Perancangan Kawasan Konservasi Laut Daerah Berdasarkan Potensi Larva Ikan Di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan juga daerah asuhan anak-anak ikan (nursery ground). Lokasi ini masih sangat potensial sebagai daerah pengasuhan ikan, karena memiliki karakteristik perairan khas yang mendukung keberadaan larva ikan.

Larva ikan memegang peranan penting terhadap keberadaan sumberdaya ikan di laut, karena perkembangan awal daur hidup ikan tergantung pada fase larva. Tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi ikan saja, bahkan kelangsungan hidup dari spesies ikan akan terancam apabila ikan pada fase larva sudah dieksploitasi. Seperti diketahui pada tahap awal, daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, keterbatasan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Sifat dari sumberdaya ikan sebagai milik bersama (common property), dapat dimanfaatkan oleh siapa pun (open access), sehingga mendorong manusia untuk mengeksploitasinya sebanyak mungkin dengan berbagai cara.

Upaya eksploitasi ikan yang terjadi di daerah teluk ini meliputi kegiatan menangkap ikan menggunakan perahu motor, bagan, dan tradisi mengambil larva (nyalawean/ngala impun).Nyalawehanmerupakan suatu kegiatan penangkapan ikan di sekitar muara sungai Teluk Palabuhanratu. Ikan yang ditangkap dari tradisi ini pada awalnya adalah ikan gobii/impun dalam stadia larva dan juvenil. Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan yang dapat menangkap ikan dari berbagai ukuran termasuk larva dan juvenil ikan. Jika kegiatan penangkapan larva terjadi secara terus menerus, hal ini dapat menyebabkan penurunan stok sumberdaya ikan, karena tidak adanya regenerasi atau rekruit ikan yang masuk ke perairan akibat pada stadia larvanya saja sudah tertangkap dan belum sempat menjadi dewasa untuk melakukan pemijahan (reproduksi). Seperti diketahui bahwa keberhasilan faktor reproduksi ini merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan suatu sumberdaya ikan.


(2)

Faktor penangkapan ikan pada fase larva secara berlebihan merupakan penyebab menurunnya stok larva yang tentunya akan berkaitan erat dengan penurunan stok ikan di laut. Apabila pada tahap larva sudah terjadi penangkapan yang berlebih, maka kedepannya akan berdampak pada stok ikan yang berumur dewasa menjadi lebih sedikit dan kondisi stok produksi perikanan tangkap akan menurun (Olii 2003). Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian operasi penangkapan yang ditargetkan pada larva ikan, mengingat potensi sumberdaya ini mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bangsa yang akan datang, sehingga perlu dikelola secara terpadu untuk dimanfaatkan secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan. Sejauh ini salah satu pendekatan yang diyakini mampu menerjemahkan konsep pengelolaan tersebut adalah pendekatan konservasi, dimana aspek pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek pelestarian. Implementasi dari pendekatan konservasi salah satunya dicerminkan dalam bentuk penetapan kawasan konservasi.

1.2. Rumusan Masalah

Sifat dasar sumberdaya ikan yang milik bersama (common property), dan pemanfaatannya oleh siapapun (open acces) memudahkan keluar masuknya individu dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat sumberdaya ikan memiliki sifat yang terbatas dan mudah rusak, perlu dilakukan pengelolaan yang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Keadaan yang sama juga terjadi pada sumberdaya ikan yang telah dewasa, padahal telah diketahui bahwa larva ikan merupakan awal dari daur hidup ikan, dimana pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi tidak hanya karena akibat penangkapan, tetapi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup dari satu spesies maupun populasi ikan tersebut.

Berdasarkan masalah diatas maka perlu dilakukan kajian untuk menentukan kawasan konservasi. Untuk memudahkan dalam perencanaan kawasan konservasi maka diperlukan software Marxan yang dapat membantu dalam membuat skenario


(3)

3

kawasan konservasi sebagai upaya awal dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Gambar 1. Skema kerangka pikir penelitian

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan antara lain :

1. Menentukan variabel sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan upaya perlindungan di perairan Teluk Palabuhanratu

Penetapan wilayah konservasi

Sumberdaya Pesisir Palabuhanratu

Sumberdaya ikan

larva Dewasa

SD Non hayati Jasa Lingkungan

Over Exploitasi

Upaya Perlindungan

BLM Fitur konservasi Fitur biaya

Rancangan 2

Rancangan 1 Rancangan 3

Hasil

Desain kawasan konservasi (Marxan)

= Hubungan


(4)

2. Memberikan alternatif rancangan kawasan konservasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari adanya penelitian ini adalalah sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kawasan perlindungan laut melalui kajian pendekatan berbasis spasial ekologi di perairan Teluk Palabuhanratu guna menjaga keberlanjutan jenis dan kelestarian lingkungan.


(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah kawasan konservasi laut yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta dikelola oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan serta monitoring dan evaluasi (DKP 2007). Tujuan penetapan kawasan konservasi adalah untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistem sehingga dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang, dan juga sebagai suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya alami bagi kepentingan rekreasi, wisata pendidikan, penelitian serta bentuk lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi. Idealnya kawasan konservasi di integrasikan dengan sistem pengelolaan pesisir agar terjadi kontrol yang efektif untuk menghambat ancaman yang berasal dari hulu dan menjaga kualitas air (Done dan Reichelt 1998).

Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaannya dari pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap “biosphere” untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN 1980in Salm 1984).

2.1.1. Landasan hukum

Landasan hukum penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :

a. Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari wilayah perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksudkan


(6)

meliputi : eksplorasi, ekploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; bantuan penegakan keamanan dan kelautan negara.

b. Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Undang-Undang RI No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis karyawan.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan :

1. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana

2. Potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya. Politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan

3. Geostrategi, geopolitik dan geoekonomi

d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

Kawasan konservasi perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 1 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara


(7)

7

berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya. e. Peraturan Menteri kelautan dan perikanan RI No. 17 tahun 2008 tentang

Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada pasal 24 dapat dilaksanakan oleh:

1. Pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;

2. Pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan 3. Pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi

kabupaten/kota.

2.1.2. Sistem zonasi kawasan konservasi laut daerah

Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP 2007)

Sebagai upaya dalam mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan pihak pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan dan nilai-nilai konservasi serta kebutuhan suatu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah hal yang cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan yang baik. Walau begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat pembangunan sarana fisik di KKLD.

Hingga saat ini penataan zona kawasan konservasi laut belum optimal karena kelangkapan data dan informasi dasar dari sumberdaya pesisir yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan


(8)

atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistim pada setiap bagian kawasan (Sriyanto 1998inIla 2010).

Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasannya (Laffoley 1995inIla 2010).

Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud adalah PP No.60 tahun 2007 tentang konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan , dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zonasitersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Zonaintimerupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini diperuntukkan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b) penelitian, dan (c) pendidikan.

2. Zona Perikanan Berkelanjutan merupakan zona yang memiliki nilai konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan.

3. Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan pengembangan, dan (d) pendidikan


(9)

9

4. Zonalainnyamerupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitas dan sebagainya.

2.2. Larva Ikan

Iktioplankton berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara) yang artinya ikan yang masih bersifat palnktonis. Istilah iktioplankton muncul setelah beberapa ahli mulai membedakannya dengan plankton berdasarkan istilah ichthyes untuk ikan. Dalam golongan plankton, organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton (Olii 2003). Mengingat pentingnya iktioplankton ini bagi kegiatan perikanan khususnya konservasi, lokasi penemuan telur dan larva ikan merupakan petunjuk dimana dan berapa luas daerah pemijahan (spawning ground) jenis ikan tertentu sebagai informasi dasar dalam menentukan kawasan konservasi.

Mantiri (1995) in Olii (2003) mengatakan bahwa Iktioplankton adalah organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, Namun ada juga yang menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juvenil yang masih bersifat planktonis. Iktioplankton sebagai tahapan awal perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan merupakan awal dari daur hidup ikan. Menurut Nontji (2008) larva ikan yang baru saja menetas umumnya berbentuk transparan, belum bisa mencari makanan sendiri serta fungsi mulut dan saluran pencernaannya belum berkembang dengan sempurna. Pada saat seperti itu, larva ikan masih bergantung pada cadangan makanan yang berupa kuning telur. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut.


(10)

2.3. Perancangan Ruang Kajian Marxan

Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling) dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexsan untuk memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA) (Ball dan Possingham 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini adalah permasalahan perencanaan konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.

Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlingdungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan dan Darmawan 2007).

Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna baru karena prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan dapat melihat seperti apa hasilnya, dari hasil tersebut Perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan (Meerman 2005). Perangkat lunak ini menggunakan algoritma simulated annealing, yang memiliki cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu literatif improfment, random backwarddan repetition.Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari nilai cost yang paling rendah. Dengan kombinasi ketiga langkah tersebut, memastikan bahwa lokasi yang terpilih adalah lokasi yang terendah. Algoritma simulated anealling menjalankan fungsi obyektif yang merupakan kombinasi sederhana dari nilai cost terpilih dan nilai penalty untuk yang tidak memenuhi target konservasi (Ball dan Posingham 2000).

= + × + ( × )

Keterangan :

Cost : Nilaicost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukuri= 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan.


(11)

11

BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatifcostterpilih di planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif.

Boundary : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i

SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i apabila target tiap spesies tidak terpenuhi

Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif

Langkah awal dalam penentuan kawasan konservasi yaitu dengan mengidentifikasi daerah target sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang hendak dilakukan. Kemudian daerah target dirubah menjadi planing units atau unit perencanaan. Planing units sendiri adalah blok blok atau petakan petakan lokasi yang dalam evaluasi marxan sebagai pertimbangan untuk dipilih sebagai solusi (Loos 2006). Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunkan dalam membentuk planing units dapat berupa segitiga, persegi empat, dan hexagon (Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah hexagon karena bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu planing units yang menggunakan hexagon memiliki keluaran (output) yang lebih halus dibanginkan dengan bentuk planing units lainnya (Miller et al. 2003). Hexagon juga memiliki perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat dengan area yang sama (Warman 2001inAzhar 2010).

Selain Cost dan SPF, BLM merupakan merupakan salah satu faktor dalam menentukan fungsi obyektif penentuan kawasan konservasi. BLM (Boundary Lenght Modifier) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter kawasan konservasi. Tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap perimeter dan area yang muncul dalam solusi (Loos 2006). BLM rendah akan menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3.a), sedangkan BLM yang tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus serta memiliki perimeter yang lebih kecil (Gambar 3.c). Dengan BLM yang kecil, marxan akan terkonsentrasi meminimalkan planning unit cost, sedangkan BLM yang besar akan memberikan tekanan pada penurunan Boundary Lenght (Steward dan Possingham 2005).


(12)

a. b.

c. d.

Gambar 2. Grid unit perencanaan dalam Marxan. (a) bentuk segitiga, (b) bentuk persegi, (c) bentuk hexagon, (d) bentuk octagons

(Sumber : Loos 2006)

Gambar 3. Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM sedang, c) BLM tinggi (Sumber: Loos 2006)

Penentuan nilai BLM ini akan bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Nilai BLM dipilih berdasarkan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari


(13)

13

analisis yang dilakukan (Possingham et al. 2000). Dengan kata lain tidak ada parameter yang menentukan nilai BLM, nilai ini ditentukan berdasarkan eksperimen dan memperhatikan bentang alam hasil dari Marxan untuk menemukan desain yang diharapkan sehingga memberikan keleluasaan pada perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan.

Hasil terbaik dalam menentukan solusi kawasan konservasi adalah desain yang terfokus dan mengumpul, karena desain tersebut lebih efeketif, dapat memudahkan pengelolaan dan juga memudahkan untuk di aplikasikan di lapang dibandingkan dengan desain solusi yang menyebar. Menurut Diamond (1975) atas dasar teori biogeografi pulau, ada 7 prinsip desain yang sangat efektif dalam perencanaan perlindungan, antara lain sebagai berikut

Gambar 4. Prinsip desain kawasan perlindungan (sumber: Diamond 1975)


(14)

Menurut Diamond 1975, ada sembilan prinsip desain kawasan perlindungan, antara lain adalah kawasan perlindungan yang besar lebih baik dibandingkan dengan kawasan yang lebih kecil dengan bentuk yang sama (Gambar 4a), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang tersebar walaupun dengan ukuran yang sama (Gambar 4b), bentuk yang menyebar namun berdekatan lebih baik daripada bentuk yang menyebar berjauhan walau dengan ukuran yang sama (Gambar 4c), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang terpisah memanjang namun tidak berhubungan (Gambar 4d), bentuk yang terpisah namun berhubungan lebih baik daripada bentuk yang terpisah namun tidak berhubungan (gambar 4e), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang menjang berhubungan (Gambar 4e). Walaupun sebelumnya banyak menghasilkan perdebatan ekologi, yang dikenal dengan SLOSS (single large or several small reserves) sebagian besar dari prinsip ini telah diterima sebagai desain jaringan kawasan konservasi pada modern biogeografi studies for the design of natural preveses dan telah banyak diterapkan hingga sekarang.

Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan kawasan konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal untuk digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu karang di daerah tropis dan subtropis (Fernandes et al. 2005). Beberapa zonasi kawasan konservasi di indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan karena Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain:

1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program Arcview, dengan tersedianya ekstensi-ekstensi yang memudahkan pembuatan planing unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi pembuatan shapefile hasil perhitungannya

2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai dengan yang diinginkan.

3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga alurnya dapat diikuuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga


(15)

15

berbagai faktor, baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan.

4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 tahun 2007 dan Permen No. 17 tahun 2008.

Sebagai software buatan manusia, marxan masih terdapat kekurangan, yaitu Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi, karena marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya terendah. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan (Smith et al. 2009) yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah yang terpilih cukup untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies. Sebagai referensi untuk meningkatkan tingkat konektifitas yang tinggi, tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik yang mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke daerah pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur konservasi (Van der Molen et al. 2007). Menurut Palumbi (2004) bahwa konektivitas dapat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi 2004)

Jarak (km) Dewasa Larva

>1000 100-1000 10-100

1-10

<1

Spesies migrasi besar Ikan pelagis besar

Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis kecil

Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata dasar

Species yang menerap, spesies dengan karakteristik habitat khusus

Banyak spesies Beberapa spesies

Hampir semua ikan, dan invertebrata

Alga, plankton, beberapa ikan Invertebrata dasar yang bersosialisasi langsung


(16)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 yang bertepatan dengan acara nyalawean di laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 5). Data penelitian yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data informasi pemanfaatan dan sosial ekonomi masyarakat meliputi daerah penangkapan ikan dan persepsi masyarakat, sedangkan data sekunder berupa data spasial jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian.

No. Alat dan Bahan Kegunaan

1. Alat tulis, GPS, Peta, Kuisioner dan camera Sebagai alat untuk mendapatkan data primer dari wawancara

2. Personal computer, dan microsoft excel Sebagai media untuk menyimpan dan mengeluarkan file dan data

3.

Data primer dan sekunder, meliputi: • Fitur Konservasi

• Fitur Biaya

Sebagai input data dalam perangkat lunak marxan

5. Peta dasar (basemap) yang sudah didigitasi Sebagai bahan dasar penentuan lokasi

4.

Perangkat lunak Arcview GIS 3.2 beserta Extensiontambahan meliputi : Av Tools, CLUZ, TNC tool, dan Repeating Shapes

Sebagai alat dalam pengolahan data GIS

6. Perangkat lunak Marxan 211

Sebagai alat untuk menyeleksi satuan unit perancangan dan menampilkan skenario wilayah konservasi


(17)

1

7


(18)

3.3. Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan melalui hasil wawancara semi terstruktur dengan pengguna (stakeholder) yang terkait di wilayah tersebut, meliputi kondisi sumberdaya larva ikan, sosial budaya masyarakat, serta persepsi penilaian responden terhadap adanya daerah konservasi yang berdampak terhadap pembatasan pemanfaatan sumberdaya perairan. Sedangkan data sekunder berupa data spasial jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan Marxan untuk menganalisa zonasi kawasan konservasi dengan 2 macam input data yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya (cost). Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi yang akan di konservasi, sedangkan fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya.

3.3.1. Fitur konservasi

Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi, sehingga fitur ini menjadi suatu acuan ekologi untuk tujuan penentuan kawasan konservasi. Fitur konservasi dapat berupa ekosistem, spesies, habitat atau komunitas biota laut lainnnya. Dalam penelitian ini fitur konservasi berupa keanekaragaman sumberdaya ikan yang masih berupa larva, dan habitat larva ikan yaitu nursery gorund, dan feeding ground. Data yang digunakan untuk menentukan fitur konservasi adalah data sekunder tentang distribusi larva yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Said 2011). Berdasarkan data sekunder, dipilihlah prioritas larva untuk penentuan kawasan konservasi dengan pertimbangan semakin sedikit keberadaan spesies tersebut di alam, sehingga dipilih 4 fitur konservasi yang berupa larva antara lain adalahAnguilla, Congridae, Trichiuridae dan Gobiidae (Lampiran 7). Anguillayang merupakan ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam,Congridae golongan ikan sidat yang statusnya juga terancam, Trichiuridae sebagai larva ikan layur dan Gobiidae merupakan ikan impun, kemudian habitat larva feeding ground dan nursery ground.


