Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

(1)

Ecologi-Economi of Fish Larvae and Juvenile Resources from Gulf of Palabuhanratu, Sukabumi, West Java

Putri Marini Said

Manajemen Sumberdaya Perairan-FPIK-IPB Bogor

Penelitian ini didasari oleh tradisi masyarakat di Teluk Palabuhanratu yang disebut dengan “ngala impun/nyalawean” dan pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif dengan ukuran mata jaring yang kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak upaya penangkapan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan di Teluk Palabuhanratu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juli 2011. Total larva dan juvenil ikan yang diperoleh terdiri dari 36 jenis yang termasuk dalam 29 famili dan 10 ordo. Spesies yang dominan tertangkap di muara sungai adalah Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli. Spesies yang dominan tertangkap di laut sekitar muara sungai dan bagan adalah Secutor indicius. Penelitian ini menunjukan bahwa secara ekonomi ikan dewasa memiliki harga yang jauh lebih tinggi daripada ikan pada stadia larva dan juvenil yang mengandung ribuan individu didalamnya. Ikan pada stadia dewasa yaitu pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) telah mengalami overfishing, sehingga perlunya pengendalian output dan input terhadap ikan tersebut. Tingginya konektivitas antara larva, juvenil dan ikan dewasa maka perlu adanya pengelolaan, agar sumberdaya ikan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa harus mengganggu kelangsungan hidup suatu spesies.


(2)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya ikan merupakan suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui, yang artinya jika sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan sebagian maka sebagian ikan yang tersisa mampu memperbaharui dirinya dengan cara berkembang biak. Mengingat sifat dari sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property) sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa pun (open access) mendorong manusia untuk mengeksploitasinya. Eksploitasi terhadap sumberdaya ikan tentu dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, namun jika terjadi eksploitasi secara berlebih (overfishing) bukan keuntungan ekonomi yang didapatkan melainkan kerugian secara ekologi. Hal ini terjadi karena, jika kondisi tangkap lebih ini terjadi terus menerus tanpa adanya pengendalin dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di suatu perairan, yang kemudian akan berdampak pula terhadap kerugian secara ekonomi.

Teluk Palabuhanratu merupakan salah satu lokasi terjadinya berbagai kegiatan perikanan tangkap, baik perikanan offshore yaitu perikanan laut lepas maupun inshore yaitu perikanan pantai. Kegiatan perikanan tangkap yang terjadi di daerah inshore teluk ini meliputi kegiatan penangkapan ikan menggunakan perahu motor, bagan, dan tradisi nyalawean/ngala impun. Tradisi ini merupakan suatu kegiatan penangkapan ikan di muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu. Ikan yang tertangkap dari tradisi ini adalah ikan dalam stadia larva dan juvenil. Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan dapat menangkap ikan dari berbagai ukuran termasuk larva dan juvenil ikan. Jika kegiatan penangkapan terhadap larva terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan penurunan stok dari suatu sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan tidak adanya regenerasi atau rekruit yang masuk ke perairan yang ketika pada stadia larvanya saja sudah ditangkap dan belum sempat menjadi dewasa untuk melakukan pemijahan (reproduksi). Seperti diketahui bahwa keberhasilan faktor reproduksi ini merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan suatu sumberdaya ikan. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian operasi penangkapan yang ditargetkan pada larva ikan.


(3)

Teluk Palabuhanratu ditetapkan sebagai lokasi penelitian karena teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan sebagai daerah asuhan anak-anak ikan (nursery ground), sehingga diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keberadan larva ikan. Selain itu, Teluk Palabuhanratu juga memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan agar sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu tetap lestari.

1.2 Rumusan Masalah

Mencermati sumberdaya ikan sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk pemenuhan gizi maupun kegiatan perekonomian serta mengingat sifat dari sumberdaya ikan adalah common property dan open access mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya, termasuk larva ikan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan agar sumberdaya ikan dapat tetap lestari serta dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Kelangsungan hidup dari suatu populasi ikan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dari proses rekruitmen, yaitu masuknya suatu individu ke dalam suatu populasi. Semakin banyak jumlah rekruit yang masuk ke perairan maka semakin besar pula populasi dari suatu spesies ikan tersebut. Seperti diketahui pula bahwa fase larva merupakan fase awal dalam siklus biota untuk berkembang menjadi dewasa dan melakukan reproduksi. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap larva ikan harus dikendalikan karena akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan populasi ikan serta dapat mengganggu keseimbangan ekologis perairan. Secara ekonomi pun ikan dewasa ukuran konsumsi memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan per kilogram larva ikan yang dijual, dimana dalam 1 kilogram larva ikan memungkinkan terdapat banyak spesies yang ketika dewasa per ekor ikannya dapat memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi.

Pemahaman mengenai biologi dan ekologi larva ikan sangatlah penting karena memiliki keterkaitan dengan fluktuasi sumberdaya ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies ikan itu sendiri (Anwar 2008). Selain itu, studi mengenai larva masih sangat jarang dilakukan maka perlu dilakukan suatu studi mengenai pengelolaan terhadap sumberdaya larva ikan, baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Dari hal tersebut diharapkan kelestarian dari sumberaya ikan


(4)

dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa menggangu kelangsungan hidupnya.

= Hubungan langsung = Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Kerangka perumusan masalah

Kurangnya dan ketidaklengkapan informasi mengenai jenis dan kelimpahan larva ikan yang tertangkap akibat tradisi nyalawean/ngala impun serta larva yang tertangkap dalam bagan di Teluk Palabuhanratu menjadi alasan mendasar untuk melakukan penelitian ini. Fokusnya adalah aspek ekologi serta ekonomi dari sumberdaya larva ikan dengan batasan stadia larva hingga juvenil pada daerah muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Sungai-sungai ini pada akhirnya akan bermuara ke Teluk Palabuhanratau. Informasi hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi tindakan pengelolaan larva selanjutnya. Pokok permasalahan yang akan diangkat dalam rangka pengelolaan larva secara tepat dan berkelanjutan pada penelitian ini adalah aspek ekologis larva ikan dan aspek ekonomis larva berdasarkan perbandingan harga antara larva ikan dengan ikan dewasa ukuran konsumsi, yang kemudian akan dikaitkan dengan status pemanfaatan

Sumberdaya Ikan

Ikan Dewasa

Larva ikan

Common property Open access

Eksploitasi

EKOLOGI EKONOMI

Pengelolaan Bioekonomi


(5)

ikan dewasa menggunakan model bioekonomi, sehingga dapat dilakukan pengelolaan untuk mendatangkan keuntungan yang maksimum (Gambar 1).

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak upaya penangkapan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan yang ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengelolaan sumberdaya larva ikan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan peran ekologis larva ikan serta nilai ekonomis dari pengelolaan sumberdaya larva ikan di Teluk Palabuhanratu agar mendatangkan keuntungan yang maksimum.


(6)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu terletak di Pantai Selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi geografis 6o57’-7o07’LS dan 106o22’-106o23’BT. Perairan ini mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi menjadi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu dan Kecamatan Ciemas. Perairan ini juga merupakan tempat bermuaranya empat sungai antara lain, Sungai Cimandiri, Citepus, Cidadap dan Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988).

Menurut Pariwono et al. (1988) jika dilihat berdasarkan sifat arusnya, arus Pantai Selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut dalam (Samudera Hindia). Pada bulan Februari sampai Juni arus permukaan di pantai bergerak ke arah Timur di sepanjang Pantai Jawa, sedangkan arah arus di Samudera Hindia menuju ke Barat. Kecepatan arus pada bulan Februari mencapai 75 cm/detik yang kemudian semakin lemah pada bulan April sampai dengan Juni mencapai 50 cm/detik. Pada bulan Agustus arus pantai berganti arah ke Barat dengan kecepatan sekitar 75 cm/detik. Arah dan kecepatan arus di Lautan Hindia pada bulan itu sama dengan arus pantai. Sampai bulan Oktober, arah arus pantai tetap ke Barat dengan kecepatan 50 cm/detik. Sementara itu, arus di lautan Hindia kecepatan dan arah arus tetap. Bulan Desember terjadi perubahan arah arus lagi menuju Timur, sedangkan di Samudera Hindia arus mengarah ke Barat Laut.

Sifat angin di perairan Selatan Jawa sangat bersesuaian dengan sifat laut seperti dinyatakan oleh Wyrtki (1961) in Pariwono et al. (1988). Kecepatan angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam, karena angin merupakan penyebab utama gelombang, maka tinggi gelombang sangat ditentukan kecepatan angin tersebut.

Di daerah ini dikenal dua musim ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur merupakan musim banyak ikan, terjadi pada bulan Juni sampai dengan September/Oktober. Periode ini ditandai dengan angin lemah, laut tenang serta kemarau, sedangkan musim barat ditandai dengan angin kencang, gelombang besar dan bersesuaian dengan musim hujan. Periode musim barat ini merupakan musim


(7)

kurang ikan, berlangsung sekitar bulan November/Desember sampai dengan bulan April/Mei.

Alat penangkapan ikan yang dominan diperairan Palabuhanratu adalah payang dan gill net. Hasil tangkapan kedua alat tersebut merupakan 70% dari total hasil tangkap seluruh alat tangkap yang beroperasi di daerah tersebut. Jenis ikan yang banyak tertangkap adalah cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tuna (Thunnus albacares). Selain itu tertangkap pula ikan-ikan eteman, peda, tembang, layur, petek dan teri.

2.2 Identifikasi Larva Ikan

Identifikasi menurut Mayr (1971) in Laily (2006) adalah menempatkan atau memberikan identitas suatu individu melalui prosedur deduktif ke dalam suatu takson dengan menggunakan kunci determinasi. Kunci determinasi adalah kunci jawaban yang digunakan untuk menetapkan identitas suatu individu. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk mencari dan mengenal ciri-ciri taksonomi yang sangat bervariasi dan memasukkannya ke dalam suatu takson. Selain itu, untuk mengetahui identitas atau nama suatu individu atau spesies dengan cara mengamati beberapa karakter atau ciri morfologi spesies tersebut dengan membandingkan ciri-ciri yang ada sesuai dengan kunci determinasi.

