Analisis Marjin Pemasaran Contract Farming, menggambarkan perjanjian pasokan yang disepakati antara

Proses produksi garam di Kabupaten Rembang sangat mengandalkan sinar matahari, sehingga proses produksi hanya berlangsung pada saat musim kemarau yaitu pada bulan Juli hingga November. Teknologi yang digunakan juga sangat sederhana tanpa sentuhan teknologi tinggi seperti kincir angin dan ebor untuk memindahkan air dari petakan ke petakan yang lain, silinder atau gilidan yang digunakan untuk mengeraskan meja garam dan garuk yang digunakan dalam proses pemanenan. Satu-satunya alat mekanis adalah mesin diesel yang digunakan petani untuk menyedot air laut dari saluran air agar bisa masuk kedalam petak penampungan. Aktifitas produksi garam dimulai dengan menormalisasikan saluran dari laut, kemudian dengan memanfaatkan mesin diesel, air laut ditarik untuk masuk kedalam petakan-petakan. Petakan dibagi menjadi 3 bagian yaitu petakan penampung air, petakan peminihan untuk mengalirkan air tua dan petakan meja garam yang digunakan untuk proses kristalisasi garam. Petakan peminihan dibagi lagi menjadi 6-8 petak dan petakan meja garam sebanyak 6-8 petak dengan asumsi satu lahan garapan seluas 1 ha. Untuk mengalirkan air antar petakan masing-masing petani menggunakan alat yang berbeda. Petani di wilayah Lasem menggunakan pipa paralon dengan ukuran 2 dim dan 1 dim, petani di Dusun Dresikulon Kaliori menggunakan selang, dan petani di Dusun Puworejo menggunakan bambu atau hanya sekedar lubang untuk saluran air. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor modal yang dimiliki masing-masing petani. Proses pembuatan garam diawali dengan memasukan air laut kedalam kolam penampungan melalui mesin diesel, kemudian air laut dialirkan kedalam kolam peminihan selama 10 hari hingga mencapai 22 Be kemudian dialirkan ke meja garam untuk proses kritalisasi garam. Apabila sampai dengan 10 hari kadar NaCL air belum mencapai 22 Be maka air dialirkan kembali kesaluran air dan masuk kembali ke kolam peminihan. Garam yang telah mencapai kadar 28 Be siap dipanen. Air tua yang memiliki salinitas lebih dari 29 Be merupakan limbah dan dibuang. Alat pengukur kadar garam dengan menggunakan Beumemeter. Untuk mengalirkan air dari saluran air peminihan ke meja garam menggunakan kincir angin, namun sebagian kecil petani garam menggunakan peralatan ebor seperti timba. Lamanya proses persiapan hingga proses pemanenan berlangsung kurang lebih selama 1 bulan, dimana persiapan saluran dan petakan sekitar 14 hari, proses peminihan berlangsung selama 10 hari dan proses kristalisasi garam berlangsung antara 3 hingga 7 hari. Setelah itu panen dapat berlangsung 3-4 hari dengan mengatur jadwal panen per petakan meja garam. Proses produksi garam dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Proses produksi garam di Kabupaten Rembang. Pompa untuk menyedot air laut dari saluran Bak penampungan air laut Waduk untuk pengendapan partikel lumpur salinitas 3-3,5 Be Kolam peminihan 1 untuk pengendapan CO2 lumpur salinitas 3-3,5 Be Kolam Peminihan 2 untuk pengendapan Ca salinitas 15 Be Kolam kristalisasi garam 1 salinitas 25 Be Kolam kristalisasi garam 2 salinitas 28 Be Air bitter senyawa Mg dibuang salinitas 29 Be Proses produksi ini telah dilakukan secara turun temurun. Penerapan teknologi baru seperti geomembran masih dirasakan belum diperlukan bagi petani contoh. Dari 30 responden petani hanya 3 orang yang mengetahui informasi terkait manfaat geomembran, sisanya belum pernah mendengar. Dari 3 orang yang mengetahui geomembran menyatakan bahwa teknologi tersebut tidak diperlukan karena yakin bahwa jumlah garam yang dihasilkan sangat tergantung cuaca dan kualitas yang dihasilkan sangat tergantung oleh kualitas lahan dan lamanya hari panen. Sedangkan bagi petani contoh yang baru mendengar geomembran tidak begitu tertarik untuk mengetahui lebih mendalam manfaat teknologi tersebut karena menganggap proses produksi yang telah dilakukan selama turun temurun sudah cukup baik. Gambar 8 Lahan garam di Kabupaten Rembang. Produksi garam di Kabupaten Rembang untuk 1 ha lahan garapan menghasilkan 1-2 ton perharinya. Umumnya petani menghasilkan garam kualitas 2 yang diistilahkan oleh para petani adalah jenis UP yaitu umum putih sedangkan untuk garam kualitas 1 dikenal sebagai garam premium. Hanya sedikit petani yang bersedia memproduksi garam dengan kualitas 1. Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh petani contoh untuk lebih memilih memproduksi kualitas 2 yaitu 1 karena petani membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, apabila memproduksi kualitas 1 membutuhkan waktu selama 5 hingga 7 hari baru bisa panen, sedangkan untuk menghasilkan kualitas 2 cukup membutuhkan 3 hingga 4 hari untuk panen, 2 Selisih harga jual yang tidak terlalu besar, harga garam kualitas 1 dengan kualitas 2 hanya selisih sekitar 40-50 rupiah, sehingga tidak memberikan insentif bagi petani untuk tertarik menghasilkan kualitas 1, 3 kualitas lahan garapan, jika lahan garam memiliki dasar berpasir maka mudah untuk menghasilkan kualitas 1 sedangkan untuk lahan garap dengan dasar lahan tanah sangat tidak memungkinkan untuk menghasilkan garam dengan kualitas 1. Dari 30 petani garam yang digunakan sebagai responden diketahui kualitas garam yang dihasilkan petani contoh sebagian besar adalah kualitas 2 dan hanya 2 orang yang menghasilkan kualitas 1. Perbedaan antara kualitas 1 dan 2 yaitu pada besaran butiran garam, kejernihan warna garam dan jumlah kandungan NaCL dan air. Tabel 3 menunjukkan perbedaan kualitas garam yang dihasilkan oleh petani dengan garam berstandar nasional Tabel 3 Perbedaan kualitas garam Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 Total produksi garam di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar 163 487.43 ton. Produksi terbesar adalah kecamatan Kaliori sebesar 100 855.9 ton, diikuti Kecamatan Lasem sebesar 44 668.42 ton, Rembang sebesar 34 446.1 ton, Sarang 4 044 ton dan Sluke 2 517.5 ton. Berdasarkan data tahunan produksi garam pada tahun 2012 diketahui produksi garam baru dihasilkan pada bulan Juli hingga November sedangkan pada bulan desember hingga juni garam tidak diproduksi. Hal ini disebabkan aktivitas produksi garam sangat tergantung oleh cuaca, sehingga proses produksi hanya bisa berlangsung pada musim kemarau. Gambar 9 memperlihatkan bahwa panen raya di Kabupaten Rembang terjadi pada bulan Agustus dengan total produksi mampu mencapai 53 574.67 ton. Produksi garam yang dihasilkan petani berupa garam krosok tanpa melalui proses pengolahan. Gambar 9. Data produksi garam tahun 2012 di Kabupaten Rembang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang 2012 10000 20000 30000 40000 50000 60000 T o ta l p ro d u k si g a ra m to n Bulan produksi garam tahun 2012 No Uraian SNI KP1 Garam Rakyat KP2 1 Visual a. Bentuk Kristal Besar Kecil-Besar b. Keselarasan Keras Rapuh-Cukup Keras c. Warna Putih Putih agak buram Putih Kekuningan 2 Komposisi a. NaCL 94.7 80-95 b. Air 7 7-11 c. As ppm 0.1 na d. Hg ppm 0.1 na e. Cu ppm 10 na f. Pb ppm 10 na Aktivitas Pengolahan Garam di Kabupaten Rembang Proses pengolahan garam baru dilakukan pada saat garam masuk ke pabrik. Garam krosok yang dihasilkan petani diolah menjadi garam briket dan halus melalui beberapa tahapan. Untuk menghasilkan garam briket tahap awal garam dicuci hingga 3 kali dengan tujuan bahan baku garam menjadi bersih dan warna menjadi lebih putih, kemudian ditiriskan, setelah garam agak kering dengan kadar air sekitar 5 hingga 7 persen kemudian dimasukkan ke mesin penyelipan yang berfungsi untuk menghaluskan garam, setelah garam menjadi halus di semprotkan yodium secara merata. Pemberian yodium menjadi syarat wajib bagi industri garam konsumsi dengan ketentuan minimum yodium 30ppm. Setelah itu garam dicetak, ada dua tehnik pencetakan yaitu pencetakan dengan menggunakan mesin dan pencetakan dengan alat cetak manual yang terbuat dari baja. Cetakan dengan mesin mampu memproduksi garam briket 10 kali lipat dibandingkan secara manual. Rata-rata produksi garam briket per hari dengan menggunakan mesin mampu mengolah hingga 10 ton bahan baku garam, sedangkan garam yang dicetak manual hanya mencapai 1 ton per hari. Beberapa perusahaan yang masih menggunakan cetakan manual menyebutkan bahwa cetakan manual masih dipertahankan karena keterbatasan mesin yang dimiliki. Garam yang telah dicetak kemudian dipanaskan melalui oven. Proses pemanasan bertujuan untuk memanaskan garam sehingga menghilangkan kadar air dalam garam. Untuk menghasilkan garam halus tahapannya hampir sama, perbedaan hanya pada oven yang digunakan. Pada garam briket oven yang digunakan merupakan bangunan bata berukuran 4m 2 yang dipanaskan dengan api, sedangkan untuk garam halus menggunakan alat pemanas khusus yang terbuat dari tembaga berbentuk cerobong. Setelah proses pemanasan garam siap dikemas dan dipasarkan. Proses pembuatan garam dapat dilihat pada Gambar 10 . Gambar 10. Proses pembuatan garam briket di Kabupaten Rembang Kabupaten Rembang memiliki 5 perusahaan pengolahan garam yang seluruhnya berlokasi di Kecamatan Kaliori. Ke lima perusahaan tersebut menghasilkan garam briket dan halus. Tiga perusahaan terbesar adalah PT. Apel Merah, PT. Garam Mas dan PT. Ndandut Ria dengan kapasitas produksi masing- masing sebesar 50 tonhari, sedangkan PT. Sukamaju dan PT. Finaba Mandiri memiliki kapasitas produksi sebesar 25 tonhari. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di Kabupaten Rembang cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan saat ini hanya terdapat 5 perusahaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang 2012. Kapasitas produksi dari masing-masing perusahaan pengolahan Garam dicuci dan ditiriskan Garam dihaluskan dengan mesin selip Garam disemprotkan yodium Garam dicetak dengan mesin pencetak alat cetak manual Garam dipanaskan dengan oven untuk mengurangi kadar air Garam siap dikemas garam briket dan halus yang terdapat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kapasitas produksi perusahaan pengolahan garam briket dan halus Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas Produksi PT. Apel Merah Desa Purworejo, Kec Kaliori 50 tonhari PT. Garam Mas Desa Tambakagung, Kec Kaliori 50 tonhari PT. Ndandut Ria PT. Suka Maju Desa Purworejo, Kec Kaliori Desa Purworejo, Kec Kaliori 50 tonhari 25 tonhari PT. Finaba Mandiri Desa Dresi Kulon, Kec Kaliori 25 tonhari Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013 Gambar 11. Produk garam briket dan halus Aktivitas Pemasaran Garam Rakyat Saluran pemasaran garam melibatkan enam lembaga pemasaran yaitu penggarap, pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus penggarap, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar. Masing-masing lembaga pemasaran melakukan fungsi pemasaran yang berbeda. Fungsi pemasaran merupakan aktivitas-aktivitas yang ditampilkan oleh perusahaan atau organisasi ketika menciptakan nilai value secara spesifik untuk produk atau jasa yang ditawarkannya. Menurut Kohls dan Uhl 2002 fungsi pemasaran dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran pembelian, penjualan, fungsi fisik pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan fungsi fasilitas standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, informasi pasar. Pada petani garam terdapat fungsi pertukaran yaitu penjualan dan fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko apabila cuaca tidak mendukung maka bisa saja terjadi gagal panen seperti pada tahun 2010. Fungsi penanggungan biaya juga dialami oleh petani yang meminjam uang kepada pedagang pengumpul, dimana petani harus membayar pinjamannya walaupun tanpa bunga namun petani harus menerima harga jual garam dibawah harga yang seharusnya diterima. Selanjutnya, fungsi fasilitas lainnya yaitu informasi pasar berupa harga. Petani mendapatkan informasi harga dan kebutuhan garam oleh pasar dari petani lainnya. Informasi ini berguna untuk menentukan harga penjualan garam. Pedagang perantara melakukan seluruh fungsi pemasaran yaitu fungsi pertukaran jual-beli, fungsi fisik yaitu melakukan proses penyimpanan garam digudang sampai pada kuantitas tertentu baru dilakukan pengangkutan ke gudang milik perusahaan pengolahan. Terdapat penanggungan risiko yaitu pedagang memiliki penanggungan risiko atas garam yang disimpan digudang dengan penyusutan berat hingga 10 persen. Fungsi fasilitas lainnya yang dilakukan pedagang adalah dengan melakukan sortasi standarisasi atas produk yang dibeli dari para petani, sortasi atas kualitas ini dilakukan berdasarkan permintaan dari konsumen yaitu perusahaan pengolahan garam maupun pedagang besar. Sedangkan informasi pasar atas harga dan kualitas diperoleh dari sesama pedagang maupun industri, informasi ini sangat berguna untuk mengetahui peluang pasar. Fungsi pemasaran dari pedagang perantara hampir sama dengan pedagang besar. Fungsi pemasaran pada perusahaan pengolahan meliputi fungsi pertukaran, yaitu dengan membeli bahan baku berupa garam krosok dari pedagang perantara dan menjual garam briket dan halus kepada agen. Selanjutnya untuk fungsi fisik perusahaan pengolahan melakukan proses pengolahan garam krosok menjadi garam briket atau halus, kemudian garam olahan tersebut sebagian besar didistribusikan kepada agen dan sebagian disimpan. Untuk fungsi fasilitas pihak perusahaan juga melakukan standarisasi atas produk yang dihasilkan, selain itu juga perusahaan menanggung risiko, apabila hasil pengecekan oleh Tim pemeriksan garam konsumsi beryodium GAKY, garam yang dihasilkan mengandung yodium kurang dari 30 ppm maka harus ditarik dari pasaran sedangkan untuk produk yang disimpan di gudang apabila lebih dari seminggu maka garam briket bisa remuk sehingga tidak laku dijual. Sedangkan untuk informasi pasar pihak perusahaan pengolahan memperoleh dari para agen untuk menentukan waktu penjualan dari garam briket atau halus tersebut. Tabel 5 memperlihatkan fungsi pemasaran dari masing-masing lembaga pemasaran. Tabel 5 Fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran garam Lembaga Pemasaran Fungsi Pemasaran Keterangan a. Petani Fungsi pertukaran Fungsi fasilitas Penjualan Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar b. Pedagang perantara Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Pembelian dan penjualan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar c. Pedagang besar Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Pembelian dan penjualan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar d. Perusahaan pengolahan Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Pembelian dan penjualan Pengolahan Pengangkutan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan risiko Informasi pasar Karakteristik Pelaku Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah i petani, ii pedagang perantara, iii pedagang pengumpul besar, iv perusahaan pengolahan garam. Berdasarkan teori kontrak agen Furubothn dan Ritcher 2000 1 petani merupakan agen, pedagang pengumpul besar dan perusahaan pengolahan merupakan prinsipal, sedangkan pedagang perantara merupakan mitra antara yang bertindak sebagai prinsipal pada hubungan tingkat pertama dan menjadi agen pada hubungan tingkat kedua. Karakteristik Petani Garam di Kabupaten Rembang Total petani contoh sebanyak 30 orang terdiri dari 4 pemilik lahan, 12 pemilik lahan sekaligus penggarap dan 14 orang adalah penggarap. Responden petani diambil dari 3 kecamatan yaitu Kaliori, Lasem dan Rembang. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat produksi yang relatif tinggi dibandingkan Kecamatan lainnya, selain itu lokasi industri pengolahan garam menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini responden diambil dari 3 kecamatan terbesar yaitu Kecamatan Kalori dengan Desa Tambakagung, Dresikulon, Dresiwetan, Tasikharjo dan Purworejo, untuk Kecamatan Lasem penelitian dilakukan di Desa Gedongmulyo, Dorokandang dan Dasun dan di Kecamatan Rembang dilakukan di Desa Punjulharjo. Tabel 6 memperlihatkan jumlah responden petani garam berdasarkan lokasi penelitian. Tabel 6 Jumlah responden petani garam dan lokasi penelitian No. Kecamatan Desa Pemilik lahan Penggarap Pemilik lahan sekaligus penggarap 1. Kaliori Purworejo 4 2 3 Dresikulon 2 1 Tambakagung 1 1 Tasikharjo 2 Dresiwetan 2 2 . Lasem Gedungmulyo 2 2 Tasiksono 2 2 Dorokandang 1 1 Dasun 1 3 Rembang Punjulharjo 1 Jumlah 4 14 12 Mayoritas 60 umur petani contoh berada pada usia diatas 50 tahun. Temuan ini memperkuat fenomena yang umum disinyalir bahwa telah terjadi pergeseran budaya dimana petani didominasi oleh penduduk tua, jika pun terdapat usia muda jumlahnya sangat sedikit dan biasanya karena terpaksa atau tidak ada 1 Teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan layanan yang diinginkan prinsipal alternatif pekerjaan lain 2 . Hasil diskusi dengan petani contoh menyimpulkan sebagian besar pemuda didesanya lebih memilih untuk menjadi buruh bangunan atau buruh ke kota-kota besar dibandingkan menjadi petani penggarap. Proses untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi pengetahuan dan teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Petani pemilik contoh yang menyerahkan sepenuhnya lahannya kepada penggarap umumnya adalah pengusaha atau perangkat pemerintah dengan tingkat pendidikan SMA dan S1, sedangkan pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. Sedangkan penggarap memiliki tingkat pendidikan SMP dan SD. Berdasarkan tingkat pengalaman kerja, 70 persen petani responden telah bekerja sebagai petani garam lebih dari 10 tahun. Bagi usaha tambak garam rakyat, lahan merupakan investasi yang paling penting karena menyangkut keberlangsungan usaha. Lahan memiliki fungsi penting bagi petani karena selain sebagai faktor produksi yang memberikan keamanan jangka panjang bagi keluarga namun juga merupakan bagian dari status sosial. Di Kabupaten Rembang status sosial sangat berkorelasi positif dengan status ekonomi. Petani yang memiliki lahan garam 1 ha pada umumnya memiliki kemampuan ekonomi yang baik sehingga dalam masyarakat memiliki status sosial yang tinggi dan pengelolaan lahan dilakukan oleh penggarap, sedangkan pemilik lahan sempit dengan luasan 1 ha menggarap lahannya sendiri dengan dibantu satu orang penggarap. Secara umum identitas petani garam dapat digambarkan berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan yang dimiliki petani dapat dilihat pada Tabel 7 Tabel 7 Identitas responden petani garam di Kabupaten Rembang No. Keterangan Jumlah Petani Orang Persentase 1. Kelompok Umur Tahun 25-39 4 13.33 40-49 8 26.67 50 18 60.00 Jumlah 30 100 2. Tingkat Pendidikan SD 11 36.67 SMP 11 36.67 SMA 6 20.00 S1 2 6.67 Jumlah 30 100 3. Pengalaman Usaha Tambak garam Tahun 10 9 30.00 10 21 70.00 Jumlah 30 100 4. Luas lahan Petani Ha 14 46.67 0.5 - 1.0 12 40.00 1.0 4 13.33 Jumlah 30 100 2 Dananjoyo Kusumo. Indonesia hadapi krisis petani muda. http :www.jurnas.com. diunduh [19 juli 2011] Para petani garam umumnya memiliki profesi sampingan, karena aktifitas garam hanya dilakukan pada bulan Mei sampai dengan November. Gambar 12 menunjukkan bahwa dari 30 petani contoh diketahui sebanyak 4 orang bekerja sebagai petani tebu, 1 orang sebagai eksportir rajungan, 11 orang merupakan nelayan, 8 orang merupakan petani sawah dan 3 orang bekerja sebagai pembudidaya