Hak Waris Anak Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU)

(1)

84/Pdt.P/2012/PA.JU)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh : RIAN WAHYU UTOMO

1110044200004

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

Rian Wahyu Utomo : 1110044200004 Hak Waris Anakn Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara No. 84/P/2012). Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, ix + 80 + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penetapan ahli waris anak murtad (beda agama) ini sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran agama Islam.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode observasi dan metode penulisan yang disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik sebuah kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anak murtad mendapatkan bagian warisan dan disahkan oleh hakim pengadilan agama Jakarta Utara. Dengan alasan, bahwa ahli waris anak murtad masih mendapatkan waris dikarenakan sampai saat ini masih belum ada peraturan pelaksanaanya sehingga terdapat kekosongan, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan nilai-nilai lain yang berkaitan pada putusan tersebut .

Kata Kunci : Waris, Anak Murtad

Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.

DaftarPustaka :Tahun 1971 s.d.Tahun 2013 .


(6)

ucapkan atas rasa syukur yang mendalam kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang sehingga dengan perkenan-Nya jualah diberikan kemampuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menjadi pemimpin dan penyampai hidayah umat manusia dimuka bumi.

Penulis menyadari bahwa mungkin skripsi ini tidak dapat terwujud sebagaimana yang diharapakan, tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terimakasih dan rasa hormat penulis kepada Bapak :

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. H. Kamarusdiana, S.Ag, MH. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag Ketua dan

Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H Pembimbing yang telah banyak membantu

memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan

seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.


(7)

telah membekali saya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang berguna.

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Arifin Matraji Utomo dan Ibunda

Nurhaeni, Bapak Kun Hadi Wibowo dan Ibu Sri Mursiyah sujud abdiku kepada kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian

selama ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani

soghiro, saudaraku tercinta Adi Wibowo, Aripianti, Nina widiastuti, Aristoni, Billy Mardika, Irene Saudita Olivia, dan Rahinosuryo Hadi Pamungkas Wibowo yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan serta do’a restu untuk keberhasilan selama kuliah.

7. Sahabat-sahabat Jurusan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2010 yang

selalu ada disaat suka dan duka penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Saudara-saudara Kosan Molek dan Semanggi Batak, Sopri, Pak haji, Kiki

Arief, Sukron, Abim, Ibeng, Natasha Nicola Anjani de Kock, Dinny Aulia, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

9. Sesosok hawa yang telah memberikan semangat dan dorongan dalam hidup

selama ini yaitu Meliratih Bimawastri, theres only one thing two say three word four you “I Love You”

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

wawasan, sehingga dikemudian hari penulis dapat mengevaluasi diri.

Jakarta, 14 November 2014

Rian Wahyu Utomo


(9)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI. ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian... 10

E. Kerangka Teori... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: HAK WARIS ANAK MURTAD ... 15

A. Pengertian Waris ... 15

B. Rukun dan Syarat ... 22

C. Pengertian Anak Murtad ... 37

D. Sanksi Hukum ... 41

BAB III: PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA ... 46

A. Gambaran Umum ... 46

B. Struktur Organisasi ... 51

C. Letak Geografis ... 53

D. Wilayah Yuridiksi ... 53

BAB IV: ANALISIS PUTUSAN ... 56

A. Duduknya Perkara ... 56

B. Pertimbangan Majelis Hakim ... 60


(10)

BAB V: PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN-LAMPIRAN: ... 83

1. Surat Bimbingan Skripsi ... 83

2. Surat Permohonan Data Ke Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 84

3. Surat Keterangan Permohonan Data ... 85

4. Salinan Putusan Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU ... 86

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara Tahun 2014 ... 101

6. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara ... 102


(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi yang dimiliki Islam tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan yang disebut hukum. Hukum tersebut bersifat baku dan diakui oleh “undang-undang Tuhan” [qanun ilahi] : permanen dan tidak dapat diubah. Qanun ilahi ini, diundangkan oleh negara atau tidak, ia harus ditegakkan sebagai suatu yang berwatak “buatan tuhan”. Namun, ada kalanya peraturan-peraturan itu diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia

menjadi hukum manusia melalui proses legalisasi.1

Produk-produk hukum yang mengatur tentang Islam sudah banyak, tak lepas dari Al-Qur’an dan Haditsnya sedangkan di Indonesia produk hukum itu sendiri adalah kompilasi hukum Islam (KHI) yang dasar pemikirannya adalah kumpulan-kumpulan pendapat ulama fiqh yang mengatur tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, dll. Salah satu masalah dalam keluarga yang menyangkut hak dan kewajiban seseorang yang meninggal adalah hal masalah peninggalan harta atau waris yang bagaimana pembagian dan takaran seseorang mendapatkan harta peninggalan leluhurnya masih terjadi konflik di masyarakat khususnya di negara Indonesia.

1

Yayan sopyan, Islam-Negara, (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 1

1


(12)

Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian

hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.2

Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.3

Dalam pembagiannya siapa saja yang mendapatkan pewaris juga diatur dalam hukum kewarisan dan Al-qur’an, contoh pada surat An-Nissa ayat 7 :

















































7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-2

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1 3

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56


(13)

bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.4

Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga di jabarkan pada pasal 174 tentang kewarisan menurut kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah :

- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda5

Maka seseorang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris terhadap orang yang pada saat meninggal dunia, beragama Islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.6 Itu adalah syarat seseorang

mendapatkan hak waris dari harta peninggalan si pewaris. Tetapi di Indonesia banyak sekali gejala-gejala sosial dalam kewarisan. Karena segala apa yang kita kira, kita ketahui segalanya ini, adalah banyak sedikitnya bersifat hipotesis (berdasarkan dugaan) dan perbedaan paham antara ahli dalam bidang ini jauh lebih besar daripada yang biasa ditemui oleh para ahli hukum dalam lingkungannya. Penyelidikan tentang

4

Kementrian Agama, Al-qur’an, (Jakarta: Adhi Aksara Abadi Indonesia,2011) 5

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57 6

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56


(14)

periode tertua dari umat manusia ini, dikeruhkan pula oleh ideology subyektif dan

keyakinan keagamaan.7 contoh dalam hal hak waris anak yang murtad, dapat kita

ketahui bahwa sesorang yang telah murtad akan menjadi penghalang dalam hak kewarisannya.