(19)

19

3.3.2. Fitur biaya

Fitur biaya dalam input marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan sumberdaya dan kawasan, yang meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Jalur kapal,Fishing Ground,PLTU serta Wisata dan Hotel. Data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat pengguna langsung sumberdaya tersebut.

Penentuan jumlah responden dan teknik pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan secara acidental sampling kepada nelayan sekitar. Selain untuk mengetahui pemanfaatan sumberdaya, pengambilan responden ini juga untuk mengetahui persepsi mereka mengenai kawasan konservasi sebagai upaya dalam melalukan perlindungan untuk mencapai sumberdaya yang berkelanjutan.

3.4. Daerah Kajian / Area Of Interest (AOI)

Area of Interest merupakan daerah lingkup kajian dalam penentuan kawasan konservasi. AOI yang telah ditentukan dibentuk menjadi beberapa Unit Perencanaan/ Planing Unit dengan satuan Unit Perencanaan heksagonal. Planing Unitatau Unit Perencanaan (pu) sendiri merupakan blok-blok bangunan dari sistem konservasi yang Marxan evaluasi dan pilih sebagai bentuk solusi (Loos 2006). Penentuan daerah kajian (AOI) dan unit perencanaan (pu) merupakan hal penting dan utama dalam analisis marxan.

Pada penelitian ini, daerah lingkup yang akan dikaji / Area of Interestterletak pada sekitar laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, Cimandiri dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 6). Batasan lokasi studi ini didasarkan atas kewenangan pengelolaan daerah Palabuhanratu untuk mengelola laut, dimana sesuai Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, suatu kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan laut sejauh 4 mil (untuk wilayah yang berbatasan dengan laut yang luas).

Bentuk yang dapat diadopsi dalam satuan unit perencanaan yaitu segitiga, persegi empat, dan heksagonal (Loss 2006). Bentuk heksagonal dipilih karena miliki bentuk yang paling natural dan lebih mendekati lingkaran sehingga memiliki rasio


(20)

0 Gambar 6. Area Of Interest (Daerah lingkup yang akan dikaji)


(21)

21

tepi yang rendah (Gaselbarchtet al. 2005). Artinya satu heksagonal dapat mewakili daerah terdekat dari setiap sisi-sisi daerah sekelilingnya. Bantuk heksagonal juga memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan satuan unit perencanaan lainnya (Milleret al. 1993inLoss 2006).

3.5. Analisis Zonasi Kawasan Konservasi

Untuk menentukan zona kawasan konservasi, digunakan perangkat lunak Marxan yang bekerja menggunakan algoritma simulated annealing untuk mencari nilai cost yang paling rendah dengan menggunakan dua macam input data, yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya. Fitur konservasi adalah fitur yang mempunyai indikator mengharuskan daerah tersebut dikonservasi, sedangkan fitur biaya yang menyebabkan biaya konservasi meningkat. Masing-masing parameter pada fitur konservasi mempunyai tingkat kepentingan dan kualitas data yang berbeda-beda, sehingga penalti faktor dendanya (penalty factor)juga berbeda. Salah satu keunggulan Marxan yaitu dapat diterapkan dengan beberapa skenario perencanaan, sehingga Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk menentukan kawasan konservasi yang efisien dengan biaya terendah. Analisis marxan menggunakan algoritmasimulated anealing yang dimaksudkan untuk mencari nilai biaya terendah sebagai kawasan konservasi, hal ini merupakan kombinasi sederhana dari nilai biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan Posingham 2000). Nilai biaya terendah merupakan solusi terbaik, yang dihitung dari formula matematika sebagai berikut :

= + × + ( × )

Keterangan :

Cost : Nilaicost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukuri= 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan.

BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatifcostterpilih di planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif.


(22)

SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i apabila target tiap spesies tidak terpenuhi

Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif

3.5.1. Pembobotan fitur

Penentuan bobot nilai fitur konservasi dan fitur biaya terbilang sangat unik, penilaian fitur pada penelitian ini berdasarkan tingkat kepentingan data dan kualitas data. Fitur konservasi dengan bobot tinggi diperhitungkan untuk meningkatkan nilai costapabila target konservasi tidak terpenuhi, sedangkan bobot untuk fitur biaya di perhitungkan untuk tidak terpilih sebagai kawasan konservasi karena kawasan tersebut sudah termanfaatkan sehingga akan meningkatkan biaya pengelolaan apabila dialihkan menjadi kawasan konservasi. Penentuan bobot kedua jenis data fitur ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, yang artinya kualitas data dinilai tinggi jika pengambilan datanya berdasarkan hasil penelitian, sedangkan kualitas data dinilai rendah jika pengambilan datanya berdasarkan wawancara. Penentuan nilai faktor denda (penalty) pada tiap fitur konservasi ditentukan secara subyektif oleh penulis, karena sejauh ini tidak ada aturan khusus dalam menentukan nilai faktor denda (penalty) pada tiap spesis, namun Ball dan Possingham (2000) menyarankan menggunakan SPF diatas 1, hal ini dibenarkan oleh Loos (2006) yang menyatakan bahwa nilai SPF kecil (0.1) mangakibatkan target tidak terpenuhi.

Data tiap fitur masing-masing dimasukkan dalam satuan perencanaan. Data konservasi dimasukkan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian juga dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa dianalisa lebih lanjut.

Pembobotan fitur konservasi

Fitur konservasi dipilih dari beberapa larva ikan dan habitat larva ikan. Larva yang mempunyai pertimbangan utama yang akan di lindungi karena keberadaannya yang semakin menipis di alam akibat adanya penangkapan yang tidak terkendali,


(23)

23

sedangkan habitat larva dipertimbangkan untuk dilindungi karena habitat merupakan tempat larva ikan hidup dan dapat mempengaruhi keberadaan larva di alam.

Penentuan bobot nilai ditentukan dari tingkat kepentingan data dan kualitas data. Data atau spesies yang penting untuk dilindungi dinilai dengan tingkat kepentingan yang tinggi, kulitas data dikatakan tinggi jika data diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, dan kualitas data dinilai rendah apabila sumber data diperoleh dari hasil wawancara. Semakin tinggi kepentingan data tesebut dan semakin tinggi tingkat kualitas data tersebut, maka semakin tinggi bobot nilai Spesies Penalty Factor (SPF). Berikut merupakan kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) pada tiap fitur konservasi (Tabel 3).

Tabel 3. Kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi

Tingkat

Kepentingan Kualitas Data Nilai Skor

Sangat Tinggi Tinggi 23

Tinggi Tinggi 17

Sedang Tinggi 11

Rendah Tinggi 9

Sangat Rendah Tinggi 7

Sangat Tinggi Rendah 5

Tinggi Rendah 3

Sedang Rendah 2,5

Rendah Rendah 2

Sangat Rendah Rendah 1

Ada 2 macam metode dalam penentuan skor nilai faktor denda (SPF) untuk fitur konservasi, antara lain adalah penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai tiap fitur secara linier dan penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai fitur secara logaritma. Pada penelitan ini nilai faktor denda tiap fitur konservasi menggunakan peningkatan nilai secara logaritma dengan tujuan semakin penting fitur konservasi tersebut, semakin tinggi nilai faktor dendanya sehingga tujuan untuk perlindungan fitur akan tercapai, karena fitur konservasi yang penting mempunyai nilai lebih tinggi dengan jarak yang berkali lipat lebih jauh dari faktor denda fitur konservasi lainnya.


(24)

Pembobotan fitur biaya

Fitur biaya diperoleh dari data sosial yang berkaitan dengan penduduk serta pola pemanfaatan sumberdaya kawasan. Data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarat dan nelayan sekitar.

Fitur biaya meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), PLTU, Fishing Ground, Jalur Kapal serta Wisata dan Hotel,. Biaya unit perencanaan fitur-fitur tersebut dihitung dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang membuat total biaya akan lebih tinggi. Fitur PPN, PLTU serta Wisata dan Hotel merupakan bangunan fisik yang sangat jelas diamati di lapangan, dimana jika dihilangkan akan menyebabkan biaya semakin tinggi, sehingga penentuan nilai masing-masing fitur ditentukan dengan skor (weighting score) realtif satu sama lain terhadap biaya pengelolaan suatu kawasan yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat kepentingan. Tabel 4 merupakan kriteria penentuan nilai skor biaya pada tiap fitur biaya.

Tabel 4. Kriteria penentuan nilai skor fitur biaya

Tingkat Kepentingan

Nilai Skor

Sangat Tinggi 17

Tinggi 9

Sedang 5

Rendah 3

Sangat Rendah 1

3.5.2. Pengolahan data

Data primer dan sekunder dikelompokkan dan diolah menggunakan bantuan Microsoft Excel, kemudian dengan bantuan softwere Arcview GIS data diubah menjadi data spasial, kemudian dengan extension CLUZ pada Arcview GIS, data dirubah menjadi data yang diperlukan Marxan untuk diolah menjadi hasil kawasan terpilih. Data yang dikelompokkan (fitur konservasi dan fitur biaya) dalam menganalisis kawasan konservasi menggunakan marxan dimasukkan dalam kesatuan perencanaan dengan sistem present/absent (Lampiran 3). Hal ini berarti jika suatu heksagonal bertumpang susun dengan suatu fitur (konservasi atau cost)


(25)

25

maka heksagonal tersebut beratribut present. Jika present maka atributnya sama dengan 1, jika absent atributnya menjadi 0.

Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat.shp)dan data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Selengkapnya alur file tabuler untuk input marxan dengan ArcView dan CLUZ ditampilkan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Alur tabuler untuk input Marxan dengan ArcView dan CLUZ

Secara umum proses penyampaian data untuk marxan terfokus pada 3 buah shapefile yaituplaning units (Pu.shp), abundance (habitat.shp), dancost (cost.shp). file tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagonal lengkap dengan proses cropping pada peta daerah yang akan dikaji (AOI). file planing units (Pu.shp), Abundance (Habitat.shp), dan cost (cost.shp) adalah shapefile heksagon dengan wujud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya.

Pengelolaan 3 buah shapfile dilakukan dengan bantuan CLUZ akan menghasilkan 4 buah tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Unit.dat dan Bound.dat yang menjadi input Marxan. CLUZ merupakan singkatan dari Conservation Land Using Zoning adalah tools yang digunakan sebagai extensi ArcView Gis 3.x untuk menyiapkan data yang akan digunakan sebagai input marxan.


(26)

3.5.3. Pengaturan BLM (Boundary length modifier)

BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan perencanaan yang terpilih dalam marxan. Pada BLM yang rendah, satuan perencanaan yang terpilih akan menyebar karena marxan akan terkonsentrasi pada biaya yang rendah, sedangkan pada BLM tinggi, satuan perencanaan terpilih akan mengelompok, karena marxan akan berusaha untuk menurunkan panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham 2005)

Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A. Ardonet al. 2003inIla 2010). Menurut Possinghamet al. (2000) nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1, sedang map unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan dan Barnawi 2007). Nilai kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan perencanaan yang terpilih. Karena pada penelitian ini menggunakan map unit degree, maka untuk menentukan BLM optimum pada penelitian ini digunakan BLM yang berkisar antara 0-10000, sehingga dipilihlah 7 BLM yang berbeda, antara lain adalah 10, 100, 250, 500, 1000, 5000 dan 10000.

Berdasarkan nilai BLM yang ditetapkan, tiap BLM tersebut diproses oleh Marxan sehingga akan menghasilkan output berupa lima buah file yaitu output1_best, output1_mvbest, output1_sen, output1_ssoln dan output1_sum. File Output1_sumberisi table tentang nilai cost, panjang garis batas, dan luas area. Nilai BLM optimal diperoleh dari fileoutput1_sumdengan melihat hubungan antara biaya dengan panjang batas tepi kawasan atau antara luas area dengan panjang batas tepi kawasan (Steward dan Possingham 2005).

3.5.4. Pengaturan zonasi

Pengaturan kawasan konservasi dalam marxan dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan dan zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. Pembagian zonasi tersebut, dalam marxan dilakukan dengan membagi frekuensi yang terdapat dalam


(27)

27

file output1_ssoln kedalam empat kelas dengan interval yang sama. Dalam file ini berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi kawasan konservasi berdasarkan 100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut 51-74 sebagai zona pemanfaatan, 26-50 sebagai zona perikanan berkelanjutan dan 0-25 sebagai zona lainnya.

3.5.5. Penentuan skenario

Skenario zona kawasan konservasi merupakan alternatif solusi yang ditawarkan untuk merancang desain kawasan konservasi. Dengan perangkat lunak Marxan, para Perancang dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya, Dari hasil tersebut Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan kawasan konservasi (Ball dan Possingham 2004). Skenario tersebut didapatkan dari hasil perhitungan Marxan berdasarkan target konservasi yang berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan beberapa alternatif desain kawasan konservasi sehingga nantinya menjadi pilihan dalam menetapkan suatu kawasan konservasi yang sesuai karakteristik dan keadaan lingkungannya. Bedasarkan observasi yang dilakukan terhdap beberapa skenario, maka ditetapkan 3 skenario dengan 7 BLM dan target yang berbeda, maka proses tersebut menghasilkan 21 hasil yang berbeda. Berikut merupkan rancangan skenario berdasarkan taget fitur konservasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skenario kawasan konservasi

fitur konservasi skenario 1 skenario 2 skenario 3

% target % target % target

1 Anguilla 10 20 40

2 Congridae 10 20 40

3 Trichiuridae 10 20 40

4 Gobiidae 10 13 25

5 Nursery Ground 10 30 40

6 Feeding Groundtepi 8 10 20


(28)

Target konservasi dihitung berdasarkan persentase wilayah yang ditetapkan untuk dikonservasi. Persentase tersebut merupakan persentase dari total luas target yang menjadi fitur konservasi dalamArea of Interest.

3.5.6. Konektivitas

Karena Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi, desain kawasan konservasi disesuaikan dengan model biofisik pergerakan ikan oleh Palumbi (2004), yaitu untuk larva 10-100 km. Untuk menjamin tingkat konektivitasnya, nilai BLM ditingkatkan secara bertahap sampai daerah yang terpilih menghasilkan desain dengan tingkat konektivitas yang sesuai, selain itu, peningkatan konektivitas bisa dengan cara menambah zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies. Konektivitas sangat penting untuk desain efektif suatu perencanaan, karena menurut Palumbi, (2004) bahwa konektivitas tersebut menggambarkan jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut, karena hal itu akan mempengaruhi pencapaian target fitur konservasi (Van der Molenet al.2007).


(29)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu terletak di Sukabumi Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah pesisir berdasarkan desa yaitu ± 20.730,87 ha. Teluk ini merupakan salah satu lokasi penting bagi perikanan tangkap di Indonesia yang memiliki kondisi geografis yang cukup menunjang yaitu terletak pada posisi 6o 57’-7o 07’ LS dan 106o 22’-106o 33’ BT (Gambar 8). Perairan di Teluk Palabuhanratu merupakan daerah penangkapan utama bagi nelayan, selain itu perairan ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia (Prayitno 2006 in Ambarwati 2008). Secara topografi, Teluk Palabuhanratu umumnya bertekstur kasar dan terdiri atas dataran bergelombang, perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Topografi dasar laut (bathymetric)perairan Teluk ini tergolong curam, dengan kedalaman berkisar antara 3 meter (di sekitar pantai dan muara) sampai lebih dari 200 meter. Secara geologi dataran pantai yang berada pada muara Sungai Cimandiri, Sungai Cipalabuan– Cigangsa, Sungai Citepus, Sungai Sukawayana, Sungai Cimaja, Sungai Cipawenang, Sungai Cisolok, Sungai Citiis, Sungai Cibangban, Sungai Cihaur dan Sungai Cibareno serta dikelilingi oleh Gunung Butak, Gunung Cabe, Gunung Handeuleum, Gunung Gado dan Gunung Habibi. Sedangkan sebelah Utara dan Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.

Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi hodrodinamikan dan oseanografi. Kondisi hidrodinamika perairan teluk sangat mempengaruhi Musim. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari), diantara Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan yang disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat (September-Oktober) (Wyrtki 1961 inAnwar 2008). Kondisi oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar sangat mempengaruhi kondisi di Teluk Palabuhanratu. Wyrtki (1961) in Anwar (2008) mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhanratu sesuai dengan sifat laut dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September sampai Desember yang bergerak ke


(30)

0 Gambar 8. Kondisi Teluk Palabuhanratu


(31)

31

arah barat. Pada umumnya arus pantai di Teluk Palabuhanratu memperlihatkan pola pergerakan arus Barat Daya – Timur Laut dengan rata-rata 0,4 m/det (BLH Sukabumi 2003). Pasang surut terendah adalah 90 cm dan tertinggi mencapai tertinggi mencapai 249 cm dengan tunggangan airnya adalah 159 (BLH Kabupaten Sukabumi 2003). Tinggi gelombang berkisar antara 15–65 cm pada jarak 70 –500 meter dari garis pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29-30oC dan pada musim timur 26-27oC.

Salinitas di perairan Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhanratu. Namun demikian di perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai salinitas rata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing sebesar 32.96‰ dan 32.33‰ (Pariwonoet al.1988).

Daerah pesisir Teluk Palabuhanratu merupakan lokasi yang sangat potensial, terlihat dari aktivitas yang ada, kegiatan di Teluk Palabuhanratu pada umumnya merupakan Pariwisata dan nelayan. Aktivitas lain yang ditemukan ada pada Teluk Palabuhanratu ini yaitu PLTU dan Studi Lapang Kelautan (SLK). Sepanjang pesisir, banyak ditemukan Hotel dan kawasan wisata. Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) menjadikan kegiatan perikanan berpusat dan berlabuh di lokasi ini.

