Studi Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sistem Penetapan Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati Di PT. Perhutani

STUD1 FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT
PERIJBAHAN SISTEM PENETAPAN
HARGA JUAL DASAR KAYU BUNDAR JATI
DI PT. PERHUTANI

OLEH :
NANANG SUGIHARTO

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
NANANG SUGIHARTO. Studi Faktor Pendorong dan Penghambat
Perubahan Sistem Penetapan Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati Di PT.
Perhutani. Di bawah bimbingan HARIADI KARTODIHARDJO dan
DUIIUNG DARUSMAN.
Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor pendorong dan penghambat
perubahan sistem penetapan harga jual dasar (HJD) kayu bundar jati berada pada
unit pengelolaan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), mengingat kebijakan yang
saat ini diberlakukan oleh PT. Perhutani ditetapkan secara seragam (one price

policy) pada seluruh unit pengelolaan dengan niengabaikan kondisi dan situasi
lokasi tempat tumbuh tanaman jati, serta menempatkan tegakan di luar sistem
akuntansi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif dari
hasil wawancara dan pengisian quisioner oleh para aktor PT. Perhutani yang
dinilai cukup memahami persoalan sistem penetapan HJD kayu bundar jati.
Metoda yang digunakan adalah Analytic Hierarchy Process (AHP), dengan
analisa hierarki keputusan. Hierarki keputusan yang digunakan dibagi menjadi
dua, yaitu : Hierarki untuk mengetahui faktor-faktor pendorong dan hierarki untuk
mengetahui faktor-faktor penghambat, jika penetapan HJD berada pada tingkat
KPH tersebut diimplementasikan.
Sistem yang diberlakukan saat ini menyebabkan terjadinya economic loss
yang sangat besar per m3 kayu jati dan biasnya kinerja perusahaan. Kondisi ini
menyebabkan inefisiensi yenggunaan sumberdaya alam tegakan jati, karena HJD
yang ditetapkan tidak sesuai dengan nilai tegakannya. Namun demikian,
meskipun penetapan harga dan sistem akuntansi perlu disempurnakan, namun
hasil penelitian menunjukkan penyempurnaan tersebut belum bisa
diim13lementasikan.Persepsi para aktor yaitu ha1 tersebut sulit dan memerlukan
waktu lama sebagai faktor penghambat yang menempati prioritas pertama. Faktor
penghambat tersebut berkait dengan resistensi perubahan perilaku organisasi

PT. I'erhutani yang disebabkan oleh : (a) pengaruh tidak langsung, yaitu : budaya
manusia Indonesia yang memiliki kesadaran akan tanggungjawab yang rendah,
budaya perusahaan di Indonesia yang kurang adaptif terhadap pembaharuan, sikap
feodalistik dan paternalistik yang dirasakan cukup kuat dalam tubuh
PT. Perhutani,
(b) pengaruh langsung, yaitu : motif kepentingan individu
pengambil keputusan, yang apabila dilakukan perbaikan sistem penetapan HJD
akan merugikan kepentingan individu berdasarkan harapan-harapan rasionalnya
(rational expectations), serta lemahnya insentif pelaksanaan kebijakan.
Perbaikan penetapan HJD yang dapat dilakulcan adalah pendekatan terhadap
transformasi yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PT. Perhutani dengan
melaltukan penyempurnaan institusi, baik penyempurnaan aturan main maupun
penataan organisasi serta penetapan ukuran kinerja sistem penetapan HJD kayu

bundar jati, melalui pemaksaan (coercion) yang diwujudkan dalam bentuk surat
keputusan.
Agar perbaikan penetapan HJD ini sesuai dengan rational
expectations individu, maka perlu diberlakukan sistem insentif.
Penelitian ini menyarankan, (a) perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan
melibatkan aktor di luar PT. Perhutani (LSM, pemerintah daerah, dinas

kehutanan, konsumen, dll.). Hal ini diperlulan untuk mengetahui persepsi mereka
bagaimana sistem penetapan HJD kayu jati yang sebaiknya dilakukan oleh
PT. Perhutani; (b) oleh karena harga jual dasar kayu bundar jati bersifat dinamis,
serta hubungan antara institusi dan perilaku organisasi bersifat kompleks dan
mengandung ketidak-pastian, maka penelitian dengan topik yang sama perlu
dilakukan secara periodilt, guna penyesuaian kebijakan penetapan HJD
selanjutnya; dan (c) kayu bundar jati merupakan salah satu dari berbagai macam
produk PT. Perhutani. Oleh karena itu, penelitian sejenis perlu dilakukan
terhadap produk-produk lainnya sebagai dasar penetapan kebijakan harga tentang
produk tersebut khususnya, dan ltebijakan PT. Perhutani umurnnya.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

"STUD1 FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PERUBAHAN
SXSTEM PENETAPAN HARGA JUAL DASAR KAYU BUNDAR JATI
DI PT. PERHUTANI"
adallah benar hasil karya saya sendiri dan belurn pernah dipublikasikan. Semua
suml~erdata dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, 18 Februari 2002

N a n a n ~~uiiharto
Nrp. 9970008

STUD1 FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT
PERUBAHAN SISTEM PENETAPAN
HARGA JUAL DASAR KAYU BUNDAR JATI
DX PT. PERHUTANI

OLEH :
NANANG SUGIHARTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan


PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

Studi Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan
Sistem Penetapan Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati
Di PT. Perhutani
: Nanang Sugiharto
: 9970008
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
:

Nanla Mahasiswa
Nonlor Pokok
Program Studi

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing


Dr. lr. Hariadi Kartodihardio, MS.
-

Prof. Dr. Ir. Dudunn Darusman, MA.
Anggota

Ketua

/+

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi
Ilmu Penget'ahuan Kehutanan

/

C


/

Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS.

Tanggal Lulus

:

18 Februari 2002

a Manuwoto, MSc.

RIWAYAT HPDUP

I'enulis dilahirkan di Bangkalan, salah satu kabupaten di P. Madura pada
tanggal 13 Juli 1967 dari Bapak R.H. Soetomo dan Ibu Supiani, merupakan putra
keenarn dari tujuh bersaudara. Masa kecil penulis hingga tamat SLTA, dihabiskan di
Pulau Garam tersebut. Pada tal~un1972 penulis masuk SDN Teladan I Kecamatan
Kelampis, tahun 1979 melanjutkan pendidikan di SMPN Kecamatan Sepulu, serta
pada tahun 1982 melanjutkan ke SMAN I Kabupaten Bangkalan.

