Gerakan untuk Mengklaim kembali Hak atas Tanah di Batang
IV. Gerakan untuk Mengklaim kembali Hak atas Tanah di Batang
Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 1952:6)
Meskipun telah ditetapkan melalui sejumlah peraturan yang jelas, mengapa tuntutan hak atas tanah masih terus bermunculan di Indonesia? Apa yang menyebabkan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi untuk mengklaim tanah oleh penduduk setempat (reclaiming actions) terus terjadi? Seperti telah diungkapkan di atas, hal ini terkait dengan bagaimana UUPA 1960 diterapkan dari waktu ke waktu yang sangat terkait dengan orientasi politik dan ekonomi pemerintahan yang berkuasa pada waktu tersebut. Di sini lah letak titik krusial dalam soal pemenuhan hak atas tanah di Indonesia yang sekaligus menjadi upaya untuk pemenuhan hak dasar kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Sejumlah studi telah menunjukan bahwa alih-alih menjalankan amanat UUPA 1960 untuk menjamin hak-hak penduduk setempat atas tanah, rejim yang berkuasa di Indonesia khususnya pasca 1965 lebih berorientasi kepada pemberian fasilitas bagi eksploitasi kekayaan alam secara berlebihan untuk kepentingan komersial yang kemudian mengabaikan hak-hak dari penduduk setempat terhadap sumber-sumber yang sama (=tanah) untuk keberlangsungan dan peningkatan kualitas hidupnya (lihat misalnya Fauzi 1998 dan 1999; Wiradi 2000; Bachriadi 1998a, 1998b, 2002 dan 2004; Suryaalam 2003; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).
Melihat kasus-kasus penggusuran dan pola-pola perjuangan petani penggarap untuk merebut kembali hak-hak mereka atas tanah ternyata sebagian besar alasan yang mendasari Melihat kasus-kasus penggusuran dan pola-pola perjuangan petani penggarap untuk merebut kembali hak-hak mereka atas tanah ternyata sebagian besar alasan yang mendasari
Dalam hal ini mereka sangat sadar bahwa kehidupan politik di Indonesia sangat tidak berpihak, sehingga hak atas tanah yang menjadi bagian dari hak azasi manusia tersebut harus diperjuangkan bahkan dalam banyak kasus dilakukan dengan cara direbut. Selanjutnya, jika tanah-tanah sudah berhasil dikuasai, mereka mengetahui bahwa kewenangan pemberian haknya secara formal tetap ada di tangan pemerintah. Karena itu, dalam banyak kasus perjuangan untuk mempertahankan atau merebut hak atas tanah kemudian disusul dengan upaya-upaya untuk memperoleh pengakuan secara formal; jika dapat pengakuan yang dilegitimasi melalui sebuah sertifikat.
Dalam kasus-kasus konflik pertanahan seperti yang terjadi di Kabupaten Batang, Negara, dalam hal ini pemerintah yang berkuasa di Indonesia, ternyata lebih mengambil posisi bukan sebagai pemberi jaminan akan keberlangsungan hidup dan peningkatan kualitas kehidupan sejumlah penduduk setempat yang hidupnya sangat membutuhkan/bergantung kepada tanah. Sebaliknya, pemerintah yang berkuasa telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak azasi manusia di sana, yang lebih spesifik lagi adalah hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Lebih ironis lagi pelanggaran tersebut dilakukan terhadap hak-hak (azasi) yang sesungguhnya telah diatur secara rinci dalam seperangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di Kabupaten Batang, banyak penduduk setempat melakukan pendudukan terhadap lahan- lahan perkebunan dan kehutanan dengan alasan tidak memiliki satu petak lahan pun, sementara keahlian mereka hanya bertani. Secara kasat mata mereka melihat banyak tanah- tanah yang dikuasai perkebunan tidak dikelola dengan baik dan tampak tidak dimanfaatkan dalam rentang waktu tertentu yang cukup panjang (bertahun-tahun). Kondisi penelantaran tanah ini kemudian dilihat sebagai peluang bagi petani-petani yang tinggal di sekitar tanah- tanah perkebunan dan kehutanan tersebut, yang umumnya adalah kelompok petani yang kerjanya selama ini hanya sebagai buruh tani dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, Selain karena kebutuhan mendasar tersebut mereka pun menganggap bahwa wilayah-wilayah perkebunan dan kehutanan itu adalah wilayah yang dikuasai oleh Negara yang “seharusnya” digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Kasus sengketa tanah di Kabupaten Batang salah satunya menunjukkan sengketa antara petani penggarap dengan perusahaan perkebunan pemegang HGU (lawan sengketa), khususnya HGU yang diterbitkan pada masa Orde Baru sekitar tahun 1980-an. Selain sengketa antara penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, terdapat juga sengketa yang diakibatkan oleh tidak sempurnanya pelaksanaan Land Reform pada tahun 1960-an, yang menjadikan munculnya tuan tanah baru diatas lahan-lahan objek Land Reform (lihat
Mamock 1995), juga terdapat sengketa yang disebabkan karena sedimentasi laut yang menimbulkan sengketa di atas “tanah timbul“ sebagaimana yang dialami oleh salah satu anggota FPPB yaitu kelompok tani Paguyuban Tani Tritunggal Sejahtera (PT3S).
Dalam rangka mengkonsolidasi perjuangannya, para petani di Batang kemudian bersepakat membentuk satu wadah perjuangan bersama. Kasus-kasus atau konflik tanah yang mereka hadapi dan juga dialami oleh penduduk setempat lainnya, membuat mereka berpikir untuk membentuk satu organisasi agar perjuangannya dapat dilakukan secara bersama-sama dan mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu mendapatkan hak atas tanah dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB) adalah organisasi tani di tingkat kabupaten yang dibentuk untuk mewadahi berbagai kelompok petani yang ada di Kabupaten Batang untuk memperjuangkan secara bersama-sama kepentingan tersebut. Perjuangan bersama di lingkup kabupaten juga diyakini sebagai strategi untuk mendesakkan kepentingannya kepada pemerintah daerah setempat khususnya ketika pemerintahan pasca 1998 menerapkan kebijakan otonomi daerah.
