Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Viii/2010 (Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/Pa.Js)

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Adi Guna Sakti NIM: 1110044200005

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

ABSTRAK

Adi Guna Sakti, NIM 1110044200005, “HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)” Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 67 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS apakah telah sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam, faktor apa saja yang mempengaruhi putusan majelis hakim dalam memutus perkara Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS, serta bagaimana hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dimana sampai saat ini masih adanya kekosongan hukum dalam peraturan pelaksanaannya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu analisis data yang terdiri dari data deskriptif yakni ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan melihat objek hukum berkaitan dengan undang-undang serta penerapannya. Bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara waris anak luar nikah tidak mendapat waris karena hakim beralasan putusan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini masih belum ada peraturan pelaksanaannya sehingga terdapat kekosongan, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan poin-poin lain yang berkaitan pada putusan tersebut.

Kata Kunci : Waris, Anak Zina

Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A, M.H Daftar Pustaka : Tahun1971 s.d. Tahun 2012


(6)

v

KATA PENGANTAR











Segala puji, dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ).

Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk pemimpin umat manusia yang revolusioner dimana oleh karenanyalah ilmu dan cahaya Islam bisa dirasakan sampai akhir zaman.

Penulis bersyukur dengan tiada henti karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (s1) yang penulis hadapi telah selesai dikerjakan. Serta tak lupa penulis minta maaf apabila ada penulisan dalam skripsi ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A, selaku ketua Jurusan Prodi SAS, dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A selaku sekretaris jurusan SAS yang telah memberikan arahan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A, M.H selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak waktunya dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vi

5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.

6. Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menjadi objek penelitian skripsi ini yang telah membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Kepada kedua orang tua Ayahanda tercinta Asrahadi dan Ibunda tersayang Dahriah Rahim, sujud abdiku kepada kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian selama ini, “allahummagfirlii

waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Abang dan kakakku

tersayang Mhd.Miftah Habibi, Khalidah Juniarti dan Wahyu Hidayat, serta saudara-saudaraku yang selalu memberi support.

8. Seluruh teman AKI angkatan 2010 yang terkasih Mirza, Iqbal, Natasha Nicola, Dini Aulia, Sukron Naim, Rian Wahyu Utomo, Ahmad Bukhari Muslim dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala canda tawa dan keluh kesah selama dikelas, maaf kalau banyak kesalahan penulis baik yang disengaja maupun tidak dan tentunya kalian adalah yang terindah selama pembelajaran di kelas.

9. Untuk teman satu kosan R.Usman Efendi dan Soprianto serta Lebis Preska yang tidak pernah bosan memotivasi, memberikan arahan dan masukan sehingga penulis dalam menyelesaikan skripsi

10. Untuk keluarga besar IKRH (Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah) secara kolektif yang tidak mungkin disebutkan dalam kertas pendek ini. Penulis merasa adanya transformasi baru untuk mengenal orientasi organisasi yang lebih baik demi terwujudnya menusia madani yang tercerahkan.

11. Untuk yang tersayang Syarifah Fuzna yang merupakan simbol kekuatan wanita yang tidak pernah lelah dalam bekerja serta mengingatkan penulis di setiap harinya untuk menyelesaikan skripsi ini.


(8)

vii

12. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang telah berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Ciputat, 28 April 2014


(9)

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI. ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II: HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH A. Hukum Waris ... 12

1. Pengertian Waris ... 12

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam ... 14

3. Rukun dan Syarat Waris ... 16

4. Sebab-Sebab Mewariskan ... 22

5. Waisiat Wajibah ... 25

B. Anak Luar Nikah ... 27

1. Perbedaan Anak Luar Nikah dengan Anak Zina ... 27

2. Pengertian Zina ... 29

3. Dasar Hukum dan Macam-macam Zina ... 31

4. Akibat Perbutan Zina ... 33


(10)

ix

BAB III: PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama ... 37

B. Strutur Organisasi Pengadilan Agama ... 43

C. Letak Geografis Pengadilan Agama ... 45

D. Duduk Perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ... 47

BAB IV: HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.46/PUU-VIII/2010 A. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan ... 52

B. Faktor yang Mempengaruhi Putusan Hakim ... 59

C. Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Pada Perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS.. ... 61

D. Analisis Putusan ... 63

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Bimbingan Skripsi

2. Surat Wawancara ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan 3. Surat Keterangan Wawancara

4. Hasil Wawancara


(11)

1

A. Latar Belakang

Islam merupakan salah satu ajaran agama yang ada di dunia, di mana di dalam agama Islam banyak ajaran-ajaran yang dapat diambil dan bahkan diamalkan. Manusia dan segala alam lainnya yang merupakan ciptaan Allah SWT, merupakan makhluk yang mempunyai nyawa dan terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan. Bagi alam nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani, ada dua jenis bentuk yakni jantan dan betina sedangkan pada makhluk alam insani (manusia) ada jenis yang sering disebut dengan pria dan wanita1.

Islam memandang bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian yang agung

(mitsaqan ghalidzan) yang membawa konsekuensi suci atas pasangan laki-laki dan

perempuan. Di mana sesuatu yang sebelumnya haram, berubah menjadi halal dengan sarana perkawinan.2

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah

1

Amir Taat Nasution. Rahasia Perkawinan dalam Islam. (Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya, 1994),. Hal. 14

2

Sayyid sabiq. Fiqh sunnah. Terjemahan: Drs. Moh Tholib, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1990), jilid 6, hal. 7


(12)

Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi.3

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Pada umumnya, setiap orang yang akan melangsungkan kehidupan berumah tangga mereka sama-sama mengimpikan dan mendambakan kebahagiaan seperti yang digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, sering terjadi kebalikannya, timbul penyesalan dan penderitaan di dalam diri.5

Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris. Di dalam Kompilasi Hukum Islam dituliskan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dengan kata lain seorang anak yang lahir di luar pernikahan dianggap bukan merupakan ahli waris.

