Menuntut Negara Hak Azasi Manusia Konfli

I. Menuju kepada Permasalahan: Perebutan Hak atas Tanah dan Perjuangan Menegakan Hak Azasi Manusia

Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.

Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali (reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan tersebut.

Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan

International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR). 2 Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan,

hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya 3 tercermin misalnya dalam beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on

1 Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA – Bandung dan Agrarian Resource Center (ARC) – Bandung.

2 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006. Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang

No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.

3 Hak-hak untuk melestarikan identitas kebudayaan kelompok minoritas.

Human Rights (UDHR), khususnya pasal 25 (1), dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha- usaha social yang diperlukan …..”.

International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) pasal 6 menyebutkan: “(1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin hak ini; (2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Peserta Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi juga pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan berbagai teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan budaya yang mantap, dan pekerjaan yang penuh dan produktif dengan persyaratan yang menjamin kebebasan politik maupun ekonomi yang hakiki bagi individu”. Sementara pasal 9, 10 dan 11 menegaskan tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan memberikan jaminan terhadap penegakan hak-hak di atas. Dalam pasal 9 ICESCR disebutkan “[N]egara-negara Peserta Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”; sementara pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “[S]eharusnya diberikan perlindungan dan bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang alami dari masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama ia bertanggung jawab untuk perawatan dan pendidikan anak-anak y ang masih ditanggung…..” Sedangkan dalam pasal

11 (ayat 1) dari dokumen yang sama (ICESCR) dikatakan “[N]egara-negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan perbaikan yang terus menerus dari

lingkungannya. …”. Hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi.

Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak dan memiliki hak yang sama untuk memperoleh jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi jika ia hidup di negara yang secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan umum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau status sosial (harta) (ICCPR pasal 26). Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan berhak atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti diuraikan dalam UDHR pasal 22, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap manusia untuk mengembangkan martabat pribadinya. Selanjutnya dalam pasal 23 UDHR ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat- syarat perburuhan yang adil dan baik atas perlindungan kepada pengangguran”. Jaminan bagi keberlangsungan hidup setiap manusia juga tercantum dalam UDHR, khususnya pasal 25 (1), yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah ketiadaan mata pencaharian yang lain dalam keadaan di luar pengusaannya ”.

Meskipun tidak ada satu klausul pun yang menyatakan secara langsung bahwa hak atas tanah adalah hak yang mendasar dalam konsepsi hak asasi manusia, namun hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka mencapai penghidupan yang layak dapat dimaknai terliput/terkandung di dalam klausul- Meskipun tidak ada satu klausul pun yang menyatakan secara langsung bahwa hak atas tanah adalah hak yang mendasar dalam konsepsi hak asasi manusia, namun hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka mencapai penghidupan yang layak dapat dimaknai terliput/terkandung di dalam klausul-

Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat dengan Hak Atas Pangan (right to food), karena pada intinya pangan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai penghidupan yang layak. Terkait dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya untuk menjamin ketersediaan pangan menjadi indicator utama (Muhtaj 2008: 123). Karenanya, permasalahan ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi perhatian utama, karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Porto Alegre bulan Maret 2006, bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan, sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan hak atas pemilikan dan penguasaan tanah (Plant 1984: 189).

Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang terjadi di Negara- negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini terkait dengan penilaian yang sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002) yang telah meletakkan perlunya agenda Reforma Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan serta kunci hak atas pangan sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas tanah dan perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar (Gunawan 2009). Komisi HAM PBB telah membentuk Special Rapporteur on The Rights to Food, dimana didalamnya berisi bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa pilihan kebijakan Reforma Agraria atau Land Reform harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi Negara dalam hal ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah adalah hal mendasar untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut (Gunawan 2009, Muhtaj 2008: 124-129).

Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan perudangan-undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan perudangan-undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan

Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan ‘ketuna-kismaan’ (landlessness).

