Pemanfaatan Bakteri Probiotik Untuk Menekan Infeksi Colletotrichum Acutatum Dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai (Capsicum Annuum L) Selama Penyimpanan

PEMANFAATAN BAKTERI PROBIOTIK UNTUK
MENEKAN INFEKSI Colletotrichum acutatum DAN
MENINGKATKAN MUTU BENIH CABAI
(Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN

ANNA TEFA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Bakteri
Probiotik untuk Menekan Infeksi Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan
Mutu Benih Cabai (Capsicum annuum L.) Selama Penyimpanan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015

Anna Tefa
NIM A251120061

RINGKASAN
ANNA TEFA. Pemanfaatan Bakteri Probiotik untuk Menekan Infeksi
Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai (Capsicum
annuum L.) Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh ENY WIDAJATI,
MUHAMAD SYUKUR dan GIYANTO.
Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah salah satu tanaman hortikultura
yang mempunyai peranan penting di Indonesia. Salah satu penyakit yang
menyerang pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan
oleh cendawan genus Colletotrichum yaitu species Colletotrichum acutatum.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bakteri yang bersifat antagonis
terhadap cendawan C. acutatum, meningkatkan mutu benih cabai melalui aplikasi
coating benih dan mengetahui kemampuan bakteri probiotik selama penyimpanan

dan pembibitan untuk mengendalikan C. acutatum.
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama yaitu uji
antagonis untuk memperoleh bakteri probiotik yang bersifat antagonis terhadap C.
acutatum dengan metode biakan ganda (dual cultura). Pengujian percobaan
pertama dilakukan di Laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) satu faktor. Percobaan kedua yaitu efektivitas seed coating menggunakan
bakteri probiotik terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai.
Pengujian percobaan kedua dilakukan di laboratorium dengan metode uji di atas
kertas (UDK) dan pengujian di Rumah Kaca. Rancangan pada percobaan kedua
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor
pertama adalah perlakuan coating benih yang terdiri atas enam taraf yaitu kontrol,
coating benih tanpa bakteri, coating benih dengan bakteri Bacillus sp., coating
benih dengan Pseudomonas sp., coating benih dengan Actinomycetes sp., dan
coating benih dengan fungisida. Faktor kedua adalah periode simpan yang terdiri
atas enam taraf yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan. Setiap periode simpan dilakukan
pengujian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga bakteri yang bersifat
antagonis terhadap C. acutatum dilihat dari persentase penghambatan yang paling
tinggi yaitu Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8%, Bacillus sp. (B48) 56.7% dan
Pseudomonas sp. (P12) 46.7%. Aplikasi bakteri probiotik meningkatkan viabilitas

dan kesehatan benih cabai pada periode simpan 5 bulan, pada tolok ukur potensi
tumbuh maksimum 80-84%, daya berkecambah (DB) 76-78.7%, benih terinfeksi
pada coating Actinomycetes sp. 2.67% dan Bacillus sp. 6.7% serta meningkatkan
jumlah daun pada bibit cabai. Bacillus sp. mengandung indole acetic acid (IAA)
91.8 ppm dan giberelin (GA3) 103.2 ppm. Actinomycetes sp. mengandung 89.6
ppm IAA dan GA3 92.5 ppm, dan Pseudomonas sp. mengandung 68.9 ppm IAA
dan GA3 69.2 ppm.
Kata kunci: Actinomycetes sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., coating benih

SUMMARY
ANNA TEFA. Use of Probiotic Bacteria to Suppress Colletotrichum
acutatum Infections and Improve Chilli (Capsicum annuum L.) Seeds Quality
During Storage. Supervised by ENY WIDAJATI, MUHAMAD SYUKUR and
GIYANTO
Chilli (Capsicum annuum L.) is one of important horticultural plant in
Indonesia. One of diseases attacking chilli is anthracnose disease, caused by fungi
from Colletotrichum genus namely Colletotrichum acutatum species. This
research aimed to obtain antagonistic bacteria against C. acutatum, increase chilli
seed quality through seed coating application and determine the ability of the
probiotic bacteria during storage and nursery to control C. acutatum.

This research consisted of two experiment. The first experiment was
antagonistic test to obtain probiotic bacteria against C. acutatum using dualculture method. Testing of the first experiment was conducted in laboratory using
single-factor completely randomize design. The second experiment was the
efficacy of seed coating using probiotic on the potential viability, vigor and the
health of chilli seed. Testing for the second experiment was conducted in
Laboratory using top of paper method and testing in Green House. Design for the
second experiment was factorial completely randomized design with two factor.
The first factor was seed coating treatment consisting of six levels, i.e. control,
seed coating without bacteria, seed coating with Bacillus sp. seed coating with
Pseudomonas sp. seed coating with Actinomycetes sp. and seed coating with
fungicide. The second factor was storage period consisting of six level, i.e. 0, 1, 2,
3, 4 and 5 months. Testing was carried out for each storage period.
The result revealed that there were three antagonistic bacteria isolates
against C. acutatum, seen from the highest percentage of inhibition, i.e. isolates of
Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8%, Bacillus sp. (B48) 56.7% and Pseudomonas sp.
(P12) 46.7%. Application of probiotic bacteria increased viability and the health
of chilli seed for storage period of 5 months, seen from maximum growth
potential 80-84%, germination capacity 76-78.7%, infected seeds in coating of
Actinomycetes sp. 2.6% and Bacillus sp. 6.7% in addition to increase of leaves
chilli seedling. Bacillus sp. contained 91.8 ppm indole acetic acid (IAA) and

103.2 ppm giberelins (GA3), Actinomycetes sp. contained 89.6 ppm IAA and 92.5
ppm giberelin and Pseudomonas sp. contained 68.9 ppm IAA and 69.2 ppm
giberelin.
Keywords: Actinomycetes sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., seed coating

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMANFAATAN BAKTERI PROBIOTIK UNTUK
MENEKAN INFEKSI Colletotrichum acutatum DAN
MENINGKATKAN MUTU BENIH CABAI
(Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN


ANNA TEFA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala Karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul
tesis ini adalah Pemanfaatan Bakteri Probiotik untuk Menekan Infeksi
Colletotrichum acutatum dan Meningkatkan Mutu Benih Cabai

(Capsicum
annuum L.) Selama Penyimpanan. Tesis ini menyumbang pengetahuan yang besar
bagi saya khususnya dalam meningkatkan kesehatan benih cabai menggunakan
bakteri probiotik.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Ibu Dr Ir Eny Widajati, MS,
Bapak Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi dan Bapak Dr Ir Giyanto, MSi yang
telah banyak membantu dan memberi saran kepada penulis. Penulis juga
menyampaikan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang telah penulis terima
selama ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Timor
yang telah membantu penulis dalam memberikan dana penelitian. Ungkapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Orang Tua, Suami serta seluruh
keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat
untuk kemajuan bidang pertanian di Indonesia.

