Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di
Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Variety, Abundance, and Distribution of Fish Larvae and Juveniles in Citepus
and Sukawayana Estuaries, Gulf of Palabuhanratu, Sukabumi, West Java
Oleh:
Syahrul Rifai
C24070023
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB
ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, kelimpahan, dan distribusi larva dan
juvenil ikan dan keterkaitan faktor lingkungan terhadap penyeberan. Penelitian ini dilakukan
dari bulan Maret-Juli dengan selang waktu pengambilan contoh sebanyak 1 bulan sekali.
Lokasi penelitian dibagi menjadi empat lokasi yaitu muara Citepus dan Sukawayana yang
mengarah ke sungai dan muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut. Alat
tangkap yang digunakan selama penelitian adalah sirib untuk muara yang mengarah ke
sungai dan larva net untuk muara yang mengarah ke laut. Terdapat 19 jenis spesies , 12
genus, dan 6 famili yang tertangkap dengan jumlah total individu sebanyak 1087 individu.
Ikan yang tertangkap sebagian besar berada pada fase postlarva dan juvenil. Muara Citepus
yang mengarah ke sungai memiliki kepadatan tertinggi sebesar 166 ind/m2 dan terendah
pada muara Citepus yang mengarah ke laut dengan kepadatan 10 ind/m2. Larva Sicyopterus

sp dan Ambassis vachelli memiliki kelimpahan yang tinggi di muara yang mengarah ke
sungai sedangkan di muara yang mengarah ke laut yaitu Secutor indicius. Muara Citepus
yang mengarah ke laut memiliki kekayaan spesies yang paling tinggi sebsar 1,34. Pola
distribusi atau penyebaran ikan cenderung menunjukkan pola distribusi secara acak. Muara
Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki nilai keanekaragaman (H') tertinggi sebesar
1.77, keseragaman (E) tertinggi yaitu 0.91 dan dominansi (C) terendah sebesar 0,21
sehingga lokasi tersebut lebih stabil dibandingkan lokasi lain. Menurut Pariwono et al.
(1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai 75 cm/detik sedangkan bulan Mei, Juni,
dan Juli kecepatan arus sebesar 50 cm/detik. Selama pengambilan contoh suhu perairan
berkisar antara 26-28,5 oC. Salinitas di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke
sungai berkisar antara 3,8-36 ‰ sedangkan di muara Citepus dan Sukawayana yang
mengarah ke laut berkisar antara 30-31,5 ‰. Kekeruhan muara Citepus dan Sukawayana
yang mengarah ke sungai berkisar antara 0-18 NTU. Hampir di semua lokasi, parameter
suhu berkorelasi negatif terhadap kelimpahan.
Kata kunci

: jenis, distribusi, dan kelimpahan; larva dan juvenil; Teluk Palabuhanratu

51


5.

5.1

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan


Jenis larva dan juvenil yang banyak ditemukan adalah Sicyopterus sp.



Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli memiliki kelimpahan yang relatif
tinggi di muara yang mengarah ke sungai, sedangkan di muara yang
mengarah ke laut spesies Secutor indicius yang memiliki kelimpahan
tertinggi.




Struktur komunitas muara Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki
nilai keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) tertinggi dan dominansi
(C) yang paling rendah dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah
ke laut, sedangkan struktur komunitas muara Sukawayana yang mengarah
ke sungai memiliki nilai keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E)
tertinggi dan dominansi (C) yang paling rendah dibandingkan dengan muara
Citepus yang mengarah ke sungai.



Selama pengambilan contoh, disemua lokasi menunjukkan bahwa parameter
suhu berkorelasi negatif terhadap kelimpahan.

5.2

Saran


Perlu dilakukannya kajian tentang unsur hara dan kondisi pasang surut di
masing-masing lokasi agar dapat menggambarkan pola sebaran larva dan

juvenil yang lebih akurat di Teluk Palabuhanratu.



Pengambilan contoh yang dilakukan baik di muara yang mengarah ke sungai
maupun laut seyogyanya menggunakan effort yang sama.



Pengambilan contoh larva dan juvenil serta pengukuran parameter fisika
kimia air seyogyanya dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

1

1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Sumberdaya ikan di suatu perairan akan sangat dipengaruhi oleh proses


recruitment. Recruitment merupakan masuknya individu ke dalam populasi. Jika
recruitment besar maka sumberdaya ikan di suatu perairan juga akan semakin besar.
Pemijahan ikan akan menghasilkan suatu bakal calon anak baru yang akan
berkembang menjadi dewasa nantinya dan melakukan reproduksi sehingga bisa
melangsungkan fungsi ekologisnya. Keberhasilan dari faktor reproduksi akan sangat
berpengaruh terhadap populasi dari suatu spesies ikan.
Muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai
Sukawayana, Kecamatan Cikakak yang terletak di Teluk Palabuhanratu merupakan
daerah nursery ground karena banyak ditemukan larva ikan. Larva-larva tersebut
harus beradaptasi dan bertahan dari berbagai macam pengaruh baik internal maupun
eksternal seperti faktor lingkungan dan predator.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang harus dikaji dalam hal distribusi
dan kelimpahan dari larva karena faktor lingkungan tersebut memegang peranan
penting bagi kehidupan atau aktivitas larva ikan di perairan. Pada fase larva, tingkat
mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti
suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam (Olii 2003) sehingga apabila
kondisi lingkungan tidak sesuai atau tidak tercukupi maka larva akan mati.
Ichthyoplankton merupakan tahapan awal (stadia telur, larva, juvenil) dari
dari daur hidup ikan (Olii 2003). Dalam rangka terwujudnya pengelolaan yang

lestari, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh faktor fisika dari perairan
Teluk Palabuhanratu terhadap larva ikan. Kajian tersebut diharapkan dapat
memberikan arahan mengenai keberadaan ichthyoplankton di Teluk Palabuhanratu
agar tetap lestari mengingat larva atau impun tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar Palabuhanratu sebagai sumber makanan yang pada tahun 1994 mencapai 25
ton per tahun (Affandi and Aktani 1994).
Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan
pengetahuan tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun

2

kehidupannya (Olii 2003). Pemahaman tersebut dimulai dengan mengidentifikasi
larva ikan. Berdasarkan hal tersebut Teluk Palabuhanratu dipilih sebagai lokasi
penelitian. Selain itu, Palabuhanratu merupakan perairan unik yang merupakan
tempat nursery ground bagi spesies ikan sehingga diharapkan mampu memberikan
gambaran mengenai keberadaan, kelimpahan, dan distribusi dari larva ikan
mengingat studi tentang larva masih sangat jarang dilakukan dan penelitian tentang
hal terkait terakhir dilakukan oleh H. C. Delsman pada tahun 1929.