Pada kenyataannya di banyak tempat seperti di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, banyak tanah-tanah bekas hak erfpacht dalam bentuk perkebunan besar pada jaman kolonial Belanda

yang telah dikukuhkan kembali keberadaannya oleh pemerintah Indonesia 4 dalam bentuk HGU tidak diusahakan secara produktif oleh pemegang haknya. Sebagian atau bahkan ada juga yang seluruh lahan tersebut kemudian hanya disewakan kepada penduduk setempat untuk ditanami tanaman-tanaman pangan seperti yang terjadi di perkebunan PT Ambarawa Maju dan PT Tratak yang kemudian berkembang menjadi kasus konflik pertanahan. Ketika kesadaran para penyewa lahan perkebunan tersebut akan hak-hak mereka atas tanah yang dijamin oleh undang-undang meningkat, mereka menuntut hak atas tanah yang selama ini mereka garap yang tentu saja tidak dikehendaki oleh para pemegang HGU perkebunan tersebut. Dalam hal ini proses menyewakan tanah perkebunan kepada penduduk setempat, yang sesungguhnya merupakan praktek yang melanggar hukum, telah menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari khususnya ketika gerakan-gerakan sosial yang membela hak- hak rakyat dan menentang rejim Orde Baru mulai menguat sejak akhir tahun 90an dan semakin berkembang ketika kekuasaan politik rejim itu mulai melemah sejak pertengahan tahun 90an.

Konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Batang di satu sisi mencerminkan berlanjutnya kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan-badan usaha komersial dan, di sisi lain, menunjukan semakin terbatasnya akses penduduk setempat terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosialnya. Gambaran ketimpangan penguasaan tanah tersebut dapat tergambar sebagai berikut:

1) Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luas wilayah 78.895,00 ha 5 , terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan, baik perusahaan swasta maupun badan

usaha milik negara, dengan total luas lahan yang dikuasai sebanyak 6.308,75 ha 6 (atau sama dengan sekitar 7,9% dari luas keseluruhan wilayah kabupaten tersebut).

4 Berdasarkan UUPA Pasal 55 (1) berbunyi “Hak-hak Asing menurut ketentuan Konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama

sisa-sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jan gka waktu paling lama 20 tahun”. Hal ini berarti, dengan ditetapkannya UUPA pada tahun 1960, maka paling lama hak-hak tersebut akan berakhir pada tahun 1980.

5 Sumber: Badan Pusat Statistik, „Jawa Tengah Dalam Angka 2007“, BPS Jawa Tengah dan Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Tabel I.2.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kabupaten/Kota di

Jawa Tengah Tahun 2006 (ha) 6 Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.

2) Di Kabupaten Batang, berdasarkan data tahun 2006, terdapat wilayah yang dinyatakan sebagai wilayah

“kehutanan” seluas 18.194,70 ha 7 (atau sama dengan 23,06% dari luas kabupaten). Kawasan “hutan” ini merupakan kawasan yang dikuasai oleh Perum Perhutani baik yang dijadikan Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata, Hutan Lindung maupun

Hutan Produksi.

3) Dengan demikian terdapat sekitar 68% dari seluruh luas Kabupaten Batang yang merupakan lahan-lahan yang dipergunakan untuk pertanian rakyat, hutan rakyat, sarana umum, sarana transportasi, gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran, kawasan perkotaan, desa-desa, pemukiman dan perumahan serta sarana-sarana lainnya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah Rumah Tangga Pertanian adalah sebanyak 91.141 rumah tangga 8 atau sekitar 50.05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di

Kabupaten Batang. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 2003 rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga tani adalah 9 0.36 ha. Sedangkan berdasarkan data dari sensus

yang sama Gini Ratio kepemilikan lahan di Kabupaten ini adalah 0.486, yang berarti tingkat ketimpangan penguasaan lahan mendekati ketimpangan yang cukup parah. 10

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utama terjadinya aksi-aksi pendudukan tanah di sejumpah tempat di Kabupaten Batang khususnya di areal-areal perkebunan besar. Aksi-aksi pendudukan tanah perkebunan oleh petani ini pada saatnya mendapatkan perlawanan dari pihak penguasa tanah (pemegang HGU) melalui sejumlah penggusuran, Meskipun lahan-lahan yang telah digarap oleh penduduk setempat tersebut dalam waktu yang sudah sejak lama merupakan lahan-lahan yang tidak digarap secara efektif/produktif oleh pemegang HGU tersebut.

Penggusuran-penggusuran yang terjadi misalnya terjadi dalam bentuk sebagai berikut:  Pada Kasus PT Perkebunan Pagilaran yang terletak di Desa Keteleng (Pagilaran), Bismo,

Bawang, Kalisari dan Gondang Kecamatan Blado pengusiran penduduk dari tempat tinggalnya tanpa diberikan ganti rugi telah terjadi sejak masa Hindia Belanda ketika di daerah itu hendak dibangun emplacement untuk buruh perkebunan. Penduduk setempat dihadapkan pada pilihan untuk menjadi buruh perkebunan jika mereka hendak tetap tinggal di wilayah tersebut atau jika tidak mau menjadi buruh perkebunan, mereka harus meninggalkan kampungnya. Memasuki masa perang kemerdekaan dan pada masa pendudukan Jepang di tahun 40-an, banyak perkebunan asing yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Penduduk setempat menjadi leluasa untuk menguasai tanah-tanah yang dulu mereka klaim sebagai miliknya. Tetapi ketika pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1948 dimana pemerintah Indonesia harus mengakui kembali keberadaan perkebunan-perkebunan asing penggusuran kembali terjadi karena para penggarap tanah tidak dapat membuktikan surat sewa tanah pertaniannya yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang.