Leis and Ewart (2000) mengemukakan ada empat metode dalam mengidentifikasi larva ikan, antara lain dengan menggunakan literatur, metode seri atau bertahap, metode biokimia, dan metode rearing (pemeliharaaan). Metode dengan menggunakan literatur merupakan metode identifikasi larva ikan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan dalam menentukan spesies larva ikan. Metode seri merupakan metode yang paling umum digunakan dalam mengidentifikasi larva ikan, namun metode ini membutuhkan banyak bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Metode ini diterapkan berdasarkan kemiripan dalam pendugaan identifikasi, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam identifikasi. Metode biokimia dapat digunakan bersamaan dengan metode seri untuk membantu dalam identifikasi. Sayangnya metode ini tidak praktis digunakan untuk mengidentifikasi spesimen dari studi lapang yang dilakukan secara rutin, tetapi metode ini berkontribusi dalam pengembangan identifikasi menjadi lebih baik. Metode rearing yaitu metode


(8)

identifikasi larva ikan dengan cara memelihara ikan muda (larva) hingga menjadi dewasa di laboratorium. Namun dalam identifikasi dengan metode ini kerap kali tidak sesuai dengan spesies yang sebenarnya. Hal ini disebabkan, kondisi laboratorium dapat membawa perubahan perkembangan secara normal, perbedaan pigmentasi, proporsi tubuh dan ciri-ciri meristik umumnya dapat mengalami perubahan. Cara yang baik dalam mengidentifikasi larva ikan yaitu dengan cara mengkombinasikan metode-metode tersebut.

2.3 Biologi Larva Ikan

Istilah ichthyoplankton menurut Olii (2003) berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara) artinya ikan yang masih bersifat plaktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton dan ketika dewasa menjadi perenang aktif kategori nekton. Syahailatua (2006) mengatakan bahwa dalam fasenya sebagai plankton mempunyai pergerakkan yang sangat terbatas karena alat geraknya berupa sirip yang belum berkembang dengan sempurna. Hal ini memudahkannya untuk dimangsa oleh predator-predator di perairan. Keterbatasannya dalam bergerak juga menyebabkan keterbatasan dalam mendapatkan makanan alami pada saat persediaan kuning telur telah diserap habis, sehingga kondisi larva ikan sangat ditentukan oleh peluang dimana mereka berada. Keterbatasan dalam menghindari predator dan mendapatkan makanan inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi dari ichthyoplankton.

Olii (2003) juga menyatakan bahwa ichthyoplankton sebagai tahapan awal daur hidup ikan mulai dari perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan, dimana ichthyoplankton ini memiliki tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator, perubahan lingkungan, dan ketersediaan makanan di alam. Effendi (2002) mempertegas bahwa stadia larva merupakan masa kritis dalam daur hidup ikan, dimana pada stadia ini terbilang kritis disebabkan faktor biotik yang berhubungan dengan larva itu sendiri. Masa kritis dari stadia ini terletak pada sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan pada masa transisi ketika mulai mengambil makanan dari luar. Hal ini menunjukan bahwa pergerakkan larva atau


(9)

tingkah laku untuk mendapatkan makanan serta kepadatan persediaan makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup ikan.

Menurut Effendi (2002) perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu prolarva dan post larva. Sedangkan menurut Balon (1975) and Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) periode larva terdiri dari fase protopterygiolarva dan pterygiolarva.

Effendi (2002) menjelaskan bahwa tahap prolarva ditandai dengan masih adanya kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum diketahui fungsinya, sirip dada dan sirip ekor sudah ada namun belum sempurna bentuknya, sirip perut hanya bentuk tonjolan saja, sistem pernafasan dan pencernaan serta peredaran darah belum sempurna. Tahap postlarva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru dan penyempurnaan organ-organ tersebut sehingga pada masa akhir postlarva secara morfologi sudah menyerupai induknya.

Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) menjelaskan bahwa fase protopterygiolarva, meliputi peralihan makanan dari masa kuning telur dengan masa makanan yang berasal dari luar dan mulainya diferensiasi lipatan sirip tengah sampai pertama kali munculnya gambaran tonjolan lepidotrichia, sirip dorsal, dan sirip anal di dalam lipatan sirip. Fase pterygiolarva berlangsung sejak dimulainya pembentukan sirip-sirip tunggal sampai lipatan sirip tengah benar-benar berdiferensiasi atau tidak terlihat lagi.

Hoar and Randall (1987) in Anwar (2008) mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidupnya akan melalui tiga tahap, yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi, yaitu preflexion, plexion dan postflexion larva. Leis and Ewart (2000) mendefinisikan preflexion adalah tahap awal perkembangan sirip ekor dimana tulang hipural rata atau kebawah. Flexion adalah pembengkokan tulang hipural ke atas, sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan bentuk sirip ekor hingga terbentuk semua kelengkapan meristik luar dan sirip ekor mulai dapat digerakkan dengan baik.


(10)

Ikan-ikan yang hidup di laut, periode larva berlangsung lebih lama. Pada ikan sardin dan ikan-ikan karang sampai ½ minggu, pada ikan belut (Anguilla sp.) dapat berbulan-bulan (Sjafei 1992). Menurut Houde (1994) perbedaan dinamika dan sifat energentik dari larva ikan laut dan air tawar memiliki implikasi penting dalam menentukan perkembangan awal daur hidup ikan. Larva ikan laut memiliki berat yang lebih ringan, memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi, mempunyai kebutuhan metabolisme yang lebih tinggi dan memiliki durasi menjadi larva yang lebih lama dibandingkan dengan larva ikan air tawar. Perbedaan ukuran tubuh antara kedua kategori larva tersebut, yaitu larva ikan laut lebih kecil dibandingkan dengan larva ikan air tawar, dimana hal ini merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan sifat energetik. Larva ikan laut lebih memungkinkan terjadinya mortalitas akibat kelaparan karena ukuran tubunya yang kecil dan memungkinkan material makanannya lebih besar. Hal ini terkait pula dengan kebutuhan metabolismenya.

Houdo (1994) mengemukakan bahwa ketahanan hidup rata-rata (survival rate) larva ikan air tawar diduga lebih tinggi dibandingkan dengan larva ikan laut. Survival rate ini berhubungan terbalik dengan fekunditas. Sjafei (1992) ikan-ikan yang fekunditasnya tinggi mempunyai mortalitas yang tinggi terutama pada fase embrio dan larva. Pengurangan dan penambahan pada survival rate periode larva akan berpengaruh besar terhadap ukuran populasi ikan dewasa.

2.4 Stok dan Rekruitmen

Jaminan stok berbagai komoditas perikanan umumnya tergantung pada keberadaan fase larva, dimana larva inilah yang menjadi rekruit di suatu perairan untuk mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan (Anwar 2008). Menurut Cushing (1968) penurunan stok perikanan dikarenakan ikan-ikan kecil yang tidak diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan stok perikanan. Banyak kegagalan yang terjadi dalam perikanan disebabkan karena kegagalan dalam rekruitmen. Menurut Rounsefell (1958) 1956 in Cushing (1968) kegagalan rekruitmen menjadi stok ikan dikaitan dengan penangkapan ikan.

Menurut Widodo dan Suadi (2006) peningkatan (increment) populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun. Sedangakan penurunan dari populasi tersebut (decrement) akibat dari mortalitas baik karena


(11)

faktor alami (predasi, penyakit, dll) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia.

Faktor yang mempengaruhi stok perikanan adalah pertumbuhan, rekruitmen, penangkapan dan mortalitas alami. Hubungan stok dewasa dengan rekruitmen adalah berbanding lurus, dimana ketika jumlah stok dewasa banyak maka jumlah rekruitmennya pun akan banyak. Namun, pada kondisi ketika jumlah stok dewasa banyak tetapi jumlah rekruitmen sedikit, hal ini disebabkan karena adanya mortalitas perekruitmen (Syahailatua 2006).

Watanabe (2002) in Syahailatua (2006) menyatakan bahwa penyebab menurunya produksi perikanan akibat tangkap lebih (overfishing). Tangkap lebih ini diakibatkan karena banyak tertangkapnya ikan-ikan muda dan gagalnya proses rekruitment (recruitment overfishing). Penangkapan yang intensif dalam pengeksploitasian ikan-ikan dewasa juga akan menurunkan stok biomas pemijahan dan kemudian akan berdampak pada produksi telur yang rendah dalam setahun, dimana rekruitmen mengalami kegagalan. Kegagalan dalam rekruitmen juga disebabkan karena faktor lingkungan perairan yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ichthyoplankton.

Syahailatua (2006) juga menjelaskan bahwa tingginya tingkat mortalitas dari ichthyoplankton mengindikasikan penurunan laju kelangsungan hidupnya (survival rate). Hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa dan sekaligus mempengaruhi produksi perikanan.

2.5 Model Bioekonomi Gordon-Schaefer

Dalam penggunaan model produksi yang didasarkan pada sifat biologis hanya dapat mengetahui potensi sumberdaya perikanan dan tingkat produksi maksimum. Akan tetapi suatu usaha perikanan ditunjukan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan model produksi belum dapat menunjukan prilaku dan potensi ekonomi industri penangkapan ikan dan belum dapat menentukan tingkat pengusahaan yang akan menghasilkan keuntungan ekonomi maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan yang didasarkan atas sifat dasar biologis populasi ikan ditunjukan untuk memahami prilaku ekonomi dan industri perikanan tangkap (Purwanto 1988). Pendekatan yang memadukan faktor ekonomi yang


(12)

mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menetukan produksi dan suplay disebut pendekatan bioekonomi (Clark 1985 in Purwanto 1988)

Model bioekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak ada seorang pun yang memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkannya (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena permasalahan perikanan selama ini terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dalam permasalahan tersebut maka Gordon (1954) melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer. Pendekatan ini dengan memasukkan parameter ekonomi, yaitu harga dari output (harga ikan persatuan berat) dan biaya dari input produksi (cost per unit effort).