1.2


Perumusan Masalah
Sumberdaya ikan merupakan potensi semua jenis ikan yang dapat

dimanfaatkan. Sebagian besar ikan dalam siklus hidupnya mengalami fase
perkembangan dimulai dari telur, larva, juvenil, dan ikan. Ketersediaan suatu
sumberdaya di perairan sangat dipengaruhi oleh jumlah larva ikan yang mampu
bertahan hidup dari berbagai faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal antara lain penyakit, kemampuan daya tahan tubuh dari
larva. Faktor eksternal misalnya predator, penangkapan, makanan, dan faktor
lingkungan. Faktor lingkungan dan makanan merupakan faktor yang memegang
peranan penting bagi kehidupan dan aktivitas organisme di perairan. Faktor
lingkungan merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan hidup dari larva dan
juvenil. Pengaruhnya akan terlihat jelas dalam hal kekayaan spesies, kelimpahan
spesies, kepadatan spesies, pola distribusi dan penyebaran dari larva dan juvenil.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah aktivitas nyalawean di Teluk
Palabuhanratu yang akan menghambat proses migrasi ikan-ikan baik yang akan
menuju ke laut maupun masuk ke sungai sehingga apabila penangkapan terhadap
larva dan juvenil dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat akan berdampak

pada recruitment dari ikan-ikan yang habitatnya di Palabuhanratu dan juga akan
memberikan dampak negatif bagi populasi ikan serta berpengaruh pada
keseimbangan ekologis di Teluk Palabuhanratu.

3

Pengaruh eksternal







Pengaruh internal

Sumberdaya Ikan

FISIKA KIMIA PERAIRAN
 Suhu

 Salinitas
 Arus
 Kekeruhan
PREDATOR
EKSPLOITASI
MAKANAN

 Penyakit
 Kemampuan bertahan

Larva

Telur








Juvenil

Kekayaan jenis
Kepadatan jenis
Kelimpahan larva dan juvenil ikan
Pola distribusi dan penyebaran
Struktur komunitas

Pengelolaan

Keterangan:
: Ruang lingkup penelitian
: Hubungan

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Dewasa

4


1.3

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:

1.

Mengetahui jenis, kelimpahan, dan struktur komunitas larva dan juvenil ikan
di perairan Teluk Palabuhanratu

2.

Mengetahui kaitan antara pola distribusi larva dan juvenil ikan dan kondisi
lingkungan di Teluk Palabuhanratu

1.4

Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

kondisi larva ikan muara sungai di sekitar Palabuhanratu sehingga nantinya dapat
memberikan gambaran mengenai dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan
yang lestari dan berkelanjutan khususnya dalam pengelolaan larva ikan.

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teluk Palabuhanratu
Teluk Palabuhanratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, Kabupaten

Sukabumi dengan posisi geografis 6o57’- 7o07’LS dan 106o22’-106o23’ BT dan
mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi
menjadi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu, dan
Kecamatan Ciemas. Perairan ini merupakan tempat bermuaranya sungai Cimadiri,
Citepus, Cidadap, Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988).
Selanjutnya Pariwono et al. (1988) mengemukakan bahwa sebagian besar
daratan berupa topografi berbukit dengan tingkat kesuburan cukup tinggi yang
dicirikan dengan daerah dekat pantai. Topografi dasar perairan dangkal di
Palabuhanratu dapat ditemukan hingga jarak 300 m dari garis pantai dan mempunyai
kedalaman hingga 200 m. Semakin jauh jarak dari pantai terdapat lereng kontinen
dengan kedalaman lebih dari 600 m.
Arus pantai selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut
dalam (Samudera Hindia). Kecepatan arus pantai tersebut mencapai 75 cm/detik
pada bulan Februari yang kemudian melemah dan mencapai 50 cm/detik dalam
bulan April hingga Juni. Pada bulan Agustus arus pantai berubah arah menjadi ke
barat dengan kecepatan arus sekitar 75 cm/detik. Sampai bulan Oktober, arah arus
pantai tetap ke barat tetapi kecepatan berkurang menjadi 50 cm/detik. Kecepatan
angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam. Kisaran suhu di kawasan
pantai Teluk Palabuhanratu berkisar antara 25-28oC, dimana suhu rata-rata pada
akhir musim timur adalah 26,57oC dan pada musim hujan sebedsar 27,78oC. Pada
kedalaman 50 m, kisaran suhu berkisar antara 23,37oC pada akhir musim timur dan
28,72oC pada musim hujan. Tingkat salinitas perairan Teluk Palabuhanratu berkisar
antara 32-34 ‰ (Pariwono et al. 1988).;

6

2.2

Ichthyoplankton
Ichtyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan

yang bersifat planktonik atau merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas
tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungan terutama dalam
pergerakan dan migrasinya (Sulistiono et al. 2001). Ichthyoplankton menurut Olii
(2003) muncul setelah beberapa ahli membedakannya berdasarkan istilah plankton
yang berarti pengembara dan ichthyes yang berarti ikan atau dengan kata lain ikan
yang masih bersifat planktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton
atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai
plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang
yang aktif yang masuk dalam kategori nekton.

2.3

Biologi Larva Ikan
Menurut Sjafei et al. (1992), proses reproduksi ikan dapat dibagi menjadi

dalam tiga periode, yaitu periode pre-spawning, periode spawning, dan periode postspawning. Proses pre-spawning merupakan proses berlangsungnya persiapan gonad
untuk menghasilkan sperma dan sel telur. Proses spawning merupakan proses
pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Proses postspawning dimulai dari perkembangan telur yang telah dibuahi, penetasan telur dari
pembesaran dari telur menjadi embrio, dan larva sampai menjadi ikan.
Awal periode larva ditandai dengan munculnya kemampuan embrio untuk
menangkap organisme makanan dari luar. Pada fase ini, struktur larva yang
berkembang adalah organ pernafasan dan juga ditandai pula dengan pertumbuhan
organ-organ embrio dan organ-organ larva seperti organ pernafasan pada lipatanlipatan sirip, pada daerah pektoral, tutup insang, jari-jari keran dan jelambir. Organorgan ini akan digantikan oleh organ-organ yang sama fungsinya dan akan menetap
atau menghilang karena fungsinya tidak diperlukan lagi. Akhir dari periode ini
adalah rangka aksial mulai terbentuk dan lipatan-lipatan sirip tengah menghilang
(Sjafei et al. 1992).
Selanjutnya Effendie (2002) mengemukakan bahwa larva ikan yang baru
biasanya ditetaskan dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya banyak
mengandung minyak. Apabila kuning telur tersebut telah habis dihisap maka posisi