Pembentukkan wadah-wadah perjuangan seperti FPPB di Kabupaten Batang juga sangat terkait dengan perjuangan untuk menegakan HAM dari sisi kebebasan untuk berserikat seperti yang tercantum dida lam klausul ICCPR pasal 22(1) yang menyatakan “[S]etiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan memasuki serikat sekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri . Kebebasan untuk berserikat ini juga adalah hak warga Negara dan bagian dari hak azasi manusia yang dilenyapkan ketika Orde Baru berkuasa, dan baru berhasil mereka peroleh kembali setelah gerakan reformasi berhasilkan menumbangkan Soeharto di tahun 1998. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah secara tegas dinyatakan oleh FPPB bahwa mereka sedang memperjuangkan penegakan HAM bagi kaum tani di Batang, sesungguhnya perjuangan kelompok-kelompok petani yang tergabung di dalam FPPB telah mewakili bentuk-bentuk perjuangan menegakan HAM khususnya di Kabupaten Batang.
Di sini akan dibahas 5 kasus sengketa tanah yang melibatkan penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, yakni (1) Kasus PT Perkebunan Pagilaran dengan Paguyuban Petani Korban Perkebunan Pagilaran (P2KPP)/Persatuan Masyarakat Gunung Kamulyaan (PMGK); (2) Kasus Perkebunan PT Tratak dengan Persatuan Petani Penggarap Perkebunan Tratak (P4T); (3) Kasus PTPN IX Kebun Sluwok dengan Persatuan Petani Brontok Sejahtera (P2BS); (4) Kasus perkebunan PT Ambarawa Maju dengan Kelompok Petani Kembang Tani; dan (5) Kasus Perkebunan PT Segayung dengan Persatuan Petani Sido Dadi (P2SD). Empat perkebunan besar yang terlibat di dalam konflik ini merupakan perkebunan-perkebunan besar yang telah ada di Kabupaten Batang sejak masa kolonial yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Sementara PT Segayung adalah perkebunan yang dibentuk pada masa Orde Baru. Dari perkebunan tersebut, hanya empat perusahaan yang memiliki sertifikat HGU atas kebun-kebun yang disengketakan, yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PT Segayung dan PTPN IX. Perkebunan dari keempat perusahaan ini juga dinyatakan aktif yang mengusahakan tanaman yang sekarang menjadi komoditas andalan daerah Jawa Tengah seperti cengkeh, kapok, kelapa, coklat dan teh. Satu perusahaan lagi, yaitu PT Ambarawa Maju tidak mempunyai sertifikat HGU. Perkebunan ini tidak sesungguhnya sudah tidak memperpanjang haknya sejak hak erpacht-nya (RVE Verponding No.67) berakhir pada 13 Juni 1968.
4.1. Perjuangan Hak Atas Tanah
Ringkasan kelima konflik pertanahan yang dikaji dalam tulisan ini tersaji dalam matriks di bawah yang menggambarkan tipologi kasus konfliknya. Matriks yang memperbandingkan kelima kasus ini memungkinkan untuk melihat siapa saja lawan sengketa dari kelompok petani di Batang, siapa saja yang melakukan perjuangan dan bagaimana strategi yang mereka kembangkan,
serta
hasil-hasil
dari
perjuangannya.
Tabel 4.1. Matriks 5 Kasus Sengketa Tanah Anggota FPPB
Kasus/Sengketa Tanah
Deskripsi
Perkebunan Pagilaran
Perkebunan Tratak
PTPN IX Kebun
PT Ambarawa Maju
Perkebunan Segayung
Sluwok
HGU Legal Formal Hak
Status Hak
Eks hak Erpacht
SK No. 15/HGU/DA/1983
SK No. 61/HGU/DA/88
SK No.
Eks RVE Verp. No. 67 SK No.49/HGU/DA/86
SK No. 14/HGU/DA/1977
53/HGU/DA/1980
Pemegang Hak dan Pemilik
PT Pagilaran (BUMN)
PT Perkebunan Tratak
PTPN IX (BUMN)
PT Ambarawa Maju
PT Segayung (swasta)
Kebun The (SK No. 15)
Kebun Kopi dan
Kebun Karet dan Kakao
Kebun Karet
Kebun Randu dan Kelapa
Kebun Kakao (SK No, 14)
Cengkeh
keta Lokasi
SK No. 15
Desa Tumbrep, kec.
Desa Gondang, Kec.
Desa Kebumen kec.
(1) Desa Posong
(1) Desa Kalisari
(2) Desa Batiombo
(2) Desa Bismo
Desa Simbang kec.
Kec. Bandar
(3) Desa Sembojo wan Seng
(3) Desa Gondang
Subah
La
(4) Desa Bawang
Kec. Tulis
g (5) Desa Keteleng
tan
(6) Desa Kembang
en T
Kec. Blado SK No. 14 (1) Desa Kenconorejo (2) Desa Tulis (3) Desa Beji (4) Desa Simbang Jati Kec. Tulis
Luas Keseluruhan
243,535 ha OTL
Paguyuban Petani i
Peasatuan Petani Korban
Paguyuban Petani
Paguyuban Petani
Kembang Tani
an
Perkebunan Pagilaran
Penggarap Perkebunan
Brontok Sejahtera
Sidodadi
(P2KPP) berubah menjadi
Tratak (P4T)
(P2BS)
PMGK (Persatuan
nisasi T
Masyarakat Gunung
rga
Kamulyaan)
gO Jumlah Anggota
1500 KK tan
4 desa, 2 kecamatan en T
Cakupan wilayah
5 Desa, 1 kecamatan
3 Desa, 2 Kecamatan.
1 desa, 1 kecamatan
2 desa, 2 kecamatan
Desa Kebumen Kec.
Kec. Subah
Tulis
(2) Batiombo
FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS
Page 22
(3) Kalisari
Kec. Bandar
Desa Simbang kec.
