1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kinerja suatu perusahaan ditentukan oleh kondisi dan perilaku karyawan yang dimiliki perusahaan tersebut. Fenomena yang seringkali terjadi adalah
kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat terganggu, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit
dicegah terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah keinginan berpindah turnover intention yang berujung pada keputusan karyawan untuk
meninggalkan pekerjaannya. Dengan tingginya tingkat turnover pada perusahaan, akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya, baik itu biaya
pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, maupun biaya rekruitmen dan pelatihan kembali. Suwandi dan
Indriantoro, 1999; dalam Agustina, 2008. Batasan umum pergantian karyawan itu sendiri adalah : berhentinya
individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan Mobley, 1986. Berhentinya
individu sebagai anggota suatu organisasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelepasan secara sukarela yang diprakarsai oleh karyawan dan pelepasan terpaksa
yang diprakarsai oleh organisasi, termasuk karena kematian dan pengunduran diri atas desakan.
Meningkatnya turnover intention saat ini telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan, bahkan beberapa perusahaan mengalami frustasi ketika
mengetahui proses rekrutmen yang telah berhasil menjaring staf yang berkualitas ternyata menjadi sia-sia pada akhirnya karena staf yang direkrut tersebut telah
memilih pekerjaan di perusahaan lain. Toly, 2001 Disebutkan juga dalam Mobley 1986 terdapat beberapa dampak negatif
yang akan terjadi pada organisasi sebagai akibat dari proses pergantian karyawan. Pertama adalah biaya, meskipun sudah bertahun-tahun ditekankan pentingnya
pengukuran biaya pergantian karyawan, sangat mengherankan bahwa tidak banyak organisasi yang secara rinci mengevaluasi biaya-biaya pergantian
karyawan baik yang langsung maupun tidak langsung. Padahal beberapa penelitian membuktikan bahwa biaya-biaya pergantian karyawan itu mahal.
Kedua, masalah prestasi. Apabila karyawan yang pergi itu mempunyai keterampilan-keterampilan yang unik atau menduduki jabatan yang sangat
penting, maka dengan keluarnya karyawan ini dapat memberikan efek beruntun terhadap prestasi organisasi tersebut sampai jabatan yang lowong itu terisi, dan
efek ini dapat berlangsung terus hingga penggantinya nanti berhasil menguasai fungsinya. Kemudian, hilangnya individu-individu yang memiliki kemampuan
tinggi, akan dapat menimbulkan efek yang traumatis terhadap organisasi. Ketiga adalah masalah pola komunikasi dan sosial. Pola-pola komunikasi
sosial yang formal dan tidak formal merupakan ciri khas dari setiap organisasi. Apabila mereka yang pergi itu merupakan karyawan yang berharga, atau mereka
merupakan pusat dari suatu jaringan komunikasi, atau bahkan mereka merupakan
kelompok kerja yang terpadu maka pergantian mereka dapat menimbulkan efek- efek negatif terhadap mereka yang tinggal yaitu memberi beban kerja tambahan
yang kemudian dapat menurunkan prestasi . Price, 1977; dalam Mobley, 1986 mengemukakan bahwa pergantian karyawan dapat menimbulkan efek negatif
terhadap keakraban dan keterpaduan dalam kelompok-kelompok yang telah banyak mengalami pergantian karyawan.
Keempat, merosotnya semangat kerja. Berkaitan erat dengan masalah prestasi dan pola-pola sosial-komunikasi, maka pergantian karyawan dapat
memberikan pengaruh yang negatif pada mereka yang tinggal. Pergantian karyawan itu sendiri dapat mendorong bertambahnya pergantian akibat dari
terciptanya sikap-sikap yang kurang baik dan kemungkinan adanya pekerjaan- pekerjaan lain Staw, 1980; dalam Mobley, 1986. Dengan demikian, para
karyawan yang sebelum itu tidak berkeinginan mencari pekerjaan lain akan memulai mencarinya. Sebagaimana akan nampak dalam bagian mengenai akibat-
akibat terhadap individu, efek-efek pegantian karyawan terhadap sikap dan perilaku mereka yang tinggal, sebagian menjadi alasan bagi yang lainnya untuk
pergi Steers dan Mowday, 1981; dalam Mobley, 1986, dan ini ada sangkut pautnya dengan prestasi, dukungan sosial, dan mobilitas intern dari mereka yang
tinggal. Kelima, strategi-strategi pengendalian yang kaku. Satu kemungkinan
akibat negatif lain bagi organisasi adalah bahwa akan dilaksanakan strategi- strategi dan kebijakan-kebijakan pengendalian pergantian karyawan yang kaku.