Bogor, Maret 2015

Anna Tefa

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA


1
2
3

Colletotrichum acutatum Penyebab Penyakit Antraknosa
Bakteri Probiotik
Penyimpanan dan Coating Benih
3 METODE

3
4
5
6

Waktu dan Tempat
Sumber Benih
Metode Percobaan
Percobaan 1
Pelaksanaan Percobaan
Rancangan Percobaan

Percobaan 2
Pelaksanaan Percobaan
Rancangan Percobaan
Peubah Pengamatan

6
6
6
6
7
8
8
8
9
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

14


5 SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

28
28
29

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap
PTM, DB dan KCT pada benih cabai
2 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap bobot kering kecambah
normal (BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (HT) (%)
3 Pengaruh perlakuan coating terhadap bobot kering kecambah normal
(BKKN) (g) dan hipokotil terinfeksi (%)
4 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap
benih terinfeksi (%) dan populasi cendawan (cfu/g)
5 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap
kecepatan tumbuh (%KN/etmal) pada pengamatan di rumah kaca
6 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap tinggi tanaman (cm) umur
4 minggu setelah semai
7 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap
jumlah daun (helai) umur 4 minggu setelah semai
8 Pengaruh perlakuan coating terhadap hipokotil terinfeksi (%) di rumah
kaca
9 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap
kejadian serangan antraknosa (%)
10 Pengaruh perlakuan periode simpan terhadap rebah bibit (%)

1

18
20
20
21
23
24
25
25
26
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8

Skema uji antagonis
Bagan alir penelitian
Persentase uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum
Uji antagonis terhadap C. acutatum yang ditandai adanya zona hambat
(tanda panah) (a) dan hifa C. acutatum yang mengalami lisis (tanda
panah) pembesaran 100x (b)
Benih cabai sebelum dicoating (a) dan benih cabai yang dicoating
dengan bakteri probiotik (b)
Hasil analisis kandungan IAA dan GA3 pada bakteri probiotik
Benih terinfeksi C. acutatum (a) dan konidia C. acutatum pembesaran
100x (b)
Hipokotil terinfeksi C. acutatum (a), rebah kecambah (b) dan mati
pucuk (c)

7
13
14

15
17
19
22
26

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Deskripsi Cabai Varietas Seloka IPB
Komposisi media TSA
Komposisi media King's B
Komposisi media YCED
Komposisi media PDA
Hasil Analisis Media Tanam di Rumah Kaca

34
36
36
36
36
36

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan produksi tanaman di lapangan salah satunya ditentukan oleh
mutu kesehatan atau patologis benih. Penggunaan benih bermutu rendah dan
terinfeksi penyakit merupakan penyebab rendahnya produktivitas tanaman cabai
(Capsicum annuum L.). Status kesehatan benih belum merupakan prioritas dalam
manajemen perbenihan nasional. Penyakit terbawa benih atau tular benih (seed
borne diseases) merupakan masalah utama dalam pertanaman karena dapat
menurunkan produksi secara nyata (Siregar et al.2007).
Penyakit antraknosa merupakan penyakit terbawa benih dan dapat
berkembang di penyimpanan. Serangan antraknosa dapat menyebabkan kerugian
hasil hingga mencapai 75% (Bernadiknus & Wiranta 2006), oleh karena itu
penyakit antraknosa dijadikan salah satu kriteria standar mutu benih cabai di
Indonesia. Penyakit ini menyerang pertanaman di daerah tropis dan subtropis.
Ivanovic (2007) mengatakan, penyakit antraknosa cepat berkembang dan
menimbulkan kerugian yang parah terutama kondisi cuaca yang panas dan hujan
yang berkepanjangan. Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan genus
Colletotrichum. Menurut AVRDC (2004), Colletotrichum terdiri dari empat
species utama yaitu Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum capsici,
Colletotrichum acutatum dan Colletotrichum coccodes.
Di Indonesia, diketahui bahwa C. acutatum banyak menyerang tanaman
cabai. Syukur et al. (2007) melakukan isolasi 13 isolat Colletotrichum yang
dikoleksi dari Bogor, Brebes, Bandung, Pasir Sarongge, Payakumbuh dan
Mojokerto. Hasil isolasi menunjukkan bahwa enam isolat yang berasal dari tujuh
daerah tersebut merupakan C. acutatum. Hasil penelitian Syukur et al. (2013)
tentang eksplorasi cendawan penyebab antraknosa di Pulau Sumatera, Jawa dan
Papua, sebanyak 42 isolat dari 67 isolat adalah C. capsici dan 25 isolat adalah
C. acutatum/C. gloeosporioides.
Penggunaan agens hayati berupa aplikasi bakteri probiotik merupakan salah
satu cara yang ditempuh untuk mengendalikan penyakit antraknosa. Menurut
FAO & WHO (2001), probiotik adalah mikroorganisme hidup yang ketika
digunakan dalam jumlah yang cukup dapat memberi kesehatan/manfaat untuk
inangnya.
Bakteri probiotik memiliki kemampuan antagonis tinggi terhadap patogen,
serta memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak berdampak negatif pada
lingkungan, mencegah ledakan organisme pengganggu tanaman sekunder,
menghasilkan produk yang bebas residu senyawa kimia, aman bagi kesehatan
manusia, terdapat disekitar pertanaman sehingga mencegah ketergantungan petani
pada pestisida kimiawi sintesis serta dapat menurunkan biaya produksi.
Kelemahan penggunaan agens hayati adalah reaksi efikasi terhadap jasad sasaran
lebih lambat dan daya simpan produk lebih singkat dibandingkan dengan pestisida
kimiawi sintesis (Hanudin & Marwoto 2012).
Bakteri probiotik dapat bersaing dengan patogen untuk nutrisi, menghambat
multiplikasi patogen dengan mengeluarkan antibiotik dan mengurangi populasi
patogen melalui hiperparasitisme (Zivkovic et al. 2010). Kelompok bakteri