Pemanfaatan sumberdaya ikan yang bersifat open access dapat mengakibatkan terjadinya permasalahan overfishing, baik economic overfishing maupun biological overfishing. Economic overfishing terjadi ketika upaya penangkapan (effort) melebihi kapasitas produksinya dan jika dinilai dengan uang, maka pendapatan total (TR) lebih kecil dibandingkan dengan biaya total (TC), sedangakan biological overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya sehingga akan mengarah pada kelangkaan sumberdaya perikanan. Dalam memahami pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan harus memperhatikan prinsip-prinsip model bioekonomi Gordon-Shaefer (Fauzi 2006).

Menurut Ruslan (2005) berdasarkan segi ekonomi, tingkat optimum pemanfaatan perikanan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimum (maximum profit). Hal ini disebut sebagai hasil maksimum secara ekonomi (Maximum Economic Yields) yang disingkat "MEY", yaitu selisih antara biaya total (TC) dan penerimaan total (TR). Dalam menentukan MEY ini terlebih dulu harus mengkonversi hasil tangkapan menjadi penerimaan dalam bentuk uang dan tingkat usaha penangkapan (effort) dirubah menjadi biaya. Penerimaan (Total Revenue =


(13)

TR ) merupakan hasil tangkapan yang dikalikan dengan harga ikan, sedangakan biaya total (Total cost = TC) merupakan effort yang dikalikan dengan harga per unit effort

Gambar 2. Keseimbangan statik model Gordon Schaefer Sumber : Clark (1985) in Wahyudin et al. (2005)

2.6 Ekologi Ekonomi Perikanan

Ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalah ekologi. Ekologi dan ekonomi mempunyai persamaan yaitu sama-sama mempunyai alat transaksi. Alat transaksi dalam ekonomi adalah uang, sedangkan dalam ekologi alat traksaksi yang digunakan adalah materi (seperti sumberdaya ikan). Oleh karena itu ekologi perikanan dapat disebut sebagai ekonomi alam dari suatu sumberdaya ikan. Ekonomi mempelajari keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan lingkungan dikatakan dalam keseimbangan ekologis jika proses aliran energi dan materi tidak terganggu (elerning.gunadarma.ac.id).

Pauly et al. (2002) in Wiyono (2006) mengatakan bahwa kegiatan perikanan merupakan suatu kegiatan perburuan atau penangkapan sumberdaya ikan. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada perburuan atau penangkapan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Jika kegiatan penangkapan sumberdaya ikan ini dijadikan industri dalam skala besar, maka aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek biologi maupun ekologi dari


(14)

sumberdaya ikan itu sendiri. Hal ini akan memicu peningkatan upaya penangkapan (effort) hingga melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan dari sumberdaya ikan

Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sering kali bertentangan dan sulit dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada kerusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada (Wiyono 2006).

Mudzakir (2003) juga mendukung pernyataan diatas dengan mengatakan bahwa pembangunan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam harus memperhatikan pengembangan dan pengelolaan pada keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan. Alder et al. (2001) in Mudzakir (2003) menegaskan bahwa agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatannya. Ia juga mengatakan bahwa menurunnya sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekologi tetapi juga oleh faktor sosial, ekonomi, dan teknologi akibat dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang diterapkan.

2.7 Ikan Pepetek (Secutor indicus)

Klasifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) in Muliawarman adalah sebagai berikut :


(15)

Sub Film : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Famili : Leognathidae Genus : Leognathus

Secutor

Gazza

Nama Indonesia : Pepetek, petek, peperek, kope, maco, Pettah, Dodok dan Gampar

Gambar 3. Larva ikan pepetek

Gambar 4. Ikan pepetek (Secutor indicius) Sumber : Muliawarman (1997)

Ikan pepetek termasuk ke dalam suku Leiognathidae, bentuknya pipih, berukuran kecil dan panjangnya jarang yang melebihi 15 cm. Ikan pepetek ini bisa digolongkan dalam 3 marga yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Ketiga marga ini bisa dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza mempunyai gigi taring, sedangkan yang lain hanya mempunyai gigi kecil dan mulutnya dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus) (Nontji 2005).

Pepetek adalah salah satu ikan demersal yang cukup banyak tertangkap di perairan indonesia. Beberapa perairan Laut Jawa, seperti Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Timur Lampung/Sumatra Selatan ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek (Dwiponggo and Badrudin 1980 in Mulawarman 1997). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan pepetek ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, bagan, pure seinne dan gillnet.


(16)

Bila ditinjau dari segi ekonomi, ikan pepetek di Indonesia terutama di Pantai Utara Jawa dan Timur Sumatra banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan harganya pun relatif baik, dengan demikian ikan pepetek dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting (Muliawarman 1997).

Ikan pepetek hidup di perairan dangkal dan biasanya dalam gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (Trawler) dan dengan bagan bisa memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang sangat besar. Produksi pepetek yang tertinggi di pesisir Jawa Timur biasanya sekitar bulan Desember-Maret, sedangkan terendah pada bulan Juli-September (Nontji 2005). Berdasarkan penelitian Chu et al. (2011) ikan pepetek spesies Secutor ruconius memiliki persamaan panjang berat W = 0.06 L2.63.

2.8 Ikan Layur (Lepturacanthus savala)

Penelitian mengenai biologi reproduksi ikan layur mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae. Famili Trichiuridae terdiri dari dua genus yaitu Trichiurus (Gambar 7) dan Lepturacanthus (Gambar 8). Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus (Gambar 9). Ada pun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura and Parin (1993) in Ambarwati (2008) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Sub Film : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Scrombroidea Famili : Thrichiuridae

Gempilydae Genus : Thrichiurus

Lepturacanthus Gempylus

Spesies : Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Gempylus serpens Cuvier, 1829


(17)

Nama Indonesia : Layur

Nama Internasional : Hairtails, ribbon fish

(a)

(b)

Gambar 5. Larva ikan layur jenis Lepturacanthus savala (a), Juvenil ikan layur jenis Gempylus (b)

Gambar 6. Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Sumber : Ambarwati (2008)

Gambar 7. Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008)

Gambar 8. Gempylus serpens Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008)

Ikan layur memiliki tubuh yang panjang dan gepeng serta ekornya panjang. Kulitnya tak bersisik dan berwarna keperak-perakan. Sirip perut tak ada sedangkan


(18)

sirip dubur terdiri dari sebaris duri-duri kecil yang lepas. Rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas. Mulutnya Lebar dan kedua rahangnya bergigi kuat dan tajam. Ikan layur dapat berukuran panjang sampai lebih 100 cm (Nontji 2005).

Pada siang hari, ikan layur dewasa biasanya bermigrasi vertikal ke dekat permukaan untuk mencari makan dan kembali bermigrasi ke dasar perairan pada malam hari. Ikan layur muda (anak) yang berukuran kecil akan membentuk gerombolan (schooling) mulai dari dasar sampai dekat permukaan pada siang hari dan pada malam haari menyebar serta mengelompok untuk mencari makan sampai kedekat permukaan. Habitat layur meliputi perairan laut, estuari, rawa pantai dan mangrove. Populasi ikan layur banyak tertangkap di perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai (Badrudin & Wudianto 2004 in Sharif 2009).

Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan layur ditangkap dengan menggunakan payang, gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seinne. Alat tangkap dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu adalah pancing ulur (wawancara). Ikan layur yang banyak tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan yang biasa diekspor adalah dari jenis Lepturacanthus savala (Anita 2003 in Sharif 2009).

Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan layur (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu (Sharif 2009)

Parameter Biologi Nilai

K (per tahun) 0.56

L∞ (mm) 1348

t0 -0.62

Pola pertumbuhan ikan layur adalah allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Hal ini dilihat berdasarkan nilai b>3 berdasarkan hubungan panjang-berat ikan layur W = 2x10-8 L3.55 dan telah dilakukan uji t (α =0.05) terhadap nilai b tersebut (Sharif 2009). Menurut penelitian Ambarwati (2008) juga menyatakan pola pertumbuhan ikan layur jantan allometrik positif (W = 2x10-7 L3.2626) dan ikan layur betina (W = 2x10-6 L2.8368) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.


(19)

3.

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Perbedaan muara arah sungai dengan muara arah laut yaitu dilihat berdasarkan jarak antar kedua lokasi tersebut. Jarak pengambilan contoh di muara arah laut berkisar 10-15 meter dari mulut muara sungai itu sendiri. Studi pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 untuk survei lokasi dan penetapan stasiun penelitian. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan setiap gelap bulan mulai bulan Maret 2011 hingga Juli 2011.

Gambar 9. Peta lokasi penelitian, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi contoh larva dan juvenil ikan, formalin 4% dan alkohol 70% untuk mengawetkan sampel ikan, buku identifikasi larva karangan Leis and Ewart (2000), Fischer and Whitehead


(20)

(1974), Allen (1999) dan Okiyama (1988), alat tulis, botol sampel, saringan, botol film, baki, perahu nelayan, Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, penggaris dengan ketelitian 0,5 mm, mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali, dinolite untuk memfoto sample larva ikan, larva net (mesh zise 350-500 μm, diameter 60 cm), waring berbentuk persegi (1m x 1m) dengan mesh size 0.5 cm, sirib berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang alas 1 m dan panjang sisi kaki 1.5 m kamera digital, timbangan digital dan alat bedah.