7

larva akan kembali ke awal. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya
sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan
dengan banyak diselingi oleh waktu istirahat karena tidak dapat mempertahankan
keseimbangan posisi tegak.
Effendie (2002) menjelaskan, perkembangan larva dibagi menjadi dua tahap
yaitu prolarva dan postlarva. Prolarva masih mempunyai kantung kuning telur,
tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen. Sirip dada dan ekor sudah
berkembang tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru
keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan
hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya
masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya
belum sempurna. Makanannya hanya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum
habis dihisap.
Masa postlarva adalah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur
sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara
morfologis sudah mempunyai bentuk yang hampir sama dengan induknya. Sirip
dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor yang sudah terbentuk
garisnya. Pada masa ini, ikan sudah berenang lebih aktif dan kadang-kadang
memperlihatkan sifat bergerombol (Effendie 2002).
Tingginya tingkat kematian alami bagi telur dan larva ikan dalam suatu
populasi dipengaruhi oleh faktor endogeneous dan eksogenous. Faktor endogenous
memegang peranan penting untuk melindungi suatu populasi dalam mendapatkan
makanan sehingga terhindar dari pemangsa dan bahaya lainnya. Faktor eksogenous
berupa proses eksternal biologis dan karakter fisik lingkungan seperti kekurangan
makanan, pemangsa, penyakit, parasit, polusi, racun, dan tekanan psikologis yang
mungkin menyebabkan kematian individu (Sulistiono et al. 2001)
Keberlangsungan hidup larva sangat tergantung pada jumlah makanan yang
ada. Ketersediaan makanan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Laevastu and
Hayes 1981). Sulistiono et al. (2001) menjelaskan bahwa ukuran mulut dan tingkat
perubahan mulut merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan
spesifik dalam seleksi ukuran makanan.

8

2.4

Pola Distribusi Larva Ikan
Pengetahuan mengenai pola distribusi larva ikan sangat penting (Brodeur

and Rugen 1994). Selanjutnya pada hal yang sama Brodeur and Rugen (1994)
menjelaskan pula bahwa pola distribusi vertikal dari larva ikan ada dua macam,
yaitu Tipe I dengan penjelasan bahwa larva akan melakukan migrasi ke permukaan
pada malam hari. Sedangkan Tipe II dari distribusi larva merupakan kebalikan dari
Tipe I, yaitu larva akan cenderung ke kolom perairan saat siang hari. Laevastu and
Hela (1970) memiliki pendapat lain mengenai migrasi vertikal. Menurutnya, vertikal
migrasi yang dilakukan oleh larva ikan pelagis didasarkan pada beberapa
fitoplankton melakukan fotosintesis untuk menghasilkan zat beracun bagi hewan
pemangsa sehingga larva melakukan migrasi vertikal

ke kolom perairan untuk

menghindar dari zat tersebut. Lalu pada malam hari melakukan migrasi ke
permukaan untuk mencari makan.

2.5

Identifikasi Larva
Leis and Ewart (2000) menjelaskan terdapat empat macam cara untuk

mengidentifikasi larva ikan diantaranya menggunakan literatur, metode biokimia,
metode seri atau bertahap, dan metode pemeliharaan. Metode yang pertama adalah
metode dengan menggunakan literatur. Dalam metode ini, proses indentifikasi
dilakukan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan untuk menentukan
jenis dari spesies larva. Metode seri merupakan metode yang banyak digunakan
dalam hal identifikasi larva ikan. Namun, dalam metode ini membutuhkan banyak
bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Dalam penggunaan
metode ini menyebabkan kemungkinan tercampurnya larva-larva ikan saat
pengumpulan sehingga dapat mengarah terhadap salahnya dalam proses identifikasi.
Metode biokimia dapat dipadukan dengan metode seri atau bertahap untuk
memudahkan dalam proses identifikasi. Namun, kelemahan dari metode ini adalah
tidak praktis dalam hal identifikasi larva ikan, tetapi metode ini hasil akhir dalam
proses identifikasi biasanya baik (Leis and Ewart 2000). Hunter (1984) in Leis and
Ewart (2000) menambahkan proses identifikasi dalam metode pemeliharaan
dilakukan suatu laboratorium, dimulai dari telur yang dibuahi oleh ikan dewasa
hingga larva tersebut tumbuh. Namun, dalam pemeliharaan sering tidak sesuai

9

dengan larva yang ada di alam. Kondisi laboratorium dapat merubah perkembangan
larva secara normal, pigmentasi yang berbeda, proporsi tubuh, dan karakter meristik
(Balxter 1984; Hunter 1984 in Leis and Ewart 2000). Selanjutnnya Leis and Ewart
(2000) myomer, usus, gelembung renang, duri di kepala, mata, bentuk sirip, ukuran,
morfometrik, meristik, dan pigmentasi dapat dijadikan karakteristik dalam
menggambarkan larva.

2.6

Parameter Fisika

2.6.1

Cahaya
Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut

datang cahaya, kondisi permukaan air, dan bahan-bahan yang terlarut dan
tersuspensi di dalam air (Boyd 1988; Welch 1952 in Effendi 2003). Jeffries and
Mills (1996) in Effendi (2003) menambahkan cahaya merupakan sumber utama
dalam ekosistem perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama, yaitu:
1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan
selanjutnya menyebabkan terjadinya pencampuran massa dan kimia air.
Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat
bagi suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran
suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.
2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan.
Cahaya merupakan faktor lingkungan yang penting untuk kehidupan ikan
dan organisme akuatik lainnya (Laevastu and Hayes 1981). Menurut Laevastu and
Hela (1970), cahaya memiliki pengaruh penting bagi pemijahan ikan dan bagi larva.
Cahaya dapat mempengaruhi waktu kematangan gonad ikan. Pemijahan biasanya
berlangsung pada kondisi dimana suhu yang tepat dan penetasan terjadi pada saat
makanan melimpah. Secara tidak langsung faktor suhu sulit dipisahkan dari efek
cahaya (Sullivan and Fisher 1953 in Laevastu and Hela 1970). Allen (1909) in
Laevastu and Hela (1970) mengemukakan bahwa cahaya diawal musim semi
mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dari larva. Hal ini disebabkan secara
tidak langsung bahwa jumlah produksi bahan organik di perairan sangat dipengaruhi
oleh cahaya.

