mengambil risiko
penjualan karena memperhitungkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Satu dari dua responden pedagang pengumpul besar pernah mengalami kerugian
hingga Rp 40 juta karena pihak pembeli tidak melunasi pembayarannya. Kekurangan lainnya adalah frekuensi pembelian yang tidak menentu setiap
bulannya, tidak seperti pembelian yang dilakukan perusahaan pengolahan yang melakukan pembelian garam secara kontinyu dan pasti dalam pembayarannya.
Analisis pendapatan yang diusahakan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 17, dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13.
Tabel 17 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang
No Uraian
Satuan Nilai
1 Penjualan garam
tontahun 967
2 Harga jual garam
Rpton 383 333
3 Penerimaan
Rptahun 644 000 000
4 Biaya Total
Rptahun 446 704 167
5 Pendapatan atas biaya total
Rptahun 197 295 833
6 RC atas biaya total
1.44
Berdasarkan nilai RC yang diperoleh, seluruh pelaku usaha dalam rantai nilai usaha garam rakyat menguntungkan dengan nilai RC1. Menurut
Soekartawi 2002 nilai RC 1 maka usaha tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat penggarap dan pemilik
lahan yang ikut menggarap lahannya merupakan pihak yang memperoleh keuntungan terkecil, sedangkan pemilik lahan dan pelaku usaha yang bergerak
dijalur pemasaran memiliki keuntungan lebih besar, terutama pada perusahaan pengolahan garam. Adanya peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan
yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara dan pengumpul besar yang tidak melakukan proses peningkatan nilai tambah.
Dalam kemitraan yang terjalin antara pelaku usaha garam rakyat, penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pihak yang mengalami
kerugian disebabkan tidak adanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan pembagian keuntungan yang lebih kecil. Kondisi
demikian menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin saat ini belum ideal karena belum adanya distribusi keuntungan yang merata. Perbandingan keuntungan
relatif antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupetan Rembang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Komparasi keuntungan relatif antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang
0.00 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20 1.40
1.60 1.80
Penggarap Pemilik
lahan Pemilik
lahan sekaligus
penggarap Pedagang
perantara Perusahaan
pegolahan Pedagang
Pengumpul besar
1.26 1.39
1.32 1.49
1.63 1.44
RC
Analisis Biaya Transaksi Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang
Biaya transaksi adalah biaya yang muncul karena adanya transfer kepemilikan. Biaya transaksi digunakan sebagai alat analisis untuk mengukur
efesien tidaknya desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi menunjukkan semakin tidak efesiennya kelembagaan
yang didesain. Menurut Yustika 2010, analisis ini dalam operasionalisasi masih mengalami hambatan karena belum adanya makna yang definitif dimana antar
ahli ekonomi kelembagaan memiliki pandangan yang berbeda dalam mengukur biaya transaksi.
Analisis yang digunakan untuk mengukur besaran biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku usaha garam rakyat meliputi 1 biaya
asimetris informasi yaitu apabila salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian dan penjualan potensial daripada yang lain dan
2 biaya penyimpangan yang muncul karena adanya moral hazard dan 3 Biaya implementasi atas kesepakatan kelembagaan dan biaya pengawasan North 1990,
Williamson 1981. Komponen biaya transaksi yang terdapat disetiap pelaku usaha garam rakyat yaitu :
Petani Penggarap
Kesepakatan kontrak bagi hasil yang dijalankan antara penggarap dan pemilik lahan tidak luput dari biaya transaksi. Dalam kesepakatan kontrak
penggarap memiliki kewajiban untuk memberikan seluruh hasil panennya kepada pemilik lahan dan pemilik lahan membayarkan setengah dari hasil panen.
Tertutupnya akses pasar oleh pemilik lahan dan posisi tawar yang lemah menyebabkan penggarap tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh harga
lebih baik. Informasi pasar yang terbatas yang diperoleh penggarap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk memberikan harga lebih rendah dari yang seharusnya
diterima. Harga garam rata-rata yang dibayarkan pemilik lahan kepada penggarap sebesar Rp 294 643 per tonnya sedangkan pemilik lahan dapat menjual garam
kepada pedagang perantara bisa mencapai Rp 350 000 per ton, selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang hilang karena adanya kontrak yang
dilakukan dengan pemilik lahan
.