Kec. Bandar
Kec. Blado
(4) Sembojo
Kec. Tulis Tahun berdiri
Kecamatan Blado
1999 Tahun menjadi anggota
2000 FPPB Tahun mulai penggarapan
1995 Jumlah yg terlibat
(belum mulai menggarap)
1500 KK Luas yang digarap/dituntut
243,535 ha Alasan utama menggarap
mengambil kembali haknya.
(1) Tidak mempunyai
(1) memanfaatkan
Tidak memiliki tanah
Tidak memiliki tanah
matapencaharian lain
tanah timbul
garapan
garapan
(2) Tidak memiliki lahan garapan
(1) 1995; Membuka lahan n
Strategi memasuki lahan
Pembabatan tanaman teh.
(1) 1980; membuka
(1) meneruskan
(1) membuka lahan
garapan
lahan hutan
garapan lahan petani
yang tidak bertuan
yang dipenuhi semak ha
belukar. La
(2) 1988; skema bagi
yang ditinggalkan
peninggalan
ap
(2) 2000; skema ar
hasil dengan mandor
(2) Tumpang sari di
perusahaan Belanda
PT Tratak
lahan PTPN IX
(2) Memohon hak
Tumpangsari dengan PT gg
Segayung en
(3) memanfaatkan
(3) menggarap lahan
kepemilikan lahan
lahan yang
Tumpangsari tanpa
nM
diterlantarkan PT Tratak skemaTumpangsari
aka Strategi perjuangan lainnya
Lobi, negosiasi, aksi dan er
(1) Menggalang dukungan
Lobi, negosiasi, aksi
Lobi, negosiasi, aksi
Lobi, negosiasi dan
terutama buruh perkebunan
dan kampanye media
dan kampanye media
kampanye media
kampanye media massa
gG lain.
(2) Mendudukan kader di
T en
posisi Kepala Desa (3) Lobi, negosiasi, aksi dan kampanye media massa
Keadaan terakhir
Belum mulai menggarap,
Masih digarap oleh
Masih digarap oleh
Sudah sah dimiliki
Kembali dikuasai oleh PT
dan masih menjadi buruh di
petani penggarap
petani penggarap
petani penggarap dan
Segayung, ditanami tebu.
perkebunan Pagilaran
mendapatkan
(sejak Nov 2007)
sertifikat, dan sebagian sudah dijual.
FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS
Page 23
Dari matriks diatas, dapat dilihat terdapat 3 kelompok kasus yang di dalamnya menggambarkan tahapan perjuangan penduduk setempat untuk memperoleh/menuntut hak atas tanah, yaitu:
1) Kategori pertama adalah kelompok yang hingga saat ini masih dalam upaya perjuangan untuk mendapatkan legalitimasi formal atas tanah yang sudah mereka garap sejak awal
tahun 1980-an, yaitu kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD. 43 Anggota P4T dan P2BS sudah berhasil melakukan penggarapan lahan dan saat ini upayanya adalah melakukan lobi dan negosiasi kepada instansi terkait dengan pemegang otoritas pertanahan dan Pemda setempat untuk pengakuan atas tanah yang sudah mereka garap. Lobi dan negosiasi telah dan terus kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kanwil BPN Jawa Tengah bahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Begitu juga dengan P2SD, khususnya pasca penggusuran di akhir tahun 2007 yang lalu, mereka melakukan lobi dan negosiasi tidak hanya ke Kantor Pertanahan dan BPN setempat saja, melainkan juga meminta dukungan kepada Pemda Kabupaten Batang. Selain proses-proses lobi dan negosiasi tersebut, untuk menekan pemerintah setempat mereka juga melakukan aksi-aksi bersama di halaman depan Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Dalam kategori pertama ini, upaya-upaya melakukan desakan-desakan kepada instansi terkait telah menunjukkan bagaimana dinamika birokrasi yang terkait dengan administrasi pertanahan didalam upaya penyelesaian kasus tanah di kabupaten Batang. Selain memang banyak prosedur yang diatur didalam proses mendapatkan legitimasi, prosesnya pun tidak mudah. Kelompok tani seringkali harus berulang-ulang mengadakan pertemuan dengan instansi terkait namun hingga saat ini belum tampak penyelesaiannya khususnya kelompok tani belum mendapatkan legitimasi atas tanah-tanah garapannya.
2) Kategori kedua adalah kelompok yang dapat digolongkan belum menggarap lahan perkebunan untuk kegiatan pertanian mereka, tetapi kelompok petani dalam kategori ini masih/telah bertempat tinggal di areal lahan yang sekarang mereka tuntut. Kelompok tani yang masuk dalam kategori ini adalah P2KPP/PMGK. Petani-petani yang tergabung dalam P2KPP/PMGK hingga saat ini masih menempati tempat tinggal yang disediakan oleh PT Pagilaran (emplacement) karena mereka secara turun temurun sesungguhnya adalah buruh perkebunan PT Pagilaran dan sebelumnya lokasi emplacement yang saat ini mereka tinggali merupakan wilayah perkampungan mereka (sebelum perkebunan Pagilaran dibangun pada masa kolonial). Sejak tahun 1999 sebagian anggota P2KPP/PMGK tidak lagi menjadi buruh perkebunan PT Pagilaran, sebagian lagi tetap menjadi buruh di perkebunan ini. Mereka yang masih beratahan menjadi buruh perkebunan memang sengaja mempertahankan statusnya karena hanya dengan cara demikian mereka dapat tetap tinggal di emplacement perkebunan. Didasari oleh keyakinan bahwa emplacement yang mereka tinggali saat ini dahulunya adalah wilayah kampung mereka selama beberapa generasi sebelum perkebunan Pagilaran dibangun, sekarang mereka menuntut agar areal yang sekarang menjadi emplacement perkebunan tersebut dikeluarkan dari HGU PT Pagilaran dan dikembalikan kepada haknya sepenuhnya kepada mereka. Selain menuntut tanah yang sekarang menjadi emplacement perkebuanan, angota-anggota P2KPP/PMGK juga menuntut beberapa bagian dari areal perkebunan Pagilaran diserahkan kembali kepada mereka karena tanah-tanah tersebut
43 Perkembangan terakhir dalam konflik antara P2SD vs PT Segayung tanah yang disengketakan kembali dikuasai oleh PT Segayung setelah terjadi pengambilalihan kembali secara paksa pada
bulan November tahun 2007. Meskipun demikian, konflik ini masih dapat dikategorikan dalam kelompok ini.
merupakan areal pertanian keluarga mereka yang diambil alih ketika perkebunan Pagilaran dibangun.