3.3 Prosedur Penelitian

Pengambilan contoh (sampling) larva ikan dilakukan sebanyak 5 kali. Pengambilan contoh ke-1 dan ke-2 memiliki rentan waktu 2 minggu dan kemudian untuk selanjutnya pengambilan contoh dilakukan dalam rentan waktu sebulan sekali. Pada pengambilan contoh ke-1 pada tanggal 19 Maret 2011 sampel larva ikan tidak ditemukan karena bertepatan dengan bulan terang. Oleh karena itu, pengambilan contoh dilakukan pada saat bulan gelap yang jatuh pada sekitar tanggal 29 akhir bulan hingga tanggal 3 pada awal bulan, sehingga pengambilan contoh dilakukan sebulan sekali. Pengambilan contoh larva ikan awalnya yaitu pada pengambilan contoh ke-1 (19 Maret 2011) dan ke-2 (1 April 2011) dilakukan di daerah Cimandiri, Cikeueus, Citepus dan Sukawayana, akan tetapi karena adanya keterbatasan teknis maka pengambilan sampel larva ikan di daerah Cimandiri dan Cikeueus dipindahkan ke daerah Cimaja dan Citiis pada pengambilan contoh ke-3 (30 April 2011), ke-4 (30 Mei 2011) dan ke-5 (3 Juli 2011).

Kegiatan penelitian ini dilakukan di lapang dan di laboratorium. Kegiatan di lapang meliputi penentuan lokasi titik sampling menggunakan GPS, pengambilan contoh larva ikan di laut sekitar muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, dan Sukawayana menggunakan larva net dengan mesh zise 350-500 μm, diameter 60 cm dan menggunakan waring berbentuk persegi berukuran 1m x 1m dengan mesh size 0.5 cm. Pengambilan contoh larva di lokasi sekitar laut dilakukan pada pagi dini hari dari pukul 03.00-07.00 dengan cara menyisir kolom perairan secara horizontal melawan arus selama 10-15 menit menggunakan perahu fiber yang panjangnya sekitar 8 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi 75 cm pada kecepatan ± 3 knot sebanyak tiga hingga lima kali ulangan. Selain itu, sampel larva juga diambil dari


(21)

bagan yang beroperasi di laut sekitar muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Pengambilan sampel larva juga dilakukan di muara Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana arah sungai pada sore hari pukul 16.00-18.00 menggunakan alat tangkap sirib berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang alas 1 m dan panjang sisi kaki 1.5 m. Selanjutnya dilakukan penyusuran dari muara sungai ke arah hulu dengan jarak ± 5 m dan dengan penangkapan dilakukan pula berdasarkan arus dan gelombang yang datang ke arah muara sungai dengan lama waktu 30 menit. Larva ikan yang ditemukan kemudian dikumpulkan dan diawetkan dalam formalin 4%. Kegiatan dilapang juga meliputi wawancara yang dilakukan kepada nelayan payang dan bagan (16 orang) untuk mengetahui harga ikan pepetek dan biaya operasional selama satu kali trip melaut, serta nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing ulur dan rawai (8 orang) untuk mengetahui harga ikan layur dan biaya operasional dalam penangkapan ikan layur.

Kegiatan di laboratorium meliputi, pengantian formalin 4% dengan alkohol 70% untuk mengawetkan sampel larva ikan, menghitung jumlah individu larva dan juvenil ikan, kemudian dilakukan identifikasi dengan menggunakan petunjuk buku identifikasi larva ikan (Leis and Ewart 2000, Allen 1999, Fischer and Whitehead 1974) serta dengan bantuan mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali yang dilakukan di Laboratorium Biologi Makro II.

Identifikasi larva ikan menggunakan buku karangan Leis and Ewart 2000, dilakukan dengan cara mengukur proporsi tinggi tubuh (body deep = BD) terhadap panjang tubuh (body length = BL) yang kemudian akan dibedakan berdasarkan kategori very elongate, elongate, moderate, deep, dan very deep. Larva ikan yang dimasukkan dalam kategori very elongate jika BD < 10% BL, elongate BD 10-20% BL, moderate BD 20-40% BL, deep BD 40-70% BL dan very deep BD >70% BL. Setelah itu, untuk mengetahui jenis larva ikan tersebut dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk melihat pigmentasi yang terdapat pada tubuh, melihat bentuk mulutnya, serta menghitung jumlah siripnya. Identifikasi ikan stadia juvenil dengan cara menyamakan larva ikan dengan gambar pada literatur karangan Allen 1999 dan Fischer and Whitehead 1974 yang dilihat berdasarkan pewarnaan tubuh, kelengkapan sirip, dan bentuk mulut. Larva dan juvenil ikan dibedakan berdasarkan warna tubuh dan kelengkapan sirip-siripnya. Larva ikan memiliki tubuh yang masih


(22)

transparan, blok-blok urat daging/myomer terlihat serta siripnya yang belum lengkap, sedangkan juvenil memiliki tubuh yang sudah menyerupai ikan stadia dewasa hanya ukurannya yang masih relatif kecil. Setelah dilakukan identifikasi, contoh larva dan juvenil ikan ditimbang kemudian difoto menggunakan dinolite yang dilakukan di Laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.4 Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini meliputi data produksi hasil tangkapan ikan pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu serta upaya penangkapan (jumlah kapal, alat tangkap, dan trip) yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi stok dan potensi sumberdaya ikan tersebut. Ikan pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) ditentukan untuk dikaji secara ekonomi menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer yaitu berdasarkan data kelimpahan larva ikan yang paling dominan ditemukan saat pengambilan contoh berlangsung, memiliki nilai ekonomis penting serta memiliki data statistik yang mendukung. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelusuran literatur terhadap beberapa data statistik yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP).

3.5 Analisis Data

3.5.1 Kekayaan Spesies (Species Richness)

Kekayaan spesies dijelaskan dengan menhinick index, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

D : Indeks Kekayaan Jenis

S : Jumlah spesies dalam suatu sampel N : Jumlah sel dari suatu spesies


(23)

3.5.2 Kepadatan populasi

Kepadatan populasi menunjukan rataan individu suatu jenis larva ikan per stasiun dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus:

Keterangan:

∑Xi = jumlah total individu jenis larva i n = luas seluruh stasiun contoh (m2)

Kepadatan populasi (Ind/m3) yang didapatkan akan digunakan untuk menganalisis tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi serta pola penyebaran spesies larva ikan

3.5.3 Kelimpahan Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan per satuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

N = Kelimpahan Larva ikan ( ind/m3) n = Jumlah Larva ikan yang tercacah (ind) Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l : Luas bukaan mulut saringan

t : Lama waktu penarikan saringan (menit) v : Kecepatan tarikan (m/menit)

3.5.4 Struktur Komunitas Larva Ikan

Menurut Basmi (1999) tiga unsur pokok dalam komunitas adalah jumlah macam spesies, jumlah individu masing-masing spesies dan total individu dalam komunitas. Hubungan ketiga komponen ini digambarkan melalui Indeks Keanekaragaman. Indeks Shannon-Weaver merupakan salah satu Indeks Diversitas atau Keanekaragaman dengan rumus :


(24)

Kerangan:

H’ : Indeks Diversitas Shannon-Wiener s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i

ni : Jumlah total individu larva i

N : Jumlah seluruh individu dalam total n

Indeks Keseragaman digunakan untuk melihat keseragaman dari suatu komunitas dengan rumus :

Hmax = ln S Keterangan:

E : Indeks Keseragaman

H’ : Indeks Diversitas atau Keanekaragaman S : Jumlah spesies

Indeks Simspon merupakan salah satu indeks untuk mengetahui jenis larva yang mendominasi di suatu perairan, persamaan Indeks Simpson adalah:

Keterangan:

C : Indeks Dominansi

s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i

ni : Jumlah total individu larva i

N : Jumlah seluruh individu dalam total n

3.5.5 Analisis Bioekonomi

Dalam penelitian ini akan menduga kondisi stok ikan serta pemanfaatannya berdasarkan model bioekonomi. Metode dalam menganalisis bioekonomi terdiri dari analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap dan analisis bioekonomi model statik Gordon Schaefer. Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap digunakan untuk menentukan tingkat pemanfaatan maksimum, sedangkan analisis bioekonomi model statik Gordon-Schaefer untuk menentukan tingkat pengelolaan maksimum bagi pelaku perikanan.


(25)

Ikan pepetek dan ikan layur dipilih untuk dikaji secara bioekonomi karena selama penelitian berlangsung ikan ini banyak tertangkap dalam stadia larva dan juvenil. Selain itu, ikan ini memiliki nilai ekonomis penting serta kedua ikan ini memiliki data statistik yang relevan untuk digunakan dalam pengkajian model bioekonomi. Dengan demikian dapat diketahui kondisi stok ikan pepetek dan layur saat dewasa serta dapat diketahui pula keuntungan ekonomi yang akan didapat yang kemudian akan dikaitkan dengan ekologi larva ikan.

3.5.6.1 Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap

Perubahan stok ikan merupakan fungsi pertumbuhan stok ikan. Pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh stok ikan (x), laju pertumbuhan intrinsik (r) dan kapasitas daya dukung (K). Metode ini disebut surplus produksi dengan persamaan sebagai berikut:

... (1)

Keterangan :

= Laju pertumbuhan biomass

f(x) = Fungsi pertumbuhan biomass ikan

x = Biomass dari stok yang diukur dalam berat r = Laju pertumbuhan instrinsik

k = Daya dukung lingkungan

Bila ada upaya penangkapan ikan yang produksinya (H) diasumsikan berhubungan linier dengan koefisien daya tangkap (q), stok ikan (x) dan upaya atau effort (E) yang dinyatakan dengan fungsi berikut :

... (2) Keterangan :

h = Produksi

q = Koefisien daya tangkap x = Biomass stok ikan E = Upaya penangkapan

dengan adanya intervensi manusia melalui aktifitas penangkapan, maka perubahan stok ikan menjadi :


(26)

Pada kondisi keseimbangan ekologi, dimana dx/dt = 0 maka stok ikan (x) dapat ditulis sebagai berikut :

... (4)

sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (2), akan diperoleh fungsi upaya produksi (yield effort curve) atau fungsi produksi lestari yang dapat ditulis :

... (5)

dari persamaan (5) dapat diturunkan menjadi kurva CPUE yang linier, yaitu dengan membagi kedua sisi pesamaan dengan E sehingga menghasilkan :

... (6)

atau bila persamaan tersebut diatas disederhanakan menjadi :

... (7) U = H/E = CPUE

... (8) ... (9)

Melalui teknik regresi antara variable U dan E dari runtun waktu yang tersedia, maka dapat diperoleh nilai-nilai koefisien α dan β. Kemudian dengan mensubtitusikan persamaan (8) dan (9) ke fungsi produksi lestari pada persamaan (5), akan diperoleh fungsi produksi lestari dalam bentuk yang lain, yaitu :

² ... (10) dari persamaan (7) sampai (10) akan diperoleh laju pertumbuhan intrinsik ikan (r), koefisien daya tangkap (q) dan kapasitas daya dukung (K). Teknik inilah yang disebut dengan model Schaefer.

