PENGARUH KEADILAN, SISTEM PERPAJAKAN, DISKRIMINASI, DAN KEMUNGKINAN TERDETEKSI KECURANGAN TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI KETIDAKETISAN PENGGELAPAN PAJAK (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Bantul dan Sleman)

PENGARUH KEADILAN, SISTEM PERPAJAKAN, DISKRIMINASI,
DAN KEMUNGKINAN TERDETEKSI KECURANGAN
TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI KETIDAKETISAN
PENGGELAPAN PAJAK
(Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama
Bantul dan Sleman)
THE INFLUENCE OF FAIRNESS, TAX SYSTEM, DISCRIMINATION,
AND PROBABILITY OF FRAUD DETECTION ON NON-ETHICS
PERCEPTION OF TAXPAYERS ABOUT TAX EVASION
(Empirical Study on Taxpayers in KPP Pratama Bantul and Sleman)

Oleh
NINA LUTFYANTIKA SUWARDHINI
20130420450

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PENGARUH KEADILAN, SISTEM PERPAJAKAN, DISKRIMINASI,
DAN KEMUNGKINAN TERDETEKSI KECURANGAN

TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI KETIDAKETISAN
PENGGELAPAN PAJAK
(Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama
Bantul dan Sleman)
THE INFLUENCE OF FAIRNESS, TAX SYSTEM, DISCRIMINATION,
AND PROBABILITY OF FRAUD DETECTION ON NON-ETHICS
PERCEPTION OF TAXPAYERS ABOUT TAX EVASION
(Empirical Study on Taxpayers in KPP Pratama Bantul and Sleman)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana pada Fakuktas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh
NINA LUTFYANTIKA SUWARDHINI
20130420450

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
i

ABSTRACT

This study aims to analyze that affect to perception on non-ethical of tax
evasion. These factors are fairness, tax system, discrimination, and probability of
fraud detection. The population of this study is the individual tax payer in KPP
Pratama Bantul and Sleman. The sampling technique of this study used
convenience sampling method, where the data obtained from questionnaires with
88 respondenses. Data analysis in this study assisted by SPSS software.
The result of this study are follows : (1) fairness on perception of nonethical tax evasion is positive and significant, (2) tax system on perception of nonethical tax evasion is positive and significant, (3) discrimination on perception of
non-ethical tax evasion is negative and significant, (4) probability of fraud
detection on perception of non-ethical tax evasion is positive and significant.
Keywords : Fairness, Tax System, Discrimination, Probability of Fraud
Detection, Perception on Non-ethical Tax Evasion

viii


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang.
Globalisasi yang sedang terjadi menyebabkan tidak ada batasan antara
ruang dan waktu setiap individu di dunia. Sehingga terjadilah pasar bebas
dalam berbagai sektor, termasuk dalam sektor perekonomian. Hal ini
memaksa suatu negara untuk terus berkembang dan mengikuti kemajuan
dunia yang ada, salah satunya ialah suatu negara harus dapat membuka diri
dengan persiapan yang baik dalam persaingan bebas agar dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negaranya,
termasuk Negara Indonesia sebagai Negara berkembang. Dalam
merealisasikan pembangunan itu, Indonesia memerlukan dana untuk dapat
membiayai dan mengembangkan pembangunan nasional.
Menurut pengamat ekonomi dari Institute for Development of
Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa suatu negara
dikatakan mandiri jika negara tersebut tidak bergantung pada negara yang
lainnya, memiliki karakter dan jati diri yang kuat, serta ketahanan ekonomi
yang kuat dalam menghadapi setiap krisis yang ada (Ningsih, 2015). Salah
satu pemasukan negara yang paling besar ialah berasal dari pajak. Menurut

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1:

1

2

Pajak adalah kontribusi wajib oleh negara terutang kepada orang pribadi
atau badan bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Prasetyo (2010) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
yang dapat dipaksakan yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat suatu prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran
umum negara berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintah.
Peran pajak sebagai sumber pendanaan utama di Indonesia dijadikan
andalan

utama


dalam

pembangunan

nasional.

Ardyaksa

(2014)

menyebutkan bahwa peran pajak dari waktu ke waktu semakin menjadi
andalan utama pendapatan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
sangat menekankan Wajib Pajak untuk tertib dan taat dalam pembayaran
pajak demi kepentingan nasional. Dalam pelaksanaanya, penerimaan pajak
dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Namun, perubahan
yang signifikan dalam pembangunan belum dapat dirasakan langsung oleh
rakyat. Jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan Wajib Pajak menjadi
enggan untuk membayar pajak. Maka dari itu, pemerintah terus
mengembangkan tata cara perpajakan agar Wajib Pajak merasa terlayani

dengan benar saat membayar pajak termasuk dalam sistem perpajakannya.
Sistem perpajakan merupakan salah satu elemen penting yang
menunjang dalam keberhasilan pemungutan pajak. Setiap tahunnya
pemerintah juga terus meningkatkan kualitas sistem perpajakan agar Wajib

3

Pajak taat dalam membayar pajak. Ada tiga sistem pemungutan pajak di
Indonesia, yaitu official assessment system, self assessment system, dan
with holding system. Sejak tahun 1983 yaitu setelah adanya reformasi di
bidang perpajakan, Indonesia mulai menerapkan self assessment system.
Self assessment system ini menuntut Wajib Pajak untuk mendaftar,
menghitung, dan membayar sendiri pajak yang terutangnya.
Dengan diterapkannya self assessment system, menandakan bahwa
pemerintah memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak untuk
mengelola utang pajaknya dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran
Wajib Pajak akan pentingnya membayar pajak demi terwujudnya
pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Nugroho
(2012) semakin modern sistem perpajakan maka diharapkan kesadaran
Wajib Pajak untuk membayar pajak akan tinggi, sehingga penerimaan

pajak juga akan semakin meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
Wajib Pajak, karena jumlah Wajib Pajak memiliki potensial yang
cenderung meningkat setiap tahunnya. Ketika masyarakat mempunyai
kesadaran dalam perpajakan secara sukarela atau biasa disebut voluntary
tax compliance yang tinggi maka sistem ini akan berhasil, tetapi apabila
tingkat kesadaran masyarakat rendah, maka akan menimbulkan masalahmasalah perpajakan, salah satunya yaitu adanya penggelapan pajak
(Suminarsi, 2011).
Penggelapan pajak (tax evasion) merupakan suatu usaha Wajib Pajak
dalam memimalkan beban pajak dengan cara melanggar peraturan