Kegiatan tahunan yang terkenal di Teluk Palabuhanratu ini adalah acara nyalawean yang dilakukan pada waktu bulan tertentu setiap tanggal 25 Hijriah khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan tradisi masyarakat di Teluk Palabuhanratu yaitu aktivitas penangkapan “impun” dengan menggunakan sirib. Impun merupakan larva-larva ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan impun yang tertangkap sangat melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan atau dijual di TPI. Penangkapan impun ini dilakukan secara besar-besaran, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kapasitas nelayan yang menangkap. Tidak hanya profesi sebagai nelayan saja yang


(32)

menangkap, penangkap impun juga berasal dari berbagai daerah. Harganya yang mahal dan kondisinya yang dianggap masih berlimpah, penangkapan impun menjadi pemanfaatan yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan keberlanjutannya.

4.1.1. Persepsi masyarakat tentang kawasan konservasi

Berdasarkan hasil dari wawancara dengan penduduk sekitar secara acidental sampling, pengetahuan masyarakat di Teluk Palabuhanratu mengenai konsep konservasi dapat digambarkan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi

Berdsarkan gambar diatas, terlihat bahwa pengetahuan dari masyarakat sekitar Teluk Palabuhanratu masih sangat minim tentang kawasan konservasi, terbukti bahwa hanya 5% penduduk saja yang mengetahui tentang kawasan konservasi. Hal ini menjadi suatu informasi yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar strategi dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan kawasan konservasi sebagai upaya menjadikan Teluk Palabuhanratu tetap lestari.

95%


(33)

33

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Fitur konservasi

Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi sehingga fitur ini merupakan suatu acuan ekologi untuk tujuan fitur konservasi. Fitur konservasi dalam penelitian ini antara lain adalah sumberdaya larva dan habiat larva, sumberdaya larva antara lain adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae, sedangkan fitur konservasi yang berupa habitat larva antara lain adalah feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, Nilai SPF pada setiap Fitur konservasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai faktor denda pada tiap fitur konservasi

No. Fitur konservasi Tingkat

kepentingan Kualitas Data

Faktor Denda (SPF) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Anguilla sp. Congridae Trichiuridae Gobiidae Nursery Ground Feeding Groundtepi Feeding Groundtengah

Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah 23 17 11 9 3 2.5 2

Pemilihan fitur konservasi diatas, dipertimbangkan dari beberapa kegiatan di daerah pesisir Teluk Palabuhanratu yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati perairan, salah satu kegiatan yaitu penangkapan sumberdaya larva pada tradisi nyalawehan di Teluk Palabuhanratu. Sumberdaya larva ikan yang dipilih sebagai fitur konservasi meliputi Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae. Fitur konservasi ini terpilih berdasarkan pertimbangan nilai ekonomis penting spesies tersebut dan semakin sedikit kondisinya di alam sehingga apabila dibiarkan, kondisi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya tersebut. Selain dari sumberdaya larva, fitur konservasi lain adalah parameter berupa ekologi yang berupa ekosistem, habitat, maupun biofisik lainnya yang ada kaitan erat dengan


(34)

sumbedaya larva, diantaranya adalah feeding ground (tempat mencari makan) dan nursery ground(tempat asuhan).

a. Anguilla

Anguillamerupakan jenis ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam, ikan ini merupakan ikan ekonomis penting karena tingkat selera terhadap ikan ini sangat tinggi terutama negara Jepang yang sering menjadi tujuan eskpor ikan ini untuk makanan olahan unagi. Ikan ini telah dibudidayakan, namun budidaya hanya bersifat pembesaran saja. Ikan sidat merupakan hewankatadromus yaitu ikan yang membesar (tumbuh) di perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam (kedalaman 400 m) ketika akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut kemudian larvanya terbawa arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju pantai kemudian benih ikan sidat masuk ke sungai-sungai dan membesar hingga dewasa. Setelah ikan sidat mendekati dewasa akan beruaya kembali menuju laut untuk memijah (Sasono 2001). Hal ini yang menjadikan ikan sidat sulit untuk dibudidaya secara keseluruhan, sehingga untuk memenuhi permintaan konsumen akan ikan ini, perlu adanya penangkapan benih yang ada di alam, karena tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi tidak terkendali, sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung terhadap punahnya ikan sidat di alam, oleh karena itu ikan sidat menjadi dasar pertimbangan untuk konservasi yang bertujuan agar dapat menjaga kelestarian dari ikan sidat ini. Berdasarkan obyektivitas Penulis, ikan ini mempunyai nilai denda (SPF) sebesar 23 yang merupakan nilai denda terbesar diantara fitur konservasi yang lain. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan Anguilla berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 10).

b. Congridae

Congridae merupakan family ikan sidat yang statusnya juga terancam kelestariannya, seperti halnya ikan sidat jenisAnguilla, ikan sidat family Congridae juga merupakan hewan katadromus yang menjadikan ikan ini masih belum bisa


(35)

3

5


(36)

dibudidayakan secara keseluruhan Untuk memenuhi permintaan konsumen, ikan ini masih dieksploitasi dari alam.

Tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi tidak terkendali, sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung terhadap punahnya ikan sidat di alam. Hal ini yang menjadi pertimbangan ikan sidat family Congridae masuk dalam fitur konservasi yang dinilai perlu untuk dilindungi dengan nilai denda (SPF) sebesar 17. Dibandingkan dengan ikan sidat jenis Anguilla, ikan sidat family Congridae mempunyai minat konsumen yang lebih sedikit daripada ikan sidat jenisAnguilla. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan family Congridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (gambar 11).

c. Trichiuridae

Trichiuridae merupakan family dari ikan layur. Berdasrkan data sekunder penelitian dari Furry (2011) dan Rifai (2011), biologi reproduksi ikan layur mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae, dan jenis yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Lepturacanthus dan Gempylus. Populasi ikan layur banyak tertangkap pada perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai (Badrudin dan Wudianto 2004 in Sharif 2009). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu, ikan layur mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, terbukti dari ikan layur yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu biasa diekspor ke luar negri untuk memenuhi kebutuhan dari konsumen. Salah satu jenis yang diekspor adalah dari jenisLepturacanthus savala. Karena tingginya akan permintraan ikan layur, ikan ini ditangkap dengan berbagai macam upaya, yaitu dengan menggunakan payang, gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seine. Alat tangkap dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu adalah pancing ulur (Anita 2003 in Sharif 2009). Usaha penangkapan yang berlebihan akan berdampak buruk terhadap kelestarian dari ikan layur ini, oleh karena itu, ikan layur ini menjadi ikan yang masuk sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai denda (SPF) sebesar 11. Berikut merupakan peta sebaran letak


(37)

3

7


(38)

ikan family Trichiuridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 12).

d. Gobiidae

Ikan family Gobiidae merupakan ikan yang sering disebut ikan impun/menga. Secara umum family Gobiidae ditemukan pada daerah muara sungai sebagai habitatnya. Hal ini menunjukkan bahwa anggota family tersebut mempunyai karakteristik untuk beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada, diantaranya adalah karena tubuhnya dilengkapi dengan cakram pelekat yang termodifikasi dari sirip perut yang menyatu. Organ ini sangat berperan dalam adaptasinya terhadap arus yang kuat dengan cara menempelkan tubuhnya ke dasar perairan yang berbatu (Furry 2011). Sebagian besar ikan dari family Gobiidae terdiri dari jenis Sicyopterus sp yang merupakan jenis ikan divisi peripheral, yaitu suku-suku yang anggotanya mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas.