7 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. 8 Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”, BPS,Jakarta, Tabel 1.C. 9 Diolah dari Tabel 4.c. “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”, BPS – Jakarta.

10 Angka Gini Ratio penguasaan tanah merupakan indeks atas konsentrasi penguasaan tanah. Hasil perhitungan gini ratio akan menghasilkan besaran antara 0 – 1. Semakin mendekati angka 1, maka kesimpulannya struktur penguasaan tanah semakin timpang. Sebaliknya, jika angka gini memiliki

kecenderungan mendekati 0, maka penguasaan tanah relatif merata.

 Penggusuran kembali terjadi pada tahun 1966, dimana penduduk setempat mengalami pengusiran dari lahan garapannya dengan menggunakan stigma PKI. Di dalam surat instruksi pengosongan lahan tertera bahwa operasi yang sedang dijalankan adalah upaya

untuk melakukan pembersihan atau penutupan 11 “tanah Gestok”.  Dalam kasus tanah HGU PT Tratak penggusuran terjadi pada tahun 1998 dengan cara

melakukan perjanjian dengan pihak lain (PT Sragi/Pabrik Gula) di atas tanah yang masih dalam status sewa dengan petani penggarap setempat. Penggusuran semacam ini juga terjadi pada kasus petani penggarap dengan PT Segayung. Perbedaannya pada kasus Segayung penggusuran terjadi secara terbuka dimana pihak perusahaan mengerahkan sejumlah alat berat untuk membersihkan tanaman palawija rakyat yang tidak lama lagi siap panen, sama halnya dengan PT Tratak, pihak PT Segayung pun bermaksud menyewakan tanah tersebut kepada salah satu pemilik pabrik tebu di daerah Batang- Pekalongan.

 Dalam kasus lain yang terjadi di atas lahan HGU Kebun Sluwok milik PTPN IX penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari 12 diusir begitu

saja ketika pihak perusahaan tidak mau memperpanjang ‘kerja sama’ tersebut. Sejak tahun 1989 penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari secara formal dengan dikeluarkannya surat perjanjian antara penduduk setempat dan Sinder Afdeling PTPN IX. Perjanjian terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu dan yang terakhir adalah tahun 2002 (perjanjian sebelumnya dikeluarkan tahun 1989, 1995, dan 1998). Pada saat perjanjian tahun 2002 itu berakhir pada tahun 2005, pihak PTPN IX tidak bermaksud memperpanjang perjanjian dan penduduk yang menggarap lahan tersebut diperintahkan untuk keluar dari lahan garapannya. Alasan pihak PTPN IX untuk tidak memperpanjang kerjsama tumpangsari ini dikarenakan tanaman utama perkebunan, yakni Kapuk Randu, sudah siap ditebang. Rakyat penggarap tidak mempunyai pilihan selain tergusur karena dengan skema kerjasama tumpangsari sesungguhnya mereka tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di atas tanah garapan tersebut.

Ketika gerakan pembelaan terhadap hak-hak petani atas tanah berkembang marak di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980an, gelombang protes terhadap penggusuran- penggusuran yang disusul dengan aksi-aksi pendudukan tanah juga terjadi di Batang. Pada masa pasca reformasi 1998 aksi-aksi untuk mempertahankan dan merebut hak atas tanah tersebut semakin berkembang dan membesar. Di satu sisi, aksi-aksi ini menegaskan kembali bahwa petani setempat, khususnya di daerah yang struktur penguasaan tanahnya timpang,

11 Istilah ini dipergunakan dan tertera didalam Surat Instrukti tertanggal 11 April 1966 yang ditandatangani oleh PN Pagilaran UGM, Bag. Pagilaran, judul surat tersebut adalah “Penutupan

Tanah- tanah Gestok”. Tanah-tanah Gestok adalah tanah-tanah yang diindikasikan terkait dengan Gerakan Satu oktober (Gestok) dan wilayah Pagilaran termasuk salah satunya. (Wawancara dengan salah seorang warga Desa Keteleng bulan Februari 2008)