Berdasarkan Hadist Rasul Rawahu Abu Badrah, menceritakan bahwa saya telah diutus oleh Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan isteri bapaknya, Rasulullah SAW menyuruh supaya dibunuh laki-laki tersebut dan

membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad.8

Seperti dalam pengertian ahli waris itu sendiri orang yang berhak mendapatkan hak waris adalah seorang muslim. Karena berlainan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Para ahli hukum Islam (Jumhur Ulama) sepakat bahwa orang nonislam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang nonislam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surah An-Nisaa’ ayat 141:









141.Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. 7

A.Pitlo dan J .E. Kasdrop, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1994), cet. Ke-4, h. 9

8

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 115


(15)

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan nonislam (kafir).

Jadi, mereka dalam keadaan berlainan agama.9

Imamiyah telah menetapkan bahwa perbedaan agama menghalangi non-Muslim dan orang murtad untuk mewarisi dari non-Muslim, namun tidak menghalangi Muslim untuk mewarisi dari Muslim dan murtad. Maka, bila seorang non-Muslim mempunyai seorang anak non-Muslim, maka anaknya mewarisinya bahkan anaknya itu menghalangi ahli waris lainnya yang non-Muslim untuk mendapatkan warisan.10

Dalam pasal 172 KHI dijelaskan ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan

9

Moh. Muhubbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet ke-2, h. 78

10

Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Lentera, 2001 ), cet ke-1, h. 83


(16)

bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya

atau lingkungannya.11

Dalam kenyataan ahli waris yang murtad dapat bagian waris, melalui wasiat wajibah anak murtad dapat bagi waris dan pengertian wasiat wajibah itu sendiri adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak pengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia, melainkan didasarkan kepada Putusan Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan kepada Putusan Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 368. K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998, tanggal 29 September 1999. Disini terlihat bahwa adanya kejanggalan dalam penyelesaian penetapan waris terhadap anak murtad, karena pada KHI, hadits, dan ulama fiqih sangat menutup kesempatan anak murtad untuk mendapatkan hak waris karena seseorang muslim yang hanya menerima hak waris dari orang muslim. Selain itu jika dilihat dari kacamata HAM seseorang hanya keluar dari agama yang dianut bukan suatu kejahatn yang disamakan dengan orang yang membunuh atau memfitnah. Karena manusia mempunyai hak untuk hidup, hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan

dihadapan hukum.12

Di lihat dari latar belakang yang ada, ditakutkan akan ada kasus-kasus semacam ini di ranah masyarakat dikarenakan kelalaian hakim dalam mengutus suatu

11

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.57 12

http://www.hukor.depkes.go.id “Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM”, (diakses pada 27 Desember 2013)


(17)

perkara. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba menganalisis putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi yang berjudul

PENETAPAN HAK WARIS TERHADAP ANAK MURTAD” (Analisis

putusan hakim Pengadilan Jakarta Utara No. 84/Pdt.P/2012).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan batasan masalah yang akan dibahas. Adapun pembatasan masalah yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan yang timbul dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

a. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam

menjatuhkan putusan tersebut.

b. Apa akibat hukum dari putusan tersebut.

2. Perumusan Masalah

Menurut dalil fikih dalam kitab Al-Tirkah wal Mirats fil Islam dimana dikatakan tidak ada saling mewarisi antara orang muslim dengan non muslim. Tetapi dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara anak murtad justru


(18)

mendapatkan warisan dan diganti wasiat wajibah, rumusan masalah pada proposal ini penulis sajikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa pertimbangan yang digunakan oleh majelis Hakim Pengadilan

Agama Jakarta Utara pada perkara Nomor 84/Pdt.P/2012/PA JU?

2. Bagaimana keputusan majelis Hakim ber serta akibat hukum dari

putusan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memahami keputusan Hakim Pengadilan Agama dalam

menetapkan hak waris terhadap anak murtad setelah murtad.

2. Untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar atau pertimbangan

hakim pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta akibat putusan tersebut.

Adapun manfaat yang akan didapatkaan dalam penelitian diantaranya adalah:

1. Bagi Penulis

a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat


(19)

b. Mengetahui kondisi yang terjadi dilapangan khusunya di dalam lingkup pengadilan agama.

c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan

yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

2. Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat

tentang hak waris atas anak murtad dan akibat hukumnya.

b. Memberikan informasi tentang keputusan Hakim Pengadilan

Agama mengenai penetapan hak waris anak murtad.

3. Bagi Institusi

a. Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar

Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan penetapan hak waris anak murtad.

4. Bagi Universitas

a. Menambah referensi bagi temen-temen dalam mempelajari

hukum waris serta akibat hukumnya.

b. Mengatahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu


(20)

c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan mahasiswa dalam menangani masalah dilapangan.

D. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini kualitatif bersifat pendekatan survey. Yaitu data yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain, kemudian menganalisa isi putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian para hakim dalam menyelasaikan perkara hak waris anak murtad.

2. Pendekatan

Dalam penulisannya memakai metode pendekatan, bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau menentukan frekuensi penyebaran dan suatu gejala lain dimasyarakat

3. Sumber data dan proses pengumpulan data

a. Data primer

Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang didapatkan dari pengadilan agama.


(21)

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara hak waris anak luar perkawinan.

Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan

teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, dimana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel maupun website.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan denagan mendeksripsikan putusan dan menghubungkannya dengan hasil wawancara, serta analisa yurispudensi hakim pengadilan agama.

5. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini secara teknik penulisan berpedoman pada buku penulisan skripsi.

E. Kerangka Teori

Dalam definisinya waris adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia


(22)

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagamana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum

waris.13

Tujuan waris dalam Islam untuk membantu keluarga yang akan ditinggal oleh si pewaris dan digunakan dengan baik, selain itu untuk sebagai titipan atau amalan dari si pewaris tersebut.

Pada Waris dalam KHI sudah di atur dalam pasal 171 Buku II tentang hukum kewarisan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.14

Definisi dari ahli waris adalah di pandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi

13

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1 14

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56


(23)

yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau

lingkungannya. 15

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:

Bab Kesatu berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum tentang hak waris anak murtad yang terdiri dari, pengertian waris, pengertian anak murtad, dasar hukum, serta warisan yang diperolehnya.