10

Cahaya secara langsung mempengaruhi penglihatan dari ikan. Banyak ikan
yang memanfaatkan cahaya untuk membantu dalam mencari makan, menerima
signal untuk memijah, dan tempat berlindung. Cahaya memicu ikan untuk
melakukan migrasi dan perpindahan secara vertikal ketika ingin memijah dan
berpengaruh terhadap pola pertumbuhan (Laevastu and Hayes 1981).

2.6.2

Suhu
Suhu merupakan suatu ukuran dari energi kintetik rata-rata dari molekul-

molekul (Odum 1992). Suhu di laut merupakan salah satu faktor penting bagi
kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas
metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut
(Hutabarat and Evans 1985).
Suhu air permukaan di perairan Indonesia umumya berkisar antara 28-31oC.
Di lokasi tempat terjadinya penaikan massa air (upwelling) suhu permukaan bisa
turun menjadi 25oC. Hal ini disebabkan karena air dingin dari lapisan bawah
terangkat ke atas. Suhu air di daerah dekat pantai biasanya lebih tinggi daripada di
lepas pantai (Nontji 2005).
Menurut Nontji (2005), suhu air di permukaan di pengaruhi oleh kondisi
meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan
intensitas radiasi matahari. King (1963) menambahkan bahwa perubahan suhu
terhadap kedalaman dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah panas yang diserap,
efek konduksi panas, perpindahan massa air oleh arus, pergerakan vertikal dari air.
Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umunya mempunyai pola
seperti Gambar 2. Sebaran suhu secara vertikal dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu,
lapisan hangat di bagian atas, lapisan termoklin di tengah dan lapisan dingin di
bagian paling bawah. Secara alami lapisan permukaan lebih hangat daripada lapisan
lain karena mendapat radiasi matahari secara langsung (Nontji 2005) dan King
(1963) menambahkan sebaran suhu di permukaan sangat dipengaruhi oleh distribusi
sinar matahari yang diterima. Nontji (2005) mengemukakan bahwa lapisan
termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun dengan cepat secara kedalaman.
Karena suhu turun maka densitas air meningkat. Tebal lapisan termoklin bervariasi
sekitar 100-200 m. Lapisan di bawah termoklin merupakan lapisan yang homogen

11

dan dingin. Makin ke bawah maka suhu akan berangsur-angsur turun hingga pada
kedalaman lebih 1.000 m suhu biasanya kurang dari 5oC.

Gambar 2. Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia. A: Lapisan
hangat; B: Lapisan termoklin; C: Lapisan Dingin
(Nontji 2005)

Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen dari organisme akuatik
sekitar 2-3 kali lipat. Menurut Sullivan (1954) in Laevastu and Hela (1970) ikan
akan memilih suhu yang sesuai kerena akan berdampak aktivitasnya. Selain itu,
perubahan suhu perairan akan berdampak pada stimulus sistem syaraf ikan, proses
metabolisme, dan aktivitas tubuh ikan.
Peningkatan suhu merupakan faktor pengontrol dari pemijahan dan
recruitment karena kebanyakan ikan memijah selama musim panas atau saat suhu
meningkat (Pohlor 1984 in de Castro et al. 2005). Menurut Laevastu and Hayes
(1981) setiap spesies memiliki batas suhu yang berbeda untuk melakukan
pemijahan. Laevastu and Hela (1970) menambahkan bahwa pengaruh suhu sangat
terlihat jelas pada kebiasaan ikan selama pemijahan dan sebelum pemijahan pun
akan suhu memberikan pengaruh terhadap perkembangan kematangan gonad ikan.
Suhu akan secara langsung mempengaruhi perkembangan dari telur dan larva yang

12

merupakan fase kritis dan akan mempengaruhi kemampuan mengapung (buoyancy)
dari telur ikan.

2.6.3

Arus
Menurut Nontji (2005) arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air

yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam dimensitas
air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Selain itu
juga bisa disebabkan karena pasang surut.
Arus dibagi menjadi tiga bagian. Pertama arus yang disebabkan kerena
distribusi dari densitas laut, arus yang secara langsung disebabkan oleh angin, dan
disebabkan karena pasang surut (Sverdrup et al. 1960). Menurut Wibisono (2005)
besar kecilnya arus disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecepatan angin.
Kecepatan angin dapat menimbulkan gaya gesek di permukaan laut. Faktor
selanjutnya adalah tahanan dasar. Walaupun sifat fisik air selalu mencari tempat
yang lebih rendah, namun makin tinggi tahanan dasar maka arus akan semakin
lemah. Selain itu kecepatan arus dipengaruhi oleh gaya koriolis. Efek ini timbul
akibat gerak rotasi bumi dan posisi bumi dalam mengitari matahari, serta berperan
dalam menetukan arah arus. Perbedaan densitas merupakan faktor yang
mempengaruhi kecepatan arus. Arus ini bersama dengan drift current membentuk
arus umum atau horizontal. Arus yang timbul sebagai akibat dari perbedaan suhu
dan salinitas mengontrol distribusi suhu dan salinitas di samudera.
Gerlach et al. (2006) menjelaskan bahwa arus laut merupakan faktor utama
dalam hal penyebaran larva. Doherty (1987); Milich et al. (1992); Thorrold (1992)
in Brogan (1993) menjelaskan faktor fisik seperti kecepatan arus akan
mempengaruhi sistem penglihatan dari perkembangan larva, perilaku atau respon
terhadap cahaya, dan kemampuan berenang.

2.6.4

Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat dalam perairan (Boyd

1988 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah

13

semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan
oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003).
Nontji (2005) menjelaskan bahwa sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai
yang masuk ke laut. Di perairan samudera salinitas normal berkisar antara 33-37 ‰,
namun kisaran salinitas tersebut bisa berubah tergantung pada masukan air tawar ke
laut melalui sungai, melalui tanah, dan penguapan di bagian permukaan perairan.
King (1963) menjelaskan bahwa salinitas dipengaruhi oleh musim, tekanan,
angin. Salinitas di perairan laut bebas memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada
di sekitar perairan pesisir. Perbedaan salinitas tersebut disebabkan karena perairan
pesisir masih dipengaruhi oleh masukan air tawar dari daratan atau dari sungai.
Laevastu and Hela (1970) salinitas perairan pesisir lebih kecil karena dipengaruhi
oleh dari daratan. Selain itu, salinitas berpengaruh terhadap pengaturan tekanan
osmotik pada ikan dan kemampuan mengapung (buoyancy) telur ikan pelagis.
Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan biota laut. Salinitas yang
mendekati optimum akan membuat larva ikan bertahan dan mengalami pertumbuhan
yang optimum (Davis and