12 Sejak tahun 1989, penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX Kebun SLuwok dengan skema Tumpangsari. Perjanjiannya dilakukan antara penduduk setempat dengan Sinder Afdeling PTPN IX

yang juga ditandatangani oleh Kepala Desa Kuripan. Perjanjian tersebut, berisi sejumlah ketentuan sebagai berikut: (1) penduduk setempat diijinkan untuk menggarap masing-masing 0,20 hektar; (2) tanaman yang diperbolehkan adalah tanaman musiman; (3) tidak diperkenankan memperluas areal tumpangsari tanpa ijin; (4) diwajibkan melakukan penjagaan terhadap areal PTPN IX Kebun SLuwok dengan menjaga dari kemungkinan terjadinya kebakaran; (5) tidak diperkenankan menabang dan mengambil hasil karet; (6) jika pihak perkebunan memerlukan lahan tersebut, maka petani harus menyerahkannya dengan tanpa menuntut ganti rugi; dan (7) pembagian hasil dari perjanjian ini adalah 1/5 untuk perusahaan dan 4/5 untuk petani. (Berdasarkan Surat Perjanjian No. 054/KMR/TS/2002).

sedang memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara seperti yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam perkembangannya kemudian, seperti akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlihat nyata bahwa gerakan-gerakan pendudukan tanah atau gerakan-gerakan untuk mempertahankan tanah yang diklaim dan dikuasai sejak lama oleh penduduk setempat semakin menjurus kepada upaya-upaya mereka untuk memperoleh kepastian hukum atas penguasaan tanah sebagai Hak Milik ketimbang sekedar memperjuangkan tanah untuk basis penghidupannya. Hal yang terakhir ini tentu saja memiliki implikasi lain karena ketika tanah-tanah yang dikusai oleh seseorang berstatus Hak Milik maka yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk memperlakukannya sesuai dengan kepentingannya melampaui dari sekedar kepentingan untuk mendukung keberlanjutan kehidupan sosial-ekonominya sebagai petani.

II. Hak atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Indonesia

Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia (Tauchid 1952: 6)

Di Indonesia, hak atas tanah bagi warga negara dan khususnya bagi kaum tani yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah telah diatur dengan sangat baik melalui UUPA 1960. Dalam konteks penegakan HAM seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dengan adanya UUPA 1960 sesungguhnya Indonesia telah cukup maju untuk memberikan ketentuan hukum formal mengenai jaminan hak atas tanah bagi warga negara yang membutuhkannya. UUPA 1960, meskipun tidak disusun dengan mengacu secara khusus kepada sejumlah ketentuan hak azasi manusia seperti yang tertuang di dalam sejumlah instrumen internasional penegakan HAM, mengandung sejumlah penekanan yang penting bagi perwujudan keadilan agraria dalam rangka menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Ketika UUPA dirumuskan sejak tahun 1948 hingga mulai diberlakukan pada tahun 1960 konsepsi domein verklaring yang menjadi dasar dari hukum agraria kolonial dihapuskan. UUPA becita-cita menasionalkan peraturan-peraturan tentang agraria dan hak-hak atas tanah agar lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Dengan semangat untuk mengembalikan seluruh kedaulatan tanah air Indonesia kepada bangsa Indonesia maka para perumus UUPA 1960 menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang bersumber dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai pengganti dari konsepsi domein verklaring. Menurut Harsono perbedaan penting antara konsepsi domenin verklaring dengan HMN adalah target atau tujuan pengaturannya, dimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam konsep domein verklaring adalah semata-mata untuk kepentingan pengusaha besar, sedangkan konsep HMN tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia seperti yang sudah tertuang di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (Harsono 1996: 36).

Dalam UUPA 1960 (pasal 2:2) HMN menegaskan bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (2) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, Dalam UUPA 1960 (pasal 2:2) HMN menegaskan bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (2) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,

Asal muasal konsepsi Tanah Negara dan Hutan Negara serta prakteknya dapat ditelusuri sejak era kolonial ketika pada masa itu diterapkan konsep Landsdomein (tanah-tanah adalah milik Negara atau Raja) untuk mengontrol tanah di Hindia Belanda. 13 Pada masa

pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811) konsep Landsdomein (tanah Negara) diterapkan di Jawa untuk mengontrol produksi kayu jati dari kawasan hutan di pulau ini. 14