Bab Ketiga akan Menjelaskan uraian diskripsi data berkenaan dengan gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan sejarah dan struktur organisasinya.

Bab Keempat merupakan analisis yuridis terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara perkara No. 84/Pdt.P/2012/PA. JU

15

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56


(24)

Bab Kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun dunia akademis.


(25)

WARIS DAN ANAK MURTAD

A. Hukum Waris

1. Pengertian Waris

Secara umum pengertiann waris adalah a person who has the legal to receive

the property of someone who dies.1 Menurut pelaksanaan hukum waris dikalangan

umat Islam Indonesia, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan

mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.2

Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peningggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan beberapa bagian.3

Dalam hukum kewarisan tidak lepas dari harta peninggalan dan ahli waris, karena dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171b menyatakan bahwa pewaris adalah

1

http://www.merriam-webster.com/dictionary/heir, (di akses 14 November 2014)

2

Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.

3

Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), hlm 11.

15


(26)

orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan

putusan peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.4

Harta peninggalan dalam bahasa hukum islam disebut tirkah. Dan dalam pembahasan tesis ini akan dipergunakan istilah harta peniggalan, sebab istilah harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan system kewarisan dalam hukum Islam

lebih mudah dikenal dalam bahasa hukum Indonesia.5

Yang antara lain harta peninggalan itu sebagai obyek wasiat, karena itu sejauhmana cakupan dan ruang lingkup dari harta peninggalan tersebut dalam kontek

system kewarisan Islam.6 Hukum Waris dalam ajaran Islam disebut istilah “Faraid”.

Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang

berarti ketetapan, pemberian (sedekah).7

Harta peninggalan adalah segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara’ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris. Segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan harus diartikan dalam cakupan yang lebih luas yaitu:

4

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h.56

5

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.

6

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia), hlm 27.

7

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 49.


(27)

1. Kebedaan atau sifat yang bernilai kebendaan, seperti benda tetap, benda bergerak, piutang orang yang mati yang menjadi tanggunan orang lain, dan lain sebagainya.

2. Hak-hak kebendaan, seperti hak paten terhadap karya seni, buku, merek, dan

lain sebagainya.

3. Hak-hak diluar kebendaan, seperti hak khiyar, hak syufa’ah, hak

memanfaatkan barang, dan lain sebagainya.

4. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang

sedang digadaikan, benda maskawin yang terhutang, barang yang dibeli dan telah dibayar tetapi barangnya belum diterima ketika mati, dan lain

sebagainya.8

Untuk mengetahui, siapa-siapa yang memperoleh bagian tertentu itu, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Kemudian baru ditetapkan, siapa di antara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian. Di

dalam faraid dibahas hal-hal yang berkenan dengan warisan (harta peninggalan), ahli

waris , ketentuan bagian ahli waris dan pelaksanaan pembagiannya. 9

Sumber Hukum Waris Islam

8

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), hlm 27.

9

M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Pt Bulan Bintang, 1996), hlm 10.


(28)

1. Al-qur’an

Al-qur’an adalah wahyu Allah SWT, yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama Islam.

Pokok-pokok isi Alquran

- Tauhid ialah kepercayaan/rukun iman.

- Tuntutan ibadah

- Janji dan saksi

- Hukum untuk bermasyarakat atau berhubungan denga manusia dan

hubungan dengan Allah SWT.

- Sejarah

2. Hadist

Hadist adalah perkataan nabi Muhammad SAW, perbuatannya dan keterangannya.

Kedudukannya dan keterangannya.

- Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an

- Menentukan sebagai hukum yang tidak ada dalam Alquran.


(29)

Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijtihad adalah menggunakan

seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum Syara’ dengan jalan

menyimpulkan dari Alqur’an dan hadits. 10

2. Dasar Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur’an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW dan Hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang didiamkan Rasul. Yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surat an-Nisaa’ di samping surah-surah lainnya sebagai

pembantu. 11

An-Nisaa ayat 7 :

                           

7. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

An-Nisaa ayat 8 :

                    10

Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Darunnajah Production House, 2007), hlm 6-7

11

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 46


(30)

8. dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.

An-Nisaa ayat 10 :

               

10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke

dalam api yang menyala-nyala (neraka). 12

Kitab udang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang hak mewaris di-indentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam Buku Ke-II KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum

Perorangan dan Kekeluargaan.13

Menurut staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah dan sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo pasal 163, hukum kewarisan

12

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

13

Ibid., hlm 74


(31)

yang diatur dalam KUH Perdata tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan

mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.14

Dengan staatsblad 1917 nomor 129 jo staatsblad 1924 nomor 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan staatsblad 1917 nomor 12, tentang penundukan diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata. Dengan demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada :

1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa

misalnya Inggris, Jerman, Francis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang;

2. Orang-orang Timur Asing Tionghoa dan

3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi menundukkan diri.

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :

1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang

2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau “ab

intestate”, sedangkan cara yang kedua dianamakan mewarisi secara

“testamentair”15

14

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75


(32)

Terhitung semenjak tahun 1991, berdasarkan intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang secara de facto maupun de jure menjadi pegangan

utama umumnya para hakim dalam lingkungan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa hukum kewarisan yang diajukan oleh para pencari keadilan. Hukum kewarisan diatur dalam Buku III Kompilasi Hukum Islam yang

lazim disingkat dengan sebutan KHI.16

Buku II Kompilasi Hukum Islam, yang memuat hukum kewarisan, ini terdiri atas VI Bab dan 44 Pasal, yakni mulai Pasal 171 sampai 214. Buku II KHI pada dasarnya mengatur ihwal ketentuan umum (Bab I Pasal 171), ahli waris (Bab II Pasal 172-175), besarnya bagian [masing-masing ahli waris] (Bab III Pasal 176-191), auld dan rad (Bab IV Pasal 192-193), wasiat (Bab V Pasal 194-209), dan

hibah (Bab VI Pasal 210-214).17

B. Rukun dan Syarat Waris 1. Rukun dan Syarat Waris

a. Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli

waris

15

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm 74-75

16

Muhamad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 99

17

Ibid., hlm 100


(33)

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus dipenuhi secara tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua meghabiskan semua harta waris maka tidak ada lagi pindah kepada hak-hak yang lain.18

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan

untuk kepentingan-kepentingan berikut.19

1) Tahjiz, atau biaya penyelenggaraan Jenazah

Tahjiz adalah sesuatu yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia

mulai dari wafat sampai kepada penguburannya.20

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal tersebut di atas dikeluarkan dari harta peninggalan menurut ukuran yang

wajar.21

2) Melunasi Utang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum di bayar ketika

18

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 51

19

Ibid.,hlm. 51 20

Ibid.,hlm. 51 21

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995). h.40.