Calabrese 1964). Salinitas mempengaruhi fisiologis

kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik
antara sitoplasma dengan lingkungan. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme
baik itu fitoplankton, zooplankton, dan ichthyoplankton. Pengaruh salinitas terhadap
ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif lebih stabil yaitu berkisar
antara 30-36 ‰, sedangkan larva biasanya cepat menyesuaikan diri terhadap tekanan
osmotik. Namun demikian, ikan cenderung lebih memilih air dengan kadar salinitas
yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, hal ini langsung akan sangat
mempengaruhi distribusi ikan (Rahmawati 2004).
Hoar and Randall (1969) menjelaskan bahwa kemampuan bertahan larva
untuk bertahan terhadap salinitas tergantung pada dua faktor, yaitu kemampuan dari
cairan tubuh untuk bertahan dari kondisi tidak normal melalui pengaturan tekanan
osmotik dan konsentrasi cairan di dalam tubuh, yang kedua yaitu kemampuan cairan
tubuh untuk mengembalikan tekanan osmotik pada kondisi yang normal.

14

2.6.5

Kekeruhan
Menurut Effendi (2003), kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang

ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahanbahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik
dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus),
maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme air
(APHA 1976; Davis and Cornwell 1991 in Effendi 2003). Effendi (2003)
menyatakan, kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya sistem
osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat
menghambat penetrsi cahaya ke dalam air.
Salonen et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi dari larva sangat tergantung
oleh faktor kekeruhan air. Utne-Palm (2002) in Salonen et al. (2009) kekeruhan
sangat mempengaruhi siklus hidup ikan dan akan menjadi masalah dalam bagi ikan
yang menggunakan penghilatannya untuk menangkap mangsa. Kekeruhan yang
tinggi dapat menghambat proses migrasi dari ikan (Bell 1963 in Pauleyb et al. 1989).
Selanjutnya Bianchi (1963) in Pauleya et al. (1989) menambahkan sedimen
tersuspensi pada tingkat 103 ppm, oksigen terlarut dengan konsentrasi dibawah 6.9
mg/l dapat mengurangi kelangsungan hidup telur dibawah 10%.

15

3.

3.1

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan

muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi. Survei lokasi dan penetapan stasiun pengamatan dilakukan pada
pertengahan

Desember

2010

dan

pertengahan

Februari

2011.

Penelitian

dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2011 dengan periode pengambilan data
setiap satu bulan sekali pada keadaan bulan gelap.

Sukawayana
Citepus

Gambar 3. Peta lokasi penelitan, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang
bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi
pengambilan contoh

3.2

Penentuan Stasiun
Di perairan Teluk Palabuhanratu terdapat beberapa muara sungai yaitu

Sungai Cikeueus, Cimandiri, Citepus, Sukawayana, Cimaja, Citiis. Dalam penelitian
ini, muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut baik Citepus
maupun Sukawayana dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian. Di sekitar muara

16

yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut tersebut masing-masing
dilakukan pengambilan data larva dan juvenil ikan.

3.3

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu nelayan, termometer

(pembacaan skala Hg) untuk mengukur suhu perairan, Global Positioning System
(Lampiran 2.) untuk penentuan lokasi stasiun penelitian, kamera digital, larva net
dan sirib untuk mengambil contoh larva, hand refraktometer untuk mengukur
salinitas perairan, timbangan digital mikroskop, botol sampel, penggaris, baki, dan
alat bedah. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalin 4%, alat
tulis, dan buku identifikasi larva ikan.

3.4

Prosedur Penelitian

3.4.1

Pengumpulan data larva
Pengambilan contoh larva dan juvenil dibagi menjadi dua lokasi yaitu di

muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut. Di daerah
Citepus dibagi menjadi dua lokasi yaitu muara Citepus yang mengarah ke sungai
dan muara Citepus yang mengarah ke laut. Daerah Sukawayana dibagi menjadi dua
lokasi pula yaitu muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara
Sukawayana yang mengarah ke laut. Pengambilan contoh di muara yang mengarah
ke sungai baik di muara Sungai Citepus maupun Sukawayana dilakukan pada sore
hari pada pukul 15.00-18.00 WIB sedangkan pengambilan contoh di muara sungai
arah laut dilakukan pada pukul 03.00-06.00 WIB. Pengambilan contoh dilakukan
pada bulan gelap sekitar tanggal 25-28 berdasarkan kalender Hijriah.
Tahap pertama yang dilakukan adalah penetuan titik lokasi pengambilan
contoh

dengan

menggunakan

Global

Positioning

System

(GPS)

dan

mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera digital. Pengukuran suhu
dengan menggunakan termometer secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk
pengukuran salinitas dan kekeruhan yang disimpan dibotol sampel. Pengambilan
contoh larva dan juvenil dilakukan dengan menggunakan sirib. Sirib merupakan alat
tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap larva dan juvenil oleh

17

masyarakat sekitar. Jenis sirib yang digunakan berbentuk segitiga samakaki dengan
panjang alas 1 meter dan panjang kaki 1,5 meter dan memiliki jaring halus dengan
meshsize ± 5 mm. Selanjutnya dilakukan penyusuran dari muara sungai ke arah hulu
dengan jarak ± 5 meter dan dengan penangkapan dilakukan pula dengan berdasarkan
arus datang ke arah muara sungai dengan selang waktu yang digunakan adalah 30
menit. Contoh larva dan juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel
lalu di awetkan dengan menggunakan formalin 4%.
Penangkapan di muara yang mengarah arah laut dilakukan dengan jarak ± 1
km dari bibir pantai dan menggunakan perahu nelayan. Setelah itu, dilakukan
penetuan titik pengambilan lokasi pengambilan contoh dengan menggunakan Global
Positioning System (GPS) dan mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera
digital. Setelah itu dilakukan pengukuran suhu dengan menggunakan termometer
secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk pengukuran salinitas dan kekeruhan
yang disimpan ke dalam botol sampel. Penangkapan larva dan juvenil dilakukan
dengan menggunakan larva net. Ada dua jenis larva net yang digunakan. Larva net
yang pertama memiliki diameter 60 cm, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring yang
kaku dengan meshsize 350-500 µmeter. Larva net yang ke- 2 merupakan modifikasi,
berbentuk persegi dengan luas permukaan 1 m2, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring
dengan meshsize 5 mm. Setelah itu, dilakukan penyisiran perairan menggunakan
perahu yang melawan arus dengan kecepatan ± 2 knot secara horizontal selama
kurang lebih 10-15 menit dengan tiga hingga lima kali ulangan. Contoh larva dan
juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel lalu di awetkan dengan
menggunakan formalin 4%.
Contoh air yang didapatkan dilakukan analisis salinitas dengan hand
refraktometer dan kekeruhan dengan turbidity meter di Laboratorium Produktivitas
Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan (IPB) , sedangkan contoh larva dan juvenil yang didapat selanjutnya
di pisihakan/sortir berdasarkan lokasi. Setelah itu, di Laboratorium Biologi Makro 1,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (IPB) dilakukan penggantian pengawet dengan alkohol 70% dan dilakukan
identifikasi jenis dari larva ikan dengan menggunakan petunjuk identifikasi larva
dan juvenil ikan.