4

perpajakaan yang berlaku, sehingga tax evasion dapat dikatakan suatu hal
yang illegal. Adanya tax evasion ini menandakan rendahnya kesadaran
masyarakat dalam membayar pajak. Hal ini dapat diliat dari adanya tax
gap, yaitu selisih antara kewajiban pajak yang sebenarnya dengan pajak
yang dibayarkan atau dalam kata lain adanya gap antara target dan
realisasi dalam pendapatan pajak. Gap ini dapat kita lihat dalam tabel
target dan realisasi penerimaan pajak dari tahun 2010-2014 berikut:
Tabel 1.1

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak
Tahun
Target Penerimaan
Realisasi
Persentase
Pajak
Penerimaan
Penerimaan
Pajak
Pajak
2010
661,40 triliun
649,04 triliun
98,12%
2011
878,65 triliun
873,82 triliun
99,45%
2012
1.011,70 triliun

980,17 triliun
96,88%
2013
1.139,32 triliun
1.040,32 triliun
91,31%
2014
1.246,00 triliun
1.143,00 triliun
91,70%
Sumber: Kementrian Kuangan, Republik Indonesia (diolah, 2016).
Dari tabel 1.1 diatas dapat dilihat bahwa pendapatan negara dari
sektor pajak masih belum optimal, karena dari tahun ke tahun cenderung
mengalami penurunan. Penurunan ini dapat dilihat dengan jelas dimulai
dari tahun 2012-2014. Peningkatan yang signifikan dapat kita lihat pada
tahun 2010-2011, yaitu persentase penerimaannya dari 98,12% menjadi
99,45%. Tetapi tetap saja antara target dan realisasi yang diharapkan
tidaklah sesuai hasilnya dan cenderung menurun dari yang ditargetkan.
Maka, bisa jadi bahwa penurunan ini salah satu penyebabnya adalah
adanya penggelapan pajak.


5

Salah satu penyebab Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak
adalah Wajib Pajak merasa bahwa pajak merupakan suatu beban yang
akan mengurangi pendapatan, dimana tujuan pemerintah dan tujuan Wajib
Pajak bertolak belakang, pemerintah mengharapkan dapat memaksimalkan
penerimaan pajak sedangkan Wajib Pajak ingin meminimalkan beban
seminim mungkin termasuk dalam meminimalkan beban pajak. Ardyaksa
(2014) menyebutkan bahwa Wajib Pajak akan lebih memilih untuk
melakukan penggelapan pajak karena merasa penggelapan pajak akan
lebih mudah dilakukan walaupun hal itu merupakan tindakan yang
melanggar undang-undang. Penyebab lainnya adalah banyaknya Wajib
Pajak yang beranggapan bahwa dana pajak tersebut belum maksimal untuk
dialokasikan ke pembangunan nasional, melainkan dana tersebut masuk
kedalam kantong fiskus pajak. Maka, peran fiskus disini juga penting
dalam mengawasi dan melaksanakan tugasnya dengan integritas yang
tinggi.
Salah satu kasus penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia adalah
kasus Gayus Tambunan pada tahun 2009 yang ramai dibicarakan. Gayus

dianggap telah memberikan kerugian kepada negara yang sangat besar.
Gayus terjerat dalam 3 pasal berlapis sekaligus, yaitu korupsi, pencucian
uang, dan penggelapan pajak. Diduga banyaknya pegawai Ditjen Pajak
dan perusahan-perusahaan yang dalam pengawasan Gayus terlibat dalam
kasusnya. Pada tahun 2015 silam yang dilansir oleh Siaran Pers Direktorat
Jenderal Pajak Kementrian Keuangan menyerahkan tersangka kasus

6

penggelapan pajak pada 9 November 2015. DP alias AK merupakan
komisaris PT. SEP yang berada di kabupaten Tangerang, disangkakan
melakukan penerbitkan faktur pajak yang tidak berdasar pada kondisi yang
sebenarnya sehingga meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan
oleh pengguna faktur pajak fiktif tersebut dalam kurun waktu 2012-2013.
Kerugian yang dialami oleh negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai
19,6 Miliar (Siaran Pers, 2015).
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak ada
dalam berbagai modus pelanggaran dan menyebabkan kerugian negara
yang sangat besar. Banyaknya kasus atau skandal yang terjadi baik di
institusi maupun indvidu dalam bidang perpajakan merupakan akibat dari
kegagalan etis/ethical failure (Hartman, 2008). Beberapa penelitian
terdahulu banyak menjelaskan mengenai aspek-aspek teknis dari
penggelapan pajak dan hukum perpajakan. Selain dari aspek tersebut,
penggelapan pajak juga dapat dilihat dari sudut pandang etikanya, yaitu
mengenai etis atau ketidaketisan penggelapan pajak dalam arti lain sesuatu
yang salah atau tidak untuk dilakukan. McGee (2006) dalam Silaen (2015)
menyatakan bahwa penggelapan pajak terbagi menjadi tiga pandangan,
yaitu tidak pernah etis, kadang-kadang etis (tergantung pada situasi) dan
yang terakhir etis.
Salah satu penyebab penggelapan pajak dianggap etis adalah ketika
adanya kecurangan pemerintah ataupun fiskus pajak dalam pengalokasian
penerimaan pajak, selain itu adanya pendiskriminasian dalam pembayaran