ikan bandeng. Sisanya 3 orang yang semuanya merupakan petani pemilik bekerja sebagai perangkat desa. Sebagian besar petani contoh mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan aktifitas sampingan yang mereka geluti, usaha tambak garam jauh lebih menguntungkan, namun karena usaha tersebut sangat tergantung musim maka untuk menutupi biaya hidup para petani garam harus melakukan usaha sampingan diluar musim kemarau. Gambar 12 Persentase pekerjaan sampingan petani garam Karakteristik Pedagang Perantara Pedagang perantara merupakan mitra antara yang berperan mendistribusikan bahan baku garam krosok ke perusahaan pengolahan garam briket atau ke pedagang pengumpul besar. Didalam satu kecamatan umumnya terdapat 2-3 orang pedagang perantara. Responden yang menjadi pedagang perantara berusia antara 40 sampai 50 tahun dan memiliki pengalaman selama 6 sampai 20 tahun dengan tingkat pendidikan beragam SD,SMP dan SMA. Dalam aktivitas pengumpulan garam, pedagang memiliki tenaga kerja tidak tetap sebanyak 2 hingga 3 orang. Pedagang perantara juga memiliki petani mitra tetap sebagai sumber bahan pasokan garam. Rata-rata jumlah petani yang telah bekerjasama sebanyak 10 sampai 15 orang per kecamatan. Dari 6 orang pedagang perantara contoh menyatakan memilih menjadi pedagang perantara karena melihat besarnya keuntungan yang diperoleh tanpa harus mengeluarkan investasi dan biaya operasional yang besar. Masing-masing pedagang perantara memiliki wilayah pembelian masing-masing, antara satu pedagang dengan pedagang lainya tidak bisa saling berpindah petani. Terdapat hambatan masuk bagi pedagang baru kecuali pedagang tersebut bekerjasama terlebih dahulu dengan pedagang yang sudah lama. Seperti halnya dengan petani, para pedagang perantara ini memiliki profesi yang berbeda setelah musim produksi garam berakhir yaitu menjadi pedagang pengumpul untuk komoditas yang berbeda seperti ikan dan padi. Petani Tebu 13 Eksportir rajungan 3 Nelayan 37 Petani sawah 27 Pembudidaya bandeng 10 Perangkat desa 10 Karakteristik Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Perusahaan pengolahan garam contoh diambil 4 unit dari 5 unit perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Rembang yaitu PT. Apel Merah PT. Garam Mas, PT. Ndandut Ria dan PT. Suka Maju. Perusahaan pengolahan garam pertama kali berdiri adalah PT Garam Mas yang berdiri pada tahun 1969, kemudian PT Apel Merah berdiri pada tahun 1993, PT. Ndandut Ria pada tahun 2002, dan terakhir adalah PT Suka Maju yang baru berdiri pada tahun 2011. Sebelum mendirikan usaha pengolahan garam, keempat pemilik usaha ini mengakui bergerak terlebih dahulu sebagai pedagang perantara kemudian tertarik untuk meningkatkan nilai tambah atas produk garam setelah mengetahui kebutuhan pasar atas produk garam briket dan garam halus. Keempat perusahaan pengolahan di Kabupaten Rembang memproduksi garam briket dan halus. Proses pengolahan keempat perusahaan kurang lebih sama, alat yang digunakan juga sama, tidak terdapat teknologi terbaru untuk mengolah garam krosok menjadi produk garam briket dan halus. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki PT Ndandut Ria dan PT Garam Mas masing-masing sebanyak 30 orang, sedangkan PT Apel merah memiliki tenaga kerja sebanyak 39 orang dan PT Sukamaju sebanyak 23 orang. Tingkat produksi garam per hari masing-masing perusahaan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Profil perusahaan pengolahan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang No Nama Perusahaan Tahun berdiri Jumlah Produksi tonhari Jumlah Garam Briket Garam Halus Tenaga Kerja orang 1 PT. Ndandut Ria 2002 9 1 30 2 PT. Garam Mas 1969 10 5 30 3 PT. Apel Merah 1993 10 5 39 4 PT. Sukamaju 2011 10 1 23 Masing-masing perusahaan memiliki pasar yang berbeda, PT Apel Merah memasarkan produknya ke wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Lampung dan pasar tradisional di wilayah Rembang, sedangkan PT. Ndandut Ria memasarkan produk garamnya ke Ambarawa, Sragen, Lamongan dan Purwakarta dan PT Sukamaju memasarkan produknya ke wilayah Bandung, Jakarta dan Lampung. Rata-rata total penjualan garam industri ke masing-masing wilayah pemasaran berkisar 20 ton per minggu Karakteristik Pedagang Pengumpul Besar Jumlah pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang sangat terbatas, jumlahnya kurang lebih 5 orang. Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna garam seperti untuk industri pupuk, industri pakan ternak dan industri pengolahan ikan yang lokasinya berada di luar Kabupaten Rembang. Pedagang pengumpul besar memperoleh garam dari para pedagang perantara dengan jenis dan mutu yang berbeda. Kualitas garam yang dipasarkan sangat tergantung permintaan konsumen, dimana untuk industri pupuk dan pakan ternak lebih mengutamakan garam dengan butiran besar tapi tidak terlalu mempermasalahkan warna garam, namun berbeda dengan industri pengasinan ikan yang meminta garam dengan butiran halus, putih dan masih mengandung kadar air yang tinggi. Jumlah responden pedagang pengumpul besar sebanyak 2 orang dengan tingkat pendidikan adalah SMA. Satu orang responden pedagang pengumpul besar adalah wanita yang telah bekerja sebagai pengumpul besar lebih dari 10 tahun. Dari pedagang pengumpul besar contoh teridentifikasi adanya saling kerjasama antara pedagang pengumpul besar untuk saling membantu memenuhi kebutuhan pelanggannya dan berusaha menghambat adanya pemain baru untuk bisa masuk kedalam pasar. Hambatan ini berupa sulitnya memperoleh garam dari pedagang perantara maupun dari petani langsung bagi pemain baru, masing- masing pelaku yaitu petani maupun pedagang perantara telah menjalin kerjasama yang kuat dengan para pedagang pengumpul besar. 6 KARAKTERISTIK KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG Kemitraan antara pelaku pasar pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang terjadi dalam tiga tingkatan yaitu antara penggarap dengan pemilik, pemilik lahanpemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam atau dengan pedagang pengumpul besar yang menyuplai garam ke industri pengguna garam industri pupuk, industri pakan ternak dan pengolahan ikan. Analisis karakteristik kelembagaan meliputi identifikasi model kelembagaan kemitraan yang terjalin, aturan yang dipergunakan formal dan informal dan identifikasi konflik serta analisis perilaku oportunis pasca kontrak Kemitraan Penggarap dengan Pemilik Lahan Bentuk kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan berupa sistem bagi hasil maro 1:1 dengan mekanisme seluruh hasil panen yang dihasilkan penggarap diberikan kepada pemilik lahan, dan pemilik lahan membayar setengah dari hasil produksi. Harga jual garam ditentukan oleh pemilik lahan. Kesepakatan kontrak yang diatur dalam sistem bagi hasil maro yaitu pemilik lahan memiliki kewajiban untuk menyediakan segala keperluan peralatan untuk memproduksi garam mesin diesel, silindergilidan, garuk, kincir angin serta mengeluarkan alokasi biaya untuk menormalisasi saluran air. Sedangkan penggarap memiliki kewajiban untuk mempersiapkan petakan peminihan dan meja kristalisasi, mengelola lahan sampai pada proses pemanenan. Pemilik lahan memiliki hak untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan proses produksi yang dilakukan oleh penggarap agar hasil produksi sesuai dengan target yang diharapkan. Sedangkan penggarap memiliki hak untuk mempergunakan waktu sesuai kebutuhan, tidak ada aturan baku berapa jam perhari penggarap harus berada di lahan garam. Model kontrak bagi hasil maro antara penggarap dengan pemilik lahan telah berlangsung cukup lama 3 tahun. Kemitraan antara penggarap dengan pemilik lahan diperkuat dengan adanya pemberian pinjaman uang tunai oleh pemilik lahan kepada penggarap pada saat persiapan lahan, yaitu sekitar bulan Mei-Juni. Pinjaman ini digunakan oleh penggarap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pada saat persiapan lahan garam, penggarap belum memiliki pendapatan. Penggarap akan melunasi pinjaman pada saat menerima pembayaran bagi hasil dari pemilik. Kemudahan atas pinjaman uang tunai pada saat yang dibutuhkan menyebabkan penggarap memiliki ketergantungan yang tinggi dengan pemilik lahan. Ketergantungan ini menciptakan posisi tawar pemilik lahan lebih baik dibandingkan penggarap. Usaha garam tidak luput dari risiko produksi maupun risiko pemasaran. Dalam menghadapi risiko produksi terdapat pembagian risiko yang adil antara pemilik lahan dan penggarap, apabila terjadi penurunan tingkat produksi karena faktor natural hazard seperti cuaca maka risiko tersebut dibebankan bersama, namun dalam menghadapi risiko pemasaran berupa harga garam yang fluktuatif dibebankan sepenuhnya kepada penggarap. Pemilik lahan menetapkan harga beli kepada penggarap dengan harga terendah pada saat transaksi berlangsung, sedangkan pemilik lahan menghindari risiko dengan menyimpan hasil panen dan menjualnya pada saat harga garam lebih baik. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani dengan pemilik lahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara petani penggarap dengan pemilik lahan No Uraian Sistem Kontrak 1 Model kontrak Bagi hasil maro penerimaan hasil panen dibagi 50 untuk pemilik lahan dan 50 untuk penggarap 2 Perjanjian Tidak Tertulis 3 Aturan main Hak-Kewajiban - Pemilik lahan memiliki hak menjual seluruh hasil panen dan mendapatkan 50 dari hasil penjualan - Penggarap memiliki hak menerima 50 dari hasil penjualan - Pemilik lahan berkewajiban menyediakan peralatan produksi yang dibutuhkan penggarap - Penggarap berkewajiban mengelola lahan pemilik sampai proses pemanenan 4 Pola interaksi Kesepakatan harga Harga garam ditentukan oleh pemilik lahan Kesepakatan jumlah Jumlah produksi 1.5-2 ton perhektar per panen Kesepakatan mutu Memproduksi garam kualitas 1 dan 2 Informasi asimetris Informasi tidak sepadan antara penggarap dan pemilik lahan Pembagian risiko Risiko produksi dibagi bersama, risiko harga dibebankan sepenuhnya ke penggarap Perilaku oportunis - Penggarap menghasilkan garam kualitas 2 karena kebutuhan - Pemilik lahan menetapkan harga jual garam lebih rendah 5 Mekanisme penegakan Sanksi sosial Kelembagaan yang diatur dalam sistem bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis atau bersifat informal dan tidak memiliki mekanisme penegakan sehingga sangat mudah munculnya perilaku oportunis. Perilaku oportunis pasca kontrak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara penggarap dan pemilik lahan. Misalnya kepentingan dari pemilik lahan adalah menginginkan memanen garam dalam waktu 5-7 hari sehingga dapat menghasilkan kualitas 1, namun penggarap hanya memanen selama 3-4 hari tanpa seijin pemilik lahan sehingga menghasilkan kualitas 2. Pemanenan awal dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Semua petani penggarap contoh 100 mengakui bahwa pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diperoleh dengan memanen garam lebih cepat. Sebaliknya perilaku oportunis juga diterima penggarap dalam bentuk bagi hasil yang rendah, dimana petani penggarap menerima harga jual garam lebih rendah dari harga yang diterima pemilik dari pedagang perantara. Mekanisme penegakan atas pelanggaran yang dilakukan berupa sanksi sosial yaitu apabila penggarap melakukan tindakan moral hazard maka tidak akan ada yang mau memperkerjakannya sebagai penggarap sebaliknya jika pemilik yang berbuat curang maka tidak ada penggarap yang mau mengelola lahannya. Kemitraan Pemilik Lahan dengan Pedagang Perantara Bentuk kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara berupa kontrak Pemasaran dengan mekanisme pedagang perantara membeli garam dari pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan kontrak yang meliputi jumlah produk, kualitas dan waktu pembelian. Dalam setiap transaksi pemilik lahan tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya tersebut biaya pengemasan dan pengangkutan dibebankan kepada pedagang perantara. Proses transaksi berlangsung setiap dua minggu sekali, dimana pedagang perantara mendatangi gudang-gudang pemilik lahan yang berlokasi disekitar tambak garam. Proses penentuan harga garam disepakati bersama, namun bagi pemilik lahan yang memiliki pinjaman modal kepada pedagang perantara umumnya memperoleh harga sedikit lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang. Bagi pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan hutang dapat menjual garam dengan harga Rp 350 000 per ton, sedangkan bagi pemilik lahan yang memiliki ikatan hutang, harga jual garam hanya berkisar Rp 300 000 per ton. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan permodalan digunakan sebagai strategi bagi pedagang perantara untuk melemahkan posisi tawar. Kondisi asimetris informasi juga dihadapi oleh pemilik lahan. Informasi yang seringkali terlambat diperoleh menyebabkan pemilik lahan bersedia menerima harga garam lebih rendah dari yang seharusnya dimiliki. Begitu juga dengan penentuan kualitas garam, pedagang perantara lebih mendominasi dalam menentukan kualitas dari garam yang dijual karena keterbatasan informasi yang dimiliki pemilik lahan dalam menentukan kualitas garam yang dihasilkan. Pemilik lahan contoh mengungkapkan bahwa seringkali pedagang perantara tidak menyepakati garam yang dijual pemilik lahan dengan kualitas1, namun dinilai sebagai kualitas2. Kemitraan yang selama ini berjalan bersifat informal, setiap kesepakatan dibuat secara lisan. Dalam kemitraan yang berjalan tidak terdapat konflik, masing-masing pelaku usaha berusaha menjaga hubungan sehingga terjadi ikatan kerjasama yang baik. Perilaku oportunis terjadi pada pemilik lahan yang memiliki hutang yaitu dengan menjadikan hutang sebagai alat untuk menekan harga beli garam. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan dengan pedagang perantara No Uraian Sistem Kontrak 1 Model kontrak Kontrak pemasaran 2 Perjanjian Tidak Tertulis 3 Aturan main - Pemilik lahan dan pedagang perantara sama-sama memiliki hak menetukan harga jual dan kualitas garam - Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan biaya pengemasan dan pengangkutan 4 Pola interaksi Kesepakatan harga ada, harga garam ditentukan oleh bersama Kesepakatan jumlah Ada, disesuaikan kebutuhan pedagang perantara dengan tingkat produksi garam oleh petani Kesepakatan mutu Ada, seringkali tidak sesuai kesepakatan Informasi asimetris Ada, informasi lengkap dimiliki perantara Pembagian risiko Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke pemilik lahan Perilaku oportunis Hasil timbangan yang dilakukan pedagang perantara lebih kecil daripada hasil timbangan pemilik lahan 5 Mekanisme penegakan Sanksi sosial Kemitraan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap dengan Pedagang Perantara Pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan definisi yang melekat bagi petani yang memiliki lahan garam sempit 1Ha dan ikut menggarap lahannya sendiri. Kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara berupa kontrak pemasaran. Pemilik lahan menjual garam kepada pedagang perantara dengan harga ditetapkan pedagang perantara. Transaksi pemasaran berlangsung seminggu sekali dan dilakukan di lahan tambak petani maupun digudang-gudang milik petani. Dalam transaksi pemasaran, pemilik lahan sekaligus penggarap tidak mengeluarkan biaya pemasaran, namun biaya tersebut biaya pengemasan dan pengangkutan dibebankan kepada pedagang perantara. Kontrak pemasaran antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara berlangsung secara informal dan tidak secara eksplisit tertulis baik mengenai proses transaksi maupun perjanjian lainnya, namun aturan-aturan yang menjadi hak dan kewajiban kedua pihak telah diketahui secara luas dan disepakati secara konsesus bersama. Dalam kontrak pemasaran tidak terdapat aturan terkait syarat mutu dan penetapan harga garam. Penilaian mutu ditentukan secara visual oleh pedagang perantara dan dari hasil penilaian tersebut akan menentukan harga garam. Pembayaran oleh pedagang perantara dilakukan secara tunai maupun tempo setelah diperoleh estimasi hasil secara visual berdasarkan kualitas dan hasil timbangan. Hal ini menunjukan bahwa pemilik lahan sekaligus penggarap tidak memiliki posisi tawar untuk menentukan kualitas dan harga garam yang akan dijual kepada pedagang perantara. Kondisi ini disebabkan adanya ikatan kerjasama yang kuat dimana pedagang perantara memberikan pinjaman yang dibutuhkan pada saat mengalami masalah finansial dan pinjaman tersebut akan dibayarkan pada saat panen, maka secara moral petani berkewajiban menjual hasil panen kepada pedagang perantara tersebut. Dilain pihak walaupun memperoleh pinjaman tanpa bunga namun secara implisit petani mengalami kerugian dimana pedagang perantara dapat menekan harga serendah mungkin. Hasil penelitian menunjukkan responden pemilik lahan sekaligus penggarap yang memiliki ikatan pinjaman dengan pedagang perantara memperoleh harga rata-rata sebesar Rp 304 167 per ton. Adanya asumsi perilaku bounded rasionality menyebabkan petani tetap mempertahankan kerjasama yang ada saat ini meskipun beberapa kali mengalami tindakan moral hazard. Perilaku oportunis yang dilakukan oleh pedagang perantara berupa hasil perhitungan timbangan garam yang tidak sesuai dengan berat sebenarnya maupun harga jual garam yang relatif lebih rendah dibandingkan harga yang sebenarnya. Dari hasil wawancara dengan petani pemilik sekaligus penggarap 12 orang yang bekerjasama langsung dengan pedagang perantara terungkap sebanyak 2 orang atau 16.67 persen responden petani berkeinginan untuk beralih kepada perantara lain yang bisa membeli dengan harga lebih baik, sisanya sudah merasa cukup puas telah bekerjasama dengan pedagang perantara tersebut. Pada saat panen raya umumnya pedagang perantara melakukan pembelian garam sebanyak-banyaknya untuk sebagian disimpan dan akan dijual kembali pada saat tidak musim garam. Hal ini dilakukan dengan dalih menjaga harga garam agar tidak jatuh pada saat panen raya, namun pada kenyataannya kegiatan penimbunan sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan berlipat pada saat ketersediaan garam langka. Pengalaman di tahun 2010 kegiatan penimbunan garam menjadikan pedagang pengumpul kaya raya, karena harga garam melonjak 4 kali lipat yaitu mencapai Rp. 1200 pada saat terjadi kelangkaan ketersediaan garam Dinas Perikanan Kabupaten Rembang, 2013. Pemilik lahan sekaligus penggarap maupun pedagang perantara yang melanggar kesepakatan tidak dikenakan sanksi dalam bentuk uang, namun mendapatkan sanksi sosial berupa reputasi yang buruk, apabila pemilik lahan sekaligus penggarap tidak melunasi pinjaman maka sanksi berupa tertutupnya akses pasar kepada pedagang perantara manapun, sedangkan bagi perantara yang melakukan kecurangan maka petani secara berkelompok akan menolak kehadiran pedagang perantara tersebut dan beralih ke pedagang lainnya. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara Pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 11 Tabel 11 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara No Uraian Sistem Kontrak 1 Model kontrak Kontrak pemasaran 2 Perjanjian Tidak Tertulis 3 Aturan main - Petani memiliki hak untuk menjual garam dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan petani - Petani berkewajiban menjual garam kepada pedagang perantara yang memberikan pinjaman modal - Pedagang perantara memiliki hak menetukan harga jual garam berdasarkan penilaian secara visual atas kualitas garam yang dihasilkan petani - Pedagang perantara berkewajiban mengeluarkan biaya pengemasan dan pengangkutan 4 Pola interaksi Kesepakatan harga Tidak ada, harga garam ditentukan oleh pedagang perantara Kesepakatan jumlah Tidak ada, tergantung hasil produksi petani Kesepakatan mutu Tidak ada, tergantung hasil produksi petani Informasi asimetris Informasi yang dimiliki pedagang perantara lebih baik Pembagian risiko Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke petani Perilaku oportunis - Pedagang perantara menetapkan harga jual garam lebih rendah kepada petani yang memiliki ikatan pinjaman - Jumlah bobot garam yang ditimbang oleh pedagang perantara lebih kecil dibandingkan hasil timbangan petani - Penilaian kualitas secara visual yang tidak jujur, menurut petani menghasilkan kualitas 1, namun pedagang perantara menilainya sebagai kualitas 2 - Pedagang perantara melakukan penimbunan garam pada saat panen raya dan akan dijual pada saat garam langka untuk memperoleh keuntungan lebih besar 5 Mekanisme penegakan Sanksi sosial Kemitraan Pedagang Perantara dengan Perusahaan Pengolahan Kontrak yang terjalin antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan garam briket dan halus berupa kontrak pemasaran. Pedagang perantara melakukan 4 kali transaksi penjualan garam per bulan ke perusahaan. Rata-rata penjualan garam setiap kali transaksi sekitar 30 hingga 40 ton. Peran pedagang perantara sangat penting bagi perusahaan karena memasok kebutuhan bahan baku garam secara kontinyu. Kemitraan yang terjalin antara pihak pedagang perantara contoh dengan perusahaan pengolahan cukup lama yaitu lebih dari 10 tahun. Masing-masing perusahaan memiliki pedagang perantara tertentu, tidak semua pedagang perantara di Rembang dapat memasok ke perusahaan, karena adanya faktor kepercayaan yang kuat sehingga sulit bagi pemain baru bermitra dengan pihak perusahaan. Seperti halnya kemitraan dengan pelaku usaha garam lainnya, kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolahan dilakukan secara informal dan tidak ada aturan tertulis, kelembagaan yang ada saat ini merupakan hasil kesepakatan yang telah lama disetujui oleh kedua belah pihak. Kesepakatan kontrak yaitu perusahaan memiliki hak untuk menentukan kualitas garam yang diterima dari pedagang perantara dan berdasarkan kualitas tersebut pihak perusahaan dapat menentukan harga beli garam. Penetuan harga dan kualitas dilakukan oleh manajer operasional atau pemilik pada saat bongkar muat digudang pabrik. Seluruh biaya pemasaran berupa biaya pengemasan, pengangkutan, distribusi dari gudang pedagang perantara ke gudang pabrik menjadi tanggung jawab pedagang perantara sedangkan biaya bongkar muat dari truk ke gudang pabrik menjadi tanggung jawab pihak perusahaan. Sebelum dilakukan proses transaksi jual beli, umumnya pihak perusahaan pengolahan menentukan permintaan bahan baku garam berdasarkan kuantitas, kualitas dan waktu pengiriman, setelah itu pihak pedagang perantara akan mengirimkan sampel garam kepada perusahaan dan melakukan kesepakatan harga, jika perusahaan menyepakati sampel yang dikirim maka pedagang perantara akan mengirimkan sesuai kuantitas dan waktu yang telah disepakati dan menerima harga yang telah disepakati, namun apabila kualitas garam yang dikirim tidak sesuai dengan sampel yang disepakati maka pihak perusahaan berhak menolak membeli atau menentukan secara sepihak harga beli garam tersebut. Pedagang perantara menghadapi risiko produksi maupun harga, pada saat harga garam rendah pedagang perantara tetap secara kontinyu memasok bahan baku ke industri untuk menjaga kerjasama supaya dapat berkelanjutan, sedangkan risiko produksi yang dihadapi berupa penyusutan bobot garam yang disimpan lama digudang. Pada saat panen raya pedagang perantara akan membeli sebanyak- banyaknya garam dari petani, namun penyimpanan garam lebih dari 3 bulan digudang akan terjadi penyusutan bobot garam hingga 10 persen. Sebagai upaya menjaga kemitraan bisa berlangsung kerkelanjutan maka pihak industri berusaha memberikan jaminan\pemasaran diantaranya adalah penawaran berupa pengunaan sarana gudang untuk penyimpanan garam bila diperlukan oleh pedagang perantara dan kemudahan pinjaman tanpa bunga. Pembayaran pinjaman dilakukan dengan memotong hasil penerimaan pada saat transaksi penjualan garam. Adanya pinjaman memperkuat ikatan kerjasama dan menyebabkan pedagang perantara tidak memiliki pilihan untuk beralih ke industri pengolahan lain. Hasil identifikasi atas perilaku oportunis dan konflik tidak ditemukan, perusahaan sebisa mungkin menjaga hubungan kerjasama secara baik dengan pedagang perantara dan sebisa mungkin keputusan bisnis disepakati bersama. Sanksi yang diberikan kepada pedagang perantara yang melanggar kesepakatan adalah sanksi sosial berupa pemutusan hubungan kerjasama. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolah dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan perusahaan pengolah garam briket dan halus No Uraian Sistem Kontrak 1 Model kontrak Kontrak pemasaran 2 Perjanjian Tidak Tertulis 3 Aturan main - Pedagang perantara memiliki hak menetapkan kualitas dan harga garam yang akan dijual dan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku garam perusahaan pengolahan secara kontinyu dan betanggung jawab atas biaya pengiriman ke gudang pabrik - Perusahaan pengolahan memiliki hak yang sama dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh hasil pembelian garam secara tunaitempo sesuai kesepakatan 4 Pola interaksi Kesepakatan harga ada, harga garam sesuai kesepakatan Kesepakatan jumlah ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan Kesepakatan mutu ada, tergantung permintaan perusahaan pengolahan Informasi asimetris Tidak ada, perusahaan memberikan informasi secara langsung kepada pedagang perantara Pembagian risiko Risiko produksi dan risiko harga dibebankan sepenuhnya ke pedagang perantara Perilaku opportunis Tidak ada 5 Mekanisme penegakan Sanksi sosial Kemitraan Pedagang Perantara dengan Pedagang Pengumpul Besar Kemitraan yang berlangsung antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar berupa kontrak pemasaran. Seperti kontrak yang dilakukan dengan pelaku usaha lainnya bahwa kontrak yang ada bersifat informal berupa aturan main yang disepakati bersama. Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku ke pedagang pengumpul besar sangat tergantung pada kesepakatan yang dilakukan. Hal ini disebabkan bahan baku garam bersifat spesifik karena sangat tergantung pada tujuan pasar. Tujuan pasar dari pedagang pengumpul besar adalah industri pengguna garam seperti industri pupuk, pakan ternak dan industri pengasinan ikan, sehingga garam yang ditawarkan berbeda dengan garam yang dikirim ke industri pengolahan. Secara spesifik garam yang dibutuhkan untuk industri pengasinan ikan harus memiliki warna putih, butiran garam yang kecil dan mengandung kadar air tinggi, sedangkan untuk industri pakan ternak, jenis garam yang dibutuhkan tidak memperhatikan warna dan butiran garam yang besar. Kesulitan yang seringkali dihadapi pedagang perantara untuk memasok ke pedagang pengumpul adalah tidak semua hasil produksi petani sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan pedagang pengumpul besar. Penetapan harga garam disepakati bersama, posisi tawar antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara seimbang, karena tidak adanya ikatan berupa pinjaman uang maupun hubungan kekerabatan. Keduanya memiliki informasi pasar yang baik, sehingga kesepakatan yang dibuat diusahakan memberikan keuntungan yang proporsional. Perilaku oportunis seminimal mungkin dihindari dan tidak pernah terdapat konflik selama kemitraan tersebut dilakukan. Sanksi atas penyimpangan kesepakatan berupa pemutusan kontrak kerjasama. Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar ditunjukka pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik kelembagaan kemitraan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar No Uraian Sistem Kontrak 1 Model kontrak Kontrak pemasaran 2 Perjanjian Tidak Tertulis 3 Aturan main - Pedagang perantara memiliki hak menetapkan harga garam yang dijual dan memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku garam yang dibutuhkan pengumpul besar - Pedagang pengumpul besar memiliki hak yang sama dalam menetapkan kualitas dan harga beli garam dan memiliki kewajiban membayar seluruh hasil pembelian garam secara tunai 4 Pola interaksi Kesepakatan harga ada, harga garam sesuai kesepakatan Kesepakatan jumlah ada, tergantung permintaan pedagang pengumpul Kesepakatan mutu ada, tergantung permintaan pengumpul Informasi asimetris Tidak ada, pedagang pengumpul dan pedagang perantara memiliki informasi yang sepadan Pembagian risiko Tidak ada Perilaku opportunis Tidak ada 5 Mekanisme penegakan Pemutusan kontrak kerjasama Hasil analisis karakteristik kelembagaan kemitraan antara pelaku usaha dapat disimpulkan bahwa terdapat dominasi partisipan yang bermitra dimana kekuatan dari salah satu pihak yaitu pemilik lahan, pedagang perantara dan perusahaan pengolahan menyebabkan posisi tawar yang tidak seimbang. Ketersediaan akses pasar dan permodalan kepada pihak mitranya tidak pada tataran kesadaran yang saling menguntungkan, bahkan bantuan modal yang senantiasa diberikan justru dijadikan sebagai strategi untuk mengikat mitra sehingga terbentuk ketergantungan. 6. KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT DI KABUPATEN REMBANG Analisis ini ditujukan untuk membuktikan apakah kemitraan usaha garam rakyat yang berjalan saat ini memiliki kinerja yang menunjukkan tercapainya efisiensi bagi para pelaku yang terlibat. Analisis kinerja kelembagaan kemitraan terdiri dari analisis pendapatan, analisis ekonomi kelembagaan dan kinerja pemasaran. Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Usaha garam rakyat merupakan mata pencaharian utama mayarakat pesisir di Kabupaten Rembang. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan garam, agen dan pengecer serta pedagang pengumpul besar. Pada penelitian ini lingkup rantai nilai hanya meliputi petani garam, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar Pendapatan Usaha Petani garam Pendapatan petani garam dibedakan atas pendapatan pemilik lahan sekaligus penggarap dan pendapatan pemilik lahan yang melakukan bagi hasil dengan penggarap. Pendapatan merupakan hasil akhir yang diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam usahanya. Oleh karena itu petani harus mampu melakukan tindakan efisiensi dalam menggunakan sumberdaya dimana total penerimaan harus melebihi dari total pengeluaran. Penerimaan yang diperoleh petani garam merupakan nilai dari total produksi garam yang dihasilkan petani dalam satu musim 6 bulan dengan asumsi luasan lahan per 1hektar. Dalam menganalisis penerimaan petani garam asumsi yang digunakan bahwa garam yang dihasilkan petani seluruhnya dijual. Petani menjual dengan bentuk garam krosok. Kualitas yang dihasilkan petani sebagian besar adalah kualitas 2, sehingga dalam analisis ini penjualan garam berupa garam kualitas 2. Berdasarkan data yang diperoleh, hasil panen rata-rata yang diperoleh responden pemilik lahan sekaligus penggarap pada musim garam yaitu bulan Juli hingga November 2012 5 bulan sebesar 66.67 ton per hektar. Tingkat produksi rata-rata sekali panen 1.67 ton per hektar dan dalam satu musim panen dapat dilakukan sebanyak 40 kali panen. Tingkat harga rata- rata garam yang diperoleh pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp304 167per ton sehingga total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 20 277 778. Total pengeluaran dalam satu musim sebanyak Rp 15 368 679 yang terdiri dari pembuatan saluran dan tanggul 12.74, tenaga kerja pengelolaan lahan 46.36, tenaga kerja pemanenan 12.62, pembelian solar 12.09, pajak lahan 0.72, pemeliharaan peralatan 5.75 dan biaya penyusutan gudang dan peralatan 9.72. Total pendapatan yang diperoleh responden petani pemilik sekaligus penggarap contoh permusimnya sebesar Rp4 909 099. Secara rinci analisis pendapatan petani pemilik sekaligus penggarap dapat dilihat pada Lampiran 5 Penerimaan yang diperoleh pemilik lahan yang melakukan pola kerjasama bagi hasil dengan penggarap menerima bagian 1:1. Berdasarkan data responden penggarap rata-rata tingkat produksi garam sebesar 1.56 ton per panen per hektar dengan jumlah panen dalam satu musim sebanyak 40 kali sehingga total produksi garam permusimnya yang diperoleh penggarap sebesar 62.50 ton. Pemilik lahan menetapkan harga beli garam kepada penggarap sebesar Rp 294 643 sehingga total penerimaan yang diperoleh penggarap sebesar Rp 18 415 179, dengan sistem bagi hasil maka penggarap harus menyerahkan setengah penerimaanya kepada pemilik lahan, sehingga penerimaan yang diperoleh hanya sebesar Rp 9 207 589. Total pengeluaran yang dibebankan penggarap terdiri dari pembayaran 1 orang tenaga kerja yang membantu penggarap mengelola lahan 25.83, pembelian solar untuk menjalankan mesin diesel yang berguna untuk mengalirkan air laut dari saluran ke petakan 6.75 dan biaya pemeliharaan peralatan 4.51. Biaya pengeluaran terbesar adalah nilai bagi hasil yang diberikan kepada pemilik lahan 62.91. Pendapatan rata-rata responden petani penggarap sebesar Rp 3 779 687 per musimnya. Analisis pendapatan petani penggarap dapat dilihat pada Lampiran 7. Pemilik lahan memperoleh penerimaan jauh lebih besar dari penggarap yaitu Rp 20 312 500, hal ini disebabkan pemilik memperoleh nilai jual garam ke pedagang perantara lebih besar dibandingkan nilai penjualan yang diperoleh penggarap dari pemilik lahan. Rata-rata penjualan garam dari responden pemilik sebesar Rp 325 000 per tonnya. Posisi tawar yang dimiliki pemilik lahan kepada pedagang perantara jauh lebih baik karena tidak adanya ikatan hutang, pemilik lahan bisa memilih pedagang perantara yang mau menawarkan harga lebih tinggi. Pengeluaran yang dibebankan pedagang pemilik terdiri dari pengeluaran untuk menormalisasi saluran air 13.72, pajak lahan 0.74, pembayaran bagi hasil untuk penggarap 63.17, pembelian solar 6.78 dan biaya penyusutan 15.59. Pengeluaran atas pembelian solar diasumsikan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap. Pendapatan rata-rata yang diperoleh pemilik lahan setiap tahunnya sebesar Rp 5 737 201. Analisis pendapatan pemilk lahan dapat dilihat pada Lampiran 7. Selisih biaya yang dikeluarkan petani pemilik maupun petani penggarap tidak berbeda jauh karena dalam sistem bagi hasil, pemilik hanya menyerahkan tanggung jawab kepada satu orang penggarap untuk mengelola lahan hingga pemanenan, namun untuk mengelola 1 hektar lahan penggarap tidak bisa bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan 1 orang tenaga kerja tambahan untuk membantunya selama persiapan hingga pemanenan kurang lebih 6 bulan. Upah kerja atas tenaga kerja tambahan menjadi tanggung jawab dari penggarap itu sendiri. Umumnya tenaga kerja tersebut masih merupakan kerabat atau tetangga terdekat. Pembayaran upah dilakukan pada saat penggarap menerima bagi hasil dari pemilik lahan. Analisis pendapatan petani garam dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis pendapatan atas biaya total petani garam di Rembang No Uraian Satuan Petani Pemilik sekaligus penggarap Petani penggarap Petani Pemilik lahan 1 Produksi tonha musim 66.67 62.50 62.50 2 Harga jual garam Rpton 304 167 294 643 325 000 3 Nilai Produksi Rpmusim 20 277 778 18 415 179 20 312 500 4 Biaya Total Rphamusim 15 368 679 14 635 492 14 575 299 5 Pendapatan Rptahun 4 909 099 3 779 687 5 737 201 6 RC 1.32 1.26 1.39 Tabel 14 memperlihatkan pendapatan terkecil diperoleh penggarap dan pendapatan terbesar diterima oleh pemilik lahan. Dengan pendapatan penggarap hanya sebesar Rp 3 779 687 maka dalam 1 musim 6 bulan pendapatan petani penggarap hanya sebesar 629 948 per bulan. Nilai ini masih jauh dari standar UMR Kabupaten Rembang pada tahun 2012 sebesar Rp 816 000. Hasil ini memperkuat pendapat Satria 2011 yang menyatakan petani garam hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan tingkat pendapatan tersebut sulit bagi petani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk juga untuk pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh petani disebabkan harga jual garam yang sangat rendah ditingkat petani. Adanya asimetris informasi terutama informasi harga dan perilaku oportunis dari pelaku pasar menyebabkan pasar gagal memberikan distribusi pendapatan yang adil kepada petani garam. Adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan harga dasar garam untuk kualitas dua sebesar Rp 550 000 perton tidak berjalan efektif di Kabupaten Rembang, faktanya harga rata-rata garam kualitas dua ditingkat petani di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 hanya sekitar Rp 300 000 hingga Rp 350 000 per tonnya. Tidak efektifnya penerapan harga dasar di Kabupetan Rembang disebabkan belum adanya kelembagaan yang mampu mengontrol harga garam dan lemahnya pengawasan dan mekanisme penegakansanksi bagi pelaku pasar. Saat ini harga garam ditentukan penuh oleh pelaku yang bergerak dijalur pemasaran. Berdasarkan tingkat keuntungan relatif dilihat dari nilai RC seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, dimana masing-masing petani memperoleh keuntungan, namun keuntungan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diterima pelaku usaha lainnya. Keuntungan terkecil diperoleh penggarap dan keuntungan terbesar diperoleh pemilik lahan. Setiap pengeluaran yang dilakukan masing-masing petani sebesar Rp 1000 maka penggarap memperoleh penerimaan sebesar Rp 1 260, pemilik lahan sebesar Rp Rp 1 390 dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar Rp 1 320. Komparasi keuntungan dari ketiga petani garam dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang dilakukan antara pemilik lahan dengan penggarap belum memberikan keuntungan yang proporsional karena keuntungan yang diterima penggarap lebih kecil dibandingkan pemilik lahan. Sementara bagi pemilik lahan sekaligus penggarap memiliki keuntungan lebih rendah dibandingkan pemilik lahan yang tidak menggarap lahannya, karena adanya ikatan pinjaman sehingga pedagang perantara mampu menekan harga, sedangkan bagi pemilik lahan tidak adanya ikatan pinjaman memberikan kekuatan tawar yang jauh lebih baik dan dapat memilih pembeli yang mau membeli garam dengan harga lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa dalam mata rantai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang, penggarap merupakan pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan baru berikutnya petani yang memiliki lahan sempit yang menggarap lahannya sendiri dan pemilik lahan. Penggarap sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan kepada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun pemilik lahan sekaligus penggarap hanya dapat menjual pada pedagang perantara tertentu dan pedagang tersebut cenderung menentukan harga secara sepihak. Pendapatan Usaha Pedagang Perantara Pedagang perantara memasok kebutuhan bahan baku dari petani ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Umumnya 1 orang pedagang perantara bekerjasama dengan 10-15 petani yang berada di 2-3 desa. Pedagang perantara contoh membeli garam langsung ditambak-tambak petani atau gudang petani setiap 4-5 kali dalam sebulan selama musim panen garam 5 bulan. Rata-rata total penjualan garam yang dilakukan pedagang perantara pertahunnya sebesar 1083 ton dengan harga rata-rata penjualan pedagang perantara contoh ke perusahaan pengolahan sebesar Rp458 333 per ton, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh per tahunnya sebesar Rp 496 375 000. Selain itu pedagang perantara memperoleh penerimaan tidak tunai dari penimbunan garam sebesar 500 ton yang akan dijual pada saat harga garam tinggi yaitu pada saat harga mencapai Rp 550 000 per tonnya, sehingga penerimaan tidak tunai sebesar Rp 275 000 000. Total penerimaan yang diperoleh pedagang perantara setiap tahunnya mencapai Rp 771 375 000. Pedagang perantara melakukan proses grading, pengemasan dan pendistribusian garam dari tambak petani ke gudang kemudian setelah sesuai dengan kuantitas tertentu garam didistribusikan ke gudang pabrik pengolahan. Garam krosok yang dibeli dari petani dikemas dalam karung. Biaya pengangkutan garam berbeda tergantung jauh dekat lokasi tambak dengan jalan raya, apabila dekat dengan jalan raya biaya angkut dan pengemasan untuk 1 ton garam sebesar Rp 18 000, sedangkan apabila lokasi jauh sebesar Rp 20 000. Rata- rata biaya pengangkutan dan pengemasan yang dibayarkan repsonden pedagang perantara sebesar Rp 18 667 per tonnya. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan dan pengemasan per tahunnya sebesar Rp 20 216 361 3.89. Komponen biaya terbesar adalah pembelian garam dari petani. Harga rata- rata pembelian garam ditingkat petani per tonnya sebesar Rp 307 937 dengan total pembelian permusim sebanyak 1583 ton maka total pengeluaran untuk pembelian garam dari petani sebesar Rp 487 463 492 93.89. Komponen biaya lainnya yang harus dikeluarkan meliputi biaya tunai yang terdiri atas biaya rata-rata pembelian karung sebesar Rp744 563 0.14. Transaksi pembelian garam dari petani dilakukan setiap seminggu sekali dalam kurun waktu 5 bulan. Setiap kali pengiriman dari gudang ke gudang milik industri menghabiskan biaya bahan bakar sekitar Rp 200 000 per bulan, sehingga total biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk aktivitas pengiriman garam ke gudang industri sebanyak Rp 4 050 000 0.78. Rincian biaya produksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Lampiran 9. Biaya yang diperhitungkan berupa biaya penyusutan peralatan sebesar 8 487 333 1.63. Peralatan yang digunakan oleh pedagang perantara diantaranya mesin jahit sebanyak 2 unit, genset untuk menyalakan mesin jahit, genset sangat dibutuhkan pedagang perantara karena proses pengemasan berlangsung di lokasi tambak dan tidak terdapat fasilitas listrik, gerobak untuk mengangkut garam ke truk, gudang sebagai sarana penyimpanan dan truk untuk mendistribusikan garam kegudang Total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh pedagang perantara setiap tahunnya sebesar Rp520 961 749. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendapatan atas biaya total yang diperoleh pedagang perantara Rp 250 413 251 dengan nilai RC 1.48 . Hasil perhitungan pendapatan pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang perantara di Kabupaten Rembang No Uraian Satuan Nilai 1 Penjualan garam tontahun 1083 2 Harga jual garam Rpton 458 333 3 Stok garam penimbunan Tontahun 500 4 Harga jual garam Rpton 500 000 5 Penerimaan Rptahun 771 375 000 6 Biaya Total Rptahun 520 961 749 7 Pendapatan atas biaya total Rptahun 250 413 251 8 RC atas biaya total 1.48 Keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani. Hal ini membuktikan bahwa yang menikmati surplus value adalah pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran bukan petani. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rochwulaningsih 2008 dimana petani lahan sempit dan penggarap di Kabupaten Rembang hanya diposisikan sebagai produsen yang tidak menikmati keuntungan dari hasil usahanya. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen jadi. Pendapatan Usaha Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Perusahaan pengolahan garam mengolah garam krosok menjadi garam briket dan halus. Bahan baku yang digunakan industri sebagian besar diperoleh dari pedagang perantara dan sisanya diperoleh dari lahan tambak yang dimiliki sendiri oleh perusahaan. Rata-rata produksi garam briket yang dihasilkan responden industri pengolahan sebesar 9.75 ton per hari dan produksi rata-rata untuk produk garam halus sebesar 1.50 ton per hari. Dalam setahun rata-rata produksi garam briket sebesar 2 634 ton dan garam halus 1 184 ton. Harga jual rata-rata untuk garam briket per kg sebesar Rp 1 100 dan garam halus Rp 1 200 per kg. Penerimaan yang diperoleh perusahaan pengolahan atas penjualan garam briket sebesar Rp 2 897 4000 dan garam halus sebesar Rp 1 420 800 000, sehingga total penerimaan rata-rata perusahaan pengolahan contoh setiap tahunnya sebesar Rp4 318 200 000. Bahan baku garam krosok yang diterima oleh perusahaan pengolahan di Rembang sebagian besar adalah kualitas dua yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan garam briket, sedangkan kualitas satu yang diperoleh dimanfaatkan untuk menghasilkan garam halus. Perusahaan pengolahan seringkali kesulitan memperoleh bahan baku garam krosok kualitas satu sehingga alternatif yang digunakan untuk tetap memproduksi garam halus adalah dengan membeli garam impor. Kelebihan garam impor dimana perusahaan tidak perlu lagi melakukan proses pengolahan seperti penyelipan dan pengovenan namun langsung dapat dikemas. Namun kelebihan yang dimiliki dari garam impor tidak merubah komitmen responden perusahaan pengolahan di Rembang untuk lebih mengutamakan garam lokal dibandingkan garam impor. Kesulitan lain untuk memperoleh kualitas satu adalah kurang baiknya proses grading yang dilakukan pedagang perantara, sehingga pada saat bongkar muat pihak perusahaan sulit memisahkan garam yang berkualitas satu atau dua, akibatnya perusahaan menetapkan harga beli garam kepada pedagang perantara berupa kualitas dua. Harga jual rata-rata garam krosok yang dibeli perusahaan pengolahan sebesar Rp 458 333 per tonnya. Berbeda dengan kemitraan yang berlaku antara pedagang perantara dengan petani dimana pedagang yang berhak menetapkan harga, namun pada kemitraan antara pedagang dan pihak perusahaan terjadi kesepakatan harga berdasarkan kesepakatan penilaian mutu yang ditentukan bersama. Umumnya perusahaan pengolahan bermitra dengan 5-6 pedagang perantara yang memasok garam krosok 20 hingga 30 ton perminggunya. Total pembelian garam responden perusahaan pengolahan pertahunnya sebesar 4200 ton, sehingga rata-rata pengeluaran perusahaan untuk pembelian bahan baku garam krosok per tahunnya mencapai Rp 1 925 000 000 72.62. Alokasi pembelian bahan baku garam merupakan pengeluaran terbesar dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan. Komponen pengeluaran lainnya adalah pembelian iodium. Perusahaan seringkali kesulitan memperoleh iodium karena penyediaan ioduim diatur oleh asosiasi yang tergabung dalam GAKY dan harganya cukup mahal, dimana harga untuk 1 kg iodium sebesar Rp 625 000. Setiap harinya pihak perusahaan menggunakan 1 kg iodium yang disemprotkan ke garam yang telah melalui proses pencucian. Dalam satu tahun rata-rata perusahaan pengolahan membutuhkan iodium sebesar 264 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian iodium dalam satu tahun sebesar Rp 165 000 000 6.22. Bahan baku yang juga sangat diperlukan adalah plastik, kebutuhan plastik masing-masing perusahaan berbeda karena kemasan produk garam briket dan garam halus sangat beragam. Untuk garam briket dikemas dalam ukuran 1 kg dan 2 kg, begitu juga dengan garam halus. Estimasi kebutuhan plastik perharinya sebanyak 5000 buah, sehingga dalam setahun dibutuhkan 1.32 juta buah plastik dengan harga persatuan Rp 50, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pembelian plastik dalam satu tahun sebesar Rp 66 000 000 2.49. Perusahaan pengolahan garam membutuhkan solar untuk digunakan dalam proses pemanasan oven dan menjalan mesin selip setiap harinya sebesar 100 liter, sehingga dalam setahun total kebutuhan solar sebanyak 24 000 liter dengan harga solar Rp 4500 per liter maka perusahaan mengeluarkan biaya untuk pembelian solar pertahunnya sebesar Rp 108 000 000 4.07. Perusahaan pengolahan menerapkan upah yang berbeda bagi tenaga kerja berdasarkan tugas yang dijalankan. Upah dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dan dibayarkan setiap minggu. Mekanisme pengupahan berdasarkan jumlah hari kerja dianggap paling efektif karena banyaknya kegiatan sosial yang menyebabkan sejumlah pekerja tidak masuk. Tenaga kerja yang bekerja di pabrik pengolahan garam sebagian besar adalah wanita dan merupakan istri petani garam. Jumlah tenaga kerja laki-laki hanya sepertiga dari keseluruhan tenaga kerja yang bertugas dibagian pengovenan, penyelipan garam dan iodisasi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan garam briket 9.75 ton dan garam halus 1.50 ton sebanyak 30 orang terdiri dari 4 orang tenaga kerja pencucian dan penyelipan, 2 orang tenaga kerja iodisasi, 9 orang tenaga kerja mencetak garam dengan mesin dimana 1 mesin pencetak dikelola 3 orang, 5 orang tenaga kerja yang mencetak garam secara manual, 4 orang bekerja di ruang pemanasan, 4 orang tenaga kerja pegemasan sekaligus pengepakan dan 2 orang tenaga kerja pengawas sekaligus administrasi. Alokasi pengeluaran untuk upah tenaga kerja sebesar Rp 317 460 000 11. 98 Komponen biaya lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan meliputi pembayaran pajak bumi 0.01 dan bangunan, listrik 0.05, serta pemeliharaan peralatan 0.94. Pemeliharaan peralatan menjadi hal yang sangat penting karena bahan baku garam yang berasal dari air laut menyebabkan mesin sangat mudah berkarat atau rusak apabila tidak dirawat dengan baik. Sedangkan biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya penyusutan mesin dan peralatan pengolahan sebesar Rp 42 479 167 1.60. Total biaya yang dikeluarkan oleh industri garam per tahunnya sebesar Rp 2 650 762 500. Secara rinci biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil perhitungan pendapatan atas biaya total yang diperoleh perusahaan pengolahan garam setiap tahunnya sebesar Rp 1 667 437 500 dan nilai RC sebesar 1.63. Keuntungan relatif yang diperoleh jauh lebih besar dari pelaku usaha lainnya karena perusahaan melakukan aktivitas penambahan nilai terhadap produk garam yang dihasilkan. Adanya peningkatan nilai tambah maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hasil perhitungan tingkat pendapatan perusahaan pengolahan garam dapat dilihat pada Tabel 16 Tabel 16 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari perusahaan pengolahan garam briket dan halus di Kabupaten Rembang No Uraian Satuan Nilai 1 Penjualan garam briket tontahun 2 634 2 Harga jual garam briket Rpton 1 100 000 3 Penjualan garam halus tontahun 1184 4 Harga jual garam halus Rptahun 1 200 000 5 Penerimaan Rptahun 4 318 200 000 6 Biaya Total Rptahun 2 650 762 500 7 Pendapatan atas biaya total Rptahun 1 667 437 500 8 RC atas biaya total 1.63 Pendapatan Usaha Pedagang Pengumpul Besar Pedagang pengumpul besar berperan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengguna garam, seperti industri pupuk, pakan ternak dan pengasinan ikan. Bahan baku yang dibutuhkan sedikit berbeda dengan bahan baku yang ditawarkan pedagang perantara ke perusahaan pengolahan, terdapat spesifikasi tertentu tergantung kebutuhan dari pelanggan. Garam yang dibeli dari pedagang perantara umumnya disimpan di gudang pengumpul besar dengan kapasitas yang cukup besar. 2 responden pedagang pengumpul besar tidak memiliki gudang sendiri namun menyewa gudang milik pedagang perantara dengan alasan pembelian garam oleh pihak konsumen tidak dilakukan secara kontinyu, sehingga dengan menyewa jauh lebih efesien. Proses pengiriman garam biasanya dilakukan 1 bulan sekali selama musim garam 5bulan. Rata-rata penjualan garam dari pedagang pengumpul besar contoh pertahunnya sebesar 967 ton dengan harga rata-rata penjualan garam per tonnya mencapai Rp 666 667, sehingga rata-rata total penerimaan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp644 000 000. Pedagang pengumpul besar memperoleh harga beli garam per tonnya dari pedagang perantara jauh lebih murah Rp 383 333 dibandingkan harga yang ditawarkan ke pabrikan Rp 466 667, selisih harga ini disebabkan adanya perbedaan biaya distribusi dan pengemasan. Penjualan garam ke perusahaan pengolahan mengeluarkan biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang industri serta biaya pembelian karung dan pengemasan, sementara penjualan kepada pedagang pengumpul besar tidak perlu mengeluarkan biaya distribusi karena pihak pengumpul besar yang mengambil langsung dari gudang-gudang pedagang perantara dan melakukan pengemasan sendiri. Selain itu adanya hubungan kekerabatan antara pedagang perantara dengan pedagang pengumpul besar maka marjin harga diusahakan seminim mungkin. Total pembelian garam rata-rata pedagang pengumpul besar contoh sebesar 1 083 ton per tahun. Sehingga total biaya yang dikeluarkan unuk pembelian garam setiap tahun sebesar Rp 411 316 617 92.23. Dalam setiap kali proses pengiriman ke tujuan pemasaran, pedagang pengumpul besar selalu mengalami risiko produksi berupa penyusutan bobot garam antara 10-15. Sehingga dari pengiriman 1 083 ton setelah sampai ke konsumen bobot garam hanya sebesar 967 ton. Biaya operasional lain yang dikeluarkan berupa biaya pembelian karung sebesar Rp 1 609 500 0.37, biaya pengangkutan dan pengemasan Rp 20 744 667 4.64, biaya distribusi dari gudang perantara ke gudang pengumpul besar Rp 4 500 000 1.01. Biaya pengiriman dari Rembang ke tujuan pemasaran yaitu industri pengguna pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan yang lokasinya berada diluar Kabupetan Rembang seluruhnya menjadi tanggung jawab pihak pembeli. Pedagang pengumpul hanya mencari truk yang dapat disewa untuk pengiriman dan pembayaran atas sewa truk dibebankan pihak pembeli. Biaya lainnya berupa biaya yang diperhitungkan berupa sewa gudang pedagang perantara sebesar Rp 7 000 000 pertahun dan biaya penyusutan peralatan Rp 1 533 333. Biaya total yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 438 974 167. Pendapatan yang diperoleh pedagang pengumpul besar setiap tahunnya sebesar Rp 197 295 833 dengan keuntungan relatif yang diperoleh berdasarkan RC sebesar 1.44. Apabila dibandingkan dengan keuntungan relatif yang diperoleh pedagang perantara, maka pedagang perantara memiliki keuntungan lebih baik. Risiko yang dihadapi pedagang pengumpul besar jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara. Umumnya pedagang pengumpul besar tidak mengetahui secara pasti pihak pembeli, proses transaksi hanya berlangsung via telepon. Dengan jaminan kepercayaan pengumpul besar berani mengambil risiko penjualan karena memperhitungkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Satu dari dua responden pedagang pengumpul besar pernah mengalami kerugian hingga Rp 40 juta karena pihak pembeli tidak melunasi pembayarannya. Kekurangan lainnya adalah frekuensi pembelian yang tidak menentu setiap bulannya, tidak seperti pembelian yang dilakukan perusahaan pengolahan yang melakukan pembelian garam secara kontinyu dan pasti dalam pembayarannya. Analisis pendapatan yang diusahakan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 17, dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 17 Analisis pendapatan rata-rata atas biaya total dari pedagang pengumpul besar di Kabupaten Rembang No Uraian Satuan Nilai 1 Penjualan garam tontahun 967 2 Harga jual garam Rpton 383 333 3 Penerimaan Rptahun 644 000 000 4 Biaya Total Rptahun 446 704 167 5 Pendapatan atas biaya total Rptahun 197 295 833 6 RC atas biaya total 1.44 Berdasarkan nilai RC yang diperoleh, seluruh pelaku usaha dalam rantai nilai usaha garam rakyat menguntungkan dengan nilai RC1. Menurut Soekartawi 2002 nilai RC 1 maka usaha tersebut dapat dikatakan menguntungkan. Dalam rantai nilai usaha garam rakyat penggarap dan pemilik lahan yang ikut menggarap lahannya merupakan pihak yang memperoleh keuntungan terkecil, sedangkan pemilik lahan dan pelaku usaha yang bergerak dijalur pemasaran memiliki keuntungan lebih besar, terutama pada perusahaan pengolahan garam. Adanya peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang perantara dan pengumpul besar yang tidak melakukan proses peningkatan nilai tambah. Dalam kemitraan yang terjalin antara pelaku usaha garam rakyat, penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pihak yang mengalami kerugian disebabkan tidak adanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan pembagian keuntungan yang lebih kecil. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin saat ini belum ideal karena belum adanya distribusi keuntungan yang merata. Perbandingan keuntungan relatif antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupetan Rembang dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Komparasi keuntungan relatif antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 Penggarap Pemilik lahan Pemilik lahan sekaligus penggarap Pedagang perantara Perusahaan pegolahan Pedagang Pengumpul besar 1.26 1.39 1.32 1.49 1.63 1.44 RC Analisis Biaya Transaksi Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Rembang Biaya transaksi adalah biaya yang muncul karena adanya transfer kepemilikan. Biaya transaksi digunakan sebagai alat analisis untuk mengukur efesien tidaknya desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi menunjukkan semakin tidak efesiennya kelembagaan yang didesain. Menurut Yustika 2010, analisis ini dalam operasionalisasi masih mengalami hambatan karena belum adanya makna yang definitif dimana antar ahli ekonomi kelembagaan memiliki pandangan yang berbeda dalam mengukur biaya transaksi. Analisis yang digunakan untuk mengukur besaran biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku usaha garam rakyat meliputi 1 biaya asimetris informasi yaitu apabila salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian dan penjualan potensial daripada yang lain dan 2 biaya penyimpangan yang muncul karena adanya moral hazard dan 3 Biaya implementasi atas kesepakatan kelembagaan dan biaya pengawasan North 1990, Williamson 1981. Komponen biaya transaksi yang terdapat disetiap pelaku usaha garam rakyat yaitu : Petani Penggarap Kesepakatan kontrak bagi hasil yang dijalankan antara penggarap dan pemilik lahan tidak luput dari biaya transaksi. Dalam kesepakatan kontrak penggarap memiliki kewajiban untuk memberikan seluruh hasil panennya kepada pemilik lahan dan pemilik lahan membayarkan setengah dari hasil panen. Tertutupnya akses pasar oleh pemilik lahan dan posisi tawar yang lemah menyebabkan penggarap tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh harga lebih baik. Informasi pasar yang terbatas yang diperoleh penggarap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk memberikan harga lebih rendah dari yang seharusnya diterima. Harga garam rata-rata yang dibayarkan pemilik lahan kepada penggarap sebesar Rp 294 643 per tonnya sedangkan pemilik lahan dapat menjual garam kepada pedagang perantara bisa mencapai Rp 350 000 per ton, selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang hilang karena adanya kontrak yang dilakukan dengan pemilik lahan . Melalui pola bagi hasil maka penggarap menerima pembayaran setengah dari hasil panen, jumlah produksi per tahunnya sebesar 62.5 ton dengan harga Rp 350 000 per ton maka total penerimaan sebesar Rp 21 875 000, sehingga penggarap seharusnya memperoleh penerimaan dari bagi hasil maro sebesar Rp 10 937 500, namun faktanya responden penggarap hanya menerima sebesar Rp 9 207 589. Selisih penerimaan sebesar Rp 1 729 911 merupakan biaya transaksi yang diterima oleh penggarap karena adanya pemaksaan kontrak yang dilakukan dengan pemilik lahan. Pemilik lahan Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan, biaya asimetris informasi dan biaya pengawasan. Biaya pelaksanaan kontrak yang harus dikeluarkan oleh petani adalah iuran bersama untuk menormalisasi saluran air. Ketersediaan air laut secara kontinyu sangat penting pada usaha garam rakyat. Sebagai barang public air laut tidak bersifat komersial sehingga untuk memperolehnya tidak perlu mengeluarkan sejumlah uang. Namun demikian penggunaan air laut yang berlebihan pada satu lokasi tambak garam dapat mengurangi aliran air laut bagi tambak garam lainnya terutama pada lokasi tambak garam yang berada jauh dari laut. Oleh karena itu distribusi air laut perlu diatur agar semua tambak garam dapat teraliri air laut secara baik. Pengaturan distribusi air laut sebagai bahan baku garam di kenal masyarakat petani garam di Kabupaten Rembang dengan kegiatan menormalisasi saluran air. Pelaksanaan menormalisasi saluran air dimulai pada awal musim garam yaitu bulan April dan Mei. Biaya yang dikeluarkan untuk menormalisasi saluran ini tidak murah karena perlu menyewa alat berat. Perhitungan biaya yang dikeluarkan berdasarkan luasan lahan tambak garam yang dimiliki. Untuk 1 Ha lahan garam pemilik lahan dikenai iuran sebesar Rp2 000 000, sedangkan untuk penggarap diwajibkan membantu tenaga apabila diperlukan. Kontrak bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan penggarap umumnya penggarap mengetahui secara teknis bagaimana menghasilkan garam dengan baik dibandingkan pemilik lahan. Dalam kemitraan tersebut pemilik lahan menginginkan penggarap dapat menghasilkan kualitas satu untuk dapat meningkatkan harga jual, namun penggarap tetap menghasilkan kualitas dua karena waktu panen lebih cepat. Untuk menghasilkan kualitas dua dalam satu musim dapat melakukan 40 kali panen dengan hasil produksi 62.50 ton, sedangkan untuk menghasilkan kualitas satu hanya 35 kali panen dengan total produksi 54.68 ton. Harga garam kualitas satu sebesar Rp 400 000 per tonnya sedangkan kualitas dua menghasilkan Rp 350 000. Selisih Rp 50 000 per tonnya merupakan biaya oportunitas yang dimiliki oleh pemilik lahan. Penerimaan pemilik lahan kualitas dua sebesar Rp 10 156 250, sedangkan apabila menghasilkan kualitas satu pemilik lahan dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp 10 937 500, sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan akibat adanya kontrak dengan penggarap sebesar Rp 781 250. Dalam implementasi kesepakatan kelembagaan, pemilik lahan mengeluarkan biaya negosiasi berupa pemberian pinjaman uang tunai kepada penggarap dan penyediaan mesin diesel untuk meringankan tenaga penggarap dalam memproduksi garam. Pada awal persiapan musim garam petani penggarap tidak memiliki pemasukan, sehingga bantuan finansial sangat dibutuhkan petani penggarap. Rata-rata pinjaman yang diberikan oleh responden pemilik lahan sebesar Rp 545 000. Sedangkan penyediaan mesin diesel dibutuhkan oleh penggarap untuk menyedot air laut masuk kedalam petakan. Tanpa ketersediaan mesin diesel petani sedianya dapat menggunakan kincir angin atau pompa manualebor. Menurut responden pemilik lahan, saat ini penggarap menuntut ketersediaan mesin diesel dalam aktivitas produksi garam. Apabila tidak disediakan maka pemilik seringkali kesulitan memperoleh tenaga penggarap. Biaya rata-rata yang dikeluarkan pemilik untuk mesin diesel sebesar Rp2 000 000 per unitnya. Dalam pelaksanaan kontrak perlu dilakukan pengawasan supaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan yang telah dibuat dapat berjalan optimal, artinya terhindar dari tindakan moral hazard atau perilaku opportunis penggarap. Pemilik lahan melakukan pengawasan dengan turun ke tambak sekitar 2 kali dalam sebulan. Untuk memperat jalinan kemitraan petani pemilik contoh mengeluarkan biaya rata-rata untuk rokok atau minum kurang lebih Rp45 000 untuk setiap kali pertemuan, sehingga masa produksi selama 6 bulan maka total biaya yang dikeluarkan untuk pengawasan sebesar Rp540 000 permusim. Total biaya transaksi yang dikeluarkan pemilik lahan sebesar Rp 5 866 250 per tahun. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dapat dilihat pada Tabel 18 Tabel 18 Komponen biaya transaksi pemilik lahan Komponen Biaya Transaksi Nilai Rptahun a. Biaya asimetris informasi 781 250 13.32 b. Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pemberian pinjaman kepada penggarap 545 000 9.29 - Biaya menormalisasi saluran air 2 000 000 34.09 - Penyediaan mesin diesel - Biaya pengawasan 2 000 000 540 000 34.09 9.21 Total 5 866 250 100.00 Pemilik lahan sekaligus penggarap Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap meliputi biaya implementasi dari kesepakatan kelembagaan dan biaya asimetris informasi. Seperti halnya dengan pemilik lahan, biaya yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap untuk kegiatan menormalisasi saluran air sebesar Rp2 000 000. Iuran ini menjadi kesepakatan kelembagaan bagi petani yang memiliki lahan, dengan perhitungan 1 hektar lahan dibebankan biaya sebesar Rp 2 000 000. Pemilik lahan sekaligus penggarap di Kabupaten Rembang menjual hasil panennya kepada pedagang perantara setiap satu atau dua minggu sekali. Kontrak pemasaran yang dijalankan petani dengan pedagang perantara telah berlangsung cukup lama. Keberadaan pedagang perantara selain sebagai pelaku pemasaran juga memberikan jaminan sosial pada saat petani menghadapi kesulitan finansial. Kondisi ini dengan mudah menciptakan ketergantungan antara petani garam dengan pedagang perantara. Bentuk kompensasi dari ketergantungan ini adalah terciptanya kewajiban bagi petani untuk menjual garamnya kepada pedagang perantara dengan harga yang ditetapkan pedagang perantara. Kondisi asimetris informasi yang dihadapi pemilik lahan sekaligus penggarap dimanfaatkan oleh pedagang perantara dengan melakukan perilaku oportunis yaitu dengan menetapkan harga dibawah harga jual garam yang seharusnya. Rata-rata harga garam responden pemilik lahan sekaligus penggarap untuk kualitas 2 dibeli harga Rp304 167 per tonnya sedangkan harga jual garam maksimal yang bersedia dibayarkan pedagang perantara mencapai Rp350 000 per ton. Dengan tingkat rata-rata produksi garam untuk 1 hektar lahan menghasilkan 66.67 ton permusimnya, maka total biaya transaksi yang dikeluarkan petani pemilik sekaligus penggarap sebesar Rp3 055 566. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan sekaligus penggarap dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Komponen biaya transaksi petani pemilik sekaligus penggarap Komponen Biaya Transaksi Nilai Rptahun - Biaya asimetris informasi Selisih harga jual garam 3 055 566 60.44 - Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan Menormalisasi saluran air 2 000 000 39.56 Jumlah 5 055 566 100 Pedagang Perantara Pedagang perantara merupakan pelaku ekonomi didalam usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang memiliki biaya transaksi terbesar karena proses transaksi berlangsung dengan petani dan perusahaan pengolahan garam. Biaya transaksi atas implementasi dari kesepakatan kelembagaan dengan petani garam berupa penyediaan gudang-gudang garam semi permanen berkapasitas 10 hingga 30 di lokasi sekitar tambak garam. Ketersediaan gudang akan memudahkan petani dalam mengumpulkan hasil panen garam tanpa harus mengganggu proses kristalisasi garam berikutnya. Pedagang perantara membangun dua unit gudang untuk satu desa dan bermitra dengan sejumlah petani yang tersebar di empat desa, sehingga total gudang yang dibangun mencapai 8 unit. Gudang tersebut dapat dimanfaatkan setiap waktu oleh petani mitra. Biaya pembangunan satu unit gudang tidak permanen sebesar Rp 3 000 000, maka biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan gudang sebesar Rp 24 000 000 Biaya transaksi lainnya adalah uang pengikat transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berupa kemudahan pinjaman uang untuk awal persiapan lahan yang diberikan kepada pemilik lahan atau pemilik lahan sekaligus penggarap. Rata-rata pinjaman responden pedagang perantara sebesar Rp730 000 per petani dan akan dibayarkan oleh petani dengan memotong hasil penjualan, namun terdapat beberapa responden pedagang perantara menyatakan bahwa pinjaman tersebut tidak perlu dibayarkan namun terdapat kesepakatan untuk menjual garam hanya kepada pedagang perantara tersebut. Setiap satu orang pedagang perantara melakukan mitra minimal dengan 10 orang petani maka biaya transaksi yang harus dikeluarkan sebesar Rp7 300 000. Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang perantara karena adanya kontrak kemitraan dengan perusahaan pengolahan garam meliputi biaya asimetris informasi dan biaya implementasi kesepakatan kelembagaan. Biaya asimetris informasi berupa tidak lengkapnya informasi atas kualitas garam yang diinginkan perusahaan, menyebabkan penilaian atas kualitas 1 yang ditetapkan oleh pedagang perantara tidak diterima oleh perusahaan pengolah, pihak perusahaan menilai garam yang diterima merupakan kualitas 2. Selisih harga garam kuliatas 1 dan 2 dikisaran Rp 50per kg. Jika diasumsikan setengah dari total garam yang dijual ke peusahaan diasumsikan pedagang perantara sebagai kualitas 1, maka kerugian yang diterima pedagang perantara terhadap 1083 ton sebesar Rp 27 075 000. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang perantara dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Komponen biaya transaksi pedagang perantara Komponen Biaya Transaksi Nilai Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pembangunan fasilitas gudang 24 000 000 41.11 - Pemberian pinjaman modal 7 300 000 12.51 Biaya asimetri informasi - Penetapan kualitas garam 27 075 000 46.38 Total 58 375 000 100.00 Perusahaan Pengolahan Garam Briket dan Halus Biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan garam briket dan halus untuk tetap berproduksi dan melaksanakan kontrak kerja adalah dengan membayar pengurusan produk garam berstandar nasional setiap 3 tiga tahun sekali. pembayaran untuk SNI sebesar Rp5 000 000, biaya ijin usaha yaitu pengurusan SIUP sebesar Rp350 000 per 5 lima tahun serta biaya perpanjangan merk dagang sebesar Rp 3 000 000 per tahunnya. Untuk tetap menjalin hubungan kemitraan dengan pedagang perantara secara berkelanjutan, perusahaan pengolahan membantu kemudahan pinjaman tanpa bunga kepada para pedagang perantara. Sedianya pedagang perantara dapat mengakses pinjaman dari lembaga pembiayaan namun prosedur peminjaman dan besarnya bunga pinjaman dirasakan sangat memberatkan. Kondisi ini dimanfaatkan pihak perusahaan untuk memberikan bantuan modal sehingga dapat mengikat kerjasama dengan pedagang perantara. Nilai pinjaman pedagang pengumpul kecil responden kepada pihak perusahaan rata-rata sebesar Rp4 333 333 per pedagang perantara. Setiap perusahaan pengolahan garam minimal memiliki 5 pedagang perantara maka biaya transaksi yang dikeluarkan untuk melanggengkan kontrak dengan para perantara sebesar Rp 21 666 667. Biaya transaksi terbesar yang dikeluarkan pihak perusahaan adalah tindakan moral hazard berupa plagiat merek dagang yang dilakukan oleh perusahaan pesaing yang berada diluar Kabupaten Rembang. Plagiat merek dagang diterima tiga dari empat responden perusahaan pengolahan di Rembang. Adanya kemiripan merek diduga menyebabkan turunnya omset perusahaan mencapai Rp100 000 000 pertahunnya. Kemiripan merk dagang dilakukan oleh perusahaan pengolahan yang berada di luar Kabupetan Rembang sangat merugikan pihak perusahaan. Kegiatan pengawasaan dilakukan oleh pihak industri dengan melakukan pemantauan pada saat terjadi bongkar muat yang dilakukan pihak pedagang perantara di gudang, namun tidak ada biaya yang dikeluarkan. Biaya transaksi untuk pengawasan adalah dengan menyertakan staf pabrik untuk ikut dalam distribusi garam olahan ke agen. Pengawasan sangat diperlukan karena perilaku moral hazard dalam setiap proses pengiriman seringkali terjadi, seperti menjual sejumlah kecil garam briket atau halus yang bukan tujuan pasar atau ketidak tepatan waktu pengiriman sesuai kesepakatan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan untuk setiap transaksi jula beli ke agen dan pengecer diperkirakan Rp 1 000 000. Dalam setahun proses pengiriman berlangsung 12 kali dengan 3 wilayah pemasaran, sehingga total biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengawasan sebesar Rp36 000 000. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Komponen biaya transaksi perusahaan pengolahan Komponen Biaya Transaksi Nilai Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Pemberian pinjaman ke perantara 21 666 667 13.05 - Pembayaran SNI 5 000 000 3.01 - Pembayaran SIUP - Perpanjangan merk 350 000 3 000 000 0.21 1.08 Biaya penyimpangan - Plagiat merek dagang 100 000 000 60.23 Biaya pengawasan 36 000 000 21.68 Total 166 016 667 100.00 Pedagang Pengumpul Besar Proses transaksi antara pedagang pengumpul besar dengan pedagang perantara berjalan dengan baik. Dalam menentukan harga jual garam berdasarkan kesepakatan bersama, masing-masing pihak memiliki informasi yang baik mengenai harga dan kualitas garam yang ditransaksikan. Kondisi ini mampu meminimalisir biaya asimetris informasi. Perilaku opportunis dan penyimpangan lainnya juga dapat dihindari karena baik pedagang perantara maupun pedagang pengumpul besar saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang spesifik. Biaya transaksi yang dikeluarkan pedagang pengumpul besar diperoleh dari proses transaksi dengan pelanggan industri pengguna garam. Ketidaklengkapan informasi yang diperoleh menyebabkan kesepakatan yang dibuat tidak sempurna. Khusunya pada informasi jenis kualitas yang diinginkan pelanggan dan dampaknya turunnya harga beli garam dari kesepakatan yang telah dibuat. Biaya transaksi yang dikeluarkan karena adanya asimetris informasi diasumsikan oleh responden pedagang pengumpul besar sebesar Rp 10 000 000 berupa kerugian yang diterima atas impelementasi kesepakatan kontrak yang dilakukan dengan pihak pembeli yaitu pembayaran atas garam oleh pembeli sesuai dengan bobot timbangan yang dihitung oleh pihak pembeli. Dalam proses pengiriman terjadi penyusutan bobot garam hingga 10. Pada saat garam akan dikirim ke pelanggaan berat garam sebesar 1073 ton, namun setelah sampai di gudang pelanggan terjadi penyusutan bobot garam garam hanya sebesar 906 ton. Dengan harga jual garam untuk industri pengguna sebesar Rp 666 667, maka kerugian akibat penyusutan bobot garam yang dimiliki pengumpul besar mencapai Rp 71 333 333. Komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul besar dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Komponen biaya transaksi pedagang pengumpul besar Komponen Biaya Transaksi Nilai Rptahun Biaya implementasi kesepakatan kelembagaan - Penyusutan bobot garam 71 333 333 87.70 Biaya asimetris informasi 10 000 000 12.30 Total 81 333 333 100.00 Setiap organisasibisnis berusaha menciptakan kondisi dimana setiap pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi yang ekonomis dan efisien Yustika, 2010, untuk mengetahui tingkat efisiensi ekonomi dari pelaksanaan kontrak pemasaran antara pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang menggunakan nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan petani merupakan pelaku usaha yang memperoleh rasio terbesar, artinya bahwa interaksi ekonomi yang terjadi antara penggarap dengan pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang pengumpul besar kurang efisien seperti pada transaksi ekonomi yang berlangsung antara pedagang perantara dengan pihak perusahaan pengolahan yang memiliki nilai rasio biaya transaksi terhadap penerimaan yang rendah. Tabel 23 Rasio biaya transaksi – penerimaan usaha garam rakyat No Pelaku Usaha Garam Rakyat Biaya Transaksi Rptahun Penerimaan Rptahun Rasio Biaya Transaksi - Penerimaan 1 Petani Penggarap 1 729 911 9 207 589 0.19 2 Petani pemilik 5 866 250 10 156 250 0.38 3 Petani penggarap sekaligus pemilik 5 055 556 20 277 778 0.25

4 Pedagang perantara