(34)

masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesame manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya

setelah diambil keperluan tahjiz.

Para ulama megklarifikasikan utang kepada dua macam yaitu :

a) Utang kepada sesama manusia, disebut dain al-‘ibad

b) Utang Kepada Allah, disebut dain Allah.22

Pada prinsipnya bahwa pelunasan utang pewaris harus bersumber dari kekayaan pewaris. Akan tetapi apabila utangnya melampaui jumlah harta

pusakanya, maka pelunasannya menurut alquran harus melalui zakat.23 Dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1, kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemkaman jenazah selesai

b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.

c) Menyelesaikan wasiat pewaris.

d) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

22

Ahmad Rofiq, Hukum Mawaris, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.38

23

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta Utara, PT Raja Grafindo, 1995), h.98


(35)

Sedangkan dalam pasal 175 ayat 2, tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

3) Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang utuk memberikan sesuatu kepada orang lain

setelah ia meninggal dunia.24

The Islamic will is called al-wasiyya. a will is a transaction which comes into

operation after the testator’s death. The will is executed after payment of funeral

expenses and any outstanding debts. The one who makes a will (wasiyya) is called a

testator (al-musi). the one on whose behalf a will is made is generally referred to as a

legatee (al-musa lahu). Technically speaking the term "testatee" is perhaps a more

accurate translation of al-musa lahu.25

b. Rukun Mewarisi

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada

rukun-rukunnya.26

24

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).h. 55

25

http://www.islam101.com/sociology/wills.htm, di akses pada tanggal 14 November 2014

26

Komite Fakultas syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta Selatan, Senayan Abadi Publishing 2004), h.27.


(36)

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap

rukun.27

Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Harta Peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si

mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta

peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah yaitu apa-apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muawarrits) adalah orang

yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh

disebut muwarist.28

Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya

dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut

fiqh kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarist menurut para

ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni

27

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15 28

Ibid.,hlm.15


(37)

a. Mati haqiqy (sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy, ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis

hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis

kematian terhadap maqdud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar

beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yangtermuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis itu.29

c. Mati taqdiry ialah kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi

semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian

29

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15


(38)

seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.

3. Ahli waris (waarist) adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si

muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli waris. 30

Dalam Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 8, Allah berfirman :

































Artinya: dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.(An.Nisaa/4:8)

c. Syarat Mewarisi

Waris – mewarisi berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih

30

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15


(39)

hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni

1. Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal.

2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup.

3. Tidak ada penghalang.31

Para ahli waris yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits,

baik matinya itu secara haqiqy, hukmy, ataupun taqdiryi berhak mewarisi harta

peninggalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 dijelaskan, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat

para pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

31

M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.15


(40)

b. Sebab-sebab Mewariskan

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklarifikasikan

sebagai berikut:32

1. Perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antar si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau istri dari si

mayit.33

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua syarat:

a. Perkawinan sah menurut Syariat Islam

Artinya, syariat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).

32

Suhawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), h.53

33

Ibid, h.53


(41)

Ketentuan ini berlandaskan pada keumuman ayat tentang mewarisi dan tindakan Rasulullah SAW. Yang telah memberikan keputusan hukum tentang kewarisan terhadap seorang suami yang sudah melakukan akad nikah, tetapi belum melaksanakan persetubuhan dan belum menetapkan

maskawinnya.34

b. Perkawinan Masih Utuh

Sesuatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu

telah diputuskan dengan talak raj’i bagi seseorang istri belum selesai.

Perkawinan tersebut di anggap masih utuh, karena di saat iddah masih berjalan, suami masih mempunyai hak penuh untuk menuju’ kembali bekas

istrinya yang masih menjalankan iddah baik dengan perkataan maupun

dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar maskawin

baru, meghadirkan 2 orang saksi serta seorang wali.35

2. Kekerabatan

Salah satu sebab beralihnya harta, seseorang yang telah meninggal dunia

kepada yang masih hidup adalah adanya yang disebabkan oleh kelahiran.Heirs

referred to as primary heirs are always entitled to a share of the inheritance, they are never totally excluded. These primary heirs consist of the spouse relict, both parents,

34

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17 35

Ibid, h.17


(42)

the son and the daughter. All remaining heirs can be totally excluded by the presence of other heirs. But under certain circumstances, other heirs can also inherit as

residuaries, namely the father, paternal grandfather, daughter, agnatic granddaughter, full sister, consanguine sister and mother. 36

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu sebagai berikut.

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit.

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan adanya si mayit. c. Hawasyi’, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia

melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak

turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.37

3. Hubungan sebab Wala’

Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya

yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (ashobah bin

nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan

36

http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_inheritance_jurisprudence, di akses pada tanggal 14 November 2014

37

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Alma’arif, 1971), h.17


(43)

secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah berdasarkan keumuman sabda nabi.38

4. Hubungan sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang

tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.39

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 174 yakni,

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah

- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman, dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda

38

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (tegal, Ash-Shaf, 2007), h.27

39

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014


(44)

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.40

5. Wasiat Wajibah

Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem

hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung

unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau

sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan

tetapi dilakukan oleh negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh

melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.

Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk

menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya

anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. 41

Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,

lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan

antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang

40

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

41

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014


(45)

meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau

pergantian tempat.42

Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari

anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Dalam

sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi

kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama.43

Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para hakim

pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Hukum Islam. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya

pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat

dan orang tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus

42

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

43

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014


(46)

keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengn menggunakan fungsi rechtsvinding

yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. 44

Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadian.45

Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya

sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.

Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka

hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan

menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat. Justru apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena tidak ada hukum yang mengatur (ius coria novit) maka hakim dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen van Wetgeving Voor ).46

44

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 201445

46

http://mariotedja.blogspot.com/2013/04/wasiat-wajibah-dalam-hukum-kewarisan.html. diunduh pada tanggal 9 maret 2014


(47)

C. Pengertian Anak Murtad 1. Pengertian Anak Murtad

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki merupakan cikal bakal lahirnya suatu

generasi baru.47

Murtad adalah keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain, atau ia

pindah ke sesuatu yang bukan agama. Murtad yang dapat kena had adalah murtad

yang dilakukan oleh orang yang balig, berakal, bisa membedakan, dan sukarela atau

tanpa paksaan.48

Secara istilah anak murtad adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang pindah dari agama yang dianut dan yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.

In Islam, the rejection in part (of any of the pillars, or individual principles of

Islam), or discarding the faith as a whole, amounts to apostasy.[ The punishment for

apostasy in the Islamic faith is death. Though it may be argued that this is not clear through the Qur'an alone, scholars have found justification for the penalty

from within its pages, and there are also

47

http://andibooks.wordpress.com/definisi-anak diunduh pada tanggal 30 Maret 2015

48

Asadulloh Al FAruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm 39


(48)

numerous Sahih (authentic) hadiths confirming this punishment as attested by Prophet Muhammad. In Sahih Bukhari, we see it as “Allah's Apostle said, 'Whoever changed his Islamic religion, then kill him'”, and it was also one of only three reasons

given by him where killing a Muslim is permitted.49

Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih berbeda agama dengan agama orangtuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila. Orang yang karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan lantaran yang diancam dan membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus

menyelamatkan diri memeluk agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.50

Dengan alasan, walaupun dia hidup dan berada pada sistem yang berlaku di lingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari masyarakatnya namun besar kemungkinan keyakinannya itu tetap tidak tergoyahkan. Jika pada suatu saat ada peluang untuk mewujudkan keyakinan yang diyakininya, yaitu keyakinan yang sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam ia akan berupaya

mewujudkannya.51

49

http://wikiislam.net/wiki/Islam_and_Apostasy#Definitions, di unduh pada tanggal 14 November 2014

50

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 73 51

Ibid., hlm 73


(49)

2. Dasar Hukum

Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum riddah dalam Alquran di

antaranya Surah Al-Baqarah ayat 217, An-Nahl ayat 106 dan Surah An-Taubah ayat 12 sebagai berikut.

                                                                                         

217. mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir

penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah52

                                  

106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang

52

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65


(50)

dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

                          

12. jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)

janjinya, agar supaya mereka berhenti.53

3. Hal-hal yang menyebabkan Murtad

seorang muslim tidak dianggap keluar dari agama Islam (murtad) kecuali apabila yang bersangkutan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia kufur serta diyakininya dalam hati adapun pernyataan atau perbuatan yang menyebabkan kufurnya seorang muslim antara lain:

1. Mengingkari keesaan Allah SWT., mengingkari adanya malaikat atau

kenabian Nabi Muhammad SAW., mengingkari adanya kebangkitan di hari kiamat, dan mengingkari wajibnya shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji.

53

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 66


(51)

2. Menghalalkan yang haram, sepertinya menghalalkan minum khamr (minuman

keras), zina, riba, dan makan daging babi.54

3. Mengharamkan yang halal, seperti mengharamkan makanan yang dihalalkan.

4. Mencaci dan menghina Nabi Muhammad SAW., atau pun para Nabi yang

lainnya.

5. Mencaci dan menghina Kitab Suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allag SWT.

7. Melemparkan Kitab Suci al-Qur’an atau Kitab Hadis ke dalam kotoran,

dengan sikap atau tujuan menghinakan dan meremehkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya.

8. Meremehkan salah satu dari nama-nama Allah, atau meremehkan

perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya.55

D. Sanksi Hukum 1. Sanksi Hukum

Dari ayat alqur’an yang dijadikan dasar hukum di atas, dapat diketahui bahwa sanksi terhadap orang yang murtad adalah dibunuh. Sanksi hukum dimaksud, disepakati oleh pakar hukum Islam Klasik bagi kaum pria sedangkan sanksi terhadap perempuan yang murtad ada perbedaan pendapat. Menurut Abu Hanifah sanksinya adalah dipenjara bukan dibunuh, sedangkan jumhur fuqaha (mayoritas ahli fiqh),

54

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm 65-66

55

Ibid, hlm 65-66


(52)

menolak pendapat Abu Hanifah dan sepakat bahwa hukuman mati terhadap orang

murtad berlaku bagi pria dan wanita.56

Konskuensi hukum secara moral terhadap orang murtad sama dengan orang

kafir harbi, yaitu putus hubungan kemasyarakatan secara totalitas, termasuk

hubungan suami-istri, pertalian darah, dan pembagian harta warisan. Yang disebutkan terakhir itu, adalah tidak boleh saling mewarisi antara anak dengan ayah, ibu, suami

dengan istri karena ada perbedaan agama.57

2. Warisan Anak Murtad

Ulama ahli tafsir, hadits, dam fikih bersepakat bahwa perbedaan pendapat agama pewaris dan ahli waris menjadi penghalang untuk mendapatkan harta warisan. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :

َﻢﯿِھا َﺮْﺑِإ ُﻦْﺑ ُقﺎَﺤْﺳِإَو َﺔَﺒْﯿَﺷ ﻲِﺑَأ ُﻦْﺑ ِﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَأَو ﻰَﯿْﺤَﯾ ُﻦْﺑ ﻰَﯿْﺤَﯾ ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ

ﻰَﯿْﺤَﯿِﻟ ُﻆْﻔﱠﻠﻟاَو

ﺎَﻨَﺛ ﱠﺪَﺣ : ِناَﺮَﺧﻵا َلﺎَﻗو ،ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ : ﻰَﯿْﺤَﯾ َلﺎَﻗ

ِﻦْﺑ ﱢﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ،ﱢيِﺮْھﱡﺰﻟا ِﻦَﻋ َﺔَﻨْﯿﯿُﻋ ُﻦْﺑا

َﻋ ،ٍﻦْﯿَﺴُﺣ

ُثِﺮَﯾ َﻻ)) : َلﺎَﻗ َﻢَﻌْﻠَﺻ ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ﱠنَأ ،ٍﺪْﯾَز ِﻦْﺑ َﺔَﻣ ﺎَﺳُأ ْﻦَﻋ ،َنﺎَﻤْﺸُﻋ ِﻦْﺑ وِﺮْﻤَﻋ ْﻦ

.((َﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا ُﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُثِﺮَﯾ َﻻَو ،َﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا

58

Yahya bin yahya, Abu Bakar bin Abu Syaibah, dan Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dengan lafaz milik Yahya – Yahya menggunakan

lafaz akhbarana, sedangkan dua perawi lain menggunakan lafaz haddatsana

dari Ibnu Uyainah, dari az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari Amr bin Utsman, dari

56

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet ke 2, hlm 77 57

Ibid, hlm 77

58

Muslim bin al-Hajjjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet ke 1, hlm 57.