2
probiotik yang digunakan sebagai agens pengendali hayati antara lain Bacillus sp.,
Pseudomonas sp., dan Actinomycetes sp. Menurut Noviana & Raharjo (2009),
Bacillus sp. telah terbukti dapat melarutkan fosfat, yang berperan dalam
pertumbuhan tanaman, sehingga bakteri ini dapat dimanfaatkan sebagai agen yang
diinokulasikan dalam pupuk hayati. Actinomycetes diketahui menghasilkan
antibiotik dan enzim kitinase yang dapat merusak dinding sel cendawan yang
mengandung kitin (Mujoko et al. 2005). Sallytha et al. (2006) melakukan
pengujian antibiosis terhadap Erwinia carotovora. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa isolat Actinomycetes memiliki sifat antagonis, ditunjukkan dengan
terbentuknya zona penghambatan meskipun terdapat variasi diameter
penghambatan pada masing-masing isolat. Hasil penelitian Handoko et al. (2014),
Bacillus sp. (UB-ABL1) dan Bacillus subtilis (UB-ABS1) efektif menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. secara in vitro. Hasil penelitian Gunawan (2006),
tentang penggunaan mikroba antagonis menunjukkan bahwa biopestisida
Pseudomonas fluorescens PFMBO 001 50 WP dan Bacillus subtilis BSBE 001 50
WP dapat digunakan sebagai fungisida biologis untuk mengendalikan penyakit
antraknosa pada cabai merah.
Berbagai metode pengendalian penyakit tanaman sangat bervariasi dari satu
penyakit ke penyakit lainnya, tergantung dari jenis patogen, jenis inang dan
interaksi antara keduanya. Berdasarkan keadaan ini, uji antagonis bakteri
probiotik perlu dilakukan dalam rangka menemukan agens hayati baru yang
berpotensi sebagai pengendali hayati penyakit tanaman yang ramah lingkungan.
Bakteri probiotik yang potensial selanjutnya diaplikasikan melalui proses coating
benih untuk memperbaiki mutu dan mengurangi penyebaran penyakit antraknosa
melalui benih selama penyimpanan.

Tujuan
1. Menguji isolat bakteri probiotik yang bersifat antagonis terhadap
C. acutatum;
2. Meningkatkan mutu benih cabai melalui proses coating benih;
3. Mengetahui kemampuan bakteri probiotik selama penyimpanan dan
pembibitan untuk mengendalikan C. acutatum.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Colletotrichum acutatum Penyebab Penyakit Antraknosa
Menurut Guerber & Correl 2001, cendawan C. acutatum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
Phylum
Subphylum
Class
Order
Family
Genus
Species

: Fungi
: Ascomycota
: Pezizomycotina
: Sordariomycetes
: Glomerellales
: Glomerellaceae
: Colletotrichum
: C. acutatum

Colletotrichum acutatum adalah patogen utama tanaman buah yang
menyebabkan kerugian ekonomi besar terhadap buah-buahan pada iklim sedang,
tropis, dan sub-tropis di seluruh dunia. Colletotrichum acutatum dapat merusak
hampir semua bagian tanaman, mulai dari akar, daun, bunga, ranting, buah dan
menyebabkan berbagai penyakit seperti busuk akar, mati pucuk, defoliasi, hawar
bunga, dan busuk buah. Ada dua jenis serangan Colletotrichum yang berbeda
yang menyerang buah yaitu yang menyebabkan penyakit pada buah yang belum
matang dan masih berkembang di kebun (sebelum panen) dan yang merusak buah
matang pada saat panen dan selama penyimpanan (pascapanen). Buah yang
dirusak oleh spesies Colletotrichum pasca panen sering tampak benar-benar sehat
ketika dipanen, dengan gejala penyakit yang hanya muncul ketika dalam masa
penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan banyak spesies Colletotrichum
untuk menyebabkan infeksi laten atau infeksi pasif dimana cendawan menginfeksi
buah belum matang di kebunnya dan menjadi dorman sampai buah masak,
kemudian cendawan tersebut melanjutkan pertumbuhannya untuk menyebabkan
penyakit pada buah tersebut. Di lapangan C. acutatum disebar oleh percikan air
hujan. Konidia sekunder dihasilkan dari perkecambahan konidia primer,
bentuknya lebih kecil dan bervariasi. Proses penetrasi patogen khususnya
cendawan pada benih dapat melalui luka-luka atau lubang-lubang alami maupun
penetrasi langsung (direct penetration) ke permukaan kulit melalui pembentukan
suatu badan khusus yang disebut appresoria (Wharton & Uribeondo 2004).
Ciri-ciri morfologi C. acutatum adalah konidia berbentuk silindris dengan
ujung runcing, miselium berwarna putih hingga abu-abu. Saat dibiakkan pada
media potato dextrose agar, warna koloni jika dibalik adalah oranye hingga
merah muda. Colletotrichum acutatum membentuk pigmen sederhana tetapi
sedikit atau bahkan ada yang tidak memiliki seta, memilik laju pertumbuhan yang
lambat, temperatur pertumbuhan optimum 25 0C serta sensitivitas terhadap
benomil (Damm et al. 2012).

4
Bakteri Probiotik
Bakteri probiotik adalah bakteri baik yang menghasilkan efek kesehatan
pada organisme lain atau inangnya. Bakteri probiotik menghasilkan metabolit
yaitu asam organik, hidrogen peroksida, karbohidrat dan senyawa yang bersifat
antimikroba terhadap patogen. Bakteri ini mampu mengikat senyawa racun hasil
metabolisme protein dan lemak serta hasil pemecahan enzim tertentu. Probiotik
juga merupakan bakteri hidup yang dapat diberikan sebagai suplemen makanan.
Pemberian probiotik dapat berpengaruh menguntungkan bagi kesehatan karena
probiotik dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek sehingga menekan
pertumbuhan patogen serta memperbaiki keseimbangan mikroba (Irianto 2003).
Menurut Hatmanti (2000), bakteri merupakan organisme yang mempunyai
penyebaran terluas di alam. Hal tersebut karena bakteri mampu hidup pada
berbagai habitat dan mampu menguraikan senyawa-senyawa yang lebih sederhana
untuk memperoleh zat-zat tertentu yang dibutuhkan dalam rangka
mempertahankan hidupnya. Selain itu bakteri merupakan organisme terpenting
yang berperan dalam proses penguraian dan dekomposisi unsur hara. Kelompok
bakteri yang termasuk probiotik antara lain Bacillus sp. Pseudomonas sp. dan
Actinomycetes sp.
Bacillus sp.
Bacillus sp. ialah kelompok bakteri yang umum ditemukan di berbagai
lingkungan ekologi, baik di tanah, air, maupun udara. Bakteri ini merupakan
bakteri gram positif, dapat membentuk endospora yang berbentuk oval di bagian
sentral sel. Spesies Bacillus sangat cocok digunakan karena mudah ditumbuhkan,
tidak memerlukan substrat yang mahal, kemampuan Bacillus untuk bertahan
hidup pada temperatur tinggi dan tidak adanya hasil samping metabolik (Sulistiani
2009).
Hasil penelitian Arwiyanto et al. (2007) tentang aktivitas Bacillus spp.
sebagai agensia hayati penyakit lincat pada tembakau Temanggung menunjukkan
bahwa tiga isolat Bacillus spp. yaitu Ba-4, Ba-22, dan Ba-24 mampu menghambat
tiga isolat Ralstonia Solanacearum yang diuji. Penelitian Benny et al. (2013)
menunjukkan bahwa dosis biofungisida Bacillus sp. (40 ml Bacillus sp. dalam 1
liter air/polibag) efektif menekan perkembangan jamur akar putih pada tanaman
karet di pembibitan yaitu penurunan sampai pada intensitas serangan 20.8%. Hasil
penelitian Nurjanani (2011) tentang pengendalian penyakit layu bakteri pada
tanaman tomat menunjukkan bahwa dalam menekan intensitas penyakit layu
bakteri, aplikasi Bacillus subtilis cenderung lebih baik dibanding Pseudomonas
fluorescens GI-19 dan Trichoderma Viride serta nyata lebih baik daripada
streptomisin sulfat 20%.
Pseudomonas sp.
Pseudomonas sp. mampu menghasilkan hormon pertumbuhan seperti indol
asetic acid (IAA), mampu melarutkan fosfat dan kalium. Pseudomonas sp.
mampu menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa antibiosis untuk menghambat
pertumbuhan suatu organisme patogen. Hasil penelitian Nurhayati et al. (2012)
menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens asal tanah dan akar tanaman
jagung sehat merupakan isolat antagonis yang paling baik menekan pertumbuhan