Penerapan konsep ini diperkuat kembali pada masa pemerintahan Gubernur Letnan Inggris di Jawa, Raffles (1811-1816), yang menjalankan prinsip yang sama untuk tujuan pengumpulan pajak tanah (landrente). 15 Gubernur Jenderal Belanda lainnya yakni Van den Bosch juga

memperkukuh penerapan konsep landsdomein untuk menjalankan cultuurstelsel (1830- 1870) 16 sebelum peraturan kolonial Belanda yang berorientasi Liberal memodifikasinya

menjadi prinsip domein verklaring melalui pembentukan Agrarisch Wet (Hukum Tanah) 1870 yang bertujuan untuk mengijinkan investor asing untuk menyewa tanah, baik tanah Negara maupun tanah penduduk setempat untuk kepentingan pembangunan industri perkebunan di Hindia Belanda. 17 Prinsip domein verklaring juga menjadi dasar baru dalam pembentukan Undang-undang Eksploitasi Hutan tahun 1865 (Staatsblad No. 96) 18 yang berisi tentang perluasan kawasan Hutan Negara di pulau Jawa dan Madura. 19

Dari sejarah kemunculannya Agrarische Wet 1870 sesungguhnya merupakan perwujudan dari gelombang revolusi liberalisme yang melanda Eropa sejak pertengahan abad ke-18 dan menerpa tanah-tanah jajahan dalam bentuk lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang memberikan fasilitas kepada usaha-usaha swasta untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan manusia di tanah-tanah jajahan (Wiradi 2000: 125-126). Dalam konsepsi domein verklaring ditegaskan bahwa “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara atau Landsdomein ” (Soetiknjo 1987: 34-37,

Gautama 1993: 55, Harsono 1996: 41-43, Wiradi 2000: 128). 20 Konsepsi landsdomein ini lah

13 Pada saat itu kebijakan ini dibuat untuk tujuan menambah pemasukan melalui pajak tanah atau menambah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi atas

hasil-hasil pertanian dan hutan 14 Lihat Boomgaard, 1988: 73-75; Peluso 1990 and 1992; Bachriadi and Lucas 2002

15 Lihat Wiradi 1986: 11-12 and 2000: 121-123; Boomgaard 1989: 5-7 16 Lihat Van Niel 2003 and 1992: 5-28; Boomgaard 1989: 7-9; Wiradi 2000: 124 17 Lihat Tauchid 1953, Wiradi 1986: 15-17 and 2000: 127-132, Kartodirdjo and Suryo 1991, Harsono

1999: 35-37.

18 Staatsblad 1865-96: Reglement voor het beheer en de exploitative der houtbosschen van de Lande op Java en Madura. 19 Lihat Peluso 1990: 34 and 1992: 53; Bachriadi and Lucas 2002: 82

20 Menurut Harsono (1995:37) Konsep ini adalah konsepsi yang terdapat dalam pasal 1 Agrarisch Besluit. Konsepsi ini adalah konsep yang secara khusus diberlakukan di pulau Jawa dan Madura,

sementara untuk aturan yang berlaku di luar pulau Jawa tercantum di dalam ketentuan perundang- undangan yang lain. Pernyataan Domein yang ada didalam Domeinverklaring juga kemudian diberlakukan di wilayah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a. Selain Agrarisch Besluit juga dijumpai pernyataan-pernyataan serupa untuk daerah-daerahtertentu, yaitu yang dicantumkan dalam pasal 1 peraturan-peraturan tentang Hak Erpacht, yaitu yang diundangkan dalam S.1874-94f, S.1877-55 dan S.1888-55.

yang kemudian dijadikan dasar untuk mengukuhkan konsep “Tanah Negara” dan “Hutan Negara” pada era pasca kemerdekaan.

Konsepsi “Tanah Negara” yang diberlakukan di wilayah-wilayah non hutan dan diatur dalam PP No. 8/1953 tentang Tanah Negara yang me nyatakan bahwa ‘Tanah Negara adalah tanah yang keseluruhannya dipegang dan dikuasai oleh negara 21 ’ (pasal 1). Di dalam peraturan

pemerintah ini intinya yang dimaksud dengan Tanah Negara adalah tanah-tanah yang merujuk pada semua tanah di luar kawasan Hutan Negara yang tidak dimiliki oleh siapapun dan/atau tanah-tanah yang tidak ada kekuatan hukumnya termasuk yang tanah-tanah diperoleh berdasarkan/melalui hukum adat. Di atas Tanah Negara, yang dalam hal ini adalah tanah-tanah non kehutanan, sejumlah hak baru dapat diterbitkan oleh pemerintah termasuk HGU (Hak Guna Usaha) yang menjadi jenis hak atas tanah untuk membangun perkebunan besar. Pada kenyataannya, berdasarkan peraturan tanah di Indonesia, Tanah Negara juga menjadi objek land reform.