58 375 000 771 375 000 0.08 5 Perusahaan pengolahan 166 016 667 4 318 200 000 0.04 6 Pedagang pengumpul besar 81 333 333 644 000 000 0.11 Kerja kelembagaan dari perusahaan pengolahan merupakan yang paling efisien dengan nilai rasio sebesar 0.04 dimana setiap penerimaan perusahaan pengolahan sebesar Rp100 maka perusahaan pengolahan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 4. Sedangkan aktivitas transaksi ekonomi yang paling tidak efisien adalah pemilik lahan dan pemilik lahan sekaligus penggarap. Rasio biaya transaksi-penerimaan juga menunjukkan besaran transfer surplus yang terjadi pada masing-masing usaha. Nilai rasio biaya transaksi-penerimaan petani pemilik sekaligus penggarap sebesar 0.25 berarti bahwa 25 persen dari penerimaan pemilik lahan sekaligus penggarap tersebut dinikmati oleh pelaku lain bukan oleh petani itu sendiri. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa dari seluruh usaha garam rakyat dapat dilihat bahwa usaha yang memiliki kelembagaan paling efisien adalah pengolahan garam briket, sedangkan yang paling tidak efisien adalah petani. Ketergantungan yang tinggi antara penggarap dengan pemilik lahan dan antara pemilik lahan sekaligus penggarap dengan pedagang perantara menciptakan posisi tawar yang tidak setara. Hal ini menyebabkan harga jual lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya diterima. Perbedaan harga dari pedagang perantara dengan harga pasar merupakan biaya transaksi yang harus ditanggung petani garam. Hal ini sesuai dengan teori Wang 2003 bahwa nilai yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang yang tidak seluruhnya diterima oleh penjual dan selisihnya disebut sebagai biaya transaksi. Selain itu struktur pasar komoditas garam yang tidak sempurna dimana banyak penjual sedikit pembeli menyebabkan terciptanya pasar yang tidak sempurna, dimana petani bertindak sebagai penerima harga dan pedagang perantara sebagai penentu harga. Analisis Kinerja Pemasaran Usaha Garam Rakyat Beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran usaha garam rakyat meliputi penggarap, pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus penggarap, pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pedagang pengumpul besar. Dalam proses pendistribusiannya, setiap pelaku dalam rantai nilai memiliki pilihan untuk memasarkan garamnya. Analisis saluran pemasaran akan menggambarkan macam saluran dan volume garam yang keluar dan masuk melalui saluran pemasaran tertentu. Berdasarkan data petani sampel yaitu penggarap n=14 pemilik lahan n=4, pemilik lahan sekaligus penggarap n=12, pedagang perantara n=6, perusahaan pengolahan n=4 dan pedagang pengumpul besar n=2 dapat digambarkan dalam saluran pemasaran yang diperlihatkan pada Gambar 14. Saluran pemasaran yang dianalisis hanya terdiri dari rantai atau jalur yang dilalui dalam proses penyampaian garam dari produsen petani sampai ke konsumen akhir pabrik pengolahanpedagang pengumpul besar. Keterangan : Saluran 1; Saluran 2; Saluran 3; Saluran4 GK Garam krosok, GH Garam halus, GB Garam briket, GS Garam spesifik Gambar 14. Saluran pemasaran garam di Kabupaten Rembang Penggarap n=14 Vol GK 62.5 tonthnpenggarap Pemilik Lahan n=4 Vol GK 300 tonthn Pemilik Lahan sekaligus Penggarap n= 12 Vol GK 66.67 tonthnpetani Pedagang Perantara n=6 Vol GK 1583 tonthn Perusahaan Pengolahan n=4 Vol GB 2634 tonthn Vol GH 1184 tonthn Konsumen Agen dan Pengecer Pedagang Pengumpul Besar n= 2 Vol GS 1073 tonthn Konsumen Industri Pupuk, pakan ternak, pengolahan ikan 85.72 75 100 33.33 14.28 75 25 25 Pada Gambar 14 dapat diketahui terdapat 4 macam saluran pemasaran yaitu Saluran 1 : Penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – perusahaan pengolahan Saluran 2 : Penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – pengumpul besar Saluran 3 : Pemilik lahan sekaligus penggarap – pedagang perantara – perusahaan pengolahan Saluran 4 : Pemilik lahan sekaligus penggarap – pemilik lahan – pedagang perantara – pengumpul besar Perbedaan dari keempat saluran adalah sumber kepemilikan garam yang terbagi atas penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap dan tujuan akhir pemasaran garam yaitu perusahaan pengolahan dan pengumpul besar, persamaanya bahwa semua rantai pemasaran harus melalui pedagang perantara. Kondisi ini menunjukkan pedagang perantara memiliki peran penting dalam memasarkan garam petani dan memasok kebutuhan bahan baku baik ke perusahaan pengolahan maupun ke pedagang pengumpul besar. Petani tidak memiliki akses langsung ke perusahaan pengolahan karena tidak mampu memenuhi persyaratan kuantitas yang diminta perusahaan, sedangkan pedagang pengumpul besar kesulitan menemukan petani yang dapat memenuhi syarat kualitas dan kuantitas yang diminta, sehingga lebih memudahkan untuk mendapatkan sumber bahan baku langsung dari pedagang perantara. Garam krosok untuk pedagang pengumpul besar disesuaikan dengan spesifik kebutuhan industri pengguna. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa saluran pemasaran 1 dan 2 garam krosok yang dihasilkan oleh penggarap kemudian dibayarkan pemilik lahan dengan pola bagi hasil, kemudian garam oleh pemilik lahan dijual ke pedagang perantara dan oleh pedagang perantara diseleksi kembali untuk memisahkan garam krosok yang nantinya akan dijual ke perusahaan pengolahan atau ke pedagang pengumpul besar. Garam krosok yang dihasilkan oleh responden penggarap terdapat 12 orang 85.72 menghasilkan garam untuk kebutuhan perusahaan pengolahan dan 2 orang 14.28 menghasilkan garam untuk kebutuhan pengumpul besar, kemudian garam diserahkan kepada pemilik lahan. Dari 4 responden pemilik lahan hanya 1 orang 25 yang memenuhi kebutuhan garam krosok untuk pedagang pengumpul besar sisanya untuk kebutuhan garam perusahaan pengolahan. Pada saluran pemasaran 3 dan 4, garam krosok dihasilkan oleh 12 responden pemilik lahan sekaligus penggarap. Sebanyak 2 orang 25 menghasilkan garam untuk pedagang pengumpul besar dan 9 orang 75 menghasilkan kualitas garam untuk perusahaan pengolahan. Selanjutnya garam dijual ke pedagang perantara, dari 6 responden pedagang perantara keseluruhannya 100 menyuplai kebutuhan bahan baku garam untuk perusahaan pengolahan, dan 2 orang 33.33 selain menyuplai garam ke perusahaan pengolahan juga menyuplai ke pedagang pengumpul besar. Kondisi diatas menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan pemasaran pada saluran 1 dan 3. Analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja pasar usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah marjin pemasaran dan farmer share. Pengertian marjin disini adalah selisih harga beli dan harga jual disetiap tingkat lembaga pemasaran. Dengan demikian marjin total merupakan selisih harga ditingkat petani dengan harga ditingkat perusahaan pengolahan atau pedagang pengumpul besar. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran. Efisiensi pemasaran terjadi jika mampu menekan biaya pemasaran sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang di bayarkan tidak terlalu tinggi, menciptakan nilai tambah yang tinggi terhadap produk agribisnis dan bagian harga yang diterima produsen relatif merangsang produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil analisis sebaran marjin yang ditunjukkan pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa saluran pemasaran 1 memiliki keuntungan paling besar Rp 750 620 per ton dan mampu menekan biaya pemasaran Rp 104 737 per ton. Sedangkan keuntungan terkecil terdapat pada saluran 4 Rp 253 175 per ton dengan biaya pemasaran yang lebih besar dibandingkan pada saluran 1 Rp 109 325 per ton. Besarnya marjin yang diperoleh pada saluran pemasaran 1 disebabkan adanya peningkatan nilai tambah garam yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan yaitu garam krosok menjadi garam briket dan halus. Peningkatan nilai tambah garam akan meningkatkan marjin pemasaran. Marjin tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran 1 yaitu sebesar Rp 855 357 per ton, kemudian diikuti oleh saluran pemasaran 3 Rp 845 833. Pada saluran 2 dan 4 nilai marjin relatif kecil disebabkan tidak adanya peningkatan nilai tambah garam, dimana garam langsung dijual kepada industri pengguna. Pada saluran 3 dan 4 dapat dilihat lembaga pemasaran yaitu perusahaan pengolahan melakukan fungsi pemasaran yang cukup banyak yaitu bongkar muat dan pencucian Rp 6223ton, pencetakan dengan mesin Rp 3116ton, pencetakan manual Rp12 965ton, iodisasi Rp5 186ton, pengovenan Rp13 829ton, pengemasan Rp5 532ton dan biaya administrasi Rp8 298ton. Banyaknya fungsi pemasaran yang dilakukan menyebabkan marjin pemasaran yang terbentuk juga besar. Hasil analisis pemasaran yang dilakukan pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suherman et al 2011 dimana marjin pemasaran usaha garam rakyat di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep distribusi marjin yang panjang terletak di lembaga pemasaran pabrik karena melakukan banyak sekali fungsi pemasaran, sehingga terbentuk marjin pemasaran terbesar pada pabrik. Biaya pemasaran pada saluran 2 dan 4 jauh lebih kecil karena pedagang pengumpul besar tidak melakukan proses pengolahan. Biaya pemasaran yang dikeluarkan hanya terdiri dari biaya pengemasan dan pengangkutan Rp19 333ton, biaya distribusi dari gudang-gudang milik pedagang perantara ke gudang pengumpul besar Rp4658ton dan biaya penyusutan bobot garam selama proses distribusi sebesar 10 persen Rp66 667. Dari hasil analisis marjin pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat ditunjukkan bahwa adanya peningkatan nilai tambah dapat meningkatkan nilai marjin pemasaran, namun dengan nilai marjin pemasaran belum cukup untuk menunjukkan kinerja pasar tergolong efisien atau tidak. Perlu kajian lebih lanjut terhadap share harga yang diterima oleh petani garam. Pemasaran dianggap efisien bila masing-masing pelaku pasar menerima bagian keuntungan yang layak atas pengorbanan biaya yang telah dikeluarkan selama kegiatan pemasaran dan bagian harga yang diterima produsen petani mampu merangsang petani untuk meningkatkan produksi. Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang ditunjukkan pada Tabel 24 Tabel 24 Sebaran marjin pemasaran garam dan share harga pada setiap saluran pemasaran garam rakyat di Kabupaten Rembang Uraian Satuan Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran4 Biaya pemasaran Rpton 104 737 109 325 104 737 109 325 Keuntungan pemasaran Rpton 750 620 262 698 741 096 253 175 Total Marjin Rpton 855 357 372 024 845 833 362 500 Share harga 25.62 44.20 26.45 45.62 Tabel 24 memperlihatkan bahwa share harga yang diterima petani farmer’s share pada saluran 4 45.63 dan 2 44.20 jauh lebih besar dibandingkan saluran 125.62 dan 326.45, artinya bahwa saluran 2 dan 4 memberikan manfaat bagi petani lebih baik dibandingkan saluran pemasaran 1 dan 3. Sementara itu, sebagian besar petani garam 75 responden petani pemilik sekaligus penggarap, 85.72 responden penggarap melakukan aktivitas pemasaran pada saluran 1 dan 3, sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja pemasaran yang saat ini dijalankan sebagian besar pelaku usaha garam rakyat relatif belum efisien karena kepuasan tidak dinikmati oleh seluruh lembaga pemasaran. Dengan share harga yang rendah diterima petani, berarti petani belum menikmati tingginya harga jual garam olahan yang dipasarkan pihak perusahaan. Berdasarkan hasil analisis pendapatan, analisis kerja ekonomi kelembagaan dan analisis efisiensi pemasaran dapat disimpulkan bahwa petani penggarap dan pemilik lahan sekaligus penggarap merupakan pelaku usaha yang dirugikan dalam transaksi ekonomi yang berjalan saat ini di Rembang, sedangkan pelaku usaha lainnya yaitu pedagang perantara, perusahaan pengolahan dan pengumpul besar memperoleh keuntungan dari transaksi ekonomi yang ada. Posisi tawar petani yang lemah karena adanya kemitraan yang terikat dengan permodalan menyulitkan petani untuk memperbaiki tingkat ekonomi. Oleh karena itu perlu dirumuskan model bisnis yang dapat memberikan perbaikan ekonomi bagi petani. 7 MODEL BISNIS BERBASIS KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT di KABUPATEN REMBANG Pada usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang terdapat keterikatan antara petani garam dengan perusahaan pengolahan. Hal ini dikarenakan pada tingkat petani memiliki keahlian untuk memproduksi garam, namun memiliki keterbatasan dalam mengakses pasar dan teknologi. Sebaliknya di tingkat pengolah membutuhkan kontinuitas bahan baku dan memiliki kekuatan dalam hal teknologi dan akses pasar. Kebutuhan yang berbeda antara petani dengan perusahaan selama ini dijembatani oleh pedagang perantara. Keberadaan pedagang perantara selain membantu menjamin pasar juga membantu petani dalam mengatasi permasalahan finansial. Bantuan pinjaman untuk modal usaha sekaligus pemenuhan kebutuhan sehari-hari memperkuat ikatan kemitraan. Namun kondisi demikian mengakibatkan posisi tawar petani semakin lemah ditambah asimetri informasi yang dimiliki petani sehingga memberikan kesempatan untuk pedagang perantara memperoleh keuntungan dengan menekan harga jual garam petani dan petani cenderung sebagai penerima harga price taker . Model bisnis kemitraan garam rakyat saat ini dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Model bisnis usaha garam rakyat saat ini Pada rantai nilai usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang petani merupakan pelaku usaha yang memiliki pendapatan yang rendah terutama bagi penggarap, jika membandingkan keuntungan relatif RC maka petani memperoleh keuntungan terkecil dibandingkan pelaku usaha lainnya. Sementara berdasarkan kelembagaan petani, dilihat dari hasil rasio biaya transaksi dengan penerimaan, petani memperoleh nilai terbesar dibandingkan pelaku usaha lainnya, artinya bahwa kelembagaan yang dijalankan petani saat ini belum efisien. Tidak adanya desain aturan kontrak formal maka petani garam dapat dengan mudah mengalami kerugian. Kemitraan yang dijalankan petani dengan pedagang perantara belum mencerminkan kemitraan ideal karena tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dan pembagian keuntungan yang belum proporsional. Aktifitas pemasaran relatif belum efektif dilihat dari share harga yang diterima sebagian besar petani rendah 30. Seharusnya, dalam aktivitas pemasaran komoditas pertanian, share harga yang diterima petani dapat mencapai 40 persen atau lebih dari harga yang dibayarkan oleh konsumen Kohl dan Uhls 2002. Kondisi demikian apabila terus dibiarkan maka sulit bagi petani garam untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah sedianya telah berusaha mengatasi permasalahan yang terjadi pada usaha garam rakyat dengan melakukan intervensi berupa penetapan harga dasar garam ditingkat petani Rp 550 per kg untuk garam kualitas 2 dan Rp 750 per kg untuk kualitas 1, namun kebijakan ini tidak berjalan dengan baik di Kabupaten Rembang. Tidak efektifnya pemerintah atas implementasi penerapan Kerjasama pemasaran Kerjasama permodalan Petani Pedagang pengumpul kecil Industri pengolahan garam briket dan halus Pedagang Pengumpul besar Lembaga Pembiayaan Pemerintah Keterangan: harga dasar ini menurut sebagian besar responden disebabkan terbatasnya pengawasan dan mekanisme sanksi dan penegakan serta belum adanya lembaga yang mampu mengontrol harga. Intervensi lainnya berupa pemberian subsidi berupa bantuan langsung tunai yang digunakan untuk penyediaan sarana peralatan produksi bagi petani. Namun 43.33 responden petani mengungkapkan bantuan tersebut tidak sepenuhnya tepat sasaran karena saat ini kebutuhan mendesak petani adalah kemudahan akses pembiayaan dan perbaikan kelembagaan untuk meningkatkan posisi tawar petani. Adanya subsidi tersebut memotivasi tumbuhnya petani garam dadakan dan terjadi peningkatan produksi yang sangat besar namun tidak adanya lembaga penyangga maka kondisi ini dimanfaatkan pelaku pemasaran untuk memberikan harga yang rendah. Selain itu bantuan tersebut diberikan kepada penggarap, padahal ketersediaan peralatan menjadi tanggung jawab pemilik, tentu saja adanya bantuan peralatan memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bukan kepada penggarap. Menurut Kelly 2012, permasalahan terhadap akses pembiayaan tidak sebaiknya diselesaikan melalui subsidi dan dalam bentuk input pertanian, peralatan, dana bergulir atau hibah, melainkan Pemerintah dapat menggunakan alternatif atas akses pembiayaan yang dianggap lebih baik. Desain model bisnis yang yang diusulkan untuk memperbaiki interaksi ekonomi usaha garam rakyat berdasarkan hasil focus group discussion antara petani, pedagang perantara dan perusahaan pengolahan adalah dibentuknya kelembagaan ekonomi yang berperan sebagai mitra petani sekaligus mitra bagi industri pengolahan maupun pedagang perantara. Beberapa opsi lembaga ekonomi yang ditawarkan diantaranya 1 penguatan kelompok tani, 2 pembentukan lembaga koperasi, 3 penerapan sistem resi gudang, 4 kemitraan pola inti plasma antara perusahaan pengolah dengan petani garam. Opsi pertama yaitu penguatan kelompok tani dalam bentuk program pemberdayaan usaha garam rakyat telah dilakukan oleh pemerintah selama dua tahun terakhir, namun pembentukan kelompok tersebut terbukti belum mampu memperbaiki posisi tawar petani. Opsi kedua adalah pembentukan lembaga koperasi. Opsi koperasi tidak terlalu melenceng mengingat tingkat akseptabilitas yang tinggi diantara petani dan feasibilitas kelembagaan yang tinggi untuk implementasinya diantaranya karena prosedur pendiriannya relatif dikenal dan bisa dilakukan. Secara teoretik koperasi mewujudkan prinsip ekonomi economies of scale and economies of size, efisiensi dalam pengurusan produksi dan pemasaran bisa ditingkatkan karena biaya overhead rata rata yang lebih rendah. Disamping itu peningkatan skala dan ukuran usaha melalui koperasi bila dibanding dengan tindakan individu petani garam akan memperbaiki posisi petani di pasar. Koperasi dapat menghimpun garam dari petani dan menjualnya secara kolektif ke perusahaan pengolahan. Pengelompokan petani garam rakyat melalui koperasi dapat mengatasi dominasi peran pedagang perantara dalam mengendalikan pasar garam di Kabupaten Rembang. Selain membantu anggota dalam pembentukan kekuatan tawar untuk menentukan harga garam, kehadiran koperasi bagi perusahaan pengolahan diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan garam terutama untuk garam kualitas 1 dari pasokan lokal yang selama ini sulit diperoleh dari pedagang perantara. Sedangkan pedagang perantara bisa memanfaatkan kehadiran koperasi salah satunya dalam bentuk menyewakan gudang-gudang yang dimiliki pedagang perantara kepada koperasi. Opsi ketiga sesuai dengan rekomendasi Kementerian Perdagangan 3 untuk membentuk lembaga penyangga melalui “penerapan resi gudang” dengan tujuan membantu petani memperoleh modal, namun opsi kelembagaan ini kurang cocok diterapkan untuk petani garam, kemungkinan karena persoalan feasibility. Kelebihan dari skema pembiayaan resi gudang yang ditawarkan adalah bunga kredit yang dibayarkan hanya sebesar 6, namun untuk memperoleh resi gudang tidak mudah, banyak sekali biaya transaksi kesepakatan kelembagaan yang harus dipenuhi petani, diantaranya biaya untuk menyimpan garam di gudang meliputi biaya transportasi, biaya pengujian mutu di laboratorium yang ditunjuk, biaya pengeringan, biaya gudang, biaya bunga kredit dan biaya asuransi atas barang komoditi. Syarat ini tentu saja sangat memberatkan para petani garam dan menurut hemat penulis, hal ini tidak mudah diterapkan untuk usaha garam rakyat, dan petani akan mudah kembali beralih dengan model bisnis lama. Opsi terakhir adalah kemitraan inti plasma antara petani garam dengan perusahaan pengolahan. Kelebihan yang diperoleh dari kemitraan pola inti plasma adalah adanya jaminan pasar bagi petani, sedangkan bagi perusahaan pengolahan memperoleh jaminan pasokan bahan baku garam krosok, namun opsi ini tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Perusahaan pengolahan menolak untuk melakukan pembinaan dan menyediakan lahan serta sarana produksi untuk petani garam yang akan menjadi plasma, sedangkan bagi petani dengan bermitra langsung dengan perusahaan pengolahan diyakini tidak akan dapat meningkatkan posisi tawar karena dominasi peran perusahaan pengolah terhadap petani garam. Dari keempat opsi yang ditawarkan kepada petani garam, pembentukan koperasi merupakan opsi solusi terbaik dari kelembagaan yang ditawarkan karena mampu meningkatkan daya tawar petani dan mampu mengeliminasi biaya transaksi. Menurut Kelly dalam FAO 2012 untuk dapat meningkatkan daya tawar, petani harus dapat berpartisipasi dalam struktur organisasi formal maupun informal, salah satunya dalam bentuk koperasi pemasaran. Dengan melakukan pemasaran secara kolektif maka petani memiliki kemampuan untuk tawar menawar. Untuk memberikan dorongan kepada petani agar mau bergabung dalam organisasi maka harus ada kontrak pertanian yang jelas. Desain kontrak kerjasama antara petani dengan koperasi dapat dilihat pada lampiran 13. Organisasi petani tradisonal seperti koperasi merupakan salah satu cara untuk mengatur pasokan produk petani kecil melalui rantai nilai pasar sekaligus menawarkan petani ruang untuk bersama-sama menghadapi tuntutan pertanian modern, dengan koordinasi kegiatan, seperti pembelian massal input, pemasaran bersama, negosiasi kredit dan kontrak, dan melobi pembuat kebijakanhukumperaturan. Jika berhasil, tindakan kolektif dapat mengatasi hambatan utama yang terkait dengan biaya transaksi yang tinggi, masuk ke pasar bernilai tinggi, dan kemudahan akses ke lembaga pembiayaan dan perbankan. Penentuan atas opsi kelembagaan kemitraan yang mampu memperbaiki transaksi ekonomi usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 25. 