5
dan perkembangan Fusarium oxysporum patogen penyakit layu pada pisang. Hasil
penelitian Baharuddin et al. (2005), penggunaan Pseudomonas spp. kelompok
fluorescens dan “Effective Microorganisme 4” dapat menekan intensitas serangan
bakteri layu R. Solanacearum serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman .
Actinomycetes sp.
Actinomycetes sp. menghasilkan enzim kitinase dan glukanase yang
menyebabkan dinding sel cendawan tidak dapat tumbuh. Ambarwati et al. (2013)
mengisolasi 17 isolat Actinomycetes sp., delapan isolat diantaranya mampu
menghasilkan zat antibakteri, dan satu isolat diantara delapan isolat tersebut
mampu menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji yaitu NRPR 13 yang
menghambat Salmonella typhosa dengan diammeter daerah hambatan 14 mm dan
Staphylococcus aureus 12 mm dan berdasarkan ciri koloni dan hasil pewarnaan
gram, isolat Actinomycetes menunjukkan morfologi batang bercabang, warna
ungu dan termasuk bakteri gram positif. Actinomycetes sp. merupakan anggota
bakteri penghasil zat antimikrobial terbesar yaitu 85% dan hampir 2/3 anggotanya
diketahui memproduksi antibiotik di dalam tanah. Nurkanto et al. (2012) berhasil
melakukan penapisan aktivitas antimikroba dari Actinomycetes sp. yang diisolasi
dari Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan beberapa
ekstrak Actinomycetes sp. memiliki aktivitas anti bakteri gram negatif 1.5%, anti
bakteri gram positif 17%, dan anti fungi 17%.
Penyimpanan dan Coating Benih
Penyimpanan benih dilakukan terhadap benih-benih yang tidak langsung
digunakan setelah diproduksi dengan modifikasi ruang simpan sedemikian rupa
agar benih bisa diperlambat kemundurannya. Selama penyimpanan, benih akan
mengalami kemunduran. Besarnya laju kemunduran benih untuk setiap jenis
benih berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Justice & Bass
(2002) proses oksidasi yang terjadi selama penyimpanan dapat memutuskan
ikatan rangkap asam lemak tak jenuh sehingga menghasilkan radikal-radikal
bebas yang dapat bereaksi dengan lipida lainnya sehingga menyebabkan rusaknya
struktur membran sel.
Pelapisan benih dengan polimer (coating) merupakan salah satu praperlakuan penyimpanan yang dapat digunakan baik secara tunggal atau dalam
kombinasi dengan pestisida lainnya untuk melindungi benih terhadap serangan
hama dan penyakit. Coating benih merupakan pelapisan benih menggunakan
material tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
perkecambahan benih tanpa merubah bentuk dasar benih tersebut. Tujuan dari
pelapisan ini adalah untuk mengaplikasikan manfaat dari suatu zat terhadap benih
seperti mikroba antagonis, insektisida, fungisida, hara mikro dan komponen
lainnya yang dapat membantu mengoptimalkan perkecambahan benih disemua
kondisi lingkungan. Coating benih merupakan salah satu pendekatan yang paling
ekonomis untuk meningkatkan kinerja benih (Copeland & Mc Donald 2001).
Hasil penelitian Setiyowati et al. (2007), perlakuan coating dengan benomil
2.5 g/l dan tepung curcuma 1 g/l mampu menekan tingkat infeksi C. capsici pada
benih cabai hingga 2% sedangkan kontrol 26%. Setelah berkecambah tingkat
infeksi C. capsici mampu ditekan hingga 0% dibandingkan kontrol 25.87%. Hasil

6
penelitian Manggung et al. (2014), perlakuan pelapisan benih kedelai dengan
cendawan Mikoriza arbuskula (CMA) dapat mempertahankan viabilitas benih dan
CMA selama penyimpanan 6 bulan baik pada suhu kamar maupun AC. Hasil
penelitian Palupi et al. (2012), penampilan fisik benih padi lebih menarik setelah
dicoating. Widajati et al. (2013) menggunakan isolat Methylobacterium spp. dan
tepung curcuma pada perlakuan coating untuk meningkatkan daya simpan benih
padi hibrida. Hasil penelitian menunjukkan benih yang dicoating masih memiliki
viabilitas yang tinggi setelah penyimpanan 15 minggu untuk tiga varietas benih
padi hibrida yaitu DG-1 SHS, SL-8 SHS dan Intnani-2. Penelitian Ilyas et al.
(2015), tentang biomatriconditioning dengan Trichoderma harzianum atau
Trichoderma pseudokoningii dapat mengurangi tingkat infeksi C. capsici pada
benih cabai dan meningkatkan persen perkecambahan dan indeks vigor.

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Kesehatan Benih
Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor (IPB) dan Rumah Kaca Cikabayan pada bulan September 2013 sampai
dengan Juli 2014.
Sumber Benih
Benih yang digunakan adalah benih dari buah cabai varietas Seloka IPB
yang merupakan hasil penanaman dari Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB.
Deskripsi varietas Seloka dapat dilihat pada Lampiran 1. Buah cabai ini dipanen
pada bulan Juli 2013. Benih dipilih dari buah yang sehat, dikeringkan hingga
kadar air 10.1%. Benih sebelum digunakan telah disimpan pada suhu AC 16 0C
dengan kelembaban 70% selama empat bulan. Viabilitas awal adalah daya
berkecambah 84.7%, indeks vigor 41.7% dan kecepatan tumbuh 11.4%.
Metode Percobaan
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama adalah uji
antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum. Percobaan kedua adalah
efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik terhadap viabilitas
potensial, vigor dan kesehatan benih cabai selama penyimpanan.
Percobaan 1 : Uji antagonis bakteri probiotik terhadap cendawan
Colletotrichum acutatum.
Percobaan ini menggunakan 30 isolat bakteri yaitu 10 isolat dari genus
Bacillus sp., 10 isolat dari genus Pseudomonas sp., dan 10 isolat dari genus
Actinomycetes sp.