18

3.4.2

Pengumpulan data parameter fisika dan kimia
Pengumpulan data parameter fisika dan kimia dilakukan secara langsung di

lokasi penelitian dan di laboratorium. Pengukuran data yang dilakukan secara
langsung adalah suhu (oC) dengan menggunakan termometer. Pengukuran data yang
dilakukan di laboratorium antara lain kekeruhan (NTU) dengan menggunakan
turbidity meter, salinitas (‰) dengan menggunakan hand refraktometer. Data arus
(cm/detik) yang digunakan diperoleh dengan menggunakan data sekunder.

3.4.3

Identifikasi larva dan juvenil ikan
Metode identifikasi larva dan juvenil yang digunakan adalah perpaduan

antara metode seri dengan metode litetatur. Sumber pustaka Leis and Ewart (2000),
Fisher and Whitehead (1974), dan Allen (1999). Identifikasi yang pertama kali
dilakukan adalah dengan mengelompokkan ikan kedalam fase larva dan juvenil.
Fase larva ditandai dengan tubuh yang transparan sedangkan fase juvenil ditandai
dengan bentuk dan warna yang menyerupai induknya serta pada fase ini biasanya
ditandai dengan kelengkapan sirip yang lengkap.
Contoh larva dan juvenil yang diperoleh dilakukan pengukuran proporsi
tinggi tubuh (BD) terhadap panjang tubuh (BL) larva dan juvenil. Setelah itu,
dilakukan pengelompokkan berdasarkan Leis and Ewart (2000) yaitu very elongate
(BD < 10% BL), elongate (BD 10-20% BL), depth moderate (BD 20-40% BL),
deep to very deep (BD >400% BL). Setelah itu, identifikasi yang digunakan dengan
mengamati morfologi luar, mulut, dan usus dari larva dan juvenil dengan
menggunakan mikroskop. Selain itu, identifikasi juvenil dengan sumber pustaka
Fisher and Whitehead (1974) dan Allen (1999) dilakukan dengan mengamati secara
fisik (morfologi).

3.5 Analisis Data
3.5.1

Kekayaan spesies (Richness Index)
Indeks ini digunakan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya spesies serta

konsentrasi biota dalam suatu komunitas. Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa
indeks kekayaan jenis menggambarkan ukuran dari contoh.

Odum (1971)

19

menambahkan kekayaan spesies (Richness Index) dijelaskan dengan Menhinick
Index dengan rumus:

Keterangan:
D
: Indeks kekayaan spesies
S
: Jumlah spesies pada satu sampel
N
: Jumlah sel/ekor dari biota dalam satu spesies atau sampel

3.5.2

Kepadatan larva dan juvenil ikan
Kepadatan populasi merupakan jumlah individu per satuan luas (Brower et

al. 1990) dengan rumus:

Keterangan:
D
: Kepadatan spesies (ind/m2)
ni
: Jumlah total individu suatu jenis larva i (ind)
A
: Luas seluruh stasiun contoh (m2)

3.5.3

Kelimpahan larva dan juvenil ikan
Kelimpahan larva ikan menurut Romimohtarto and Juwana (1999) in

Prasetyati (2004) merupakan banyaknya larva ikan per satuan luas dengan daerah
pengambilan contoh, dengan rumus:

Keterangan:
N
: Kelimpahan larva ikan (ind/m3)
n
: Jumlah larva ikan (ind)
Vtsr
: Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v)
l
: Luas bukaan mulut larva net (m2)
t
: Lama waktu penarikan saringan (menit)
v
: Kecepatan tarikan kapal (m/menit)

20

3.5.4

Pola penyebaran larva dan juvenil ikan
Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa pola peyebaran atau distribusi dari

larva dapat jelaskan dengan menggunakan Morisita Index of Dispersion dengan
persamaan:

Keterangan:
Id
: Indeks Morisita
n
: Jumlah seluruh stasiun pengambilan contoh
N
: Jumlah seluruh individu dalam total n
∑X2 : Kuadrat jumlah jenis larva per stasiun per lokasi pengambilan contoh
Nilai indeks yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Id < 1, pola penyebaran larva ikan cenderung acak
Id = 1, pola penyebran larva ikan cenderung seragam
Id > 1, pola penyebaran larva ikan cenderung berkelompok
Setelah itu, dilakukan uji stastistik, yaitu uji Chi-Square dengan persamaan:

Keterangan:
x2
: Uji Chi-Square
n
: Jumlah pengamatan
X2
: Kuadrat jenis larva ikan yang ditemukan per stasiun contoh
N
: Jumlah seluruh individu larva ikan
Nilai Chi-Square yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai ChiSquare dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Jika nilai x2 hitung yang
diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai x2 tabel maka tidak berbeda nyata
yang berarti pola sebaran dari larva dan juvenil ikan bersifat acak.