Nilai MSY diperoleh dengan menggunakan kurva yield effort terhadap E atau dH/dE = 0


(27)

dengan demikian produksi ikan pada tingkat MSY diperoleh dengan mensubtitusikan nilai EMSY tersebut ke persamaan (10) :

Hasil subtitusi tesebut menghasilkan persamaan sebagai berikut :

... (12)

sedangakan stok ikan (x) pada tingkat MSY dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai EMSY = α/2β ke persamaan (4), sehingga stok pada keseimbangan ekologis

(XMSY) :

... (13)

3.5.6.2 Konsep Maximum Economic Yield (MEY) atau optimal statis

Analisis keuntungan ekonomi digunakan melalui pendekatan statis Gordon-Schaefer. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan selisih antara total penerimaan (total revenue) dengan total biaya yang dikeluarkan dalam melakukan usaha penangkapan (total cost). Secara matematis dapat dituliskan :

π = TR – TC

π = pH – cE ... (14) Keterangan :

π = Keuntungan dari upaya pemanfaatan sumberdaya (Rp) TR = Total penerimaan (Rp)

TC = Total biaya (Rp) p = Harga (Rp)


(28)

Pada kondisi MEY, stok ikan (x), upaya (E) dan produksi (H) dapat diperoleh dengan memasukan fungsi produksi lestari pada persamaan (5) ke dalam fungsi rente sumberdaya :

π = p ( – cE ... (15) nilai EMEY diperoleh dengan menurunkan persamaan (15) terhadap upaya dπ/dE=0, sehingga diperoleh :

... (16)

dengan asumsi dalam keseimbangan lestari F(x) = H sehingga stok ikan pada kondisi MEY, xMEY diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan (1), fungsi

pertumbuhan F(x), dan fungsi upaya (H/qx), dari persamaan (2), ke dalam persamaan keuntungan (π), fungsi rente sumberdaya, dan kemudian membuat dπ/dE = 0

... (17)

sehingga HMEY dapat diperoleh dengan mensubtitusikan EMEY dan XMEY ke dalam

persamaan (2) :


(29)

Kondisi ini disebut optimal statis Kondisi open access π = 0, sehingga

... (19)

Untuk mencari tingkat produksi pada kondisi open access, HOA adalah dengan

mensubtitusikan persamaan (19) ke persamaan (1) :

... (20) Dengan demikian tingkat upaya EOA, dapat dicari dari persamaan (2), yaitu :


(30)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Teluk Palabuhanratu merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memiliki hubungan dengan Samudera Hindia dan tempat bermuaranya beberapa sungai seperti Sungai Cimandiri, Cikeueus, Citepus, Cimaja, Citiis, Sukawayana, Cidadap, Cipalabuhan dan Cibareno. Daerah muara sungai merupakan daerah yang sangat subur karena mengandung sejumlah besar zat-zat hara yang berasal dari darat, sehingga daerah ini dijadikan sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi kehidupan larva dan juvenil ikan.

Pengambilan contoh larva dan juvenil ikan dilakukan di muara arah sungai dan laut sekitar muara sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Pada awalnya, yaitu pada pengambilan contoh ke-1 (19 Maret 2011) dan pengambilan contoh ke-2 (1 April 2011) lokasi penelitian berada di Cimandiri, Cikeueus, Citepus dan Sukawayana, namun lokasi di Cimandiri dan Cikeueus dipindahkan ke daerah Cimaja dan Citiis pada pengambilan contoh ke-3 (30 April 2011), ke-4 (30 Mei 2011) dan ke-5 (3 Juli 2011). Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan teknis yang tidak mendukung untuk dilakukannya penelitian di daerah tersebut dan adanya pembangunan PLTU serta tidak didapatkannya contoh larva dan juvenil ikan di lokasi Cimandiri dan Cikeueus.

Ada sebuah tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar Teluk Palabuhanratu. Tradisi ini dikenal dengan sebutan “ngala impun/nyalawean”. Ribuan warga baik anak-anak maupun orang tua membaur di hilir sungai Cimandiri, Citepus, Cimaja, Citiis, Sukawayana hingga sungai Cibareno yang berbatasan dengan Banten untuk melakukan penjaringan impun menggunakan alat tangkap berbentuk segiempat ataupun segitiga yang disebut dengan “sirib”. Impun merupakan sumberdaya hayati perairan yang sangat terkenal oleh masyarakat Palabuhanratu sebagai sumber pangan, dan memiliki rasa yang enak serta menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar. Tradisi tersebut ternyata bila dikaji lebih dalam dapat menyebabkan putusnya perkembangbiakan beberapa jenis ikan karena “impun” yang ditangkap merupakan sumberdaya ikan dalam stadia larva dan juvenil. Hasil tangkapan dari tradisi ini biasanya dikonsumsi pribadi atau dijual


(31)

dengan harga berkisar Rp 25000-45000/kg. Ngala impun/nyalawean biasa dilakukan di daerah muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu tanggal 25 setiap bulan yang mengikuti kalender hijriah dan biasanya melimpah pada bulan Juni- Juli.

Gambar 10. Tradisi ngala impun di muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu Selain adanya tradisi ngala impun/nyalawean yang menangkap larva dan juvenil ikan, nelayan di Teluk Palabuhanratu juga banyak mengoperasikan alat tangkap yang tidak selektif dengan ukuran mata jaring yang relatif kecil, seperti bagan yang juga memungkinkan tertangkapnya ikan pada stadia larva dan juvenil. Penelitian ini juga meninjau lebih dalam komposisi larva ikan yang tertangkap dalam bagan.

4.1.1 Cimaja

Lokasi muara Sungai Cimaja terletak pada geografis 6˚56’56.90” LS” dan 106˚29’29.20’’BT. Muara Sungai Cimaja terletak di Desa Cimaja, Kecamatan Cikakak. Muara Sungai Cimaja merupakan tempat bermuaranya aliran sungai Cimaja. Muara sungai ini akan berhulu di perairan Teluk Palabuhanratu yang akhirnya akan mengalir ke Samudera Hindia, karena perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Lokasi di muara sungai ini didominasi oleh substrat pasir berbatu. Lebar mulut sungai sekitar 3-5 meter dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Muara Cimaja arah sungai memiliki air yang cukup jernih dan kekeruhan yang retatif rendah yaitu berkisar 4.05-7.00 NTU dan di muara Cimaja arah laut 0.65-1.02 NTU. Muara Cimaja arah sungai memiliki salinitas 0-8.7‰ dan muara Cimaja arah laut berkisar 29-30‰. Di sekitar muara sungai Cimaja terdapat kegiatan penambangan pasir dan batu kali.


(32)

Gambar 11. Lokasi muara Sungai Cimaja

4.1.2 Citiis

Muara Sungai Citiis terletak pada geografis 6˚56’56.30 LS” dan 106˚28’28.50’’BT. Muara Sungai Citiis terletak di Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok. Muara sungai ini akan berhulu di perairan Teluk Palabuhanratu yang akhirnya mengalir ke Samudera Hindia. Lokasi ini memiliki karakter fisik yang hampir sama dengan lokasi yang berada di muara Sungai Cimaja yaitu didominasi oleh substrat pasir berbatu, lebar mulut sungai juga berkisar 3-5 meter dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Di sekitar muara Sungai Citiis juga terdapat kegiatan penambangan pasir dan batu kali. Muara Citiis arah sungai memiliki salinitas 0.5-25‰ dan kekeruhan berkisar 2.55-12.5 NTU. Muara Citiis arah laut memiliki salinitas 30.5-30.65‰ dan kekeruhan berkisar 0.4-0.75 NTU. Muara arah sungai memiliki salinitas yang lebih rendah dan kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan muara arah laut yang bersalinitas lebih tinggi dan kekeruhan yang rendah.


(33)

4.1.3 Citepus

Muara Sungai Citepus terletak pada geografis 6˚57’70.00 LS” dan 106˚32’00.00’’BT. Muara Sungai Citepus terletak di Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu. Wilayah pesisir daerah Citepus yaitu ± 1,351.49 Ha (Hartami 2008). Aktivitas masyarakat di sekitar muara Sungai Citepus cukup tinggi, dimana kawasan ini dijadikan sebagai tempat wisata karena memiliki panorama yang cukup indah dan memiliki pantai yang cukup luas. Dari pantauan terhadap sekeliling di sekitar lokasi ini terdapat perhotelan dan pemukiman warga. Tingginya aktivitas wisata yang dilakukan di lokasi ini menyebabkan banyak terdapat sampah anorganik berupa plastik bungkusan makanan. Lokasi ini didominasi oleh substrat pasir berlumpur. Muara Sungai Citepus memiliki debit aliran yang tenang. Berdasarkan pengamatan muara Sungai Citepus sedikit berwarna kecoklatan dan memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi yaitu berkisar 16.5-18 NTU. Salinitas di muara arah sungai berkisar 3.8-5.4‰. Muara arah laut memiliki kekeruhan 0.48-1.7 NTU dan salinitas berkisar 30.5-31.5‰.