Ikan family Gobiidae memiliki sifat migrasi yang berbeda-beda. Ikan Gobiidae yang tertangkap kemungkinan bersifat amphidromusataumarine migrant. Pada kelompok amphidromus, ikan melakukan pemijahan di sungai dan melakukan penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi ke sungai dan saat dewasa akan kembali lagi ke sungai. Ketika ikan family Gobiidae yang berfase juvenil ditemukan, maka diduga bahwa ikan tersebut tersebut sedang melakukan migrasi ke sungai untuk pembesaran dan pencarian makan. Dugaan kedua adalah marine migrant. Pada kelompok ini, spesies tersebut memiliki kisaran salinitas yang luas (euryhaline) yang melakukan pemijahan di laut dan menggunakan daerah estuari untuk pembesaran juvenil dan dewasa. Saat tertangkap spesies diduga sedang mencarian makan di muara sebagai feeding ground dan nursery ground. Menurut Sanches-Velasco et al. (1996) in Nursid (2002) kelompok larva tersebut dalam hidupnya sangat tergantung pada estuaria. Jenkins dan Boseto (2007) menjelaskan larvaSicyopterus sp.termasuk jenis ruayaamphidromus yaitu melakukan pemijahan di sungai dan saat penetasan akan menuju ke laut. Saat ikan pada fase postlarva dan juvenil, spesies tersebut kembali lagi ke muara sungai untuk mencari makan dan pembesaran, dan pada saat dewasa spesies tersebut kembali lagi ke laut. Berdarkan


(39)

3

9


(40)

penelitan Furry (2011) jenis ikan ini memiliki nilai kepadatan terbesar dibandingkan dengan nilai kepadatan populasi dari jenis larva dan juvenile lain yang ditemukan di Teluk Palabuhanratu, walaupun demkian, ikan ini dinilai penting untuk dikonservasi agar ikan ini tetap lestari keberadaannya, mengingat karakteristik ikan ini yang masih sangat tergantung terhadap alam, sehingga dinilai sangat rentan punah apabila tidak ada pembatasan aktivitas penangkapan. Oleh karena itu, ikan family Gobiidae ini masuk sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai denda (SPF) sebesar 9. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan family Gobiidae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 13).

e. Nursery Ground

Nursery Groundmerupakan daerah asuhan ikan. Daerah ini merupakan daerah yang penting terhadap kelangsungan hidup ikan, mengingat beberapa jenis sumberdaya larva memiliki karakteristik sebagai katadromus, maupun amphidromus/marine migrant. Katadromus yaitu ikan yang membesar (tumbuh) di perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam (kedalaman 400 m) ketika akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut kemudian larvanya terbawa arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju pantai kemudian benih masuk ke sungai-sungai dan membesar hingga dewasa, setelah mendekati dewasa, akan beruaya kembali menuju laut untuk memijah, salah satu contoh jenis ikan ini adalah ikan sidat (Sasono 2001). Sedangkan amphidromus, ikan melakukan pemijahan di sungai dan melakukan penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi ke sungai dan saat dewasa akan kembali lagi ke laut. Muara sungai sendiri merupakan tempat pertemuan antara air tawar dan air laut atau transisi antara habitat perairan tawar dan habitat laut, kondisi ini sering disebut sebagai estuari. Habitat estuari relatif lebih subur (produktif) sehingga habitat ini menjadi daerah asuhan (nursery ground) yang baik bagi larva udang, ikan dan kerang, bahkan ada jenis-jenis ikan yang menjadikan estuari sebagai habitat sepanjang hidupnya. Salah satu estuari adalah muara sungai yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya pasang surut ini akan mempengaruhi bentuk kehidupan biota di daerah tersebut. Biota yang hidup di daerah ini adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi


(41)

4

1


(42)

terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis sedikit dan potensi yang tinggi.

Muara sungai adalah daerah yang sangat subur karena mengandung sejumlah besar zat-zat hara yang berasal dari darat. Kehidupan ini dapat mendukung biota-biota seperti ikan, udang dan beberapa jenis karang. Kesuburan muara sungai dapat mengalami penurunan karena daerah ini mudah dicemari aktivitas daratan, sperti limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Penurunan kesuburan ini dapat mengakibatkan berkurangnya produksi perikanan. Oleh karena itu, nursery ground dinilai sangat penting untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu dengan melibatkan nursery gorund sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai denda (SPF) sebesar 3. Nursery ground yang ditetapkan terletak di tiap muara sungai dari muara Sungai Cimandiri hingga muara Sungai Citiis. Berikut merupakan petanursery ground(gambar 14).

f. Feeding Ground

Feeding ground merupakan tempat larva mencari makan, secara naluri, ikan mempunyai insting untuk berpindah tempat ke lokasi yang produktifitas primernya lebih tinggi untuk proses keberlanjutan hidup ikan tersebut, salah satu indikasi tingginya produktivitas perairan adalah keberadaan fitoplankton yang bisa ditentukan dengan klorofil. Mesikipun tidak ada batasan pasti dalam penentuan feeding groundini, batas penentuan wilayah ini menggunakan hubungan parameter fisik perairan di Teluk Palabuhanratu yang ada kaitannya dengan klorofil sebagai penentu keseburan. Beberapa parameter fisika-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a adalah suhu, cahaya, arus dan nutrient (terutama nitrat, fosfat, dan silikat) (Nybakken 1992). Pigmen-pigmen lainnya pada tumbuhan laut digunakan oleh klorofil untuk membantu mengabsorbsi cahaya yang tidak tertangkap secara maksimal oleh klorofil Pada tingkat intensitas cahaya yang sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya, namun di dalam kolom air dekat permukaan air di mana intensitas cahaya tinggi,


(43)

4

3


(44)

kebanyakan spesies fitoplankton menunjukkan bahwa fotosintesis dipertahankan pada suatu tingkat tertentu atau bahkan fotosintesis malah akan menurun (Gambar 15).

Gambar 15. Gambar hubungan klorofil pada permukaan dan kedalam yang berbeda (Sumber : Nybakken 1992)

Dari referensi diatas, menunjukkan bahwa ada hubungan antara parameter fisika kedalaman dengan kelimpahan produktivitas primer berupa fitoplankton, dimana kedalaman tertentu menghasilkan intensitas cahaya yang berbeda, dan intensitas cahaya berkaitan erat dengan laju fotosintesis dari fitoplankton yang berimplikasi terhadap kesuburan perairan.

Pentingnya feeding ground terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup sumberdaya larva, menjadikanfeeding groundpenting untuk dilibatkan sebagai fitur konservasi yang bertujuan untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu dengan nilai denda (SPF) sebesar 2.5 sebagai feeding ground tepi, dan nilai denda (SPF) sebesar 2 sebagai feeding ground tengah. Hal ini dibedakan atas dasar kedalaman, yaitu pada feeding ground tepi antara kedalama 0 m hingga 20 m dan feeding ground tengah antara 20 m hingga 200 m dengan asumsi kedalaman yang rendah mempunyai produktifitas yang tinggi karena intensitas cahaya yang masuk lebih banyak sehingga produktivitas primer lebih tinggi, disamping itu pengaruh


(45)

4

5


(46)

nutrient dari muara sungai dan pesisir menjadikan produktivitas primer di tepi lebih tinggi daripada di tengah. Berikut merupakan peta sebaran feeding grounddi Teluk Palabuhanratu (Gambar 16).

4.2.2. Fitur biaya /Cost

Fitur biaya yang ditentukan pada penelitian ini adalah Pelabuhan perikanan Nusantara (PPN), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Jalur Kapal, Fishing Groundserta Wisata dan Hotel. Fitur biaya merupakan pemanfaatan yang berada di Teluk Palabuhanratu (Gambar 17). Kelima fitur tersebut masuk ke dalam fitur biaya karena kelimanya memiliki dampak terhadap fitur konservasi yang ditargetkan, yaitu mempengaruhi keberadaan sumberdaya larva. Berdasarkan kriteria penentuan nilai skor fitur biaya yang diperoleh dari pertimbangan tingkat kepentingan fitur biaya tersebut, dibuat skor tiap fitur biaya sebagaimana tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai skor pada tiap fitur biaya

No. Fitur Biaya Tingkat

kepentingan Nilai skor

1. 2. 3. 4. 5. PLTU PPN Jalur Kapal Wisata dan hotel Fishing Ground Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 17 9 5 3 1 4.2.3. BLM

Boundary Length Modifier(BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter untuk kawasan konservasi. Efek dari pengaturan BLM dapat terlihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan. Salah satu file output marxan yaitu output_sum yang memuat data tentang cost, planing units (luas area) dan boundary lenght (panjang batas tepi). Berikut merupakan rata-rata dari 21 hasil output marxan yang dicobakan dengan kisaran BLM dari 10 hingga 10.000 (Lampiran 2).


(47)

4

7


(48)

Tabel 8. Perbandingan BLM rata-rata tiap skenario

BLM Cost Panjang

Batas (km) Luas (km 2)

10 186636667 150403 21090

100 186623333 87959 21433

250 187053333 46843 21763

500 189633333 35323 21503

1000 199276667 31270 23318

5000 240573333 27160 21894

10000 251806667 27067 21883

Dari Tabel 8, terlihat bahwa hasil rata-rata dari 21 output marxan menghasilkan variasi dan kecendrungan yang berbeda pada tiap BLM-nya, yaitu peningkatan harga (cost) berbanding lurus dengan meningkatnya nilai BLM. Pada Nilai panjang batas dan luas, kecendrungan nilainya agak berbeda. Nilai panjang batas semakin menurun dengan meningkatnya nilai BLM. Pada nilai luas yang dihasilkan oleh 21 ouput marxan, luas semakin meningkat seiring bertambahnya nilai BLM, namun pada titik tertentu, nilai luas kembali mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan pada grafik (Gambar 18).