3.5.5

Struktur komunitas larva dan juvenil ikan
Komunitas larva dalam suatu ekosistem perairan terdiri dari beranekaragam

jenis dengan jumlah individu yang berbeda masing-masing spesies. Menurut Basmi
(1999) tiga unsur pokok dalam komunitas adalah jumlah macam spesies, jumlah
individu masing-masing spesies, dan total individu dalam komunitas. Hubungan

21

ketiga komponen ini digambarkan melalui Indeks Shannon and Weaver. Odum
(1971) menjelaskan rumus Indeks Keanekaragaman adalah

; dengan
Keterangan:
H’
: Indeks Diversitas Shannon-Wiener
s
: Jumlah spesies dalam komunitas larva
Pi
: Sebagai proporsi jenis ke-i
ni
: Jumlah total individu larva i
N
: Jumlah seluruh individu dalam total n

Indeks Keseragaman digunakan untuk melihat keseragaman dari suatu
komunitas (Basmi 1999). Odum (1971) menjelaskan dengan rumus dengan rumus:

; dengan
Keterangan:
E
: Indeks Keseragaman
H’
: Indeks Diversitas atau Keanekaragaman
S
: Jumlah spesies
Struktur komunitas larva tersusun dari berbagai jenis populasi yang memiliki
jumlah yang berbeda-beda. Indeks Simpson merupakan salah satu indeks untuk
memperoleh infomarsi jenis larva yang mendominasi dalam perairan (Basmi 1999).
Odum (1971) menjelaskan persamaan Indeks Simpson adalah:

;dengan
Keterangan:
C
: Indeks Dominansi
s
: Jumlah spesies dalam komunitas larva
Pi
: Sebagai proporsi jenis ke-i
ni
: Jumlah total individu larva i
N
: Jumlah seluruh individu dalam total

3.4.5

Keterkaitan parameter lingkungan dengan larva dan juvenil ikan
Keterkaitan antara pola distribusi larva ikan dengan parameter lingkungan,

dapat digunakan analisis regresi linier sederhana dengan persamaan:

22

dengan:
X
: Parameter lingkungan
Y
: Kelimpahan larva dan juvenil
Untuk mengetahui keterkakaitan antara faktor fisika dengan kelimpahan
larva maka dilakukan analisis regresi dengan model persamaan sebagaai berikut:

Dengan persamaan penduganya adalah

Keterangan:
Y
x1, x2, …, x4
b0
b1, b2, …, b3

: Kelimpahan larva dan juvenil
: Peubah bebas parameter fisika (suhu, salinitas, arus, kekeruhan)
: Interceps
: Koefisien regresi

Nilai R2 atau koefisien determinasi (%) digunakan untuk menggambarkan
seberapa besar model yang digunakan mewakili kondisi yang ada di alam. Kisaran
R2 berkisar antara 0-100%. Semakin besar kisaran koefisien determinasi maka
model yang digunakan semakin mewakili kondisi di alam. Koefisien korelasi (r)
digunakan untuk menggambarkan keeratan hubungan antara parameter lingkungan
dengan kelimpahan larva dan juvenil. Jika nilai r < 0.5 maka hubungan antara
parameter lingkungan dengan distribusi larva kurang erat. Jika nilai 0.5 ≤ r > 0.7
maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva erat. Jika nilai r
≥ 0.7 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva sangat
erat.

23

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Muara Sungai

4.1.1

Muara Sungai Citepus
Muara Sungai Citepus terletak di Kecamatan Palabuhanratu pada koordinat

lintang 6o58'47.30" dan bujur 106o31'34.80". Muara sungai ini memiliki bukaan
mulut muara sungai ± 3 meter dan memiliki mulut pantai dengan luas ± 1 kilometer
dan memiliki substrat pasir. Air muara Sungai Citepus cenderung berwarna coklat
dengan kekeruhan yang cukup keruh. Muara Sungai Citepus merupakan salah satu
objek wisata yang banyak dikunjungi oleh masyarakat, sehingga aktivitas di muara
sungai ini cukup padat. Selain itu, muara Sungai Citepus merupakan tempat
bermuaranya aliran Sungai Citepus yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
MCK (mandi, cuci, dan kakus) sehingga terkadang banyak terdapat limbah rumah
tangga yang bermuara ke laut.

Gambar 4. Kondisi perairan muara Sungai Citepus

24

4.1.2

Muara Sungai Sukawayana
Muara Sungai Sukawayana terletak di Kecamatan Cikakak dengan koordinat

lintang 6o57'48.24” dan bujur 106o30'11.20". Muara sungai ini memiliki bukaan
mulut muara sungai ± 3 meter. Kondisi perairan di muara sungai ini relatif keruh.
Muara Sungai Sukawayana memiliki jenis substrat batu berpasir. Air sekitar muara
Sungai Sukawayana cenderung coklat dengan kekeruhan yang cukup keruh. Di
sekitar muara Sungai Sukawayana banyak terdapat pepohonan. Aktivitas muara
sungai ini sangat sedikit. Lokasi ini jarang dijadikan sebagai lokasi wisata oleh
masyarakat. Sungai Sukawayana juga dijadikan tempat untuk MCK.

Gambar 5. Kondisi perairan muara Sungai Sukawayana

4.2

Aktivitas Nyalawean
Aktivitas nyalawean di pesisir laut Teluk Palabuhanratu contohnya di muara

Sungai Citepus dan muara Sungai Sukawayana terjadi pada bulan tertentu setiap
tanggal 25 Hijriah khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan aktivitas
penangkapan “impun” dengan menggunakan sirib. Impun merupakan larva-larva
ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan impun yang tertangkap sangat
melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber
pangan.

25

4.3

Komposisi Jenis dan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan
Total larva dan juvenil ikan yang didapatkan berjumlah 1087 individu,

dengan komposisi 6 famili, 12 genus, dan 19 spesies. Spesies yang ditemukan
berada dalam fase larva dan juvenil. Jumlah spesies yang ditemukan di muara yang
mengarah ke sungai lebih banyak dibandingkan di muara yang mengarah ke laut
dengan jumlah spesies yang ditemukan sembilan spesies.

Tabel 1. Jenis dan kelimpahan spesies yang tertangkap
Kelimpahan (ind/m3)
Lokasi

Spesies

Megalops cyprinoides
Mugilidae
Caranx sp.
Congridae
Sicyopterus sp.
Muara
Cynoglosus sp.
yang
mengarah Microchantus sp.
ke sungai Sardinella sp.
Sillago sp.
Platychephalidae
Ambassis vachelli
Gobiidae
Sicyopterus sp.
Caranx leptolepis
Secutor indicus
Muara
Cyniglosus sp.
yang
Serranidae
mengarah
Anguilla sp.
ke laut
Sardinella gibbosa
Tetraroge barbata
Johnius belangerii

30Apr-11
2
217
13
-

Larva
30May-11
30
1
3
2
1
1
-

3-Jul11
4
23
1
2
3
1
1
-

30Apr-11

Juvenil
30May-11

3-Jul11

1
2
1
2
1
1
-

1
1
1
1
1
1
11

1
2
2
5
-

Selama pengambilan contoh, larva Sicyopterus sp. memiliki kelimpahan total
terbesar di muara yang mengarah ke sungai dengan nilai kelimpahan sebesar 241
ind/m3, sedangakan di muara yang mengarah ke laut, spesies Secutor indicius