Perkembangan terakhir (akhir tahun 2007), PT Pagilaran sudah mengajukan perpanjangan HGU-nya dan prosesnya sudah memasuki penerbitan SK perpanjangan yang akan dikeluarkan oleh Kepala BPN Pusat. Dengan adanya perkembangan mutakhir ini, maka segala upaya lobi dan negosiasi sebagai upaya untuk mendapatkan hak atas tanah dapat dikatakan menemui hambatan. Saat ini anggota-anggota kelompok tani P2KPP/PMGK sedang menyusun strategi baru untuk melakukan pendudukan lahan perkebunan Pagilaran dan secara bersamaan kembali melakukan negosiasi dengan instansi terkait yaitu seperti BPN, Dinas Perkebunan dan Pemerintah Daerah (Tingkat Kabupaten dan Propinsi) untuk mendapatkan pengakuan atas tuntutan mereka.
3) Kategori ketiga adalah kelompok yang sudah mencapai tujuan akhir perjuangannya yaitu pengakuan formal atas tanah yang dituntutnya. Kelompok tersebut adalah kelompok tani Kembang Tani yang menggarap lahan perkebunan PT Ambarawa Maju. Sebagaimana diuraikan dalam matriks di atas, sebanyak 800 KK anggota kelompok Kembang Tani akhirnya pada tahun 2002 mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah garapannya yang sebelumnya dikuasai oleh PT Ambarawa Maju. Keberhasilan perjuangan kelompok Kembang Tani ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa areal lahan perkebunan yang mereka garap dan tuntut haknya adalah areal eks perkebunan yang sudah tidak aktif dan juga sudah tidak melekat lagi hak apa pun di atasnya (bukan lahan HGU).
Menurut luasan tanah yang dituntut versus luasan yang dikuasai oleh pemegang HGU, kasus- kasus di atas bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) petani penggarap yang menuntut seluruh tanah yang dikuasai pemegang HGU; dan (2) petani penggarap yang hanya menuntut sebagian tanah yang dikuasai pemegang HGU. Kelompok pertama adalah kelompok tani P4T yang menuntut seluruh areal HGU seluas 89,64 hektar yang saat ini dikuasai oleh PT Tratak, kelompok tani Kembang Tani yang menuntut seluruh lahan perkebuanan seluas 52,5 hektar yang dikuasai PT Ambarawa Maju dan kelompok tani P2SD yang menuntut seluruh areal HGU seluas 243,535 hektar yang saat ini masih berada di tangan PT PT Segayung. Sementara kelompok kedua yakni kelompok P2KPP/PMGK menuntut hanya 450 hektar dari keseluruhan HGU seluas 1.113,85 hektar yang dikuasai PT Pagilaran, dan kelompok tani P2BS yang hanya menuntut 42 hektar dari keseluruhan HGU (1.227,082 hektar) yang dikusai oleh PTPN IX Kebun Sluwok.
Perbedaan-perbedaan tuntutan dari masing-masing kelompok tani tersebut di atas dilatarbelakanginya oleh alasan-alasan yang berbeda yang terkait dengan ’sejarah’ tanah yang dituntutnya dan kepentingan terhadap tanah yang dituntutnya. P2KPP/PMGK hanya menuntut 450 hektar karena mereka meyakini bahwa tanah yang mereka tuntut adalah tanah yang dulunya menjadi lahan garapan mereka sebelum PT Pagilaran mengambil secara paksa untuk kepentingan perluasan usaha perkebunan. Anggota P2KPP/PMGK dapat membuktikan bahwa tanah tersebut seharusnya tidak masuk menjadi bagian dari areal HGU yang sekarang dikuasai oleh PT Pagilaran. Mereka beralasan bahwa tanah sudah digarap sebagai areal pertanian rakyat sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda berdampingan dengan kegiatan perkebunan Pagilaran. Ada persamaan antara kasus di Pagilaran dengan tuntutan penduduk setempat atas tanah di Kebun Sluwok PTPN IX. Anggota P2BS telah menggarap tanah timbul karena proses sedimentasi laut yang letaknya berdampingan dengan areal perkebunan yang saat ini menjadi lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Tetapi lahan garapan mereka kemudian diklaim secara sepihak oleh PTPN IX sebagai bagian dari areal Kebun Sluwok. Sementara di perkebunan Tratak dan perkebunan Segayung, anggota P4T dan P2SD menuntut hak atas tanah karena mereka berkeyakinan perusahaan pemegang HGU Tratak dan
Segayung sama sekali tidak aktif atau tidak melakukan aktivitas produksi sama sekali sejak HGU untuk kedua perkebunan tersebut diterbitkan; 44 apalagi pemilik HGU memberikan kesempatan kepada penduduk setempat untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan skema Bagi Hasil. Karena itu mereka beranggapan sudah semestinya tanah tersebut menjadi hak sepenuhnya dari anggota-anggota P4T dan P2SD yang selama ini menggarap tanah secara aktif.
Dari kelima kasus yang dikaji, penduduk setempat menunjukan bahwa mereka memiliki keterikatan dengan tanah yang dituntut sekarang. Dalam kasus Pagilaran baik lahan pertanian yang sekarang dituntut maupun areal tempat tinggal (emplacement perkebunan) mereka saat ini adalah wilayah dimana orang tua mereka hidup dan melakukan aktivitas pertanian sejak jaman kolonial. Mereka membuktikan hal ini dengan cara mengidentifikasi adanya kesamaan nama emplacement yang mereka tinggali dengan nama-nama kampung dimana orang tua mereka (pernah) tinggal.