7

pajak yang dianggap hanya menguntungkan beberapa pihak saja, sehingga
Wajib Pajak lebih memilih untuk tidak membayar pajak karena mereka
merasa tidak mendapatkan imbalan apapun dari beban pajak yang
dibayarkan dan menganggap bahwa beban pajak yang dikeluarkan tidak
dikelola dengan baik. Menurut McGee (2006) menyebutkan bahwa
penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis dikarenakan oleh
minimnya keadilan dalam penggunaan uang yang bersumber dari pajak,
korupsi oleh pemerintah, dan merasakan tidak mendapat imbalan secara
langsung atas pajak yang dibayarkan. Hal inilah yang menyebabkan
kurangnya tingkat penerimaan pajak Negara serta menimbulkan krisis
kepercayaan dari masyarakat terhadap institusi yang terkait dalam
pembayaran pajak.
Penggelapan pajak akan dianggap tidak etis ketika sistem perpajakan
itu dilaksanakan secara baik dan adil. Dalam literatur Yahudi memandang
bahwa tindakan penggelapan pajak selalu menjadi tindakan yang tidak
pernah etis. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan pemikiran dalam
literatur Yahudi untuk tidak meremehkan ataupun mempermalukan orang
Yahudi lainnya. Jika salah satu orang Yahudi melakukan penggelapan
pajak, maka hal ini akan berdampak buruk juga terhadap orang Yahudi
lainnya, dampaknya yaitu membuat semua orang Yahudi terlihat buruk
(McGee, 2008).
Penggelapan pajak dianggap tidak etis atau tidak benar pun dijelaskan
dalam agama Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat

8

188 yang secara tidak langsung melarang umat-Nya untuk melakukan
tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ayat tersebut berbunyi:
ْ ‫أ ْت‬

ْ‫ْ أ ْ ا ا َاس ب ْاْث‬

ً ‫ت ْد ا ب ا إ ى ا ْح َا تأْك ا فريقا‬

‫ا تأْك ا أ ْ ا ْ ب ْي ْ با ْباط‬
‫ت ْع‬

Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Ayat diatas menjelaskan larangan Allah SWT dalam melakukan
kecurangan, kolusi, nepotisme, penipuan ataupun korupsi. Kegiatan
penggelapan pajak termasuk dalam aspek-aspek tersebut, yaitu melakukan
penipuan atas kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan dan
melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme terhadap Wajib Pajak ataupun
Fiskus Pajak.
Nickerson et al., (2009) dalam Suminarsi (2011) menjelaskan
penelitian mengenai dimensionalitas skala etika penggelapan pajak.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan sekitar seribu orang di enam
negara disurvei, skala delapan belas item disajikan, dianalisis dan dibahas.
Hasilnya menunjukan bahwa dari item-item yang diuji dalam penggelapan
pajak secara keseluruhan terdapat tiga dimensi persepi skala etis, yaitu (1)
keadilan, berkaitan dengan kegunaan positif dari uang; (2) sistem
perpajakan, hal ini terkait mengenai tarif pajak dan kegunaan negatif atas
uang; (3) diskriminasi, yaitu yang terkait mengenai penggelapan pajak
dalam kondisi tertentu.

9

Dari uraian dan penelitian sebelumnya diatas dapat dilihat mengenai
perbedaan pandangan skala etis dari berbagai aspek dan juga mengenai
skala dimensionalitas mengenai etika penggelapan pajak. Hal ini
mendorong peneliti untuk melalukan penelitian mengenai ketidaketisan
penggelapan pajak, karena apapun alasannya penggelapan pajak tidak etis
untuk dilakukan mengingat bahwa pajak sudah merupakan kewajiban
masyarakat Indonesia dalam membantu pembangunan nasional dan
merupakan bentuk dari pengabdian masyarakat terhadap negara. Penelitian
ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan sebelumnya
oleh Suminarsi (2011). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah:
1. Adanya

penambahan

variabel

independen

yaitu

kemungkinan

terdeteksi kecurangan.
2. Sasarannya terkhusus pada WPOP (Wajib Pajak Orang Pribadi),
Suminarsi melakukan penelitian pada Wajib Pajak, yang berarti Wajib
Pajak disini bisa Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.
3. Penelitian

dilakukan

pada

tahun

2016

sedangkan

penelitian

sebelumnya dilakukan pada tahun 2011.
4. Penelitian ini hanya dilakukan di KPP Pratama Bantul dan Sleman,
penelitian sebelumnya dilakukan di KPP wilayah Yogyakarta
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian ini dengan judul “
Pengaruh

Keadilan,

Sistem

Perpajakan,

Diskriminasi,

dan

Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan terhadap Persepsi Wajib Pajak
mengenai Ketidaketisan Penggelapan Pajak”

10

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

penelitian

diatas,

maka

peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apakah keadilan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak?
b. Apakah sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak?
c. Apakah diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak ?
d. Apakah kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh positif
terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan
pajak?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk menguji pengaruh keadilan terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
b. Untuk menguji pengaruh sistem perpajakan terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
c. Untuk menguji pengaruh diskriminasi terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
d. Untuk menguji pengaruh kemungkinan terdeteksi kecurangan terhadap
persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.

11

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, adapun manfaat penelitian yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian
selanjutnya sebagai referensi untuk menambah pengetahuan dan
sebagai informasi, serta bahan acuan untuk membandingkan atau
mengembangkan mengenai penelitian yang serupa.
b. Manfaat Praktis
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat melihat kecenderungan
persepsi Wajib Pajak mengenai penilaiannya terhadap ketidaketisan
penggelapan pajak, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menanggulani ataupun mencegah adanya kasus
penggelapan pajak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Landasan teori berisi penjelasan mengenai teori-teori dan variabel
yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Teori Persepsi
Sebelum

mengetahui

persepsi

mengenai

ketidaketisan

penggelapan pajak, harus mengetahui terlebih dahulu teori mengenai
persepsi. Secara umum persepsi dapat dikatakan sebagai suatu respon
pemberian arti terhadap rangsangan dari suatu masalah yang terjadi
dari luar (Prasetyo, 2010). Menurut KBBI (2002) persepsi merupakan
suatu proses seseorang dalam mengetahui beberapa hal yang terjadi
pada setiap orang dalam menanggapi dan memahami informasi
mengenai

suatu

pancainderanya

hal

yang

(melihat,

terjadi

di

merasakan,

lingkungannya
mencium,

melalui

mendengar,

menyentuh).
Pareek (2001) menyebutkan bahwa persepsi mencakup dua proses
yang saling terkait, yaitu :
a. Menerima kesan melalui panca indera
b. Penetapan atas arti dari kesan-kesan panca indera tersebut. Arti
tersebut ditetapkan melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur
pengertian seseorang (suatu keyakinan yang relevan dengan