I'ada tahun 1985 penulis diterima di IPB melalui jalur Sipenmaru. Tahun 1986
masuk Fakultas Kehutanan, dan pada tahun 1987 masuk Jurusan Manajemen Hutan,
serta pada tahun berikutnya memilih Program Studi Politik, Ekonomi dan Sosial
Kehutanan. Penulis menyelesaikan pendidikannya di IPB tahun 1992.
Sejak sebelum lulus, tepatnya tahun 1990 penulis bekerja sebagai tenaga lepas
pada beberapa perusahaan konsultan kehutanan hingga diterima di Perum Perhutani
pada tahun 1994 dan tetap bekerja di situ sampai sekarang. Pada tahun 1999 penulis
mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB, serta memilih
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
E'ada tahun 1995 penulis menikahi Rifa Windriarti, Ssi. putri ketiga dari Bapak
H. Hatfi Soeripno dan Ibu Fatimah Rahayu, serta telah dikaruniai dua orang putra-

putri, yaitu : Abyan Naufal Amanullah Sugiharto (6 tahun) dan Adila Naura Iftinan
Sugiharto (2,5 tahun).

vii

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, karena atas

perkenan-Nya-lah, tesis dengan judul : Studi Faktor Pendorong dan Penghambat
Perubahan Sistem Penetapan Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati Di PT.
Perhutani, akhirnya dapat diselesaikan.

Tesis ini tidak akan dapat benvujud tanpa bantuan dan dukungan dari
berbi~gaipihak. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan secara khusus
penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas waktu, perhatian,
bimbingan serta dorongan semangat yang tulus kepada penulis mulai dari
pembukaan wawasan yang luas, pengajuan topik, penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga pada penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc. beserta staf Program Pascasarjana dan

Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS. beserta staf Jurusan Ilmu Pengetahuan
Kehutanan atas pelayanan kemahasiswaan dan akademik yang telah diberikan.
3. PT. Perhutani atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
nielanjutkan pendidikan pascasarjana dan melaksanakan penelitian.
4 . Abah dan Ebok di Bangkalan, Bapak dan Ibu di Malang yang tak pernah


kering akan doa, serta keluarga besar lainnya atas dorongan semangatnya.

5. Istri tercinta Rifa Windriarti atas segala doa, pengorbanan, kesabaran dan
keikhlasannya, serta anak-anak tersayang Abyan dan Adila atas keceriaan dan
kepolosannya yang membangkitkan sernangat.
6. Keluarga Wanhar Saepudin atas pondokannya serta rekan-rekan kost Siregar,
Chairil dan Tio atas kebersamaannya sebagai sesama perantauan.

7. Keluarga Hery Rayadi, Keluarga Andi DePe, Keluarga Arief R.M. Akbar,
Keluarga Purwaka, Mas Agus, Yoyok, Utomo, Muklis, Cicing, serta rekanrekan Cikoneng lainnya ya.ng tidak dapat disebutkan satu per satu, atas
bantuannya baik materiil maupun non materiil.
8. Rekan-rekan seangkatan dari Perhutani : Yayan, Aulia, Wijanarko, Ronald,
Aries, Yuri, Zeni, Henry, Budi dan Sudarwanto, teman-teman diskusi :
Ambar, Syahrul dan teman-teman Jurusan IPK angkatan 1999 atas waktu yang
telah diluangkan.
Doa yang tulus penulis panjatkan, semoga Allah SWT membalas jasa dan
budi baik yang telah diberikan kepada penulis dengan berkah dan pahala-Nya,
amin.
Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dari tesis ini, kritik dan

saran yang membangun sangat diharapkan.

Semoga hasil penelitian dapat

bermanfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan pengelolaan hutan oleh PT.
Perhutmi.
Bogor, Maret 2002

Penulis

DAFTAR IS1
Halaman
DAF TAR TABEL ............................................................................................ xi
DAF TAR GAMBAR .......................................................................................xii

...

DAF TAR LAMPIRAN ....................................................................................xi11
I.

PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A . Latar Belakang ................................................................................
1
B . Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 3

I1.

SITUASI SISTEM PENETAPAN HARGA JUAL DASAR SAAT IN1
A . Terdapat Economic Loss ...................................................................
B. Kinerja Perusahaan Dalam Laporan Keuangan Bias ........................

4
4
6

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODA PENELITIAN ...............
9
A . Institusi Sebagai Sarana Pembaharuan Sistem Penetapan HJD ........ 10
B . Perurnusan Masalah .......................................................................... 13
C . Hipotesis ......................................................................................... 13
13
D. Metoda Penelitian ...........................................................................
IV . KEADAAN UMUM PERUSAHAAN .................................................
A . Umum .............................................................................................
B. Potensi dan Produksi PT . Perhutani ..................................................
.....................
C. Sistem Penjualan Kayu Bundar Jati .........................
.
D. Sistem Penetapan Harga Jual Kayu Bundar Jati ...............................
V.

HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
A . Respon Terhadap Penetapan HJD pada KPH .................................
B . Perilaku Organisasi .........................................................................
C . Pendekatan Perubahan Terhadap Sistem Penetapan HJD ................

27
27
29
31
34
38
38
46
54

VI . RINGKASAN HASIL PENELITIAN. KESIMPULAN DAN SARAN 67
A . Ringkasan Hasil Penelitian dan Kesimpulan .................................... 67
B . Saran .................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................70
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Economic Loss Sebagai Akibat One Price Policy Kayu Bundar
Jati di PT. Perhutani .......................................................................... 5

2 Perbandingan Analisis Laporan Keuangan Menurut Sistem
Akuntansi Hutan (SAH) dengan PSAK 32 ........................................ 18
3 Bobot dan Prioritas Faktor Penghambat Matrik Pendapat
Individu dan Gabungan Perubahan Penetapan HJD Berada pada
Tingkat KPH ...................................................................................... 40

4 Bobot dan Prioritas Faktor Pendorong Matrik Pendapat Individu
dan Gabungan Perubaharl Penetapan HJD Berada pada Tingkat
KPH ....................................................................................................43

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penyeinpurnaan Institusi Sistem Penetapan
Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati .................................................

12

2 Hirarki Faktor-faktor Fendorong Perubahan Sistem Penetapan
Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati ................................................... 16

3 Hirarki Faktor-faktor Penghambat Perubahan Sistem Penetapan
Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati ................................................... 24
4 Sistem Penetapan Harga Jual Kayu Bundar Jati di PT. Perhutani .....

37

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Harga Jual Dasar Kayu Bulat Jati Tahun 1996 dengan Mutu
Rata-rata (Andayani. 1998)................................................................ 73

2 Biaya Tegakan Jati Pada Berbagai Daur (Andayani. 1998)...............

74

3 Harga Jual Dasar Kayu Bulat Jati Tahun 2001 .................................. 75
4 Bobot Faktor-faktor Penghambat Perubahan Sistem Penetapan
HJD Kayu Bundar Jati di PT. Perhutani ............................................ 80

5 Bobot Faktor .faktor Pendorong Perubahan Sistem Penetapan
HJD Kayu Bundar Jati di PT . Perhutani ............................................ 81

I.

PENDAHULUAN

A. I.,atarBelakang
Masalah umum yang dihadapi sebagian besar perusahaan, tidak luput dari
masalah penentuan harga jual produknya.