Melalui pola bagi hasil maka penggarap menerima pembayaran setengah dari hasil panen, jumlah produksi per tahunnya
sebesar 62.5 ton dengan harga Rp 350 000 per ton maka total penerimaan sebesar Rp 21 875 000, sehingga penggarap seharusnya memperoleh penerimaan dari bagi
hasil maro sebesar Rp 10 937 500, namun faktanya responden penggarap hanya menerima sebesar Rp 9 207 589. Selisih penerimaan sebesar Rp 1 729 911
merupakan biaya transaksi yang diterima oleh penggarap karena adanya pemaksaan kontrak yang dilakukan dengan pemilik lahan.
Pemilik lahan
Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan, biaya asimetris informasi dan biaya
pengawasan. Biaya pelaksanaan kontrak yang harus dikeluarkan oleh petani adalah iuran bersama untuk menormalisasi saluran air. Ketersediaan air laut secara
kontinyu sangat penting pada usaha garam rakyat. Sebagai barang public air laut tidak bersifat komersial sehingga untuk memperolehnya tidak perlu mengeluarkan
sejumlah uang. Namun demikian penggunaan air laut yang berlebihan pada satu lokasi tambak garam dapat mengurangi aliran air laut bagi tambak garam lainnya
terutama pada lokasi tambak garam yang berada jauh dari laut. Oleh karena itu distribusi air laut perlu diatur agar semua tambak garam dapat teraliri air laut
secara baik. Pengaturan distribusi air laut sebagai bahan baku garam di kenal masyarakat petani garam di Kabupaten Rembang dengan kegiatan menormalisasi
saluran air. Pelaksanaan menormalisasi saluran air dimulai pada awal musim garam yaitu bulan April dan Mei. Biaya yang dikeluarkan untuk menormalisasi
saluran ini tidak murah karena perlu menyewa alat berat. Perhitungan biaya yang dikeluarkan berdasarkan luasan lahan tambak garam yang dimiliki. Untuk 1 Ha
lahan garam pemilik lahan dikenai iuran sebesar Rp2 000 000, sedangkan untuk penggarap diwajibkan membantu tenaga apabila diperlukan.
Kontrak bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan penggarap umumnya penggarap mengetahui secara teknis bagaimana menghasilkan garam dengan baik
dibandingkan pemilik lahan. Dalam kemitraan tersebut pemilik lahan menginginkan penggarap dapat menghasilkan kualitas satu untuk dapat
meningkatkan harga jual, namun penggarap tetap menghasilkan kualitas dua karena waktu panen lebih cepat. Untuk menghasilkan kualitas dua dalam satu
musim dapat melakukan 40 kali panen dengan hasil produksi 62.50 ton, sedangkan untuk menghasilkan kualitas satu hanya 35 kali panen dengan total
produksi 54.68 ton. Harga garam kualitas satu sebesar Rp 400 000 per tonnya sedangkan kualitas dua menghasilkan Rp 350 000. Selisih Rp 50 000 per tonnya
merupakan biaya oportunitas yang dimiliki oleh pemilik lahan. Penerimaan pemilik lahan kualitas dua sebesar Rp 10 156 250, sedangkan apabila
menghasilkan kualitas satu pemilik lahan dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp 10 937 500, sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan akibat
adanya kontrak dengan penggarap sebesar Rp 781 250.
Dalam implementasi kesepakatan kelembagaan, pemilik lahan mengeluarkan biaya negosiasi berupa pemberian pinjaman uang tunai kepada
penggarap dan penyediaan mesin diesel untuk meringankan tenaga penggarap dalam memproduksi garam. Pada awal persiapan musim garam petani penggarap
tidak memiliki pemasukan, sehingga bantuan finansial sangat dibutuhkan petani penggarap. Rata-rata pinjaman yang diberikan oleh responden pemilik lahan
sebesar Rp 545 000. Sedangkan penyediaan mesin diesel dibutuhkan oleh penggarap untuk menyedot air laut masuk kedalam petakan. Tanpa ketersediaan
mesin diesel petani sedianya dapat menggunakan kincir angin atau pompa manualebor. Menurut responden pemilik lahan, saat ini penggarap menuntut
ketersediaan mesin diesel dalam aktivitas produksi garam. Apabila tidak disediakan maka pemilik seringkali kesulitan memperoleh tenaga penggarap.
Biaya rata-rata yang dikeluarkan pemilik untuk mesin diesel sebesar Rp2 000 000 per unitnya.