12

13

kejadian di masa lalu) dan struktur evaluative (nilai-nilai yang
dipegang oleh seseorang).
Rachmadi (2014) menyimpulkan bahwa persepsi merupakan
proses untuk memahami kemudian menafsirkan suatu objek,yang
kemudian penafsiran itu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berada di
dalam diri individu tersebut. Menurut Abizar (1988) dalam Prasetyo
(2010) persepsi merupakan suatu proses seorang individu memilih,
mengevaluasi dan mengordinasi pola stimulus dari lingkungannya.
Proses dari pemberian persepsi oleh individu itu sendiri dipengaruhi
oleh stimuliti serta pengetahuan individu mengenai objek tersebut.
Menurut Plano (2005) dalam Rachmadi (2014) banyak faktor yang
mempengaruhi persepsi individu diantaranya dari faktor lingkungan
sosial. Lingkungan sosial ini akan membentuk kepribadian seseorang
dan cara pandang maupun cara berfikir seseorang terhadap suatu
objek. Persepsi individu juga bisa menjadi persepsi masyarakat karena
masyarakat merupakan kumpulan individu yang kemudian saling
berinteraksi sosial, sehingga hal ini juga bisa menjadi faktor yang
mempengaruhi cara pandang seseorang.
Teori persepsi juga berkaitan dengan teori psikologis perilaku,
yang berarti bahwa persepsi merupakan salah satu faktor psikologis
yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Hal ini berarti persepsi
juga menentukan cara kita berpelaku atau menanggapi suatu objek
permasalahan, yang kemudian sesuatu itu mempengaruhi persepsi

14

seseorang yang nantinya persepsi itu mempengaruhi juga terhadap
perilaku yang seseorang itu tunjukan.
Dari penjelasan diatas mengenai pengertian persepsi, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh persepsi dalam membentuk pola
pikir dan perilaku individu sebagai warga negara yang membayar
pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jadi, persepsi
individu dalam menanggapi penggelapan pajak ialah proses bagaimana
individu

tersebut

dalam

menerima,

mengorganisasikan

dan

mengartikan praktik dari penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh
lingkungan sosial

disekitar individu tersebut.

Apabila dalam

lingkungannya ataupun dari individu tersebut menerima banyak
informasi mengenai etika penggelapan pajak, maka wawasan individu
tersebut akan lebih luas juga, sehingga hal ini akan mendorong
individu untuk berperilaku positif terhadap proses pelaksanaan
perpajakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibson (2001), yang
mengatakan bahwa respon individu terhadap objek akan bergantung
pada persepsi yang timbul dari dirinya sendiri.
2. Pengertian Pajak
Pajak di Indonesia merupakan sumber pendapatan utama dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dasar dari ilmu
perpajakan ialah yang tercantum dalam undang-undang yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pajak mempunyai
beberapa pendapat mengenai definisi pajak, diantaranya:

15

Menurut Undang-undang No.28 tahun 2007, pajak merupakan
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Soemitro (2000) dalam Prasetyo (2010) pajak merupakan
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan terhadap Wajib Pajak tanpa mendapatkan timbal
balik secara langsung, langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk
pengeluaran-pengeluaran umum.
Menurut Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan
sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma
yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran umum (Resmi,
2009). Berbeda dengan pedapat para ahli diatas, Meliala (2007) dalam
Prasetyo (2010) mengungkapkan bahwa pajak merupakan iuran rakyat
kepada kas Negara sebagai bentuk pengabdian rakyat terhadap Negara
dalam membantu membiayai pembangunan Nasional.
Dari beberapat definisi pajak diatas dapat disimpulkan bahwa
pajak mempunyai ciri-ciri yang mendasar, diantaranya:
a. Pajak merupakan suatu iuran wajib yang dibayarkan oleh rakyat
kepada kas Negara.

16

b. Pajak dapat dipaksakan dan dipungut berdasarkan ketentuan umum
dalam suatu perundang-undangan.
c. Pajak dibayarkan tanpa mendapat kontrasepsi langsung atau tidak
mendapat timbal balik secara langsung dari pemerintah terhadap
individual.
d. Pajak digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah
dalam upaya pembangunan nasional.
Maka dapat disimpulkan juga bahwa perbedaan definisi pajak yang
signifikan diungkapkan oleh Meliala (2007) dalam Prasetyo (2010),
yang tidak disebutkan oleh para ahli lainnya, yaitu bahwa pajak
merupakan suatu “bentuk pengabdian rakyat terhadap negara”, yang
mana dari definisi lain terkesan bahwa pajak itu merupakan suatu
bentuk “paksaan” terhadap rakyat. Sehingga dari definisi tersebut
dapat mengartikan dan memahami pajak sebagai suatu hal yang positif
dan sukarela, yang dimana manfaatnya juga demi kepentingan bangsa
dan Negara. Sesuai dengan sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia” yang
berarti bahwa apabila kita dapat bersatu dan kompak dalam mengabdi
kepada Negara yang salah satu bentuk pengabdiannya ialah dengan
membayar pajak, maka pembangunan nasional demi kesejahteraan
rakyat yang diinginkan dapat tercapai.
3. Fungsi Pajak
Menurut Resmi (2009) fungsi pajak dalam masyarakat suatu
negara dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