Sebab kesalahan dalam penentuan

harga, berakibat perusahaan akan mengalami kerugian bahkan kegagalan dalam
melanjutkan usahanya. Demikian pula halnya dalam dunia usaha kehutanan,
penetapan harga jual kayu sebagai produk tegaltan menjadi sangat penting
mengingat keunikan sifat hutan itu sendiri, yaitu : (1) pabrik sekaligus merupakan
produknya, sehingga lokasi produksinya bersifat permanen atau tidak dapat
dipindahkan, (2) jangka waktu pembentukan tegakan memerlukan waktu yang
sangat lama, bisa mencapai puluhan tahun, dan (3) penebangan tegakan sangat
mempengaruhi keseimbangan linglmngan, sehingga riap merupakan pedoman
untuk menaksir produksi.
Berkaitan dengan keunikan sifat tersebut, penetapan harga jual kayu oleh
sebuah perusahaan kehutanan menjadi lebih rumit bila dihubungkan dengan
beragamnya situasi dan kondisi pada masing-masing lokasi produsen kayu dalam
satu perusahaan, ditambah %agidengan sistem akuntansi yang dianut yang masih
menempatkan stock sumberdaya hutan di luar sistem akuntansi.

Namun

sebaliknya, penetapan harga jual kayu bundar akan lebih sederhana apabila nilai
tegakan pada masing-masing loltasi produksi diketahui, serta diterapkannya sistem
akunlansi yang menempatltan tegakan sebagai asset perusahaan. Peran keduanya

2
tersebut sangat penting mengingat dalarn nilai tegakan dapat diketahui seluruh
biay;~yang dikeluarkan dalam pembentukan tegaltan, serta dalam laporan labarugi perusahaan dapat diketahui harga pokok penjualan sebagai dasar harga jual
kayu per satuan kubikasinya.
Kedua ha1 tersebut tidak nampak pada sistem penetapan harga jual dasar
kayu bundar jati di PT. Perhutani. Permasalahan utama pada sistem yang
dibe1.1akukan adalah strategi penyamarataan harga jual dasar (HJD) kayu bundar
jati pada seluruh daerah produsen (dalam ha1 ini Kesatuan Pemangkuan
HutadKPH), serta sistem akuntansi yang dianut masih menempatkan stock
sumt~erdayahutan di luar sistem akuntansi.
Persepsi yang mengemulta jika HJD ditetapkan pada masing-masing KPH
serta sistem akuntansi yang menempatkan tegakan sebagai asset perusahaan
adalah bahwa kedua kebijakan tersebut sulit untuk diimplementasikan.
Pertanyaannya adalah, mengapa kesulitan-kesulitan tersebut dapat dihindari,
sehingga menjadi hambatan pembaharuan sistem penetapan harga yang lebih
sesu~iidengan kondisi nyata di lapangan. Sebenarnya telah banyak hasil-hasil
penelitian, baik yang menyangkut nilai tegakan dan kaitannya dengan harga jual
kayu bundar jati maupun penelitian tentang sistem akuntansi hutan yang
memasukkan tegaltan sebagai asset perusahaan.

Namun demikian, jika

pengetahuan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah solusi dalam mengatasi
kesulitan yang menjadi hambatan, maka persepsi yang muncul adalah tidak ada
masalah pada sistem penetapan HJD ltayu bundar jati (no solution, no problem).
Sebaliknya, jika pengetahuan tersebut dianggap sebagai suatu solusi yang menuju

3

ke arah pembaharuan, mc&a sebenarnya terdapat masalah dalam sistem penetapan
HJD kayu bundar j ati.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh
pengetahuan, mengapa institusi tersebut, dalam arti aturan main yang diwujudkan
dalarn bentuk seperangkat peraturan dan kebijaksanaan penetapan HJD kayu
bundar jati masih diberlakukan oleh PT. Perhutani hingga saat ini. Mengapa
institusi dalam pengertian organisasi tidak adaptif dan responsif dengan berbagai
macam pengetahuan yang sudah tersedia.

B. I'ujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor pendorong dan
penghambat perubahan kebijakan penetapan harga jual dasar kayu bundar jati
berdasarkan lokasi tempat tumbuh tanaman jati (KPH), dengan sasaran :
kebi-jakan, perilaku organisasi, dan kinerja sistem penetapan HJD kayu bundar jati
yang saat ini diberlakukan, hubungannya dengan harapan-harapan rasional
(rational expectations) jika kebijakan penetapan HJD berada pada tingkat KPH

tersebut diimplementasikan.
Sesuai dengan tujum tersebut, diharapkan hasil penelitian ini dapat sebagai
masukan bagi PT. Perhutani dalam mengadopsi sistem penetapan HJD kayu
bundar jati di masa mendatang. Sedangkan bagi peneliti sendiri adalah untuk
memperoleh pengetahuan mengenai impleinentasi institusi, dalam arti aturan
main, dan implikasinya terhadap perilalu dan kinerja organisasi.

11.

SITUASI SISTEM PENETAPAN HJD SAAT IN1

A. Terdapat Economic Loss

Bagi manajemen sebuah perusahaan, penetapan harga merupakan salah satu
keputusan yang penting, tidak terkecuali bagi PT. Perhutani. Hal ini berkaitan
dengan kayu jati yang hingga saat ini masih merupakan produk andalan
PT. Perhutani. Menurut Gittinger (1 986) semua analisa-analisa keuangan dan
ekonomi menggunakan suatu asumsi bahwa harga merupakan gambaran dari nilai,
sehingga bisa dikatakan bahwa harga dari sesuatu barang atau jasa merupakan
nilai barang atau jasa tersebut pada suatu tempat dan waktu tertentu. Demikian
juga dalam dunia usaha kehutanan, harga tegakan merupakan nilai dari tegakan
tersebut pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dengan kata lain, harga dasar
suatu komoditas hasil hutan kayu adalah nilai tegakannya.
Nilai tegakan (stumpage value), rnenurut Davis (1954) di masing-masing
lokasi produsenlpengelola sebenarnya tidak sarna. Perbedaan tersebut antara lain
terlelak pada beberapa parameter dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
yaitu : (I) dalnr ekonomi, (2) keadaan hutan, (3) geografis hutan dan ( 4 )komponen
biaya pembentuknya.

Parameter tersebut sesuai dengan tanaman jati

PT. Perhutani, yaitu tersebar di seluruh Jawa, dengan kondisi tempat yang
berbeda, situasi sosial yang tidak sama serta daur antara 40 hingga 80 tahun.
Namun penetapan HJD kayu bundar jati di PT. Perhutani, ditetapkan
melalui suatu kebijakan harga yang seragam (one price policy) pada semua lokasi

produsen (KPH) tanpa mempertimbangkan parameter yang telah dikemukakan
oleh Davis dan asumsi dari Gittinger tersebut. Kebijakan ini, menurut Andayani
(1998) hanya sesuai untuk diterapkan pada daur ekonomi 40 tahun apabila analisis
finansial menggunakan tingkat bunga riil 9% per tahun.