Oleh sebab itu perlu adanya penetapan asal usul anak sehingga status anak tersebut jelas dan anak tersebut mendapatkan hak yang semestinya diterimanya.

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undan-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2006), h. 48.

4

Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. 5

Sidi Nazar Bakry. Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah). (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hal. 1


(13)

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memilki hubungan nasab dengan ibunya.

Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila:6

a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.

b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberikan aturan-aturan yang mirip untuk tidak mengatakan persis sama dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan.7

Di mana dijelaskan tentang anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Selain itu, dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/UUP-VIII/2010; pada pokoknya merubah bunyi pasal 43 ayai (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta. Prenada Media. 2004), Hal. 276,277

7


(14)

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dirubah sehingga

anak tersebut juga memiliki hubungan perdata dengan bapak biologisnya.

Tapi, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/ PUU-VIII/2010; menyatakan di mana anak luar perkawinan juga memiliki hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Di mana maksud dari putusan itu memberikan hak anak sama seperti anak yang lainnya yakni memberikan warisan sebagaimana semestinya karena anak tersebut merupakan darah daging ayahnya dan semua itu dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat dijadikan bukti autentik di depan meja pengadilan.

Dalam KUHPerdata dituliskan bahwa pada pasal 832 “Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah

maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama”.

Namun, pada penetapan perkara volountair (permohonan) Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA JS tentang asal usul anak. Di mana hakim menetapkan anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya sama seperti ibunya dan dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan sebagaimana dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.46/PUU-VIII/2010. Dan ini berarti anak tersebut merupkan anak biologis yang sah dari ayahnya dan secara langsung mempunyai hubungan nasab.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di Indonesia ini dengan mendapatkan status yang jelas dan mendapatkan pertanggung jawaban dari ayahnya.


(15)

Tetapi, Pengadilan Agama Jakarta Selatan menetapkan anak tersebut hanya mendapatkan hubungan perdata dengan ayahnya tetapi dalam pembagian harta, anak tersebut hanya mendapatkan wasiat wajibah yakni 1/3 bukan hak waris.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam karya tulis yang berjudul “HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor.

0156/Pdt.P/2013/PA JS)”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta peleberan secara meluas, penulis akan membatasi permasalahan ini pada “Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan Nomor. 0156/Pdt.P/2013/PA JS)”.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan KUHPerdata pada pasal 832 dimana dikatakan anak luar nikah berhak untuk menjadi ahli waris. Kenyataannya dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan anak luar nikah justru tidak mendapatkan warisan dan diganti dengan wasiat wajibah. Rumusan masalah tersebut, penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagamana majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara No. 0156/Pdt. P/2013/PA JS ?


(16)

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi putusan hakim pada perkara No. 0156/Pdt. P/2013/PA JS ?

3. Bagaimana hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PPU-VIII/2010 pada perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memahami pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutus hak waris anak khususnya anak luar perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi

2. Untuk mengetahui apa yang di jadikan faktor yang mempengaruhi hakim pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta akibat putusan tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah hak waris anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi mendapatkan warisan

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya adalah: 1. Bagi Penulis

a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan dan waris.

b. Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam lingkup pengadilan agama.


(17)

c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat

2. Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang status anak luar kawin serta pembagian warisnya dan akibat hukumnya.

b. Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim pengadilan agama mengenai penetapan hak waris anak luar perkawinan setelah keluarnya putusan Mahmakah Konstitusi

3. Bagi Institusi

a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim pengadilan agama dalam memutuskan penetapan hak waris anak luar perkawinan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi.

4. Bagi Universitas

a. Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum perkawinan dan waris serta akibat hukumnya.

b. Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu pengetahuannya.

c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan mahasiswa dalam menangani masalah di lapangan.


(18)

D. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini bersifat kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yakni ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.8 Kemudian menganalisa isi putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian para hakim menyelesaikan perkara hak waris anak luar perkawinan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Sumber data dan proses pengumpulan data a. Data primer

Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang didapatkan dari pengadilan agama.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara hak waris anak luar perkawinan.

3. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dengan mendeksripsikan putusan dan menghubungkannya dengan hasil wawancara, serta analisa yurispudensi hakim pengadilan agama.

8

Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, suatu pendekatan fenomologis terhadap ilmu-ilmu sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h.21


(19)

4. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini secara teknik penulisan berpedoman pada buku penulisan skripsi.

E. Review Studi Terdahulu

Dalam rangka perbandingan kajian skripsi yang penulis bahas dengan beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis mengambil skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis masalah yang diteliti dari skripsi-skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Syariah dan Perpustakaan Umum. Dari kedua perpustakaan ini, penulis menemukan dua Skripsi yang dapat penulis jadikan sebagai Review Studi Terdahulu. Skripsi-skripsi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Abdul Latif Prabowo Wijayandra tahun 2012, Peradilan Agama, dengan judul

skripsi “Perlindungan Anak Luar Nikah (Putusan Mahakamah Konstitusi No.

46/PPU-VIII/2010”, di mana dalam pembahasan skripsi tersebut membahas tentang perlindungan anak luar nikah pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Ridho Akmal Nasution tahun 2013, Peradilan Agama, dengan judul “Dampak Putusan Mahakamah Konstitusi No. 46/PPU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah prespektif hukum Islam dan hukum positif”, di mana dalam skripsinya membahas tentang status anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi, pandangan hukum Islam dan positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, serta dampak putusan Mahakamh Konstitusi.


(20)

Setelah melihat serta membandingkan antara skripsi-skripsi yang ada di atas, banyak perbedaan yang terjadi antara skripsi-sripsi yang telah ada dengan skripsi yang akan penulis susun. Dalam skripsi penulis ingin menganalisis pertimbangan, faktor serta bagaimana hak waris anak luar nikah dalam perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Dan penulis merasa ini sangat menarik.

F. SistematikaPenulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, di mana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab Pertama berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, studi review terdahulu, dan sistematika penelitian.

Bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang warisan yang terdiri dari pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, sebab dapatnya waris dan anak luar nikah yang terdiri dari, perbedaaan anak luar nikah dengan ank zina, pengertian anak zina, dasar hukum, serta warisan yang diperolehnya.

Bab Ketiga akan Menjelaskan uraian diskripsi data berkenaan dengan gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berkaitan dengan sejarah dan struktur organisasinya serta duduk perkara putusan.

Bab Keempat merupakan analisis yuridis terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 0156/Pdt.P/2013/PA. JS, alasan Majelis Hakim


(21)

dalam memutus perkara serta akibat hukum dari putusan tersebut pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

Bab Kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun dunia akademis.


(22)

12

HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH

A. Hukum Waris

1. Pengertian Waris

Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata ئا فلا (al-fara’idh atau diindonesiakan menjadi faraidh) adalah bentuk jamak dari ة فلا (al-faridhah) yang bermakna ة ف لا (al-mafrudhah) atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.1

Menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata فلا (al-fardh) atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata

al-faradh memiliki beberapa arti, di antaranya sebagai berikut.

a. عط لا (al-qath’) ketetapan atau kepastian.

b. تلا (at-taqdir) yang berarti suatu ketentuan.

c. لا اا (al-inzal) yang berarti penurunan.

d. تلا (at-tabyin) yang berarti penjelasan.

e. لاحاا (al-ihlal) yang berarti penghalang. f. ء طعلا (al-„atha‟)yang berarti pemberian.2

1

A.W. Munawir, Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progeresif, 2007), h.257.

2

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.12.


(23)

Keenam arti di atas dapat digunakan seluruhnya karena ilmu faraidh meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara tetap dan pasti. Tentang setiap ahli waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada sebutan atau penamaan ilmu faraidh.

Sedangkan secara terminologi, fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya.3 Selain itu faraidh memiliki beberapa definisi, yakni sebagai berikut.

a. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara‟ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul ( pembagian harta waris, di mana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

c. Disebut juga dengan fiqh al-mawaris “fiqh tenang warisan” dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

d. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.

3


(24)

e. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahi waris.4

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya: a. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.

b. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris dan

c. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama Islam adalah nash atau teks yang terdapat di dalam Al quran dan sunnah Nabi.5 Ayat-ayat Alquran dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Ayat-Ayat Alquran QS. An-Nisaa ayat 7



























































ءاسنلا(

/

٤

:

(

4

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.13.

5

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h.12.


(25)

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa/4:7)

Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikan halnya pada masa Jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.

Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Alquran.

b. Al-Hadist

Hadist Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut.

Hadist Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

ا حْلأ ل ق مّ ّْع ّلا ّص لا ْ ع ْع ّلا

ع ْا ْ ع

ئا فْلا

ّْ أ

لج لْ أّف ف

) خ لا ا (

Artinya: Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan

selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki.6

6

Sahih Bukhori halaman 463 juz 20, dikutip dari Maktabah As-syamilah, bab Faraid. Matan Hadits: ْع ّلا ع ْا ْ ع أ ْ ع ط ْا ْ ع ْ ث ح ْ ح ْ ّْ ث ح

ا حْلأ ل ق مّ ّْع ّلا ّص لا ْ ع

ئا فْلا

ّْ أ لج لْ أّف ف


(26)

3. Rukun dan Syarat Waris

a) Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan semua harta waris maka tidak lagi pindah kepada hak-hak yang lain.

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan berikut.

a. Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah

Tajhiz adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang

meninggal dunia mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.7

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran yang wajar.8

b. Melunasi Utang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum dibayar ketika

7

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h.51.

8

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.40.


(27)

masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesama manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya setelah diambil keperluan tahjiz.

Para ulama mengklasifikasikan utang kepada dua macam yaitu : a. Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad

b. Utang kepada Allah, disebut dain Allah.9

Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.10 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

9

Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT RajaGrafindo Persada, 1995), h.38. 10


(28)

c. Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia.11

b) Rukun Mewarisi

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunya.12

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.

Sehebungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.

11

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h.55.

12

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.27.


(29)

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits) adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam

kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab

fiqh disebut muwarist.

Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni

a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan musuh. Vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis kematian terhadap mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak


(30)

tanggal yang termuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis itu.

c. Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan

hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya

kematian seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.

3. Ahli Warist (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan

si Muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli waris.

Dalam Alquran Surah An-Nisaa‟ ayat 8, Allah berfirman :













































ءاسنلا(

/

٤

:

(


(31)

Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat(Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan) dan ucapkanlah kepada

mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)

c) Syarat Mewarisi

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni

1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal 2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup 3. Tidak ada penghalang.13

Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian

muwarrits, baik matinya itu secara haqiqi, hukmy, ataupun taqdiry berhak

mewarisi harta peninggalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris.

13


(32)

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

4. Sebab-Sebab Mewariskan

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit.14

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:

a. Perkawinan Sah menurut Syariat Islam

Artinya, syarat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikhan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).

14

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.53.


(33)

Ketentuan ini berlandasan pada keumuman ayat tentang mewarisi dan tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum tentang kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah, tetapi belum melakukan persetubuhan dan belum menetapkan maskawinnya.

b. Perkawinannya Masih Utuh

Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seorang istri belum selesai. Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk meruju‟ kembali bekas istrinya yang masih menjalankan iddah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin baru, menghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.15

2. Kekerabatan

Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut.

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit


(34)

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit. c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia

melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunnya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan

3. Hubungan sebab Wala‟

Wala’ adalah wala‟-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang memerdekakannya dan ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah berdasarkan keumuman sabda nabi.16

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarsi oleh umat Islam.