17

a. Fungsi Budgetair (Sumber Dana Bagi Pemerintah)
Fungsi ini bertujuan untuk membuat pemasukan kas Negara
sebanyak-banyaknya, yang kemudian kas ini akan dipergunakan
untuk

pengeluaran-pengeluaran

umum

Negara,

contohnya

dimasukannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negri, yang kemudian
penggunaannya sesuai dengan target penerimaan pajak yang telah
ditetapkan, sehingga dapat menyeimbangi dan mengontrol posisi
antara pemasukan dan pengeluaran.
b. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Fungsi

pajak

ini

secara

tidak

langsung

mengatur

dan

mengembangkan sarana perekonomian yang produktif. Tidak
hanya dalam bidang ekonomi fungsi pajak dapat menjadi alat
untuk mencapai tujuan tertentu diluar bidang keuangan, tetapi
masih dalam kebijakan pemerintah, contohnya dalam bidang
sosial. Fungsi ini dapat kita lihat dalam kebijakan pemerintah,
seperti :
1) Dalam bidang sosial terdapat kebijakan Keluarga Berencana,
bagi keluarga yang memilik anak lebih dari 3 orang maka tidak
akan diberikan tambahan untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
2) Tarif pajak progresif yang dikenakan atas penghasilan, hal ini
dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan yang

18

tinggi memberikan kontribusi yang tinggi juga, sehingga
adanya.
3) Tarif pajak untuk ekspor dikenakan sebesar 0%, hal ini
dimaksudkan

agar

mendorong

pengusaha

lokal

untuk

mengekspor hasil produksinya ke pasar dunia, dimana hal ini
dapat memperbesar devisa Negara juga.
4) Minuman keras dikenakan pajak yang tinggi agar rakyat dapat
mengurangi konsumsi minuman keras.
Berdasarkan fungsi pajak diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi
budgetair merupakan suatu alat untuk mengisi kas negara sebanyakbanyaknya dalam upaya membiayai pengeluaran umum rutin yang
digunakan oleh Negara dalam pembangunan Nasional, sedangkan
fungsi regurelend lebih berfokus dan mengatur pada bidang sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.
4. Etika
Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya (Bertens, 2000). Secara etimologis etika berasal dari kata
Yunani yaitu “ethos” yang berarti adat istiadat atau watak kesusilaan.
Hal ini berarti etika berkaitan dengan suatu perilaku dan kebiasaan
hidup seseorang maupun kebiasaan hidup pada suatu masyarakat. Etika
juga biasanya berhubungan dengan aturan yang mengajarkan hal-hal
yang baik, baik dalam segi bagaimana seseorang harus berperilaku

19

dalam sehari-hari di masyarakat, tata cara hidup yang baik, dan hal
yang mengajarkan kebaikan yang kemudian dianut dan diajarkan
secara turun-temurun unuk generasi selanjutnya.
Silaen (2015) menyebutkan bahwa etika merupakan suatu
kebiasaan hidup yang timbul dari diri seorang maupun pada
masyarakat

atau

kelompok

yang

menghindari

hal-hal

yang

menimbulkan tindakan yang buruk. Indonesia merupakan negara yang
penuh akan budaya, maka kadang etika seseorang akan dipandang dari
sudut pandang yang berbeda-beda. Hal ini menandakan bahwa etika
berkaitan dengan moralitas, tetapi bukan berarti etika sama arti dengan
moralitas. Perbedaan antara etika dan moralitas ialah etika merupakan
sebuah penelaahan sedangkan moralitas merupakan sebuah pedoman
yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok mengenai benar atau
salah dan baik atau tidaknya suatu perkara (Suminarsi, 2011). Selain
itu juga etika sekarang berkembang menjadi sebuah studi mengenai
kebenaran dan ketidakbenaran berdasar pada kodrat manusia yang
kemudian diwujudkan melalui kehendak manusia (Wicaksono, 2014).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika pajak merujuk
pada perilaku sudah benar atau salah, baik atau tidaknya Wajib Pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
umum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan definisi etika yang
diungkapkan bahwa etika merupakan A set of rules that define right

20

and wrong conducts, yang artinya etika merupakan aturan dari suatu
undang-undang yang menggambarkan perilaku benar atau salah.
5. Wajib Pajak
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 tentang perubahan terbaru atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang
dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan
ditentukan

untuk

melakukan

kewajiban

perpajakan,

termasuk

pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Sesuai dengan self assessment system kewajiban Wajib Pajak ialah
mendaftarkan, menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak
terutangnya. Wajib Pajak juga memiliki kewajiban untuk membuat
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
6.

Penggelapan Pajak
Penggelapan pajak merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang melanggar peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Suminarsi (2011) menjelaskan bahwa penggelapan pajak
merupakan suatu tindakan yang tidak benar yang dilakukan oleh Wajib
Pajak terhadap kewajiban pajaknya. Penggelapan pajak dianggap
sesuatu yang melanggar undang-undang karena Wajib Pajak disini
benar-benar melanggar peraturan perpajakan yang berlaku, misalnya

21

dengan memalsukan dokumen sedemikian rupa sehingga akan terbebas
dari kewajiban pajak yang seharusnya.
Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa penggelapan pajak (tax
evasion) merupakan suatu usaha Wajib Pajak dalam meringankan
beban pajak dengan cara melanggar undang-undang yang berlaku.
7. Keadilan
Tujuan hukum pemungutan pajak adalah harus mencapai keadilan,
undang-undang,

dan

pelaksanaan

pemungutannya

harus

adil

(Mardiasmo, 2009). Adil yang dimaksud disini adalah pengenaan
pajak yang dilakukan secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing (Wicaksono, 2014). Oleh karena
itu, baik masyarakat maupun pemerintah memastikan bahwa mereka
mendapatkan perlakuan yang adil dalam tata cara perpajakan. Keadilan
oleh Siahaan (2010) terbagi menjadi tiga pendekatan aliran pemikiran
yaitu :
a. Prinsip Manfaat (Benefit Principle)
Prinsip ini menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar pajak
sesuai dengan manfaat kontribusi yang telah diberikan oleh
pemerintah. Kontribusi ini dapat berbentuk berbagai sarana atau
fasilitas yang disediakan oleh pemerintah untuk kepentingan
publik.

Menurut

Rahman

(2013)

dan

Wicaksono

(2014)

berdasarkan prinsip ini maka sistem pajak yang adil bergantung
pada struktur pengeluaran pemerintah. Maka, hal lain yang perlu

22

diperhatikan disini adalah bahwa manfaat pajak bukan hanya
mengenai

kebijakan

pajak

saja,

tetapi

menyangkut

pada

pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak juga.
b. Prinsip Kemampuan Untuk Membayar (Ability To Pay)
Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa masalah pajak hanya dilihat
dari sisi pajaknya itu sendiri, terlepas dari sisi pengeluaran public
(pengeluaran pemerintah dalam membiayai pengeluaran bagi
kepentingan

publik).