Dalam pelaksanaan kontrak perlu dilakukan pengawasan supaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan yang telah dibuat dapat berjalan
optimal, artinya terhindar dari tindakan moral hazard atau perilaku opportunis penggarap. Pemilik lahan melakukan pengawasan dengan turun ke tambak sekitar
2 kali dalam sebulan. Untuk memperat jalinan kemitraan petani pemilik contoh mengeluarkan biaya rata-rata untuk rokok atau minum kurang lebih Rp45 000
untuk setiap kali pertemuan, sehingga masa produksi selama 6 bulan maka total
biaya yang dikeluarkan untuk pengawasan sebesar Rp540 000 permusim. Total biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan sebesar Rp 5 866 250 per tahun.
Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dapat dilihat pada Tabel 18
Tabel 18 Komponen biaya transaksi pemilik lahan
Komponen Biaya Transaksi Nilai
Rptahun a. Biaya asimetris informasi
781 250 13.32
b. Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan
- Pemberian pinjaman kepada penggarap
545 000 9.29
- Biaya menormalisasi saluran air
2 000 000 34.09
- Penyediaan mesin diesel
- Biaya pengawasan
2 000 000 540 000
34.09 9.21
Total 5 866 250
100.00
Pemilik lahan sekaligus penggarap
Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan dan biaya asimetris
informasi. Seperti halnya dengan pemilik lahan, biaya yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap untuk kegiatan menormalisasi saluran air
sebesar Rp2 000 000. Iuran ini menjadi kesepakatan kelembagaan bagi petani yang memiliki lahan, dengan perhitungan 1 hektar lahan dibebankan biaya sebesar
Rp 2 000 000.
Pemilik lahan sekaligus penggarap di Kabupaten Rembang menjual hasil panennya kepada pedagang perantara setiap satu atau dua minggu sekali. Kontrak
pemasaran yang dijalankan petani dengan pedagang perantara telah berlangsung cukup lama. Keberadaan pedagang perantara selain sebagai pelaku pemasaran
juga memberikan jaminan sosial pada saat petani menghadapi kesulitan finansial. Kondisi ini dengan mudah menciptakan ketergantungan antara petani garam
dengan pedagang perantara. Bentuk kompensasi dari ketergantungan ini adalah terciptanya kewajiban bagi petani untuk menjual garamnya kepada pedagang
perantara dengan harga yang ditetapkan pedagang perantara.
Kondisi asimetris informasi yang dihadapi pemilik lahan sekaligus penggarap dimanfaatkan oleh pedagang perantara dengan melakukan perilaku
oportunis yaitu dengan menetapkan harga dibawah harga jual garam yang seharusnya. Rata-rata harga garam responden pemilik lahan sekaligus penggarap
untuk kualitas 2 dibeli harga Rp304 167 per tonnya sedangkan harga jual garam maksimal yang bersedia dibayarkan pedagang perantara mencapai Rp350 000 per
ton. Dengan tingkat rata-rata produksi garam untuk 1 hektar lahan menghasilkan 66.67 ton permusimnya, maka total biaya transaksi yang dikeluarkan petani
pemilik sekaligus penggarap sebesar Rp3 055 566. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap dapat dilihat pada Tabel
19.
Tabel 19 Komponen biaya transaksi petani pemilik sekaligus penggarap
Komponen Biaya Transaksi Nilai
Rptahun -
Biaya asimetris informasi Selisih harga jual garam
3 055 566 60.44
- Biaya implementasi kesepakatan
kelembagaan Menormalisasi saluran air
2 000 000 39.56
Jumlah 5 055 566
100
Pedagang Perantara
Pedagang perantara merupakan pelaku ekonomi didalam usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang memiliki biaya transaksi terbesar karena proses
transaksi berlangsung dengan petani dan perusahaan pengolahan garam. Biaya transaksi atas implementasi dari kesepakatan kelembagaan dengan petani garam
berupa penyediaan gudang-gudang garam semi permanen berkapasitas 10 hingga 30 di lokasi sekitar tambak garam. Ketersediaan gudang akan memudahkan petani
dalam mengumpulkan hasil panen garam tanpa harus mengganggu proses kristalisasi garam berikutnya. Pedagang perantara membangun dua unit gudang
untuk satu desa dan bermitra dengan sejumlah petani yang tersebar di empat desa, sehingga total gudang yang dibangun mencapai 8 unit. Gudang tersebut dapat
dimanfaatkan setiap waktu oleh petani mitra. Biaya pembangunan satu unit gudang tidak permanen sebesar Rp 3 000 000, maka biaya yang dikeluarkan untuk
pembangunan gudang sebesar Rp 24 000 000
Biaya transaksi lainnya adalah uang pengikat transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berupa kemudahan pinjaman uang untuk awal persiapan
lahan yang diberikan kepada pemilik lahan atau pemilik lahan sekaligus penggarap. Rata-rata pinjaman responden pedagang perantara sebesar Rp730 000
per petani dan akan dibayarkan oleh petani dengan memotong hasil penjualan, namun terdapat beberapa responden pedagang perantara menyatakan bahwa
pinjaman tersebut tidak perlu dibayarkan namun terdapat kesepakatan untuk menjual garam hanya kepada pedagang perantara tersebut. Setiap satu orang
pedagang perantara melakukan mitra minimal dengan 10 orang petani maka biaya transaksi yang harus dikeluarkan sebesar Rp7 300 000.
Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang perantara karena adanya kontrak kemitraan dengan perusahaan pengolahan garam meliputi biaya asimetris
informasi dan biaya implementasi kesepakatan kelembagaan. Biaya asimetris informasi berupa tidak lengkapnya informasi atas kualitas garam yang diinginkan
perusahaan, menyebabkan penilaian atas kualitas 1 yang ditetapkan oleh pedagang perantara tidak diterima oleh perusahaan pengolah, pihak perusahaan menilai
garam yang diterima merupakan kualitas 2. Selisih harga garam kuliatas 1 dan 2 dikisaran Rp 50per kg. Jika diasumsikan setengah dari total garam yang dijual ke
peusahaan diasumsikan pedagang perantara sebagai kualitas 1, maka kerugian yang diterima pedagang perantara terhadap 1083 ton sebesar Rp 27 075 000.
Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Komponen biaya transaksi pedagang perantara
Komponen Biaya Transaksi Nilai
Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan
- Pembangunan fasilitas gudang
24 000 000 41.11
- Pemberian pinjaman modal
7 300 000 12.51
Biaya asimetri informasi -
Penetapan kualitas garam 27 075 000
46.38 Total
58 375 000 100.00
Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus
Biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan garam briket dan halus untuk tetap berproduksi dan melaksanakan kontrak kerja adalah
dengan membayar pengurusan produk garam berstandar nasional setiap 3 tiga tahun sekali. pembayaran untuk SNI sebesar Rp5 000 000, biaya ijin usaha yaitu
pengurusan SIUP sebesar Rp350 000 per 5 lima tahun serta biaya perpanjangan merk dagang sebesar Rp 3 000 000 per tahunnya.
Untuk tetap menjalin hubungan kemitraan dengan pedagang perantara secara berkelanjutan, perusahaan pengolahan membantu kemudahan pinjaman
tanpa bunga kepada para pedagang perantara. Sedianya pedagang perantara dapat mengakses pinjaman dari lembaga pembiayaan namun prosedur peminjaman dan
besarnya bunga pinjaman dirasakan sangat memberatkan. Kondisi ini dimanfaatkan pihak perusahaan untuk memberikan bantuan modal sehingga dapat
mengikat kerjasama dengan pedagang perantara. Nilai pinjaman pedagang pengumpul kecil responden kepada pihak perusahaan rata-rata sebesar Rp4 333
333 per pedagang perantara. Setiap perusahaan pengolahan garam minimal memiliki 5 pedagang perantara maka biaya transaksi yang dikeluarkan untuk
melanggengkan kontrak dengan para perantara sebesar Rp 21 666 667.
Biaya transaksi terbesar yang dikeluarkan pihak perusahaan adalah tindakan moral hazard berupa plagiat merek dagang yang dilakukan oleh
perusahaan pesaing yang berada diluar Kabupaten Rembang. Plagiat merek dagang diterima tiga dari empat responden perusahaan pengolahan di Rembang.
Adanya kemiripan merek diduga menyebabkan turunnya omset perusahaan mencapai Rp100 000 000 pertahunnya. Kemiripan merk dagang dilakukan oleh
perusahaan pengolahan yang berada di luar Kabupetan Rembang sangat merugikan pihak perusahaan.