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni, 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

16

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (Tegal, Ash-Shaf, 2007), h.27.


(35)

- Golongan laki terdiri dari: ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman dan kakek

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

5. Wasiat Wajibah

Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris

Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan


(36)

cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat.

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris.

Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.

Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat.

Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan


(37)

sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadian.

Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif. Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur

(ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen

van Wetgeving Voor ).17

B. Anak Luar Nikah (Zina)

1. Perbedaan Anak Luar Nikah dengan Anak Zina

Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.18

17

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

18

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-1, h.45.


(38)

Pengertian anak luar nikah/kawin menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,19 adalah anak yang dilahirkan dari akibat pergaulan/hubungan seks antara pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan yang sah antara mereka dan dari perbuatan ini dilarang oleh pemerintah maupun Agama.

Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua macam, yaitu (1) apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan ini, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin, (2) apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak luar nikah. Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak luar kawin dapat diakui oleh orang tua bilogisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di pinggir akta perkawinannya.20

Hukum islam juga menetapkan anak di luar kawin adalah (1) anakmula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-lian oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-lian, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, perkawinan dan lain-lain, (2) anak

19

Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

20

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-1, h.81.


(39)

syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya.21

Kalau anak luar perkawinan ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah antara seorang pria dan wanita, hal ini berarti merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan, di mana anak tersebut sebenarnya tidak bersalah, tidak berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah dan bernoda, merekalah yang bertanggung jawab dan mereka pulalah yang menerima ganjaran atas perbuatan mereka.22

2. Pengertian Zina

Kata zina secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja -yang berarti berbuat jahat, sedangkan secara terminologi zina berarti hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui vagina bukan dalam akad pernikahan atau yang menyerupai akad ini. Zina juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita yang tidak atau belum diikat oleh suatu perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan pemilikan, seperti tuan dan hamba sahaya wanita.23

Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam perkwainan yang sah secara syariah

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-1, h.83.

22

R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Sumur Bandung),h.69 23


(40)

Islam, atas dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat) dari pelaku atau para pelaku zina bersangkutan.24

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut.

Menurut fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi, Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan seorang laki-laki secara sadar terhadap perempuan yang disertai nafsu seksual dan di antara mereka tidak atau belum ada ikatan perkawinan secara sah atau ikatan perkawinan syubhat, yaitu perkawinan yang diragukan keabsahannya, seperti ikatan perkawinan tanpa wali nikah, tanpa saksi, atau tanpa kawin mut’ah.

Beberapa definisi lain tentang pengertian zina yang dikemukakan oleh berbagai ulama mazhab menunjukkan pengertian yang hampir sama. Hanya seperti ulama Hanabila dan ulama Zidiyah menambahkan jimak melalui dubur.25

Kesimpulannya adalah, secara ilmiah, perzinaan mengandung banyak

mudharat yang tidak diragukan lagi. Ia merupakan faktor utama yang penyebab

kerusakan dan amburadulnya moralitas. Selain itu, ia dapat menjadi penyebab tersebarnya berbagai macam jenis penyakit dan mendorong laki-laki untuk membujang, dan lebih senang berpacaran. Karena itu, ia merupakan faktor utama

24

Neng Djubaidah, Perzinaan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.119. 25

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h.25.


(41)

terjadinya kerusakan, tindakan yang melampaui batas, tersebarnya prostitusi, serta timbulnya ragam tindak kriminal.26

3. Dasar Hukum dan Macam-Macam Zina

Dasar hukum tentang larangan zina terdapat dalam beberapa ayat dan beberapa surat yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadist Rasulullah saw.

1. Dasar Hukum dalam Al-Qur‟an

Dasar hukum yang ditentukan dalam Al-Qur‟an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam hukum Islam berdasarkan surat an-nisa ayat 59, didapati beberapa surat dan ayat-ayat yang menentukan larangan melakukan perbuatan zina dan perzinaan, serta hukuman yang secara pasti (qath’i) telah ditentukn dalam ayat-ayat Allah, maupun dalam hadist Rasulullah saw sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur‟an27. Dasar hukum keharaman zina di dalam Al-Quran, antara lain terdapat dalam surah An-Nur ayat 2:







































































رونلا)

/

٢٤:٢

(

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka

disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(QS. An-Nur/24:2)

26

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h.231 27


(42)

Dalam hadist Rasulullah saw disebutkan bahwa zina termasuk salah satu perbutan dosa besar.

ّلا ْع ل ق

أ ّلا ل

لج ل ق

ْع ْ أ ْ لا

ل ق ّخ

اً ّل عْ ت ْ أ ل ق ّلا

ْ أ ل ق ْ أ مث ل ق عم معْط ْ أ ةف خم ل لتْ ت ْ أ مث ل ق ْ أ مث

ّلا ل ْأف جةّ ّح ا ت

ْ ت

.

ّحْل لإ ّلا م ح تلا ْف لا ّتْ ل خآ لإ ّلا عم عْ ل لا

ل

ْلا ل ْفع م ثأ ّّْ ل ْلعْف ْ م ْ

ا ع

.

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud berkata ada seseorang bertanya kepada

Rasulullah Saw wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?