Berdasarkan

prinsip

ini,

diperlukan

penerimaan pajak dalam jumlah tertentu untuk perekonomian
negara dan Wajib Pajak membayar sesuai dengan kemampuannya
saja. Pendekatan ini dipandang lebih baik dalam mengatasi
redistribusi pendapatan dari masyarakat, daripada masalah yang
berkaitan dengan penyediaan jasa atau sarana untuk public.
c. Keadilan Horizontal dan Vertikal
Waluyo (2013) menyebutkan bahwa aspek keadilan dalam
pemungutan pajak, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1) Keadilan Horizontal
Keadilan ini dikenal dengan sebutan equal treatment for equals
yaitu perlakuan yang sama terhadap yang berada dalam kondisi
yang sama, maksudnya adalah sistem pemungutan horizontal
pajak memenuhi keadilan horizontal ketika Wajib Pajak yang
dikenakan besaran yang sama dengan Wajib Pajak yang
memperoleh penghasilan yang sama juga dengannya tanpa

23

melihat jenis penghasilan atau sumber penghasilannya. Prinsip
ini ditujukan untuk meningkatkan kesetaraan dimana Wajib
Pajak akan dikenakan besaran yang sama besarnya dengan
Wajib Pajak yang besar penghasilannya sama juga.
2) Keadilan Vertikal
Keadilan ini dikenal sebagai unequal treatment for the
unequals, maksudnya adalah pengenaan pajak terhadap orangorang yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang
berbeda akan dikenakan pajak yang berbeda juga sesuai dengan
perbedaannya. Singkatnya, Wajib Pajak dengan ekonomis yang
sama akan dikenakan pajak yang sama juga, dan sebaliknya
8. Sistem Perpajakan
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Official
Assessment System, Self assessment system, dan With Holding System:
a. Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem yang memberikan wewenang pada
pemerintah (fiskus) dalam menetukan besaran pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak. Peran Wajib Pajak disini adalah pasif,
karena utang pajak akan timbul setelah fiskus mengeluarkan surat
ketetapan pajak. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan
timbulnya utang pajak menurut sistem ini ialah utang pajak timbul
apabila sudah ada ketetapan pajak dari fiskus (Suandy, 2002).

24

b. Self Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib
Pajak diberikan wewenang untuk mendaftar, menghitung, dan
menyetor sendiri pajak yang terutang. Aparat pajak (fiskus) hanya
berperan dalam penyuluhan dan pengawasan kepatuhan pajak dari
Wajib Pajaknya (Suandy, 2002).
c. With Holding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak dimana pihak
ketiga yaitu bukan fiskus maupun Wajib Pajak yang diberikan
wewenang untuk menentukan besaran pajak yang dikenakan
terhadap Wajib Pajak. Pihak ketiga yang dimaksud disini antara
lain adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah (Suandy,
2002). Menurut Siahaan (2010) sistem ini diterapkan bagi Wajib
Pajak yang penghitungan dan pemungutannya lebih efektif apabila
dilakukan oleh orang atau badan tertentu yang ditunjuk oleh fiskus
sebagai pemungut pajak.
9. Diskriminasi
Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa
diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang

25

berakibat pengangguran, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang
lain.
Menurut Danandja (2003), diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan
sesuatu yang sifatnya kategorikal, seperti ras, budaya, suku bangsa,
agama, ataupun kelas sosialnya. Diskriminasi dalam bidang perpajakan
ini lebih menunjuk pada kondisi dimana pemerintah memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dan seimbang terhadap masyarakat
maupun Wajib Pajak (Abrahams dan Kristanto, 2016).
10. Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan dalam menghimpun dan
mengolah data, keterangan atau bukti yang dilaksanakan secara
professional dan objektif berdasarkan pada suatu standar pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Mardiasmo, 2011).
Budileksmana (2001) menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak
merupakan suatu rangkaian tindakan lanjutan dari penelitian yang telah
dilakukan atas SPT. Ketika pengisian pada SPT telah memenuhi
kriteria untuk dilakukan pemeriksaan, maka setelah dilakukan
penelitian akan dilakukan pemeriksaan pajak.

26

Beberapa kriteria tertentu dimana setelah dilakukan penelitian akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan pajak antara lain (Menkeu RI, 1994)
dalam Budileksmana (2001) :
a.

SPT Tahunan yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran
pajak.

b.

SPT Tahunan yang menyalahi ketentuan penggunaan norma
penghitungan untuk penghitungan penghasilan neto.

c.

SPT Tahunan yang menyatakan adanya kerugian.

d.

SPT Tahunan untuk bagian tahun pajak sebagai akibat adanya
perubahan tahun buku yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal
Pajak.

e.

Adanya

penggabungan

(merger),

pemekaran

usaha

atau

pengambilalihan usaha (akuisisi), serta pembubaran usaha
(likuidasi).
f.

Adanya kerja sama operasi (KSO).

g.

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pindah tempat
terdaftarnya Wajib Pajak atau pencabutan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP).

h.

SPT Tahunan yang menyatakan adanya penilaian kembali
(revaluasi) aktiva tetap yang telah disetujui oleh Dirjen Pajak.

i.

Wajib Pajak yang mengajukan restitusi Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM)

j.

SPT Tahunan yang disampaikan unbalance murni.

27

k.

SPT Tahunan yang terdapat kekeliruan penghitungan kompensasi
kerugian.

l.

SPT Tahunan tidak atau terlambat disampaikan 2 (dua) tahun
berturut-turut.

m. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana
dibidang Perpajakaan.
Menurut Tobing (2015) Wajib Pajak akan enggan untuk
melakukan penggelapan pajak apabila adanya sistem pemeriksaan
yang baik dan disiplin. Wajib pajak menganggap bahwa apabila
adanya sistem pemeriksaan yang ketat dan kemungkinan akan
terdeteksi kecurangannya tinggi, maka WP tersebut akan takut untuk
melakukan penggelapan pajak. Karena WP tersebut tahu bahwa denda
untuk membayar pelanggaran lebih besar daripada membayar besar
jumlah pajak terutangnya.