Dalam tiga kasus lainnya, yakni Tratak, Simbangjati dan Segayung para penuntut tanah menuturkan cerita bahwa orang tua mereka bersama-sama dengan penduduk lainnya telah membuka lahan yang sebelumnya adalah semak belukar untuk diubah menjadi lahan pertanian sebelum kemudian di atas tanah-tanah tersebut diterbitkan HGU. Sementara dalam kasus areal Kebun Sluwok PTPN IX, para penuntut tanah menjelaskan bahwa mereka menggarap tanah timbul (tidak termasuk areal Kebun Sluwok) yang sebelumnya sudah dimanfaatkan oleh sekelompok warga dari Kendal. Sekelompok warga dari Kendal tersebut kemudian pergi meninggalkan lahan pertaniannya (kembali ke tempat asalnya di Kendal) dan pemanfaatannya dilanjutkan oleh penduduk setempat. Setelah penduduk setempat melanjutkan penggarapan lahan yang ditinggalkan oleh orang-orang asal Kendal, beberapa tahun kemudian tanah tersebut diklaim oleh perusahaan perkebunan (PTPN IX) sebagai bagian dari areal HGU perkebunan Sluwok. Seluruh petani penggarap – penduduk setempat – yang sudah terlanjur beraktivitas di atas lahan tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena memang mereka tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah atas tanah-tanah tersebut. Untuk melanjutkan kehidupannya kemudian petani penggarap anggota P4T (di perkebunan Tratak), P2BS (di perkebunan Sluwok PTPN IX) dan P2SD (di perkebunan Segayung) menerima tawaran dari Mandor/Sinder Afdelling untuk mengikuti skema Bagi Hasil atau tumpangsari. Sementara kelompok tani Kembang Tani, karena sudah berhasil mendapatkan hak atas tanah berupa sertifikat, melanjutkan kehidupannya dengan memanfaatkan tanahnya dengan caranya masing-masing.
4.2. Strategi Perjuangan
Berdasarkan tahap-tahap perjuangan mereka saat ini untuk menuntut hak atas tanah, dari kelima kasus ini terlihat adanya strategi yang berbeda-beda yang dijalankan oleh masing- masing kelompok tani. Dalam kategori pertama penuntut tanah, yang telah diuraikan di atas, kelompok-kelompok yang masih dalam upaya untuk memperoleh legilitimasi formal atas tanah yang mereka garap selama ini (kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD), untuk mencapai tujuan perjuangannya ini mereka melanjutkan terus penggarapan tanah meskipun saat ini sudah tidak lagi terikat dalam perjanjian Bagi Hasil dengan pihak perusahaan. Pertimbangan yang paling menonjol adalah pertimbangan ketiadaan lahan lain yang dapat menjadi sumber mata pencahariannya. Bersamaan dengan itu mereka terus mengupayakan memperoleh pengakuan hak atas tanah dengan cara melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak
44 HGU untuk PT Tratak terbit tahun 1988 dan HGU untuk PT Segayung tahun 1986.
terkait khususnya Kantor Pertanahan Kab. Batang, Kanwil BPN Jawa Tengah, Bupati Batang, Gubernur Jawa Tengah selain (yang terpenting) melakukan rangkaian pertemuan dengan pihak perusahaan pemegang HGU.
Dari rangkaian kegiatan lobi dan negosiasi kepada instansi-instansi terkait tersebut, FPPB dan perwakilan kelompok taninya bermaksud meminta kejelasan posisi birokrat dan pemerintah setempat atas tanah yang mereka tuntut. Dalam pertemuan dengan pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten Batang, FPPB berupaya menjelaskan status hukum tanah yang dituntut oleh kelompok-kelompok tani anggotanya. Pada umumnya, dari berbagai dialog yang terjadi antara mereka dengan pejabat Kantor Pertanahan setempat, pejabat Kantor Pertanahan setempat hanya menegaskan bahwa yang berwenang untuk memutuskan bisa atau tidaknya tuntutan atas tanah tersebut dikabulkan adalah pejabat di tingkat Propinsi Jawa Tengah dan Pusat. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa dalam hal penerbitan maupun perpanjangan termasuk pencabutan HGU tertentu pejabat di tingkat kabupaten hanya berfungsi sebagai ‘petugas administrasi’ saja, sehingga untuk menerbitkan hak baru di atas tanah-tanah yang berstatus HGU posisi Kantor Pertanahan hanya dapat memberikan rekomendasi kepada Kanwil BPN Propinsi yang kemudian diteruskan ke tingkat pusat. Bagi FPPB posisi dan fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Batang yang berwenang memberikan rekomendasi sudah cukup, dan FPPB memang menuntut agar Kantor Pertanahan Kabupaten Batang mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tersebut yang terkait dengan tuntutan mereka: pembatalan sejumlah HGU yang ada di Kabupaten Batang, dan pemberian hak baru kepada kelompok-kelompok tani anggotanya. Akibat berbagai tekanan dari FPPB dan kelompok-kelompok tani anggotanya ini diperoleh komitmen dari pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Batang bahwa instansi pertanahan ini akan memberikan rekomendasi kepada BPN Pusat melalui Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah yang intinya menegaskan ada sejumlah tanah-tanah yang sekarang berstatus HGU (yaitu PT Tratak, PT Pagilaran dan PT Segayung) yang sangat dibutuhkan oleh penduduk setempat sehingga diperlukan peninjauan ulang atas HGU ketiga perkebunan itu.