3 Komoditas garam diminta manfaatkan resi gudang diunduh. http:www.bi-online.com. [20 September 2012] Tabel 25. Opsi kelembagaan kemitraan usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang No Opsi Positif + Negatif - 1 Penguatan kelompok tani - Dukungan penuh oleh pemerintah program pengembangan usaha garam rakyat berupa penyediaan bantuan peralatan produksi - Ketergantungan yang tinggi atas bantuan pemerintah - Terbukti tidak mampu meningkatkan posisi tawar petani 2 Koperasi - Mewujudkan prinsip ekonomi economies of scale dan economies of size - Dapat mengatasi hambatan utama yang terkait dengan biaya transaksi yang tinggi - Peningkatan posisi tawar - Kemudahan akses ke lembaga pembiayaan - Kemampuan manajerial sumberdaya manusia untuk mengelola koperasi terbatas 3 Resi gudang - Kemudahaan atas pinjaman dengan bunga rendah 6 - Biaya transaksi tinggi meliputi biaya transportasi, pengujian mutu di laboratorium yang ditunjuk, biaya pengeringan, biaya gudang, biaya bunga kredit dan biaya asuransi atas barang komoditi 4 Inti plasma - Adanya jaminan pasar - Penyediaan modal dan sarana produksi bagi petani plasma - Adanya dominasi peran inti terhadap semua keputusan bisnis - Petani tidak dapat meningkatan posisi tawar Bentuk koperasi yang diusulkan adalah koperasi pemasaran dan pengolahan secara terbatas, dalam hal ini berupa fortifikasi melalui iodisasi. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara, maka koperasi dapat meningkatkan nilai tambah yaitu garam yang telah melalui proses fortifikasiiodisasi, kemudian dari koperasi garam dipasarkan ke perusahaan pengolahan. Pemerintah tidak lagi langsung memberikan bantuan subsidi ke petani namun bantuan diarahkan ke koperasi dalam bentuk pelatihan manajerial bagi pengurus, kemudahan akses ke lembaga pembiayaan dan memfasilitasi kemitraan dengan industri pengolahan lainnya. Lembaga pembiayaan yang sebelumnya lebih memperhatikan industri pengolahan kini beraliah ke koperasi dengan jaminan kepercayaan dari pemerintah. Usulan desain model bisnis baru untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Usulan desain Model bisnis usaha garam rakyat Koperasi yang akan dibangun harus dapat menerapkan prinsip tata kelola koperasi yang baikgood governance cooperative sebagai solusi untuk mengantisipasi kegagalan-kegagalan koperasi terdahulu Prijambodo, 2012. Good governance cooperative meliputi 1 transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai koperasi. Informasi dapat diakses oleh seluruh anggota koperasi diantaranya berkaitan dengan informasi kinerja koperasi, kinerja keuangan dan resiko yang dihadapi, 2 Akuntabilitas yaitu adanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban manajemen koperasi sehingga pengelolaan koperasi dapat berjalan efektif, 3 Kemandirian, yaitu koperasi dikelola secara profesional, tanpa benturan kepentingan pengaruh dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi yang sehat. Dalam prinsip kemandirian ini tidak ada dominasi satu pihak kepada pihak lain, dan koperasi tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 4 pertanggungjawaban yaitu kepatuhan atas peraturan aturan main yang disepakati bersama, 5 Adanya tingkat partisipasi anggota yang tinggi dengan secara berkala memberikan saran demi kemajuan koperasi serta memiliki hak mengawasi kinerja pengurus dan 6 koperasi yang mampu mengembangkan usahanya melalui peningkatan nilai tambah. Adanya koperasi karena kebutuhan kolektif para petani garam untuk memperbaiki ekonominya, sehingga berdirinya koperasi dari bottom up bisa menjadi salah satu faktor keberhasilan koperasi. Representasi dari koperasi ideal saat ini telah memudar di Indonesia dan menimbulkan stigma atas pendirian koperasi. Kondisi ini disebabkan banyaknya koperasi yang berdiri di Indonesia tidak mampu menjadi penyokong ekonomi usaha kecil dan menengah karena menyimpang dari azas koperasi itu sendiri. Sebagai sebuah lembaga usaha, koperasi seharusnya memiliki tujuan ekonomi meraih keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun ternyata semakin banyak koperasi yang gagal mewujudkan tujuannya. Sebaliknya Pedagang Pengumpul Besar Perbankan Pemerintah Pedagang Perantara Koperasi Industri Pengolahan Petani Petani garam spesifik di banyak negara maju koperasi terbukti memiliki kemampuan dan kinerja usaha yang berhasil. Koperasi pertanian Amerika Serikat mampu memasarkan 86 persen dari total susu yang dihasilkan, 40 persen total biji-bijian, 41 persen total kapas, 20 persen total buah dan sayuran, serta 13 persen dari seluruh produksi peternakan. Sekitar separuh penduduknya merupakan pelanggan tetap koperasi produksi dan konsumsi dan setiap tahunnya, barang kebutuhan pokok senilai ratusan miliar dolar diperjualbelikan dari toko-toko milik koperasi Saragih 2010. Menurut FAO 2013 di Brasil 37 persen dari PDB pertanian dihasilkan melalui koperasi, 4 juta petani di Mesir memperoleh pendapatan mereka melalui keanggotaan koperasi, dan di India sebanyak 16.5 juta liter susu dikumpulkan setiap hari yang diperoleh dari 12 juta petani di koperasi susu. Di Eropa, koperasi pertanian memiliki pangsa pasar secara keseluruhan sekitar 60 persen dari pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian dan sekitar 50 persen dari pasokan input. Sukses pertanian China, tidak lepas dari kawalan koperasi, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan petani sejak lebih dari 80 tahun lalu. Koperasi dengan nama Supply and Marketing Cooperative SMC berperan penting dalam melakukan pengadaan untuk semua kebutuhan usaha tani seperti bibit, pupuk, peralatan dan lainnya, serta pemasaran komoditi pertanian yang dihasilkan. Kegiatan pengadaan dan pemasaran tersebut bisa dilakukan secara sangat efisien, karena SMC sudah membentuk jaringan yang sangat luas dan solid. Di level nasional, koperasi petani tersebut mempunyai sekunder bernama All-China Federation of Supply and Marketing Cooperatives ACFSMC. Secara keseluruhan, ACFSMC menghimpun 22.537 SMC, dengan anggota perorangan mencapai 160 juta petani. Sedangkan di New Zeland terdapat Formerly Primary Producers Cooperative Society FPPCS yang merupakan contoh dari koperasi yang sangat berhasil. Koperasi ini mampu mengekspor untuk sekitar 60 negara dengan pangsa pasar meliputi 37 ekspor daging domba, 35 ekspor daging sapi dan 54 ekspor daging rusa dan memiliki omset tahunan 2007 melebihi 2 miliar US. Saat ini memiliki jumlah anggota sebanyak 900 orang Woodford 2010. Kunci keberhasilan koperasi pertanian di Uni Eropa UE, menurut Nello 2000 antara lain adalah 1 menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfragmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani anggotanya; 2 menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mencapai skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar misalnya pasar ekspor; 3 memperbaiki kualitas dan meningkatkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional spesialisasi; 4 membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; 5 memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan 6 menjamin sumber pendanaan yang cukup. Sedangkan menurut McKenna 2001 keberhasilan koperasi di Amerika Serikat yaitu 1 menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; 2 mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah; 3 keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; 4 keuangan baik; 5 pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa meningkatkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis; 6 mempekerjakan manajer profesional dan 6 berkeinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”. Keberadaan koperasi sebagai desain model bisnis baru untuk usaha garam rakyat harus mampu meningkatan pendapatan, meminimalisir biaya transaksi, mencapai efisiensi pemasaran. Pada model bisnis berbasis kemitraan antara petani garam dengan koperasi maka harga, kualitas dan kuantitas penjualan garam dapat disepakati bersama. Dengan asumsi koperasi akan membeli harga garam petani untuk kualitas 2 sesuai harga pasar yang disepakati yaitu Rp 350 per kg 4 dan biaya produksi tetap maka tingkat pendapatan petani meningkat. Persentase peningkatan pendapatan untuk penggarap 49,19 persen dan pemilik lahan sekaligus penggarap sebesar 38.36 persen. Sedangkan pendapatan dari pemilik lahan menurun sebesar 3.01 persen. Dengan demikian adanya koperasi memberikan perbaikan bagi petani khususnya petani penggarap dan petani pemilik sekaligus penggarap, sedangkan bagi pemilik lahan penurunan tingkat pendapatan dapat dikompensasikan dengan besarnya penurunan atas biaya transaksi. Perubahan tingkat pendapatan karena penerapan model bisnis baru dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan perubahan atas biaya transaksi dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 26. Perbandingan pendapatan antar model bisnis lama dan baru No Uraian Pendapatan Rptahun Persentase Peningkatan Model bisnis lama Model bisnis baru 1 Pemilik lahan 4 909 099 7 964 655 38.36 sekaligus penggarap 2 Pemilik lahan 5 737 201 5 569 791 -3.01 3 Penggarap 3 779 687 5 509 644 49.19 Pada kenyataannya petani garam yang berada pada subsistem produksi menghadapi kondisi asimetris informasi dimana tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang situasi pada subsistem pemasaran sehingga memunculkan biaya transaksi bagi petani, maka dengan adanya mitra koperasi maka asimetris informasi yang selama ini dihadapi petani dapat ditiadakan. Informasi pasar yang dibutuhkan petani dapat diperoleh langsung dari koperasi. Melalui koperasi maka terjadi penggabungan usaha berskala kecil menjadi usaha bersama yang berskala lebih besar dan sangat mungkin untuk mencapai efisiensi yang lebih besar karena adanya penggunaan secara bersama atas faktor produksi. Seperti halnya dengan ketersediaan peralatan mesin diesel yang tidak setiap waktu digunakan petani dalam operasional produksi, diesel umumnya hanya digunakan saat memasukan air laut dari saluran kekolam petakan sehingga jauh lebih efisien apabila ketersediaan mesin diesel dilakukan melalui koperasi sehingga bisa dimanfaatkan secara bergantian oleh para petani mitra. Pelaksanaan normalisasi yang dilakukan 4 Harga garam Rp 350 per kg sesuai dengan harga yang diberikan pedagang perantara kepada pemilik lahan yang tidak memiliki ikatan pinjaman kurang terorganisir sehingga sering menimbulkan konflik, namun dengan adanya koperasi pelaksanaan menormalisasi saluran air dapat dikelola lebih baik. Jumlah anggota koperasi yang dibentuk sebanyak 20 orang, dengan dasar pertimbangan bahwa pembentukan koperasi primer minimal sebanyak 20 orang UU Koperasi No 17 tahun 2012. Syarat sebagai anggota koperasi, petani memiliki kewajiban untuk membayar setoran pokok anggota yang nantinya akan digunakan untuk memberikan pelayanan bagi anggota koperasi. Setoran pokok di asumsikan sebesar Rp 30 000 dan dibayarkan dengan dipotong setiap penjualan hasil panen ke koperasi. Dalam satu musim garam panen dapat dilakukan selama 40 kali sehingga sehingga penerimaan koperasi dari iuran anggota sebesar Rp 24 000 000 per tahun. Jumlah iuran sebesar Rp 30 000 berdasarkan batas maksimal kesediaan responden petani membayar apabila terdapat organisasi koperasi dan pembayaran hanya dilakukan pada saat panen berdasarkan hasil kesepakatan dari responden petani. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara maka koperasi harus memberikan nilai tambah atas produknya. Garam yang dijual bukan lagi garam krosok melainkan garam yang telah melalui proses pencucian dan pemberian yodium. Harga jual garam ke pihak perusahaan diasumsikan sebesar Rp 500 000 per tonnya, dimana harga jual ini merupakan kesediaan perusahaan pengolahan membayar untuk garam yang telah difortifikasi. Total penerimaan koperasi setiap tahunnya sebesar Rp 692 000 000 dan total pengeluaran sebesar Rp 636 804 723. Alokasi pengeluaran terbesar adalah pembelian garam dari petani 76.25, pembelian iodium 11.35 dan gaji pengurus dan pengawas koperasi 7.83. Hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel 26 diperoleh pendapatan koperasi sebesar Rp 55 195 277 dengan nilai RC sebesar 1.1. Secara rinci analisis pendapatan koperasi dapat di lihat pada Lampiran 14. Untuk dapat meningkatkan pendapatan, koperasi dapat meningkatkan jumlah produksi dan menambah jumlah anggota koperasi. Permasalahan utama dari kegagalan koperasi adalah kepengurusan yang tidak profesional, maka koperasi yang diusulkan harus memiliki pengurus yang memiliki kemampuan manajerial yang baik yaitu dengan pendidikan minimal adalah sarjana. Desain koperasi bagi usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Desain koperasi pemasaran untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang Keterangan Desain Koperasi Bentuk Koperasi Pemasaran pengolahan terbatas Jumlah anggota Min 20 org Manajer profesional Min S1 Iuran anggota Rp 30rborg panen Produk Garam beryodium Harga beli garam minimal Rp 350kg Harga jual garam Rp 500kg Pendapatan Rp 55,19 juta RC 1.1 Kontrak formal Hak dan kewajiban dari masing-masing pelaku usaha yang melakukan kemitraan Keberadaan koperasi dalam desain model bisnis berbasis kemitraan ini penerima manfaat diharapkan bukan hanya petani namun juga pedagang perantara dan perusahaan pengolahan. Dalam perspektif ekonomi kesejahteraan dimana suatu kebijakan ekonomi dikatakan tepat, jika kebijakan tersebut dalam implementasinya memenuhi tujuan yang disebut pareto optimum . Pareto optimum adalah suatu kondisi saat diintroduksikan kebijakan tersebut menyebabkan ada pihak yang diuntungkan, tanpa menyebabkan satu pihak pun yang dirugikan. Namun pada umumnya jarang dan sukar sekali untuk memenuhi kategori pareto optimum. Umumnya suatu implementasi kebijakan ekonomi akan berakibat ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Kondisi ini terjadi dengan opsi keberadaan koperasi akan memberikan keuntungan kepada petani dan perusahaan pengolahan namun merugikan pedagang perantara. Sesuai dengan prinsip pareto optimum maka pedagang perantara sebagai pihak dirugikan atas kebijakan baru harus mendapatkan kompesasi. Keberadaan koperasi menghalangi pedagang perantara untuk dapat memperoleh harga yang rendah dari petani, adanya peningkatan harga beli dari Rp 307 973 menjadi Rp 350 000 per tonnya akan menurunkan pendapatan pedagang perantara sebesar Rp 66 586 508 25. Sedangkan bagi perusahaan pengolah, Penawaran produk garam beryodium oleh koperasi akan mengurangi beban biaya perusahaan pengolahan atas pembelian yodium dan alokasi tenaga kerja untuk proses iodisasi. Dengan asumsi koperasi mampu memenuhi kebutuhan bahan baku garam beryodium pertahun untuk perusahaan maka terjadi pengurangan atas pembelian yodium dan upah tenaga kerja yang melakukan fortifikasi. Adanya kemitraan dengan koperasi memberikan peningkatan pendapatan sebesar Rp 33 560 000 2.01. Perbandingan pendapatan dengan adanya model bisnis baru dan kondisi aktual dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Perbandingan pendapatan Pedagang Perantara dan Perusahaan Pengolahan dalam model bisnis lama dan baru a No Uraian Pendapatan Rptahun Peningkatan Model bisnis lama Model bisnis baru 1 Pedagang Perantara 262 171 432 195 584 924 -25.40 2 Perusahaan Pengolahan 1 667 437 500 1 700 997 500 2.01 Bentuk kompensasi yang diperoleh pedagang perantara akibat adanya kerugian yang diterima karena keberadaan koperasi meliputi 1 koperasi memastikan hanya memproduksi garam yang ditujukan untuk perusahaan pengolahan garam briket dan halus, sehingga pedagang perantara dapat mengambil keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke pedagang pengumpul besar, 2 Perbaikan reputasi pedagang perantara yang sebelumnya dikenal sebagai rent seeking dan memiliki citra buruk sebagai faktor penghambat pengembangan usaha garam rakyat oleh pemerintah sehingga sebisa mungkin ditiadakan dari rantai nilai sekarang menjadi mitra petani dan koperasi yang diperhitungkan dalam setiap pengambilan kebijakan,3 memperoleh fasilitas pemerintah terkait pelaksanaan industrialisasi usaha garam rakyat salah satunya adalah dorongan untuk meningkatkan skala usaha menjadi perusahaan pengolahan garam, 4 koperasi bekerjasama dengan pedagang perantara dengan memanfaatkan gudang milik pedagang perantara yang tersebar di desa-desa dengan sistem sewa. Kelembagaan kemitraan antara petani dengan koperasi dapat dikatakan lebih efisien karena biaya transaksi yang dikeluarkan hanya berupa setoran pokok sebagai anggota koperasi yang dibayarkan setiap panen dan iuran tersebut ditujukan untuk kepentingan bersama, sedangkan biaya transaksi lainnya yang dikeluarkan petani dapat diminimumkan disebabkan adanya faktor kepercayaan yang sempurna dikedua belah pihak, biaya oportunitas dan asimetris informasi dapat dihilangkan setelah bermitra dengan koperasi. Petani dapat dengan mudah memperoleh informasi baik harga, kualitas dan teknis produksi dari koperasi. Pemilik lahan juga memiliki keuntungan dengan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk memberikan pinjaman kepada penggarap, biaya pengawasan dan pembelian mesin diesel, karena sepenuhnya dibebankan kepada koperasi. Sementara bagi pedagang perantara dan industri pengolahan tidak lagi mengeluarkan biaya untuk memberikan pinjaman sebagai ikatan kontrak dengan mitranya. Sedangkan bagi pedagang pengumpul besar keberadaan koperasi tidak memberikan keuntungan maupun kerugian bagi usahanya karena produk yang dihasilkan koperasi tidak diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pengumpul besar. Persentase penurunan biaya transaksi yang dikeluarkan masing-masing pelaku usaha dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Perbedaan atas biaya transaksi pada model bisnis lama dan baru No Uraian Biaya transaksi Rptahun Persentase Penurunan Model bisnis lama Model bisnis baru 1 Pemilik lahan 5 055 556 1 200 000 76.26 sekaligus penggarap 2 Pemilik lahan 5 866 250 1 200 000 79.54 3 Penggarap 1 729 911 1 200 000 30.63 4 Pedagang perantara 58 375 000 24 000 000 58.89

5 Perusahaan pengolahan