(53)

Usamah bin zaid bahwa Nabi bersabda, “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir juga tidak mewarisi orang muslim.”

Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, keberadaan hadits tersebut telah

dimentahkan oleh KHI, yakni jika dalam kitab-kitab fikih diberi judul mawani

al-irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena berbeda agama atau murtad dapat ditentukan menurut putusan hakim yang

memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht).59

Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa : seseorang terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena. 60

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya

berat pada pewaris;

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti berpendapat bahwa jika perbedaan ama tidak termasuk kelompok penghalang, maka logika hukumannya sama dengan yang diatur dalam hukum Adat dan Perdata B.W. Jika perbedaan agama bukan merupakan

59

Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78

60

Habiburrahman, Rekonstruksi HUKUM KEWARISAN ISLAM di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011), h.75-78


(54)

suatu penghalang mendapatkan warisan, maka logikanya sama agama dicocokkan

kepda adat dan berarti juga menerima teori receptive Snouck Hurgronje dan Van

Vollenhoven. Karena hukum kewarisan menurut hukum adat dan hukum Perdata Barat B.W. tidak mengenal perbedaan agama. Padahal pandangan yang demikian

merupakan kebalikan dari teori receptive a contrario Sajuti Thalib yang sangat

menolak hukum Islam ditundukan kepada hukum Adat.61

Pembagian waris sudah diatur dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo Nomor : 51.K/AG/1995, tanggal 29 September 1999, bahwa seorang beda agama atau murtad masih bisa mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah dan apabila semasa hidupnya pewaris tidak memberikan wasiat. Karena pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak

bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.62

Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah pemberian sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya jika mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan, sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah menerima wasiat atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum

61

Ibid., hlm.84-85 62

Arsip Pengadilan Agama Jakrta Utara, Putusan Nomor : 84/Pdt.P/2012/PA.JU


(55)

pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta warisan kepada ahli

waris lain.63

63

Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, cet I, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h.268.


(56)

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama

Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 63 tahun 1963, yang pada waktu itu bernama Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan berkantor di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Kota (sekarang gedung Museum Perjuangan). Adapun induknya adalah Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya (sekarang Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Pada waktu itu Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya mempunyai dua cabang, yaitu: Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan Cabang Pengadilan Agama Jakarta

Tengah.1

Sebagai Salah satu Pengadilan Agama yang berada di wilayah Jawa-Madura, semula eksistensi dan kewenangan absolutnya berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 dan Stbl. 1937 No. 116 dan 610, berada di bawah Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama nomor 71 tahun 1976 dengan telah dibentuknya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung, maka Pengadilan Agama Jakarta Utara berada di bawah Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung tersebut. Dalam perkembangannya selanjutnya Mahkamah Islam Tinggi Surakarta dipindahkan ke Jakarta (Surat Keputusan Menteri Agama nomo: 61 tahun

1

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara

46


(57)

1985) dan berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, yang realisasinya baru

pada tanggal 30 Oktober 1987.2

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 tahun 1967, Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian diubah namanya menjadi Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan ditingkatkan statusnya menjadi pengadilan agama yang berdiri sendiri dan tidak sebagai cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta

Raya lagi.3

1. . Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta Utara

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 3 dinyatakan bahwa Asas-asas umum Penyelenggaraan Negara meliputi Asas Kepastian Hukum, Asas

Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan Asas Akuntabilitas.4

Sedangkan untuk menciptakan good govermance diperlukan prinsip-Prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, akuntabilitas, pengawasan, efisensi dan efektifitas, serta profesionalisme. Kemudian prinsip akuntabilitas ditegaskan lagi dalam visi, misi dan program membangun Indonesia yang aman, adil dan sejahtera melalui program

2

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara 3

ibid 4

ibid


(58)

meningkatkan pengawasan untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, dan perbaikan

kinerja aparatur Negara/pemerintah.5

Penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Pengadilan Agama Jakarta Utara merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan tiap tahun, disusun dengan mengacu pada Surat Edaran Menteri Negara Pendayaguna Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor : PER/ 09/ M.PAN/ 05/ 2007, tentang Pedoman

Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama.6

Pengadilan Agama, sebagai Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.7

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi

perkara tingkat pertama serta penyelesaian perkara dan eksekusi.

5

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara

6 ibid 7

ibid


(59)

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya.

3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur dilingkungan

Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan).

4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada

instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian

harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

6. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan

deposito/tabungan, pensiunan dan sebagainya.

7. Melaksanakan tugas penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sesuai dengan pasal

49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang telah diperbaharuai yang kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.


(60)

8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, memberikan/melaksanakan hisab rukyat dalam penentuan awal pada tahun

hijriyah.8

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara

Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan untuk mewujudkan tercapainya tugas pokok dan fungsi

Pengadilan Agama Jakarta Utara.9

Adapun visi dari Pengadilan Agama Jakarta Utara adalah:

“Mendukung terwujudnya Badan Peradilan yang Agung pada Pengadilan Agama Jakarta Utara”

Untuk mencapai visi tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Utara menetapkan misi yang menggambarkan hal yang harus dilaksanakan, yaitu :

- Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparasi.

- Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif dan

efisien

- Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.10

8

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara 9

ibid

10 ibid


(61)

B. Struktur dan Organisasi

Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan KMA Nomor 5

tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan.11

1. Ketua : H. Achmad Zainullah, SH., MH.

2. Wakil Ketua : Drs. Moh. Yas’ya, SH., MH.

3. Dewan Hakim : Dra. Hj. Mukasipa, MH

Dra. Hj. Rogayah H. Abdillah, SH, MH. Drs. Nurul Huda Drs. Sarbiati, SH

Drs. Abdurrahman Masykur, SH Dra. Nurwathon, SH, MH Dra. Hj. Sa’diati, SH, MH Drs. H. Abdul Jabar Dra. Haulillah, MH

Drs. Hj. Noor Jannah Aziz, MH

11

Admin, PA Jak-Ut, ”Struktur Organisasi” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari http:// http://www.pa-jakartautara.go.id/yoo/index.php/profil-pengadilan/struktur-organisasi-pengadilan-agama-jakarta-selatan


(62)

Hj. Munifah Djam’an, SH Dra. Hj. Hafsah, SH

4. Panitera/Sekretaris : Sufyan, SH

5. Wakil Sekretaris : Wahidah Muslihah, S.Sos

6. Wakil Panitera : H. Imanudin Tiflen, SH

7. Ka. Sub. Keuangan : Siti Fajriah, SE

8. Ka.Sub.Kepegawaian : Purwanto Sigit Wibowo, SE

9. Ka.Sub.Umum : Agus Triyogo, SE

10.Panmud Permohonan : Rahyuni, SH

11.Panmud Gugatan : Drs. H. Abdul Chaer hn, SH

12.Panmud Hukum : Drs. H. Ali Usman Hasibuan, S. HI

13.Panitera Pengganti : 1. H. Kamaludin, SH, MH

2. Nony Salmy, SH 3. Idris M. Ali, SH

4. Turchmun Ichwannudin, SH 5. Nurlaelah, SH

6. Abdul Hamid, S.Ag 7. Dra. Ermiyati Arifah, MH 8. Rifa’i, SH

9. Lusiah Saragih, S.Ag, MH 10. Milhan Affani Istiqlal, SH


(63)

11. Fitri Astini, SH

C. Letak Geografis Pengadilan Agama

Secara geografis, Pengadilan Agama Jakarta Utara terletak di Kotamadya Jakarta Utara, Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara mempunyai luas 146,66

km2Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Administrasi Jakarta Utara memiliki

batas-batas: di sebelah utara membentang pantai Laut Jawa dari Barat sampai ke Timur sepanjang ± 35 km, sementara di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, di sebelah timur berbatasan dengan Jakarta Timur dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kabupaten Tangerang

dan Jakarta Barat.12

Sebagai wilayah pantai yang beriklim panas, mempunyai suhu rata-rata

berkisar 28,97oC pada tahun 2010. Rata-rata curah hujan 191,21mm3 dengan

maksimal curah hujan pada bulan Januari (572,2 mm3) dan kelembaban udara

rata-rata 77,9 persen. Sepanjang tahun 2010 rata-rata-rata-rata kecepatan angin di wilayah Jakarta

Utara sekitar 4,39 knot.13

12

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara 13

Geografi dan Iklim Jakarta Utara, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 melalui http://www.jakartautara.co/2012/11/geografi-dan-iklim-jakarta-utara.html


(64)

D. Yuridiksi Pengadilan

Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara meliputi seluruh wilayah Kota Jakarta Utara, terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 35 (tiga puluh lima) kelurahan, yang terinci sebagai berikut:

Kecamatan Kelurahan Kecamatan Kelurahan

Kep. Pulau Seribu Utara

Pulau Harapan Pulau Kelapa Pulau Untung Jawa

Kep. Seribu Selatan

Pulau Tidung Pulau Pari Pulau Panggang

Penjaringan Kamal Muara

Kapuk Muara Penjagalan Penjaringan

Pluit

Pademangan Ancol

Pademangan Timur Pademangan Barat

Tanjumg Priok Sunter Jaya

Papanggo Sungai Bambu Kebon Bawang Tanjung Priok Sunter Agung Warakas

Koja Koja Utara

Koja Selatan Lagoa Tugu Utara Tugu Selatan

Rawa Badak

Cilincing Kalibaru

Cilincing

Kelapa Gading Kelapa Gading


(65)

Semper Timur Semper Barat

Sukapura Rorotan

Marunda 14

Kelapa Gading Barat Pegangsaan Dua

14

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Utara


(66)

PUTUSAN No. 84/Pdt.P/2012/PA.JU

A. Duduknya Perkara Putusan Nomor 84/ Pdt.P/ 2012 /PA-JU

Menimbang, bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan secara tertulis dengan suratnya tertanggal 30 Juli 2012 dan terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan register nomor : 84/Pdt.P/2012/PA-JU,

tanggal 30 Juli 2012, yang isinya sebagai berikut: 1

1. Bahwa, pada tanggal 30 Juli 2011 dan telah meninggal dunia karena sakit, nama:

Kemal Fachrudin Sumartono bin Harjoharsojo, dalam usia 92 tahun, agama Islam, Perkerjaan terakhir Pensiunan, bertempat tinggal terakhir Jalan Canadianti RT.008 RW. 007 No. A2 Kelurahan Pela Mampang Kecamatan Mampang Prapatan Kota Jakarta Selatan sesuai dengan Surat Keterangan Kematian Penduduk WNI dari Kelurahan Pela Mampang Kec. Mampang Prapatan Jakarta Selatan Nomor 135/1.755.3/2011 tanggal 10 Agustus 2011, selanjutnya disebut “Almarhum/Pewaris”;

2. Bahwa ayah Almarhum/Pewaris yang bernama Harjoharsojo bin Fulan telah

meninggal dunia lebih dahulu tanpa diketahui tahun kematiannya;

1

Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara

56


(67)

3. Bahwa ibu Almarhum/Pewaris yang bernama Raden Ayu Sukirah binti Fulan telah meninggal dunia lebih dahulu tanpa diketahui kematiannya;