28

B. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No
1.

2

3.

Peneliti
Suminarsi
(2011)

Abrahams
dan
Kristanto
(2016)

Indriyani
dkk.

Judul
Penelitian
Pengaruh
Keadilan,
Sistem
Perpajakan
dan
Diskriminasi
Terhadap
Persepsi Wajib
Pajak
Mengenai
Etika
Penggelapan
Pajak

Variabel

Data

Dependen:
 Etika
Penggelapan
Pajak

Data
Primer
(Wajib Pajak
di Wilayah
DIY)

Independen:
 Keadilan
 Sistem
Perpajakan
 Diskriminasi

Persepsi Calon
Wajib Pajak
dan Wajib
Pajak
Terhadap
Etika
Penggelapan
Pajak di
Salatiga

Dependen :
 Etika
Penggelapan
Pajak

Pengaruh
Keadilan,

Dependen:
 Perilaku Tax

Independen :
 Keadilan
Perpajakan
 Sistem
Perpajakan
 Diskriminasi

Primer
(Calon
Wajib Pajak
dan Wajib
Pajak di
Salatiga)

Data Primer
( Wajib

Hasil
Penelitian
Hasil penelitian
menunjukan
bahwa variabel
Keadilan tidak
berpengaruh
terhadap
persepsi Wajib
Pajak mengenai
etika
penggelapan
pajak
Sistem
Perpajakan
berpengaruh
positif terhadap
etika
penggelapan
pajak,
sedangkan
variabel
diskriminasi
berpengaruh
negatif.
Hasil penelitian
dari responden
baik dari segi
kuesioner
maupun
wawancara
menyatakan
bahwa
penggelapan
pajak suatu hal
yang tidak etis
untuk dilakukan
walaupun
adanya
ketidakadilan
dalam
perpajakan,
sistem
perpajakan yang
buruk, dan
adanya
diskriminasi.
Hasil dari
penelitian ini

29

No

Peneliti
(2016)

4

5

Nickerson,
at el
(2009)

Prasetyo
(2010)

Judul
Penelitian
Sistem
Perpajakan,
Diskriminasi,
dan
Kemungkinan
Terdeteksi
Kecurangan
Terhadap
Persepsi Wajib
Pajak Orang
Pribadi
Mengenai
Perilaku Tax
evasion

Presenting
The
Dimension of
An Ethics
Scale
Pertaining of
Tax evasion

Persepsi Etis
Penggelapan
Pajak Bagi

Variabel
evasion
Independen:
 Keadilan
 Sistem
Perpajakan
 Diskriminasi
 Kemungkina
n Terdeteksi
Kecurangan

Dependen:
 The Ethics of
Tax evasion (
Etika
Penggelapan
Pajak)
Independen:
 Fairness
(Keadilan)
 The tax
system
(Sistem
perpajakan)
 Discriminati
on (
Diskriminasi
)
Independen:
Pemahaman
wajib pajak

Data
Pajak Orang
Pribadi KPP
Pratama
Karanganyar
)

Primer
(Mahasiswa
sarjana dan
pasca
sarjana yang
berada di 6
negara)

Data Primer
(Wajib Pajak
di Wilayah

Hasil
Penelitian
berdasarkan dari
pengujian
parsial
menunjukan
bahwa variabel
keadilan tidak
berpengaruh
terhadap
variabel
persepsi WPOP
mengenai
perilaku tax
evasion,
sedangkan dari
hasil pengujian
secara simultan
menunjukkan
adanya
pengaruh antara
variabel
keadilan, sistem
perpajakan,
diskriminasi,
dan
kemungkinan
terdeteksi
kecurangan
terhadap
persepsi WPOP
mengenai
perilaku tax
evasion.
Hasil studi ini
menyatakan
bahwa
penggelapan
pajak dapat
dibenarkan atas
dasar etika
berdasarkan
beberapa kasus,
yaitu kasus
dimana sistem
dipandang tidak
adil, dan adanya
pendiskriminasi
an beberapa
segmen dari
populasi.
Hasil penelitian
menunjukkan
semakin
baik

30

No

Peneliti

Judul
Penelitian
Wajib Pajak di
Wilayah
Surakarta

Variabel

Data
Surakarta)

Variabel
Moderasi:
Penggelapan
pajak
Dependen:
Persepsi wajib
pajak.

Hasil
Penelitian
pemahaman
akan
aturan
pajak,
85,74% WP
tidak
setuju
dengan praktik
penggelapan
pajak
dan
95,56%
PNS
tidak
setuju dengan
adanya praktik
penggelapan
pajak.

30

C. Hipotesis
1. Keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Keadilan pajak merupakan hal yang harus diperhatikan dalam
penerapan perpajakan di suatu negara. Keadilan disini berfungsi untuk
menjaga kesetaraan pajak berdasar pada kemampuan masing-masing
Wajib Pajaknya. Ketidakadilannya pembebanan pajak disuatu negara
akan memicu Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak seperti
tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan
pajak). Suminarsi (2011) menyatakan bahwa secara psikologis
masyarakat menganggap membayar pajak merupakan suatu beban,
dimana tujuan mereka adalah meminimalkan beban seminimal
mungkin. Berbeda dengan tujuan pemerintah yang menginginkan
pemaksimalan penerimaan pajak. Ardyaksa (2014) menyebutkan
bahwa pemungutan pajak haruslah adil dan merata sesuai dengan
kemampuan dalam membayar pajak dan manfaat yang diterima
sebanding. Pemikiran dalam hal pentingnya keadilan bagi Wajib Pajak
dalam membayar pajak mempengaruhi tindakannya dalam membayar
pajak.
McGee (2006) menyebutkan bahwa penggelapan pajak dianggap
suatu hal yang etis dikarenakan oleh minimnya keadilan dalam
penggunaan