Gambar 18. Hubungan antara BLM dan Luas

21090 21433 21763 21503 23318 21894 21883 19500 20000 20500 21000 21500 22000 22500 23000 23500

10 100 250 500 1000 5000 10000

Lu a s (km 2) BLM


(49)

49

Berdasarkan grafik pada Gambar 18, terlihat bahwa terdapat peningkatan luas seiring meningkatnya nilai BLM, namun pada nilai BLM 1000 menjadi puncak peningkatan, setelah itu terlihat kembali penurunan luas pada nilai BLM selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pada BLM 1000 merupakan solusi yang mempunyai luas yang paling besar diantara BLM yang lain.

Gambar 19. Hubungan antara BLM dan panjang batas

Berbeda dengan nilai luas, panjang batas memberikan kecendrungan yang berbeda (Gambar 19). Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa terdapat penurunan nilai Panjang batas seiring meningkatnya nilai BLM. hal ini dikarenakan nilai BLM yang tinggi akan berimplikasi terhadap biaya yang tinggi, karena marxan menentukan solusi dengan biaya yang terendah, marxan akan mencari solusi dengan nilai panjang batas yang terkecil, karena solusi yang terfokus dan mengumpul mempunyai panjang batas yang kecil.

Nilai BLM yang digunakan dalam marxan adalah nilai optimal yang diperoleh berdasarkan hubungan antara Luas dan panjang batas tepi kawasan yang optimal, dari grafik hubungan antara BLM dan Panjang batas serta BLM dan Luas, terlihat bahwa BLM 1000 merupakan BLM optimal, karena pada perbandingan Luas, BLM 1000 merupakan BLM dengan solusi terluas yang dihasilkan, sedangkan pada

150403 87959 46843 35323 31270 27160 27067 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000

10 100 250 500 1000 5000 10000

P a n ja n g B a ta s (km ) BLM


(50)

perbandingan panjang batas, nilai BLM 1000 merupakan nilai dengan panjang batas yang rendah, disamping itu, dengan memperhatikan prinsip desain kawasan perlindungan yang efektif, BLM 1000 merupakan desain yang lebih efektif, karena BLM ini menghasilkan solusi yang luas dengan panjang batas yang kecil (Lampiran 4). Penentuan BLM optimal ini ditentukan untuk meningkatkan efektifitas perlindungan kawasan, karena kawasan perlindungan akan tidak efektif jika kawasan dengan panjang batas yang tinggi, sebab kawasan dengan panjang batas yang tinggi akan menghasilkan solusi yang menyebar pada seluruh bagian kawasan, hal ini menjadi tidak efisien keadaanya, karena semakin panjang batas kawasan, semakin besar biaya yang diperlukan bagi pengelolaan, hal ini juga akan berdampak terhadap penutupan peluang bagi kegiatan lain yang bermanfaat.

4.2.4. Wilayah konservasi

Menentukan target wilayah konservasi merupakan hal yang sangat penting dalam sistematis perencanaan konservasi, dan sejauh mana sistem konservasi akan tergantung sangat pada titik referensi ini. Penetapan 3 skenario ini dimaksud untuk mencari solusi ruang optimum berdasarkan observasi lapang dan analisis simulasi target konservasi dengan meragamkan fitur konservasi dan fitur biaya yang sudah ditentukan pada tiap skenario. Karena BLM optimal terdapat pada BLM 1000, maka desain skenario tiap kawasan konservasi menggunakan BLM 1000 agar ruang yang dihasilkan seoptimal mungkin. Dari 3 hasil skenario tersebut, maka 3 macam desain sudah dapat dihasilkan, antara lain adalah sebagai berikut :

Skenario 1

Skenario 1 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara lain adalah Anguilla dengan target 10%, Congridae dengan target 10%, Gobiidae dengan target 10%, Trichiuridae dengan target 10%, nursery ground dengan target 10%, feeding ground tepi dengan target 8% dan feeding ground tengah dengan target 4%. Sedangkan fitur biaya tersebut antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan Fishing Grounddengan nilai 1.


(51)

51

Berdasrkan hasil dari skenario 1 (Gambar 20), terlihat bahwa rekomendasi zona konservasi terpilih terpusat, yaitu diantara muara Sungai Citepus dan muara Sungai Sukawayana dengan perbandingan luas sebesar 3% dari luas total perairan Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 10.802 km2 dari total luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya target fitur konservasi yang ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk dilindungi (lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada kawasan konservasi menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona inti, karena mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

Skenario 2

Skenario 2 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara lain adalah Anguilla dengan target 20%, Congridae dengan target 20%, Gobiidae dengan target 13%, Trichiuridae dengan target 20%, nursery ground dengan target 20%, feeding ground tepi dengan target 10% dan feeding ground tengah dengan target 7%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan Fishing Grounddengan nilai 1.

Berdasrkan hasil dari skenario 2 (gambar 21), terlihat bahwa rekomendasi zona konservasi terpilih di satu lokasi terkumpul yang berada memanjang diantara muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar 7% dari luas total perairan Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi yang dihasilkan sebesar 29.238 km2 dari total luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya target fitur konservasi yang telah ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk dilindungi (Lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat di zona rekomendasi kawasan konservasi menunjukkan kawasan tersebut direkomendasikan sebagai zona inti, karena kawasan tersebut mempunyai frekuensi sering terpilih dibandingkan planing unit yang lain.


(52)

2 Gambar 20. Kawasan konservasi pada skenario 1


(53)

5

3


(54)

Skenario 3

Skenario 3 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi antara lain adalah Anguilla dengan target 40%, Congridae dengan target 40%, Gobiidae dengan target 25%, Trichiuridae dengan target 40%, nursery ground dengan target 40%, feeding ground tepi dengan target 20% dan feeding ground tengah dengan target 13%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan Fishing Grounddengan nilai 1.

Berdasrkan hasil dari skenario 3 (gambar 22), terlihat bahwa rekomendasi zona konservasi terpilih di satu lokasi mengumpul yang berada memanjang diantara muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar 7% dari luas total. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 29.914 km2dari total luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya target fitur konservasi yang telah ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk dilindungi (Lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada zona rekomendasi kawasan konservasi menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona inti, karena mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

4.3. Pembahasan

Status perairan di pesisir Teluk Palabuhanratu masih merupakan kawasan yang bisa dimanfaatkan (dapat diambil biotanya). Namun, berbeda jika pemanfaatan tersebut dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan kelestarian yang akan mengancam keberadaan sumberdaya tersebut. kondisi ini akan berdampak buruk terhadap stok dan kelestarian sumberdaya ikan di Palabuhanratu, oleh karena itu perlu adanya pembatasan wilayah larang ambil (kawasan konservasi) yang berguna sebagai cadangan sumberdaya perairan agar sumberdaya perairan di Teluk Palabuhanratu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.


(55)

5

5


(56)

Hasil dari ketiga skenario rancangan kawasan konservasi tersebut mempunyai desain dan hasil yang berbeda-beda, dan setiap desain mempunyai karakteristik yang berbeda beda pula, sehingga dalam penentuan kawasan konservasi perlu disesuaikan dengan lingkungan agar dapat diterapkan untuk pengelolaan, karena wilayah konservasi perlu didasari banyak pertimbangan termasuk bentuk, ukuran wilayah larang ambil tersebut, dan jejaring konektivitas antar wilayah konservasi (Robert dan Hawkins 2000). Semakin luas area konservasi, maka semakin banyak populasi spesies yang terlindungi, namun wilayah konservasi yang luas akan menimbulkan peluang konflik dalam pengelolaannya karena masyarakat nelayan akan berpandangan bahwa daerah pemanfaatan penangkapan sudah di monopoli oleh pemerintah. Gambar 23 menampilkan perbandingan luas daerah yang terpilih pada tiap skenario.

Gambar 23. Perbandingan luas zona kawasan konservasi tiap skenario

Berdasarkan luas, skenario 3 merupakan solusi daerah terpilih terbesar dibandingkan dengan skenario yang lain, yaitu dengan luas 29.914 km2, sedangkan luas terpilih yang paling kecil terdapat pada skenario 1 dengan luas 10.801 km2.

10801

29237 29914

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000

skenario

Lu

a

s

(km

2)

skenario 1 skenario 2 skenario 3


(57)

57

Semakin luas wilayah kawasan konservasi semakin banyak sumberdaya yang terlindungi, namun semakin mahal biaya pengelolaannya.