Beliau menjawab, kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakan kamu, lalu ia bertanya lagi, kemudian apalagi? Kamu membunuh anakmu karena takut tidak bisa memberinya makan, ia pun bertanya lagi, kemudian apalagi? Beliau menjawab, kamu berzina dengan istri tetanggamu, kemudian Allah

menurunkan ayat sebagai penegasan jawaban Rasulullah di atas, “Dan orang-orang

yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang bener dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya ia mendapatkan (pembalasan) dosanya sanksi hukumnya dilipatgandakan. (HR. Al-Bukhari, Muslim,

Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).28

Dari beberapa dalil nash di atas, baik yang terdapat dalam Alquran maupun dalam hadist, dapat ditegaskan bahwa perzinaan merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran yang bersifat mutlak karena zina merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam, maka bagi setiap muslim yang melanggar harus dikenai sanksi hukuman hadd. Dapat berupa hukuman rajam dan dapat berupa hukuman dera, cambuk atau

28

Shahih Bukhori, Hadits No. 6978, dikutip dari Maktabah As-Syamilah Bab Zina halaman 62 juz 23. Matan Hadits: ْ ع لئا أ ْ ع ش ْعأْلا ْ ع ج ث ح ع ْ ة ْتق ث ح ل ْح ش ْ ْ ع

ّلا ْع ل ق ل ق ل ق ْ أ مث ل ق ّخ اً ّل عْ ت ْ أ ل ق ّلا ْع ْ أ ْ لا أ ّلا ل لج ل ق ل ْأف جةّ ّح ا ت ْ أ ل ق ْ أ مث ل ق عم معْط ْ أ ةف خم ل لتْ ت ْ أ مث

ْ ت ّلا . ل لا

عم عْ ْلعْف ْ م ْ ل ّحْل لإ ّلا م ح تلا ْف لا ّتْ ل خآ لإ ّلا

م ثأ ّّْ ل ا عْلا ل ْفع .


(43)

jilid seratus kali, tergantung apakah pelaku masuk dalam kategori zina muhsan atau zina ghairu muhsan.29

2. Macam-Macam Zina

Apabila perzinahan dilakukan oleh meraka yang belum pernah menikah secara sah, artinya status mereka masih perjaka atau gadis maka tindak pidana ini disebut dengan zina ghairu muhshan. Sedangkan bila perzinaan oleh mereka yang sudah pernah menikah atau pernah melakukan hubungan bada secara halal, baik status mereka masih punya pasangan secara halal maupun sudah menduda atau menjada, maka tindak pidana yang mereka lakukan disebut dengan zina muhshan.

4. Akibat Perbuatan Zina

Selain akibat yuridis berupa hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana perzinaan, para ulama juga mengemukakan beberapa persoalan yang timbul akibat perzinaan tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Dalam Masalah Perkawinan

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa orang mukmin tidak boleh mengawini orang yang telah melakukan perzinaan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 3 yang artinya

















































رونلا)

/

٢٤:٢

(

29


(44)

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yng berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-lkai yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS.An-Nur/24:3)

Atas dasar arti dalil diatas, ibnu Mas‟ud sebagaimana dikutip oleh Asy -Syaukani berpendapat bahwa laki-laki yang berzina dengan seorang wanita kemudian menikahinya, maka keduanya selamanya dianggap berzina. Sebab ayat di atas sebagai penegasan diharamkannya wanita pezina.30

2. Dalam Penentuan Mahram (Nasab)

Ulama mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hambali berpendapat, bahwa hubungan seksual di luar nikah tidak pernah akan mengakibatkan hubungan mahram di antara kedua belah pihak. Wanita yang berzina itu boleh kawin dari keluarga laki-laki yang menzinainya. Sebaliknya laki-laki yang menzinainya itu boleh saja kawin dengan ibu dan keluarga dari wanita yang dizinainya. Dalam persoalan ini, Imam Asy-Syafi‟i konon berpendapat, bahwa zina memang tidak akan berpengaruh dalam masalah ada atau tidak adanya hubungan kemahraman.

Oleh sebab itu, seorang ayah biologis, jika ia bersedia, tetap boleh menikah dengan anak biologisnya yang memang darah dagingnya. Tentu saja hal ini tidak mungkin atau sangat kecil sekali kemungkinannya terjadi. Jika terjadi pun, tentu bukan pernikahan, melainkan persetubuhan paksa atau pemerkosaan bapak atas anak perempunnya, hingga dapat terjadi kasus inses.

30


(45)

Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa apa yang diharamkan dalam pernikahan yang sah, haram pula dalam hubungan seksual di luar nikah.oleh karena itu, menurut mereka hubungan mahram dan muhrim berlaku bagi pasangan tersebut sebagaimana berlaku dalam perkawinan yang sah. Sebab arti nikah secara bahasa menurut Abu Hanifah adalah hubungan badan itu sendiri, bukan nikahnya. Namun tetap saja, hak keperdataan anak tidak akan pernah diperoleh jika kontak seksual yang terjadi tidak didasarkan atas akad nikah yang sah, baik sah menurut agama, maupun secara negara.

5. Warisan Anak Zina

Adapun anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya melalui jalan yang

tidak syar‟i, atau itu buah dari hubungan yang diharamkan.31

Masing-masing dari anak zina dengan anak lian tidak bisa mewarisi antara anak itu, ayahnya dan kerabat ayahnya berdasarkan ijma ulama. Dia hanya mewarisi dari garis ibu saja, sebab nasabnya dari arah ayah terputus. Maka dia tidak bisa mewarisi melalui ayah, sementara dari arah ibu nasabnya terbukti. Maka, nasabnya kepada ibunya pasti, sebab syara‟ tidak menagnggap zina sebagai jalan yang legal

(syar‟i) untuk membuktikan nasab dan juga karena anak li’an tidak terbukti nasabnya dari ayahnya.

Kalau seorang mati meninggalkan ibu, saudara laki-laki ibu, saudara laki-laki seayah ilegal, ibu memperoleh dua pertiga dari fardh dan radd, saudara laki-laki

31

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Jakata: Gema Insani DarulFikri, 2011), h.488.


(46)

seibu sepertiga baik fardh dan radd. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan apa-apa, sebab dia ilegal.

Jika anak zina atau anak li’an mati meninggalkan ibu, ayahnya ibu, dan saudara laki-laki ibu, maka semua tirkah untuk ibu, yaitu sepertiga dengan fardh dan sisa melalui radd. Ayah ibu (kakek anak itu dari ibunya) saudara ibu (paman anak itu) tidak mendapatkan apa-apa karena keduanya dzawil arham.