7
Pelaksanaan Percobaan
Perbanyakan bakteri probiotik dan cendawan C. acutatum
Bakteri probiotik yang digunakan merupakan koleksi dari Laboratorium
Bakteri, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Cendawan C. acutatum yang
digunakan merupakan hasil isolasi Klinik Tanaman, Departemen Proteksi
Tanaman, IPB.
Sebelum dilakukan penanaman, media dan cawan petri yang akan
digunakan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm
selama 20 menit. Perbanyakan bakteri menggunakan metode gores dengan cara
mengambil satu ose dari isolat bakteri kemudian digoreskan pada cawan yang
berisi media khusus sesuai dengan karakteristik bakteri yang akan diuji, dan
dilakukan secara aseptik di laminar air flow cabinet. Kelompok Bacillus sp.
ditumbuhkan pada media tryptone soy agar (TSA), kelompok Pseudomonas sp.
ditumbuhkan pada media king’s B dan kelompok Actinomycetes sp. ditumbuhkan
pada media casamino acid-yeast extract-glucose-agar (YCED). Colletotrichum
acutatum diperbanyak pada media potato dextrose agar (PDA) (Atlas 2010).
Komposisi media dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5. Setelah penanaman,
cawan petri diseal dan diinkubasi pada suhu ruang 30 0C.
Uji antagonis
Uji antagonis dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture) yaitu
menumbuhkan bakteri dan cendawan pada media PDA dalam cawan petri
berdiameter 9 cm. Pembiakkan bakteri dilakukan terlebih dahulu untuk memicu
pertumbuhan bakteri karena pertumbuhan bakteri cenderung lebih lambat
daripada cendawan. Selanjutnya dilakukan penanaman cendawan dengan jarak
cendawan dan bakteri adalah 3 cm (Gambar 1) (Muharni & Widjajanti 2011),
kemudian diinkubasi pada suhu ruang 30 0C selama 14 hari. Selanjutnya dihitung
persentase penghambatan dengan rumus :
ersentase engham atan
Keterangan :
R1 = panjang jari-jari cendawan yang menuju ke tepi cawan petri
R2 = panjang jari-jari cendawan yang menuju ke koloni bakteri probiotik

Gambar 1 Skema uji antagonis

8
Keterangan:
a : Isolat bakteri probiotik
b : Isolat cendawan C. acutatum
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) satu faktor, dengan tiga ulangan untuk tiap bakteri probiotik, sehingga
seluruhnya terdapat 90 percobaan. Data persentase uji antagonis dianalisis
dengan program statistical analysis sistem (SAS). Jika berpengaruh nyata,
dilanjutkan dengan uji duncan multiple range test (DMRT). Hasil analisis
percobaan ini, dipilih tiga bakteri yang paling tinggi persentase antagonisnya
untuk dilanjutkan pada percobaan 2 dan dianalisis kandungan indole acetic
acid (IAA) dan giberelin (GA3). Analisis IAA menggunakan spektrofotometer
sedangkan GA3 menggunakan HPLC (High Performance Liquid
Chromatograph).
Percobaan 2 : Efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik
terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai
(Capsicum annuum L.) selama penyimpanan
Pelaksanaan Percobaan
Inokulasi Patogen pada Benih Cabai
Benih cabai yang akan digunakan sebelum inokulasi disterilisasi
menggunakan larutan NaOCl 1 % selama 10 menit kemudian dibilas tiga kali
dengan aquadest steril dan dikeringanginkan dalam laminar air flow cabinet
selama 1 jam. Benih steril kemudian direndam dalam suspensi C. acutatum
dengan kerapatan 106 konidia/ml (Nurhayati 2011), selama 30 menit, kemudian
diinkubasi pada suhu ruang 30 0C dengan RH 56% selama empat hari untuk
mencapai infeksi tertinggi. Pada hari ke-5 setelah inokulasi, benih dicoating dan
disimpan sesuai perlakuan.
Teknik Coating pada Benih Cabai
Suspensi sel bakteri untuk coating disubkultur dalam media cair dan
diinkubasi selama 48 jam. Hasil subkultur kemudian divortex untuk menyamakan
kekeruhannya, kemudian dilihat optical density (OD) bakteri menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm (nanometer) agar diketahui
kerapatan bakteri tersebut (Ibrahim et al. 2014). Kerapatan ketiga bakteri yang
digunakan untuk coating adalah 0.2x108 cfu (coloni forming unit)ml-1. Volume
suspensi bakteri untuk coating 20 ml untuk setiap 100 g benih. Proses pelapisan
benih (seed coating) dilakukan dengan mencampur bahan perekat natrium alginat
dan xantan gum masing-masing 2.5 g untuk setiap 100 ml isolat bakteri
(Indahwardani 2013). Perlakuan coating dengan fungisida dilakukan dengan
perbandingan 0.2 g : 100 g benih.

9
Benih dimasukkan ke dalam suspensi sambil diaduk selama 20 menit hingga
tercampur merata, lalu disaring dengan saringan teh untuk menghilangkan larutan
yang tersisa (Setiowaty et al. 2007). Kemudian benih dikeringanginkan dalam
laminar air flow selama 24 jam. Untuk membedakan setiap perlakuan, diberikan
pewarna makanan merk koepoe-koepeo dengan komposisi air, propilen glikol dan
pewarna (eritrosin CI45432). Warna merah muda untuk perlakuan coating
Pseudomonas sp., warna kuning untuk perlakuan coating Actinomycetes sp.,
warna hijau untuk perlakuan coating Bacillus sp., dan warna biru untuk perlakuan
coating fungisida.
Penyimpanan benih
Benih cabai yang telah dicoating dikemas dalam plastik polypropilen 0.8
mm sesuai perlakuan dan ulangan. Selanjutnya benih disimpan pada suhu kamar
30 ºC dengan RH 56% selama periode simpan 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan dengan
kadar air benih 10.11%. Setiap bulan dilakukan pengujian viabilitas potensial,
vigor, dan kesehatan benih di Laboratorium dan pengujian vigor bibit di Rumah
Kaca.
Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah perlakuan coating benih (C)
yang terdiri atas 6 perlakuan yaitu C0 = tanpa coating (kontrol) C1= coating benih
tanpa bakteri, C2 = coating benih dengan Bacillus sp. C3 = coating benih dengan
Pseudomonas sp. C4 = coating benih dengan Actinomycetes sp. C5= coating benih
dengan fungisida antracol yang bersifat kontak dengan kandungan bahan aktif
propineb 70%. Faktor kedua adalah periode simpan (P) yang terdiri dari 6
perlakuan yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 bulan. Percobaan ini diulang 4 kali, masingmasing ulangan ditanam 25 butir benih. Data yang diperoleh dianalisis dengan
program statistical analysis system (SAS). Perlakuan yang berpengaruh nyata
diuji lanjut dengan DMRT taraf α
, 5 (Mattjik & Sumertajaya 2006).
Model linear dalam Rancangan Acak Lengkap Faktorial sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan coating benih taraf ke-i,
perlakuan periode simpan taraf ke-j, dan ulangan ke-k
μ
= nilai tengah pengamatan karakter yang diamati
αi
= pengaruh utama dari faktor coating benih ke-i
βj
= pengaruh utama dari faktor periode simpan ke-j
(αβ)ij = komponen interaksi dari faktor coating benih dan faktor periode simpan
εijk
= pengaruh acak yang menyebar normal
i
= perlakuan aplikasi coating
j
= perlakuan periode simpan
k
= ulangan 1,2,3