Sedangkan konsepsi “Hutan Negara” diberlakukan pada kawasan-kawasan yang secara arbitrer ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). 22 Menurut UU Kehutanan yang dimaksud dengan Hutan

Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UU No. 41/1999 Pasal 1 ). 23

Dalam konteks menegakan prinsip nasionalitas peraturan agraria, UUPA 1960 juga berkehendak mengganti sejumlah hak-hak atas tanah berdasarkan konsepsi hukum adat yang telah berkembang pada masyarakat dengan cara mengkonversinya menjadi bentuk hak-hak baru. Misalnya konsepsi penguasaan tanah dengan hak agrarisch eigendom, yasan, andarbeni , hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerinjbezitrech, altijddurende erpacht , hak usaha atas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun serta hak gogolan dan pekulen akan diubah menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan di dalam UUPA 1960. Hak eigendom berdasarkan fungsinya akan dikonversi menjadi hak milik, hak pakai dan hak guna bangunan; sementara hak postal dan hak erpacht berdasarkan fungsinya dikonversi menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha (UUPA Bagian II Ketentuan-ketentuan Konversi). Hak gogolan dan pekulen atau sanggan yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa melalui prosedur tertentu harus/akan dikonversi menjadi

Hak Milik. 24 Di dalam UUPA 1960, diatur tentang bagaimana hak atas tanah di Indonesia diberlakukan,

termasuk hak atas tanah untuk setiap warga Negara Indonesia, dimana tanah ditujukan untuk memberikan jaminan keberlangsungan hidup warganya. Dalam beberapa pasal UUPA 1960

21 Liat kajian Harsono (1996: 881 dan 1999: 270) yang memperlihatkan semua terminology dan definisi yang ada didalam peraturan tersebut masih merujuk (berdasarkan) pada prinsip-prinsip

domeinverklaring. Jelas bahwa PP ini merujuk kepada Agrarisch Besluit yang terurai dalam bagian penjelasan umum (no. 1)berisi “berdasarkan prinsip Domeinverklaring, yang dinyatakan dalam Agrarisch Besluit pasal 1, semua tanah yang tidak dihak-

I oleh seseorang … Semua tanah-tanah tersebut didalam peraturan ini disebut sebagai Tanah Negara.”

22 Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kebijakan penetapan kawasan Hutan Negara dalam satu wilayah administratif tertentu yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah

daerah dan pemegang otoritas kehutanan setempat. 23 Pada tahun 2004, Undang- undang Kehutanan ini diperbarui menjadi UU No…19/2004 yang merupakan peraturan yang menetapkan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang yang diterbitkan sebelumnya.

24 Berdasarkan UUPA Bagian Kedua tentang Ketentuan-ketentuan Konversi pasal VII.

seperti yang disebutkan di bawah sudah terkandung pernyataan-pernyataan hukum yang terkait dengan isu penegakan HAM. Misalnya:

“Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat

manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” [UUPA 5/1960, 9:2]

“… dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yan g kuat kedudukan ekonominya… yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan

dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.” [Penjelasan UUPA 1960 Bagian II:6]

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. [UUPA5/60, 17:1]

Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. [UUPA5/60, 17:3]

… perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri

sendiri dan keluarganya [Penjelasan UUPA Bagian II (7)] Hal terpenting dalam pengaturan soal hak atas tanah ini adalah UUPA 1960 mensyaratkan

peran Negara yang besar untuk mengatur soal penguasaan tanah dan pemberian hak atas tanah untuk keadilan dan kesejahteraan sosial melalui konsepsi Hak Menguasai Negara (HMN). Bukan sebaliknya, dominasi negara melalui penerapan konsepsi HMN berarti Negara memiliki seluruh sumber-sumber agraria yang ada di Indonesia, atau menjadi sewenang-wenang untuk memberikan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian sesungguhnya jika dijalankan dengan baik dan konsisten UUPA 1960 sejalan dengan apa yang menjadi prinsip ICESCR, yakni dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya setiap warga negara maka Negara harus memegang peranan yang besar.