Oleh sebab itu,

penetapan HJD kayu bundar jati oleh PT. Perhutani untuk daur di atas 40 tahun
ternyata masih berada di bawah biaya produksinya, sehingga dianggap tidak
rasional karena harga tersebut sebenarnya masih disubsidi surnberdaya alam.
Implikasi lainnya dari kebijakan tersebut adalah terdapat economic loss
yang sangat besar, seperti tertera pada tabel berikut :
Tabel 1.
Volume
Yang
Dipasar
-kan ')

Economic Loss Sebagai Akibat One Price Policy Kayu Bundar
Jati di PT Perhutani.
Harga
Yang
Diberlakukan 3,

Harga
Seharusnya 4,
(x 1.000)

Income 1
(2 x 3)
(x 1000)

( ~ ~ / m ~( ~) ~ / m ~ )( Rp)
(m3)
4
2
5
3
59.747.482
12.650
111.976
533.574
105.975.570
782.795
12.650
135.381
1999 95.876 1.053.525
101.007.763
12.650
12.650
677.025
80.983
54.827.516
Sumbar : Statistik Perum Perhutani Tahun 1996 - 2000
Keterangan :

Income 2
(2 X 4)
(x 1000)

Opportunity
Loss
(x 1000)
(6 - 5)

(Rp)
6
1.416.496.400
1.712.569.650
1.212.831.400
1.024.434.950

(Rp)
7
1.356.748.918
1.606.594.080
1.111.823.637
969.607.434

Economic
Loss
(7 : 2)

(~~/rn~)
8
12.116.42
11.867.20
11.596.47
11.972.97

1) Data Tahun 1997 tersedia tidak lengkap.
2) Jumlah realisasi volume penjualan sortimen Kayu Bundar Kecil, Kayu Bundar Sedang, dan
Kayu Bundar Besar, melalui sistem penjualan dengan perjanjian, penjualan langsung dan
penjualan lain-lain.
3) Harga rata-rata sortimen Kayu Bundar Kecil, Kayu Bundar Sedang dan Kayu Bundar Besar,
melalui sistem penjualan dengan perjanjian, penjualan langsung dan penjualan lain-lain..
4) Berdasarkan hasil perhitungan Andayani (1998) pada tingkat suku bunga 9 % (Lampiran 2).

Dari tabel economic loss tersebut dapat diketahui, bahwa sebenarnya
pendapatan PT. Perhutani dari penjualan kayu bundar jati bisa ditingkatkan.

B. Kinerja Perusahaan Dalam Laporan Keuangan Bias
Kayu bundar jati yang diperdagangkan berasal dari kayu pohon berdiri
(stumpage) di hutan. Menurut Gregory (1974) dalam Andayani, (1998), proses
terjadinya tegakan (stumpage) di hutan adalah merupakan proses produksi.
Berbeda dengan perusahaan pada umumnya, asset' perusahaan hutan mempunyai
pengertian tersendiri, karena kayu di hutan berfungsi ganda yaitu dapat sebagai
aset tetap (fixed asset) pada saat pohon masih berdiri dan dapat sebagai produk
saat pohon sudah ditebang. Oleh karena itu dalam penilaian aset perusahaan
hutan sebenarnya yang dinilai adalah tegakan yang sedang mengalami
pertumbuhan (growing stock) (Openshaw, 1980).
Dalam perusahaan pada umumnya, terdapat perputaran yang cepat dari
produk. Sedangkan stock hanya merupakan bagian kecil dari produksi tanaman.
Dalam perusahaan hutan terjadi sebaliknya.

Pada waktu tertentu terdapat

perbandingan yang tinggi antara stock dan produksi tahunan, dengan besaran yang
berviiriasi antara

5 : 1 pada hutan tanaman jenis kayu cepat tumbuh, sampai 50 :

1 pada hutan alam atau hutan tanaman jenis lambat tumbuh (Openshaw, 1980).
Dengan demikian pengamanan dan pengadaan stock dalam perusahaan hutan
sangat penting.
Seperti telah diketahui, sistem akuntansi kehutanan di Indonesia mengacu
pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomer 32. Pada Bab

1.

Asset, menurut Livingstone (1994), merupakan sumber-sumber, dimiliki atau dikuasai oleh
perusahaan, memiliki manfaat di masa yang akan datang. Manfaat-manfaat ini harus dapat
dlukur dalam ukuran moneter.

7
Penciahuluan butir 02 PSAK tersebut dinyatakan bahwa "pengertian hasil dalam
pengusahaan hutan meliputi : (1) hasil tebangan, (2) hasil olahan, dan (3) hasil
lzutan lainnya. Dari pernyataan tersebut, PSAK 32 menganggap growing stock
bukan sebagai hasil (output produksi).
Serrlentara itu pada Bab Aktiva, dinyatakan bahwa "hasil hutan yang telah
berada di TPN dan lokasi peng~mpulan/penimbunanhasil hutan harus dibukukan
sebagai persediaan". Dari pernyataan tersebut potensi yang ada di hutan tidak
diperhitungkan sebagai persediaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa PSAK 32
menganggap potensi sebagai bahan baku (bukan sebagai output produksi) yang
dipel-oleh tanpa pengorbanan biaya, atau dengan pernyataan lain bahwa pada
PSAK 32 stock sumberdaya hutan ditempatkan diluar sistem akuntansi, sehingga
gambaran persediaan tegakan tidak nampak pada neraca keuangan dalam satu
periode akuntansi. Menurut Kamarudin (2000), dengan tidak diperhitungkannya
grouting stock ini sebagai aset perusahaan dalarn laporan keuangan, maka kinerja
perusahaan yang nampak dalam laporan keuangan adalah bias.

Kebiasan ini

dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Apabila dalam satu siklus akuntansi terjadi perusakan tegakan yang besar,
nlaka kinerja perusahaan &an tetap baik, sungguhpun tegakannya mengalami
kerusakan.
2. Apabila perusahaan melakukan overcutting, maka kinerja perusahaan akan
nleningkat, yang sebenarnya peningkatan ini bukan disebabkan karena makin
e fektifnya perusahaan, tetapi karena eksploitasi yang berlebihan.

8
3. Iknetapa11 harga pokok kayu akan bias, karena nilai tegakan yang dipungut
dan mengalami kerusakan, tidak diperhitungkan sebagai beban produksi.
Sebagai pengelola hutan sudah selayaknya KPH mempunyai perhitungan
biaya produksi dan neraca perusahaan berdasarkan RPKH yang telah disusun.
Perhitungan ini sebagai dasar penetapan harga jual dasar kayu bundar jati.
Disiliilah pentingnya KPH mengetahui nilai tegakan yang dimiliki, yang salah
satu komponen penghitungannya adalah daur dan kondisi dimana tegakan tersebut
tumhuh.