10
Peubah Pengamatan
a.

Pengamatan di Laboratorium
Pengujian di laboratorium menggunakan metode uji di atas kertas
(UDK) di dalam ekogerminator tipe IPB 73-2A/B. Peubah yang diamati
yaitu :
1. Potensi tumbuh maksimum (PTM) (%).
Pengamatan meliputi jumlah kecambah normal dan abnormal pada 14 hari
setelah tanam. Potensi tumbuh maksimum dihitung dengan rumus :
enih yang tum uh
enih yang ditanam
2. Daya berkecambah (DB) (%).
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kecambah normal pada hitungan
pertama (hari ke-7) dan hitungan kedua (hari ke-14) (ISTA 2010). Daya
berkecambah
benih
dihitung
dengan
rumus:
itungan

itung

enih yang ditanam

Keterangan :
KN = Kecambah Normal
3. Bobot kering kecambah normal (BKKN) (g)
Bobot kering kecambah diperoleh dengan menimbang kecambah normal
yang telah dikeringkan di dalam oven bersuhu 60 0C selama 72 jam
(Kartika & Ilyas 1994).
4. Kecepatan tumbuh (KCT) (%KN/etmal)
Kecepatan tumbuh dihitung setiap hari selama 14 hari pada benih yang
tumbuh normal. Kecepatan tumbuh dihitung dengan rumus :
KCT

etmal

∑tn

t

Keterangan :
t = waktu pengamatan ke- i
N = persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan (hari ke 14)
5. Deteksi benih terinfeksi C. acutatum (%)
Metode ini dilakukan dengan metode blotter test. Benih diletakkan dalam
cawan petri yang berisi tiga lembar kertas saring lembab. Cawan petri
diseal dengan plastik wrap kemudian diletakkan dalam ruang inkubasi
pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu Near Ultra Violet (NUV) 12
jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian sampai hari ketujuh. Pada
hari kedelapan dilakukan identifikasi C. acutatum menggunakan
mikroskop stereo dan mikroskop compound (Setiyowati et al. 2007) dan

11
berdasarkan pedoman kunci identifikasi (Mathur & Kongsdal 2003).
Persentase benih infeksi C. acutatum pada benih cabai dihitung dengan
rumus :
ingkat infeksi

enih terinfeksi
enih yang ditanam

6. Deteksi hipokotil terinfeksi C. acutatum (%)
Hipokotil yang digunakan berasal dari kecambah normal pada pengamatan
di laboratorium. Hipokotil direndam dalam larutan NaOCl 1 % selama 3
menit kemudian dibilas dengan air steril, lalu diletakkan dalam cawan petri
yang berisi tiga lembar kertas saring lembab. Cawan petri diseal dengan
plastik wrap kemudian diletakkan dalam ruang inkubasi dengan suhu
ruang di bawah penyinaran lampu near ultra violet (NUV) dengan 12 jam
terang dan 12 jam gelap secara bergantian sampai hari ketujuh. Pada hari
kedelapan dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop stereo dan
mikroskop compound (Setiyowati et al. 2007) dan berdasarkan pedoman
kunci identifikasi (Mathur & Kongsdal 2003). Persentasi infeksi
C. acutatum pada hipokotil dihitung dengan rumus :
ingkat infeksi ( )

hipokotil terinfeksi
hipokotil yang diamati

7. Populasi cendawan C. acutatum selama periode simpan (cfu/g)
Populasi cendawan merupakan jumlah spora cendawan yang tumbuh
selama periode simpan dan selanjutnya dikonversi ke satuan cfu/g
(Indahwardani 2013). Populasi cendawan dihitung dengan rumus :
opulasi endawan

x

Keterangan :
X
= Jumlah spora yang tumbuh pada cawan dengan faktor
pengenceran ke-(cfu/g)
P
= Faktor pengenceran ke-i
V
= Volume suspensi yang disebar pada cawan (ml)
b. Pengamatan di Rumah Kaca
Penanaman di Rumah Kaca menggunakan media tanam campuran tanah dan
pupuk kompos dengan perbandingan 1:1 dalam polibag yang berukuran 5 cm x 15
cm. Hasil analisis media tanam dapat dilihat pada Lampiran 6. Tanah dan kompos
yang digunakan disterilisasi pada suhu 121 0C selama 20 menit sebelum
digunakan dengan tujuan menghindari serangan patogen tular tanah atau
mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan penyakit. Persemaian dilakukan
sore hari sehingga diharapkan benih yang telah dicoating tidak mengalami
perubahan suhu yang ekstrim. Peubah yang diamati yaitu :

12
1. Kecepatan tumbuh (%KN/etmal)
Perhitungan kecepatan tumbuh dilakukan pada benih yang berkecambah
normal setiap hari selama 14 hari (ISTA 2010). Kecepatan tumbuh dihitung
dengan rumus :
KCT (
⁄etmal) ∑tn
t
Keterangan :
t
= waktu pengamatan ke- i
KN = persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan (hari ke 14)
2. Tinggi bibit (cm)
Tinggi bibit diukur mulai dari pangkal batang di permukaan tanah sampai titik
tumbuh. Pengukuran dilakukan saat bibit berumur 4 minggu setelah tanam.
3. Jumlah daun (helai)
Perhitungan jumlah daun dilakukan saat bibit berumur 4 minggu setelah tanam.
4. Kejadian serangan antraknosa (%).
Penghitungan kejadian serangan dilakukan setiap hari hingga bibit berumur 4
minggu setelah semai. Penghitungan kejadian serangan menggunakan rumus :
n

Keterangan :
KS = kejadian serangan (%)
n = jumlah tanaman yang terinfeksi patogen
N = jumlah seluruh tanaman
5. Rebah bibit (%).
Pengamatan rebah bibit dilakukan dengan menghitung persentase jumlah bibit
yang rebah setiap hari selama 4 minggu. Perhitungan ini dilakukan dengan
rumus :
e ah i it

i it yang re ah
i it yang ditanam

6. Persentase hipokotil terinfeksi C. acutatum (%)
Hipokotil yang digunakan berasal dari kecambah normal saat bibit berumur 2
minggu setelah semai. Persentasi hipokotil terinfeksi C. acutatum dihitung
dengan rumus :
ingkat infeksi

hipokotil terinfeksi
hipokotil yang diamati

13

BAKTERI PROBIOTIK UNTUK MENEKAN INFEKSI
Colletotrichum acutatum SELAMA PENYIMPANAN
Percobaan 1 : Uji Antagonis
Tujuan : Mendapat bakteri probiotik yang bersifat antagonis
Luaran : Ada bakteri probiotik yang bersifat antagonis (minimal 3)

Percobaan 2: Perlakuan Seed Coating dengan Bakteri Probiotik
Pengujian di Laboratorium
Tujuan : Meningkatkan viabilitas
dan kesehatan benih
selama penyimpanan
Luaran : Bakteri probiotik terbaik
untuk mempertahankan
daya
simpan
dan
kesehatan benih

Pengujian di Rumah Kaca
Tujuan : Meningkatkan vigor dan
kesehatan bibit
Luaran : Bakteri probiotik terbaik
untuk
meningkatkan
vigor dan kesehatan bibit

Gambar 2 Bagan alir penelitian

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 1. Uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum

Kemampuan hambatan (%)

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 30 isolat bakteri probiotik yang
digunakan, diperoleh 3 bakteri probiotik yang memiliki persentase
penghambatan yang paling besar yaitu Actinomycetes sp. (ATS6) 56.8 %,
Bacillus sp. (B48) 56.7 % dan Pseudomonas sp. (P12) 46.7 % (Gambar 3).

60
50

a

a
ab
c

40

c

c
cd

30
20

cde
cde

deg deg

d-i egi

gij gij
gij gij
gij gij gij gij gij
gij ij

10

ij ij
ij ij

ij

j

ATS6
B48
P12
AB4
APS7
B12
B14
ATS4
B18
AB6
PFD3
ATS5
P24
B13
P14
APS9
APS12
B11
AB3
B34
B45
PFD2
P11
ATS8
P16
P2
B26
B25
P32
P26

0

Zona hambat

Kode isolat bakteri

Gambar 3 Persentase uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum
Actinomycetes sp. memiliki persentase penghambatan lebih besar tetapi
tidak berbeda nyata dengan Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. Actinomycetes
diketahui memiliki kemampuan dalam menghasilkan berbagai antibiotik seperti
tetrasiklin, kloramfenikol, makroloda (kelompok eritromisin), limkomisin dan
aminoglikosida (Mutschaler 1991 dalam Ambarwati 2013). Selanjutnya Perlman
(1970) mengatakan Actinomycetes sp. dapat menghasilkan antibiotik seperti
streptomycin, aureomycin, oleandomycin, spirimycin dan eritromycin.
Mekanisme kerja antibiotik yang dihasilkan Actinomycetes adalah dengan
menghambat sintesis protein. Menururt Suwandi (1993) untuk kelangsungan
hidup, mikroorganisme harus mensintesis protein sehingga apabila sintesis protein
terganggu maka akan menghambat kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut.
Hasil penelitian Khucharoenphaisan et al. (2013) tentang efisiensi Actinomycetes
terhadap fitopatogenik dari antraknosa cabai menunjukkan bahwa ada 40 isolat
yang menunjukkan efisiensi tinggi yang secara signifikan menghambat
pertumbuhan C. gloeosporioides lebih dari 60%.
Pembentukan zona hambat (Gambar 4a) dan mekanisme antagonis ditandai
dengan pertumbuhan dinding hifa yang mengalami lisis (Gambar 4b). Hal ini
sesuai hasil penelitian Novina et al. (2012) bahwa mekanisme antagonis
ditandai dengan pertumbuhan cendawan yang abnormal yaitu berupa hifa
mengalami pembengkokan, menggulung, kerdil, dinding sel lisis, patah,
keriting, dan mengecil.

15
Zona hambat yang terbentuk disekitar koloni menandakan bahwa agens
hayati tersebut kemungkinan memproduksi suatu senyawa antimikrobial, baik
berupa enzim, toksin maupun antibiotik. Antibiotik merupakan suatu substansi
yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dapat menghambat atau membunuh
organisme lainnya. Antibiotik digolongkan sebagai metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh bakteri probiotik dalam jalur metabolisme. Adanya senyawa
antibiotik yang dihasilkan bakteri antagonis menyebabkan terjadinya penekanan
pada pertumbuhan patogen (Asnawi et al. 2012). Hasil penelitian Nabti et al.
(2013), Bacillus sp. menghasilkan siderofor dan beberapa enzim seperti selulase,
kitinase, protease dan lipase. Menurut Compant et al. (2005), mekanisme
biokontrol Pseudomonas terhadap cendawan patogen disebabkan oleh
kemampuan Pseudomonas dalam menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa
antibiosis. Enzim hidrolitik yang memiliki kemampuan antifungi yang dapat
diproduksi Pseudomonas diantaranya adalah enzim kitinase dan glukanase,
sedangkan untuk senyawa antibiosis, Pseudomonas diketahui mampu
memprodukisi senyawa antifungi seperti 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG),
pirolnitrin, pyoluterin, dan phenazin.
a

b

Gambar 4 Uji antagonis bakteri probiotik terhadap C. acutatum yang ditandai
adanya zona hambat (tanda panah) (a) dan hifa C. acutatum yang
mengalami lisis (tanda panah) (pembesaran 100x) (b)
Pertumbuhan bakteri probiotik untuk menekan cendawan patogen dengan
cara berkompetisi untuk mendapatkan makanan dan ruang untuk tumbuh dengan
memproduksi suatu susbtansi yang dapat menghambat atau membunuh patogen
lain (Agustono et al. 2012). Penghambatan cendawan patogen yang ditunjukkan
oleh bakteri probiotik diduga melibatkan beberapa mekanisme diantaranya
senyawa bioaktif seperti siderofor atau enzim kitinase. Namun demikian
mekanisme penghambatan C. acutatum perlu diteliti lebih jauh karena dari hasil
uji ini belum dapat ditentukan mekanisme yang terlibat secara pasti dalam
menghambat cendawan patogen.
Bakteri probiotik dikenal sebagai penghasil antibiotik. Antibiotik umumnya
adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme. Antibiotik dapat merusak pertumbuhan atau aktivitas metabolit
mikroorganisme lain. Selain itu, bakteri juga menghasilkan siderofor. Siderofor
adalah senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian
penyakit tumbuhan. Kemampuan siderofor mengikat besi merupakan pesaing
terhadap mikroorganisme lain, terbukti bahwa siderofor berperan aktif dalam
menekan pertumbuhan patogen (Soekarno et al. 2013). Pseudomonas sp.

16
menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai siderofor. Siderofor
tersebut berkembang dengan cepat menyelubungi akar tanaman dan memindahkan
Fe dalam zona akar sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
(Baharuddin et al. 2005).
Berdasarkan uji antagonis diketahui 27 isolat bakteri lainnya tidak memiliki
aktivitas penghambatan terhadap C. acutatum. Variasi diameter zona hambat
yang terbentuk diduga karena adanya perbedaan daya antagonisme untuk
menghasilkan antibiotik dari masing-masing isolat bakteri probiotik dalam
menghambat pertumbuhan patogen (Sallytha et al. 2014). Hasil penelitian
Feliatra et al. (2012) tentang antagonis bakteri probiotik yang diisolasi dari
usus dan lambung ikan kerapu bebek terhadap bakteri patogen menunjukkan
bahwa kemampuan antagonis bakteri probiotik pada bakteri patogen berbedabeda, tergantung kepada isolatnya. Bakteri probiotik Bacillus cereus
merupakan bakteri probiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri
patogen Vibrio sp. dan Aeromonas sp. tetapi tidak dapat menghambat bakteri
Pseudomonas beteli. Muharni & Widjajanti (2011), dalam penelitiannya
tentang skrining bakteri kitinolitik antagonis terhadap jamur akar putih
menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan tergantung pada indeks
kitinolitik dari tiap isolat dimana isolat BRK5 paling tinggi menghasilkan
indeks kitinolitik yaitu 0.52 dengan zona hambat 5.57 mm sedangkan yang
paling rendah pada isolat BRK11 yaitu 0.21 tidak memiliki zona hambat.
Efektivitas bakteri probiotik yang digunakan untuk coating benih dilihat
melalui persentase penghambatan terhadap C. acutatum (Gambar 3) dan
kandungan zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam bakteri tersebut (Gambar 6).
Hal ini sesuai pernyataan Saraswati & Sumarno (2008) yang menyatakan
penggunaan mikroorganisme sebagai agens hayati memberikan manfaat
karena selain menghasilkan enzim kitinolitik juga dapat menghasilkan zat
pengatur tumbuh yang menyediakan nutrisi bagi tanaman untuk
perkecambahan.
Berdasarkan hasil analisis, bakteri probiotik memiliki kandungan
hormon indole acetic acid (IAA) dan giberelin (GA 3). Hormon IAA
merupakan salah satu hormon pertumbuhan tanaman yang berperan dalam
mengendalikan proses fisiologi dalam pertumbuhan tanaman, meliputi
pembesaran dan pembelahan sel, merangsang benih untuk berkecambah,
diferensiasi jaringan, mengontrol proses pertumbuhan vegetatif, memulai
pembentukan akar lateral dan adventif, tanggapan terhadap cahaya dan
gravitasi, dan ketahanan terhadap kondisi stres (Shahab et al. 2009).
Hormon giberelin merangsang sintesis protein dan ekskresi enzim
(terutama α-amilase) untuk perkecambahan biji. Giberelin juga terlibat dalam
induksi beberapa gen yang diperlukan untuk sintesis dan sekresi α-amilase
sebelum perkecambahan. Embrio mensintesis giberelin yang berada di aleuron
untuk ekspresi gen yang bertanggung jawab untuk sintesis dan sekresi αamilase, protease dan β-glucanase (Miransari & Smith 2009).

17
Percobaan 2. Efektivitas seed coating menggunakan bakteri probiotik
terhadap viabilitas potensial, vigor dan kesehatan benih cabai
selama penyimpanan
Benih cabai yang dicoating dengan bakteri probiotik diberikan pewarna
makanan untuk memberikan efek warna yang menarik, seragam, lebih mengkilat,
dapat menghilangkan noda hitam pada benih, menutupi perubahan warna pada
benih akibat paparan cahaya, udara atau temperatur yang ekstrim selama
penyimpanan (Gambar 5). Siregar et al. (2007) mengatakan pewarnaan pada
benih dimaksudkan untuk memudahkan dalam penanaman karena warna benih
sangat kontras dengan warna tanah sehingga walaupun benih cabai berukuran
kecil dapat dengan mudah terlihat, begitupun jika benih tercampur dengan
perlakuan lainnya dapat dengan mudah dibedakan. Selain itu pewarnaan pada
benih bertujuan untuk menarik konsumen, membantu produsen dan pedagang
benih mengembangkan reputasi atau kesan positif untuk mempertahankan
kesinambungan usaha. Beberapa warna diketahui dapat menghalau hama yang
dapat merusak benih. Disamping itu pewarnaan merupakan petunjuk perlakuan
benih.

a

b

Gambar 5 Benih cabai sebelum dicoating (a) dan benih cabai yang dicoating
dengan bakteri probiotik (b)
a.

Pengamatan di Laboratorium

Aplikasi bakteri probiotik pada coating benih terhadap viabilitas potensial
(tolok ukur PTM, DB, BKKN), vigor (tolok ukur KCT) dan kesehatan benih cabai
(tolok ukur benih terinfeksi, hipokotil terinfeksi dan populasi cendawan) dapat
dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4. Pelapisan benih dengan bakteri probitik mampu
mempertahankan viabilitas potensial dan vigor benih cabai selama penyimpanan.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai PTM yang mencapai 80-84%, DB 7678.7% dan KCT 5.3-6.3%KN/etmal pada periode simpan 5 bulan (Tabel 1).

18
Tabel 1 Pengaruh interaksi perlakuan coating dan periode simpan terhadap PTM,
DB dan KCT pada benih cabai
Perlakuan

Periode simpan (bulan)

benih

0

1

2

3

4

5

Potensi tumbuh maksimum (%)
C0

90.7 aBC

78.7 bB

76.0 bD

69.3 bC

58.7 cC

28.7 dB

C1

85.3 aC

85.3 aAB

84.0 aC

85.3 aAB

69.3 bBC

77.3 abA

C2

97.3 aAB

92.0 abA

97.3 aA

92.0 aAB

78.7 bAB

82.7 bA

C3

100.0 aA

93.3 abA

85.3 bcBC

84.0 bcB

77.3 cAB

84.0 bcA

C4

96.0 aAB

93.3 aA

92.0 aAB

89.3 aAB

73.3 bABC

80.0 abA

C5

94.7 aAB

93.3 aA

90.7 aABC

93.3 abA

88.0 aA

77.3 bA

C0

82.7 aB

65.3 bB

50.7 bcC

36.0 cC

46.7 cdBC

21.3 dC

C1

82.7 aB

66.8 bB

53.3 bcC

53.3 bcB

41.3 cC

50.7 cB

C2

93.3 aA

80.0 abAB

90.7 aA

74.7 bA

66.7 bAB

76.0 bA

C3

93.3 aA

85.3 abA

74.7 bB

72.0 bA

49.3 cABC

78.7 abA

C4

92.0 aA

80.0 abAB

85.3 abAB

82.7 abA

62.7 bABC

78.7 abA

C5

88.0 aAB

88.0 aA

90.7 aA

84.0 aA

72.0 abA

62.7 bAB

Daya berke