Waris Tanpa Anak

Waris Tanpa Anak
WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK
Penanya:
Abdul Salam, Grabag, Purworejo.
(disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)
Pertanyaan:
Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan, dengan urutan
sebagai berikut:
Pertama: A (laki-laki) telah meninggal dunia sebelum bulan Ramadlan 1426 H yang lalu,
meninggalkan seorang isteri Z dan tidak mempunyai anak. Kedua: B (perempuan). Ketiga: C
(laki-laki) telah meninggal dunia 15 tahun yang lalu, dengan meninggalkan seorang isteri dan 6
orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Satu di antara
anak laki-laki tersebut sudah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri. Keempat: D
(laki-laki). Kelima: E (laki-laki). Sampai sekarang harta warisan A belum dibagikan kepada ahli
waris. Di kala hidupnya, A mewasiatkan sebagian hartanya kepada salah seorang anak C.
Harta peninggalannya terdiri dari harta bawaan dan harta hasil usaha selama perkawinan
dengan Z. Dalam pada itu Z pun punya harta bawaan dalam menempuh hidup berkeluarga
dengan A.
Mohon dijelaskan:
1.


Bagaimanakah cara pembagiannya dan pelaksanaan wasiatnya menurut Hukum Islam?

2.

Bolehkah jika kami melakukan kerukunan dalam pembagian tersebut?

3. Bolehkah jika sebagian dari ahli waris menshadaqahkan atau mewakafkan sebagian harta waris
yang diterima diatasnamakan pewaris?
Kami mohon dengan hormat lagi sangat Majelis Tarjih dapat menjelaskan dengan
disebutkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits atau dasar hukumnya. Demikian atas perkenan dan
bantuan Bapak, kami ucapkan terima kasih, dengan iringan do’a semoga kita semua mendapat
ridla Allah swt.

Jawaban:
1.

Sebelum dilakukan pembagian harta waris, terlebih dahulu harus dipastikan berapa atau apa
saja yang termasuk harta waris yang ditinggalkan oleh A. Menurut hemat kami ada dua hal yang
harus diperhatikan:
Pertama: Berkaitan dengan harta bawaan dan pembagian harta bersama. Harta bawaan isteri (Z)

dikembalikan kepada Z. Kemudian harta bersama dibagi dua; separoh diberikan kepada Z. Hal
ini didasarkan kepada:

a.

b.

Pasal 86 ayat (2) KHI:
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami
tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 ayat (1) KHI:
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

c.

Pasal 96 ayat (1) KHI:
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama.

Kedua: Setelah jelas harta peninggalan A, yakni harta bawaan A dan separoh harta bersama;
kemudian yang harus diperhatikan biaya perawatan jenazah (tajhiz), hutang dan wasiat jika dua
hal yang disebutkan terakhir tersebut memeng ada. Dengan kata lain, sebelum harta peninggalan
A dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima, maka terlebih dahulu dikeluarkan untuk
biaya perawatan di kala sakit dan perawatan jenazahnya, hutang dan wasiat; baru setelah itu
sisanya sebagai harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.

a. Biaya Perawatan Pewaris (Muwarris).
Biaya untuk perawatan sakit pewaris demikian pula biaya untuk perawatan jenazahnya dari
semenjak untuk memandikan, mengkafani sampai dengan menguburkannya, jika pewaris
memiliki harta harus diambilkan dari hartanya. Jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan
harta, maka biaya perawatan jenazah dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya di
akhir hidupnya. (As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid I halaman 438). Bahkan menurut Ibnu
Hazm jika seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka biaya perawatan
jenazah diambil dari hartanya, bukan menjadi kewajiban suaminya; dengan alasan bahwa harta
seseorang dilindungi oleh Syara’, hanya boleh dikeluarkan apabila dibenarkan oleh al-Qur’an

dan as-Sunnah. Al-Qur’an dan as-Sunnah mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah dan
tempat tinggal kepada isteri. Mengkafani dan menguburkan tidak termasuk ke dalam pengertian
memberi nafkah dan memberikan tempat tinggal.


Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf e, disebutkan: Harta warisan adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya perawatan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.

b. Hutang
Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11, dijelaskan bahwa pembagian harta waris dilakukan
kepada ahli waris setelah hutang dan wasiat ditunaikan terlebih dahulu. Ketegasan itu berbunyi:

Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 11].
Dalam Hadits dijelaskan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw beliau bersabda: Jiwa orang beriman itu
digantungkan dengan hutangnya, sampai hutang itu dilunasi. HR Ahmad.
Dimaksud dengan hutang di sini mencakup hutang yang dilakukan pewaris di kala
hidupnya dengan sesama hamba Allah (umat manusia) maupun hutang yang berupa kewajiban
yang harus ditunaikan untuk menjalankan agama Allah, seperti: zakat yang belum dibayar,
kafarat atau diyat yang belum dibayar dan nadzar yang belum ditunaikan. Semua itu dapat
dikatakan sebagai hutang kepada Allah Swt. Dalam hadits dijelaskan:


Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., … Rasulullah saw bersabda: Hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar.” [HR. al-Bukhari].
c. Wasiat

Berdasarkan pada firman Allah dalam surah an-Nisa’ (4): 11, sebagai telah disebutkan di
atas, maka jika pewaris pernah berwasiat semasa hidupnya, harus dipenuhi terlebih dahulu wasiat
yang pernah dibuat itu. Orang yang berhak menerima wasiat pada dasarnya adalah selain orang
yang menerima warisan. Ahli waris yang menerima warisan dapat menerima wasiat bila semua
ahli waris menyetujuinya. Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh ada wasiat
bagi penerima warisan kecuali semua ahli waris menyetujuinya.” [HR. ad-Daruquthny].
Dari permasalahan pewarisan yang saudara tanyakan, kami melihat ada seorang anak dari
saudara laki-laki pewaris yaitu C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pada A
(pewaris). Dalam pandangan jumhur ulama anak C yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
dari meninggal dunianya A, tidak dapat menerima warisan, karena terhijab (terhalang) oleh
saudara-saudara A yang masih hidup. Dengan demikian anak C dapat menerima wasiat dari A
yang ketika hidup pernah mewasiatkan sebagian hartanya diberikan kepada anak C. Namun jika
menggunakan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:


1).

Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat
diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.1[1]

2).

Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti.

Maka anak C (bersama saudara-saudaranya) menjadi ahli waris atau dapat ikut menerima
harta waris A. Dengan berdasarkan kepada hadits riwayat ad-Daruquthny di atas, maka anak C
tidak berhak menerima wasiat, kecuali semua ahli waris yang lain membolehkannya. Ketentuan
ini sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 195 ayat (3), yang
menyatakan: Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

Jika semua ahli waris setuju terhadap wasiat tersebut, maka sebelum harta peninggalan A
dibagi kepada para ahli waris, harus ditunaikan wasiat tersebut. Dengan kata lain, harta
peninggalan tersebut harus dikurangi dengan wasiat yang diberikan kepada anak C yang diberi
wasiat. Besar wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah harta waris. Oleh karena itu wasiat yang

diberikan kepada anak C harus dihitung secara cermat. Jika melebihi dari 1/3 jumlah harta waris,
maka hanya maksimal 1/3 yang diberikan kepada anak C penerima wasiat. Berdasarkan hadits:

Artinya: “Rasulullah saw mengunjungi saya pada tahun haji wada‟ ketika saya sedang sakit keras. Saya
bertanya: Wahai Rasulullah, saya dalam keadaan sakit keras. Bagaimana pendapat anda. Saya
kaya dengan harta; tidak ada yang mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan.
Bolehkah saya menshadaqahkan (mewasiatkan) 2/3 hartaku? Beliau menjawab: Jangan.
Kemudian saya bertanya lagi: Bagaimana kalau ½ nya wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
Jangan. Lalu saya bertanya lagi: Bagaimana kalau 1/3 nya? Rasulullah saw menjawab: Ya 1/3;
dan 1/3 itu sudah banyak atau sudah besar. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris yang
berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang
meminta-minta kepada orang lain.” [HR. al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Sa'd bin Abi
Waqash].

Apabila wasiat melebihi 1/3 harta waris, diperlukan persetujuan semua ahli waris. Jika ahli
waris tidak menyetujui, maka wasiat maksimal hanya 1/3 harta waris. Dalam pasal 195 ayat (2)
KHI disebutkan: Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

Setelah langkah-langkah di atas dilalui, maka tibalah saat pembagian warisan. Perlu kami

sebutkan lagi ahli warisnya, yakni terdiri: 1 orang isteri, 1 orang saudara perempuan dan 3 orang
saudara laki-laki. Sedangkan harta warisnya ialah harta bawaan A ditambah dengan separoh
harta bersama, setelah dikurangi dengan biaya perawatan, wasiat dan hutang.
a.

Isteri (Z), memperoleh ¼ berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai
anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12].

Jadi istri (Z) di samping memiliki harta bawaannya, juga memperoleh separoh harta usaha
bersama dan memperoleh seperempat dari harta waris.

b.