Dalam konteks penerbitan, perpanjangan maupun pencabutan HGU, hal yang sama juga berlaku bagi Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah. Dalam batas-batas tertentu mereka tidak memiliki kewenangan memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU. Kanwil BPN tingkat Propinsi dapat memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU, jika luas
tanahnya dibawah 200 ha, jika lebih dari itu, maka kewenangan berada di tingkat Pusat. 45 Dengan kata lain, untuk HGU yang luasnya kurang dari 200 ha, meskipun kewenangan untuk memutuskan pemberian maupun perpanjangan HGU ada di tangan pejabat tingkat propinsi, tetap saja penetapannya secara formal menjadi kewenangan BPN tingkat Pusat. Sehingga dengan kenyataan prosedural penetapan HGU ini, mau tidak mau FPPB harus melakukan serangkaian lobi dan negosiasi di tiga tingkat instansi kewenangan BPN tersebut, yaitu BPN di tingkat kabupaten (Kantor Pertanahan), propinsi (Kanwil BPN) dan BPN pusat.
Berdasarkan situasi ini, maka FPPB mempertimbangkan strategi advokasi yang berbeda-beda untuk masing-masing kasus. Kelompok Tani P4T, P2SD dan Kembang Tani, memfokuskan
lobi dan negosiasinya di Kanwil Propinsi Jawa Tengah, 46 sementara P2KPP/PMGK dan P2BS lobi dan negosiasinya diarahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Selain ke instansi
BPN, FPPB juga melakukan lobi dan negosiasi ke Pemda Kabupaten dan Kantor Gubernur Jawa Tengah. FPPB menggunakan keberadaan Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Propinsi)
45 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak, Pasal 3-4.
46 P4T yang berhadapan dengan Perkebunan Tratak, luasan HGU yang sedang dituntut dibawah 200 ha.
untuk (mempermudah) melakukan dialog dengan pihak perusahaan pemegang HGU dan sekaligus juga dengan pihak BPN.
Dalam setiap kesempatan yang ada dalam rangkaian lobi dan negosiasi yang dilakukan FPPB sesungguhnya mereka selalu mendapat pernyataan-pernyataan dari pihakyang berwenang yang mengindikasikan adanya titik terang penyelesaian sengketa di Batang (khususnya untuk
kelima kasus ini). 47 Salah satunya adalah pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah pada pertengahan tahun 2005 yang menyatakan akan memberikan prioritas penyelesaian sengketa tanah di Batang. 48 Pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah itu kemudian dengan cepat ditanggapi oleh Kantor Pertanahan Kab. Batang dan Pemda Kab. Batang. Dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan setelah itu, pemerintahan kabupaten yang terdiri dari Pemda Kabupaten Batang, masing-masing Kantor Kecamatan, Kantor Pertanahan serta instansi kepolisian, kerap melakukan dialog-dialog dengan kelompok petani serta dengan pihak perusahaan pemegang HGU. Terkait dengan upaya-upaya pertemuan dengan pihak perusahaan, kelompok-kelompok tani, khususnya ketiga kelompok tani ini seringkali menemui kesulitan. Seringkali pertemuan yang sudah direncanakan gagal karena ketidakhadiran pihak perusahaan. Hasil dari rangkaian dialog ini adalah bahwa setiap pihak (aparat pemerintahan, Kantor Pertanahan dan pihak perusahaan) “dapat memahami” posisi kasus tanah yang ada dan akan meneruskan proses selanjutnya dengan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pejabat di tingkat propinsi. Hal ini pun membuat kepercayaan kelompok petani menjadi meningkat dan membuat mereka mendapatkan harapan atas penyelesaian kasusnya. Namun, setelah itu perkembangannya seakan-akan terhenti dan setiap ditanyakan kepada Pemda maupun Kantor Pertanahan Kabupaten Batang mereka selalu mengatakan bahwa prosesnya masih berlangsung.
Selain melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak yang terkait, kelompok-kelompok tersebut secara bersama-sama melakukan aksi mobilisasi massa (minimal FPPB merancang aksi bersama setiap satu tahun sekali pada saat Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal
24 September), yang tujuannya untuk lebih memberikan gaung dan desakan yang kuat terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Aksi-aksi dengan cara mobilisasi massa ini ditujukan kepada instansi-instansi pemerintah terkait dengan tujuan meminta penjelasan langsung tentang tuntutan hak atas tanah yang sedang mereka perjuangkan. Melalui aksi-aksi ini juga diupayakan untuk mendapat pernyataan resmi dari pejabat terkait yang pada gilirannya kemudian dapat dijadikan pegangan untuk menagih realisasinya. Misalnya, pada saat aksi mobilisasi massa di kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kepala Kantor Pertanahan setempat memberikan janji akan segera membentuk tim penyelesaian kasus sengketa di Kabupaten Batang setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah. Namun, seperti halnya kesepakatan yang didapatkan dari kegiatan lobi dan negosiasi yang sudah diuraikan diatas, janji Kepala Kantor Pertanahan tidak kunjung diwujudkan, dan ketika ditanyakan kembali oleh FPPB, jawabannya adalah prosesnya sedang dilakukan oleh pejabat di tingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat propinsi. Menanggapi perkembangan ini, FPPB tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menunggu.
Hingga saat ini, upaya-upaya yang dilakukan FPPB masih terus berlanjut karena belum semua tuntutan anggota-anggotanya terkabul, kecuali kelompok tani Kembang Tani yang sudah berhasil mendapatkan sertifikat tanah pada tahun 2002. Sesungguhnya, tidak ada yang
47 Selain kelima kasus yang dikaji dalam tulisan ini FPPB juga mewadahi perjuangan beberapa kelompok tani lainnya. Hingga saat ini ada sekitar 14 kelompok tani yang memperjuangkan hak atas
tanah di Kabupaten Batang yang bernaung dalam FPPB. 48 Lihat Dokumen “Kesepakatan Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah”, tanggal 15 Juni 2005, tertanda Kepala BPN Jawa Tengah, Bambang Widjanarko tanah di Kabupaten Batang yang bernaung dalam FPPB. 48 Lihat Dokumen “Kesepakatan Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah”, tanggal 15 Juni 2005, tertanda Kepala BPN Jawa Tengah, Bambang Widjanarko
Dalam upaya perjuangannya tersebut bahkan kelompok tani P2SD di tengah-tengah upaya melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak-pihak terkait pada bulan November tahun 2007 harus menghadapi kenyataan tanah garapannya “dibersihkan” oleh pihak perkebunan karena ternyata tanah tersebut sudah disewakan kepada Pabrik Gula. Demikian juga dengan P2KPP/PMGK, pada awal tahun 2009 mereka mendapatkan informasi bahwa PT Pagilaran sudah mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU untuk 25 tahun mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya hasil-hasil yang mereka dapatkan selama melakukan lobi dan negosiasi tidak terlalu banyak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tubuh pemerintahan (khususnya BPN). Sementara itu pada dua kelompok tani lainnya, yaitu P2BS dan P4T, walaupun masih belum menunjukan kejelasan atas tuntutannya mereka relatif masih bisa melakukan kegiatan menggarap di lahan garapannya relatif tanpa gangguan.
