Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai Di Jepang

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, pertumbuhan penduduk dunia menunjukkan trend peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision1 mengestimasi bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 miliar di akhir tahun 2011 sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk dunia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2,53 miliar pada tahun 1950. Diperkirakan bahwa jumlah penduduk ini akan menjadi 9 miliar pada tahun 2050 dan 10 miliar pada tahun 2100. Tambahan tiga miliar penduduk hingga tahun 2100 akan meningkatkan jumlah penduduk di negara berkembang yang diprediksi akan meningkat dari 5,7 miliar pada tahun 2011 menjadi 8 miliar pada tahun 2050 dan 8,8 miliar pada tahun 2100. Sementara itu, populasi di negara maju diperkirakan akan meningkat sedikit dari 1,24 miliar pada tahun 2011 menjadi 1,34 miliar pada tahun 2100. Pertumbuhan penduduk dunia dari tahun 1950-2008 dan prediksi sampai tahun 2050 ditampilkan pada Gambar 1.

Hubungan jumlah penduduk, sumber daya, dan tingkat kesejahteraan telah menjadi diskusi yang menarik sejak Mathus mencetuskan ide pada tahun 1798 yang menyatakan bahwa populasi bertumbuh secara eksponensial, sedangkan produksi makanan meningkat dengan laju linear. Pada titik tertentu akan terjadi krisis pangan. Pakar ekonomi Stanford Nathan Rosenberg dalam tulisan Wolfgram (2005) memberikan ilustrasi yang lebih jelas untuk memahami pemikiran Malthus. Penduduk yang meningkat drastis mengindikasikan adanya peningkatan output berupa makanan yang juga berarti peningkatan tenaga kerja

1 Laporan data jumlah penduduk The 2010 Revision ini dibangun berdasarkan publikasi

sebelumnya yaitu The 2008 Revision dengan mengakomodasi survei populasi terbaru di seluruh dunia


(2)

2 pertanian. Output perekonomian memang meningkat, tetapi pertumbuhan output berkurang karena ketersediaan lahan sebagai input utama sifatnya tetap. Pada titik tertentu, tambahan tenaga kerja pada usaha pertanian tidak akan menghasilkan tambahan makanan. Pertumbuhan menjadi melambat karena tidak ada pendapatan yang dapat dialokasikan untuk pembentukan modal di masa yang akan datang. Penjelasan ini ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 2.

Sumber: United Nation Population Division (2011)

Gambar 1. Populasi Dunia Tahun 1950-2011 dan Proyeksi Tahun 2012-2050

Sumber: Malthus (1976)

Gambar 2. Tekanan Populasi Terhadap Makanan Menurut Malthus

Terdapat beberapa faktor penting dalam ilustrasi di atas. Pertama, dalam kondisi sumber daya yang jumlahnya tetap, pertumbuhan populasi akan

Waktu Pertumbuhan Populasi

Produksi Makanan

t1

Jumlah Penduduk


(3)

3 mempengaruhi konsumsi secara langsung. Sebagai konsekuensi dari hukum diminishing return, produktivitas tenaga kerja akan berkurang seiring dengan penambahan tiap satu orang tenaga kerja pada sumber daya yang bersifat tetap. Hal ini berarti pendapatan per kapita akan cenderung konstan. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan populasi akan menyebabkan alokasi investasi berubah dari tabungan dan pengembangan sumber daya manusia ke keadaan subsisten yang artinya individu hanya memiliki uang atau makanan untuk bertahan hidup.

Hal ini didukung oleh studi Madison dalam Ashraf (2008) yang menyatakan bahwa rata-rata pendapatan per kapita dunia di millenium pertama adalah sekitar $450 per tahun dengan pertumbuhan pendapatan per kapita hampir mendekati nol. Pada tahun 1000-1820, rata-rata pendapatan per kapita dunia masih di bawah $670 per tahun dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 0,05% per tahun. Periode stagnasi ini terus berlanjut sampai akhir abad ke delapan belas.

Walaupun demikian, krisis pangan yang diprediksi Malthus tidak bisa dikatakan sepenuhnya terjadi. Dalam Wolfgram (2005) juga dinyatakan bahwa faktor perkembangan pertanian, perubahan struktur sosial, dan kebijakan pemerintah menyebabkan manusia dapat menghindari situasi dimana jumlah penduduk lebih besar yang lebih besar daripada daya dukung. Lebih lanjut lagi, Krautkraemer (2005) juga menyatakan bahwa manusia terbukti telah mampu menemukan solusi berupa teknologi sebagai respon terhadap kelangkaan sumberdaya. Contohnya di Indonesia adalah swasembada pangan akibat revolusi hijau yang berhasil meningkatkan produktivitas padi pada tahun 1980-an.


(4)

4 Hingga saat ini, kebenaran berbagai paham yang diawali oleh pemikiran Malthus masih menjadi perdebatan. Namun, terlepas dari hal tersebut, hubungan antara penduduk dan kerusakan lingkungan memang ada, namun belum terbukti secara ilmiah. Panayotou (2000) menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada studi empiris yang berhasil membuktikan hubungan antara kedua variabel tersebut.

Lebih lanjut lagi mengenai dampak terhadap lingkungan, Ehrlich dan Holdren (1971) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap individu memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan dalam berbagai aktivitas kehidupan , pertanian. Total dampak negatif tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut.

I = P x F ... (1) I : Dampak terhadap lingkungan

P : Ukuran populasi

F : Ukuran dampak per individu

Dampak terhadap lingkungan (I) akan meningkat apabila variabel P dan F sama-sama meningkat atau peningkatan variabel yang satu lebih besar dari penurunan variabel yang lain. Ehrlich dan Holdren kemudian memasukkan teknologi sebagai salah satu faktor yang dikaitkan dengan ukuran dampak per individu (F). Awalnya, F dihubungkan dengan konsumsi per kapita, misalnya konsumsi energi dan mineral. Faktor ini kemudian dihubungkan dengan tingkat teknologi yang memungkinkan adanya konsumsi tersebut dan dilakukan pengukuran untuk mengetahui apakah teknologi tersebut memberikan dampak lingkungan yang semakin banyak atau semakin sedikit. Secara umum dapat


(5)

5 dikatakan bahwa perbaikan teknologi dapat membuat dampak per individu (F) konstan ataupun menurun. Di saat yang sama, perbaikan teknologi tersebut akan meningkatkan konsumsi per kapita.

Review terhadap persamaan Ehrlich dan Holdren yang dilakukan oleh Chertow (2001) menyatakan bahwa persamaan di atas masih mengalami berbagai perubahan variabel setelah melalui perdebatan yang panjang antara ilmuwan seperti Commoner. Bentuk akhir persamaan tersebut adalah sebagai berikut. I = P x A x T ... (2) I : Dampak terhadap lingkungan

P : Ukuran populasi

A : Tingkat kemakmuran per kapita yang dapat dicerminkan oleh GDP (Gross Domestic Product)

T : Teknologi dalam tiap unit konsumsi

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan seperti GDP dan kerusakan lingkungan digambarkan dengan kurva berbentuk U terbalik (Gambar 3). Awal perkembangan ekonomi ditandai dengan intensifikasi pertanian dan ekstraksi sumber daya besar-besaran untuk kebutuhan industri. Pada tahap ini, laju ekstraksi mulai melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya dan munculnya limbah berbahaya yang kadarnya terus meningkat sepanjang tahun. Hal ini berarti bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan sampai pada tingkat tertentu. Setelah melewati titik balik kurva, kerusakan akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan karena masyarakat semakin peduli terhadap lingkungan dan memiliki pendapatan yang cukup untuk berinvestasi pada teknologi yang dapat mengurangi


(6)

6 laju kerusakan lingkungan. Kurva pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan selanjutnya dikenal sebagai Kurva Kuznet atau Environmental Kuznet Curve (EKC) karena bentuknya menyerupai hubungan antara pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan (kurva U terbalik) yang ditemukan oleh Kuznet pada tahun 1955 (Dinda, 2004).

Sumber: Kuznet dalam Dinda (2004)

Gambar 3. Kurva Lingkungan Kuznet (EKC)

Tekanan populasi, keterbatasan sumber daya, pertumbuhan ekonomi berdampak pada permasalahan lingkungan seperti deforestasi, sanitasi, kelangkaan air bersih, sampah, krisis energi, polusi air, udara, dan tanah. Air bersih terkontaminasi oleh limbah industri dan sampah rumah tangga yang langsung dibuang ke sumber air. Banyak sungai di Asia yang terkontaminasi oleh polutan seperti Nitrogen, Posfor, bakteri Patogen, dan residu pestisida. Polusi udara juga menjadi masalah yang sangat serius akibat emisi dari industri, rumah tangga, dan kendaraan bermotor telah melebihi kemampuan alami kota untuk mengembalikan emisi ke level yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Brennan, 1999).

Kerusakan lingkungan seperti polusi perairan juga dialami oleh Jepang ketika negara tersebut berhasil memulihkan perekonomian yang hancur dalam kondisi politik yang tidak stabil setelah perang dunia kedua melalui industrialisasi

Pendapatan Kerusakan Lingkungan


(7)

7 intensif. Dekade 1950-an dianggap sebagai masa persiapan dan transisi dari kekalahan perang ke masa emas pertumbuhan ekonomi dimana Jepang menjadi negara dengan GDP terbesar kedua pada tahun 1968. Beberapa kasus yang berdampak besar pada masyarakat pun dibawa ke pengadilan seperti penyakit gatal (itai) akibat limbah Cadmium dari Mitsui Metal and Mining Co. dan penyakit minamata akibat ikan yang tercemar oleh merkuri dari New Nippon Nitrogen Co. di Teluk Minamata (Hamada, 1996).

1.2 Perumusan masalah

Studi empiris untuk membuktikan EKC telah banyak dilakukan untuk berbagai kasus kerusakan lingkungan, misalnya polusi udara dan air. Umumnya, studi tersebut merupakan analisis terhadap sejumlah data polutan time series dari berbagai negara yang digabungkan menjadi satu panel dan meregresikannya pada tingkat pendapatan yang berbeda. Beberapa studi berhasil membuktikan kebenaran kurva Kuznet, namun terdapat juga studi yang menemukan bentuk kurva lain seperti kurva berbentuk U, N, dan tilted-S. Studi yang dilakukan oleh Dinda (2000) menunjukkan bahwa umumnya EKC terbukti untuk masalah lingkungan yang mudah dipecahkan dan terdata dengan baik seperti SO2, NOx,

suspended partial matter (spm), CO, dan CO2. Oleh karena itu, generalisasi EKC

tidak dapat dilakukan pada semua jenis polutan.

Penelitian terdahulu memberikan kritik terhadap metode yang digunakan dalam uji empiris EKC, yaitu studi panel data. Dinda (2004) mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam panel data perlu dikritisi karena terdapat berbagai hal spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sehingga tidak dapat digeneralisasikan, seperti: faktor sosial masyarakat, politik, dan kondisi alam.


(8)

8 Contohnya adalah luasan tutupan hutan yang berbeda antar negara akan berpengaruh terhadap penyerapan emisi karbon. Hal ini menandakan pentingnya studi EKC di tingkat yang lebih rendah, yaitu suatu negara agar hipotesis tersebut semakin dapat menjelaskan kondisi nyata.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan polusi air sungai di Jepang menarik untuk diteliti karena sebelumnya Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti dengan polusi perairan, tapi saat ini sudah menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi dan kualitas perairan yang baik. Kenyataan ini sesuai dengan hipotesis lingkungan Kuznet yang telah diuraikan sebelumnya. Ketersediaan data time series yang lengkap di Jepang juga memungkinkan penelitian ini dilakukan karena studi EKC melihat perubahan indikator kualitas lingkungan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, indikator kualitas lingkungan yang diteliti dibatasi pada polusi air sungai. Oleh karena itu, akan dilakukan studi empiris untuk membuktikan EKC di Jepang dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang?

2. Bagaimana kondisi historis polusi air sungai dan peraturan terkait dengan kerusakan lingkungan di Jepang?

3. Apa pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan?


(9)

9 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hubungan tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang. 2. Menjelaskan historis polusi air sungai dan peraturan tentang lingkungan di

Jepang.

3. Memperoleh pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara berkembang seperti Jepang dalam hal permasalahan lingkungan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ditujukan kepada pemerintah dan individu yang diuraikan sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi pembanding dari analisis hubungan pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang telah terlebih dahulu mengalami kasus kerusakan lingkungan.

2. Bagi individu, tulisan ini diharapkan dapat menstimulasi pemikiran dan ide penelitian terkait dengan studi ekonomi lingkungan yang mempelajari pembuktian hipotesis Kuznet di Indonesia.

3. Bagi akademisi, penelitian akan menjadi referensi bagi studi mengenai hipotesis Kuznet.

1.5 Batasan Penelitian


(10)

10 1. Lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah kota besar di wilayah Kanto,

Pulau Honshu, Jepang.

2. Indikator polusi air sungai diwakili oleh konsentrasi Biological Oxygen Demand dan Chemical Oxygen Demand (COD).


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Indikator Kerusakan Lingkungan Sungai

Kualitas air sungai tergantung pada komponen penyusun sungai dan komponen yang berasal luar, seperti pemukiman dan industri. Oleh karena itu, ekosistem sungai berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Umumnya, sungai terpolusi oleh aktivitas pertanian, sampah rumah tangga, dan limbah industri. Panduan perlindungan badan aliran sungai dari Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa indikator pencemaran sungai sebagai berikut:

1. Dissolved Oxygen (DO)

Mahkluk yang hidup di air membutuhkan oksigen untuk bernafas dalam bentuk oksigen terlarut (DO). Konsentrasi DO dipengaruhi oleh suhu, sedimentasi, jumlah oksigen yang diambil dari sistem melalui proses penguraian dan respirasi, serta jumlah oksigen yang masuk ke sistem melalui fotosintesis. Konsentrasi DO diukur dalam miligram per liter (mg/l) atau part per million (ppm).

2. Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand

(COD)

Bahan organik yang memasuki perairan merupakan salah satu jenis pencemar perairan. Secara alami, pencemar ini akan diuraikan oleh bakteri pengurai karena bahan organik merupaka makanan bagi bakteri. Proses penguraian membutuhkan oksigen sehingga reaksi ini akan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut bagi organisme perairan. BOD adalah ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan bahan organik secara biologi. Bila polutan dengan konsentrasi BOD yang tinggi masuk ke sungai, hal


(12)

12 ini akan mempercepat pertumbuhan bakteri dan membutuhkan oksigen yang semakin banyak untuk menguraikan polutan tersebut.

Bahan organik juga dapat diuraikan melalui reaksi kimiawi oleh pengoksidasi seperti K2Cr2O7. COD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan

pengoksidasi tersebut untuk menguraikan bahan pencemar organik. Secara umum, kadar BOD dan COD yang tinggi mencerminkan konsentrasi bahan organik yang tinggi sehingga diperlukan oksigen yang tinggi dan menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut di perairan. Kadar oksigen yang sangat rendah dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Oleh karena itu, semakin tinggi kadar BOD dan COD, maka tingkat polusi perairan juga semakin parah.

3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) mengukur jumlah ion hidrogen di dalam air. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat kelarutan bahan kimia beracun dalam air. Derajat pH yang tinggi akan menyebabkan kebanyakan logam menjadi lebih beracun dan mudah larut dalam air.

4. Nutrient

Nutrient seperti Posfor dan Nitrogen berperan penting dalam pertumbuhan alga dan tumbuhan yang lain. Namun, konsentrasi yang berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan yang di atas batas normal sehingga mengurangi jumlah oksigen terlarut di air sungai. Pupuk yang berlebihan, sistem septik tank yang buruk, dan limbah air adalah sumber posfor dan nitrogen.

5. Elecritical Conductivity (EC)

Electrical Conductivity (EC) adalah kemampuan untuk menghasilkan listrik. Bila EC meningkat, itu menandakan bahwa terdapat ion terlarut sehingga


(13)

13 dapat digunakan dalam memprediksi masalah kualitas air. Secara alami, air memiliki kemampuan untuk menghantarkan listrik karena air merupakan konduktor yang baik. Peningkatan ion terlarut yang ditunjukkan oleh nilai EC yang meningkat menandakan bahwa ada cemaran logam karena. Logam tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan bila terakumulasi terus-menerus dalam tubuh biota laut.

3.2 Hipotesis Environmental Kuznet Curve (EKC)

Dinda (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya hipotesis EKC menggambarkan dinamika perubahan pendapatan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan seperti emisi. Ketika pendapatan meningkat, emisi juga meningkat sepanjang waktu sampai tingkat pendapatan tertentu. Setelah itu, emisi akan mulai menurun. Studi EKC merupakan fenomena jangka panjang sehingga periode ketika emisi mulai menurun tidak dapat dikatakan secara eksplisit.

Proses yang terjadi adalah ekonomi yang terus bertumbuh dalam tahap perkembangan yang berbeda sepanjang waktu. Studi ini dapat dilakukan di satu negara maupun kelompok negara dengan menganalisis data panel pendapatan ekonomi dan variabel kualitas lingkungan. Menurut hipotesis kurva Kuznet mengenai hubungan emisi dan dan pendapatan, garis regresi seharusnya membentuk huruf U terbalik.

Dari studi hipotesis EKC yang dilakukan oleh Dinda (2004) terhadap sejumlah penelitian terdahulu oleh, beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap bentuk kurva EKC dijelaskan sebagai berikut.


(14)

14 Elastisitas pendapatan terhadap permintaan kualitas lingkungan lebih dari satu dan bernilai positif. Hal ini berarti peningkatan permintaan terhadap kualitas lingkungan lebih besar daripada peningkatan pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, masyarakat menginginkan standar kehidupan yang lebih tinggi dan lebih peduli terhadap kualitas lingkungan. Setelah mencapai tingkat pendapatan yang menyebabkan emisi menurun, willingness to pay meningkat dengan proporsi yang lebih besar daripada pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari donasi terhadap organisasi lingkungan dan preferensi terhadap eco-product. Penduduk berpendapatan tinggi umumnya lebih menghargai dan melestarikan lingkungan daripada penduduk berpendapatan rendah. Tidak hanya mampu membeli eco products, mereka juga mampu menekan pemerintah maupun perusahaan dalam hal pengaturan dan perlindungan lingkungan.

2. Efek Skala, Teknologi, dan Komposisi

Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kualitas lingkungan melalui tiga cara yaitu efek skala, teknologi, dan komposisi. Peningkatan output membutuhkan lebih banyak input dari sumber daya alam yang juga berarti peningkatan emisi sebagai produk sampingan proses produksi. Peningkatan output akibat ekonomi yang bertumbuh akan meningkatkan lebih banyak polusi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menciptakan efek skala yang memiliki efek negatif terhadap lingkungan.

Pertumbuhan ekonomi juga memiliki positif melalui efek komposisi. Peningkatan pendapatan cenderung mengubah struktur ekonomi dengan meningkatan aktivitas ekonomi yang menghasilkan lebih sedikit polusi. Kerusakan lingkungan cenderung meningkat ketika dari era pertanian ke industri


(15)

15 berbasis energi, namun mulai menurun ketika memasuki industri berbasis jasa dan teknologi. Negara kaya umumnya memiliki dana yang cukup untuk riset dan pengembangan sehingga teknologi lama dapat diperbaharui terus menerus dengan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. Efek skala yang berdampak buruk terhadap lingkungan di masa awal pertumbuhan ekonomi dapat dikompensasi dengan dampak positif dari skala komposisi dan teknologi.

3. Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah faktor paling penting yang dapat menjelaskan EKC. Perdagangan meningkatkan ukuran ekonomi dan akhirnya meningkatkan polusi juga. Namun, perdagangan internasional dapat menyebabkan efek yang kontradiktif. Di satu sisi, kualitas lingkungan dapat memburuk melalui efek skala ketika volume perdagangan meningkat khususnya ekspor. Di sisi lain, perdagangan dapat memperbaiki kualitas lingkungan melalui efek komposisi dan teknologi. Ketika ekonomi meningkat melalui perdagangan, peraturan lingkungan semakin diperketat sehingga dapat mendorong adanya inovasi untuk mengurangi polusi.

4. Displacement Hypothesis

Hipotesisnya adalah industri berpolusi tinggi akan berpindah dari negara maju dengan peraturan lingkungan yang ketat ke negara berkembang karena negara ini masih dalam tahap mengembangkan ekonomi sehingga peraturan lingkungan cenderung lemah untuk menarik minat investor. Negara yang mengekspor barang manufaktur membutuhkan banyak energi dan menghasilkan polusi yang tinggi juga. Untuk barang yang produksinya menghasilkan polusi yang tinggi, negara berkembang cenderung menjadi net exporter dan negara maju


(16)

16 menjadi net importer. Hal ini berarti negara berkembang fokus pada industri

“kotor” dan produksi berbasis input material, sedangkan negara maju fokus pada

industri “bersih” dan produksi berbasis jasa.

5. Harga

Tahap awal pertumbuhan ekonomi sering dikaitkan dengan eksploitasi sumber daya yang intensif. Hal ini dapat mengurangi stok sumber daya alam. Efisiensi penggunaan sumber daya alam mulai meningkat ketika tingkat pendapatan tertentu dicapai dan di saat yang sama pasar untuk sumber daya lingkungan mulai berkembang, Harga mencerminkan nilai sumber daya. Harga sumber daya alam yang semakin meningkat mendorong peralihan ke industri berbasis teknologi yang sedikit polusi. Sebagai contoh adalah peningkatan haraga minyak bumi mengakibatkan banyak pihak mulai meneliti sumber energi alternatif lain.

2.3 Studi Empiris Environmental Kuznet Curve (EKC) Terdahulu

Kerusakan lingkungan sebagai konsekuensi atas pertumbuhan yang didasarkan pada ekstraksi sumberdaya alam berlebihan telah membuat banyak peneliti melakukan studi terhadap hubungan kerusakan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada hipotesis EKC. Shafik (1992) melakukan studi terhadap delapan indikator kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan di berbagai negara, yaitu: kekurangan air bersih, sanitasi yang buruk, ambang batas suspended partial matter (spm), sulfur dioksida (SO2), perubahan luas hutan pada periode 1961-1986, rataan deforestasi tahunan,

oksigen terlarut Dissolved Oxygen (DO) di sungai, konsentrasi feces manusia di sungai, limbah rumah tangga per kapita, dan polusi karbon per kapita. Pendapatan


(17)

17 signifikan untuk semua indikator kualitas lingkungan, tetapi hubungan antar variabel tersebut tidak dapat disimpulkan. Ketika pendapatan meningkat, kebanyakan indikator kualitas lingkungan menjadi memburuk, kecuali akses terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini berarti peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat mampu memiliki sanitasi dan stok air bersih yang semakin memadai.

Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan investasi tinggi cenderung lebih banyak mengeksploitasi sumber daya. Teknologi terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Uji ekonometrik juga menunjukkan bahwa kebijakan makroekonomi seperti volume perdagangan dan utang sepertinya memiliki efek yang relatif kecil terhadap lingkungan.

Hasil studi ini sesuai dengan analisis dan review yang dilakukan Dinda (2004) terhadap berbagai literatur EKC terdahulu. Negara maju telah melakukan inovasi teknologi secara kontinu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempertahankan tingkat real income, dan memperkecil laju kerusakan. Difusi teknologi dari negara maju dapat mencegah negara berkembang mengalami kerusakan lingkungan seperti yang sudah dialami negara maju sebelumnya. Perdagangan internasional mempengaruhi lingkungan karena perdagangan cenderung meningkatkan ukuran ekonomi yang selanjutnya meningkatkan tingkat polusi. Di sisi lain, perdagangan teknologi antar negara maju dengan negara berkembang dapat mengurangi tingkat polusi.

Kurva EKC hanya terbukti pada indikator polusi udara yang diukur pada tingkat lokal. Penjelasan yang memungkinkan untuk pembuktian kurva tersebut adalah (1) Transformasi dari ekonomi agraria yang bersih ke ekonomi industri


(18)

18 yang menghasilkan polusi tinggi dan selanjutnya ke ekonomi berbasis jasa dengan tingkat polusi rendah dan (2) Penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi yang cenderung memiliki preferensi yang tinggi juga terhadap lingkungan.

Sebelumnya, Dinda (2000) juga telah melakukan studi empiris terhadap polutan udara (spm dan SO2) terhadap 33 negara yang dibagi menjadi negara

dengan tingkat pendapatan tinggi, sedang, dan rendah. Hubungan tersebut adalah kurva berbentuk huruf U sehingga bertentangan dengan hipotesis EKC. Mithyli (2011) juga menguji EKC terhadap konsentrasi bahan organik yang diukur melalui indikator Biological Dissolved Oxygen (BOD) di negara berkembang India dan menemukan hubungan berbentuk huruf tilted-S. Hal ini berarti polusi menurun seiring dengan peningkatan pendapatan sampai tingkat tertentu dan meningkat kembali sampai tingkat pendapatan titik balik yng kedua. Setelah itu, tingkat polusi akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan.

Hettige (2000) melakukan studi EKC di tiga belas negara untuk menguji dampak pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan yang diwakili oleh kontribusi sektor industri terhadap total output negara. Kontribusi sektor yang menghasilkan polusi dalam output industri, dan intensitas penggunaan polutan per unit output pada sektor yang menghasilkan polusi. Konstribusi industri terhadap total output memenuhi hipotesis kurva EKC, namun kedua indikator yang lain tidak sesuai. Ketika efek dari ketiga indikator tersebut digabungkan untuk melihat implikasi EKC secara menyeluruh, ternyata hipotesis EKC tidak terbukti.

Paudel (2008) kemudian memodifikasi hipotesis kurva Kuznet dengan mengadakan studi untuk mengetahui bagaimana pengaruh Social Capital (SC) terhadap polutan air (N, P, DO) pada 53 parishes di negara bagian Lousiana,


(19)

19 USA. Social capital merupakan karakteristik masyarakat seperti norma dan tingkat kepercayaan yang memungkinkan kelompok masyarakat bekerja sama secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. SC berpengaruh signifikan dalam menjelaskan polutan N, tapi tidak signifikan pada P dan DO. Namun, peneliti menemukan kurva U pada hubungan polutan N dan SC. Artinya adalah konsentrasi N yang tinggi terjadi pada tingkat SC yang rendah dan tinggi sehingga tingkat SC yang moderat adalah kondisi yang bagus untuk lingkungan. Secara keseluruhan, hipotesis EKC tidak terbukti. Komen (1997) juga melakukan studi lebih mendalam terhadap hipotesis EKC dengan menganalisis hubungan antara pendapatan dan pendapatan per kapita yang dialokasikan untuk penelitian terkait lingkungan di sembilan belas negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Elastisitas pendapatan terhadap dana penelitian untuk perbaikan lingkungan adalah positif dan mendekati satu.

Studi EKC di tingkat negara seperti yang disarankan oleh Dinda (2004) telah pernah dilakukan oleh Mithyli (2011) dengan menggunakan variabel konsentrasi BOD, urbanisasi, dummy industri untuk periode 1990-1991 dan 2005-2006 di India yang merupakan salah satu negara berkembang. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah studi di negara maju dengan menggunakan data tahun 1978-2004 yang diharapkan dapat menjelaskan perubahan indikator polusi air sungai dan pendapatan per kapita jangka panjang. Dalam hal ini, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi mencengangkan setelah dekade 1960-an yang diikuti polusi air sungai, tetapi saat ini, kualitas air sungai sudah membaik dengan adanya peraturan dan meningkatnya perhatian publik


(20)

20 terhadap kualitas lingkungan yang baik. Selain itu, penelitian ini juga memasukkan variabel kepadatan penduduk untuk menggambarkan pengaruh kepadatan penduduk terhadap polusi air sungai.


(21)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah pertumbuhan penduduk secara signifikan dan keterbatasan sumber daya alam. Walaupun terbatas, sumber daya alam diposisikan sebagai input yang dapat diekstrak sebanyak-banyaknya untuk merespon pertumbuhan penduduk yang meningkat sangat cepat. Akibatnya adalah pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan permasalahan lingkungan seperti krisis energi, pemanasan global, krisis air bersih, deforestasi, dan polusi air, tanah, serta udara.

Berbagai studi menemukan hubungan berbentuk U terbalik pada variabel kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan ini identik dengan hubungan antara pendapatan dan ketidakmerataan pendapatan yang dikemukakan Kuznet pada tahun 1955 sehingga kurva kemudian dikenal dengan istilah Kurva Kuznet. Hipotesis pada kurva Kuznet menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan, kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan sampai pada tahap tertentu. Setelah itu, tingkat kerusakan akan menunjukkan trend yang menurun karena masyarakat berpendapatan tinggi memiliki preferensi yang tinggi terhadap kualitas lingkungan dan adanya teknologi yang memungkinkan untuk mengurangi laju kerusakan.

Studi empiris telah banyak dilakukan oleh peneliti. Hipotesis itu terbukti pada sebagian polutan, namun ada juga studi yang tidak menemukan bukti empiris kurva EKC. Terdapat hasil studi EKC yang mengikuti pola lain seperti huruf U, bentuk N, tilted-S, dan bentuk hubungannya tidak dapat didefenisikan. Umumnya, studi EKC dilakukan melalui uji panel terhadap data dari sekelompok negara. Dinda (2004) mengkritik metode tersebut. Asumsi pengumpulan semua data dari


(22)

22 negara yang berbeda menjadi satu panel perlu dipertanyakan karena tiap negara bersifat spesifik sehingga tidak dapat digeneralisasikan.

Jepang merupakan salah satu negara yang menarik untuk diteliti karena memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti oleh kerusakan lingkungan di awal masa keemasan Jepang pada dekade 1960-an, namun saat ini, kualitas lingkungan sudah membaik. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian untuk menguji kurva EKC di Jepang dalam hubungan antara konsentrasi BOD dengan pendapatan per kapita.

Hipotesis yang mendasari adalah konsentrasi BOD akan dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan kepadatan penduduk. Semakin tinggi kepadatan penduduk, maka BOD akan semakin tinggi karena sungai akan semakin terpolusi akibat aktivitas manusia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tinggi yang digambarkan oleh tingkat pendapatan per kapita akan diikuti oleh peningkatan konsentrasi polutan sampai pada tingkat pendapatan tertentu dan menurun kembali seiring dengan peningkatan pendapatan.

Regresi panel data akan menghasilkan bentuk kurva hubungan BOD dengan pendapatan per kapita di Jepang sehingga tingkat pendapatan yang merupakan titik balik dimana konsentrasi BOD mulai menurun dapat dihitung. Selanjutnya, akan dipaparkan sejarah polusi air dan peraturan lingkungan di Jepang. Untuk menghubungkan dengan kondisi Indonesia, akan dijelaskan juga pelajaran yang dapat diperoleh Indonesia dari pengalaman negara Jepang yang telah mengalami kerusakan lingkungan sebelumnya. Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut disajikan dalam Gambar 4.


(23)

23 Gambar 4. Kerangka Berpikir Penelitian

Studi EKC di suatu negara yaitu Jepang untuk menguji kurva EKC pada konsentrasi BOD sebagai indikator polusi air sungai dengan

pendapatan per kapita untu

Kerusakan lingkungan Pendapatan

Pertumbuhan penduduk tinggi dan keterbatasan sumber daya alam

Ekstraksi sumber daya alam untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi tinggi

Hipotesis Kuznet: Hubungan pendapatan dengan kerusakan lingkungan

Studi empiris EKC telah banyak dilakukan: analisis data panel terhadap kelompok negara (cross country)

Kritik terhadap studi cross country (Dinda, 2004):

Asumsi yang membuat data antar negara dikumpulkan menjadi satu panel perlu ditinjau ulang

Regresi panel data untuk mengetahui hubungan bentuk kurva titik balik pendapatan per kapita

 Setelah perang dunia II, Jepang berhasil menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia namun diikuti dengan polusi air sungai

Sejarah Polusi Air dan Peraturan Lingkungan Jepang Pelajaran bagi Indonesia dari pengalaman Jepang yang telah


(24)

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengumpulan data sekunder dari sebelas kota besar di wilayah Kanto. Lokasi ini dipilih karena Kanto terletak di pulau Honshu yang merupakan pulau terbesar di Jepang dan sekaligus berperan sebagai pusat perekonomian, penduduk, serta pemerintahan. Oleh karena itu, lokasi ini dianggap dapat mewakili dinamika konsentrasi BOD dan perdapatan per kapita sebagai indikator kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi Jepang. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada rentang Juli-Agustus 2011. 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang berasal dari data time series tahunan pada periode 1978-2004 dari sebelas kota di Jepang. Daftar kota tersebut diberikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daftar Kota Besar Lokasi Penelitian

No Kota Provinsi

1 Mito Ibaraki

2 Utsunomiya Tochigi

3 Otawara Tochigi

4 Maebashi Gunma

5 Tagasaki Gunma

6 Kawagoe Saitama

7 Saitama Saitama

8 Nagareyama Chiba

9 Hachioji Tokyo

10 Chofu Tokyo

11 Yokohama Kanagawa

Sumber : data olahan

Variabel yang diamati adalah jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas area, dan konsentrasi polutan sungai, yaitu BOD pada rentang waktu 1978-2004. Data BOD diambil dari sungai Tone, Tama, dan Ara. Jumlah data untuk


(25)

25 untuk 1 kota adalah 27 x 4 = 108 sehingga total data adalah sebesar 108 x 11 = 1188. Data pendapatan per kapita diperoleh dari laporan tahunan provinsi dan konsentrasi BOD diperoleh dari Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism. Sementara itu, data jumlah populasi dan luas area diperoleh dari masing-masing website tiap kota yang termasuk dalam wilayah penelitian.

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Secara umum, analisis akan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif yaitu panel data. Namun, sebelumnya akan dibentuk model yang akan diregresikan menurut regresi panel data. Hal ini akan dijelaskan secara rinci pada uraian berikut.

4.3.1 Metode Analisis Data`

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kondisi historis polusi air dan peraturan lingkungan di Jepang serta pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari Jepang yang sudah terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan. Sementara itu, metode kuantitatif digunakan dalam uji empiris terhadap hipotesis Kuznet untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi BOD dengan pendapatan per kapita. Uji empiris ini dilakukan dengan menggunakan analisis panel data pada software E- views.

4.3.2 Perumusan Model

Faktor yang mempengaruhi konsentrasi BOD adalah pendapatan per kapita dan populasi penduduk. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat kurva EKC yang memiliki dua titik balik (kurva kubik). Penjelasan yang memungkinkan adalah pada tingkat pedapatan yang sangat


(26)

26 tinggi, aktivitas ekonomi menjadi sangat pesat sehingga dampak negatif nya pada lingkungan tidak dapat diimbangi oleh efek teknologi dari peningkatan pendapatan (Mythili, 2011).Oleh karena itu, analisis panel data akan dilakukan dengan model parametrik yang terdiri dari model model kuadratik dan kubik. Modelnya dituliskan dalam persamaan 3.

………... (3) Keterangan:

BOD : Konsentrasi Biological Oxygen Demand 75% (mg/L) Inc : Pendapatan per kapita (¥ 1.000)

Popden : Kepadatan Penduduk (orang/km2) : Gangguan Acak

i : Kota ke-i

t : Periode waktu (1978,1979,...2004) m : 2 (persamaan kuadratik)

m : 3 (persamaan kubik)

Hipotesis yang dikembangkan dalam model ini adalah semakin tinggi pendapatan per kapita maka konsentrasi BOD juga akan meningkat sampai tingkat pendapatan tertentu. Kemudian konsentrasi BOD akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita sehingga terbentuk kurva kuznet berbentuk huruf U terbalik. Selanjutnya, kepadatan penduduk akan berpengaruh positif terhadap konsentrasi BOD karena peningkatan aktivitas manusia akan meningkatkan pencemaran air yang dapat dicerminkan oleh konsentrasi BOD. Oleh karena itu tanda yang diharapkan adalah koefisien variabel Inc yang positif


(27)

27 dan variabel Inc2 yang negatif sehingga terbentuk kurva U terbalik. Sementara itu, koefisien variabel Popden diharapkan bernilai positif.

Bentuk kurva Kuznet kemudian ditentukan melalui nilai variabel

yang diperoleh dari analisis terhadap persamaan. Bentuk kurva yang mungkin dari analisis model diberikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kemungkinan Kurva Hasil Estimasi Model

Bentuk Kurva Gambar

Monoton linear positif 0 0 >0 Monoton linear

negatif 0 0 <0 Berbentuk U <0 >0 0 Berbentuk U terbalik >0 <0 0 Berbentuk N >0 <0 >0 Berbentuk tilted-S <0 >0 <0

Sumber: De Bryuyn, Van Den Bergh JC, Opschoor (1998)

Titik balik dapat diperoleh dengan mencari turunan pertama dan membuatnya sama dengan nol. Bentuk persamaan kuadratik dan kubik adalah sebagai berikut:

…………... (4)

... (5)

Maka turunan pertama BOD terhadap Inc adalah:


(28)

28 Kubik : ... (7) Dengan membuat persamaan (6) dan (7) sama dengan nol, maka diperoleh : Kuadratik :

... (8)

Kubik :

... (9) Pengaruh perubahan pendapatan per kapita terhadap konsentrasi BOD dapat dihitung dengan menggunakan konsep elastisitas dengan persamaan sebagai berikut.

... (10) ... (11) 4.3.3 Metode Pengolahan Data

Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode panel data. Panel data merupakan pengukuran berulang terhadap variabel yang sama sepanjang waktu, misalnya: karakteristik rumah tangga, individu, dan perusahaan. Sejumlah N individu (i=1,2,3,...N) diukur dalam T periode waktu (t=1,2,3,...T). Dengan kata lain, panel data adalah kombinasi antara data satu unit variabel yang diukur pada periode waktu yang berbeda (cross section) dan data beberapa variabel berbeda yang diukur dalam waku yang sama (time series). Panel data juga sering disebut pooled data, micropanel data, dan longitudinal data. Secara umum, jumlah N variabel lebih besar dari periode pengukuran , tetapi pengukuran data N variabel yang kecil pada periode waktu yang besar juga mungkin terjadi.

Baltagi (2005) memberikan beberapa alasan mengapa panel data lebih baik digunakan dalam penelitian sosial ekonomi sebagai berikut:


(29)

29 1. Panel data mengandung heterogeneitas karena pengukurannya dilakukan terhadap individu, perusahaan, wilayah, ataupun negara yang berbeda. Teknik estimasi panel data memasukkan variabel yang bersifak spesifik terhadap analisis.

2. Penggabungan cross section dan time series menyebabkan panel data dapat memberikan data yang lebih informatif, beragam, kolinearitas antar variabel yang berkurang, dan efiensi serta derajat bebas yang meningkat.

3. Panel data melakukan pengamatan berulang sehingga dapat memahami proses perubahan dinamis yang terjadi dalam variabel yang diukur.

4. Panel data lebih baik dalam mengukur efek yang tidak terdeteksi dalam data time series dan cross section. Contohnya adalah efek hukum upah minimum lebih mudah dipelajari bila peneliti memasukkan perubahan upah di beberapa wilayah sepanjang waktu.

5. Panel data memungkinkan peneliti untuk mempelajari studi perilaku yang lebih kompleks.

6. Panel data dapat meminimalkan derajat bebas bila jumlah unit variabel cukup besar.

Jenis data yang akan diuji adalah balance panel, yang artinya tiap variabel memiliki jumlah pengamatan yang sama pada periode 1978-2004. Menurut Gujarati (2009), terdapat tiga macam pendekatan dalam analisa panel data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Random Effect Model (REM), dan Fixed Effect Model (FEM). Metode PLS mengasumsikan semua variabel penjelas adalah variabel non stokastik. Estimasi PLS akan menghasilkan nilai R2 yang signifikan dan sangat tinggi, namun statistik Durbin-Watson sangat rendah sehingga dapat


(30)

30 diduga bahwa mungkin terdapat autokorelasi dalam data. Nilai Durbin-Watson yang rendah juga berhubungan dengan kesalahan spesifikasi. Masalah utama model PLS adalah model mengabaikan heterogeneitas yang mungkin terjadi antar individu. Akibatnya adalah error term dapat berhubungan dengan variabel penjelas sehingga terjadi bias. Padahal, salah satu asumsi penting dalam regresi linear klasik adalah tidak ada korelasi antara variabel penjelas dengan error term.

Untuk memperoleh koefisien parameter yang mengakomodasi heterogeneitas, akan dilakukan analisis dengan menggunakan model Fixed Effect Model (FEM) dan model Random Effect Model (REM). FEM mengasumsikan bahwa intersep boleh berbeda antar individu namun sama antar waktu. Sementara itu, koefisien parameter atau slope diasumsikan sama antar waktu dan individu. Untuk memungkinkan intersep berbeda berbeda antar individu, akan dilakukan dengan metode dummy. Hasil estimasi FEM menunjukkan bahwa koefisien intersep signifikan sehingga masalah heterogenitas telah teratasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model FEM lebih baik daripada model PLS. Namun, teknik dummy yang digunakan dalam model FEM mengakibatkan berkurangnya derajat bebas. Dalam hal ini, metode ini gagal mengakomodasi variabel penjelas yang mungkin tidak berbeda sepanjang waktu karena memiliki nilai yang sama. Oleh karena itu, variabel dummy mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang model yang baik.

Untuk mengatasi hal ini, pendekatan yang digunakan adalah metode yang dapat mengakomodasi perbedaan waktu dan individu melalui komponen disturbance error melalui metode REM. Oleh karena itu, komponen error terdiri


(31)

31 dari dua bagian, yaitu: individual spesific error dan time error. Error gabungan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas.

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa model PLS memang kurang dapat diandalkan sehingga regresi panel data akan dilakukan pada model FEM dan REM. Penentuan model terbaik diantara keduanya dilakukan dengan menggunakan uji Hausman.

H0 : REM lebih baik daripada FEM H1 : FEM lebih baik daripada REM

Uji nilai statistik Hausman signifikan apabila probabilitasnya kurang dari taraf nyata sehingga Ho ditolak yang artinya FEM lebih baik daripada REM. Untuk melihat signifikansi variabel akan dilakukan uji t hitung pada taraf alfa 5% dengan hipotesis sebagai berikut.

Ho : H1 : (Variabel tersebut mempengaruhi BOD)

Hipotesis nol (Ho) ditolak apabila nilai n : jumlah data

k : jumlah variabel

Untuk n > 30, nilai

Jumlah data dalam penelitian ini melebihi 30 buah sehingga bila nilai

, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa variabel tidak mempengaruhi BOD akan ditolak. Artinya adalah variabel tersebut akan signifikan.


(32)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kanto adalah wilayah geografis yang terletak di sebelah tenggara Pulau Hoshu yang meliput provinsi Gunma, Tochigi, Ibaraki, Saitama, Tokyo, Chiba, dan Kanagawa. Di daerah ini terdapat empat Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Sami, DAS Tama, DAS Tone, dan DAS Ara. Keempatnya bermuara di Tokyo Bay dan samudera Pasifik. Sungai yang termasuk dalam lokasi pengambilan data konsentrasi BOD dalam penelitian ini adalah sungai Tama, Sungai Ara, dan Sungai Tone. Peta wilayah Kanto diberikan dalam Gambar 5.

Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism Japan (2002) Gambar 5. Peta Lokasi Wilayah dan Sungai di Kanto

Kanto merupakan pusat perkembangan ekonomi dan pemerintahan di Jepang. Di wilayah Kanto terdapat Greater Tokyo Area yang merupakan merupakan kota metropolitan terbesar kedua di dunia setelah New York Metropolitan Area. Wilayah administrasinya meliputi provinsi Tokyo, Kanagawa, Saitama, dan Chiba.


(33)

33 Menurut sensus resmi pemerintah pada tahun 2010, jumlah penduduk di Jepang adalah 127.803.597 orang. Jumlah populasi di wilayah Kanto mencapai sepertiga dari total penduduk. Hal ini dikarenakan oleh empat provinsi di Kanto termasuk dalam sepuluh provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu Tokyo (1), Kanagawa (2), Saitama (5), dan Chiba (6). Sementara itu, Ibaraki berada di urutan sebelas, Gunma di urutan delapan belas, dan Tochigi di urutan sembilan belas. Dari segi kepadatan penduduk, provinsi Tokyo, Kanagawa, Saitama, dan Chiba masih berada dalam daftar provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi. Tokyo tetap menjadi provinsi dengan penduduk terpadat. Kanagawa berada di urutan tiga, Saitama di urutan empat, dan Chiba tetap di urutan lima. Sementara itu, Ibaraki berada di urutan dua belas, Gunma di urutan dua puluh satu, dan Tochigi di urutan dua puluh dua. Estimasi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk beserta ranking per provinsi di Jepang diberikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4

Tabel 3. Provinsi dengan Estimasi Jumlah Penduduk Terbanyak di Jepang Tahun 2011

No Nama Provinsi Jumlah Penduduk (orang)

1 Tokyo 13,186,562

2 Kanagawa 9,059,616

3 Osaka 8,865,448

4 Aichi 7,420,215

5 Saitama 7,204,168

6 Chiba 6,211,820

7 Hyogo 5,582,114

8 Hokkaido 5,485,916

9 Fukuoka 5,080,308

10 Shizuoka 3,752,592


(34)

34 Tabel 4. Provinsi dengan Estimasi Kepadatan Penduduk Tertinggi di

Jepang Pada Tahun 2011

No Nama Provinsi Kepadatan Penduduk

(orang/km2)

1 Tokyo 6,027.73

2 Osaka 4,670.92

3 Kanagawa 3,750.07

4 Saitama 1,897.21

5 Aichi 1,436.75

6 Chiba 1,204.63

7 Fukuoka 1,020.72

8 Hyogo 664.86

9 Okinawa 615.97

10 Kyoto 570.65

Sumber: Higashide (2011)

Konsentrasi penduduk yang besar di Kanto terjadi karena wilayah ini merupakan pusat perekonomian di Jepang. Untuk tahun 2006, Jepang adalah negara dengan GDP terbesar kedua di dunia setelah USA dengan total nilai output sebesar $ 4.362,1 (Kanto Bureau of Economy, Trade, and Industry, 2009). Sebanyak 44% aktivitas perekonomian Jepang berlokasi di Kanto dengan total nilai sekitar ¥ 228 triliun. Pada tahun 2007, Tokyo merupakan provinsi dengan GDP nominal terbesar di Jepang dengan nilai sebesar 92,3 triliun Yen. Provinsi yang termasuk dalam Greater Tokyo Area seperti Kanagawa dan Saitama juga merupakan penyumbang GDP nominal terbesar, masing-masing di urutan keempat dan kelima. Daftar GDP nominal berdasarkan provinsi diberikan dalam Gambar 6.


(35)

35 Sumber: Tokyo Metropolitan Government (2011)

Gambar 6. Provinsi dengan GDP Nominal Terbesar di Jepang Tahun 2007 Kegiatan ekonomi utama di Tokyo adalah industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan), industri sekunder (konstruksi, pertambangan, dan manufaktur), industri tersier (perumahan, asuransi keuangan, komunikasi, transportasi, listrik, air, gas, dan layanan jasa) dan administrasi publik. Berbeda dari era industrialisasi yang menekankan industri primer dan sekunder sebagai sektor utama ekonomi, kecenderungan saat ini adalah pergeseran ke industri tersier yang tidak membutuhkan banyak input material. Pada tahun 2008, bersama dengan sektor administrasi publik, industri tersier seperti layanan jasa, perumahan, keuangan, dan asuransi menunjukkan pertumbuhan yang positif. Sementara itu, sektor pertanian, kehutanan, perikanan, manufaktur, dan pertambangan menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Pertumbuhan GDP sektor ekonomi utama di Tokyo ditampilkan dalam Gambar 7.

Provinsi Ibaraki terletak di Sebelah utara Kanto. Menurut data dari website resmi Provinsi Ibaraki, perekonomian di Ibaraki tergantung pada industri dan pertanian. Industri utama adalah industri berat (71,1%) yang terdiri dari produksi mesin, bahan kimia, peralatan listrik, baja, dan komponen lainnya. Sementara itu, sebanyak 28,9% merupakan industri ringan seperti keramik, pasir, minuman, plastik, dan makanan. Pada tahun 2010, GDP nominal sektor pertanian adalah

0 20 40 60 80 100

Tokyo Osaka Aichi Kanagawa Saitama

G D P (T ri li un Y en ) Provinsi


(36)

36 sekitar ¥ 430 Miliar dan merupakan lokasi pertanian paling produktif kedua di Jepang. Produk pertanian yang utama adalah melon, babi, beras Koshihikari, dan hasil perikanan. Industri utama dan data GDP nominal pertanian pada tahun 2006-2010 untuk provinsi Ibaraki diberikan dalam Gambar 8 dan Tabel 5.

Sumber: Tokyo Metropolitan Government (2011)

Gambar 7. Tingkat Pertumbuhan GDP Nominal Per Sektor pada Tahun 2008 di Tokyo

Sumber : http://www.pref.ibaraki.jp/bukyoku/seikan/kokuko/en/data/industry.htm Gambar 8. Industri Utama di Provinsi Ibaraki pada Tahun 2010


(37)

37 Tabel 5. GDP Nominal Sektor Pertanian Provinsi Ibaraki Tahun 2006-2010

Tahun Miliar Yen

2006 399

2007 408

2008 428

2009 417

2010 430

Sumber : http://www.pref.ibaraki.jp/bukyoku/seikan/kokuko/en/data/industry.htm Perekonomian Provinsi Tochigi ditopang oleh sektor manufaktur dengan konstribusi sebesar 36,6% terhadap total perekonomian Jepang dan termasuk dalam lokasi industri yang penting. Produksi output manufaktur di Tochigi cukup beragam mulai peralatan transportasi, informasi, elektronik, minuman, tembakau, plastik, logam, baja, dan kertas. Dari total output barang dan jasa, sektor utama adalah industri peralatan transportasi, dan informasi dengan kontribusi masing-masing sebesar 18,8 % dan 10,6 %. Sementara itu, sektor lain seperti kertas, makanan, elektrik, dan baja hanya berkontribusi kurang dari 5%. Ratio output manufaktur di Provinsi Tochigi diberikan dalam Gambar 9. Saat ini pemerintah daerah sedang mengembangkan Tochigi menjadi salah satu pusat industri utama di Jepang dengan mengupayakan adanya pusat penelitian untuk teknologi industri, seminar dan training serta pertemuan internasional untuk mempromosikan Tochigi kepada para investor.


(38)

38 Sumber : http://www.pref.tochigi.lg.jp/kogyo/english/03/index2.html

Gambar 9. Ratio Output Manufaktur di Provinsi Tochigi pada Tahun 2010 Provinsi Gunma berbatasan dengan Tochigi di sebelah timur, Nagano di sebelah barat, Saitama di sebelah selatan, serta Nigata dan Fukushima di sebelah utara. Industri utama adalah peralatan tranportasi, peralatan pangan, listrik, dan bahan kimia. Lokasinya yang dekat dengan Tokyo Metropolitan Area sebagai pasar potensial yang sangat besar menyebabkan pertanian dikembangkan sebagai sektor utama perekonomian. Produk pertanian utama adalah kol, jamur Shitake, gandum, dan terong. (http://www.gunma-kokusai.jp/english/gunma-english/location-and-topography/, 2010).


(39)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Hubungan Konsentrasi BOD dan Pendapatan Per Kapita pada Polusi Air Sungai di Jepang

Hubungan antara variabel BOD dengan pendapatan per kapita diperoleh melalui regresi panel data. Regresi tersebut dilakukan dengan estimasi berdasarkan Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM) pada spesifikasi model kuadratik dan kubik. Hasil estimasi regresi ditampilkan pada Tabel 6 sedangkan hasil regresi secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran 1-10. Secara keseluruhan, hasil regresi panel data menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik dari tanda dan signifikasi koefisien variabel. Seperti dijelaskan sebelumnya, bila , maka variabel tersebut akan signifikan. Dalam tabel 6, variabel yang signifikan pada taraf alfa 5% ditunjukkan dengan tanda *. Untuk model kuadratik, semua variabel pendapatan (Inc dan Inc2) signifikan pada taraf nyata 5% dan tanda sesuai dengan yang diharapkan. Tanda variabel Inc diharapkan bernilai positif dan Inc2 bernilai negatif sehingga akan terbentuk kurva Kuznet yang berbentuk huruf U terbalik. Model FEM dan REM menunjukkan kurva yang sesuai dengan hipotesis yaitu kurva U terbalik.

Tabel 6. Hasil Estimasi Regresi Panel Data

Model Hasil Estimasi

REM FEM

Kuadratik

Incit 5,77 x 10-3* 6,7 x 10-3*

(7,8880) (9,0347) Incit 2 -1,25 x 10 -6* -1,3 x 10-6*

(-10,2894) (-10,4610) Popden -6,16 x 10-6 -1,6 x 10-3* Intercept (-0,0037) -2.27 (-1,8272) (-5,5756) 0,91 (0,7231) Hausman 77,2136

Test [0,0000] Turning Point 2.308,80 2.608,98

R-Square 0,3950 0,8461 Kurva


(40)

40 Tabel 6. Lanjutan

Model Hasil Estimasi

REM FEM

Kubik

Incit -5,2 x 10-3 -0,01

(-0,9607) (-1,9000) Incit 2 2,4 x 10-6 4,4 x 10-6*

(1,3448) (2,4265) Incit 3 -3,81 x 10-10* -5,92 x 10-10*

(-2,0523) (-3,1356) Popden -1,5x 10-4 -1,85 x 10-3*

(-0,8594) (-6,2432) Intercept 8,71

(1,6063)

18,03* (3,2204) Hausman Test 28,3867 [0,0000] Turning Point 1 2 1 2

Tidak Terdefinisi 1.990 2.980 R-square 0,4123 0,8439

Kurva Sumber: Data diolah

Keterangan : Tanda dalam ( ) menyatakan nilai t statistik dan tanda [ ] menyatakan probabilitas Tanda * berarti statistik pada taraf nyata 5%

Penentuan model yang terbaik antara FEM dengan REM dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Probabilitas uji Hausman bernilai 0,0000 dan lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa model terbaik adalah model REM akan ditolak. Titik Turning point model kuadratik dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.308,80 (REM), dan ¥ 2.608,98 (FEM). Dengan demikian, model yang terbaik untuk spesifikasi kuadratik adalah model FEM dengan turning point pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98.

Untuk model kubik, variabel pendapatan yang signifikan adalah variabel Inc2 dan Inc3 untuk model FEM serta variabel Inc3 untuk model REM. Untuk semua model, tanda Inc adalah negatif, Inc2 positif, dan Inc3 negatif sehingga kurva yang terbentuk adalah kurva berbentuk huruf tilted-S. Hal ini berarti polusi akan menurun pada awal pertumbuhan ekonomi. Setelah mencapai titik turning


(41)

41 point pendapatan yang pertama, polusi akan meningkat lagi dan menurun setelah turning point yang kedua.

Probabilitas uji Hausman menunjukkan nilai 0,0000. Nilai ini juga lebih kecil daripada taraf nyata (5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa FEM lebih baik daripada REM. Nilai turning point untuk model REM kubik ternyata tidak terdefenisi karena akar determinan dalam penghitungan turning point bernilai negatif. Oleh karena itu, hasilnya menjadi tidak terdefinisi. Turning point yang pertama untuk model kubik tercapai pada tingkat pendapatan ¥ 1.990 (FEM) dan yang kedua pada tingkat pendapatan ¥ 2.980 (FEM). Oleh karena itu, model yang dapat merepresentasikan model kubik adalah model FEM dengan turning point ¥ 1.990 dan ¥ 2.980.

Dari uji sebelumnya, FEM merupakan model yang terbaik di antara yang lainnya. Untuk menguatkan kesimpulan ini, kelayakan model akan ditinjau berdasarkan nilai R2. Model FEM memiliki nilai R2 yang paling tinggi, yaitu 84,61% (kuadratik) dan 84,39% (kubik). Sementara itu, untuk model REM, nilai R2 adalah 39,50% (kuadratik) dan 41,23% (kubik). Oleh karena itu, secara jelas terlihat bahwa model FEM adalah yang terbaik dimana model dapat menjelaskan sekitar 84% keragaman variabel yang dijelaskan yaitu konsentrasi BOD di sungai.

Model ini juga memasukkan variabel kepadatan penduduk (Popden) sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkat konsentrasi BOD di perairan. Untuk spesifikasi kuadratik dan kubik, variabel Popden signifikan untuk model FEM, namun tidak signifikan pada model REM. Sementara itu, dari segi tanda, koefisien bernilai negatif untuk model FEM dan REM


(42)

42 Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa model FEM merupakan model yang terbaik dimana variabel Popden signifikan tetapi tandanya negatif. Menurut hipotesis, seharusnya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi BOD yang artinya air sungai semakin terpolusi akibat aktivitas manusia yang meningkat. Oleh karena itu, variabel Popden diharapkan bertanda positif. Penjelasan yang memungkinkan adalah variabel kepadatan penduduk memang signifkan mempengaruhi peningkatan konsentrasi BOD, tetapi peraturan yang tegas dan dan perhatian publik akan kualitas lingkungan berhasil menurunkan konsentrasi limbah di perairan. Survei terhadap konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang juga merupakan salah satu indikator polusi air dari sungai yang bermuara di Tokyo Bay pada tahun 1999 menunjukkan bahwa hampir 70% limbah berasal dari penggunaan domestik. Namun, adanya peraturan tentang drainase menyebabkan jumlah total konsentrasi COD menurun hampir 50% dibandingkan dua puluh tahun sebelumnya. Hal ini ditampilkan dalam Gambar 10.

Sumber : Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism (2002)

Gambar 10. Proporsi Sumber Polutan Chemical Oxygen Demand (COD) di Tokyo Bay Tahun 1979-1999


(43)

43 Faktor penjelas selanjutnya adalah perhatian publik terhadap kualitas lingkungan, misalnya partisipasi dalam kegiatan restorasi sungai. Nakamura (2006) menyatakan bahwa meningkatnya harga minyak pada dekade 1970-an melambatkan pertumbuhan ekonomi Jepang dan masyarakat mulai sadar akan lingkungan yang rusak selama industrialisasi pesat sebelumnya. Dekade 1990-an adalah titik balik perhatian masyarakat dan pemerintah sekaligus sebagai awal dari aktivitas restorasi sungai. Kegiatan terus digencarkan hingga tahun 2011 dan berhasil memulihkan sungai dari berbagai kerusakan seperti penyempitan badan sungai dan perkembangan spesies non native yang sangat pesat. Hal yang menarik dan membedakannya dari proyek serupa di negara lain yang umumnya disponsori oleh Non Government Organization (NGO) internasional yang kuat adalah aktivitas restorasi di Jepang berasal dari inisiatif kelompok masyarakat lokal dan NGO kecil. Walaupun mereka memiliki pengetahuan dan dana yang terbatas, mereka mampu menghubungkan ilmuwan dan pihak yang berwenang untuk merencanakan proyek restorasi yang lebih besar lagi. Pada kenyataannya, masyarakat Jepang menganut paham animisme yang mempercayai bahwa benda alam seperti danau, gunung, dan sungai adalah dewa yang harus dihormati.

Model FEM terdiri dari model kubik dan kuadratik. Pemilihan hasil estimasi terbaik akan dilakukan berdasarkan bentuk kurva. Kurva model FEM berbentuk kuadratik berbentuk kurva U terbalik, sedangkan model FEM kubik berbentuk kurva tilted-S. Kurva model FEM kuadratik sudah memenuhi hipotesis kurva Kuznet dimana polusi akan meningkat pada awal pertumbuhan ekonomi dan akhirnya menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Sementara itu, kurva FEM kubik menggambarkan kenyataan sebaliknya. Polusi akan menurun di


(44)

44 awal sampai titik turning point yang pertama, kemudian meningkat sampai titik turning point yang kedua dan menurun kembali.

Ditinjau dari signifikansi variabel, semua variabel model FEM kuadratik signifikan sedangkan terdapat satu variabel FEM kubik yang tidak signifikan sehingga secara jelas terlihat bahwa model FEM kuadratik lebih baik daripada FEM kubik. Walaupun tidak berbeda terlalu signifikan, nilai R2 FEM kuadratik sedikit (84,61%) lebih tinggi daripada R2 FEM kubik (84,39%). Oleh karena itu, model yang paling cocok untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan per kapita dan polusi air sungai yang dicerminkan oleh konsentrasi BOD pada sungai di Jepang adalah FEM kuadratik dengan model sebagai berikut.

Nilai turning point pendapatan per kapita adalah sebesar ¥ 2608,98, sedangkan nilai elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508. Hal ini berarti apabila pendapatan per kapita meningkat 1%, maka BOD akan menurun sebesar 0,508%. Kurva hipotetikal Kuznet di Jepang ditampilkan dalam Gambar 11.

Sumber : Data Diolah

Gambar 11. Kurva Hipotetikal Kuznet Jepang 0 2 4 6 8 10 12 B O D (m g/ L)

Pendapatan Per Kapita (¥1.000)


(45)

45 Gambar 12 menunjukkan hubungan konsentrasi BOD dan pendapatan per kapita kota Chofu dari tahun 1978 sampai 2004 dengan membandingkan nilai BOD yang sebenarnya dan BOD prediksi dari model FEM kuadratik. Kota Chofu dianggap dapat mewakili kota besar lokasi penelitian karena kota ini terletak di Provinsi Tokyo dan merupakan bagian dari Tokyo Metropolitan Area sebagai pusat perekonomian, industri, dan penduduk di Jepang. Model prediksi BOD ini cukup baik karena dapat mendekati nilai sebenarnya. Model FEM kuadratik menunjukkan bahwa turning point dicapai pada tingkat pendapatan ¥ 2.608,98. Dari gambar terlihat bahwa kota Chofu sudah melalui titik ini sehingga sekarang berada pada tahap kedua kurva Kuznet, yaitu peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti dengan penurunan konsentrasi BOD. Namun, dalam tahap ini, penurunan BOD cenderung fluktuatif, yaitu menurun, meningkat, menurun,meningkat, dan menurun kembali.

Sumber: data diolah

Gambar 12. Kurva Hipotetikal Kuznet Kota Chofu, Provinsi Tokyo

Untuk lebih memahami dinamika perubahan kualitas air sungai di Jepang, berikut akan dijelaskan data dalam laporan mengenai polusi air sungai yang

0 2 4 6 8 10 12 14 16 B O D (m g/ L)

Pendapatan Per Kapita (¥ 1.000)

BOD Prediksi BOD sebenarnya


(46)

46 dikeluarkan oleh Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan pada tahun 2009. Gambar 13 menunjukkan konsentrasi BOD pada tiga sungai utama di Jepang yaitu Sungai Otagawa yang mengalir di Hiroshima; Sungai Yoshinogawa yang mengalir di Kouchi dan Tokushima; dan Sungai Chikugawa yang mengalir di Kumamoto, Oita, dan Fukuoka. Sementara itu, Gambar 14 menunjukkan konsentrasi BOD sungai yang mengalir di lokasi industri, yaitu Sungai Ayasegawa yang mengalir di Saitama; Sungai Tamagama yang mengalir di Yamanashi, Tokyo, dan Kanagawa; Sungai Tsurumigawa yang mengalir di Tokyo dan Kanagawa; serta Sungai Yamatogawa yang mengalir di Nara dan Osaka.

Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 13. Konsentrasi BOD Sungai Utama di Jepang Periode 1973-2009 Konsentrasi BOD pada sungai utama berfluktuasi dari tahun 1973 sampai dekade 1990-an, namun secara umum menunjukkan kecenderungan yang menurun. Kualitas sungai ini masih dapat dikatakan bagus karena konsentrasi BOD masih berada pada batas ambang yang diijinkan. Konsentrasi tertinggi terdapat di sungai Chikugawa, yaitu sekitar 5,6 mg/L, sedangkan batas ambang BOD adalah kurang dari 1-10 mg/L (Ministry of Environment Japan).


(47)

47 Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan (2010) Gambar 14. Konsentrasi BOD Sungai di Kawasan Industri di Jepang pada Periode 1973-2009

Sementara itu, kualitas air sungai yang mengalir di kawasan industri seperti Tokyo, Saitama, Kanagawa dan Osaka sangat buruk karena konsentrasi BOD di perairan jauh lebih tinggi daripada batas ambang yang diperbolehkan (kurang dari 1-10 mg/L). Konsentrasi BOD tertinggi terjadi pada tahun 1973 di sungai Ayasegawa (sekitar 42 mg/L) yang mengalir melalui Saitama dan Tokyo.

Dekade 1960-an merupakan masa keemasan bagi perekonomian Jepang karena berhasil bangkit dari kekalahan setelah perang dunia kedua dan menjadi negara dengan GDP terbesar kedua di dunia. Pada saat itu, pemerintah masih terfokus pada upaya membangun perekonomian dengan industrialisasi dengan mengabaikan kualitas lingkungan. Gambar 15 menunjukkan limbah cair yang langsung dibuang ke perairan di Kitakyushu tanpa pengolahan lebih lanjut pada dekade 1960-an.


(48)

48 Sumber: Ministry of the Environment Japan (2009)

Gambar 15. Limbah Industri yang Langsung Dibuang ke Perairan Kitakyushu pada Dekade 1960-an

Pertumbuhan ekonomi yang menjadi target utama pemerintah mengakibatkan terjadinya bencana akibat lingkungan yang rusak. Dampak yang besar terhadap masyarakat dan ekosistem menyebabkan pemerintah mulai sadar untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Fokus pembangunan pun mulai diubah dengan membuat faktor lingkungan sebagai pusat sehingga aktivitas ekonomi harus diusahakan agar tidak membahayakan lingkungan. Hal ini sudah digambarkan oleh hasil estimasi regresi panel terhadap data pendapatan per kapita dan konsentrasi BOD yang menunjukkan kurva berbentuk huruf U terbalik. Setelah melalui tingkat pendapatan sebesar ¥ 2.608,98, konsentrasi BOD semakin menurun. Bukti pendukungnya adalah data time series tentang konsentrasi BOD sungai utama dan sungai di kawasan industri pada Gambar 12 dan Gambar 13 yang menunjukkan trend yang menurun sepanjang waktu.

6.2 Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang

Jepang merupakan salah satu negara maju dengan kualitas lingkungan yang baik. Namun, sebelumnya, Jepang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat intensif. Informasi dari kementerian Lingkungan Jepang menyebutkan bahwa polusi air telah terjadi di Jepang sebelum


(49)

49 era industrialisasi yaitu pada periode Meiji (1868-1912). Limbah tambang dari perusahaan Ashio Copper Mine dibuang langsung ke sungai Watarase sehingga menimbulkan gangguan kesehatan dan pencemaran lahan sawah di sekitar sungai. Setelah periode Meiji, polusi air terus meningkat dan menyebar ke berbagai wilayah di Jepang seiring dengan dimulainya industrialiasasi.

Kekalahan di perang dunia II menjadi momentum bagi Jepang untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang melalui industrialisasi. Transisi dari rekonstruksi pasca perang ke era keemasan ekonomi Jepang dimulai sejak dekade 1950an. Jepang berhasil mencapai Gross Domestic Product (GDP) yang melebihi GDP sebelum perang pada tahun 1953. Pada awal dekade 1960-an, dalam kondisi politik pasca perang yang masih tidak stabil, Perdana Menteri Hayato Ikeda meluncurkan program Income Doubling Plan dengan target peningkatan pendapatan ril dua kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Rencana ini dinilai tidak realistis karena pendapatan nominal mungkin meningkat tapi inflasi harus dipastikan konstan agar program tersebut terlaksana. Walaupun publik pesimis, pada kenyataannya pendapatan ril meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun. Tingkat pengangguran dapat ditekan hingga tingkat 1,1%-1,3 % kecuali pada tahun 1960 (1,6%). Pada tahun 1968, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi sehingga tahun 1968 sering disebut golden era dan masa paling penting yang menandai transformasi Jepang menjadi negara modern. GDP Jepang mencapai $ 152 miliar dan menjadi GDP tertinggi kedua di dunia (Hamada, 1996).

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, permasalahan lingkungan juga meningkat dengan cepat. Sejak dekade 1950-an,


(50)

50 perekonomian Jepang bertumbuh dengan pesat, tetapi diikuti dengan kerusakan lingkungan. Pada tahun 1955, cemaran limbah merkuri menyebabkan penyakit Minamata di barat daya pulau Kyushu. Setelah itu, kasus minamata kedua terjadi di Sungai Agano, Laut Teluk Jepang. Sungai Jinzu yang juga terletak di sekitar Laut Teluk Jepang juga tercemar Cadmium dan menyebabkan penyakit gatal-gatal (Itai-Itai).

Menanggapi dampak bencana lingkungan yang besar bagi masyarakat dan ekosistem, pemerintah mulai mengusahakan upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Secara umum. pengaturan polusi air di Jepang dilakukan melalui tiga metode yang diterapkan pada sumber polutan yang dapat diidentifikasi. Metode tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Kontrol terhadap konsentrasi polutan pada limbah cair.

2. Kontrol terhadap konsentrasi polutan di badan air. Standar ini merupakan target wajib kebijakan lingkungan jangka panjang.

3. Kontrol terhadap konsentrasi polutan limbah cair dalam satuan volume. Hal ini diterapkan bila kualitas standar lingkungan tidak dapat dicapai melalui pembatasan konsentrasi polutan. Umumnya, metode ini diterapkan pada badan air yang merupakan menjadi muara bagi polutan dari industri dan rumah tangga dalam jumlah yang besar.

Awalnya, kesadaran akan pentingnya membuat peraturan tentang lingkungan dimulai dari pemerintah daerah di pusat industri di wilayah Kanto seperti Tokyo dan Kanagawa. Beberapa pemerintah daerah mulai menerbitkan peraturan lingkungan yang berlaku untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo mulai mengeluarkan kebijakan pencegahan polusi sejak


(51)

51 1949, Osaka sejak 1950, Kanagawa sejak 1951, dan Fukuoka sejak 1955. Saat itu, masalah lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah pusat karena pemerintah pusat masih fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi.

Permasalahan lingkungan mulai menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1958 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur kualitas air untuk publik dan limbah perusahaan. Namun, peraturan ini kurang efektif karena pelaksanaannya kurang tegas dan pemberlakuannya hanya terbatas di berbagai lokasi. Kemudian, pada tahun 1967, kontrol sumber polusi mulai diperketat dengan mengeluarkan Basic Law for Environmental Pollution Control. Pada tahun 1970, pemerintah akhirnya mengeluarkan hukum tentang polusi air yang merupakan penggabungan dari berbagai peraturan yang sudah ada sebelumnya. Hukum ini mengatur batas standar limbah cair yang berlaku secara nasional dan dikontrol oleh pemerintah melalui Environmental Agency.

Namun, pada dekade 1970-an, kasus polusi air semakin sering terjadi . Industrialisasi intensif di sepanjang Laut Pulau Seto menyebabkan kualitas air memburuk. Pada tahun 1972, terjadi kematian mendadak biota laut dalam jumlah besar akibat pertumbuhan eksposif ganggang merah yang muncul karena tumpahan minyak dari pabrik penyulingan minyak dan kontaminasi Kromium dari sampah industri. Kondisi ini kemudian ditanggapi cepat oleh pemerintah setahun kemudian dengan mengeluarkan Water Pollution Control Law untuk konservasi lingkungan di Laut Pulau Seto dan mendorong pengembangan teknologi yang dapat menghilangkan polutan seperti COD, Nitrogen, dan Phospor pada air limbah. Hukum ini kemudian direvisi pada tahun 1978 untuk mengesahkan pihak yang berwenang untuk membatasi total polutan yang diperbolehkan dibuang ke


(52)

52 perairan. Sistem ini kemudian dilaksanakan di Teluk Tokyo dan Teluk Ise yang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat industrialisasi yang sangat pesat.

Selanjutnya, kebijakan perbaikan infrastruktur mulai diarahkan pada sistem suplai air dan pembuangan limbah cair untuk mengontrol polusi air dari perusahaan. Pemerintah pun mengimpor teknologi dari luar negeri yang berkaitan dengan penyaringan air keran, pengolahan limbah cair perusahaan dan kotoran manusia. Namun, di saat yang sama, sektor pendidikan distimulai untuk melakukan penelitian agar teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri untuk tujuan komersil.

Pada dekade 1990-an, Basic Environment Law disahkan oleh pemerintah untuk mengatur kualitas standar indikator kualitas lingkungan. Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan untuk yang mengatur sumber air minum, konservasi untuk sumber air minum, dan management pengolahan limbah manusia seperti feces dan urine. Pada dekade 2000-an, polusi yang diakibatkan oleh bahan berbahaya menjadi masalah lingkungan yang baru. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Law Concerning Special Measures against Dioxins dan Soil Contamination Countermeasures Law.

Selain itu, terdapat juga sejumlah konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pencegahan polusi air di Jepang seperti Konvensi tentang pencegahan polusi di laut dari sampah yang dibuang dari kapal dan pesawat udara. Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1980. Pada tahun 1983, Jepang juga meratifikasi konvensi internasional tentang pencegahan polusi akibat akitivitas pengoperasian maupun kecelakaan kapal.


(53)

53 Kualitas standar untuk polusi air diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan dan komponen lingkungan yang hidup seperti binatang, tumbuhan,dan habitatnya. Polutan yang berpengaruh terhadap kesehatan adalah bahan beracun sepertu logam Merkusi, Arsen, dan Klorin. Sementara itu, polutan yang berpengaruh terhadap komponen lingkungan yang hidup adalah bahan beracun, polusi bahan organik seperti BOD dan COD, dan nutrien seperti Nitrogen dan Phospor. Indikator polusi air yang paling utama adalah konsentrasi Oksigen di perairan yang dapat diukur melalui BOD dan COD. Berkurangnya Oksigen dapat menyebabkan kematian bagi kehidupan di perairan.

Komponen penting dalam managemen sumber daya air di Jepang adalah adanya monitoring secara berkala. Kementerian Lingkungan memeriksa kualitas air di permukaan (danau, sungai, dan laut) dan air tanah di sekitar 9.000 titik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik air, trend perubahan kualitas air dalam jangka panjang, dan mendeteksi adanya polusi air sejak dini. Data ini kemudian dianalisis dan dipublikasikan ke website maupun dalam bentuk laporan tahunan yang dapat didistribusikan ke lembaga pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan.

Peraturan tentang standar konsentrasi polutan yang diperbolehkan berlaku terhadap semua perusahaan yang terdaftar dalam specified fatories karena mengeluarkan emisi dalam jumlah yang besar seperti perusahaan bahan kimia, logam, pengolahan limbah, dan hotel. Specified berarti perusahaan harus memiliki teknologi tertentu untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengawasannya adalah sistem direct penalty yang artinya perusahaan dapat dikenakan sanksi apabila konsentrasi polutan dalam limbah yang dikeluarkan ke


(1)

67 C 0.910658 1.259297 0.723147 0.4702

INC 0.006679 0.000739 9.034711 0.0000 INC^2 -1.28E-06 1.22E-07 -10.46102 0.0000 POPDEN -0.001637 0.000294 -5.575686 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.846177 Mean dependent var 3.337710 Adjusted R-squared 0.839111 S.D. dependent var 2.835035 S.E. of regression 1.137159 Akaike info criterion 3.140934 Sum squared resid 365.9559 Schwarz criterion 3.315049 Log likelihood -452.4287 Hannan-Quinn criter. 3.210639 F-statistic 119.7524 Durbin-Watson stat 1.171374 Prob(F-statistic) 0.000000

LAMPIRAN 3. RANDOM EFFECT MODEL KUBIK Dependent Variable: BOD75

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/15/11 Time: 16:00

Sample: 1978 2004 Periods included: 27

Cross-sections included: 11

Total panel (balanced) observations: 297

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 8.718165 5.427180 1.606389 0.1093 INC -0.005239 0.005453 -0.960743 0.3375 INC^2 2.40E-06 1.79E-06 1.344883 0.1797 INC^3 -3.81E-10 1.86E-10 -2.052387 0.0410 POPDEN -0.000151 0.000176 -0.859451 0.3908

Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 1.710797 0.7001 Idiosyncratic random 1.119819 0.2999

Weighted Statistics

R-squared 0.412364 Mean dependent var 0.417155 Adjusted R-squared 0.404314 S.D. dependent var 1.623429 S.E. of regression 1.252974 Sum squared resid 458.4237 F-statistic 51.22649 Durbin-Watson stat 0.960247 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

68 Unweighted Statistics

R-squared -0.837343 Mean dependent var 3.337710 Sum squared resid 4371.181 Durbin-Watson stat 0.100705

LAMPIRAN 4. FIXED EFFECT MODEL KUBIK Dependent Variable: BOD75

Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:34 Sample: 1978 2004

Periods included: 27

Cross-sections included: 11

Total panel (balanced) observations: 297

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 18.03372 5.599818 3.220411 0.0014 INC -0.010514 0.005531 -1.900892 0.0583 INC^2 4.41E-06 1.82E-06 2.426544 0.0159 INC^3 -5.92E-10 1.89E-10 -3.135643 0.0019 POPDEN -0.001858 0.000298 -6.243322 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.851360 Mean dependent var 3.337710 Adjusted R-squared 0.843981 S.D. dependent var 2.835035 S.E. of regression 1.119819 Akaike info criterion 3.113396 Sum squared resid 353.6264 Schwarz criterion 3.299948 Log likelihood -447.3393 Hannan-Quinn criter. 3.188079 F-statistic 115.3714 Durbin-Watson stat 1.226062 Prob(F-statistic) 0.000000

LAMPIRAN 5. HAUSMAN TEST MODEL KUADRATIK Correlated Random Effects - Hausman Test

Equation: F

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 77.213630 3 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:


(3)

69 INC 0.006679 0.005772 0.000000 0.0000

INC^2 -0.000001 -0.000001 0.000000 0.0385 POPDEN -0.001637 -0.000001 0.000000 0.0000

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BOD75

Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:42 Sample: 1978 2004

Periods included: 27

Cross-sections included: 11

Total panel (balanced) observations: 297

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.910658 1.259297 0.723147 0.4702 INC 0.006679 0.000739 9.034711 0.0000 INC^2 -1.28E-06 1.22E-07 -10.46102 0.0000 POPDEN -0.001637 0.000294 -5.575686 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.846177 Mean dependent var 3.337710 Adjusted R-squared 0.839111 S.D. dependent var 2.835035 S.E. of regression 1.137159 Akaike info criterion 3.140934 Sum squared resid 365.9559 Schwarz criterion 3.315049 Log likelihood -452.4287 Hannan-Quinn criter. 3.210639 F-statistic 119.7524 Durbin-Watson stat 1.171374 Prob(F-statistic) 0.000000

LAMPIRAN 6. HAUSMAN TEST MODEL KUBIK Correlated Random Effects - Hausman Test

Equation: F

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 28.386740 4 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:


(4)

70 INC 0.003841 0.013347 0.000004 0.0000

INC^2 0.000000 -0.000002 0.000000 0.0000 INC^3 -0.000000 -0.000000 0.000000 0.0001 POPDEN -0.001126 -0.000013 0.000000 0.0000

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BOD75

Method: Panel Least Squares Date: 05/02/12 Time: 14:17 Sample: 1978 2004

Periods included: 27

Cross-sections included: 11

Total panel (balanced) observations: 297

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.880241 7.126165 -0.123522 0.9018 INC 0.003841 0.006022 0.637720 0.5242 INC^2 2.47E-07 1.89E-06 0.130861 0.8960 INC^3 -1.85E-10 1.95E-10 -0.947280 0.3444 POPDEN -0.001126 0.000305 -3.687352 0.0003

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables)

R-squared 0.885160 Mean dependent var 3.337710 Adjusted R-squared 0.867216 S.D. dependent var 2.835035 S.E. of regression 1.033073 Akaike info criterion 3.030491 Sum squared resid 273.2132 Schwarz criterion 3.540401 Log likelihood -409.0280 Hannan-Quinn criter. 3.234626 F-statistic 49.32974 Durbin-Watson stat 1.187347


(5)

RINGKASAN

Ellen Paulina Hutagaol. Analisis Empiris Kurva Lingkungan Kuznet pada Polusi Air Sungai di Jepang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI.

Dewasa ini, terjadi peningkatan penduduk dunia yang cukup signifikan. Malthus memprediksi bahwa populasi penduduk akan meningkat secara eksponensial, sedangkan makanan secara linear. Walaupun kebenaran prediksi ini masih menjadi perdebatan, perkembangan pertanian, perubahan struktur sosial, dan teknologi telah ditemukan sebagai respon terhadap kelangkaan sumber daya

Peningkatan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan sumber daya yang terbatas berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan seperti polusi perairan, deforestasi, dan polusi udara. Di Jepang, polusi perairan menjadi perhatian publik karena Jepang berhasil membangun perekonomian yang hancur setelah perang dunia kedua namun diikuti sejumlah permasalahan akibat polusi air seperti penyakit Minamata.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan digambarkan dengan kurva U terbalik yang kemudian dikenal dengan nama kurva Kuznet. Studi empiris untuk membuktikan kurva ini telah banyak dilakukan untuk berbagai kasus seperti polusi udara dan air. Beberapa studi berhasil terbukti, namun terdapat juga studi yang menemukan kurva berbentuk lain seperti huruf U, N, dan tilted-S. Umumnya, studi ini dilakukan dengan regresi panel data pada sekelompok data negara. Asumsi dasar yang menggeneralisasikan data semua negara ke dalam kelompok panel data dikritik oleh Dinda (2004) karena terdapat hal spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan di suatu negara sehingga diperlukan adanya studi di tingkat yang lebih rendah, yaitu negara.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan per kapita dan polusi air sungai di Jepang, menjelaskan historis polusi air sungai dan peraturan lingkungan di Jepang, dan memperoleh pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara maju seperti Jepang dalam hal permasalahan lingkungan. Indikator polusi air sungai diwakili oleh konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD).

Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan regresi panel data dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu konsentrasi BOD, pendapatan per kapita, luar area, dan jumlah penduduk dari 11 kota besar pada periode 1978-2004.Terdapat dua macam pendekatan dalam regresi panel data yaitu Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM). Model terbaik kemudian ditentukan dengan Uji Hausman.

Model yang terbaik adalah model FEM dengan bentuk kurva U terbalik dan turning point ¥ 2.608,98. Seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, konsentrasi BOD meningkat sampai tingkat ¥ 2.608,98 kemudian menurun kembali. Nilai elastisitas pendapatan per kapita terhadap BOD adalah -0,508 yang artinya bila pendapatan per kapita meningkat 1%, makan konsentrasi BOD akan menurun 0,508%

Polusi air yang terjadi di Jepang sudah terjadi sejak era Meiji (1868-1912), namun semakin meningkat sejak era industrialisasi. Peraturan mengenai kualitas


(6)

lingkungan awalnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang terkena dampak dan menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1968. Saat ini, Indonesia juga mengalami kerusakan lingkungan seperti polusi perairan terutama di pusat pertumbuhan ekonomi. Terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil Indonesia dari pengalaman Jepang seperti penegakan hukum yang tegas, penggunaan teknologi, pengembangan industri tersier, dan adanya inisiatif pemerintah daerah untuk mengawasi pihak yang berpotensi mencemari lingkungan.