111.

KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODA PENELITIAN

Dari uraian mengenai situasi sistem penetapan harga jual dasar (HJD) kayu
bundar jati pada bab sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa kelemahan kebijakan
sistem tersebut adalah terdapat economic loss yang besar serta kinerja perusahaan
dala~nlaporan keuangan menjadi bias, dan seperti juga telah disinggung pada Bab
Pendahuluan, perilaltu peserta organisasi menganggap bahwa pengetahuan
penetapan harga yang sebenarnya sudah tersedia bukan merupakan solusi,
sehingga persepsinya adalah tidak ada masalah dengan sistem yang berlaku saat
ini. Xmplikasi dari kondisi tersebut adalah kinerja sistem penetapan HJD kayu
bundar jati yang diberlakukan saat ini menyebabkan inefisiensi penggunaan
sumberdaya alam tegakan jati, karena HJD yang ditetapkan tidak sesuai dengan
nilai tegakan jati.
Berikut akan diuraikan kerangka pemikiran yang dapat menjelaskan bahwa
penyempurnaan institusi2, berperan sebagai titik masuk perbaikan sistern
penetapan HJD kayu blandar jati, dalam rangka optimalisasi kinerja sistem
tersebut. Hipotesis dan metodologi penelitian dirumuskan berdasarkan sintesis
antara kerangka pemikiran dan permasalahan sistem penetapan HJD kayu bundar
jati saat ini. Pada bagian akhir, diuraikan mengenai metoda penelitian.

2. Terdapat dua pengertian rnengenai institusi atau kelembagaan, yaitu sebagai aturan main dan
scbagai organisasi. Seperti halnya institusi, organisasi menyediakan mekanisme yang
mengatur hubungan antar individu. Namun demikian dapat dibedakan, aturan yang ada dalam
kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain-pemain yang terlibat atau
oa-ganisasi-organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan yang ada dalam organisasi ditujukan
mltuk memenangkan dalain permainan tersebut (Kartodihardjo 1998b).

10
A. lnstitusi Sebagai Sarana Pembaharuan Sistem Penetapan HJD

Dalam suatu sistem ekonomi, terdapat tiga komponen yang saling
mempengaruhi satu sama lain, yaitu kondisi lingkungan, respon dan reaksi
pelaku-pelaku ekonomi terhadap lingkungan yang dihadapinya, serta kinerja
ekonomi yang diakibatkannya. Konsep eltonomi ini disebut konsep lingkunganperilaku-kinerja.

Bentuk kesempatan yang tersedia (opportunity sets) dalam

lingkungan tergantung dari aturan main yang bersifat formal seperti peraturan
pemerintah, maupun informal seperti kebiasaan, adat-istiadat dan lain-lain. Aturan
main tersebut merupakan bentuk institusi yang menentukan interdepedensi antar
indikidu atau kelompok masyarakat yang terlibat.

Implikasi bentuk

interdepedensi tersehut mengakibatkan 'siapa mendapatkan apa" dalarn suatu
sistein ekonomi tertentu (Kartodihardjo, 1998b).
Demikian juga dalam teori ekonomi dikenal teori insentif. Insentif, baik
positif (reward) maupun negatif (cost/penalty/disincentive) mempengaruhi
manusia dalam menjalankan perannya baik sebagai pelaku kegiatan ekonomi
maupun sebagai pengelola impact and incident dari perbuatannya.

Konsep

insentif mencakup juga non material rewards disamping economic cost dan
benefit. Keputusan manusia sebagai homo economicus untuk melakukan atau
tidak melakukan kegiatan ekonomi ditentukan oleh incentive yang dihadapinya,
baik yang material maupun non material. Keputusan manusia dapat berubah jika
insentif yang dihadapjnya berubah (Kartodihardjo, 1998a).
Jika perilaku no solution no problem pada peserta organisasi PT. Perhutani
dihuhungkan dengan opportunity sets saat ini, bisa dinyatakan bahwa kondisi

11
tersebut merupakan implikasi dari institusi penetapan HJD yang diberlakukan, dan
pada akhirnya menghasilkan kinerja sistem tersebut. Yang diperlukan disini
adalah pembaharuan atau penyempurnaan institusi terhadap sistem yang
dibe1.1akukansaat ini .
Pembaharuan pada dasarnya melakukan perubahan sikap atau perilaku
(behavior) untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Perubahan perilaku

itu sendiri adalah implikasi dari penataan institusi dan penetapan kinerja. Penataan
instilusi

tanpa

adanya

ukuran-ukuran

kinerja yang sesuai, hanya akan

menimbulkan keterpaksaan untuk melakukan suatu kegiatan, yang akan lebih
terdorong untuk menyelesaikan aspek administratifnya daripada output dan

outcome kegiatan tersebut, sehingga akan menghambat pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan (Kartodihardjo, 1999).
Dari uraian tersebut, penyempumaan institusi sistem penetapan HJD kayu
bundar jati tidak. hanya terbatas pada penataan organisasi sistem penetapan harga
dan peratutan-peraturan yang mendorongnya, melainkan juga pada penetapan
kinerja serta pemberian insentif pada sistem tersebut. Adapun skema kerangka
pemi kiran adalah sebagai berikut :

+

Opportunity sets

i Penyempurnaan institusi

1

Opportunity sets baru

Sistem Penetapan HJD

diberlakukan :
Terdapat
economic
loss yang sangat besar
dan kinerja perusahaan dalam laporan
keuangan bias
Kelemahan
peserta
organisasi penetapan
HJD saat ini: sikap
atau perilaku no solutioiz, no problem
Ukuran
realisasi

kinerja :
penjualan

Lingkungan
Garnbar 1.

:

Lingkungan

Kerangka Pemikiran Penyempurnaan Institusi Sistem Penetapan Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati.

B. E'erumusan Masalah
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, merupakan suatu ha1 yang
meniuik untuk dilakukan penelitian, apa latar belakang penerapan kebijaksanaan
satu harga tersebut? Mengapa kebijakan tersebut masih dipertahankan? Serta
pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih mengarah pada implikasi kebijakan jika
pene tapan HJD kayu bundar jati berada pada masing-masing KPH.

C. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah : Kebijakan penetapan HJD berada pada
tingkat KPH dapat diimplementasikan, apabila sesuai dengan harapan-harapan
rasional (rational expectations) peserta organisasi PT. Perhutani.

D. Metoda Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, metoda pelaksanaan
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.

Data dan Jenis Data
Sumber data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :

a. Hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang menyangkut nilai tegakan
hubungannya dengan harga kayu jati, maupun nilai tegakan kaitannya dengan
kelestarian dan sistem akuntansi pengelolaan hutan jati.