Meskipun pergantian karyawan merupakan perilaku yang dapat dilihat, tetapi
karena informasi yang cukup tentang sebab-akibatnya seringkali tidak didapat, maka manajemen kerapkali menghadapinya dengan tanggapan-tanggapan yang
kurang tepat, kurang efektif, dan kurang produktif, contohnya seperti kenaikan- kenaikan gaji yang pukul rata, pelatihan-pelatihan “kilat” soal hubungan manusia,
sasaran pergantian karyawan sebesar X yang berlaku bagi seluruh organisasi. Hal ini dipandang sebagai tipe-tipe strategi yang boleh dibilang kurang luwes.
Keenam, biaya-biaya peluang strategik. Pergantian karyawan dapat menimbulkan efek negatif yang parah bagi organisasi, misalnya dengan membuat
organisasi itu menunda atau membatalkan usaha-usaha yang mempunyai keuntungan cukup besar.
Menurut Mobley 1986 terdapat beberapa variabel individu yang merupakan sebab-sebab terjadinya turnover karyawan dalam sebuah organisasi,
yaitu faktor demografik usia, masa kerja, jenis kelamin, pendidikan, kepribadian, minat, profesionalisme, dan prestasi; variabel terpadu yang mencakup kepuasan
kerja secara menyeluruh dan kepuasan terhadap indikator-indikator kepuasan kerja; serta variabel individu yang tidak berkenaan dengan pekerjaan namun
sering dijumpai dalam sebuah organisasi yaitu konflik peran. Sedangkan menurut Toly 2001 yang menjadi variabel atau faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya turnover intention adalah konflik peran, locus of control, perubahan organisasi, job insecurity, komitmen organisasional, kepuasan
kerja, dan kepercayaan organisasi. Adapun beberapa gejala yang menandai adanya indikasi turnover
intention, terutama yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang
meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, serta keseriusan
untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk
memprediksikan turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan Mobley,1986.
Selain kondisi di atas, perkembangan jaman yang semakin maju menuntut kita harus bisa beradaptasi dalam segala kondisi. Beban kerja yang semakin berat,
semakin banyaknya kebutuhan yang ingin dipenuhi, tingkat pendapatan yang tak sejalan dengan biaya hidup, persaingan yang semakin ketat dan seterusnya dapat
menjadi ancaman untuk dapat tetap bertahan hidup. Karyawan sering dihadapkan dengan berbagi masalah dalam perusahaan sehingga sangat mungkin untuk
terkena stres. Stres pekerjaan dapat diartikan sebagi tekanan yang dirasakan karyawan karena tugas-tugas pekerjaan tidak dapat mereka penuhi. Artinya, stres
muncul saat karyawan tidak mampu memenuhi apa yang menjadi tuntutan- tuntutan pekerjaan. Ketidak jelasan apa yang menjadi tanggung jawab pekerjaan,
kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugas, tidak ada dukungan fasilitas untuk menjalankan pekerjaan, tugas-tugas yang saling bertentangan, merupakan contoh
pemicu stres. Dalam jangka pendek, stres yang dibiarkan begitu saja tanpa penanganan yang serius dari pihak perusahaan membuat karyawan menjadi
tertekan, tidak termotivasi, dan frustasi menyebabkan karyawan bekerja tidak optimal sehingga kinerjanya pun akan terganggu. Dalam jangka panjang,
karyawan yang tidak dapat menahan stres kerja maka ia tidak mampu lagi bekerja
diperusahaan. Pada tahap yang semakin parah, stres bisa membuat karyawan menjadi sakit atau bahkan akan mengundurkan diri turnover. Gibson, 1987;
dalam Hermita, 2011 Hal tersebut juga dipertegas oleh Robbins 2006 yang mengatakan bahwa
salah satu akibat stres yang dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, turnover karyawan tinggi, tingkat absensi yang tinggi dan
kecelakaan kerja. Dalam berbagai penelitian, keinginan untuk mengakhiri tugas atau
meninggalkan organisasi berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dimaksud dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar.
Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan
mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain. Meskipun kepuasan
kerja berhubungan negatif dengan turnover intention, tetapi faktor-faktor lain seperti kondisi pasar kerja, kesempatan kerja alternatif, dan panjangnya masa
kerja merupakan kendala yang penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada Robbins, 2001; Tett and Meyer, 1995; Johnson et. al, 1987; dalam Andini, 2006.
Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang merasa kurang terpuaskan
dengan pekerjaannya akan memilih untuk keluar dari organisasi Andini, 2006. Tingkat turnover karyawan yang tinggi merupakan ukuran yang sering
digunakan sebagai indikasi adanya masalah yang mendasar pada organisasi. Turnover karyawan dapat menelan biaya yang tinggi oleh karena itu organisasi-
organisasi perlu menguranginya sampai pada tingkat-tingkat yang dapat diterima. Namun demikian, mempertahankan tingkat perputaran sebesar nol adalah tidak
realistis dan bahkan tidak dikehendaki. Jumlah turnover tertentu adalah diperlukan karena para karyawan mengembangkan keahlian-keahlian baru dan
dipromosikan ke tingkat tanggung jawab yang lebih besar. Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis memilih STIKES Widya
Husada yang berlokasi di Jalan Subali Raya No 12 Semarang sebagai objek penelitian. Dari survei awal yang dilakukan penulis terdapat data di STIKES
Widya Husada Semarang yang menunjukkan tingkat turnover karyawan yang relatif tinggi seperti terlihat pada tabel 1.1
Tabel 1.1 Data Turnover Karyawan
STIKES Widya Husada Semarang Tahun 2007 sd 2011
Tahun Jumlah
karyawan awal tahun
Jumlah karyawan
yang keluar Jumlah
karyawan yang masuk
Jumlah karyawan
akhir tahun
2007 92 1
5 96
2008 96 11 2 87
2009 87 6
11 92
2010 92 10 12 94
2011 94 4
20 110
Sumber : STIKES Widya Husada Semarang, 2012
Dari tabel 1.1 terlihat bahwa tingkat turnover karyawan yang cukup tinggi selama lima tahun dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Karyawan yang dimaksud
termasuk pimpinan STIKES, karyawan dosen yang terdiri atas 5 program studi dan 2 akademi, staf ADAK,ADUK, unit laboratorium, dan perpustakaan,serta
staf penunjang. Adapun jumlah mahasiswa STIKES Widya Husada Semarang pada tahun
ajaran 20112012 berjumlah 1466 mahasiswa sedangkan jumlah dosen tetap adalah 58 orang sebagian besar terdiri dari dosen muda, dengan demikian rasio
jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa adalah 1:25. Dari 58 dosen tersebut 21 orang diantaranya diberi tugas tambahan diangkat yaitu 7 orang sebagai Ketua
Program Studi dan 14 orang sebagai Sekretaris Program Studi. Sedangkan, rasio dosen banding mahasiswa yang ideal menurut Kep. Mendiknas No.234U2000
untuk bidang studi IPA adalah 1 : 20. Untuk karyawan non dosen berjumlah 48 orang terdiri dari staf administrasi ADAK dan ADUK 22 orang, unit
laboratorium 1 orang, staf perpustakaan 3 orang, staf penunjang 22 orang. Dari gambaran diatas mengindikasikan adanya beban kerja yang cukup
padat sebagai seorang karyawan di STIKES Widya Husada Semarang yang bisa memicu timbulnya stres kerja dan ketidakpuasan karyawan terhadap
pekerjaannya. Atas dasar berbagai permasalahan dan uraian yang ada di atas, maka
dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis Pengaruh Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention Karyawan Studi pada
STIKES Widya Husada Semarang”
1.2 Perumusan Masalah