26

memiliki kelimpahan total terbesar selama pengambilan contoh yaitu sebesar 9
ind/m3. Selain itu, Caranx sp., Sardinella sp., dan Cynoglossus sp. ditemukan di
muara yang mengarah ke sungai juga di temukan di muara yang mengarah ke laut.
Spesies yang ditemukan di bagan didominasi oleh larva Sicyopterus sp. dengan
kelimpahan total adalah 1284 ind/m3. Kelimpahan spesies lain yang ditemukan
memiliki kelimpahan yang berbeda-beda (Tabel 1).
Selama pengambilan contoh juga didapatkan spesies lain (ikan dan non ikan)
dalam pada fase ikan dewasa dengan nilai kelimpahan dan jumlah individu yang
berbeda-beda (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis dan kelimpahan spesies (ikan dan non ikan) yang tertangkap pada fase
dewasa
Spesies

Muara yang
mengarah ke laut

Bagan*)

Keterangan : *)

Engraulididae
Udang Ronggeng
Bintang laut
Keptiring
Udang Rebon
Gempylus sp.
Sicyopterus sp.
Polydactylus sp.
Buntal
Engraulididae
Anguilla sp.
Clupeidae
Mugilidae
Lutjanidae
Ambassis vachelli
Kuhlidae
Lepturachantus sp.
Leiognathidae

Kelimpahan (ind/m3)
30-Apr-11 30-May-11 3-Jul-11
10
2
7
1
1
1
1
Jumlah (ind)
1151
1
734
93
7
5300
1
40
7
3
4
1
1
363

: Pengambilan contoh ke 1, 2, dan 3

Spesies yang tertangkap selama pengambilan contoh di luar larva dan juvenil
di muara Citepus dan Sukawayana arah laut di dominasi oleh famili Engraulididae.

27

Selain itu, spesies lain yang tertangkap adalah bintang laut, kepiting, serta udang
ronggeng (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2, pada pengambilan contoh ke-1 dan 2 tidak
didapatkan contoh larva dan juvenil dari muara yang mengarah ke sungai dan muara
yang mengarah ke laut. Namun, contoh tersebut lebih dominan didapatkan dari
bagan yang berasal dari Citepus dan Sukawayana. Kondisi arus pada pengambilan
contoh ke- 1 dan 2 relatif lebih besar dibandingkan pada pengambilan contoh ke- 3,
4, dan 5. Spesies yang tertangkap di bagan selama pengambilan contoh di dominasi
oleh famili Engraulididae sehingga jumlah individu yang tertangkap relatif besar
dibandingkan spesies lainnya. Speseis lain yang ditemukan dalam jumlah yang besar
antara lain family Leiognathidae, Sicyopterus sp., dan udang rebon dalam fase
postlarva.
Menurut Pariwono et al. (1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai
75 cm/detik. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli arus di Palabuhanratu relatif tenang dan
lebih kecil dari bulan Maret dan April yaitu sebesar 50 cm/detik. Gerlach et al.
(2006) menambahkan bahwa arus laut merupakan faktor utama dalam hal
penyebaran larva. Arus akan mempengaruhi kebiasaan ikan, antara lain membawa
telur ikan spawning ground ke nursery ground, dari nursery ground ke feeding
ground, menyebabkan migrasi pada ikan dewasa, arus (pasang surut) akan
mengakibatkan terjadinya migrasi diurnal, arus akan mempengaruhi distribusi dan
kelimpahan ikan. Arus juga memiliki kecepatan maksimum bagi larva ikan
(Laevastu and Hela 1970). Misalnya larva ikan herring (clupea) kecepatan
maksimum agar menunjang perkembangannya adalah 0.6-1 cm/detik (Bishai 1970
in Laevastu and Hela 1970).
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi tidak didapatkannya contoh larva
dan juvenil ikan adalah faktor alat tangkap yang digunakan yaitu diameter larva net
yang relatif kecil dan elastisitas dari jaring yang kaku. Pada pengambilan contoh ke3, 4, dan 5 dibuat modikasi larva net dengan luas permukaan 1 m2 dengan meshsize
jaring 5 mm.
Faktor lain yang menyebabkan tidak didapatkannya contoh larva dan juvenil
pada pengambilan contoh ke- 1 adalah terjadinya fenomena super moon. Bagan
yang terdapat di Teluk Palabuhanratu adalah bagan apung dengan menggunakan alat
bantu lampu petromaks. Didapatkannya spesies ikan di bagan baik dari

28

Citepusmaupun Sukawayana lebih disebabkan karena faktor sinar lampu yang
digunakan saat penangkapan oleh nelayan. Sinar yang dipantulkan oleh lampu ke
perairan memiliki kemampuan menarik perhatian ikan untuk migrasi ke permukaan.
Menurut Thorson (1996) in Sulistiono et al (2001) pada tahap awal kehidupan larva
bersifat fototaksis positif sehingga larva akan mengapung bebas diperairan. Namun
adapula beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga mereka
hanya menenmpati tingkatan pada kolom air. Menurut Yami (1987) in Magdalena
(2010) pemikatan oleh suatu sumber pencahayaan tidak hanya tergantung kepada
sifat fototaksis positif dari ikan tersebut, tetapi juga oleh faktor ekologis yang
berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya. Pada mulanya yang tertarik adalah
zooplankton, kemudian diikuti oleh ikan kecil akhirnya ikan besar.
Penangkapan larva dan juvenil banyak dilakukan pada bulan gelap dan pada
bulan tertentu. Berdasarkan hasil informasi masyarakat sekitar, kelimpahan larva
dan juvenil khususnya Sicyopterus sp. meningkat pada bulan-bulan tertentu sekitar
tanggal 25 pada kalender Hijriah. Penentuan bulan terang dan bulan gelap
berdasarkan siklus bulan. Pada bulan terang, cahaya yang dipantulkan ke perairan
bersifat menyebar, sehingga ikan pun akan menyebar rata akibat pantulan cahaya.
Pada bulan gelap ikan cenderung mengelompok sehingga dalam hal penangkapan

Kelimpahan Relatif (%)

lebih banyak yang tertangkap dibandingkan bulan terang.

98.65 %

100
80
60
40
20
0
Megalops
cyprinoides

Sicyopterus sp.

Sillago sp.

Spesies

Gambar 6. Kelimpahan relatif larva di muara Citepus yang mengarah ke
sungai

Kelimpahan Relatif (%)

29

100
80
60
33.33 %

40
20
0

Spesies

Gambar 7. Kelimpahan relatif juvenil di muara Citepus yang mengarah ke
sungai

Terdapat 10 jenis s