4.3. FPPB: Wadah Perjuangan Petani Batang
FPPB dibentuk pada tahun 2000 melalui kongres pertamanya atau Rembug Tani I FPPB. Pada saat pembentukannya, FPPB terdiri dari 3 kelompok tani yang berasal dari kecamatan Tulis, Bandar dan Blado. Mereka adalah 3 kelompok tani yang masing-masing bersengketa dengan Perkebunan Ambarawa Maju, Tratak dan Pagilaran. FPPB dibentuk dengan kesadaran penuh petani di 3 kelompok tani tersebut, karena mereka memiliki kesamaan permasalahan dan memerlukan satu wadah perjuangan agar koordinasi dan penyelesaian masalah sengketa tanah yang mereka hadapi dapat lebih cepat diselesaikan. Dengan demikian, mandat utama FPPB adalah untuk mencarikan jalan keluar atas permasalahan petani khususnya permasalahan yang terkait dengan sengketa tanah yang dihadapi khususnya dan umumnya yang terjadi di kabupaten Batang.
Melalui FFPB kemudian dilakukan serangkaian aktivitas untuk memperkuat kelompok maupun ikatan antar kelompok tani yang menjadi anggotanya. Sejumlah pertemuan atau kumpulan antar pengurus OTL sering dilakukan di bawah koordinasi FPPB untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan isu-isu yang berkembang (misalnya isu-isu tentang bagaimana meningkatkan produksi pertanian, modal produksi pertanian atau isu-isu yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang ada terkait dengan masalah sengketa tanah) maupun untuk mendiskusikan langkah kerja jika satu kelompok tani menghadapi permasalahan yang perlu segera ditindaklanjuti secara bersama. Untuk mengambil sikap terhadap isu-isu atau persoalan yang penting yang menyangkut kepentingan keseluruhan kelompok yang menjadi anggotanya, FPPB memiliki mekanisme untuk pengambilan keputusan yang disebut dengan Rembug Tani. Dengan kata lain Rembug Tani adalah sarana pengambilan keputusan organisasi tertinggi dalam FPPB.
Beberapa topik diskusi dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya menyangkut berbagai perkembangan kebijakan agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu contohnya adalah membahas PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang secara terbuka dinyatakan oleh Presiden SBY akan dijalankan secara nasional mulai tahun 2007. Seringkali diskusi dilakukan tidak hanya dikalangan anggota FPPB, tetapi dengan melibatkan jaringan gerakan sosial lainnya baik jaringan organisasi tani di Jawa Tengah maupun organisasi- Beberapa topik diskusi dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya menyangkut berbagai perkembangan kebijakan agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu contohnya adalah membahas PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang secara terbuka dinyatakan oleh Presiden SBY akan dijalankan secara nasional mulai tahun 2007. Seringkali diskusi dilakukan tidak hanya dikalangan anggota FPPB, tetapi dengan melibatkan jaringan gerakan sosial lainnya baik jaringan organisasi tani di Jawa Tengah maupun organisasi-
Selain pertemuan-pertemuan yang membahas tentang perkembangan masing-masing tuntutan, FPPB juga merencanakan melakukan serangkaian pendidikan yang dilakukan secara berkala yang melibatkan seluruh pengurus kelompok tani maupun kader-kader muda dari masing-masing kelompok tani. Pelatihan-pelatihan tersebut dilakukan oleh FPPB secara bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang menjadi pendukung perjuangan FPPB selama ini, khususnya kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan
Warga Tani (PEWARTA) 49 . Pada Rembug Tani II tahun 2005 digodok secara bersama-sama langkah-langkah perjuangan
selanjutnya untuk lebih memperkuat dan mempertajam perjuangan politik mereka. Pada saat itu diputuskan untuk mempersiapkan dengan baik kader-kader organisasi untuk dapat menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat Kabupaten Batang. Bahkan secara rinci mereka sudah menargetkan untuk mendudukkan kadernya sebagai anggota DPRD Kabupaten Batang pada Pemilu 2009. Untuk itu, sejumlah persiapan di tingkat lokal dilakukan. Salah satu langkah yang dianggap strategis untuk ditempuh adalah menguji kapasitas politik kelompok-kelompok tani yang ada saat ini dalam sejumlah pemilhan kepala desa yang berlangsung sepanjang tahun 2007. Selain untuk menguji kemampuan kelompok-kelompok tani ini dalam mengumpulkan dan meraih suara dukungan, posisi kepala desa dianggap satu faktor penting yang dapat menghambat perpanjangan atau penerbitan sertifikat HGU. Karena pada proses yang paling awal, persetujuan penerbitan dan perpanjangan HGU, didahului dengan persetujuan secara formal dari masing-masing kepala desa dimana lokasi HGU itu berada.