14

b. Data kualitatif3, yang diperoleh dari hasil pembicaraan dan persepsi dengan
beberapa aktor yang terkait dengan topik ini. Data diperoleh dari wawancara
sekaligus menyebarkan kuisioner kepada beberapa aktor yang dinilai cukup
memahami persoalan penetapan harga jual kayu bundar jati.

Hal tersebut

mutlak dilakukan untuk mengetahui lebih jauh permasalahan yang terkait
dengan topik ini serta menggali persepsi mereka apabila rekomendasi hasil
penelitian ini akan dilaksanakan.
c. Bahan tertulis yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari data
sekunder tentang peraturan-peraturan, kebijakan, dan cara penetapan harga jual
kayu bundar jati baik yang berasal dari lingkup Departemen Kehutanan
maupun dari PT. Perhutani sendiri.

2.

Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu yang diperlukan untuk penelitian selama 3 bulan. Adapun surnber

data diperoleh dari Kantor Direksi PT. Perhutani, Kantor Unit I, Unit I1 dan Unit
111 serta beberapa KPH dalam lingkup masing-masing Unit tersebut.

3.

Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Pendekatan yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah melalui kajian

perbandingan manfaat - biaya (Benefit - Cost Ratio atau BCR). Manfaat atau

3. Data kualitatif adalah data deskripsi berupa kata-kata lisan atau tulisan manusia (Sitorus,
1098).

15
keuntungan penetapan harga jual dasar pada tingkat KPH diperoleh dari hasilhasil penelitian terdahulu, yaitu :
a. Pendapatan KPH masih bisa ditingkatkan,
b. Kondisi stock masing-masing KPH nampak dalam laporan keuangan,

c. Output dan Harga Optimal dapat diketahui.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh KPH, bergantung pada bentuk
permasalahan dan harnbatan yang dihadapi pada masing-masing KPH.
Untuk mengetahui respon organisasi terhadap manfaat-manfaat tersebut
digunakan metoda Analytic Hierarchy ProcesslAHP (Saaty, 1993). Pada
penelitian ini, hierarki dipecah menjadi : hierarki faktor-faktor pendorong, serta
hierarki faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan, yaitu penetapan HJD
beratla pada tingkat KPH. Kedua hierarki terdiri dari 4 tingkat dan merupakan
hierarki lengkap karena masing-masing elemen pada suatu tingkat berhubungan
dengan elemen pada tingkat dibawahnya.
Apabila faktor-faktor pendorong diterjemahkan sebagai benejt dan faktorfaktor penghambat diartikan sebagai cost, serta benefit maupun cost tersebut tidak
dapal dikuantifikasikan, maka analisa BCR-nya ditentukan sebagai berikut :
Benqfit :Cost > 1,

maka penetapan HJD pada KPH dapat dilaksanakan.

Bene,St : Cost

maka penetapan HJD pada KPH tidak dapat dilaksanakan.

1,

Adapun struktur hierarki faktor-faktor pendorong, sebagai berikut :

I
Porensi
tegakan
dapat

Nilai aktiva
tegakan
dapat
dipatau

Faktor Pendorong

Kemainpuan
SDM

Otonomi
Daerah

I
Perubahan
Status
Perusahaan

Era
Globalisasi

I

I

Tujuan

Harga
optimal
diketahui

Garnbar 2.

1
Masih bisa
ditingkatkan

Sustainibilitas
tegakan nampak
dalam Laporan

Hirarki Faktor-faktor Pendorong Perubahan Sistem Penetapan
Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati.

17

Potensi tegakan dapat dipantau. Keberhasilan sebuah badan usaha tidak
cukup hanya dilihat dari kema~npuannyauntuk menciptakan keuntungan, tetapi
juga mampu menjaga keberlanjutan usahanya tersebut. Demikian juga dengan
PT. Perhutani, sebagai sebuah perusahaan kehutanan, hams

dapat menjamin

hutannya dikelola secara lestari (sustainable). Menurut Kamarudin (2000), pada
PSAK 32 tidak ada suatu variable yang dapat dipakai untuk mengukur
sustainibilitas

pengusahaan

hutan,

sehingga

PSAK

32

tidak

mampu

menampakkan adanya kriteria sustainibilitas. Di lain pihak Sistem Akuntansi
Hutan (SAH) mampu mengukur sustainibilitas pengusahaan hutan.

Hasil

penelitiannya di KPH Ngawi, sustainibilitas pengusahaan hutan KPH tersebut
adalah 99,35%. Jika angka tersebut tetap setiap tahunnya maka kurang lebih 157
tahun yang akan datang potensi KPH Ngawi akan habis.
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dinyatakan bahwa dalam rangka
pelestarian hutan, potensi tegakan perlu dimasukkan ke dalarn laporan keuangan
sebagai asset perusahaan. Integrasi potensi ke dalam neraca laporan keuangan ini
penting dalam pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian. Jika dari sudut
pandang ekonomi, laporan keuangan dapat menunjukkan kinerja perusahaan
dalarn bentuk likwiditas, solvabilitas dan profitabilitas, maka dari sudut pandang
kehu~tanan, laporan keuangan harus dapat menggambarkan sustainibilitas
peruslahaan. Dengan ini maka dalam pengusahaan hutan dari hulu sampai hilir,
dari perencanaan sampai keuangan, melekat azas kekekalan hutan.

Nilai aktiva tegakan dapat dipantau. Pernyataan ini merujuk pada hasil
penelitian UGM pada 1998 (UGM, 2000) melalui penelitiannya di KPH Cepu

yang mengoreksi neraca total. perusahaan (disebut sebagai neraca integratif) KPH
Cepu. Disebutkan dalam penelitian ini bahwa meskipun perusahaan (KPH Cepu)
menyatakan dirinya memperoleh laba sebesar Rp. 17,27 milyar selama tahun
1996, ternyata nilai aktiva total termasuk nilai aktiva tegakan mengalami
pentirunan dari semula berjumlah Rp. 6.005,05 milyar pada awal tahun 1996
meniadi sebesar Rp. 5.937,14 pada akhir tahun yang sama, atau menurun sebesar
Rp. 67,91 milyar.

Dengan menganggap bahwa nilai penyertaan modal

(dalam ujud aktiva tegakan hutan) yang diberikan pemerintah kepada PT.
Perhutani adalah semestinya tetap, maka sebenarnya KPH Cepu telah mengalami
kerugian sebesar Rp. 50,54 milyar selama (dalam) tahun 1996. Nilai kerugian
sebe:sar inilah sebenarnya yang menyebabkan penurunan aktiva total perusahaan
dalaln tahun 1996.
Kamarudin (2000) membandingkan laporan keuangan hasil penelitiannya
dengan laporan keuangan menurut sistem akuntasi PSAK 32 di KPH Ngawi
seperti ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 2. Perbandingan Analisis Laporan Keuangan Menurut Sistem
Akuntasi Hutan (SAH) dengan PSAK 32.

11 7
Uraian

Profitabilitas
opera:
(%)
Turnover of Operating Asset (x)
Rate o Return on Operating Assets (%)
Sustainibilitas %)
---

Sumbzr : Kamarudin (2000).

SAH

58,57
0,23
13,29
99,35

PSAK 32
60,04
10,68
64 1,47

-

19

Perbedaan pada operating margin disebabkan karena SAH memasukkan
volume tegakan yang diambil sebagai deplesi4 dan diperhitungkan sebagai beban,
sedangkan biaya persemaian, penanaman, perawatan, dan perlindungan
diperhitungkan sebagai barang dalam proses biaya growing stock. Sebaliknya
PSAK 32 tidak memperhitungkan
deplesi, akan tetapi memasul;kan

volume tegakan yang ditebang

sebagai

biaya persemaian, penanaman, perawatan

dan perlindungan sebagai beban.
Dalam kasus tersebut, karena volume penebangan lebih besar dari
pertumbuhan tegakan maka berakibat nilai deplesi tegakan lebih besar dari jumlah
biaya persemaian, penanaman, perawatan, dan perlindungan. Oleh karena itu

profit margin pada SAH lebih kecil dari PSAK 32.
Perbedaan pada turnover of operating asset
SAH memasukkan growing stock

yang cukup besar karena

sebagai asset yang jumlahnya cukup besar.

Perbedaan ini menyebabkan perbedaan yang besar pula pada rate of return on

operating assets.
Berdasarkan perbandingan rate of return on operating assets ini nampak
adanya kesesatan informasi yang tercanturn pada laporan keuangan PSAK 32.
Profitabilitas pengusahaan hutan KPH yang sebenarnya hanyalah 13,29%,
sementara pada laporan keuangan PSAK 32 sebesar 64 1,47%.

4.

Deplesi adalah pengambilan sumberdaya alain (Hermanson et a/, 1987 dalam Kamarudin,
2000) penanaman, perawatan, dan perlindungan sebagai beban.

20
Kemarnpuan SDM. Secara organisatoris Perhutani mempunyai struktur
organisasi yang mantap. Masing-masing unit lterja berperan secara maksimal
karena didukung oleh sumberdaya manusia yang handal.

Dengan jumlah

karyawan sampai tahun 2000 mencapai 15.847 orang (perbandingan sarjana :
diploma : SLTA + SLTP + SD

-

2 : 1 : 30) serta tenaga kerja kontrak sebanyak

11.120 orang, Perhutani diyakini mampu untuk melakukan perhitungan seperti
yang dirancang dalam kerangka pemikiran, yaitu perhitungan harga jual yang
mencerminkan nilai sumber daya alam hutan yang dikelola serta integrasi asset
tegakan dalam sistem akuntansi hutan.
Otonomi daerah. Sejalan dengan terjadinya perubahan dalam paradigma
pembangunan ekonomi secara menyeluruh, maka kerangka berfikir dalam
pengelolaan hutan juga inengalami banyak perubahan-perubahan.
pandangan tersebut

Perubahan

mulai dari peranan pengelolaan hutan yang dilakukan

pemr:rintah secara sentralistik akan mengarah kepada pengelolaan yang lebih
deseiitralistik.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah
mempunyai kewenangan dan tariggung jawab menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertangungiawaban kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah mensahkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lentang Pemerintahan Daerah, dan
berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2001, serta Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

21
Setiap daerah dituntut menggali sumber pendapatan sendiri untuk membiayai
keglatan pembangunan di daerahnya.

Salah satu sumber pendapatan daerah

menurut undang-undang tersebut adalah sektor Icehutanan.
PT. Perhutani (KPH) sebagai perusahaan pengusahaan hutan yang wilayah
opesasinya berada di daerah tentunya tidak bisa mengabaikan kedua undangun&mg tersebut. Sudah ada beberapa Daerah Tingkat I1 berencana melakukan
"akuisjsi" terhadap KPH untuk dijadikan BUMD, selain untuk memperoleh
pendapatan asli daerah, juga terkait dengan pengamatan mereka terhadap kinerja
perusahaan.

Kinerja perusahaan yang mereka angkat sebagai permasalahan

adalah apa yang nampak dalam pengamatan mereka, seperti makin banyaknya
tanah kosong, banjir dimana-mana, rumitnya birokrasi untuk membeli kayu, serta
tidak. ada perubahan secara signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Berdasarkan "tantangan jaman" dan realitas masalah pengelolaan hutan di
lapangan, PT. Perhutani lebih dituntut untuk menjalankan aktivitas yang dapat
memenuhi kepentingan publik, artinya PT. Perhutani perlu menempatkan virtue
masjarakat sebagai prinsip dalam merumuskan program-program kegiatannya.
Dala~nha1 ini orientasi PT. Perhutani adalah sebagai lembaga services. Tolok
ukur keberhasilannya ditetapkan berdasarkan kinerja ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam batas-batas ruang dan waktu yang relevan (Kartodihardjo,
1999).
Perubahan status perusahaan. Dengan terbitnya PP No. 14 tahun 2001,

status Perum yang selama ini melekat pada Perhutani berubah rnenjadi Persero.

22
Konsekuensinya, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen Perhutani
harusnya menyesuaikan seiring dengan perubahan statusnya. Der~ganberubahnya
status Perum menjadi Persero, image masyarakat sudah mulai terbentuk, yaitu
bahwa Perhutani akan berubah menjadi sebuah perusahaan yang proJit oriented,
dan akan mengabaikan peran-peran sosialnya terutama kepada masyarakat sekitar
hutan. Program-program sosial akan digantikan menjadi kegiatan-kegiatan yang
menghasilkan pendapatan. Jika selama menjadi Perum program-program sosial
tidal?: mencapai tujuan seperti yang diharapkan, terbukti dengan banyaknya
pencurian bahkan penjarahan, maka setelah menjadi Persero, tentunya programprogram sosial akan tidak ada, sehingga pencurian dan penjarahan akan lebih
mennngkat taj am.
Untuk menangkal image tersebut, dengan status persero yang telah
disandang, harapannya adalah terjadinya peningkatan kinerja perusahaan, melalui
efisiensi biaya, pencapaian keuntungan yang optimal, pendeknya birokrasi
pembelian kayu jati, kelestarian hutan tercapai serta redefinisi program-program
sosialnya.
Era globalisasi. Pada dekade tahun 1990-an beberapa pernyataan muncul

dari negara-negara industri di Eropa dan Amerika yang dikenal sebagai kampanye
anti kayu tropis. Perhatian masyarakat internasional terhadap masalah global di
bidang pembangunan sumberdaya alam secara nyata dimulai pada KTT Bumi
mengenai lingkungan hidup dan pembangunan di Rio de Janeiro, bulan Juni 1992.
Hal ini dikaitkan dengan rusaknya ekosistem hutan tropis terhadap peningkatan
suhu global bumi dan terbukanya lapisan ozon.