Kalau salah seorang dari anak zina dan lian mati meninggalkan ibu, saudara laki-laki seibu, maka ibu mendapatkan dua pertiga dengan fardh dan radd. Saudara laki-laki seibu mendapatkan sepertiga melalui fardh dan radd.32

Menurut para pendapat yang dianut oleh Malik bin Anas, Syafi‟i, dan Abu

Hanafiah beserta pengikutnya.

Apabila ibunya masih ada, maka ibunya mendapat sepertiga (1/3) bagian dan selebihnya diserahkan ke baitulmal. Juga apabila dia mempunyai saudara-saudara seibu, maka mereka inipun mendapat sepertiga (1/3) bagian. Selanjutnya apabila semua ahli waris yang disebut tidak ada, maka semua harta warisan itu jatuh ke Perbendaharaan Umum.33

32

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Jakata: Gema Insani DarulFikri, 2011), h.488.

33


(47)

37

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama

Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan, Secara yuridis baru diakui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 dengan dikeluarkannya surat keputusan No. 24 Stb. 1882 No. 152. Lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollen Hoven dan Snouck Hurgroje dengan teori Receptie, keberadaan Peradilan Agama mulai digugat yang menganggap Stb.1882 No.152 adalah suatu kesalahan. Yang pada intinya diganti 262 yang berisikan “memperhatikan Undang-undang Agama”.1

Setelah Indonesia merdeka, Presiden mempertegas lewat Peraturan Preseiden No.2 Tanggal 10 Oktober 1945 dalam pasal I, dijelaskan: segala badan-badan Neagara yamg ada sampai berdirinya Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar, maka tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang tersebut.

Padamulanya Pengadilan Agama di wilayah Jakarta terdapat tiga kantor cabang, yaitu:

a. Kantor cabang Pengadila Agama Jakarta Utara b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah

1

Dadang Muttaqien, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam

Perspektif Sosiologi Hukum Artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari


(48)

c. Kantor Agama istimewa Jakarta Raya sebagai Induk.

Ketiga kantor cabang di atas termasuk kedalam wilayah yurisdiksi hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta.

Pada tanggal 16 Desember 1976, istilah Mahkamah Islam Tinggi berkembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama atas surat keputusan Menteri Agama No.71 Tahun 1976, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.2 Agar Perkembangan yang terjadi dari masa kemasa terbentuklah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai perkembanagan masyarakat Jakarta.

Kantor pengadilan Agama selalu mengalami perpindahan tempat.Tahun 1976 kantor cabang pengadilan Agama pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi masjid Syarif Hidayatullah di mana sebutan cabang itu dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.3 Hal ini atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu di jabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin,4 namun penetapan kantor di serambi masjid ini tidak bertahan lama hanya sampai tahun 1979.

2

Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net.

3

Sayed Usman,”Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari www.pa-jaksel.net.

4

Media Informasi dan Transafaransi Agama Jakarta Selatan, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html


(49)

Pada bulan September Tahun 1979 kantor pengadilan Agama di pindahkan kembali di gedung baru jalan Ciputat Raya Pondok Pinang dengan status milik PGAN Pondok Pinang yang dipimpin oleh Bapak H. Alim BA, kemudian pindah lagi ke Jalan Rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan yang diketuai oleh Drs. H. Djabir Manshur, SH.5 Di mana gedung ini merupakan hibah dari PEMDA DKI Jakarta. Dan pada akhirnya berpindah terakhir di Jalan R.M Harsono RT 07/05 Ragunan Jakarta Selatan di mana gedung ini merupakan gedung termewah dan terbesar dibandingkan kantor pengadilan agama lainnya di Jakarta.

Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representative tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan IT yang sudah semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang tugas pokok, seperti Program SIADPA yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV

Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari situs Web

pa-jakartaselatan.go.id

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan di dalampasal 24 ayat 2 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan Peradilanlainnya di lingkungan Peradilan Umum. PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) dan Peradilan Militer merupakan salah satu badan peradilan pelaku

5

Media Informasi dan Transafaransi Agama Jakarta Selatan, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 13 Maret 20114 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html


(50)

kekuasaan Kehakiman untuk menyelenggarakan hokum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang yang beragama Islam.6

Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan Pengadilan tingkat pertama yang bertugas dan berwewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang yang beragama Islam dalam bidang yakni, perkawinan, waris, hibah, zakat, infak sedekah dan ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang perubahan Atas Undang-undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Di samping itu tugas pokok yang dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatannya mempunyai Fungsi, Yaitu:

1. Fungsi mengadili (judicial power) yaitu: menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama, (vide: Undang-undang No.3 Tahun 2006)

2. Fungsi Pembinaan, yaitu: memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada pejabat Struktural dan Fungsional dibawah jajarannya yang meliputi masalah teknis judikal, administrasi Peradilan maupun administrasi umum atau perlengkapan, keuangan kepegawaian dan pembangunan.

3. Fungsi Pengawasan, yaitu: pengadilan mengadakan, pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, Sekretaris,

6

Admin, PA Jak-Sel, ”StrukturOrganisasi” artikel diakses pada 13 Maret 2014 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/v2/profil-pengadilan/struktur-organisasi-pa-jaksel.html


(51)

Panitera pengganti dan jurusita pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. (vide: Undang-undang No.3 tahun 2006 pasal 53 ayat 1 dan2 serta terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA No. KMA/080/VII 2006).

4. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta. (vide: Undnag-undang No.3 Tahun 2006 pasal 52 ayat 1)

5. Fungsi Administrasi, yaitu menyelenggarakan adminitrasi Peradilan (teknis dan persidangan) dan administrasi Umum (kepegawaian, keuangan, dan umum atau perlengkapan, (vide.KMA NO.KMA/080/VII 2006)

6. Fungsi lainnya yaitu melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti: Depag, MUI, Ormas Islam dan Lain-lain. (vde: Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 pasal 52A) Pelayanan penyuluhan hukum dan pelayanan riset atau penelitian dan sebagainya serta memberikan akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi Peradilan seperti sekarang ini sepanjang diatur di dalam keputusan Ketua Mahkamah Agung keterbukaan informasi di Pengadilan .

Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut:


(52)

1) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 2) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 3) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 4) Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 5) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 6) Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 7) Peraturan/ instruksi/ edaran Mahkamah Agung RI 8) Instruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam

9) Keputusan Menteri Agama RI nomor 69 Tahun 1963, tentang pembentukan pengadilan Agama Jakarta Selatan

10) Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata kerja dan wewenang Pengadilan Agama

Visi dan Misi Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta selatan sebagai salah satu ujung tombak dari Mahkamah Agung RI, maka sebagai Lembaga Negara pemegang Kekuasaan yudikatif, tentu mempunyai visi yang tidak jauh beda dar visi Mahkamah Agung RI, yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang:

a) Mandiri

b) Efektif dan efisien

c) Mendapatkan kepercayaan publik

d) Professional dan memberikan layanan hukum yang berkualitas e) Etis


(53)

f) Terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat g) Mampu menjawab pelayanan panggilan publik

Untuk mencapai visi tersebut di atas maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai misi sebagai berikut:

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam masyarakat

2. Mewujudkan institusi Peradilan Agama yang mandiri dan independen, bebas campur tangan dari pihak lain

3. Meningkatkan akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat sejalan dengan penggunaan teknologi informasi di Pengadilan Agama Jakarta selatan

4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan dengan mendaya gunnakan secara maksimal sarana dan prasarana dan anggaran yang tersedia bagi pengadilan Agama Jakarta Selatan

5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat serta dihormati dengan meningkatakan dedikasi dan integritas seluruh sumber Daya Manusia yang tersedia di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

B. Struktur Organisasi Pengadilan

Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kerja


(54)

Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan KMA Nomor 5 tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan.

1. Ketua : Dr. H. Imron Rosyadi, S.H, M.H

1 Wakil Ketua : Drs. H. Abdul Latif, M.H

2 Dewan Hakim : Drs. Ahmad Busyro, M.H

Dra. Hj. Athiroh Muchtar

Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H.,M.H Dra. Hj. Tuti Ulwwiyah, M.H Drs. Yusran, M.H

Drs. Azhar Mayang, M.H.I Drs. Agus Yunih, S.H.,M.H.I Drs. Nurhafizal, S.H., M.H.I Drs. Saifuddin, M.H

Drs. Sohel, S.H

Dra. Hj. Ida Nursa’adah, S.H.,M.H Drs. Nasrul, M.A

Drs. Agus Abdullah, M.H

Dra. Hj. Lelita Dewi, S.H.,M.Hum Elvin Nailana S.H., M.H

Drs. H. Sunardi M. S.H.,M.H.I 3 Panitera/Sekretaris : Ahmad Majid, S.H


(55)

5 Wakil Panitera : Dra. Aida Yahya

6 Ka. Sub. Keuangan : Djuhdan Muharom. S.H.,M.M 7 Ka. Sub. Kepegawaian : Nur Khaefah

8 Ka. Sub. Umum : Najamudin, S.Ag

9 Panmud Permohonan : Ikrimawa Tiningsih, S.Ag.,M.H

10 Panmud Gugatan : Moh. Hambali, S.H

11 Panmud Hukum : Pahrurozi, S.H

12 Panitera Pengganti : 1. Hj. Rahmi, S.H 2. Abas

3. H. Aswar Nasution, S.H 4. Nurhayati, S.H

5. Saparanto, S.H.,M.H 6. Siti Faradilla, S.H.I 7. Sajidan, S.H

8. Siti Makbullah, S.H 9. Sumaryani, S.H 10. Hamdani, S.H.I 11. Junaedi, S.H 12. Ahlan, S.H 13. Nuraini, S.H 14. Teguh Magzan 15. Ahmad Irfan, S.H


(1)

75

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-


(2)

(3)

(4)

Hasil wawancara dengan salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, bapak Azhar Mayang Pada tanggal 11 bukan April 2014 pada jam 10.34 – 11.10 WIB

Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan kepada beliau serta jawaban dan tanggapan dari beliau, diantara sebagai berikut:

1. Menurut bapak hakim apakah anak zina berhak mandapatkan hak waris ?

Anak zina yang seperti apa yang dimaksud, ada anak zina sebelum lahir kemudian orang tuanya menikah, menurut fiqih 6 bulan setelah menikah anaknya sah menurut KHI anaknya sah apabila orang tua sudah menikah tetapi dalam kasus ini seorang anak lahir kemudian orang tuanya menikah. Menurut teorinya tentu anak tidak mendapat warisan karena dia tidak mempunyai nasab dengan ayahnya dia hanya dapat warisan dari ibunya tetapi sang anak bisa mendapat hubungan keperdataan dan mendapat sebatas wasiat wajibah, karena wasiat wajibah diberikan kepada kerabat yang tidak mendapat waris sepanjang anak zina ini dapat membuktikan bahwa dia adalah ayah biologis dari anak tersebut karena dalam Alquran disebutkan juga kata akrabin karena posisi anak zina disini akrabin dari ayah biologisnya karena merupakan akibat dari ayahnya lah maka anak tersebut bisa lahir sedangkan anak angkat bukan merupakan hasil dari akibat ayahnya melakukan hubungan karena dalam hukum seseorang itu akan dibebani dari akibat perbuatannya jadi apabila anak angkat mendapat wasiat wajibah maka anak zina lebih berhak mendapat wasiat wajibah karena merupakan akibat dari orang tua khususnya ayahnya dan dia tidak berhak mendapat warisan karena warisan hanya kepada mereka yang berhubungan nasab atau hubungan perkawinan.