166 016 6667 108 350 000 34.74 6 Pengumpul besar 81 333 333 81 333 333 - Dalam model bisnis yang baru terdapat saluran pemasaran yang berbeda dari sebelumnya yaitu saluran 5 yang terdiri dari petani-koperasi-perusahaan pengolahan. Sebagai mitra yang memiliki kesepakatan terutama atas harga jual, maka petani dapat menawarkan garam krosok dengan harga jual sebesar Rp350 000 per ton, kemudian koperasi menawarkan produk garam beryodium kepada pihak industri pengolahan sebesar Rp500 000 per ton. Harga yang ditawarkan koperasi lebih tinggi Rp 41 667 per tonnya dibandingkan harga jual yang ditawarkan pedagang perantara kepada pengolah, namun diprediksi perusahaan pengolahan akan lebih memilih untuk membeli ke koperasi karena pihak industri tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk proses pencucian dan iodisasi. Analisis margin pemasaran apabila dibandingkan antara saluran pemasaran yang diusulkan relatif lebih efisien bagi petani dibandingkan saluran pemasaran yang sebagian besar dilakukan oleh pelaku usaha garam rakyat saluran 1 dan 3. Gambar 17 memperlihatkan desain saluran pemasaran 5 Gambar 17 Desain saluran pemasaran garam yang diusulkan saluran pemasaran 5 Pada Tabel 30 dapat dilihat nilai marjin pada saluran pemasaran 5 lebih kecil dibandingkan saluran pemasaran 1 dan 3, hal ini disebabkan karena harga garam ditingkat petani pada saluran 5 lebih kompetitif dibandingkan pada saluran pemasaran 1 dan 3. Pada saluran pemasaran 5 dapat dilihat share harga yang diterima petani lebih baik dibandingkan pada saluran pemasaran yang lain yaitu 30.43 persen artinya bahwa petani menikmati harga yang dibayarkan konsumen lebih tinggi dibandingkan pada saluran 1 dan 3. Selain itu aktivitas pemasaran 5 dapat memberikan kepuasan dari masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan koperasi akan menjadikan aktivitas pemasaran usaha garam rakyat relatif lebih efisien dibandingkan kondisi saat ini. Tabel 30 Perbandingan nilai sebaran marjin pemasaran dan farmer share antara model bisnis yang lama dan baru Uraian Satuan Model bisnis lama Model bisnis baru Saluran 1 Saluran 3 Saluran 5 Biaya pemasaran Rpton 104 737 104 737 97 078 Keuntungan pemasaran Rpton 750 620 741 096 702 922 Marjin pemasaran Rpton 855 357 845 833 800 000 Share harga 25.62 26.45 30.43 Untuk menguatkan kemitraan antara petani dan koperasi maka perlu disusun kontrak. Kontrak harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak. Hal-hal yang diatur dalam kontrak meliputi pembagian tanggung jawab, komitmen yang disepakati bersama dan adanya penyeleseian sengketa. Aturan yang dipergunakan dalam penyusunan kontrak dapat dilihat pada Lampiran 17. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model bisnis usaha garam rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan dan meminimalisir biaya transaksi bagi pelaku usaha garam rakyat serta menjadikan aktivitas pemasaran lebih efisien maka model bisnis yang direkomendasikan untuk usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang adalah dengan menghadirkan koperasi sebagai mitra petani sekaligus mitra dari pedagang perantara dan perusahaan pengolahan. Dengan demikian usulan kebijakan untuk pengembangan usaha garam rakyat adalah dengan membentuk kelembagaan ekonomi yaitu koperasi. Harapan atas kelembagaan ekonomi yang baru dapat memperbaiki kualitas interaksi ekonomi antar pelaku usaha garam rakyat di Kabupaten Rembang menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan. PenggarapPemilik lahanPemilik lahan sekaligus penggarap Koperasi Perusahaan pengolahan garam briket dan halus 8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Karakteristik kelembagaan kemitraan belum mencerminkan kemitraan yang ideal karena tidak ada kebebasan dalam melakukan pilihan untuk bertransaksi, posisi tawar tidak seimbang karena kemitraan diikat dengan bantuan permodalan dan tidak berdasarkan kesadaran untuk saling menguntungkan. 2. Hasil pengukuran kinerja kemitraan belum memberikan keuntungan yang proporsional, ditunjukkan oleh keuntungan petani yang relatif kecil, kerja kelembagaan yang tidak efisien dan pembagian marjin yang belum adil bagi semua pelaku pemasaran. 3. Model bisnis kemitraan yang paling layak adalah koperasi. Skema koperasi pemasaran merupakan representasi kepentingan sosial ekonomi bersama antara pelaku usaha garam rakyat yang terikat dalam hubungan kontraktual, dan terbukti mampu meningkatkan pendapatan, mengurangi biaya transaksi dan mencapai pemasaran yang relatif lebih efisien. Saran 1. Solusi alternatif untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah dengan membentuk koperasi pemasaran. Untuk dapat bersaing dengan pedagang perantara maka produk garam yang dijual harus memiliki nilai tambah yaitu garam yang dijual tidak dalam bentuk garam krosok namun sudah melalui tahap fortifikasi. Peningkatan nilai tambah ini tidak membutuhkan investasi modal berbiaya tinggi, namun secara signifikan mampu meningkatkan harga jual. 2. Dukungan pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan petani garam tidak lagi pada pemberian bantuan langsung ke petani. Setiap dukungan langsung kepada petani dalam bentuk subsidi seringkali dapat menciptakan ketergantungan pada dukungan publik dan mengancam keberlanjutan jangka panjang bisnis, sehingga bantuan lebih kepada penguatan kapasitas kelembagaan ekonomi petani dengan memfasilitasi kemudahan akses permodalan ke lembaga perbankan. 3. Perlunya penelitian lanjutan terkait aplikasi usulan design model bisnis usaha garam rakyat sekaligus menganalisis peluang kemitraan antara koperasi dengan lembaga perbankan. DAFTAR PUSTAKA Aninditia R dan Heriyanto. 2004. Industrialisasi Pertanian, Mau Dibawa Kemana Petani Kita?. Malang ID : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi umbian. Andayani W. 2008. Pengelolaan Agroforestry Aspek Ekonomi. Yogyakarta ID : Universitas Gadjah Mada Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi [disertasi]. Bogor. ID: Institut Pertanian Bogor Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhan Ratu Sukabumi [tesis]. Bogor. ID : Institut Pertanian Bogor Aprilliani A dan Yulisti M. 2007. Pengembangan Penggaraman Rakyat di Kelurahan Palenggu, Kabupatem Jeneponto, Sulawesi Selatan. 17. Jakarta ID: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Casadesus R dan Ricart E. 2009. From Strategy to Business Models and to Tactics. Working Paper USA : Harvard Business School Charles T. 2001. Sustainable fishery systems. London GB : Blackwell Science Ltd Chesbrough H dan Rosenbloom. 2002. The Role of Business Model in Capturing Value from Innovation. Dahl DC dan Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis. Newyork US: McGraw-Hill. Da Silva JG. 2013. Cooperative and Producer Organization. [diunduh 2013 Juli10]. Tersedia pada : http:www.fao.org partnershipscooperativesen [Dislatkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang. 2012. Data Produksi Garam. Rembang. Rembang ID : Dislatkan Eriyatno dan Najikh. 2011. Solusi Bisnis untuk Kemiskinan- Model dan Formula Bisnis Konkret dan Sustainable. Jakarta ID : PT. Elex Media Komputindo. Furubotn, Eirik, Ritcher R. 2000. Institutioons and Economic Theory : The contributioon of the New Institutional Economics. Cheltenham. UK : Edward Elgar . Gasman O, Eisert U, Bucherer E. 2012. Towards Systematic Business Model Innovation: Lessons from Product Innovation Management. 2112. Blackwell Publishing Ltd. Hermanto. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani Dalam Implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian. 52:110-125. ID: Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan Kohl dan Uhls. 2002. Marketing of Agricultural Product. 9. New Jersey USA : Prentice Hall. Kelly S. 2012. Smallholder Business Models for Agribusiness-led Development. Good Practice and Policy Guidance. Food and Agriculture of The United Nations. Rome IT : FAO [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Menuju Swasembada Garam Nasional. Jakarta ID : KKP Kusumo D. 2011. Indonesia hadapi krisis petani muda. [diunduh 2011 juli19]. Tersedia pada http:www.jurnas.comnews34795Indonesia_Hadapi_ Krisis_Petani_Muda1Ekonomi1347907996000 Lopulalan Y. 2009. Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan Kota Ambon [disertasi]. Bogor. ID : Institut Pertanian Bogor Manadiyato dan Pranowo SA. 2007. Profil Sosial Ekonomi Petambak Garam di Kabupaten Sumenep. 22 Jakarta ID: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Marganda P. 2006. Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal Dalam Usaha Tani Nenas di kabupaten Subang [tesis]. Bogor ID. Institut Pertanian Bogor McKenna T. 2001. What’s the Value of Cooperatives?. Las Vegas USA : Paper of Farmer Cooperatives Conference Nello S. 2000. The Role of Agricultural Cooperatives in the European Union: A Strategy for Cypriot Accession. EUI Working Paper. Robert Schuman Centre for Advanced Studies. Florence : European University Institute North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. Sidney AU: Cambridge University Press. Osterwalder, Pigneur L, Tucci. 2005. Clarifying Business Models: Origins, Present, and Future of the Concept. 151 : Communications of AIS Ostrom E. 2005. Institutional Analysis and Development : Elements of The Framework in Historical Perspective. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. USA : Indiana University Patrick I. 2004. Contract farming in Indonesia: Smallholders and agribusiness working together. Canberra AU : ACIAR Prijambodo. 2012. Good Governance Cooperative : Satu Kebutuhan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Koperasi. Jakarta ID. Kementerian Koperasi dan UKM. Purbani D. 2003. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam.. Jakarta. ID : Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Rochwulaningsih Y. 2008. Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah. ID : Universitas Diponegoro. Saragih B. 2010. Koperasi, kenapa tidak? [diunduh 2012 November1]. Tersedia pada http:www.trobos.comshow_article.php?rid=22aid=3635 Satria A. 2011. Swasembada Garam harus berorientasi pada kesejahteraan petani. [diunduh 2011 November 2]. Tersedia pada http:www.kkp.go.idindex.phparsipc6506Program-swasembada-garam- harus-berorientasi-petani Sauders C, Blake WK, Hayes P, Shadbolt N. 2007. Business Models and Performance Indicators for AgriBusinesses. The Agribusiness and Economics Research Unit AERU Schmid A. 1987. Property, Power and Public Choice: An Inquiry into Law and Economics. Second Edition. New York USA: Preager Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta ID : UI Press Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Bogor ID : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta ID : UI Press Suherman T, Fauzyah E, Halim. E. 2011. Analisis Pemasaran Garam Rakyat di Kab Sumenep ID : Jurnal embryo 82 Sukesi. Analisis Perilaku Masyarakat Petambak Garam Terhadap Hasil Usaha di Kota Pasuruan, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis. 22. ISSN 2087-1090. Surabaya ID : Universitas Dr. Soetono Sirajudin SN. 2010 Analisis Biaya Transaksi Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Sistem Mandiri dan strategi Pengembangannya. [disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Vermeulen S, Cotula L. 2010. Making The Most Of Agricultural Investment: A Survey Of Business Models That Provide Opportunities For Smallholders. Rome IT : FAO Williamson, Oliver E. 1998. The Institutions of Governance. 88 USA : The American Economic Review Wang N. 2003. Measuring Transaction Cost : An Incomplete Survey. Ronal Coase Institute Working Paper. Woodford K. 2010. The Diversity of Co-operative Structures in New Zeland Agribusiness. Christchurch NZ : Farm Management and Agribusiness Lincoln University Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Malang, ID : Bayumedia Publishing Yulihastin E, Fathrio E. 2011. Anmali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia berdasarkan Satelit TRMM terkait ITCZ. Bandung ID : Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2011 Zott C. dan Amit R. 2009: Designing Your Future Business Model: An Activity System Perspective. IESE Working Paper, No. WP-781. Barcelona ES: IESE Business School of Navarra. Lampiran 1. Luas Lahan Garam di Kabupaten Rembang No Kecamatan Desa Luas Ha Potensi Pengembangan Ha Total Ha 1 Kaliori Tunggulsari 27.20 40.95 68.15 Tambakagung 89.60 33.80 123.40 Mojowarno 157.65 52.09 209.74 Dresikulon 296.65 45.76 342.41 Dresiwetan 103.35 19.22 122.57 Tasikharjo 95.20 8.40 103.60 Purworejo 113.20 25.10 138.30 Karangsekar 28.98 0.72 29.70 Bogoharjo 41.91 14.51 56.42 Banyudono 16.50 - 16.50 2 Lasem Gedongmulyo 197.41 - 197.41 Dorokandang 66.84 10.00 76.84 Dasun 73.78 - 73.78 Tasiksono 47.63 21.62 69.25 Sendangsari 40.96 - 40.96 3 Rembang Kabongan Lor Kabongan Kidul 3.00 2.80 4.02 1.92 7.02 4.72 Tireman 51.94 - 51.94 Pasarbanggi 62.00 4.23 66.23 Tritunggal 30.43 - 30.43 Punjulharjo 92.10 - 92.10 4 Sarang Kalipang 9.54 - 9.54 Sendangmulyo 29.00 - 29.00 Temperak 5.55 - 5.55 5 Sluke Sluke 18.59 18.59 Trahan 3.80 3.80 Pangkalan 8.70 1.65 10.35 Jumlah 1 714.31 283.99 1 998.3 a Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013 Lampiran 2. Karakteristik Responden Pelaku Usaha Garam Rakyat No Nama Desa. Kecamatan Umur Thn Tingkat Pendidikan Mulai Usaha Kepemilikan lahan Ha Pekerjaan sampingan Petani Pemilik sekaligus Penggarap 1 Djasmani Ds Gd Mulyo, Lasem 52 SMA 1986 1 perangkat desapbddy bandeng 2 Asfaat Ds Purworejo, Kaliori 58 SMP 1971 1 nelayan 3 Sumani Ds Dresikulon 59 SD 1972 0.5 nelayan 4 Adi Rukyanto Ds Purworejo, Kaliori 34 SMA 2010 1 petani padi 5 Yudiono Ds Purworejo, Kaliori 43 SMP 2003 1 petani tebu 6 Sujiyanto Ds Punjulharjo, Rembang 51 SMP 1998 1 pembudidaya bandeng 7 Suwarno Ds. Tasiksono, lasem 54 SMA 1992 1 petani tebu 8 Jumari Ds. Gd Mulyo, lasem 48 SMP 1999 0.5 petani padi 9 Rasiadi Dasun, Lasem 51 S1 1986 1 eksportir rajungan 10 Sudadi Ds Tambak agung, Kaliori 34 SMA 2007 0.5 petani padi 11 Supriono Dorokandang, Lasem 35 SMP 2003 1 petani tebu 12 Sumani Tasiksono, Lasem 53 SD 1980 0.5 pembudidaya bandeng Penggarap 1 Wastono Ds Tasikharjo, Kaliori 49 SD 1991 - nelayan 2 Tarsipin Dresi wetan, Kaliori 29 SMA 2005 - Petani tebu 3 Mujayadi Tambak Agung, Kaliori 48 SD 2003 - petani padi 4 Suwito Dresikulon, Kaliori 52 SD 1998 - nelayan 5 Jumarno Gd Mulyo, lasem 55 SD 2001 - nelayan 6 Solikan gd Mulyo, lasem 34 SMP 1996 - nelayan 7 Yusman Dresi Wetan, Kaliori 43 SMP 1998 - nelayan 8 Parlan Dresi Kulon, Kaliori 52 SD 1992 - petani padi 9 Sugiman Ds Purworejo, Kaliori 42 SMP 2005 - nelayan 10 Suyitno Ds. Puworejo, Kaliori 64 SD 1998 - petani padi 11 Yasmani Ds Dorokandang, lasem 61 SD 1996 - petani padi 12 Sutomo Ds Tasiksono, Lasem 52 SD 2003 - nelayan 13 Yustami Ds Tasiksono, Lasem 53 SD 1980 - nelayan 14 Mastur Tasikharjo, Kaliori 47 SMP 1998 - nelayan Pemilik Lahan 1 Sutopo Kaliori 56 SMA 2002 4 Pengusaha 2 Rasmani Kaliori 48 S1 1999 4 Pengusaha 3 Suryana Kaliori 64 SMP 1969 5 Pengusaha 4 Hj Popon Kaliori 60 SMP 1993 5 Pengusaha Pedagang Perantara 1 Mustofa Margoyoso 43 SMA 1999 2 Yusman Dresiwetan-Kaliori 43 SMP 1998 pengumpul beras 3 Agus Hadi Purwanto Lasem 43 SMP 1993 perangkat desa 4 Joko Santoso lasem 49 SMA 2000 pengumpul ikan 5 Untung Lasem 50 SD 2007 pengumpul beras 6 Giman Rembang 48 SMA 1995 - Pedagang Pengumpul Besar 1 Emi Rembang 46 SMA 2004 2 Yudi Kaliori 50 SMA 2000 Lampiran 3. Karakteristik Responden Industri Pengolahan No Nama Perusahaan Alamat Tahun Berdiri Produk Jumlah Tenaga Kerja Kapasitas Produksi Ton Tujuan Pemasaran 1 PT. Garam Mas Ds Tambak Agung, Kec Kaliori 1969 Garam briket dan halus 30 50 - 2 PT. Ndandut Ria Ds Purworejo, Kec Kaliori 2002 Garam briket dan halus 30 50 Ambarawa, Sragen, Lamongan dan Purwakarta 3 PT. Apel Merah Ds Purworejo, Kec Kaliori 1993 Garam briket dan halus 39 50 Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Lampung dan pasar tradisional di wilayah Rembang 4 PT. Suka Maju Ds Purworejo, Kec Kaliori 2011 Garam briket dan halus 23 25 Bandung, Jakarta dan Lampung. Lampiran 4. Nilai Penyusutan Masing –Masing Pelaku Usaha Garam Rakyat 1. Nilai Penyusutan Gudang dan Peralatan Usaha Tambak Garam Petani Pemilik sekaligus Penggarap No Jenis Peralatan Harga Rpunit Jumlah unit Umur ekonomis tahun Nilai Penyusutan Rptahun Persentase 1 Gudang 6 062 500 1 10 6 062 500 606 250 62.29 2 Kincir angin 1 041 667 2 5 2 083333 416 667 21.40 3 Slendergilidan 110 417 2 2 220 883 110 417 2.27 4 Garuk 46 667 2 3 93 333 46 389 1.43 5 Cangkul 69 583 2 2 139 167 46 667 0.96 6 Pipa Paralon 825 000 1 5 825 000 165 000 8.48 7 Baumemeter 17 273 1 2 17 237 8636 0.18 8 Keranjang pikul 58 333 2 2 116 667 58 333 1.20 9 Sepeda 175 000 1 5 175 000 35 000 1.80 Total 9 733 600 1 439 359 100.00

2. Nilai Penyusutan Gudang dan Peralatan Usaha Tambak Garam Pemilik lahan

No Jenis Peralatan Harga Rpunit Jumlah unit Umur ekonomis tahun Nilai Penyusutan Rptahun Persentase 1 Gudang 13 750 000 1 10 13 750 000 606 250 76.67 2 Kincir angin 1 250 000 2 5 2 500 000 416 667 13.94 3 Slendergilidan 50 000 2 2 100 000 110 417 0.56 4 Garuk 25 000 2 3 50 000 46 389 0.45 5 Cangkul 81 250 2 2 81 250 46 667 0.28 6 Pipa Paralon 937 500 1 5 937 500 165 000 5.23 7 Baumemeter 16 250 1 2 16 250 8636 0.09 8 Gerobak 250 000 1 5 500 000 35 000 2.79 Total 17 935 000 2 272 808 100

3. Nilai Penyusutan Gudang, Kendaraan dan Peralatan Pedagang Perantara

No Jenis Peralatan Harga Rpunit Jumlah unit Umur ekonomis tahun Nilai Penyusutan Rptahun Persentase 1 Gudang 12 500 000 1 20 12 500 000 625 000 7.36 2 Mesin Jahit 1 408 333 3 5 4 225 000 845 000 9.96 3 Genset 1 483 333 3 5 4 450 000 890 000 10.49 4 Gerobak 471 667 4 5 1 886 667 377 333 4.45 5 Truk 115 000 000 1 20 5 750 000 5 750 000 67.75 Total 100.00

4. Nilai Penyusutan Industri Pengolahan Garam Briket dan Halus

No Jenis Peralatan Harga Rpunit Jumlah unit Nilai Umur ekonomis tahun Penyusutan Rptahun Persentase 1 Gudang permanen 25 000 000 2 50 000 000 10 5 000 000 21.06 2 Mesin Selip 21 250 000 2 42 500 000 10 4 250 000 8.95 3 Mesin cetakan 45 000 000 2 90 000 000 10 9 000 000 18.96 4 Alat iodisasi 237 500 2 475 000 3 158 333 0.33 5 Mesin pengemasan 52 500 000 1 52 500 000 10 5 250 000 11.06 6 Oven garam briket 5 875 000 5 29 375 000 10 2 937 500 6.19 7 Oven garam halus 8 333 333 1 8 333 333 10 833 333 1.76 8 Nampan 26 250 500 13 125 000 5 2 625 000 5.53 9 Alat cetak manual 150 000 15 2 250 000 10 225 000 0.47 10 Diesel utk pencucian 2 000 000 1 2 000 000 5 400 000 0.84 11 Timbangan 1 375 000 2 2 750 000 5 550 000 1.16 12 Truk 225 000 000 1 225 000 000 20 11 250 000 23.69 Total 568 308 333 42 479 167 100.00

5. Nilai Penyusutan Pedagang Pengumpul Besar

No Jenis Peralatan Harga Rpunit Jumlah unit Nilai Umur ekonomis tahun Penyusutan Rptahun Persentase 1 Mesin jahit 1 000 000 2 2 000 000 5 400 000 26.09 2 Genset 1 133 333 3 3 400 000 3 1 133 333 73.91 Total 568 308 333 1 533 333 100.00 Lampiran 5. Analisis Pendapatan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap Aktual No Uraian Satuan Volume Harga Nilai Persentase Rpsatuan Rp A Penerimaan Produksipanen ton 1.67 Jumlah Panen Musim 40.00 Penerimaan Tonmusim 66.67 304 167 20 277 778 B Total Penerimaan 20 277 778 C Biaya Tunai 1 Perbaikan saluran Rpmusim 1 1 958 333 1 958 333 12.37 2 TK pengelolaan lahan OHK 150 47 500 7 125 000 44.99 3 TK Pemanenan OHK 40 48 500 1 940 000 12.25 4 Solar Rpmusim 6 309 720 1 858 320 11.74 5 Pajak lahan Rptahun 2 110 333 110 333 0.70 6 Pemeliharaan peralatan Rptahun 1 883 333 883 333 5.58 Total Biaya Tunai 13 875 320 D Biaya diperhitungkan 1 Penyusutan alat Rptahun 1 493 359 1 493 359 9.70 Total Biaya yang diperhitungkan 1 493 359 E Total Biaya 15 368 679 F pendapatan atas biaya tunai 6 402 458 G Pendapatan atas biaya total 4 909 099 H RC atas biaya tunai 1.46 I RC atas biaya total 1.32 Lampiran 6. Analisis Pendapatan Pemilik Lahan sekaligus Penggarap Model Bisnis yang diusulkan No Uraian Satuan Volume Harga Nilai Persentase Rpsatuan Rp A Penerimaan Produksipanen ton 1.67 Jumlah Panen Musim 40.00 Penerimaan Tonmusim 66.67 350 000 23 333 333 B Total Penerimaan 23 333 333 C Biaya Tunai 1 Perbaikan saluran Rpmusim 1 1 958 333 1 958 333 12.37 2 TK pengelolaan lahan OHK 150 47 500 7 125 000 44.99 3 TK Pemanenan OHK 40 48 500 1 940 000 12.25 4 Solar Rpmusim 6 309 720 1 858 320 11.74 5 Pajak lahan Rptahun 2 110 333 110 333 0.70 6 Pemeliharaan peralatan Rptahun 1 883 333 883 333 5.58 Total Biaya Tunai 13 875 320 D Biaya diperhitungkan Penyusutan alat Rptahun 1 493 359 1 493 359 9.70 Total Biaya yang diperhitungkan 1 493 359 E Total Biaya 15 368 679 F pendapatan atas biaya tunai 9 458 013 G Pendapatan atas biaya total 7 964 655 H RC atas biaya tunai 1.68 I RC atas biaya total 1.52