Gambar 13. Lokasi muara Sungai Citepus

4.1.4 Sukawayana

Muara Sungai Sukawayana terletak pada geografis 6˚57’48.24 LS” dan 106˚31’00.00’’BT. Muara Sungai Sukawayana terletak di Desa Sukawayana, Kecamatan Cikakak. Muara Sungai Sukawayana di dominasi oleh substrat pasir berbatu dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Lebar mulut sungai berkisar 3-5 meter. Di samping muara sungai ini terdapat suatu pemukiman warga dan muara sungai ini dijadikan sebagai sumber air bersih untuk mandi dan mencuci (MCK). Di


(34)

sekitar muara Sungai Sukawayana juga terdapat pepohonan. Muara sungai ini memiliki salinitas berkisar 7.3-15.6‰ dan kekeruhan berkisar 3-14 NTU. Muara Sukawayana arah laut memiliki salinitas 30-31.5‰ dan kekeruhan 0.6-1 NTU.

Gambar 14. Lokasi muara Sungai Sukawayana

4.2 Komposisi Hasil Tangkapan

Jumlah hasil tangkapan larva dan juvenil ikan yang diperoleh selama penelitan dari bulan Maret-Juli 2011 yaitu sebanyak 5585 individu yang terdiri atas 130 individu yang ditemukan pada lokasi muara arah laut menggunakan alat tangkap larva net dan waring, 3909 individu yang ditemukan di muara arah sungai menggunakan alat tangkap berupa sirib, dan 1546 individu yang ditemukan dalam sampel bagan (±100-200 gram). Hasil tangkapan selama penelitian berlangsung tidak hanya ikan pada stadia larva dan juvenil saja yang ditemukan, namun ada pula ikan yang sudah mencapai stadia dewasa yaitu ikan teri famili Engraulididae (6856 individu). Ada pula ikan yang ditemukan pada fase pra dewasa yaitu jenis dari Sicyopterus microcephalus (1 individu), S. cyanocephalus (10 individu) dan S. longifilis (1 individu) serta ditemukan pula larva non-ikan berupa udang sebanyak 1152 individu. Komposisi hasil tangkapan selama bulan pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Spesies larva dan juvenil ikan yang ditemukan pada lokasi muara arah sungai sebanyak 14 jenis, 21 jenis yang ditemukan pada lokasi muara arah laut dan 16 jenis yg ditemukan dalam sampel bagan. Beberapa jenis diantaranya terdapat pada dua lokasi tersebut yaitu, di muara arah sungai, muara arah laut dan bagan yang letaknya lebih jauh ke arah laut, dimana jenis-jenisnya terdiri dari famili Elopidae (Megalops


(35)

cyprinoides), Gobiidae (Sicyopterus sp.), Cynoglossidae (Cynoglossus sp.), Microcanthidae (Microcanthus sp.), Carangidae (Caranx sp.), Clupeidae (Sardinella sp.) dan Mugilidae. Jenis larva dan juvenil ikan ini memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap salinitas (euryhaline) dilihat berdasakan ditemukannya jenis tersebut pada kedua lokasi yang memiliki perbedaan salinitas. Jadi, total spesies yang ditemukan pada lokasi muara arah sungai, muara arah laut serta bagan berjumlah 36 jenis.

Secara keseluruhan, komposisi hasil tangkapan di muara arah sungai lebih banyak dibandingkan dengan muara arah laut. Begitu pula dengan jenis yang dominan ditemukan selama penelitian pun berbeda antara kedua lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan dimensi dan karakteristik lingkungan, dimana lokasi di muara arah sungai memiliki salinitas yang berfluktuatif berkisar 0-25‰, dangkal (30-100 cm), luas area yang lebih sempit dan alat tangkap yang lebih terkontrol, sedangkan muara arah laut cenderung memiliki salinitas yang lebih tinggi berkisar 30-31.5‰, lebih dalam (4-5 m), luasan area yang lebih luas dan alat tangkap yang sulit dikontrol. Komposisi hasil tangkapan selama penelitian dari bulan Maret–Juli 2011 spesies yang sering ditemukan di muara arah sungai yaitu Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli, sedangkan komposisi hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di muara arah laut dan bagan yang lebih menjorok ke arah laut adalah Secutor indicius. Secutor indicius merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan laut sedangkan Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan air tawar.

Pada contoh larva ikan yang diambil dari bagan, ikan teri famili Engraulididae juga ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini dikarenakan, bagan merupakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil (0.3 cm) dan ditargetkan untuk menangkap ikan-ikan kecil seperti ikan teri. Namun demikian, alat tangkap ini tidak selektif yang menyebabkan ikan tertangkap dari berbagai ukuran dari ikan-ikan kecil hingga ikan besar, bahkan ikan dalam stadia larva dan juvenil pun ikut tertangkap dalam bagan. Jenis-jenis larva dan juvenil ikan yang tertangkap dalam bagan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Selain hasil dari bagan, ikan famili Engraulididae ini juga banyak ditemukan di muara arah laut hasil dari menyisiri kolom perairan menggunakan larva net dan


(36)

waring. Menurut Effendi (1997) in Nursid (2002) famili Engraulididae memijah sepanjang tahun, sehingga ikan ini banyak ditemukan selama penelitian berlangsung. Menurut Nontji (2005) meskipun ikan teri dewasa banyak dijumpai di perairan payau namun telurnya tak dapat ditemukan pada salinitas yang kurang dari 17 0/00. Komposisi ikan famili Engraulididae di tiap bulan pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hasil tangkapan larva dan juvenil ikan bayak ditemukan pada bulan gelap, karena ketika pada pengambilan contoh ke-1 bertepatan pada bulan terang yaitu pada tanggal 19 Maret 2011 tidak ditemukannya larva dan juvenil ikan. Hal ini dikarenakan pada bulan terang cahaya menyebar rata di kolom perairan sehingga pada saat seperti ini ikan pun akan menyebar rata di kolom perairan dan peluang tertangkapnya larva dan juvenil ikan juga menjadi lebih kecil. Bahkan bagan pun banyak yang tidak beroperasi pada saat bulan terang karena cahaya bulan dapat menjadi tandingan bagi cahaya lampu, dimana bagan dioperasikan dengan bantuan lampu petromaks sebagai daya tarik bagi ikan. Menurut Effendy (2005) in Magdalena (2010) kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan ikan dengan cahaya lampu adalah musim, fase bulan, kecerahan, dan ada atau tidaknya predator. Menurut Thorson (1996) in Sulistiono et al. (2001) pada tahap awal kehidupan larva bersifat fototaksis positif. Namun, ada pula beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga larva tersebut hanya menempati tingkatan kolom perairan. Pemikatan ikan terhadap cahaya tidak hanya berdasarkan sifat fototaksis positif, tetapi juga dikarenakan oleh faktor ekologis yang berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya, dimana zooplankton yang pertama kali tertarik pada cahaya kemudian diikuti oleh ikan kecil dan kemudian ikan besar.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, komposisi terbesar dari hasil tangkapan tradisi “ngala impun/nyalawean” yang dilakukan di sekitar muara sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu didominasi oleh famili Gobiidae dari spesies Sicyopterus sp. Larva dan juvenil jenis Ambasiis vachelli juga dominan tertangkap dalam tradisi “ngala impun” ini, khususnya banyak ditemukan di muara Sungai Sukawayana. Selain itu, larva ikan sidat (Anguilla sp.) juga ditemukan namun dalam jumlah yang tidak banyak. Komposisi


(37)

larva terbesar dalam hasil tangkapan bagan adalah ikan pepetek (Secutor indicius) dan larva ikan famili Gobiidae jenis Sicyopterus sp.

4.3 Kekayaan Spesies

Kekayaan jenis di empat lokasi penelitian yang dibedakan berdasarkan muara arah sungai dan muara arah laut ini memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan tiap lokasi memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda pula, sehingga jenis-jenis ikan yang mendiami suatu perairan juga berbeda-beda. Kekayaan spesies menggunakan indeks menhinick disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kekayaan spesies (menhinick index) pada setiap lokasi penenlitian

Struktur Komunitas

Cimaja Citiis Citepus Sukawayana

Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut

Jumlah Taksa 4 8 7 15 10 5 4 7

Jumlah individu 2767 34 101 51 802 14 240 31 Kekayaan Spesies 0.02 1.2 0.60 2.10 0.35 1.34 0.26 1.26

Spesies yang banyak ditemukan selama penelitian berlangsung yaitu spesies dengan stadia postlarva dan juvenil, dan tidak ditemukan spesies dengan stadia yolk sac dan prolarva. Postlarva dan juvenil dibedakan berdasarkan pewarnaan tubuh, dan kelengkapan sirip. Postlarva memiliki warna tubuh yang masih transparan dan siripnya yang belum lengkap, sedangkan juvenil warna tubuh dan sirip-siripnya sudah menyerupai ikan stadia dewasa hanya saja masih dalam ukuran yang relatif kecil dan belum mencapai tahap matang gonad. Jenis larva dan juvenil ikan yang ditemukan di perairan Teluk Palabuhanratu selama penelitian dari bulan Maret–Juli 2011 di lokasi muara arah laut dan muara arah Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana berjumlah 36 jenis yang termasuk dalam 29 famili dan 10 ordo.