Di dalam UUPA 1960 jelas terkandung peraturan yang merujuk pada keadilan dalam penguasaan tanah dengan prioritas utamanya adalah petani, khususnya petani penggarap dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa UUPA hendak mengatur struktur penguasaan tanah untuk kepentingan semua pihak dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan hidup petani sebagai tulang punggung perekonomian desa dan pembangunan nasional. Meskipun demikian, UUPA 1960 juga mengatur soal pembatasan

penguasaan (: bukan hanya pemilikan) tanah oleh tiap-tiap keluarga tani. 25 Jadi UUPA menentukan bahwa setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki dan perempuan memiliki

hak yang sama atas sumber-sumber agraria dan luas penguasaanya diatur dalam aturan

25 UUPA mengatur pembatasan maksimal penguasaan tanah oleh setiap keluarga tani, yaitu Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat

(3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum., berdasarkan UUPA 1960, pasal 17 ayat 1 (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum., berdasarkan UUPA 1960, pasal 17 ayat 1

bahkan UUPA mengatur soal perlunya diupayakan tiap rumah tangga tani menguasai tanah pertanian minimal seluas 2 hektar. Untuk itu, seperti ditegaskan dalam undang-undang ini,

Negara berkewajiban mengusahakannya secara bertahap. 27 Selain itu UUPA 1960 juga mengatur soal larangan monopoli dalam aktivitas-aktivitas yang

berkaitan dengan agraria oleh badan-badan usaha swasta. 28 Pengaturan-pengaturan ini dapat dimaknai sebagai adanya larangan penguasaan tanah dalam jumlah besar yang menjurus kepada monopoli atau konsentrasi penguasaan tanah baik oleh badan usaha maupun oleh perorangan.

Upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap Tanah-tanah Negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan ini lah yang dikenal dengan prinsip land reform 29 di dalam UUPA 1960. Dalam hal ini land

reform menurut UUPA 1960 adalah satu jalan untuk mengukuhkan penguasaan tanah secara individual yang terkontrol melalui redistribusi. Dalam prakteknya program land reform yang sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun, sejak 1961 hingga 1965, sebelum terhenti akibat gonjang-gonjing perebutan kekuasaan yang mengakhiri pemerintahan Soekarno dan menjadi awal berkuasanya rejim yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru (Wiradi 2000: 136, Hutagalung 1985, Utrecht 1969, Lucas and Bachriadi 2009).

Selain mengandung banyak pasal yang memperkuat hak rakyat, khususnya hak kaum tani, atas tanah, menurut banyak ahli UUPA 1960 memiliki sejumlah kelemahan di dalam rumusan-rumusannya khususnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah (lihat misalnya Ruwiastuti 1998 dan McAuslan 1986: 30). Di dalam UUPA tidak dijelaskan secara jelas tentang apa yang dimak sud dengan “Masyarakat Hukum Adat” (Ruwiastuti 1998: 130, McAuslan 1986: 31) akibatnya juga menjadi tidak jelas rumusan “tanah adat” di dalam undang-undang ini yang dikemudian hari menjadi salah satu sumber dari konflik akibat proses “negara-isasi” tanah-tanah adat. UUPA 1960 memang menegaskan bahwa tanah-tanah adat (yang bersumber dari hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat) diakui selama sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3).

Sayangnya sejumlah pengaturan dalam UUPA 1960 yang dirumuskan dengan proses panjang sejak 1948 hingga 1960 tidak diterapkan secara konsisten oleh rejim penguasa yang berganti

sejak tahun 1965. 30 Seiring dengan berkuasanya rejim Orde Baru di bawah pimpinan

26 Lihat UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, dan Keputusan

Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah Yang Harus Ditanami Tebu.

27 Lihat UUPA Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (8). 28 Sayangnya UUPA 1960 tidak mengatur soal pembatasan penguasaan tanah oleh badan-badan usaha ini secara lebih tegas. 29 Lihat UUPA 1960 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (7). 30 Mengenai proses perdebatan dan penyusunan UUPA lihat misalnya Soetiknjo 1987 .

Presiden Soeharto UUPA 1960 tidak dengan tegas dihapuskan atau diganti dengan peraturan perudang- undangan yang lain, melainkan hanya di ‘bekukan’ atau keberadaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya (Wiradi 2000: 137, Tjondronegoro 2007). Kemudian pemerintahan Orde Baru lebih memilih menciptakan kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan-undangan baru yang sifatnya sektoral dan cenderung hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pengusaha untuk mengekstraksi sumber daya alam di Indonesia (Bachriadi 2001; Bachriadi, Safitri, Bachrioktora 2004; Bachriadi dan Fauzi 2006).