4. Bahwa semasa hidupnya Almarhum/Pewaris menikah 1 (satu) kali yaitu dengan

Soewati binti Partono pada tahun 1950 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kota Bandung, Jawa Barat dan telah meninggal dunia lebih dahulu pada tanggal 2 Agustus 1969 karena sakit. Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 4 empat orang anak bernama Inglesjz Kemalawarto (L), Ingresjz Kemalawarto (L) (telah meninggal dunia dalam usia 48 tahun, dengan meninggalkan seorang isteri yang bernama Eni Susilowati Trimuljani, dan seorang anak perempuan yang bernama Auditya Saraswati Primadini bin Ingresjz Kemalawarto), Ignesjz Kemalawarta (L), Inaresjz Kemalawarta (L). Kemudian Almarhum menikah lagi dengan Filma Sophia Dotulong pada tanggal 20 Juli 1972, yang tercatat oleh pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, dengan nomor 525/1972, dan telah meninggal pada tanggal 21 Juni 1996. Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak bernama :

1. Iglesjz Gazi Kemal (L);

2. Irnesjz Gaji Kemal (L), telah meninggal dunia dalam usia 28

Tahun, pada tanggal 24 September 2001 dalam keadaan masih jejaka;


(1)

(2)

(3)

Hasil wawancara dengan salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Ibu Sarbiati Pada tanggal 17 Juni 2014 pada jam 14.25-14.33 WIB

Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan kepada beliau serta jawaban dan tanggapan dari beliau, diantara sebagai berikut:

1. Apakah anak murtad berhak mendapatkan warisan?

Pada umumnya anak murtad tidak mendapatkan hak waris, karena yang saling mewarisi itu adalah sesama muslim itu yang menjadi pandangan dasarnya, jadi intinya bahwa anak murtad itu tidak mendapatkan waris dan yang saling mewarisi antara pewaris dan ahli waris harus sesama muslim.

2. Bagaimana menurut ibu hakim pemberian wasiat wajibah terhadap anak murtad?

Jadi di putusan tadi di sebutkan di cantumkan bahwa anak murtad mendapat hak waris melalui wasiat wajibah dalam pandangan ini ada yang mengatakan boleh bahwa anak murtad mendapatkan waris melalui wasiat wajibah dan ada yang mengatakan tidak tetapi dalam putusan tersebut menjelaskan membolehkan orang non muslim mendapatkan waris melalui wasiat wajibah dengan mengacu yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo Nomor : 51.K/AG/1995, tanggal 29 September 1999 yang isinya menetapkan anak yang murtad itu sebagai ahli waris di sebutkan juga kadar wasiat wajibah itu tidak boleh melebihi 1/3


(4)

sehingga di putusan ini anak murtad ditetapkan sebagai ahli waris dengan adanya pertimbangan tersebut.

3. Apakah memberikan wasiat wajibah kepada anak murtad bukan merupakan diskriminasi terhadap anak itu?

Faktor dan pertimbangan hakim dalam memutus masalah waris khususnya anak murtad terjadi diskriminasi merupakan konsekuensi bahwa anak tersebut murtad kemudian oleh Mahkamah Agung dengan yurisprudensinya Nomor 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 disebutkan jadi sebagai kompensasi yang sebenarnya Islam itu tidak membeda-bedakan tetapi, kemudian dari agamanya tidak membatasi dia untuk mendapatkan hak waris murni sehingga oleh Mahkamah Agung di beri porsi berupa wasiat wajibah dan pembagianya itu disamakan dengan ahli waris yang lain dalam arti sama dengan porsi wasiat wajibah yang lainnnya dan tidak membedakan porsi dalam kelamin contoh perempuan dan laki-laki.

Hakim bukan sebagai corong undang-undang bahwa apa yang tertuang dalam undang-undang itu dikuti karena secara yuridis bahwa itu tidak dicantumkan dalam pasal dan anak murtad itu mendapat wasiat wajibah. Hanya hakim melihat dari beberapa segi nilai dalam memutus, nilai sosiologis, nilai keadilannya, nilai manfaatnya, nilai keselerasannya. Sehingga oleh hakim di kaji nilai-nilai itu dalam rangka mempersamakan hak anak itu sehingga kita mempertimbangkan nilai filosofisnya kemudian bahwa anak itu merupakan darah dagingnya dari orang tua yang sama, apabila tidak diberikan atau


(5)

ditetapkan itu bagaimana secara undang-undang menyatakan secara jelas anak murtad tidak dapat hak waris akhirnya dengan kajian-kajian dan nilai-nilai filosofis akhirya keluarlah yurisprudensi dengan berbagai pertimbangan sehingga muncullah putusan yang mengadopsi dan bisa memungkinkan bahwa anak murtad mendapatkan hak waris sama dengan saudaranya yang muslim sehingga dimungkinkan untuk memberikan hak waris anak murtad melalui wasiat wajibah.

4. Bagaimana menurut ibu hakim tentang putusan khususnya yang berkenan dengan waris?

Karena seperti tadi hakim dalam memutus suatu perkara tidak secara normatif tapi dilihat dari berbagai aspek dan nilai-nilai terkandung didalamnya dengan alasannya mengapa ia murtad bagi mana kehidupan sosial di keluarga tersebut, maka hakim tidak sembarangan memutus suatu perkara. Tetapi di lihat pada putusan No. 84/Pdt.P/2012/PA.JU bahwa hakim dalam memutus perkara tidak melihat nilai sosial dan aspek-aspek dalam kehidupan anak murtad ini dan memang yurisprudensi adalah undang-undang urutan tertinggi. 5. Bagaimana potensi hakim dalam menggunakan yurispudensi?

Bahwa dalam peradilan agama acuanya uu no 1 tentang peradilan agama, uu no 4 tahun 194 tentang perkawinan dan lain-lain. Kalau dari semua undang-undang hakim tidak menemukan hak waris dari anak murtad dan tidak dicantumkan dalam undang-undang tersebut, maka hakim harus berikhtiar yang terpenting kita bisa mengolahnya. Contoh dalam Alquran perempuan


(6)

mendapatkan separuh dari hak waris laki-laki tetapi dalam kasus lain tidak terpakai undang-undang tersebut tetapi kita lihat terlebih dahulu nilai-nilai dari berbagai aspek. Sering kali mendapatkan kasus yang sama tetapi outputnya beda maka para hakim harus mengkaji dan setiap kajian dari hakim satu dengan yang lain berbeda tetapi yang penting ada acuannya walaupun hukum adat yang sebagai acuannya. Terkadang hukum adat bisa mengalahkan hukum formil, sehingga hakim harus melihat keadilan dari berbagai sisi.