Dari lima kasus yang dikaji dalam tulisan ini, ada tiga kelompok tani (P2KPP/PMGK, P2SD, dan P2BS) yang kader-kadernya diikutkan dalam pemilihan kepala desa pada tahun 2007. Proses persiapannya bukanlah proses yang pendek, karena sejak proses sosialisasi hingga pemilihannya itu sendiri pengurus FPPB dan pengurus kelompok tani melakukan serangkaian kegiatan persiapan sejak tahun 2005. Mereka melakukan serangkaian kegiatan kumpulan secara intensif di masing-masing kelompok dan masing-masing desa serta melakukan pendampingan dan pendidikan kader yang dicalonkan agar menjalankan mandat
49 PEWARTA berdiri sejak tahun 2000. PEWARTA awalnya adalah kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), berdomisili di kota
Yogyakarta. SMKR memiliki agenda penguatan kapasitas setiap mahasiswa yang bergabung didalamnya. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengirimkan beberapa orang mahasiswa ke desa-desa di sekitar Jawa Tengah, dengan tujuan agar seluruh mahasiswa yang tergabung dapat memahami seutuhnya kehidupan rakyat dimanapun berada termasuk rakyat di pedesaan. Pada tahun 1999, desa yang menjadi target adalah desa-desa di sekitar dimana anggota FPPB berada. Bertepatan dengan kedatangannya, petani penggarap penuntut tanah perkebunan Pagilaran mendapatkan perlawanan dari pihak perkebunan. Sejak saat itu, beberapa orang mahasiswa yang tergabung dalam SMKR itu terus melanjutkan kebersamaannya dengan FPPB, padahal agenda SMKR sudah berakhir, Ketika FPPB dideklarasikan pada tahun 2000, SMKR pun kemudian berdiskusi untuk meneguhkan kerja-kerjanya dengan FPPB. Kemudian diputuskan bahwa SMKR perlu membentuk satu sayap khusus untuk menfokuskan kerja-kerjanya dengan kelompok petani, maka dibentuklah Persaudaraan Warga Tani – PEWARTA. Bagi FPPB, keberadaan PEWARTA kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari FPPB, karena baik FPPB dan PEWARTA memiliki kesepahaman bagiamana memposisikan dan berperan didalam penguatan petani di Batang, sejak saat itu, PEWARTA secara khusus memegang peran melaksanakan rangkaian pendidikan untuk anggota seluruh FPPB.
organisasi/kelompok jika nantinya terpilih. Pendidikan juga diberikan kepada para pemilih khususnya anggota kelompok tani, yang tujuannya agar seluruh kelompok tani memilih calon yang dicalonkan oleh organisasi. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman pemilihan kepala desa yang sudah dilakukan sebelumnya, faktor kekerabatan antara calon dan pemilih sangat kuat, hal ini perlu diantisipasi dengan memberikan arahan kepada seluruh anggota agar mereka memilih calon dari organisasi. Di dalam pendidikan itu juga dijelaskan bahwa jika memang calon yang diusung oleh organisasi bukan kerabatnya, maka pilihannya tetap calon dari organisasi, karena hal ini adalah salah satu agenda perjuangan organisasi. Penekanannya adalah bahwa ketika kader organisasi yang memimpin desa, maka akan didapatkan dua keuntungan sekaligus, yaitu penyelesaian sengketa atas tanah dan harapan akan perubahan kehidupan di pedesaan.
FPPB juga melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan pembiyaan yang muncul akibat pencalonan kader-kader kelompok tani mereka sebagai kepala desa. Sebagaimana ketentuan yang berlaku, setiap calon kepala desa harus menanggung biaya pemilihan Kepala Desa di desanya secara bersama-sama dengan calon lainnya. Artinya, setiap calon harus menyediakan sejumlah dana untuk terselenggaranya pemilihan didesanya, yaitu jumlah yang sama dengan calon lainnya, tergantung jumlah biaya yang diperkirakan oleh panitia pemilihan dan tergantung jumlah calon kepala desa. Intinya, berdasarkan ketentuan tentang pemiliha kepala desa, biaya pemilihan adalah tanggungjawab calon yang akan maju didalam proses pemilihan. Hampir keseluruhan calon kepala desa dari kelompok- kelompok tani anggota FPPB adalah calon-calon yang tidak mempunyai kecukupan dalam hal ekonomi, sehingga FPPB perlu memikirkan bagaimana agar seluruh konsekuensi administratif bisa diatasi dan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk ikut pemilihan. Salah satu caranya yang ditempuh adalah dengan melakukan pengumpulan dana dari seluruh anggota melalui iuran uang atau mengumpulkan hasil pertaniannya. Dengan cara ini, FPPB bias menanggulangi satu persoalan administratif pemilihan kepala desa yang menyangkut soal dana pemilihan.
Selain itu, satu sayap organisasi FPPB yang memfokuskan pada pengorganisasian kaum perempuan, yakni SITA (Suara Ibu Tani) juga melakukan rangkaian kegiatan yang tujuannya untuk memperkuat gerakan tani FPPB. SITA melakukan pertemuan secara bergiliran di masing-masing desa kelompok taninya dan menyusun jadwalnya sendiri. Pendamping FPPB – dalam hal ini adalah PEWARTA – kemudian mengikuti jadwal yang sudah dibuat oleh SITA dan datang pada waktunya untuk menjadi partner diskudi dalam setiap pertemuan. Inti dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan adalah untuk melakukan pengorganisasian kaum perempuan di masing-masing desa-desa, dan khususnya di kalangan kelompok-kelompok tani anggota FPPB. SITA juga mengambil peran untuk menjalankan fungsi penguatan ekonomi organisasi FPPB, dimana pada tahap awal pendiriannya, SITA melakukan upaya-upaya untuk pembentukan koperasi di FPPB. Setiap anggota SITA, setiap bulan bersepakat untuk mengumpulkan uang iuran sebagai upaya pembentukan modal untuk pendirian koperasi di kelompok taninya masing-masing.
Di tingkat kelompok tani, upaya-upaya penguatan organisasi dilakukan sesuai dengan situasi yang berkembang dari waktu ke waktu, misalnya pada saat muncul isu akan terjadi
‘penyerangan’ dari sekelompok orang yang berpihak pada perusahaan perkebunan. Di kelompok tani P4T pada saat muncul isu akan terjadi penyerangan kepada anggota-anggota kelompok tani P4T, mereka mengadakan Nariyahan 50 selama 40 malam secara berturut