Dalam ha1 ini masyarakat

23

internasional menginginkan dilakukannya internalisasi

faktor kelestarian

lingkungan hidup dalam aktivitas ekonomi, mulai dari eksploitasi bahan baku,
proses produksi hingga pengemasan.

Sedangkan struktur hierarki faktor-faktor penghambat, sebagai berikut :

Perubahan sistem
penetapan harga jual
kayu bundar jati

I

KPH

1

I
Faktor Pengharnbat

1

-

Sulit Dan
Memerlukan
Waktu Lama

Timbul
CiejOlak1Pasar

Penetapan Harga
Bukan
Wewenang
Unit & KPH

I

Harga
optimal
diketahui

Masih bisa
ditingkatkan

Penetapan
HJD
Pada KPH

Gamhar 3.

Sustainibilitas
tegakan nampak
dalam Laporan

Penetapan
HJD Bukan
Pada KPH

Hirarki Faktor-faktor Penghambat Perubahan Sistem Penetapan
Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati.

25
Bukan lembaga profit murni. PT. Perhutani sebagai sebuah BUMN,
tentunya tidak semata-mata mencari keuntungan finansial dengan mengabaikan
peran masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal ini tercermin dari visi dan misi
PT. Perhutani seperti diuraikan pada Bab IV.
Visi dan misi tersebut diterjemahkan dalam program-program yang selain
mendatangkan keuntungan juga bersifat sosial. Dengan demikian, merupakan
suatil "beban sosial" apabila Perhutani hanya berorientasi pada pencarian
keuntungan semata.
Sulit dan Memerlukan Waktu yang Lama. Seperti diketahui, luas hutan
jati yang dikelola oleh Perhutani mendekati 1,5 juta hektar. Luasan ini terbagi
kedalam petak-petak atau anak petak yang masing-masing luasnya berkisar antara
4,O ha

-

50,O hektar, sehingga jumlah petaklanak-petaknya sangat banyak sekali.

Disamping itu, situasi dan kondisi yang wilayah pengelolaan sangat variatif, baik
daur, keadaan hutan, geografis hutan dan komponen biaya pembentuknya (Davis,
1954). Implikasinya, variasi kualitas sangat beragam sekali, disamping jenis
sorti~nenyang dihasilltan. Hal ini sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama
apabjla harga ditetapkan berdasarkan parameter Davis tersebut serta berdasarkan
sistern akuntansi yang memasukkan tegakan sebagai persediaan yang harus
diketahui setiap periode tahuifan. Berdasarkan prakiraan ini, penetapan harga
yang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan akan sulit dilaksanakan.
Timbul Gejolak Pasar. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi. Prinsip ini
sangat dipahami benar oleh PT. Perhutani, setiap kenaikan harga akan direspon

26
negatif oleh pasar. Dengan kata lain, kanaikan harga akan menyebabkan turunnya
kua~ititaspenjualan dan berakibat pula pada turunnya pendapatan.

Penetapan harga bukan wewenang Unit dan KPH. Direksi sebagai
pemegang keputusan tertinggi adalah yang paling berhak untuk menetapkan
harga. Peran Direksi adalah sebagai pemegang policy, Unit sebagai tactical serta

KPH adalah operasional pelaltsana program atau bertindak sebagai operasional di
lapangan.

IV.

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A. lJmum

Perum Perhutani merupakan sebuah perusahaan berbentuk Badan Usaha
Mililc Negara (BUMN) yang berada dibawah naungan Departemen Kehutanan,
didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 15
Tahun 1972, yang sebagaimana telah diubah dengan PP No. 2 Tahun 1978,
dilanjutkan berdirinya dan meneruskan usaha-usaha berdasarkan ketentuanketer~tuandalarn PP No. 36 Tahun 1986, serta PP. 53 Tahun 1999.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam PP 53 tersebut, Perum Perhutani
dibe~itugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan perencanaan,
pengurusarl hutan dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh kawasan hutan
P. Jawa dan Madura kecuali kawasan hutan DI Yogyakarta. Selain itu Perum
Perhiltani diserahi juga tugas dan wewenang pada areal bekas HPH di Propinsi
Kalirnantan Barat dan Propinsi Kalimantan Timur.
Maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana tercantum pada pasal 7 PP
tersebut adalah : (1). mengelola hutan sebagai ekosistem sesuai dengan
karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi perusahaan
dan ~nasyarakatsejalan dengan tujuan pembangunan nasional, (2) melestarikan
dan meningkatkan mutu su~nberdayahutan dan mutu lingkungan hidup, dan
(3) menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang rrlenghasillcan barang dan
jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak
dan nlemupuk keuntungan.

28
Namun demikian, disamping berorientasi pada keuntungan finansial, Perum
Perhutani juga memiliki tanggungjawab sosial (misi sosial), sehingga BUMN
tersebut harus berkewajiban nlempertahankan kelestarian sumberdaya alam sesuai
dengan konsep pengelolaan hutan lestari (sustainable forest managementlSFM).
1,ebih kurang 6.000 desa hutan yang berbatasan atau bersinggungan langsung
dengal wilayah kerja Perum Perhutani.
Dalam mengelola hutan di Pulau Jawa, secara administrasi kehutanan,
dibagi menjadi tiga unit pengelolaan yang masing-masing dipimpin oleh Kepala
Unit

Unit-unit tersebut adalah Unit I (Propinsi Jawa Tengah) dengan pusat

administrasinya terletak di Semarang, Unit I1 (Propinsi Jawa Timur) dengan pusat
administrasinya di Surabaya, dan Unit 111 (Propinsi Jawa Barat dan Propinsi
Banten) yang pusat administrasinya di Bandung. Masing-masing Unit tersebut
merupakan pusat administrasi pengelolaan hutan yang membawahi beberapa
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), yang secara keseluruhan bertanggungjawab
kepada Direksi Perum Perhutani yang berkedudukan di Jakarta.
Visi Perum Perhutani, yaitu : Pengelolaan sumberdaya hutan sebagai
ekoslstem di Pulau Jawa secara adil, demokratis, epsien dan profesional guna
menjamin keberlanjutan jingsi dun inanfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Misi Perum Perhutani, yaitu :

1. hlelestarikan dan meningkatkan mutu sumberdaya hutan dan mutu lingkungan
hidup.

2. hlenyelenggarakan usaha di bidang kehutanan berupa barang dan jasa guna
rriemupuk keuntungan perusahaan dan memenuhi hajat hidup orang banyak.

29
3. Mengelola sumberdaya hutan sebagai ekosistem secara partisipatif sesuai
dengan karalteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi
perusahaan dan masyarakat.
4. Memberdayakan sumberdaya manusia melalui lembaga perekonomian
nlasyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.
Visi dan misi tersebut diterjemahkan dalam program-program yang selain
mendatangkan keuntungan juga bersifat sosial. Dengan demikian, merupakan
suatu "beban sosial" apabila Perum Perhutani hanya berorientasi pa