Selebihnya harta waris tersebut dibagikan kepada 1 orang saudara perempuan dan 3 orang
saudara laki-laki dengan ketentuan, bagian seorang saudara laki-laki dua kali bagian saudara
perempuan, berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka

bahagian seorang laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.” [QS. an-Nisa’
(4): 176].
Dengan cara sederhana dapat diperhitungkan, sebagai berikut:
1 orang saudara perempuan mendapat: 1 x 1 bagian = 1 bagian
3 orang saudara laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian

= 6 bagian

Jumlah

= 7 bagian

Jadi dalam pembagian ini:
B (saudara perempuan) mendapat 1/7 bagian, C (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian, D
(saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian dan E (saudara laki-laki) mendapat 2/7 bagian.

Untuk selanjutnya bagian C dibagikan kepada anak-anaknya yang masih hidup, juga
dengan ketentuan bagian anak laki-laki memperoleh bagian dua kali bagian anak perempuan,
berdasarkan firman Allah:


Artinya: “Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu;
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. anNisa’ (4): 11].
Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, dapat diperhitungkan sebagai berikut:
2 orang anak perempuan mendapat: 2 x 1 bagian
= 2 bagian
3 orang anak laki-laki mendapat: 3 x 2 bagian

= 6 bagian

Jumlah

= 8 bagian

Jadi setiap anak perempuan mendapat 1/8 bagian dan setiap anak laki-laki mendapat bagian
2/8 dari bagian harta waris A yang diberikan kepada C.

2.

Melakukan kerukunan dalam pembagian harta waris dalam Hukum Islam disebut dengan
tashaluh (perdamaian) atau takharuj (sebagaian ahli waris dengan sukarela keluar dari

penerimaan harta waris baik untuk seluruh atau sebagian). Menurut Hukum Islam, pada dasarnya
seorang pemilik harta dapat mentasharufkan atau menggunakan harta miliknya sekehendak si
pemilik sepanjang tidak dilarang oleh Syara’ (Agama). Atas dasar itu orang yang memperoleh
bagian harta waris dapat untuk merelakan harta waris yang diterima itu untuk diberikan kepada
ahli waris yang lain, baik seluruh atau sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Dalam sejarah
pernah terjadi pada diri seorang sahabat, yang kejadiannya sebagai berikut:

Artinya: “Abdur Rahman Ibn „Auf di saat sakit yang membawa kematiannya, mentalak isterinya yang
bernama Tumadhir Binti al-Ishbagh al-Kalbiyah; setelah itu ia meninggal dunia, di saat
isterinya masih dalam masa „iddah. Kemudian „Utsman ra memberikan warisan kepadanya
beserta tiga isterinya yang lain. Lalu mereka berdamai sepertigapuluhduanya diganti dengan
pembayaran delapan puluh tiga ribu. Ada yang mengatakan dinar ada pula yang mengatakan
dirham.” [Muhammad Yusuf Musa, at-Tirkah wal-Mirats, halaman 375].

Pembagian harta warisan dengan tashaluh ini, dilakukan setelah masing-masing ahli waris
mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut
Hukum Islam. Dalam Pasal 183 KHI ditegaskan: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

3.

Pada dasarnya Islam mengajarkan bahwa amal seseorang dinilai sebagai amal shalih, apabila
dilakukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan:

Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya …”. [QS. al-Baqarah (2): 286].

Artinya: “… Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas
kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54].
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah
diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39].
Ketentuan umun tersebut dapat berlaku lain, apabila ada dalil yang menunjukkannya.
Dalam hal ini, antara lain diterangkan dalam hadits:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila keturunan
Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah
(wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” [HR.
Muslim].
Ada pula hadits yang mengajarkan bahwa anak dibolehkan bershadaqah atas nama orang
tuanya, yang pahalanya akan dinikmati oleh pewaris juga.

Artinya: “Diriwayatkan dari „Aisyah ra., ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Bahwa ibuku
meninggal dunia secara mendadak. Saya kira, andaikata ia sempat berbicara, niscaya ia akan
bershadaqah. Apakah ada pahala baginya, jika saya bershadaqah atas namanya? Beliau
menjawab: Ya.” [Muttafaq „Alaih].

Hadits-hadits Nabi saw mengenai amal anak atas nama orang tua itu merupakan
perkecualian dari ketentuan umum tersebut di atas. Dengan demikian, dibolehkan ahli waris
menyisihkan sebagian harta warisan dengan maksud untuk shadaqah jariyah atas nama pewaris
misalnya untuk membantu pembangunan masjid, rumah sekolah, rumah sakit, pembuatan jalan
umum, saluran air dan sebagainya, tetapi bukan hanya untuk sedekahan yang berupa makan
minum untuk jamuan tamu-tamu yang datang berta’ziyah, untuk jamuan selamatan tiga hari,
tujuh hari dan sebagainya bagi mereka yang datang dalam upacara-upacara kematian yang
memang tidak diajarkan. (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, halaman 66-67). *dw)

1[1] Pasal 173:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.
b.

dipersalahkan telah membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.