Kekayaan spesies yang telah dihitung menggunakan indeks menhinick diperoleh bahwa kekayaan spesies paling tinggi berada di daerah Citiis baik pada lokasi di muara arah sungai maupun di muara arah laut, sebesar 2.10 untuk lokasi di muara arah laut, dan 0.60 untuk lokasi di muara arah sungai. Secara berurutan kekayaan spesies dari yang tertinggi hingga terendah yaitu, Citiis, Citepus, Sukawayana dan Cimaja. Muara arah laut memiliki jenis yang lebih banyak dengan jumlah individu yang relatif sedikit, sedangkan di muara arah sungai memiliki jenis


(38)

yang lebih sedikit dengan jumlah individu yang lebih banyak. Dilihat secara keseluruhan, lokasi yang berada di muara arah laut memiliki indeks kekayaan spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang berada di muara arah sungai. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah spesies/taksa yang ditemukan di lokasi tersebut relatif lebih banyak dan beragam. Menurut Abele (1982) in Sembiring (2008) struktur kompleksitas dari suatu habitat dengan kekayaan spesies memiliki hubungan yang positif, semakin baik struktur kompleksitas suatu habitat maka spesies yang ditemukan pada habitat tersebut akan semakin banyak. Selain itu, kekayaan spesies juga memiliki hubungan positif dengan suatu area yang ditempatinya. Area yang lebih luas memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingan dengan area yang lebih sempit sehingga, semakin luas suatu area perairan maka semakin banyak pula jumlah jenis ikan yang menempatinya (Kottelat et al. 1996 in Yustina 2001). Oleh karena itulah jenis larva dan juvenil ikan pada lokasi muara arah laut yang memiliki area lebih luas relatif lebih banyak dibandingkan dengan muara arah sungai. Ekman (1953) and Brunn (1957) in Genisa (2000) berpendapat bahwa secara geografis semakin jauh suatu perairan dari pantai dan semakin dalam suatu perairan tersebut maka, semakin sedikit pula jenisnya. Pada penelitian ini jenis larva yang ditemukan cukup beragam karena jika didasari oleh pendapat dari Ekman and Burnn lokasi penelitian masih termasuk dalam perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar antara 0.3-5 meter.

Suku Leiognathidae dikenal dengan nama ikan petek. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization 1974) in Genisa (2000) tercatat 28 jenis ikan petek yang hidup di Indonesia. Ikan petek hidup bergerombol di dasar perairan dangkal hingga kedalaman lebih dari 60 meter dan paling banyak tertangkap pada kedalaman air antara 10-20 meter. Selama penelitian, larva dan juvenil ikan dari suku Leiognathidae yang tertangkap hanya terdiri dari dua jenis yaitu Secutor indicius dan Leiognathus sp., dimana jenis Secutor indicius dominan tertangkap di lokasi yang berada di laut sekitar muara sungai.

4.4 Kepadatan dan Kelimpahan Relatif Larva dan Juvenil Ikan

Lokasi muara arah sungai yang memiliki kepadatan relatif terbesar adalah muara Sungai Cimaja yaitu sebesar 70% sedangkan yang terendah yaitu muara


(39)

sungai Citiis sebesar 3% (Gambar 15). Muara arah laut yang memiliki kepadatan relatif tertinggi adalah Laut sekitar muara sungai Citiis sebesar 33% sedangkan yang terendah yaitu laut sekitar muara Sungai Citepus sebesar 18% (Gambar 16).

Gambar 15. Kepadatan relatif (%) di muara arah sungai

Gambar 15. Kepadatan relatif (%) di muara arah laut

Kepadatan populasi tertinggi pada lokasi di muara arah sungai yaitu dari spesies Sicyopterus sp. sebesar 747 ind/m² dan kepadatan populasi tertinggi pada lokasi muara arah laut adalah Secutor indicius sebanyak 24 ind/m². Secara keseluruhan lokasi yang berada di muara arah sungai memiliki kepadatan yang lebih besar (797 ind/m²) daripada lokasi muara arah laut (60 ind/m²). Hal ini dikarenakan, hamparan area muara arah laut itu sendiri lebih luas dibandingkan dengan muara arah sungai, sehingga penyebaran dari larva dan juvenil ikan di muara arah laut lebih menyebar secara luas. Hal ini pula yang menyebabkan jenis larva dan juvenil ikan yang memiliki kepadatan terendah di muara arah laut lebih banyak daripada lokasi yang berada di muara sungai. Kepadatan spesies di muara arah sungai lebih tinggi dibandingkan dengan di muara arah laut lebih dipengaruhi oleh kandungan nutrien.

70% 3%

21% 6%

Muara Sungai Cimaja Muara Sungai Citiis Muara Sungai Citepus Muara Sungai Sukawayana

22%

33% 18%

27%

Laut sekitar muara Sungai Cimaja

Laut sekitar muara Sungai Citiis Laut sekitar muara Sungai Citepus

Laut sekitar muara Sungai Sukawayana


(40)

Menurut Effendi (2002) pergerakkan larva atau tingkah laku larva untuk mendapatkan makanan serta kepadatan persediaan makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup ikan. Tabel kepadatan populasi pada lokasi muara arah sungai dan muara arah laut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Kepadatan dan kelimpahan memiliki hubungan yang berbanding lurus dimana kepadatan tinggi kelimpahannya pun juga tinggi. Kelimpahan larva dan juvenil ikan selama pengamatan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana disajikan pada Gambar 17-24.

Gambar 17. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah laut

Gambar 18. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah laut

0 10 20 30 40 Polydactylus Terapon theraps Secutor indicius Gobiidae Polydactylus nigripinnus Archamia fucata Cynoglosus sp. K elim pa ha n re la tif ( %) Jenis ikan 0 10 20 30 40 K elim pa ha n re la tif ( %) Jenis ikan


(41)

Gambar 19. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah laut

Gambar 20. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah laut

Gambar 21. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah sungai

0 10 20 30 40

Sicyopterus sp. Caranx sp. Secutor indicius Cynoglosus sp. Serranidae

K e li m pa ha n r e la tif ( %) Jenis ikan 0 10 20 30 40 K elim pa ha n re la tif ( %) Jenis ikan 0 20 40 60 80 100 Sicyopterus sp. K elim pa ha n re la tif ( %) Jenis ikan


(42)

Gambar 22. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah sungai

Gambar 23. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah sungai

Gambar 24. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah sungai

0 20 40 60 80 100 K elim pa ha n re la tif (%) Jenis ikan 0 20 40 60 80 100 K e li m pa ha n r e la tif (%) Jenis ikan 0 20 40 60 80 100

Ambassis vachelli Sicyopterus sp. Mugilidae Gobiidae

K elim pa ha n re la tif (%) Jenis ikan


(43)

Ikan pepetek dari spesies Secutor indicius memiliki kelimpahan relatif yang paling besar di lokasi muara Cimaja, Citepus dan Sukawayana arah laut masing-masing sebesar 25%,40%dan 36%. Pada lokasi muara Citiis arah laut ada beberapa jenis yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi yaitu sebesar 11% antara lain, Polydactylus sp., Secutor indicius, Diodon dan Archamia fucata, sedangkan pada lokasi yang berada di muara Cimaja, Citiis dan Citepus arah sungai, spesies yang memiliki kelimpahan relatif terbesar adalah Sicyopterus sp. masing-masing sebesar 100%, 73% dan 94% dan di lokasi muara Sukawayana arah sungai spesies yang memiliki kelimpahan terbesar adalah Ambassis vachelli sebesar 53%.

Kelimpahan lokasi yang berada di muara arah laut berkisar antara 5-40%, sedangkan pada lokasi yang berada di muara arah sungai berkisar antara 1-100%. Hal ini menunjukan bahwa secara keseluruhan lokasi yang berada di muara arah sungai memiliki nilai kelimpahan relatif yang lebih besar daripada lokasi di muara arah laut. Hal ini dikarenakan, adanya pengaruh dari faktor lingkungan antara lain faktor arus, salinitas, dan nutrien. Pada penelitian ini lokasi muara arah sungai memiliki nilai kelimpahan yang lebih tinggi karena pada lokasi tersebut memiliki kandungan nutrien yang cukup melimpah, dimana masih ada pengaruh masukan dari daratan serta menurut Anwar (2008) karakteristik lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap populasi larva dan juvenil ikan adalah arus dan kandungan bahan organik, dimana pada lokasi muara arah sungai arus berdampak langsung terhadap struktur sedimen, pasokan nutrien dan pasokan oksigen. Gerlach et al. (2006) mengemukakan pula bahwa arus laut akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan larva ikan.

Menurut Anwar (2008) perbedaan habitat akan mempengaruhi jumlah kelimpahan spesiesnya karena setiap spesies berbeda frefensinya terhadap kebutuhan lingkungan. Menurut Negelkerken (1981) in Anwar (2008) habitat yang sesuai memegang peranan penting bagi keberadaan suatu jenis dan dikemukakan pula bahwa pada daerah terbuka atau yang terlindung mendapat masukan jenis dan jumlah larva yang sama, tetapi karena adanya perbedaan tipe habitat maka pada akhirnya jenis larva yang dapat bertahan menjadi berbeda.

Seperti diketahui pula bahwa estuari adalah suatu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut. Habitat ini lebih subur dan produktif sehingga daerah ini


(44)

sering dijadikan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi anak-anak ikan. Salah satu estuari adalah muara sungai yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut dan salinitas yang berfluktuasi, yang mempengaruhi bentuk kehidupan biota di daerah tersebut, sehingga didasarkan pada pustaka Odum (1971) in Genisa (2000) biota yang hidup di daerah estuari adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis sedikit dan potensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa jumlah jenis larva dan juvenil ikan yang ditemukan dimuara sungai lebih sedikit dengan kelimpahan yang tinggi sedangkan di muara arah laut/laut sekitar muara sungai memiliki jenis yang lebih banyak dan beragam dengan kelimpahan yang rendah.