Kegiatan pengawasaan dilakukan oleh pihak industri dengan melakukan pemantauan pada saat terjadi bongkar muat yang dilakukan pihak pedagang
perantara di gudang, namun tidak ada biaya yang dikeluarkan. Biaya transaksi untuk pengawasan adalah dengan menyertakan staf pabrik untuk ikut dalam
distribusi garam olahan ke agen. Pengawasan sangat diperlukan karena perilaku moral hazard dalam setiap proses pengiriman seringkali terjadi, seperti menjual
sejumlah kecil garam briket atau halus yang bukan tujuan pasar atau ketidak tepatan waktu pengiriman sesuai kesepakatan. Biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan pengolahan untuk setiap transaksi jula beli ke agen dan pengecer diperkirakan Rp 1 000 000. Dalam setahun proses pengiriman berlangsung 12
kali dengan 3 wilayah pemasaran, sehingga total biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengawasan sebesar Rp36 000 000. Komponen biaya transaksi yang
dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Komponen biaya transaksi perusahaan pengolahan
Komponen Biaya Transaksi Nilai
Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan
- Pemberian pinjaman ke perantara
21 666 667 13.05
- Pembayaran SNI
5 000 000 3.01
- Pembayaran SIUP
- Perpanjangan merk
350 000 3 000 000
0.21 1.08
Biaya penyimpangan -
Plagiat merek dagang 100 000 000
60.23 Biaya pengawasan
36 000 000 21.68
Total 166 016 667
100.00
Pedagang Pengumpul Besar
Proses transaksi antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara berjalan dengan baik. Dalam menentukan harga jual garam berdasarkan
kesepakatan bersama, masing-masing pihak memiliki informasi yang baik mengenai harga dan kualitas garam yang ditransaksikan. Kondisi ini mampu
meminimalisir biaya asimetris informasi. Perilaku opportunis dan penyimpangan lainnya juga dapat dihindari karena baik pedagang perantara maupun pedagang
pengumpul besar saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang spesifik.
Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar diperoleh dari proses transaksi dengan pelanggan industri pengguna garam.
Ketidaklengkapan informasi yang diperoleh menyebabkan kesepakatan yang dibuat tidak sempurna. Khusunya pada informasi jenis kualitas yang diinginkan
pelanggan dan dampaknya turunnya harga beli garam dari kesepakatan yang telah dibuat. Biaya transaksi yang dikeluarkan karena adanya asimetris informasi
diasumsikan oleh responden pedagang pengumpul besar sebesar Rp 10 000 000
berupa kerugian yang diterima atas impelementasi kesepakatan kontrak yang dilakukan dengan pihak pembeli yaitu pembayaran atas garam oleh pembeli
sesuai dengan bobot timbangan yang dihitung oleh pihak pembeli. Dalam proses pengiriman terjadi penyusutan bobot garam hingga 10. Pada saat garam akan
dikirim ke pelanggaan berat garam sebesar 1073 ton, namun setelah sampai di gudang pelanggan terjadi penyusutan bobot garam garam hanya sebesar 906 ton.
Dengan harga jual garam untuk industri pengguna sebesar Rp 666 667, maka kerugian akibat penyusutan bobot garam yang dimiliki pengumpul besar
mencapai Rp 71 333 333. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Komponen biaya transaksi pedagang pengumpul besar
Komponen Biaya Transaksi Nilai
Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan
- Penyusutan bobot garam
71 333 333 87.70
Biaya asimetris informasi 10 000 000
12.30 Total
81 333 333 100.00
Setiap organisasibisnis berusaha menciptakan kondisi dimana setiap pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya
transaksi yang ekonomis dan efisien Yustika, 2010, untuk mengetahui tingkat efisiensi ekonomi dari pelaksanaan kontrak pemasaran antara pelaku usaha garam
rakyat di Kabupaten Rembang menggunakan nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan petani
merupakan pelaku usaha yang memperoleh rasio terbesar, artinya bahwa interaksi ekonomi yang terjadi antara penggarap dengan pemilik lahan dan pemilik lahan
sekaligus penggarap dengan pedagang pengumpul besar kurang efisien seperti pada transaksi ekonomi yang berlangsung antara pedagang perantara dengan
pihak perusahaan pengolahan yang memiliki nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan yang rendah.
Tabel 23 Rasio biaya transaksi – penerimaan usaha garam rakyat
No Pelaku Usaha
Garam Rakyat Biaya Transaksi
Rptahun Penerimaan
Rptahun Rasio Biaya
Transaksi - Penerimaan
1 Petani Penggarap
1 729 911 9 207 589
0.19 2
Petani pemilik 5 866 250
10 156 250 0.38
3 Petani penggarap sekaligus
pemilik 5 055 556
20 277 778 0.25