2. Apakah memberikan wasiat wajibah kepada anak zina bukan merupakan deskriminasi terhadap anak itu ?

Kita kembali ke teori tujuan hukum Islam ialah maqhosid syari yang daruriah al khamsa yaitu pertama menjaga agama dan yang kedua menjaga keturunan (nasab) kalau semua ini disamakan maka bisa menjadi kabur nasab karena anak yang mana yang lahir setelah pernikahan dan mana sebelumnya maka lembaga perkawinan tidak ada artinya padahal perkawinan itu merupakan akad yang menghalalkan yang tadinya haram karena ikatan perkawinan merupakan mitsaqon gholidzon atau ikatan yang kuat yang tidak bisa disamakan degan ikatan yang lainnya kalau semua itu disamakan demi kepentingan anak


(5)

maka agama bisa rusak dalam hifzu Ad-din itu atau tepatnya addururiah al khamsa bisa rusak. Mengenai deskriminatif aturan juga mempunyai kategori tertentu yakni menyamai sesuatu hal yang berbeda itu merupakan hal yang tidak adil, membedakan sesuatu yang sama itu juga tidak adil dan itu juga disebut deskriminasi maka apabila membedakan sesuatu maka akibatnya juga berbeda. Menurut maslahatnya maqosidu syari merupakan maslahat umma bukan maslahat fardiyah mana yang banyak anak yang lahir dalam perkawinan atau anak yang lahir di luar perkawinan tentunya anak yang lahir dalam perkawinan maka yang banyak harus didahulukan dari pada yang sedikit atau jangan mementing seorang dan sekian banyak orang menjadi korban dan hukum itu bersifat mengatur dan tujuannya mengatur kalau menyamakan sesuatu yang berbeda maka ujungnya bisa tidak teratur dan tidak bisa dikatakan deskriminasi karena lebih mementingkan limaslahati umma.

3. Bagaimana menurut bapak hakim tentang putusan mahkamah konstitusi no. 46/PPU-VIII/2010 khususnya yang berkenaan dengan waris ?

Dalam putusan MK hanya mempunyai hubungan keperdataan dan hubungan keperdataan ini juga jangan dipahami dengan seluas-luasnya, hubungan keperdataan ini yakni sepanjang tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan hukum islam. Dan memiliki hubungan keperdataan jangan dipahami memiliki hubungan nasab dan mendapat waris. Menurut azzahirin pada pasal 29 ayat 1 negara indonesia berdasarkan ketuhanan yang maha esa artinya semua hukum yang ada di indonesia harus tidak bertentangan dengan ajaran agama maka putusan MK harus ditafsirkan dalam rangka agama apapun terlebih lagi agama islam yang mayoritas di Indonesia karena dalam demokrasi hukum siapa yang paling banyak maka dia yang menang oleh sebab itu maka kita banyak beragama islam maka harus tidak bertentangan dengan ajaran agama islam dalam pemahamannya maka putusan MK harus di pahami sepanjang yang dibolehkan oleh hukum Islam sebab karena kalau tidak putusan MK itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar setinggi-tingginya putusan MK tidak boleh bertentangan dengan UUD sedangkan UUD menetukan negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa maka tidak boleh bertentangan termasuk putusan MK maka hubungan keperdataan itu terbatas dan waris tidak boleh karena harus memiliki hubungan nasab dan hubungan perkawinan


(6)

4. Faktor apa saja yang mempengaruhi hakim dalam menetapkan putusan tersebut ?

Mungkin maksudnya yaitu dasar hukumnya. Hakim wajib menggali aturan hukum tertulis, pendapat ahli, yurisprudensi dan hukum yang hidup di masyarakat, kemudian untuk mencapai keadilan itu hakim bertanya kepada hati nuraninya adil atau tidak.

5. Bagaimana potensi hakim dalam menggunakan yurisprudensi ?

Pertama dalam pemahaman yurisprudensi yang seperti apa dulu ada teori hukum ada pendapat ahli dan putusan hakim terdahulu.Mengenai putusan hakim terdahulu atau yurisprudensi apakah hakim terikat dengan putusan MK itu. Sistem hukum di Dunia itu ada dua yaitu civil law sistem dan common law sistem dan Indonesia diantara keduanya, merupakan negara hukum atau berarti semua putusan berdasarkan hukum dan rasa keadilan. Dalan putusan MK yang merubah pasal itu merupakan aturan hukum dan apakah hakim terikat disitu pertama kalinya terikat sama seperti Undang-Undang lain kecuali pada kasus-kasus tertentu yang aturan itu tidak dapat menyelesaikan kasus itu secara konstruktif hakim dalam fungsi justmen law bisa diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menafsirkan dan putusan MK tidak bisa dikatakan yurisprudensi melainkan sebuah aturan dimana dia merubah aturan menjadi sebuah aturan sendiri karena dia berkapasitas untuk menguji Undang-Undang. Yang dikatakan yurisprudensi menurut Yahya pertama putusan itu sudah ingkrah, bernilai keadilan, futuristik (kedepannya masih berlaku). Jadi putusan-putusan ini dalam teori antara kepastian hukum dan keadilan sesuatu hal yang harus berjalan seimbang, terlalu terpaku kepada kepastian maka keadilan bisa terabaikan, terlalu memikirkan keadilan kasus perkasus meninggalkan yurisprudensi sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan semua itu menurut teori. Sebaiknya hakim itu terikat dengan yurisprudensi karena putusan hakim itu fungsinya desetel law standart (standart hukum itu berdasarkan putusan hakim) berikutnya desetel legal opinion (opini itu terbentuk berdasarkan putusan hakim) kalausetiap putusan itu berlainan maka susah untuk mendapat standar hukumnya dan legal opini yang bisa membuat masyarakat bingung. Bukan berarti hakim itu terikat atau terkungkung terhadap yurispreudensi tetapi keadilan kasus-perkasus yang harus di utamakan.