Menurut Jenkins and Davis (2007) spesies dari genus Ambassis dan spesies Tetraroge barbata termasuk dalam kelompok freshwater migrants yang artinya ikan memijah dan keberadaannya berada di air tawar dan muara sepanjang tahun. Spesies dari famili Leiognathidae termasuk dalam kelompok estuarine migrants yang artinya memijah di estuari dengan fase larva di laut dan atau bermigrasi sekitar estuari. Oleh sebab itu, larva dan juvenil dari spesies Secutor indicius yang termasuk dalam famili Leiognathidae banyak di temukan di sekitar lokasi pengamatan. Kelompok berikutnya yaitu freshwater stargglers yang artinya ikan memijah di air tawar dan masuk kedalam estuari hanya jika kondisi menguntungkan seperti kondisi lingkungan yang tenang dan bersalinitas rendah, contoh kelompok ini adalah jenis Mugilidae. Marine migrants yang berarti ikan memijah dilaut dan penyebaran secara luas dalam fase juvenil dan dewasa menggunakan estuari sebagai tempat perkembangannya. Selain itu, spesies-spesies yang termasuk dalam kategori marine migrant memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas (euryhaline) seperti ikan dari jenis Caranx. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ditemukannya spesies Caranx sp. pada lokasi muara Citepus arah sungai dan arah laut. Anguilla sp. dan beberapa larva famili gobiidae termasuk dalam kelompok katadromus yang artinya, ikan memijah di laut dan juvenil atau dewasa harus mengakses ke air tawar, atau dengan kata lain kelompok ikan katadromus adalah kelompok ikan dari air tawar bermigrasi ke laut untuk memijah. Famili Kuhlidae bersifat euryhaline dan banyak ditemukan


(45)

di kawasan yang terkena pasang surut, batu karang, estuari dan perairan tawar. (Heemstra 1984; Masuda et al.1984 in Leis and Ewart 2000).

Megalops cyprinoides cendrung memiliki sebaran yang merata, hal ini di lihat berdasarkan ditemukannya spesies ini pada lokasi baik di muara arah sungai, muara arah laut maupun bagan yang terletak di lebih jauh ke arah laut. Spesies ini dapat hidup pada salinitas antara 0-40 0/00. Fase dewasa dari spesies ini umumnya hidup di laut, tetapi pada fase larva dan juvenil banyak yang hidup di daerah estuari atau hutan mangrove karena Megalops cyprinoides termasuk dalam kelompok anadromus yang artinya ikan air laut bermigrasi ke air tawar untuk memijah (Jayaseelan 1998; Fishbase 2002 in Nursid 2002).

Muara sungai merupakan habitat yang penting untuk ikan-ikan dari jenis penetap sekaligus sebagai daerah asuhan penting untuk ikan-ikan peruaya. Contoh jenis ikan peruaya yaitu ikan dari famili Lutjanidae. Ikan penetap misalnya ikan famili Gobiidae. Ikan yang bermigrasi dari laut ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae dam Clupeidae (Kennish 1990 in Nursid M 2002).

Ditemukannya larva sidat (Anguilla sp.) yang bersifat katadrom dan beberapa larva dan juvenil ikan dari famili gobiidae yang juga banyak diantaranya bersifat katadrom yang artinya ikan beruaya atau bermigrasi dari air tawar ke laut hanya untuk memijah. Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem ini sangat berperan sebagai jalan keluar masuknya bagi beberapa ikan untuk melakukan ruaya pemijahan. Di samping itu, kehadiran larva ikan Megalops cyprinoides, Caranx sp. dan Sardinella sp. yang merupakan jenis-jenis ikan laut yang ditemukan di daerah muara menunjukkan bahwa ekosistem ini memegang peranan penting dalam siklus hidup bagi ikan-ikan tersebut sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground).

Menurut Jenkins and Davis (2007) larva ikan dari jenis Gobiidae (Sicyopterus sp.), Terapontidae (Terapon theraps) dan Ophichtidae termasuk dalam kategori ikan amphidromus, yaitu ikan yang beruaya untuk mencari makan. Ikan-ikan ini memijah di air tawar, larva menetas hingga di laut, kemudian pada fase juvenil kembali ke air tawar untuk mencari makan. Oleh karena itu, pada lokasi yang berada di muara arah sungai larva dari spesies Sicyopterus sp. memiliki kepadatan


(46)

dan kelimpahan yang paling tinggi. Spesies ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas (euryhaline). Hal ini dapat dilihat berdasarkan lokasi yang mengarah ke laut dan bagan juga ditemukan spesies Sicyopterus sp dengan kepadatan sebesar 29 ind/m².

4.5 Struktur Komunitas

Keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan berdasarkan komponen biologis. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan baik bila diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) yang tinggi serta indeks dominansi (C) yang rendah (Hukom 1999). Indeks keanekaragaman menggambarkan keanekaragaman jenis ikan di suatu kawasan. Nilai indeks keanekaragaman tergantung dari variasi jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies. Apabila jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies relatif kecil berarti terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan gangguan atau tekanan dari lingkungan, hal ini berarti hanya jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup (Risawati 2002 in Alfatriatussulus 2003).

Tabel 3. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi larva dan juvenil ikan di Teluk Palabuhanratu

Struktur Komunitas

Cimaja Citiis Citepus Sukawayana

Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut Muara arah sungai Muara arah laut

Jumlah Taksa 1 8 6 15 10 5 4 7

Kelimpahan (Ind/m3) 816 9 33 19 235 10 73 11 Indeks

Keanekaragaman (H’) 0.00 2.04 1.00 2.65 0.37 1.47 0.86 1.77

Indeks Keseragaman

(E) 0.00 0.98 0.56 0.98 0.16 0.91 0.62 0.91 Indeks Dominansi (C) 1.00 0.14 0.55 0.07 0.88 0.26 0.47 0.21

Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) pada lokasi Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana berkisar antara 1.47 - 2.65 untuk di daerah muara arah laut dan 0.00-1.00 untuk di daerah muara arah sungai. Muara Citiis arah laut memiliki indeks keanekaragaman paling tinggi yaitu sebesar 2.65. Hal ini dikarenakan lokasi kawasan tersebut baik bagi kehidupan larva dan juvenil ikan, dapat dilihat berdasarkan jumlah jenis/taksa yang ditemukan di lokasi tersebut lebih besar


(1)

102

Lampiran 11. (lanjutan)

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R 0.942020177

R Square 0.887402015

Adjusted R Square 0.748327266

Standard Error 60.92030322

Observations 10

ANOVA

df SS MS F Significance

F

Regression 2 233993.552 116996.776 31.52461429 0.0003155

Residual 8 29690.2668 3711.283345

Total 10 263683.819

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%

Intercept 0 #N/A #N/A #N/A #N/A #N/A #N/A #N/A

Effort (trip) 0.585848259 0.13542519 4.325991695 0.002525586 0.2735572 0.8981393 0.2735572 0.898139313

Effort² -0.000489046 0.00017919 -2.729234749 0.025876407 -0.000902 -7.58E-05 -0.0009023 -7.58378E-05

q k = q*k/q b q² r a


(2)

103

ton

trip per tahun

ton


(3)

104

Lampiran 11. (lanjutan)

trip per tahun


(4)

105

a.

Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap

Tahun

Payang PMT Payang KM Bagan PMT

C (ton) E (trip) CPUE

(ton/trip) C (ton) E (trip)

CPUE

(ton/trip) C (ton) E (trip)

CPUE (ton/trip)

2001 266.0600 4275 0.0622 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2002 89.2800 4734 0.0189 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2003 52.7420 1965 0.0268 0.0000 0.0000 0.0000 30.8720 4440.0000 0.0070

2004 79.5720 2348 0.0339 0.0000 0.0000 0.0000 251.1060 1103.0000 0.2277

2005 120.1640 3505 0.0343 0.0000 0.0000 0.0000 144.5060 1210.0000 0.1194

2006 31.9610 1825 0.0175 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2007 57.3050 1003 0.0571 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2008 20.0750 292 0.0688 0.0000 0.0000 0.0000 1.1900 3.0000 0.3967

2009 26.6820 278 0.0960 0.7000 1.0000 0.7000 0.0000 0.0000 0.0000

2010 362.0090 1281 0.2826 8.6570 22.0000 0.3935 19.1700 8.0000 2.3963

Tahun Bagan KM Pure seinne KM Gillnet KM

C (ton) E (trip) CPUE (ton/trip) C (ton) E (trip) CPUE (ton/trip) C (ton) E (trip) CPUE (ton/trip)

2001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2004 0.0000 0.0000 0.0000 0.5000 8.0000 0.0625 0.0000 0.0000 0.0000

2005 0.0000 0.0000 0.0000 0.5100 16.0000 0.0319 0.0000 0.0000 0.0000

2006 112.0460 737.0000 0.1520 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

2007 247.5540 1050.0000 0.2358 2.1730 7.0000 0.3104 0.0000 0.0000 0.0000

2008 15.7130 182.0000 0.0863 0.0000 0.0000 0.0000 7.5060 376.0000 0.0200

2009 0.8450 90.0000 0.0094 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


(5)

106

Lampiran 12. (lanjutan)

b.

Perhitungan standarisasi upaya penangkapan menggunakan Fishing Power Index (FPI)

Jenis alat tangkap C(ton) E(trip) CPUE(ton/trip) FPI

Payang PMT 1105.850 21506 0.0514 0.1264

Payang KM 9.357 23 0.4068 1.0000

Bagan PMT 446.844 6764 0.0661 0.1624

Bagan KM 418.033 2220 0.1883 0.4629

Pure seinne KM 3.183 31 0.1027 0.2524

Gillnet KM 7.506 376 0.0200 0.0491

c.

Hasil tangkapan, upaya standard dan CPUE model Schaefer

Standarisasi E

TAHUN C(ton) E(trip) E² CPUE(ton/trip)

2001 266.060 540 291962.9969 0.4924

2002 89.280 598 358023.9518 0.1492

2003 83.614 969 939640.2631 0.0863

2004 331.178 478 228391.0762 0.6930

2005 265.180 644 414137.6660 0.4121

2006 144.007 572 326951.7025 0.2518

2007 307.032 615 377662.2656 0.4996

2008 44.484 140 19623.7546 0.3176

2009 28.227 78 6052.0555 0.3628


(6)

107

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R 0.392579221

R Square 0.154118445

Adjusted R

Square 0.04838325

Standard Error 0.436624585

Observations 10

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 0.277876245 0.277876245 1.45758889 0.261795178

Residual 8 1.525128229 0.190641029

Total 9 1.803004475

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%

Intercept 0.816310289 0.301521315 2.707305419 0.026769526 0.121000891 1.511619686 0.121000891 1.511619686