Hasil dari ketiga skenario wilayah yang terpilih, menunjukkan wilayah yang layak untuk dikonservasi, hal ini dilihat dari bentuk wilayah yang terpilih, ketiga skenario tersebut mempunyai bentuk yang cenderung hampir sama, yaitu mengumpul di lokasi muara Sungai Citiis dan Citepus. Muara Sungai Citepus terpilih karena lokasi tersebut terdapat sumberdaya yang tidak ditemukan di lokasi Citiis, sehingga kawasan konservasi terpisah pada lokasi Citepus saja. Bentuk yang mengumpul merupakan bentuk yang ideal untuk desain kawasan konservasi, karena dengan bentuk yang mengumpul, akan memudahkan pengelolaan dan biaya pun menjadi rendah. Selain dari bentuk, lokasi ketiga skenario yang terpilih didukung oleh kedalaman perairan yang < 200 meter, karena kawasan konservasi akan efektif jika kedalaman perairan tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous 2006 in Marpaung 2011). Jika dilihat dari kondisi arus di Teluk Palabuhanratu, lokasi Citiis yang merupakan lokasi terpilih menjadi area kawasan konservasi yang sangat tepat, yaitu kecepatan arus yang berkisar antara 9,38 – 29,83 cm/det pada saat peralihan antara pasang dan surut terjadi, arah arus yang ada pada kawasan Ciemas dan Palabuhanratu mengarah pada kawasan Citiis dengan kecepatan 0,6 m/ det (JODC) (Hartami 2008) karena arus menentukan kondisi keberadaan larva yang berasal dari pemijahan induk dari perairan laut dalam yang terletak di tengah laut kemudian terdorong arus menuju pesisir.

Penentuan kawasan konservasi perlu ditentukan berdasarkan kajian ekologi dan sosial. Dari ketiga skenario terlihat bahwa peningkatan nilai target dari 10% menjadi 40% memberi pengaruh terhadap peningkatan luas kawasan konservasi yang terpilh. Semakin besar target yang ditentukan semakin luas kawasan yang terpilih, semakin luas kawasan semakin bagus secara ekologi, karena semakin banyak sumberdaya yang dapat dilindungi. Akan tetapi semakin luas kawasan konservasi akan menyebabkan biaya pengelolaan menjadi lebih tinggi. Disamping itu, semakin luas suatu kawasan konservasi, semakin berpeluang terjadinya konflik antara pemanfaatan dan pengelolah konservasi. Penentuan kawasan konservasi juga perlu memperhatikan kondisi pemanfatan di lingkungan tersebut. Kawasan dengan


(58)

lokasi yang sudah termanfaatkan akan berpotensi adanya bentrok antara upaya perlindungan dan pemanfaatan. Hal ini terlihat dari persepsi masyarakat yang minim akan pengtahuan tentang kawasan konservasi tersebut, sehingga hal ini akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan.


(59)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari ketiga rancangan tiap skenario, variabel yang digunakan dalam menentukan kawasan konservasi antara lain adalah sumberdaya larva yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, Gobiidae, serta habitat berupa

feeding grounddan nursery ground. Berdasarkan variabel yang dipilih, dihasilkan tiga

rancangan dari hasil tiga skenario. Dari Ketiga rancangan kawasan konservasi yang dihasilkan terlihat adanya kecenderungan bahwa muara Sungai Citepus selalu terpilih pada setiap rancangan. Hal ini membuktikan bahwa lokasi muara Sungai Citepus merupakan daerah yang perlu dikonservasi.

6.2. Saran

1. Perlu adanya penelitian lanjutan di lokasi Teluk Palabuhanratu dengan fitur konservasi selain sumberdaya larva, sehingga sumberdaya lain yang berkaitan akan ikut terlindungi.

2. Perlu adanya sosialisasi tentang pengetahuan konservasi ke semua pihak agar dapat mempertimbangkan zonasi hasil penelitian ini dalam pengelolaan kawasan konservasi.


(60)

PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

BERDASARKAN POTENSI LARVA IKAN DI TELUK

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

MOHAMMAD LUTFI ABRORI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(1)

71

Lampiran 4. (lanjutan) 10000


(2)

72

Lampiran 5. Target Konservasi Yang Tercapai

Skenario 1.

Conservation

Feature Feature Name Target

Amount Held Occurrence Target Occurrences Held Separation Target Separation Achieved Target Met

1 ANGUILLA 9100000 38000000 0 38 0 0 yes

2 CONGRIDAE 0.200000 1000000 0 1 0 0 yes

3 LAYUR 7100000 44000000 0 44 0 0 yes

4 GOBIIDAE 100200000 101000000 0 101 0 0 yes

5 NG 1000000 3000000 0 3 0 0 yes

6 FG_TEPI 57280000 65000000 0 65 0 0 yes

7 FG_TENGAH 44160000 58000000 0 58 0 0 yes

Skenario 2.

Conservation

Feature Feature Name Target

Amount Held Occurrence Target Occurrences Held Separation Target Separation Achieved Target Met

1 ANGUILLA 36.400.000 37.000.000 0 37 0 0 yes

2 CONGRIDAE 0.800000 1.000.000 0 1 0 0 yes

3 LAYUR 28.400.000 40.000.000 0 40 0 0 yes

4 GOBIIDAE 250.500.000 251.000.000 0 251 0 0 yes

5 NG 4.000.000 4.000.000 0 4 0 0 yes

6 FG_TEPI 143.200.000 145.000.000 0 145 0 0 yes


(3)

73

Lampiran 5. (lanjutan) Skenario 3.

Conservation

Feature Feature Name Target

Amount Held

Occurrence Target

Occurrences Held

Separation Target

Separation Achieved

Target Met

1 ANGUILLA 36400000 37000000 0 37 0 0 yes

2 CONGRIDAE 0.800000 1000000 0 1 0 0 yes

3 LAYUR 28400000 40000000 0 40 0 0 yes

4 GOBIIDAE 250500000 251000000 0 251 0 0 yes

5 NG 4000000 4000000 0 4 0 0 yes

6 FG_TEPI 143200000 145000000 0 145 0 0 yes


(4)

74

Lampiran 6. Dokumentasi kondisi lapang pada saat penelitian berlangsung

Muara sungai cimaja Muara sungai cihaur

Muara sungai citiis Muara sungai cipawenang


(5)

75

Lampiran 7. Gambar larva ikan yang terpilih sebagai fitur konservasi

Larva Dewasa

Anguilla

Lepturacanthus (trichiuridae)

Congridae


(6)

RINGKASAN

Mohammmad Lutfi Abrori. C24070037. Perancangan Kawasan Konservasi Laut Daerah Berdasarkan Potensi Larva Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir, dan M. Mukhlis Kamal.

Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan tempat asuhan anak ikan (nursery ground). Potensi larva ikan sangat tinggi sehingga sering menjadi tempat penangkapan larva secara intensif. Larva ikan memegang peranan penting terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di laut, Oleh karena itu, perlu adanya upaya pengelolaan penangkapan larva. Salah satu konsep pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan konservasi, dimana aspek pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek pelestarian. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabel sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan upaya perlindungan di Perairan Teluk Palabuhanratu, menentukan daerah konservasi dan memberikan alternatif ruang kawasan konservasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis dan sosial dengan program MARXAN, serta data (primer dan sekunder) sumberdaya larva di Teluk Palabuhanratu. Data dibagi menjadi fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi diantaranya yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae, kemudian habitat berupaFeeding ground danNursery ground, sedangkan fitur biaya tersebut antara lain yaitu PLTU, PPN, Jalur kapal, Fishing ground serta Hotel dan Wisata. Lokasi penelitian ini yaitu di muara Sungai Cimandiri, Cimaja, Sukawayana, Citepus dan Citiis.

Penentuan kawasan konservasi ini dibuat menjadi 3 skenario konservasi dengan varisi target yang berbeda dengan tujuan untuk memberikan beberapa opsi zona kawasan. Variasi target yang digunakan pada tiap skenario antara lain 10%, 30% dan 40%. Guna merancang desain kawasan konservasi yang efektif dan mengumpul, tiap skenario diuji dengan 7 macam BLM untuk menentukan yang paling optimal, antara 10 hingga 10000.

BLM optimum yang digunakan yaitu BLM 1000 karena sudah menghasilkan desain yang efektif dan mengumpul. Berdasarkan hasil, rancangan pada skenario 1 menghasilkan luas 10.802 km2 dengan perbandingan sebesar 3% dari total perairan Palabuhanratu yang terletak pada skitar muara Sungai Citepus dan Sukawayana, rancangan pada skenario 2 menghasilkan luas 29.238 km2 dengan perbandingan sebesar 7% dari total perairan Palabuhanratu yang terletak memanjang diantara muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis, dan rancangan pada skenario 3 menghasilkan luas 29.914 km2 dengan perbandingan sebesar 7% dari total perairan Palabuhanratu yang terletak memanjang pada muara Sungai Citepus hingga Citiis. Secara keseluruhan, lokasi yang selalu terpilih menjadi kawasan konservasi terletak pada sekitar muara Sungai Citepus. Ketiga skenario tersebut layak dijadikan rekomendasi untuk perencanaan Kawasan Konservasi di Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat.