Analisis Bill of Material untuk Optimasi Penjadwalan Produksi Easel pada PT MGN
TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN
GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
WIGGO WINDI RISWANDY
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tataniaga Tomat di
Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Wiggo Windi Riswandy
NIM H34090010
ABSTRAK
WIGGO WINDI RISWANDY. Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh HARMINI.
Tomat merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menghasilkan
nilai ekonomis dan strategis. Harga tomat yang fluktuatif dan marjin tataniaga yang
cukup besar membuat nilai farmer s share menjadi relatif kecil. Oleh karena itu,
dibutuhkan penelitian mengenai efisiensi tataniaga tomat untuk mengetahui gambaran
tataniaga tomat secara komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
saluran, fungsi, lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tomat, serta
menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan
wawancara dilakukan kepada petani di Desa Gekbrong dengan metode purposive
sampling, sedangkan metode snowball sampling dilakukan kepada lembaga tataniaga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga dengan lembaga,
fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Secara umum,
analisis efisiensi operasional menyatakan bahwa semua saluran tataniaga tomat belum
efisien. Kondisi ini terlihat terutama dari ketidakadilan harga pada petani yang posisi
tawarnya lemah. Selain itu dalam mekanisme penentuan harga petani hanya bertindak
sebagai penerima harga. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam
mendukung peran kelompok tani untuk mencapai efisiensi tataniaga tomat.
Kata kunci: Desa Gekbrong, efisien, efisiensi, farmer s share, tataniaga tomat
ABSTRACT
WIGGO WINDI RISWANDY. Marketing System of Tomato in Gekbrong
Village, Gekbrong Subdistrict, Cianjur Regency, West Java. Supervised by
HARMINI.
Tomato is one of the leading commodities in Indonesia which has economic
and strategic value. The fluctuating price of tomato and high marketing margin make
the farmer's share value is relatively small. Therefore, the research of efficiency in
tomato marketing is needed in order to provide tomato marketing comprehensively.
The objectives of this research were (1) to identify the marketing channels,
institutions, functions and market structure of tomato marketing, and (2) to analyze
the operational efficiency of tomato marketing with marketing margin approach,
farmer's share, and benefit-cost ratio. The observations and interviews were
conducted to farmers in Gekbrong village by purposive sampling method, while the
method of snowball sampling was conducted to marketing institutions. The result
showed that there were 4 marketing channels with different institutions, functions,
and market structure on every channel. In general, the analysis of operational
efficiency showed that all of the marketing channels had not been efficient. This
condition was primarily seen at the inequity price that were suffered by farmers who
had weak bargaining powers. Moreover, the pricing mechanism made farmers
became price takers. Therefore, the role of government was required to support the
role of farmer groups in order to attain the efficiency of tomato marketing.
Keywords: efficiency, efficient, farmer s share, gekbrong village, tomato marketing
TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN
GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
WIGGO WINDI RISWANDY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
: Wiggo Windi Riswandy
: H34090010
Disetujui oleh
Ir Harmini, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
tataniaga, dengan judul Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir Harmini, MSi selaku dosen
pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Amzul Rifin, SP,
MA selaku dosen penguji utama dan Ibu Siti Jahroh, PhD selaku dosen penguji
Departemen Agribisnis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Puji
Mustika Lestari, SE yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Yayat Duriat dan Bapak Nasep Sudrajat dari Balai Pengembangan Budidaya
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong serta Bapak Sabar dari
Kelompok Tani Gede Harepan Desa Gekbrong, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Kemudian penghargaan juga penulis sampaikan kepada Perum
Perhutani yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani
perkuliahan di IPB serta beasiswa penelitian selama melaksanakan penelitian ini.
Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Andriyono
Kilat Adhi selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan
terima kasih atas segala dukungan dari rekan-rekan Agribisnis 46 IPB, BEM FEM
IPB 2011, ISEE IPB 2012, dan Kementerian Pendidikan BEM KM IPB 2012.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Wiggo Windi Riswandy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Umum Wilayah, Keadaan Alam, dan Penduduk
Karakteristik Petani Responden
Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Lembaga Tataniaga
Identifikasi Fungsi Tataniaga
Identifikasi Saluran Tataniaga
Identifikasi Struktur Pasar
Analisis Marjin Tataniaga, Farmer s Share, dan Rasio Keuntungan
terhadap Biaya
Analisis Efisiensi Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
x
xi
xi
1
1
4
6
7
7
7
11
11
19
21
21
21
21
22
26
27
27
30
32
33
34
34
42
53
58
66
75
75
76
76
79
83
DAFTAR TABEL
1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran konsumsi per
kapita per bulan menurut kelompok barang di Indonesia tahun 2012
2 Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di
Indonesia tahun 2010
3 Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun 2010-2011
4 Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun 20102011
5 Struktur pasar untuk pemasaran pangan dan serat
6 Kriteria penentuan jenis struktur pasar di lokasi penelitian berdasarkan
karakteristik pasar
7 Sebaran luas daerah menurut desa di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten
Cianjur tahun 2011
8 Produktivitas sayuran menurut komoditas di Kecamatan Gekbrong
tahun 2011
9 Sebaran luas lahan darat menurut desa di Kecamatan Gekbrong tahun
2012
10 Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gekbrong
tahun 2012
11 Sebaran jumlah penduduk di Desa Gekrbrong berdasarkan mata
pencaharian tahun 2012
12 Sebaran petani responden berdasarkan usia di Desa Gekbrong tahun
2013
13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa
Gekbrong tahun 2013
14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan di Desa
Gekbrong tahun 2013
15 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman dalam usahatani
tomat di Desa Gekbrong tahun 2013
16 Sebaran lembaga tataniaga responden (pedagang pengumpul, pemilik
koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer) berdasarkan umur,
tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berdagang tomat
17 Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga
tataniaga di Desa Gekbrong
18 Grading tomat berdasarkan berat menurut SNI 01-3162-1992
19 Grading tomat berdasarkan syarat mutu menurut SNI 01-3162-1992
20 Indikator sortasi untuk grading tomat di Desa Gekbrong
21 Sebaran petani yang melakukan peminjaman modal usahatani kepada
pedagang pengumpul di Desa Gekbrong pada musim tanam tomat
Bulan September-November 2012
22 Sebaran petani responden dan volume penjualan tomat di setiap saluran
tataniaga tomat di Desa Gekbrong pada musim panen Bulan NovemberDesember 2012
23 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga I
24 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga II
25 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga III
26 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga IV
1
2
3
4
16
23
27
28
28
29
29
30
31
31
32
33
35
37
37
37
38
44
45
48
50
52
27 Marjin tataniaga setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Gekbrong
28 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Gekbrong
29 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat
30 Rasio keuntungan terhadap biaya setiap grade tomat pada setiap saluran
tataniaga di Desa Gekbrong
31 Efisiensi tataniaga tomat grade A di Desa Gekbrong
32 Efisiensi tataniaga tomat grade B di Desa Gekbrong
33 Efisiensi tataniaga tomat grade C di Desa Gekbrong
34 Efisiensi tataniaga tomat grade super di Desa Gekbrong
60
62
63
65
67
68
69
69
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun 2012
Kurva marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional
Skema saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Saluran I ( ), saluran II
( ), saluran III ( ), dan saluran IV ( ).
5
17
20
42
DAFTAR LAMPIRAN
1 Produksi tomat menurut provinsi di Indonesia tahun 2007-2011
2 Produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun 20072011
3 Dokumentasi penelitian
79
80
81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hortikultura berbasis sayuran merupakan komoditas yang
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Kondisi agroklimat Indonesia yang
cocok untuk ditanami berbagai komoditas sayuran menjadi hal positif dalam
mendukung pengembangan komoditas sayuran. Pengembangan komoditas
sayuran diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar dan daya saing dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sayuran menyumbang
kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Direktorat
Jenderal Hortikultura melaporkan bahwa sayuran merupakan komoditas dengan
nilai kontribusi PDB yang selalu meningkat setiap tahun. Sayuran menyumbang
PDB terbesar ke-2 pada sektor tanaman hortikultura setelah buah-buahan, yaitu
sebesar 31 244 milyar rupiah pada tahun 2010.
Sampai saat ini, sayuran masih menjadi komoditas yang dikonsumsi
sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan serat, vitamin, dan
mineral. Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada triwulan I (Maret) tahun 2012
pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi sayur-sayuran mencapai 7.4%
dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Angka ini
menunjukkan angka terbesar ke-3 dari pengeluaran penduduk Indonesia yang
digunakan untuk konsumsi sayur-sayuran setelah padi-padian dan ikan dalam
kelompok barang konsumsi makanan. Artinya, masyarakat Indonesia dalam
pemenuhan konsumsi makanannya masih cukup bergantung pada sayur-sayuran.
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran
konsumsi per kapita per bulan menurut kelompok barang
di Indonesia tahun 2012a
Persentase makanan
Kelompok barang konsumsi
(%/kap/tahun)
Makanan:
Padi-padian
17.89
Umbi-umbian
0.86
Ikan
8.22
Daging
4.03
Telur dan susu
5.87
Sayur-sayuran
7.40
Kacang-kacangan
2.60
Buah-buahan
4.78
Lain-Lain
48.34
Jumlah makanan
100.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia adalah tomat. Hal ini
karena tomat merupakan komoditas yang menghasilkan nilai ekonomis dan
2
strategis. Tomat dibudidayakan oleh petani sejak dahulu karena tomat menjadi
salah satu komoditas komersil yang mampu menghasilkan sumber pendapatan
andalan petani. Tomat juga menjadi komoditas strategis karena selalu digunakan
masyarakat Indonesia sebagai bahan makanan yang mengandung nilai gizi yang
baik. Selain itu, industri makanan dan minuman olahan juga membutuhkan tomat
sebagai bahan baku yang keberadaannya sulit untuk digantikan.
Besarnya nilai ekonomis tomat dalam upaya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dapat dilihat dari kontribusi PDB tomat. Tabel 2
memperlihatkan kontribusi tomat terhadap total PDB atas harga yang berlaku
untuk beberapa komoditas sayuran di Indonesia selama tahun 2010. Tomat
menyumbang sebesar 2 333.85 milyar rupiah atau 7.47% dari total PDB sayuran
di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa tomat merupakan komoditas yang
keberadaannya harus diperhitungkan untuk dikembangkan selain komoditas
lainnya yang juga memberi kontribusi PDB terbesar yaitu cabai besar sebesar 6
698.94 milyar rupiah disusul bawang merah sebesar 4 588.39 milyar rupiah, dan
cabai rawit sebesar 3 662.94 milyar rupiah.
Tabel 2 Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di
Indonesia tahun 2010a
Komoditas
Nilai PDB (milyar rupiah)
Persentase (%)
Cabai besar
6 698.94
21.44
Bawang merah
4 588.39
14.69
Cabai rawit
3 662.94
11.72
Tomat
2 333.85
7.47
Kentang
2 247.39
7.19
Kubis
2 108.52
6.75
Bawang daun
1 274.96
4.08
Sayuran lainnya
8 329.17
26.66
Total sayuran
31 244.16
100.00
a
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011).
Produksi tomat di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dibandingkan dengan komoditas sayuran
lain, tomat merupakan komoditas sayuran yang mengalami peningkatan produksi
dari tahun ke tahun. Tabel 3 memperlihatkan bahwa produksi tomat di Indonesia
pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 7% dari tahun 2010. Total
produksi tomat tahun 2010 sebesar 891 616 ton kemudian pada tahun 2011
meningkat menjadi sebesar 954 046 ton. Peningkatan produksi tomat ini
menunjukkan bahwa permintaan masyarakat terhadap tomat meningkat setiap
tahunnya.
Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menghasilkan tomat dengan
produksi yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah
tersebut meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumetera Utara. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat adalah wilayah dengan
produksi tomat tertinggi yaitu sebesar 267 220 ton pada tahun 2007 dan terus
meningkat hingga 354 832 ton selama tahun 2011. Data lengkap mengenai
3
produksi tomat seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011 dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 3 Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun 2010-2011a
Produksi (ton)
Pertumbuhan
Jenis sayur
2010
2011
Absolut
%
Bawang merah
1 048 934
893 124
-155 810
-14.85
Kentang
1 060 805
955 488
-105 317
-9.93
Kubis
1 385 044
1 363 741
-21 303
-1.54
Cabai besar
807 160
888 852
81 692
10.12
Cabai rawit
521 704
594 227
72 523
13.90
Tomat
891 616
954 046
62 430
7.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012).
Upaya pemenuhan kebutuhan akan tomat tidak hanya dilihat dari segi
kuantitas (produksi dan produktivitas), tetapi juga kualitas tomat. Seiring dengan
berjalannya waktu, selera dan kepuasan masyarakat dalam mengkonsumsi tomat
semakin meningkat sehingga perbaikan pada kualitas tomat menjadi sangat
penting. Hal ini karena masyarakat sudah mulai peduli dengan cita rasa produk
dan cenderung mengutamakan kualitas dari produk tersebut. Kondisi ini menjadi
dasar bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas tomat.
Dalam rangka meningkatkan kualitas tomat, pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 511/Kpts/PD.310/9/2006
tanggal 12 September 2006. Keputusan ini menyatakan bahwa tomat menjadi
salah satu komoditas binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Dengan masuknya
tomat ke dalam salah satu komoditas binaan pemerintah, diharapkan pemerintah
dapat terus mengupayakan dan memprioritaskan perbaikan dari segi kualitas
tomat. Upaya peningkatan kualitas tomat juga terlihat dari dilepasnya beberapa
varietas unggul tomat dalam bentuk tomat hibrida seperti varietas Hibrida Pluto528
yang
tertuang
dalam
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
330/Kpts/TP.240/6/2003, varietas Hibrida Gress dalam Keputusan Menteri
Pertanian No. 450/Kpts/SR.120/12/2005, dan varietas Hibrida Eggy dalam
Keputusan Menteri Pertanian No. 116/Kpts/SR.120/3/2006.
Tomat yang berkualitas akan mendapat perhatian lebih dari masyarakat
yang mengkonsumsinya. Hal ini karena saat ini pemenuhan kebutuhan tomat
bukan hanya ditujukan untuk masyarakat dalam negeri saja melainkan untuk
diperkenalkan kepada masyarakat di luar negeri. Tomat kini sudah menjadi
komoditas yang diperdagangkan di tingkat internasional.
Tabel 4 memperlihatkan perkembangan volume dan nilai ekspor tomat
tahun 2010-2011. Selama tahun 2010 sampai tahun 2011 volume ekspor tomat
mengalami pertumbuhan sebesar 12% sementara nilai ekspor juga mengalami
pertumbuhan sebesar 19%. Indonesia mengekspor tomat ke beberapa negara
dengan jumlah 626 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 699 ton pada
tahun 2011. Nilai yang diperoleh dari ekspor tomat adalah US$ 592 002 pada
tahun 2010 dan meningkat menjadi US$ 706 178 pada tahun 2011.
4
Tabel 4 Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun 20102011a
Tahun
Pertumbuhan
Ekspor
2010
2011
Absolut
%
Volume (ton)
626
699
73
12
Nilai (US$)
592 002
706 178
114 176
19
a
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2012).
Potensi dan peluang ekonomi dari tomat dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional akan terbuka lebar apabila proses penyampaian
tomat dari petani sampai ke konsumen berlangsung secara efisien. Sistem
tataniaga tomat yang efisien memiliki peran yang penting dalam rangka menjaga
stabilitas tomat dari segi harga dan kuantitas di Indonesia. Dengan adanya sistem
tataniaga yang efisien diharapkan dapat menurunkan biaya pemasaran serta
memperlancar arus barang dan jasa sehingga tercapai harga yang layak dan
bersaing. Dengan kondisi tersebut, diharapkan dapat memperluas lapangan
pekerjaan, meningkatkan pendapatan produsen (petani) dan lembaga-lembaga
tataniaga yang terlibat selama proses pemasaran, memantapkan stabilitas
ekonomi, dan melindungi kepentingan konsumen1.
Perbaikan tomat secara fisik dari segi kualitas gizi yang tinggi dan
perbaikan menuju sistem tataniaga yang efisien diharapkan mampu mewujudkan
upaya pengembangan komoditas tomat dalam rangka peningkatan pertumbuhan
ekonomi nasional tersebut. Apalagi kini tomat tidak hanya diperdagangkan di
dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di luar negeri. Upaya tersebut tidak
terlepas dari pembangunan pertanian berbasis pedesaan yang harus dilakukaan
oleh pemerintah daerah di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam
rangka pengembangan komoditas tomat secara nasional. Ini lah yang menjadi
dasar bagi pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dalam mendorong peningkatan
kualitas tomat sebagai komoditas sayuran unggulan daerah Cianjur.
Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai sentra produksi tomat dengan produksi
terbesar di Indonesia (BPS 2012). Sentra produksi tomat di Jawa Barat menurut
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat berada di Kabupaten Garut,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan luas areal tanam tomat
di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur berada pada urutan ketiga. Produksi tomat di
Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang sangat
singnifikan yaitu sebesar 95.57% dari tahun 2010. Data lengkap mengenai
produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun dari tahun 2007
sampai 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kabupaten Cianjur sangat berpotensi sebagai salah satu sentra produksi
tomat. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam pemasaran tomat, harga
tomat cenderung berfluktuasi. Fluktuasi harga tomat ini bisa dilihat dari
1
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Perdagangan Bab 14. [internet].
[diacu 2012 Desember 1]. Tersedia dari: www.bappenas.go.id/get-file-server
5
perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur selama tahun 2012 yang
diperoleh dari laporan harian harga tomat menurut Kementerian Pertanian seperti
yang disajikan pada Gambar 1 berikut.
7.000,00
Harga (Rp / Kg)
6.000,00
5.000,00
4.000,00
3.000,00
2.000,00
1.000,00
0,00
Gambar 1 Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun 2012
Selain harga tomat yang cenderung berfluktuasi, terdapat perbedaan harga
yang cukup signifikan antara harga yang diterima oleh petani (produsen) dengan
harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan data Kementerian Pertanian
tahun 2012, harga tomat yang diterima petani dengan harga yang dibayar
konsumen di Kabupaten Cianjur menghasilkan perbedaan harga atau marjin
tataniaga yang cukup besar. Selama tahun 2012, harga tomat di tingkat petani
menyentuh harga terendah yaitu Rp850 per kg pada Bulan November sedangkan
harga normal tomat di tingkat petani yang dapat menutupi biaya produksi adalah
Rp2 500-Rp3 000 per kg.
Mengingat pemasaran merupakan permasalahan yang umum terjadi pada
produk pertanian hortikultura, penelitian-penelitian tentang tataniaga hortikultura
di beberapa lokasi di Kabupaten Cianjur yang pernah dilakukan oleh A yun
(2010), Noviana (2011), dan Sakti (2011) juga menunjukkan bahwa secara umum
perbedaan harga atau marjin yang dihasilkan pada komoditas hortikultura relatif
besar. Hal serupa juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Fikri (2013)
pada tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat. Kondisi ini
terjadi salah satunya karena panjangnya rantai tataniaga yang melibatkan beberapa
lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang
pengecer.
Perbedaan harga tomat yang cukup besar dan harga tomat yang fluktuatif
menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada tataniaga tomat. Implikasi yang
terjadi pada permasalahan tataniaga ini membuat pendapatan yang diterima petani
sebagai produsen tomat menurun dari yang seharusnya. Petani sebagai produsen
biasanya hanya bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s
share) yang kecil dari harga yang dibayar oleh konsumen.
6
Salah satu daerah penghasil tomat di Kabupaten Cianjur adalah Desa
Gekbrong di Kecamatan Gekbrong. Informasi lokasi ini diperoleh dari studi
lapang pendahuluan yang dilakukan kepada stakeholder di Desa Gekbrong.
Tujuan dari studi lapang pendahuluan ini adalah memperoleh informasi keragaan
tataniaga tomat di lokasi yang akan diteliti. Berdasarkan pengamatan di lapang
tersebut, diperoleh informasi bahwa Desa Gekbrong juga mengalami
permasalahan pada tataniaga tomat seperti yang telah umum terjadi di daerahdaerah penghasil tomat lainnya. Lebih jauh lagi diperoleh informasi bahwa petani
di Desa Gekbrong tidak memperoleh harga tomat berdasarkan grade karena
sistem penjualan tomat yang dilakukan di Desa Gekbrong cenderung mengarah
pada sistem tebas.
Permasalahan pada perbedaan marjin tataniaga yang cukup besar yang
membuat pendapatan petani menjadi rendah dari harga yang dibayarkan
konsumen diduga dialami oleh petani di Desa Gekbrong. Hal ini bisa dibuktikan
lebih lanjut jika telah dianalisis pada bagian yang diterima oleh petani dari
aktivitas pemasaran atau farmer s share. Marjin tataniaga yang dihasilkan pada
tataniaga tomat di Desa Gekbrong perlu dianalisis berdasarkan fungsi tataniaga
yang telah dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga tomat yang terlibat dalam
proses penyampaian tomat mulai dari petani sampai kepada konsumen akhir. Hal
ini dilakukan agar dapat diketahui apakah biaya tataniaga yang muncul dari
aktivitas tataniaga dalam meningkatkan value added tomat sesuai dengan balas
jasa berupa keuntungan tataniaga yang diperoleh lembaga tataniaga. Selain itu,
struktur pasar yang terbentuk dan perilaku pasar yang muncul dari struktur pasar
tersebut pada tataniaga tomat juga perlu diidentifikasi untuk melihat efisiensi pada
tataniaga tomat di Desa Gekbrong.
Oleh karena itu, penelitian pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong ini perlu
dilakukan secara menyeluruh dengan mengidentifikasi pola-pola saluran,
lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat. Selain itu, pendekatan
kuantitatif juga diperlukan untuk melihat efisiensi operasional dengan menghitung
nilai marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Dengan demikian upaya ini bisa menjadi dasar bagi pemerintah setempat untuk
membuat kebijakan yang tepat dalam meningkatkan efisiensi tataniaga tomat di
Desa Gekbrong.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat
di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur?
2. Bagaimana marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan
terhadap biaya pada efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong,
Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis sistem tataniaga tomat di
Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga
tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur.
2. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong,
Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan terhadap biaya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang
membangun dan bermanfaat bagi:
1. Peneliti, sebagai sarana pembelajaran dan melatih untuk berpikir analitis
dalam menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang
agribisnis yang sudah dipelajari selama peneliti melaksanakan perkuliahan
di Institut Pertanian Bogor.
2. Pemerintah dan stakeholder, sebagai bahan masukan dan pertimbangan
dalam memutuskan kebijakan yang berhubungan dengan sistem tataniaga
tomat, terutama kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
3. Pembaca, sebagai referensi, pedoman, dan literatur dalam melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai sistem tataniaga tomat di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga tomat di Desa
Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Komoditas yang diteliti
adalah komoditas tomat (Lycopersicum esculentum). Petani yang dijadikan
responden adalah petani tomat yang ada di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong,
Kabupaten Cianjur. Data yang digunakan adalah data penjualan tomat yang terjadi
pada musim panen tomat Bulan November Desember 2012.
Lembaga tataniaga yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah
lembaga yang terlibat dalam aktivitas pembelian dan penjualan tomat di Desa
Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Lembaga tataniaga yang
ada pada sistem tataniaga ini terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang besar di
Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, pedagang pengecer di Pasar Gekbrong dan
Pasar Induk Cianjur. Analisis penelitian dibatasi untuk mengkaji sistem tataniaga
dengan melihat saluran, lembaga, fungsi, struktur pasar, marjin tataniaga, farmer s
share, dan rasio keuntungan terhadap biaya untuk melihat efisiensi operasional
tataniaga tomat.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Tomat
Tomat yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah tomato memiliki
nama ilmiah (Lycopersicum esculentum). Tomat merupakan tanaman asli Benua
Amerika yang tersebar dari Amerika Tengah hingga Amerika Selatan. Beberapa
8
negara di belahan dunia menamai tomat dengan beberapa istilah unik. Perancis
menamai tomat dengan apel cinta sedangkan Jerman menamainya dengan apel
surga. Penyebaran tomat di Indonesia dimulai dari Filipina dan negara-negara
Asia lainnya pada abad ke-18. Beberapa varietas tomat dikembangkan di
Indonesia dalam upaya pengembangan komoditas sayuran unggulan. Salah satu
varietas unggul tomat adalah tomat hibrida yang merupakan hasil persilangan 2
induk tomat galur murni dengan sifat unggulan mampu beradaptasi pada berbagai
kondisi agroklimat mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi (Cahyono
2008).
Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) menyebutkan bahwa tomat
merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia yang dilihat dari
nilai ekonomis dan strategisnya. Tomat menghasilkan nilai ekonomis terutama
dalam menyumbang kontribusi produk domestik bruto (PDB) sebagai upaya
pembangunan pertanian nasional. Tomat tidak hanya diperdagangkan di dalam
negeri tetapi juga di luar negeri. Tomat dengan varietas unggul didukung oleh
kondisi agroklimat Indonesia yang cocok untuk pengembangan komoditas tomat
membuat tomat memiliki nilai strategis. Hal ini menjadikan tomat sebagai
komoditas yang dibudidayakan oleh petani untuk dijadikan mata pencaharian
yang mendatangkan nilai ekonomi berupa pendapatan.
Kajian Mengenai Saluran, Fungsi dan Lembaga Tataniaga
Kajian mengenai saluran tataniaga tanaman hortikultura sayuran pada
umumnya menghasilkan saluran tataniaga yang panjang. Panjangnya rantai
pemasaran berimplikasi pada besarnya perbedaan harga atau marjin tataniaga
antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Kondisi ini
mengakibatkan bagian yang diterima oleh petani atau farmer s share menjadi
rendah. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi lembaga dan fungsi
tataniaga pada umumnya menggunakan metode deskriptif. Di samping itu metode
yang digunakan untuk mengetahui pola saluran tataniaga yang terbentuk pada
umumnya menggunakan metode snowball dengan petani sebagai titik awal
penelusuran. Selanjutnya informasi dari petani akan mengantarkan penelitian pada
informasi berikutnya sampai diketahui seperti apa pola saluran tataniaga yang
terbentuk.
Penelitian yang dilakukan oleh Sabang (2011) mengenai sistem tataniaga
tomat di Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan bahwa dari sebanyak 36
petani responden yang berasal dari 192 petani tomat, terdapat 4 pedagang
pengumpul dan 6 pedagang pengecer. Metode pengambilan sampel responden
petani adalah metode sampel acak sederhana (simple random sampling) untuk
mengetahui berapa banyak sampel yang diambil dari 192 petani. Di samping itu
metode penelitian yang dilakukan untuk mengambil sampel di tingkat lembaga
pemasaran adalah metode snowball.
Kelembagaan pemasaran pada tataniaga tanaman hortikultura merupakan
berbagai organisasi atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi
tataniaga. Pada umumnya lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam
kegiatan memasarkan komoditas tomat dan sayuran lainnya dimulai dari petani,
pedagang pengumpul, pedagang besar, sampai pedagang pengecer (A yun (2010);
9
Noviana (2011)). Selain itu pada beberapa kasus tertentu yang kegiatan
pemasarannya lebih kompleks, terdapat lembaga-lembaga tataniaga seperti sub
terminal agribisnis (STA) dan supermarket (Sakti 2011). Akan tetapi hasil
penelitian Fikri (2013) menunjukkan sistem tataniaga yang tidak terdapat peran
pedagang pengumpul dalam proses penyampaian produk kepada konsumen.
Lembaga tataniaga yang terlibat dalam penelitian ini adalah petani, pedagang
besar, pedagang kecil, dan pedagang pengecer.
Pada umumnya setiap rantai pemasaran terdapat pedagang pengumpul yang
berperan dalam menampung produk yang dihasilkan petani. Dengan adanya peran
pengumpul ini posisi tawar petani menjadi kurang kuat terutama dalam sistem
penetapan harga. Akan tetapi, dengan terputusnya pedagang pengumpul dari
rantai pemasaran tidak selalu membuat sistem tataniaga menjadi lebih efisien.
Oleh karena itu sistem tataniaga dapat berbeda pada tempat yang berbeda.
Lembaga-lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga melakukan fungsi yang
berbeda untuk memperlancar proses penyampaian sayuran (tomat, daun bawang,
caisin, jamur tiram putih, dan lainnya) dari petani hingga ke konsumen akhir.
Fungsi tataniaga merupakan perlakuan-perlakuan pada sistem tataniaga yang akan
meningkatkan atau menciptakan nilai tambah (value added) untuk memenuhi
kepuasan konsumen. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga
tataniaga terdiri atas fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) dan fungsi fasilitas (sortasi,
pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar).
Titik akhir saluran tataniaga tomat pada umumnya bermuara di pasar
tradisional kecamatan atau kabupaten. Pada penelitian Mahassy (2011) yang
melakukan penelitian mengenai tataniaga sayuran organik di Koperasi Serikat
Petani Indonesia, Kabupaten Bogor petani melakukan penjualan langsung pada
koperasi SPI tersebut dan membentuk 5 saluran pemasaran sayuran organik. Pada
saluran (1) petani melakukan penjualan pedagang pengecer tradisional dan
langsung menjualnya ke pedagang pengecer. Pada saluran (2) petani melakukan
penjualan ke koperasi SPI, toserba YT, sampai ke konsumen. Pada saluran (3)
petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF,
supermarket LS, sampai ke konsumen. Pada saluran (4) petani melakukan
penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF, supermarket GS, sampai ke
konsumen. Sedangkan pada saluran (5) petani melakukan penjualan ke koperasi
SPI, outlet SPI, sampai ke konsumen.
Saluran tataniaga untuk komoditas sayuran yang berbeda bisa saja
menghasilkan saluran tataniaga yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian
A yun (2010) mengenai tataniaga bawang daun di Kabupaten Cianjur
menghasilkan 4 saluran pemasaran, yaitu: (1) petani, pedagang pengumpul,
pedagang pengecer, konsumen; (2) petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir,
pedagang pengecer, konsumen; (3) petani, pedagang pengumpul, konsumen
(restoran); (4) petani, pedagang pengumpul, supplier, pedagang pengecer
(supermarket), konsumen.
Saluran tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat pada
penelitian Fikri (2013) menghasilkan 6 saluran tataniaga yang terbagi atas 3 pasar
akhir yaitu wilayah Bandung (lokal), Bekasi dan Jakarta. Saluran tataniaga yang
terbentuk tersebut yaitu: (1) Petani, pedagang kecil, pedagang pengecer,
konsumen (Bandung); (2) Petani, pedagang pengecer, konsumen (Bandung); (3)
10
Petani, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen (Bekasi); (4) Petani,
pedagang besar, konsumen (Bekasi); (5) Petani, pedagang besar, pedagang
pengecer, konsumen (Jakarta); (6) Petani, pedagang besar, konsumen (Jakarta).
Pola saluran tataniaga yang berbeda juga terlihat pada penelitian Hairia (2013)
yang meneliti saluran pemasaran tomat di Koperasi Mitra Tani Parahyangan,
Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga yang terbentuk di Koperasi Mitra Tani
Parahyangan terdiri atas 3 pola, yaitu: (1) Pola saluran pemasaran melalui
distribution center (DC); (2) Pola saluran pemasaran tomat melalui Giant atau
Alfamidi (retailer); (3) Pola saluran tomat melalui restoran.
Kajian Mengenai Struktur Pasar
Struktur pasar sangat dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang unik
untuk masing-masing produk dan lembaga yang terlibat dalam tataniaga. Menurut
Hammond dan Dahl (1977) terdapat 4 karakteristik struktur pasar yang pada
akhirnya akan menentukan perilaku pasar pada setiap kegiatan pemasaran.
Keempat karakteristik pasar tersebut adalah (1) jumlah dan ukuran perusahaan;
(2) sifat produk (dari sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk
pasar; dan (4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara
partisipan tataniaga.
Prasetyo (2007) dalam Natalia (2011) memberi pengertian pada perilaku
pasar sebagai cara bagaimana partisipan tataniaga (petani dan lembaga tataniaga)
menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku
pasar tidak selamanya konstan dan akan berubah mengikuti situasi penjualan dan
pembelian yang terjadi, sehingga lembaga tataniaga akan mengambil sikap dalam
mengambil keputusan. Penentuan harga dan sistem kelembagaan pasar menjadi
dasar untuk mengidentifikasi perilaku pasar. Terdapat 2 alasan yang menjadikan
harga penting dalam suatu industri, dimana perilaku pasar mendorong terjadinya
kerja sama dalam penetapan harga. Alasan tersebut adalah pertama, harga sebagai
senjata efektif dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis
yang harus dikontrol.
Penelitian Fikri (2013) tentang sistem tataniaga tomat di Desa Tugumukti,
Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh
petani cenderung pada struktur pasar monopsoni karena petani menghadapi
kesulitan dalam menjual tomat kepada pedagang, di mana pedagang merupakan
pihak yang sangat dominan dalam menentukan harga tomat. Struktur pasar yang
dihadapi lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pedagang kecil dan pedagang
pengecer cenderung mengarah pada pada pasar oligopoli karena jumlah penjual
lebih sedikit dari pembeli, di mana penjual memiliki peran yang dominan dalam
penentuan harga tomat.
Menurut Burhan (2011) dalam menganalisis kinerja atau keragaan pasar,
beberapa pendekatan bisa dilakukan yaitu dengan menganalisis biaya pemasaran,
biaya operasional dan biaya transaksi khususnya yang menyangkut masalah
penawaran. Biaya pemasaran merupakan biaya yang tidak dapat dipisahkan dalam
melihat kinerja pasar. Selisih harga yang tinggi akan memicu para spekulator
untuk mempermainkan harga di pasar. Biaya pemasaran tersebut menunjukkan
besarnya marjin tataniaga yang menjadi salah satu indikator kuantitatif dalam
11
menentukan penerimaan petani sehingga dapat menunjukkan apakah keragaan
pasar efektif atau tidak.
Indikator yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran suatu
produk pertanian adalah marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya. Secara umum panjangnya rantai pada saluran tataniaga
berimplikasi pada bertambahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk
menangani produk pertanian tersebut dan adanya pengambilan keuntungan dari
setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Hal ini mengakibatkan nilai marjin
tataniaga yang semakin membesar dan bagian yang diterima oleh petani (farmer s
share) semakin mengecil.
Keterkaitan Kajian Empiris terhadap Penelitian
Penelitian dengan topik tataniaga bukanlah merupakan hal yang baru. Di
samping itu penelitian yang akan dilakukan mengacu pada beberapa penelitian
tentang tataniaga yang telah dilakukan pada beberapa komoditas hortikultura di
beberapa wilayah di Indonesia. Mengingat pemasaran merupakan permasalahan
yang umum terjadi pada produk pertanian hortikultura, penelitian tataniaga
menjadi penting untuk dilakukan. Hasil penelitian dari beberapa penelitian tentang
tataniaga pada komoditas hortikultura menunjukkan bahwa secara umum
perbedaan harga atau marjin atas harga di tingkat petani dengan harga di tingkat
konsumen relatif besar. Hal ini terjadi salah satunya karena panjangnya rantai
pemasaran yang melibatkan beberapa lembaga seperti pedagang pengumpul,
pedagang besar dan pedagang pengecer. Petani sebagai produsen biasanya hanya
bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s share) kecil dari
harga yang dibayar oleh konsumen. Oleh karena itu, penelitian mengenai
tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat ini menggunakan beberapa rujukan dari penelitian-penelitian tentang
tataniaga pada komoditas hortikultura yang telah dilakukan sebagai referensi dan
pedoman.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep sistem tataniaga; konsep
saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga; konsep struktur pasar; konsep marjin
tataniaga; konsep farmer s share, konsep rasio keuntungan terhadap biaya; serta
konsep efisiensi tataniaga.
Konsep Sistem Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu kegiatan yang memfasilitasi produsen (petani)
dengan konsumen akhir melalui aliran produk. Menurut Kohls dan Uhl (1985)
konsep tataniaga merupakan suatu kegiatan mendistribusikan produk secara fisik
dan aktivitas ekonomi yang memfasilitasi pergerakan dan pertukaran suatu
12
komoditas, mulai dari komoditas tersebut lepas dari penanganan usahatani di
lahan pertanian hingga berada di tangan konsumen akhir. Tataniaga merupakan
sebuah sistem karena dalam tataniaga terdiri atas lembaga-lembaga yang saling
berinteraksi dan saling berkontribusi menuju satu tujuan industri secara
keseluruhan, yaitu menyampaikan produk dari produsen (petani) kepada
konsumen akhir.
Asmarantaka (2012) menjelaskan konsep tataniaga dari aspek ekonomi
bahwa tataniaga atau pemasaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas sub-sub
sistem. Sub-sub sistem tersebut disebut sebagai fungsi tataniaga yang terdiri atas
fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi tataniaga ini
merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif selama mengalirnya produk
atau jasa pertanian dari petani produsen sampai konsumen akhir.
Tataniaga agribisnis pangan merupakan sistem yang kompleks dan mahal.
Tataniaga dikatakan kompleks karena untuk satu jenis komoditas pangan saja
memerlukan banyak prosedur operasi yang khusus dalam penanganannya. Selain
sifat dari komoditas pangan yang mudah rusak, komoditas pangan juga
mempunyai banyak variasi dalam hal kualitas sehingga harus dilakukan beberapa
penanganan khusus seperti pengumpulan, sortasi, pengemasan, harus segera
dipasarkan atau disimpan untuk kemudian digunakan. Biaya tenaga kerja yang
digunakan selama proses tataniaga bisa melebihi nilai dari komoditas yang dijual
oleh petani karena banyak melibatkan aktivitas bisnis dari lembaga-lembaga
tataniaga yang terlibat. Oleh karena itu tataniaga agribisnis untuk komoditas
pangan dikatakan mahal (Kohls dan Uhl 1985).
Schaffner et al (1998) dalam Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga
dari pendekatan manajemen (marketing management approach), merupakan
pendekatan dari aspek mikro (manajerial) perusahaan dalam proses perencanaan,
penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan
konsumen baik konsumen individual maupun organisasi. Marketing Mix atau
bauran pemasaran yang terdiri atas product, price, place, dan promotion mix
merupakan salah satu strategi perusahaan dalam manajemen pemasaran.
Kohls dan Uhl (1985) menyatakan bahwa mempelajari sistem tataniaga
dapat dilakukan dengan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach)
Pendekatan fungsi menganalisis jenis-jenis aktivitas bisnis yang terjadi
selama proses tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga dibagi menjadi
beberapa fungsi tataniaga. Pembagian fungsi tataniaga tersebut dilakukan
berdasarkan biaya pemasaran dari berbagai komoditas pertanian yang
nilainya berbeda-beda.
2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach)
Pendekatan kelembagaan memfokuskan pendekatan pada individu atau
organisasi bisnis yang terlibat selama proses tataniaga atau aktivitas bisnis
dilakukan. Pendekatan ini mencoba menjelaskan who dalam pertanyaan
Who does what , artinya pendekatan ini menjelaskan peran dari pelakupelaku bisnis yang terlibat selama proses tataniaga berlangsung.
3. Pendekatan Sistem Perilaku (The Behavioral Systems Approach)
Pendekatan sistem perilaku memandang keseluruhan dimensi yang
terbentuk dari interaksi antara lembaga-lembaga tataniaga yang saling
13
melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam saluran-saluran tataniaga yang
terbentuk.
Konsep Saluran, Lembaga, dan Fungsi Tataniaga
Menurut Kohls dan Uhl (1985) saluran tataniaga adalah sekumpulan
pelaku-pelaku usaha (lembaga-lembaga tataniaga) yang saling melakukan
aktivitas bisnis dalam membantu menyampaikan produk dari petani sampai
konsumen akhir. Dalam saluran tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga saling
melakukan fungsi tataniaga sehingga kemudian akan terbentuk beberapa alternatif
saluran tataniaga. Setiap alternatif saluran tataniaga memungkinkan terjadinya
aliran produk yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kepada siapa saja
produk tersebut berhenti, apa saja perlakuan yang diberikan kepada produk selama
melewati lembaga-lembaga tataniaga, dan seberapa panjang rantai tataniaga yang
terbentuk.
Dalam saluran tataniaga ada lembaga-lembaga tataniaga yang saling
melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam menyampaikan produk sampai ke
konsumen akhir. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut dapat berupa individu atau
organisasi bisnis yang terlibat dalam aktivitas ekonomi dan peningkatan nilai
tambah (value added) produk. Dengan mempelajari lembaga-lembaga tatanaga
akan dapat dimengerti bahwa mengapa petani dan konsumen tidak dapat
berhubungan secara langsung dalam melakukan proses pertukaran produk. Berikut
adalah lembaga-lembaga tataniaga yang umum terlibat dalam proses tataniaga
(Kohls dan Uhl 1985):
1. Pedagang Perantara (Merchant Middlemen), lembaga tataniaga yang
menghimpun barang untuk kemudian barang tersebut dimiliki untuk
ditangani dalam upaya memperoleh marjin pemasaran.
a) Pedagang Pengumpul (Assembler), mengumpulkan dan membeli
produk langsung dari produsen (petani) dalam jumlah besar untuk
memperoleh marjin pemasaran dengan menjual kembali kepada
pedagang grosir atau lembaga tataniaga lain.
b) Pedagang Grosir (Wholeseller), menjual produk kepada pedagang
pengecer, pedagang grosir lain dan industri terkait, tetapi tidak untuk
menjual produk dalam jumlah tertentu kepada konsumen akhir.
c) Pedagang Pengecer (Retailers), membeli produk untuk langsung dijual
kembali kepada konsumen akhir.
2. Agen Perantara (Agent Middlemen), memperoleh pendapatan dari komisi
dan bayaran dari proses jual-beli. Agen perantara berbeda dengan pedagang
yang memiliki hak atas produk untuk ditangani lebih lanjut. Agen perantara
hanya mewakili pelanggan dalam transaksi jual-beli dan tidak memiliki hak
atas produk yang mereka tangani.
a) Broker (Brokers),menyalurkan produk untuk memperoleh komisi tanpa
memiliki hak untuk mengontrol produk secara langsung.
b) Komisioner (Commission Men), menyalurkan produk untuk
memperoleh komisi. Komisioner diberi hak dan keleluasaan dalam
mengontrol barang yang diperjual-belikan.
3. Spekulator (Speculative Middlemen), melakukan jual-beli produk dengan
tujuan utama memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan pergerakan
harga di pasar.
14
4. Pengolah dan Pabrik (Processor and Manufacturers), melakukan beberapa
tindakan pada produk yang ditangani untuk memperoleh marjin pemasaran
berupa nilai tambah (value added) dengan mengubah bentuk fisiknya.
5. Organisasi Pendukung (Facilitative Organizations), membantu berbagai
perantara tataniaga dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Biasanya
organisasi pendukung memperoleh pendapatan dari taksiran bayaran dari
lembaga-lembaga yang menggunakan jasa mereka.
Lembaga-lembaga tataniaga melakukan aktivitas bisnis selama proses
pemasaran berlangsung. Aktivitas-aktivitas tersebut dinamakan fungsi tataniaga.
Fungsi-fungsi tataniaga tersebut harus dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis yang
terlibat selama proses tataniaga berlangsung. Hal ini dilakukan dengan tujuan
meningkatkan efisiensi tataniaga, karena fungsi tataniaga yang dilakukan dapat
meningkatkan nilai tambah dari produk agribisnis. Kohls dan Uhl (1985)
mengklasifikasikan fungsi tataniaga menjadi 3 kelompok utama, yaitu:
1. Fungsi Pertukaran (Exchange Functions)
Fungsi pertukaran merupakan aktivitas-aktivitas yang melibatkan pertukaran
kepemilikan dari barang-barang yang diperjual-belikan antara penjual dan
pembeli. Fungsi pertukaran terdiri atas:
a) Pembelian (Buying/Assembling)
Pembelian adalah kegiatan mencari barang atau jasa yang digunakan
sebagai bahan baku atau dengan mengalihkan kepemilikan.
b) Penjualan (Selling)
Penjualan adalah kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
pemasaran yang berusaha menciptakan permintaan dengan melakukan
strategi promosi dan periklanan serta strategi pemasaran lainnya untuk
dapat menarik minat pembeli.
2. Fungsi Fisik (Physical Functions)
Fungsi fisik adalah aktivitas-aktivitas yang melibatkan penanganan,
pergerakan, dan perubahan fisik atas produk. Fungsi fisik membantu
menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kapan, apa dan
dimana tataniaga tersebut terjadi. Fungsi fisik terdiri atas:
a) Penyimpanan (Storage)
Penyimpanan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang
berhubungan dengan waktu. Penyimpanan membuat produk tersedia
pada waktu yang diinginkan.
b) Pengangkutan (Transportation)
Pengangkutan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang
berhubungan dengan tempat. Pengangkutan membuat produk tersedia
pada tempat yang tepat.
c) Pengolahan (Processing)
Pengolahan merupakan kegiatan merubah bentuk produk untuk
meningkatkan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan kadang tidak
termasuk dalam kegiatan pemasaran karena pada dasarnya kegiatan
pengolahan adalah kegiatan merubah bentuk produk, bukan kegiatan
memasarkan produk.
3. Fungsi Fasilitas (Facilitating Functions)
15
Fungsi fasilitas merupakan aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung
terlibat dalam proses pemasaran produk karena membutuhkan teknologi dan
pengetahuan khusus dalam penangananny
GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
WIGGO WINDI RISWANDY
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tataniaga Tomat di
Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Wiggo Windi Riswandy
NIM H34090010
ABSTRAK
WIGGO WINDI RISWANDY. Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh HARMINI.
Tomat merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menghasilkan
nilai ekonomis dan strategis. Harga tomat yang fluktuatif dan marjin tataniaga yang
cukup besar membuat nilai farmer s share menjadi relatif kecil. Oleh karena itu,
dibutuhkan penelitian mengenai efisiensi tataniaga tomat untuk mengetahui gambaran
tataniaga tomat secara komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
saluran, fungsi, lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tomat, serta
menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan
wawancara dilakukan kepada petani di Desa Gekbrong dengan metode purposive
sampling, sedangkan metode snowball sampling dilakukan kepada lembaga tataniaga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga dengan lembaga,
fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Secara umum,
analisis efisiensi operasional menyatakan bahwa semua saluran tataniaga tomat belum
efisien. Kondisi ini terlihat terutama dari ketidakadilan harga pada petani yang posisi
tawarnya lemah. Selain itu dalam mekanisme penentuan harga petani hanya bertindak
sebagai penerima harga. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam
mendukung peran kelompok tani untuk mencapai efisiensi tataniaga tomat.
Kata kunci: Desa Gekbrong, efisien, efisiensi, farmer s share, tataniaga tomat
ABSTRACT
WIGGO WINDI RISWANDY. Marketing System of Tomato in Gekbrong
Village, Gekbrong Subdistrict, Cianjur Regency, West Java. Supervised by
HARMINI.
Tomato is one of the leading commodities in Indonesia which has economic
and strategic value. The fluctuating price of tomato and high marketing margin make
the farmer's share value is relatively small. Therefore, the research of efficiency in
tomato marketing is needed in order to provide tomato marketing comprehensively.
The objectives of this research were (1) to identify the marketing channels,
institutions, functions and market structure of tomato marketing, and (2) to analyze
the operational efficiency of tomato marketing with marketing margin approach,
farmer's share, and benefit-cost ratio. The observations and interviews were
conducted to farmers in Gekbrong village by purposive sampling method, while the
method of snowball sampling was conducted to marketing institutions. The result
showed that there were 4 marketing channels with different institutions, functions,
and market structure on every channel. In general, the analysis of operational
efficiency showed that all of the marketing channels had not been efficient. This
condition was primarily seen at the inequity price that were suffered by farmers who
had weak bargaining powers. Moreover, the pricing mechanism made farmers
became price takers. Therefore, the role of government was required to support the
role of farmer groups in order to attain the efficiency of tomato marketing.
Keywords: efficiency, efficient, farmer s share, gekbrong village, tomato marketing
TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN
GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
WIGGO WINDI RISWANDY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
: Wiggo Windi Riswandy
: H34090010
Disetujui oleh
Ir Harmini, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
tataniaga, dengan judul Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir Harmini, MSi selaku dosen
pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Amzul Rifin, SP,
MA selaku dosen penguji utama dan Ibu Siti Jahroh, PhD selaku dosen penguji
Departemen Agribisnis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Puji
Mustika Lestari, SE yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Yayat Duriat dan Bapak Nasep Sudrajat dari Balai Pengembangan Budidaya
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong serta Bapak Sabar dari
Kelompok Tani Gede Harepan Desa Gekbrong, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Kemudian penghargaan juga penulis sampaikan kepada Perum
Perhutani yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani
perkuliahan di IPB serta beasiswa penelitian selama melaksanakan penelitian ini.
Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Andriyono
Kilat Adhi selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan
terima kasih atas segala dukungan dari rekan-rekan Agribisnis 46 IPB, BEM FEM
IPB 2011, ISEE IPB 2012, dan Kementerian Pendidikan BEM KM IPB 2012.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Wiggo Windi Riswandy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Umum Wilayah, Keadaan Alam, dan Penduduk
Karakteristik Petani Responden
Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Lembaga Tataniaga
Identifikasi Fungsi Tataniaga
Identifikasi Saluran Tataniaga
Identifikasi Struktur Pasar
Analisis Marjin Tataniaga, Farmer s Share, dan Rasio Keuntungan
terhadap Biaya
Analisis Efisiensi Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
x
xi
xi
1
1
4
6
7
7
7
11
11
19
21
21
21
21
22
26
27
27
30
32
33
34
34
42
53
58
66
75
75
76
76
79
83
DAFTAR TABEL
1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran konsumsi per
kapita per bulan menurut kelompok barang di Indonesia tahun 2012
2 Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di
Indonesia tahun 2010
3 Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun 2010-2011
4 Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun 20102011
5 Struktur pasar untuk pemasaran pangan dan serat
6 Kriteria penentuan jenis struktur pasar di lokasi penelitian berdasarkan
karakteristik pasar
7 Sebaran luas daerah menurut desa di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten
Cianjur tahun 2011
8 Produktivitas sayuran menurut komoditas di Kecamatan Gekbrong
tahun 2011
9 Sebaran luas lahan darat menurut desa di Kecamatan Gekbrong tahun
2012
10 Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gekbrong
tahun 2012
11 Sebaran jumlah penduduk di Desa Gekrbrong berdasarkan mata
pencaharian tahun 2012
12 Sebaran petani responden berdasarkan usia di Desa Gekbrong tahun
2013
13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa
Gekbrong tahun 2013
14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan di Desa
Gekbrong tahun 2013
15 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman dalam usahatani
tomat di Desa Gekbrong tahun 2013
16 Sebaran lembaga tataniaga responden (pedagang pengumpul, pemilik
koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer) berdasarkan umur,
tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berdagang tomat
17 Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga
tataniaga di Desa Gekbrong
18 Grading tomat berdasarkan berat menurut SNI 01-3162-1992
19 Grading tomat berdasarkan syarat mutu menurut SNI 01-3162-1992
20 Indikator sortasi untuk grading tomat di Desa Gekbrong
21 Sebaran petani yang melakukan peminjaman modal usahatani kepada
pedagang pengumpul di Desa Gekbrong pada musim tanam tomat
Bulan September-November 2012
22 Sebaran petani responden dan volume penjualan tomat di setiap saluran
tataniaga tomat di Desa Gekbrong pada musim panen Bulan NovemberDesember 2012
23 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga I
24 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga II
25 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga III
26 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga IV
1
2
3
4
16
23
27
28
28
29
29
30
31
31
32
33
35
37
37
37
38
44
45
48
50
52
27 Marjin tataniaga setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Gekbrong
28 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Gekbrong
29 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat
di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat
30 Rasio keuntungan terhadap biaya setiap grade tomat pada setiap saluran
tataniaga di Desa Gekbrong
31 Efisiensi tataniaga tomat grade A di Desa Gekbrong
32 Efisiensi tataniaga tomat grade B di Desa Gekbrong
33 Efisiensi tataniaga tomat grade C di Desa Gekbrong
34 Efisiensi tataniaga tomat grade super di Desa Gekbrong
60
62
63
65
67
68
69
69
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun 2012
Kurva marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional
Skema saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan
Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Saluran I ( ), saluran II
( ), saluran III ( ), dan saluran IV ( ).
5
17
20
42
DAFTAR LAMPIRAN
1 Produksi tomat menurut provinsi di Indonesia tahun 2007-2011
2 Produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun 20072011
3 Dokumentasi penelitian
79
80
81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hortikultura berbasis sayuran merupakan komoditas yang
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Kondisi agroklimat Indonesia yang
cocok untuk ditanami berbagai komoditas sayuran menjadi hal positif dalam
mendukung pengembangan komoditas sayuran. Pengembangan komoditas
sayuran diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar dan daya saing dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sayuran menyumbang
kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Direktorat
Jenderal Hortikultura melaporkan bahwa sayuran merupakan komoditas dengan
nilai kontribusi PDB yang selalu meningkat setiap tahun. Sayuran menyumbang
PDB terbesar ke-2 pada sektor tanaman hortikultura setelah buah-buahan, yaitu
sebesar 31 244 milyar rupiah pada tahun 2010.
Sampai saat ini, sayuran masih menjadi komoditas yang dikonsumsi
sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan serat, vitamin, dan
mineral. Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada triwulan I (Maret) tahun 2012
pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi sayur-sayuran mencapai 7.4%
dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Angka ini
menunjukkan angka terbesar ke-3 dari pengeluaran penduduk Indonesia yang
digunakan untuk konsumsi sayur-sayuran setelah padi-padian dan ikan dalam
kelompok barang konsumsi makanan. Artinya, masyarakat Indonesia dalam
pemenuhan konsumsi makanannya masih cukup bergantung pada sayur-sayuran.
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran
konsumsi per kapita per bulan menurut kelompok barang
di Indonesia tahun 2012a
Persentase makanan
Kelompok barang konsumsi
(%/kap/tahun)
Makanan:
Padi-padian
17.89
Umbi-umbian
0.86
Ikan
8.22
Daging
4.03
Telur dan susu
5.87
Sayur-sayuran
7.40
Kacang-kacangan
2.60
Buah-buahan
4.78
Lain-Lain
48.34
Jumlah makanan
100.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia adalah tomat. Hal ini
karena tomat merupakan komoditas yang menghasilkan nilai ekonomis dan
2
strategis. Tomat dibudidayakan oleh petani sejak dahulu karena tomat menjadi
salah satu komoditas komersil yang mampu menghasilkan sumber pendapatan
andalan petani. Tomat juga menjadi komoditas strategis karena selalu digunakan
masyarakat Indonesia sebagai bahan makanan yang mengandung nilai gizi yang
baik. Selain itu, industri makanan dan minuman olahan juga membutuhkan tomat
sebagai bahan baku yang keberadaannya sulit untuk digantikan.
Besarnya nilai ekonomis tomat dalam upaya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dapat dilihat dari kontribusi PDB tomat. Tabel 2
memperlihatkan kontribusi tomat terhadap total PDB atas harga yang berlaku
untuk beberapa komoditas sayuran di Indonesia selama tahun 2010. Tomat
menyumbang sebesar 2 333.85 milyar rupiah atau 7.47% dari total PDB sayuran
di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa tomat merupakan komoditas yang
keberadaannya harus diperhitungkan untuk dikembangkan selain komoditas
lainnya yang juga memberi kontribusi PDB terbesar yaitu cabai besar sebesar 6
698.94 milyar rupiah disusul bawang merah sebesar 4 588.39 milyar rupiah, dan
cabai rawit sebesar 3 662.94 milyar rupiah.
Tabel 2 Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di
Indonesia tahun 2010a
Komoditas
Nilai PDB (milyar rupiah)
Persentase (%)
Cabai besar
6 698.94
21.44
Bawang merah
4 588.39
14.69
Cabai rawit
3 662.94
11.72
Tomat
2 333.85
7.47
Kentang
2 247.39
7.19
Kubis
2 108.52
6.75
Bawang daun
1 274.96
4.08
Sayuran lainnya
8 329.17
26.66
Total sayuran
31 244.16
100.00
a
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011).
Produksi tomat di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dibandingkan dengan komoditas sayuran
lain, tomat merupakan komoditas sayuran yang mengalami peningkatan produksi
dari tahun ke tahun. Tabel 3 memperlihatkan bahwa produksi tomat di Indonesia
pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 7% dari tahun 2010. Total
produksi tomat tahun 2010 sebesar 891 616 ton kemudian pada tahun 2011
meningkat menjadi sebesar 954 046 ton. Peningkatan produksi tomat ini
menunjukkan bahwa permintaan masyarakat terhadap tomat meningkat setiap
tahunnya.
Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menghasilkan tomat dengan
produksi yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah
tersebut meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumetera Utara. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat adalah wilayah dengan
produksi tomat tertinggi yaitu sebesar 267 220 ton pada tahun 2007 dan terus
meningkat hingga 354 832 ton selama tahun 2011. Data lengkap mengenai
3
produksi tomat seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011 dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 3 Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun 2010-2011a
Produksi (ton)
Pertumbuhan
Jenis sayur
2010
2011
Absolut
%
Bawang merah
1 048 934
893 124
-155 810
-14.85
Kentang
1 060 805
955 488
-105 317
-9.93
Kubis
1 385 044
1 363 741
-21 303
-1.54
Cabai besar
807 160
888 852
81 692
10.12
Cabai rawit
521 704
594 227
72 523
13.90
Tomat
891 616
954 046
62 430
7.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012).
Upaya pemenuhan kebutuhan akan tomat tidak hanya dilihat dari segi
kuantitas (produksi dan produktivitas), tetapi juga kualitas tomat. Seiring dengan
berjalannya waktu, selera dan kepuasan masyarakat dalam mengkonsumsi tomat
semakin meningkat sehingga perbaikan pada kualitas tomat menjadi sangat
penting. Hal ini karena masyarakat sudah mulai peduli dengan cita rasa produk
dan cenderung mengutamakan kualitas dari produk tersebut. Kondisi ini menjadi
dasar bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas tomat.
Dalam rangka meningkatkan kualitas tomat, pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 511/Kpts/PD.310/9/2006
tanggal 12 September 2006. Keputusan ini menyatakan bahwa tomat menjadi
salah satu komoditas binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Dengan masuknya
tomat ke dalam salah satu komoditas binaan pemerintah, diharapkan pemerintah
dapat terus mengupayakan dan memprioritaskan perbaikan dari segi kualitas
tomat. Upaya peningkatan kualitas tomat juga terlihat dari dilepasnya beberapa
varietas unggul tomat dalam bentuk tomat hibrida seperti varietas Hibrida Pluto528
yang
tertuang
dalam
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
330/Kpts/TP.240/6/2003, varietas Hibrida Gress dalam Keputusan Menteri
Pertanian No. 450/Kpts/SR.120/12/2005, dan varietas Hibrida Eggy dalam
Keputusan Menteri Pertanian No. 116/Kpts/SR.120/3/2006.
Tomat yang berkualitas akan mendapat perhatian lebih dari masyarakat
yang mengkonsumsinya. Hal ini karena saat ini pemenuhan kebutuhan tomat
bukan hanya ditujukan untuk masyarakat dalam negeri saja melainkan untuk
diperkenalkan kepada masyarakat di luar negeri. Tomat kini sudah menjadi
komoditas yang diperdagangkan di tingkat internasional.
Tabel 4 memperlihatkan perkembangan volume dan nilai ekspor tomat
tahun 2010-2011. Selama tahun 2010 sampai tahun 2011 volume ekspor tomat
mengalami pertumbuhan sebesar 12% sementara nilai ekspor juga mengalami
pertumbuhan sebesar 19%. Indonesia mengekspor tomat ke beberapa negara
dengan jumlah 626 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 699 ton pada
tahun 2011. Nilai yang diperoleh dari ekspor tomat adalah US$ 592 002 pada
tahun 2010 dan meningkat menjadi US$ 706 178 pada tahun 2011.
4
Tabel 4 Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun 20102011a
Tahun
Pertumbuhan
Ekspor
2010
2011
Absolut
%
Volume (ton)
626
699
73
12
Nilai (US$)
592 002
706 178
114 176
19
a
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2012).
Potensi dan peluang ekonomi dari tomat dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional akan terbuka lebar apabila proses penyampaian
tomat dari petani sampai ke konsumen berlangsung secara efisien. Sistem
tataniaga tomat yang efisien memiliki peran yang penting dalam rangka menjaga
stabilitas tomat dari segi harga dan kuantitas di Indonesia. Dengan adanya sistem
tataniaga yang efisien diharapkan dapat menurunkan biaya pemasaran serta
memperlancar arus barang dan jasa sehingga tercapai harga yang layak dan
bersaing. Dengan kondisi tersebut, diharapkan dapat memperluas lapangan
pekerjaan, meningkatkan pendapatan produsen (petani) dan lembaga-lembaga
tataniaga yang terlibat selama proses pemasaran, memantapkan stabilitas
ekonomi, dan melindungi kepentingan konsumen1.
Perbaikan tomat secara fisik dari segi kualitas gizi yang tinggi dan
perbaikan menuju sistem tataniaga yang efisien diharapkan mampu mewujudkan
upaya pengembangan komoditas tomat dalam rangka peningkatan pertumbuhan
ekonomi nasional tersebut. Apalagi kini tomat tidak hanya diperdagangkan di
dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di luar negeri. Upaya tersebut tidak
terlepas dari pembangunan pertanian berbasis pedesaan yang harus dilakukaan
oleh pemerintah daerah di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam
rangka pengembangan komoditas tomat secara nasional. Ini lah yang menjadi
dasar bagi pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dalam mendorong peningkatan
kualitas tomat sebagai komoditas sayuran unggulan daerah Cianjur.
Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai sentra produksi tomat dengan produksi
terbesar di Indonesia (BPS 2012). Sentra produksi tomat di Jawa Barat menurut
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat berada di Kabupaten Garut,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan luas areal tanam tomat
di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur berada pada urutan ketiga. Produksi tomat di
Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang sangat
singnifikan yaitu sebesar 95.57% dari tahun 2010. Data lengkap mengenai
produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun dari tahun 2007
sampai 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kabupaten Cianjur sangat berpotensi sebagai salah satu sentra produksi
tomat. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam pemasaran tomat, harga
tomat cenderung berfluktuasi. Fluktuasi harga tomat ini bisa dilihat dari
1
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Perdagangan Bab 14. [internet].
[diacu 2012 Desember 1]. Tersedia dari: www.bappenas.go.id/get-file-server
5
perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur selama tahun 2012 yang
diperoleh dari laporan harian harga tomat menurut Kementerian Pertanian seperti
yang disajikan pada Gambar 1 berikut.
7.000,00
Harga (Rp / Kg)
6.000,00
5.000,00
4.000,00
3.000,00
2.000,00
1.000,00
0,00
Gambar 1 Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun 2012
Selain harga tomat yang cenderung berfluktuasi, terdapat perbedaan harga
yang cukup signifikan antara harga yang diterima oleh petani (produsen) dengan
harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan data Kementerian Pertanian
tahun 2012, harga tomat yang diterima petani dengan harga yang dibayar
konsumen di Kabupaten Cianjur menghasilkan perbedaan harga atau marjin
tataniaga yang cukup besar. Selama tahun 2012, harga tomat di tingkat petani
menyentuh harga terendah yaitu Rp850 per kg pada Bulan November sedangkan
harga normal tomat di tingkat petani yang dapat menutupi biaya produksi adalah
Rp2 500-Rp3 000 per kg.
Mengingat pemasaran merupakan permasalahan yang umum terjadi pada
produk pertanian hortikultura, penelitian-penelitian tentang tataniaga hortikultura
di beberapa lokasi di Kabupaten Cianjur yang pernah dilakukan oleh A yun
(2010), Noviana (2011), dan Sakti (2011) juga menunjukkan bahwa secara umum
perbedaan harga atau marjin yang dihasilkan pada komoditas hortikultura relatif
besar. Hal serupa juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Fikri (2013)
pada tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat. Kondisi ini
terjadi salah satunya karena panjangnya rantai tataniaga yang melibatkan beberapa
lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang
pengecer.
Perbedaan harga tomat yang cukup besar dan harga tomat yang fluktuatif
menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada tataniaga tomat. Implikasi yang
terjadi pada permasalahan tataniaga ini membuat pendapatan yang diterima petani
sebagai produsen tomat menurun dari yang seharusnya. Petani sebagai produsen
biasanya hanya bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s
share) yang kecil dari harga yang dibayar oleh konsumen.
6
Salah satu daerah penghasil tomat di Kabupaten Cianjur adalah Desa
Gekbrong di Kecamatan Gekbrong. Informasi lokasi ini diperoleh dari studi
lapang pendahuluan yang dilakukan kepada stakeholder di Desa Gekbrong.
Tujuan dari studi lapang pendahuluan ini adalah memperoleh informasi keragaan
tataniaga tomat di lokasi yang akan diteliti. Berdasarkan pengamatan di lapang
tersebut, diperoleh informasi bahwa Desa Gekbrong juga mengalami
permasalahan pada tataniaga tomat seperti yang telah umum terjadi di daerahdaerah penghasil tomat lainnya. Lebih jauh lagi diperoleh informasi bahwa petani
di Desa Gekbrong tidak memperoleh harga tomat berdasarkan grade karena
sistem penjualan tomat yang dilakukan di Desa Gekbrong cenderung mengarah
pada sistem tebas.
Permasalahan pada perbedaan marjin tataniaga yang cukup besar yang
membuat pendapatan petani menjadi rendah dari harga yang dibayarkan
konsumen diduga dialami oleh petani di Desa Gekbrong. Hal ini bisa dibuktikan
lebih lanjut jika telah dianalisis pada bagian yang diterima oleh petani dari
aktivitas pemasaran atau farmer s share. Marjin tataniaga yang dihasilkan pada
tataniaga tomat di Desa Gekbrong perlu dianalisis berdasarkan fungsi tataniaga
yang telah dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga tomat yang terlibat dalam
proses penyampaian tomat mulai dari petani sampai kepada konsumen akhir. Hal
ini dilakukan agar dapat diketahui apakah biaya tataniaga yang muncul dari
aktivitas tataniaga dalam meningkatkan value added tomat sesuai dengan balas
jasa berupa keuntungan tataniaga yang diperoleh lembaga tataniaga. Selain itu,
struktur pasar yang terbentuk dan perilaku pasar yang muncul dari struktur pasar
tersebut pada tataniaga tomat juga perlu diidentifikasi untuk melihat efisiensi pada
tataniaga tomat di Desa Gekbrong.
Oleh karena itu, penelitian pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong ini perlu
dilakukan secara menyeluruh dengan mengidentifikasi pola-pola saluran,
lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat. Selain itu, pendekatan
kuantitatif juga diperlukan untuk melihat efisiensi operasional dengan menghitung
nilai marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Dengan demikian upaya ini bisa menjadi dasar bagi pemerintah setempat untuk
membuat kebijakan yang tepat dalam meningkatkan efisiensi tataniaga tomat di
Desa Gekbrong.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat
di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur?
2. Bagaimana marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan
terhadap biaya pada efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong,
Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis sistem tataniaga tomat di
Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga
tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur.
2. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong,
Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur dengan pendekatan marjin
tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan terhadap biaya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang
membangun dan bermanfaat bagi:
1. Peneliti, sebagai sarana pembelajaran dan melatih untuk berpikir analitis
dalam menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang
agribisnis yang sudah dipelajari selama peneliti melaksanakan perkuliahan
di Institut Pertanian Bogor.
2. Pemerintah dan stakeholder, sebagai bahan masukan dan pertimbangan
dalam memutuskan kebijakan yang berhubungan dengan sistem tataniaga
tomat, terutama kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
3. Pembaca, sebagai referensi, pedoman, dan literatur dalam melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai sistem tataniaga tomat di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga tomat di Desa
Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Komoditas yang diteliti
adalah komoditas tomat (Lycopersicum esculentum). Petani yang dijadikan
responden adalah petani tomat yang ada di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong,
Kabupaten Cianjur. Data yang digunakan adalah data penjualan tomat yang terjadi
pada musim panen tomat Bulan November Desember 2012.
Lembaga tataniaga yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah
lembaga yang terlibat dalam aktivitas pembelian dan penjualan tomat di Desa
Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Lembaga tataniaga yang
ada pada sistem tataniaga ini terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang besar di
Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, pedagang pengecer di Pasar Gekbrong dan
Pasar Induk Cianjur. Analisis penelitian dibatasi untuk mengkaji sistem tataniaga
dengan melihat saluran, lembaga, fungsi, struktur pasar, marjin tataniaga, farmer s
share, dan rasio keuntungan terhadap biaya untuk melihat efisiensi operasional
tataniaga tomat.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Tomat
Tomat yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah tomato memiliki
nama ilmiah (Lycopersicum esculentum). Tomat merupakan tanaman asli Benua
Amerika yang tersebar dari Amerika Tengah hingga Amerika Selatan. Beberapa
8
negara di belahan dunia menamai tomat dengan beberapa istilah unik. Perancis
menamai tomat dengan apel cinta sedangkan Jerman menamainya dengan apel
surga. Penyebaran tomat di Indonesia dimulai dari Filipina dan negara-negara
Asia lainnya pada abad ke-18. Beberapa varietas tomat dikembangkan di
Indonesia dalam upaya pengembangan komoditas sayuran unggulan. Salah satu
varietas unggul tomat adalah tomat hibrida yang merupakan hasil persilangan 2
induk tomat galur murni dengan sifat unggulan mampu beradaptasi pada berbagai
kondisi agroklimat mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi (Cahyono
2008).
Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) menyebutkan bahwa tomat
merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia yang dilihat dari
nilai ekonomis dan strategisnya. Tomat menghasilkan nilai ekonomis terutama
dalam menyumbang kontribusi produk domestik bruto (PDB) sebagai upaya
pembangunan pertanian nasional. Tomat tidak hanya diperdagangkan di dalam
negeri tetapi juga di luar negeri. Tomat dengan varietas unggul didukung oleh
kondisi agroklimat Indonesia yang cocok untuk pengembangan komoditas tomat
membuat tomat memiliki nilai strategis. Hal ini menjadikan tomat sebagai
komoditas yang dibudidayakan oleh petani untuk dijadikan mata pencaharian
yang mendatangkan nilai ekonomi berupa pendapatan.
Kajian Mengenai Saluran, Fungsi dan Lembaga Tataniaga
Kajian mengenai saluran tataniaga tanaman hortikultura sayuran pada
umumnya menghasilkan saluran tataniaga yang panjang. Panjangnya rantai
pemasaran berimplikasi pada besarnya perbedaan harga atau marjin tataniaga
antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Kondisi ini
mengakibatkan bagian yang diterima oleh petani atau farmer s share menjadi
rendah. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi lembaga dan fungsi
tataniaga pada umumnya menggunakan metode deskriptif. Di samping itu metode
yang digunakan untuk mengetahui pola saluran tataniaga yang terbentuk pada
umumnya menggunakan metode snowball dengan petani sebagai titik awal
penelusuran. Selanjutnya informasi dari petani akan mengantarkan penelitian pada
informasi berikutnya sampai diketahui seperti apa pola saluran tataniaga yang
terbentuk.
Penelitian yang dilakukan oleh Sabang (2011) mengenai sistem tataniaga
tomat di Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan bahwa dari sebanyak 36
petani responden yang berasal dari 192 petani tomat, terdapat 4 pedagang
pengumpul dan 6 pedagang pengecer. Metode pengambilan sampel responden
petani adalah metode sampel acak sederhana (simple random sampling) untuk
mengetahui berapa banyak sampel yang diambil dari 192 petani. Di samping itu
metode penelitian yang dilakukan untuk mengambil sampel di tingkat lembaga
pemasaran adalah metode snowball.
Kelembagaan pemasaran pada tataniaga tanaman hortikultura merupakan
berbagai organisasi atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi
tataniaga. Pada umumnya lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam
kegiatan memasarkan komoditas tomat dan sayuran lainnya dimulai dari petani,
pedagang pengumpul, pedagang besar, sampai pedagang pengecer (A yun (2010);
9
Noviana (2011)). Selain itu pada beberapa kasus tertentu yang kegiatan
pemasarannya lebih kompleks, terdapat lembaga-lembaga tataniaga seperti sub
terminal agribisnis (STA) dan supermarket (Sakti 2011). Akan tetapi hasil
penelitian Fikri (2013) menunjukkan sistem tataniaga yang tidak terdapat peran
pedagang pengumpul dalam proses penyampaian produk kepada konsumen.
Lembaga tataniaga yang terlibat dalam penelitian ini adalah petani, pedagang
besar, pedagang kecil, dan pedagang pengecer.
Pada umumnya setiap rantai pemasaran terdapat pedagang pengumpul yang
berperan dalam menampung produk yang dihasilkan petani. Dengan adanya peran
pengumpul ini posisi tawar petani menjadi kurang kuat terutama dalam sistem
penetapan harga. Akan tetapi, dengan terputusnya pedagang pengumpul dari
rantai pemasaran tidak selalu membuat sistem tataniaga menjadi lebih efisien.
Oleh karena itu sistem tataniaga dapat berbeda pada tempat yang berbeda.
Lembaga-lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga melakukan fungsi yang
berbeda untuk memperlancar proses penyampaian sayuran (tomat, daun bawang,
caisin, jamur tiram putih, dan lainnya) dari petani hingga ke konsumen akhir.
Fungsi tataniaga merupakan perlakuan-perlakuan pada sistem tataniaga yang akan
meningkatkan atau menciptakan nilai tambah (value added) untuk memenuhi
kepuasan konsumen. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga
tataniaga terdiri atas fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) dan fungsi fasilitas (sortasi,
pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar).
Titik akhir saluran tataniaga tomat pada umumnya bermuara di pasar
tradisional kecamatan atau kabupaten. Pada penelitian Mahassy (2011) yang
melakukan penelitian mengenai tataniaga sayuran organik di Koperasi Serikat
Petani Indonesia, Kabupaten Bogor petani melakukan penjualan langsung pada
koperasi SPI tersebut dan membentuk 5 saluran pemasaran sayuran organik. Pada
saluran (1) petani melakukan penjualan pedagang pengecer tradisional dan
langsung menjualnya ke pedagang pengecer. Pada saluran (2) petani melakukan
penjualan ke koperasi SPI, toserba YT, sampai ke konsumen. Pada saluran (3)
petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF,
supermarket LS, sampai ke konsumen. Pada saluran (4) petani melakukan
penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF, supermarket GS, sampai ke
konsumen. Sedangkan pada saluran (5) petani melakukan penjualan ke koperasi
SPI, outlet SPI, sampai ke konsumen.
Saluran tataniaga untuk komoditas sayuran yang berbeda bisa saja
menghasilkan saluran tataniaga yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian
A yun (2010) mengenai tataniaga bawang daun di Kabupaten Cianjur
menghasilkan 4 saluran pemasaran, yaitu: (1) petani, pedagang pengumpul,
pedagang pengecer, konsumen; (2) petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir,
pedagang pengecer, konsumen; (3) petani, pedagang pengumpul, konsumen
(restoran); (4) petani, pedagang pengumpul, supplier, pedagang pengecer
(supermarket), konsumen.
Saluran tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat pada
penelitian Fikri (2013) menghasilkan 6 saluran tataniaga yang terbagi atas 3 pasar
akhir yaitu wilayah Bandung (lokal), Bekasi dan Jakarta. Saluran tataniaga yang
terbentuk tersebut yaitu: (1) Petani, pedagang kecil, pedagang pengecer,
konsumen (Bandung); (2) Petani, pedagang pengecer, konsumen (Bandung); (3)
10
Petani, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen (Bekasi); (4) Petani,
pedagang besar, konsumen (Bekasi); (5) Petani, pedagang besar, pedagang
pengecer, konsumen (Jakarta); (6) Petani, pedagang besar, konsumen (Jakarta).
Pola saluran tataniaga yang berbeda juga terlihat pada penelitian Hairia (2013)
yang meneliti saluran pemasaran tomat di Koperasi Mitra Tani Parahyangan,
Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga yang terbentuk di Koperasi Mitra Tani
Parahyangan terdiri atas 3 pola, yaitu: (1) Pola saluran pemasaran melalui
distribution center (DC); (2) Pola saluran pemasaran tomat melalui Giant atau
Alfamidi (retailer); (3) Pola saluran tomat melalui restoran.
Kajian Mengenai Struktur Pasar
Struktur pasar sangat dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang unik
untuk masing-masing produk dan lembaga yang terlibat dalam tataniaga. Menurut
Hammond dan Dahl (1977) terdapat 4 karakteristik struktur pasar yang pada
akhirnya akan menentukan perilaku pasar pada setiap kegiatan pemasaran.
Keempat karakteristik pasar tersebut adalah (1) jumlah dan ukuran perusahaan;
(2) sifat produk (dari sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk
pasar; dan (4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara
partisipan tataniaga.
Prasetyo (2007) dalam Natalia (2011) memberi pengertian pada perilaku
pasar sebagai cara bagaimana partisipan tataniaga (petani dan lembaga tataniaga)
menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku
pasar tidak selamanya konstan dan akan berubah mengikuti situasi penjualan dan
pembelian yang terjadi, sehingga lembaga tataniaga akan mengambil sikap dalam
mengambil keputusan. Penentuan harga dan sistem kelembagaan pasar menjadi
dasar untuk mengidentifikasi perilaku pasar. Terdapat 2 alasan yang menjadikan
harga penting dalam suatu industri, dimana perilaku pasar mendorong terjadinya
kerja sama dalam penetapan harga. Alasan tersebut adalah pertama, harga sebagai
senjata efektif dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis
yang harus dikontrol.
Penelitian Fikri (2013) tentang sistem tataniaga tomat di Desa Tugumukti,
Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh
petani cenderung pada struktur pasar monopsoni karena petani menghadapi
kesulitan dalam menjual tomat kepada pedagang, di mana pedagang merupakan
pihak yang sangat dominan dalam menentukan harga tomat. Struktur pasar yang
dihadapi lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pedagang kecil dan pedagang
pengecer cenderung mengarah pada pada pasar oligopoli karena jumlah penjual
lebih sedikit dari pembeli, di mana penjual memiliki peran yang dominan dalam
penentuan harga tomat.
Menurut Burhan (2011) dalam menganalisis kinerja atau keragaan pasar,
beberapa pendekatan bisa dilakukan yaitu dengan menganalisis biaya pemasaran,
biaya operasional dan biaya transaksi khususnya yang menyangkut masalah
penawaran. Biaya pemasaran merupakan biaya yang tidak dapat dipisahkan dalam
melihat kinerja pasar. Selisih harga yang tinggi akan memicu para spekulator
untuk mempermainkan harga di pasar. Biaya pemasaran tersebut menunjukkan
besarnya marjin tataniaga yang menjadi salah satu indikator kuantitatif dalam
11
menentukan penerimaan petani sehingga dapat menunjukkan apakah keragaan
pasar efektif atau tidak.
Indikator yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran suatu
produk pertanian adalah marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya. Secara umum panjangnya rantai pada saluran tataniaga
berimplikasi pada bertambahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk
menangani produk pertanian tersebut dan adanya pengambilan keuntungan dari
setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Hal ini mengakibatkan nilai marjin
tataniaga yang semakin membesar dan bagian yang diterima oleh petani (farmer s
share) semakin mengecil.
Keterkaitan Kajian Empiris terhadap Penelitian
Penelitian dengan topik tataniaga bukanlah merupakan hal yang baru. Di
samping itu penelitian yang akan dilakukan mengacu pada beberapa penelitian
tentang tataniaga yang telah dilakukan pada beberapa komoditas hortikultura di
beberapa wilayah di Indonesia. Mengingat pemasaran merupakan permasalahan
yang umum terjadi pada produk pertanian hortikultura, penelitian tataniaga
menjadi penting untuk dilakukan. Hasil penelitian dari beberapa penelitian tentang
tataniaga pada komoditas hortikultura menunjukkan bahwa secara umum
perbedaan harga atau marjin atas harga di tingkat petani dengan harga di tingkat
konsumen relatif besar. Hal ini terjadi salah satunya karena panjangnya rantai
pemasaran yang melibatkan beberapa lembaga seperti pedagang pengumpul,
pedagang besar dan pedagang pengecer. Petani sebagai produsen biasanya hanya
bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s share) kecil dari
harga yang dibayar oleh konsumen. Oleh karena itu, penelitian mengenai
tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat ini menggunakan beberapa rujukan dari penelitian-penelitian tentang
tataniaga pada komoditas hortikultura yang telah dilakukan sebagai referensi dan
pedoman.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep sistem tataniaga; konsep
saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga; konsep struktur pasar; konsep marjin
tataniaga; konsep farmer s share, konsep rasio keuntungan terhadap biaya; serta
konsep efisiensi tataniaga.
Konsep Sistem Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu kegiatan yang memfasilitasi produsen (petani)
dengan konsumen akhir melalui aliran produk. Menurut Kohls dan Uhl (1985)
konsep tataniaga merupakan suatu kegiatan mendistribusikan produk secara fisik
dan aktivitas ekonomi yang memfasilitasi pergerakan dan pertukaran suatu
12
komoditas, mulai dari komoditas tersebut lepas dari penanganan usahatani di
lahan pertanian hingga berada di tangan konsumen akhir. Tataniaga merupakan
sebuah sistem karena dalam tataniaga terdiri atas lembaga-lembaga yang saling
berinteraksi dan saling berkontribusi menuju satu tujuan industri secara
keseluruhan, yaitu menyampaikan produk dari produsen (petani) kepada
konsumen akhir.
Asmarantaka (2012) menjelaskan konsep tataniaga dari aspek ekonomi
bahwa tataniaga atau pemasaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas sub-sub
sistem. Sub-sub sistem tersebut disebut sebagai fungsi tataniaga yang terdiri atas
fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi tataniaga ini
merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif selama mengalirnya produk
atau jasa pertanian dari petani produsen sampai konsumen akhir.
Tataniaga agribisnis pangan merupakan sistem yang kompleks dan mahal.
Tataniaga dikatakan kompleks karena untuk satu jenis komoditas pangan saja
memerlukan banyak prosedur operasi yang khusus dalam penanganannya. Selain
sifat dari komoditas pangan yang mudah rusak, komoditas pangan juga
mempunyai banyak variasi dalam hal kualitas sehingga harus dilakukan beberapa
penanganan khusus seperti pengumpulan, sortasi, pengemasan, harus segera
dipasarkan atau disimpan untuk kemudian digunakan. Biaya tenaga kerja yang
digunakan selama proses tataniaga bisa melebihi nilai dari komoditas yang dijual
oleh petani karena banyak melibatkan aktivitas bisnis dari lembaga-lembaga
tataniaga yang terlibat. Oleh karena itu tataniaga agribisnis untuk komoditas
pangan dikatakan mahal (Kohls dan Uhl 1985).
Schaffner et al (1998) dalam Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga
dari pendekatan manajemen (marketing management approach), merupakan
pendekatan dari aspek mikro (manajerial) perusahaan dalam proses perencanaan,
penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan
konsumen baik konsumen individual maupun organisasi. Marketing Mix atau
bauran pemasaran yang terdiri atas product, price, place, dan promotion mix
merupakan salah satu strategi perusahaan dalam manajemen pemasaran.
Kohls dan Uhl (1985) menyatakan bahwa mempelajari sistem tataniaga
dapat dilakukan dengan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach)
Pendekatan fungsi menganalisis jenis-jenis aktivitas bisnis yang terjadi
selama proses tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga dibagi menjadi
beberapa fungsi tataniaga. Pembagian fungsi tataniaga tersebut dilakukan
berdasarkan biaya pemasaran dari berbagai komoditas pertanian yang
nilainya berbeda-beda.
2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach)
Pendekatan kelembagaan memfokuskan pendekatan pada individu atau
organisasi bisnis yang terlibat selama proses tataniaga atau aktivitas bisnis
dilakukan. Pendekatan ini mencoba menjelaskan who dalam pertanyaan
Who does what , artinya pendekatan ini menjelaskan peran dari pelakupelaku bisnis yang terlibat selama proses tataniaga berlangsung.
3. Pendekatan Sistem Perilaku (The Behavioral Systems Approach)
Pendekatan sistem perilaku memandang keseluruhan dimensi yang
terbentuk dari interaksi antara lembaga-lembaga tataniaga yang saling
13
melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam saluran-saluran tataniaga yang
terbentuk.
Konsep Saluran, Lembaga, dan Fungsi Tataniaga
Menurut Kohls dan Uhl (1985) saluran tataniaga adalah sekumpulan
pelaku-pelaku usaha (lembaga-lembaga tataniaga) yang saling melakukan
aktivitas bisnis dalam membantu menyampaikan produk dari petani sampai
konsumen akhir. Dalam saluran tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga saling
melakukan fungsi tataniaga sehingga kemudian akan terbentuk beberapa alternatif
saluran tataniaga. Setiap alternatif saluran tataniaga memungkinkan terjadinya
aliran produk yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kepada siapa saja
produk tersebut berhenti, apa saja perlakuan yang diberikan kepada produk selama
melewati lembaga-lembaga tataniaga, dan seberapa panjang rantai tataniaga yang
terbentuk.
Dalam saluran tataniaga ada lembaga-lembaga tataniaga yang saling
melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam menyampaikan produk sampai ke
konsumen akhir. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut dapat berupa individu atau
organisasi bisnis yang terlibat dalam aktivitas ekonomi dan peningkatan nilai
tambah (value added) produk. Dengan mempelajari lembaga-lembaga tatanaga
akan dapat dimengerti bahwa mengapa petani dan konsumen tidak dapat
berhubungan secara langsung dalam melakukan proses pertukaran produk. Berikut
adalah lembaga-lembaga tataniaga yang umum terlibat dalam proses tataniaga
(Kohls dan Uhl 1985):
1. Pedagang Perantara (Merchant Middlemen), lembaga tataniaga yang
menghimpun barang untuk kemudian barang tersebut dimiliki untuk
ditangani dalam upaya memperoleh marjin pemasaran.
a) Pedagang Pengumpul (Assembler), mengumpulkan dan membeli
produk langsung dari produsen (petani) dalam jumlah besar untuk
memperoleh marjin pemasaran dengan menjual kembali kepada
pedagang grosir atau lembaga tataniaga lain.
b) Pedagang Grosir (Wholeseller), menjual produk kepada pedagang
pengecer, pedagang grosir lain dan industri terkait, tetapi tidak untuk
menjual produk dalam jumlah tertentu kepada konsumen akhir.
c) Pedagang Pengecer (Retailers), membeli produk untuk langsung dijual
kembali kepada konsumen akhir.
2. Agen Perantara (Agent Middlemen), memperoleh pendapatan dari komisi
dan bayaran dari proses jual-beli. Agen perantara berbeda dengan pedagang
yang memiliki hak atas produk untuk ditangani lebih lanjut. Agen perantara
hanya mewakili pelanggan dalam transaksi jual-beli dan tidak memiliki hak
atas produk yang mereka tangani.
a) Broker (Brokers),menyalurkan produk untuk memperoleh komisi tanpa
memiliki hak untuk mengontrol produk secara langsung.
b) Komisioner (Commission Men), menyalurkan produk untuk
memperoleh komisi. Komisioner diberi hak dan keleluasaan dalam
mengontrol barang yang diperjual-belikan.
3. Spekulator (Speculative Middlemen), melakukan jual-beli produk dengan
tujuan utama memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan pergerakan
harga di pasar.
14
4. Pengolah dan Pabrik (Processor and Manufacturers), melakukan beberapa
tindakan pada produk yang ditangani untuk memperoleh marjin pemasaran
berupa nilai tambah (value added) dengan mengubah bentuk fisiknya.
5. Organisasi Pendukung (Facilitative Organizations), membantu berbagai
perantara tataniaga dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Biasanya
organisasi pendukung memperoleh pendapatan dari taksiran bayaran dari
lembaga-lembaga yang menggunakan jasa mereka.
Lembaga-lembaga tataniaga melakukan aktivitas bisnis selama proses
pemasaran berlangsung. Aktivitas-aktivitas tersebut dinamakan fungsi tataniaga.
Fungsi-fungsi tataniaga tersebut harus dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis yang
terlibat selama proses tataniaga berlangsung. Hal ini dilakukan dengan tujuan
meningkatkan efisiensi tataniaga, karena fungsi tataniaga yang dilakukan dapat
meningkatkan nilai tambah dari produk agribisnis. Kohls dan Uhl (1985)
mengklasifikasikan fungsi tataniaga menjadi 3 kelompok utama, yaitu:
1. Fungsi Pertukaran (Exchange Functions)
Fungsi pertukaran merupakan aktivitas-aktivitas yang melibatkan pertukaran
kepemilikan dari barang-barang yang diperjual-belikan antara penjual dan
pembeli. Fungsi pertukaran terdiri atas:
a) Pembelian (Buying/Assembling)
Pembelian adalah kegiatan mencari barang atau jasa yang digunakan
sebagai bahan baku atau dengan mengalihkan kepemilikan.
b) Penjualan (Selling)
Penjualan adalah kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
pemasaran yang berusaha menciptakan permintaan dengan melakukan
strategi promosi dan periklanan serta strategi pemasaran lainnya untuk
dapat menarik minat pembeli.
2. Fungsi Fisik (Physical Functions)
Fungsi fisik adalah aktivitas-aktivitas yang melibatkan penanganan,
pergerakan, dan perubahan fisik atas produk. Fungsi fisik membantu
menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kapan, apa dan
dimana tataniaga tersebut terjadi. Fungsi fisik terdiri atas:
a) Penyimpanan (Storage)
Penyimpanan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang
berhubungan dengan waktu. Penyimpanan membuat produk tersedia
pada waktu yang diinginkan.
b) Pengangkutan (Transportation)
Pengangkutan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang
berhubungan dengan tempat. Pengangkutan membuat produk tersedia
pada tempat yang tepat.
c) Pengolahan (Processing)
Pengolahan merupakan kegiatan merubah bentuk produk untuk
meningkatkan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan kadang tidak
termasuk dalam kegiatan pemasaran karena pada dasarnya kegiatan
pengolahan adalah kegiatan merubah bentuk produk, bukan kegiatan
memasarkan produk.
3. Fungsi Fasilitas (Facilitating Functions)
15
Fungsi fasilitas merupakan aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung
terlibat dalam proses pemasaran produk karena membutuhkan teknologi dan
pengetahuan khusus dalam penangananny