Pada perkembangannya, walaupun UUPA 1960 masih berlaku dan dianggap relatif sangat baik sebagai sebuah produk undang-undang, di Indonesia jumlah konflik dan pelanggaran HAM banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut, di berbagai kasus-kasus pertanahan yang ada, lebih banyak disebabkan oleh diabaikannya sejumlah ketentuan di dalam UUPA 1960 oleh rejim yang berkuasa baik melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan yang secara langsung maupun pelanggaran yang dilakukan dengan cara menciptakan peraturan perundangan-undangan lainnya yang bertentangan dengan amanat UUPA 1960 (lihat misalnya Wiradi 2000: 140; Bachriadi dan Lucas 2001; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).

Prinsip Land Reform dalam rangka mencapai tujuan pemenuhan jaminan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya seluruh warga melalui pemerataan penguasaan tanah yang terkandung dalam UUPA 1960 tidak lagi dijalankan secara sistematik dan sesuai ketentuan setelah tahun 1965. Land reform yang merupakan alat/program yang efektif untuk memberikan jaminan untuk penguasaan dan pemilikan tanah oleh kaum tani yang miskin (petani pengarap dan tak bertanah) bagi peningkatan kualitas kehidupannya tidak pernah lagi dijalankan secara sistematik sejak terhenti pada tahun 1966 (lihat misalnya Hutagalung 1985, Lucas and Bachriadi 2009). Selain itu, politik agraria yang dikembangkan rejim Orde Baru hingga kini tidak lagi menempatkan tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan hanya menempatkan aspek pengaturan hak atas tanah sebagai suatu pekerjaan administratif rutin semata (Wiradi 2000: 143). Aspek peningkatan produksi dijadikan orientasi utama dan mengabaikan soal keadilan di dalam struktur-struktur usaha produksi tersebut. Peningkatan produksi pangan kemudian disandarkan kepada program Revolusi Hijau yang dijalankan dengan mengabaikan kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkannya khususnya dalam soal penguasaan tanah (lihat misalnya Franke 1972, Manning 1988, Husken 1998: 37-

38, dan Wiradi 2000: 141-148). Peningkatan produksi juga dilakukan melalui dikembangkannya usaha perkebunan, dengan

cara merevitalisasi perkebunan-perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, yang kemudian disusul dengan penerbitan sejumlah HGU baru untuk perusahaan perkebunan swasta. Banyak perusahaan perkebunan swasta berkehendak mengambil alih pengelolaan sejumlah perkebunan besar peninggalan Belanda yang sudah tidak beroperasi yang dalam banyak kasus tanah-tanah eks-perkebunan tersebut sesungguhnya sudah digarap secara produktif oleh masyarakat setempat (lihat misalnya Bachriadi 1997 dan 2002; dan Bachriadi dan Lucas 2001). Akibatnya tidak sedikit kasus-kasus dimana sekelompok petani penggarap harus meninggalkan lahan pertaniannya dengan ganti rugi yang tidak memadai atau bahkan tanpa kompensasi apa pun hanya untuk alasan pembangunan perkebunan.

Begitu pula di wilayah- wilayah yang diklaim sebagai kawasan “hutan negara”,- penduduk setempat harus “mengalah’ karena lahan garapan atau kawasan tempat tinggalnya sudah diberikan persetujuan hak kuasanya kepada perusahaan tertentu untuk dikelola sebagai bagian dari pembangunan industri kehutanan maupun pertambangan (lihat misalnya Djuweng 1996 dan Bachriadi 1998). Ketika seluruh perencanaan ini dibuat dan terdapat kajian yang telah memperhitungkan dampak yang akan timbul, termasuk dampak harus memindahkan Begitu pula di wilayah- wilayah yang diklaim sebagai kawasan “hutan negara”,- penduduk setempat harus “mengalah’ karena lahan garapan atau kawasan tempat tinggalnya sudah diberikan persetujuan hak kuasanya kepada perusahaan tertentu untuk dikelola sebagai bagian dari pembangunan industri kehutanan maupun pertambangan (lihat misalnya Djuweng 1996 dan Bachriadi 1998). Ketika seluruh perencanaan ini dibuat dan terdapat kajian yang telah memperhitungkan dampak yang akan timbul, termasuk dampak harus memindahkan

III. Tanah Perkebunan dan Perhutani versus Tanah Pertanian Rakyat di Batang

Batang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terletak di jalur pantura 84 km sebelah barat kota Semarang. Terletak antara 6º 51' 46" dan 7º 11' 47" Lintang Selatan dan antara 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Merupakan salah satu kabupaten propinsi Jawa Tengah dikukuhkan dengan berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 1965. Tepatnya tanggal 8 April 1966, Kab. Batang resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Batang. 31

Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luasan wilayah 78.895 Ha 32 , terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan yang menguasai 6.308,75 ha 33 . Artinya, sekitar