uang yang bersumber dari pajak, korupsi oleh

pemerintah, dan merasakan tidak mendapat imbalan secara langsung

31

atas pajak yang dibayarkan. Pajak dianggap adil oleh Wajib Pajak jika
beban pajak yang dibayarkan sebanding dengan kemampuan dan
manfaat yang akan diterima (Indriyani dkk, 2016). McGee (2009)
dalam penelitiannya mengenai skala dimensionalitas mengenai etika
penggelapan pajak menemukan bahwa variabel keadilan termasuk
sebagai salah satu faktornya. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu dan
Hastuti (2009), Suminarsi (2011), Handayani (2014) dan Ardyaksa
(2014) menyebutkan bahwa keadilan tidak berpengaruh terhadap
penggelapan pajak.
Tetapi, dalam penelitian Rahman (2013) hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa

keadilan berpengaruh

negatif terhadap

ketidaketisan penggelapan pajak, yang artinya semakin tinggi tingkat
keadilan maka penggelapan pajak akan dianggap hal yang etis.
Semakin tinggi tingkat keadilan, maka persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak juga meningkat, sehingga
penggelapan pajak (tax evasion) semakin dianggap tidak etis untuk
dilakukan. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
McGee (2006) dan McGee (2008) yang menyebutkan dalam hasil
penelitiannya bahwa penggelapan pajak dipandang sebagai perilaku
yang tidak pernah etis. Sebaliknya, apabila tingkat keadilan rendah
maka persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
juga menurun, yang berarti Wajib Pajak menganggap penggelapan

32

pajak hal yang etis dilakukan.Oleh karena itu, hipotesis pertama dalam
penelitian ini adalah :
H1: Keadilan pajak berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
2. Sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Silaen (2015) menyatakan bahwa sistem perpajakan merupakan
suatu sistem pemungutan pajak dari suatu perwujudan pengabdian dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melakukan kewajiban pembayaran pajaknya yang kemudian digunakan
untuk membiayai pembangunan nasional. Sistem perpajakan yang
digunakan di Indonesia adalah self assessment system, sistem ini
memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk mendaftar,
menghitung, dan membayar sendiri pajak terutangnya. Hal yang
diharapkan dari hasil sistem ini ialah administrasi perpajakan dapat
dilaksanakan secara rapih, terkendali, dan mudah dipahami oleh
masyarakat atau Wajib Pajak (Siahaan, 2010). McGee (2009)
menyatakan bahwa sistem perpajakan berkaitan dengan tarif
perpajakan dan korupsi mungkin saja terjadi dalam sistem apapun.
Sistem ini dilihat juga dari tinggi rendahnya tarif pajak dan arus
kemana dana tersebut dialokasikan, maka peran fiskus dalam
penyelanggaraan sistem perpajakan yang baik sangat berpengaruh.

33

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Permita dkk (2014) yang hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa semakin baik sistem perpajakan yang ada maka
Wajib Pajak semakin mendapat peluang yang besar melakukan
penggelapan pajak, mengingat sistem yang digunakan di Indonesia
yaitu self assessment system. Sehingga Wajib Pajak mendapatkan
peluang besar untuk menghitung dan membayar pajak terutangnya.
Hasil penelitian Handayani (2014) menyebutkan bahwa sistem
perpajakan tidak berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee
(2008) yang mengemukaan bahwa penggelapan pajak selalu tidak etis
untuk dilakukan. Nickerson et al,. (2009), Suwandhi (2010), Suminarsi
(2011) dan Rahman (2013) juga menemukan bahwa sistem perpajakan
berpengaruh terhadap persepsi etis penggelapan pajak.
Semakin baik pengalokasian dan sistem perpajakannya maka akan
meningkatkan juga persepsi ketidaketisan Wajib Pajak mengenai
pengelapan pajak, maka Wajib Pajak akan menganggap penggelapan
pajak sebagai hal yang tidak etis dilakukan. Sebaliknya, semakin
rendahnya sistem perpajakan maka akan menurunkan juga persepsi
Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak, dan
penggelapan pajak akan dianggap sebagai suatu hal yang etis.
H2: Sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.

34

3. Diskriminasi berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Indriyani dkk. (2016) menyebutkan bahwa suatu kebijakan dinggap
diskriminasi apabila kebijakan tersebut hanya menguntungkan pihak
tertentu saja dan ada pihak lainnya yang merasa dirugikan.
Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat
pengangguran,

penyimpangan,

atau

penghapusan

pengakuan,

pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang
lain. Adanya peraturan perpajakan yang dianggap sebagai bentuk
diskriminasi membuat Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak.
McGee

(2009)

dalam

penelitiannya

mengenai

skala

dimensionalitas mengenai etika penggelapan pajak menyebutkan
bahwa variabel diskriminasi berpengaruh terhadap etika penggelapan
pajak. Penelitian sebelumnya Suminarsi (2011) hasilnya menyatakan
bahwa diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak. Hal ini berarti, semakin

35

tinggi tingkat diskriminasi, maka persepsi Wajib Pajak mengenai
ketidaketisan penggelapan pajak semakin rendah. Hasil penelitian
Nickerson et al,. (2009) dan Rahman (2013) juga menyatakan bahwa
diskriminasi memiliki korelasi positif terhadap penggelapan pajak,
maka semakin tinggi tingkat dikriminasi, semakin tinggi juga tingkat
penggelapan pajak dan penggelapan pajak akan dianggap suatu hal
yang etis.
H3: Diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
4. Kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh terhadap
persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Ada beberapa cara yang dilakukan pemerintah dalam mendeteksi
kecurangan, salah satunya yaitu dengan melakukan pemeriksaan.
Rahman

(2013)

menyatakan

bahwa

kemungkinan

terdeteksi

kecurangan adalah dilihat dari seberapa besarnya kecurangan
terdeteksi saat pemerisaan. Wajib Pajak akan merasa takut melakukan
penggelapan pajak apabila pemeriksaan yang dilakukan terlaksana
dengan baik, tegas, teliti, dan lebih terkontrol. Tobing (2015)
menyatakan bahwa ketika WP menganggap presentase kemungkinan
terdeteksi kecurangan saat dilakukan tinggi, maka WP akan takut
untuk melakukan penggelapan dan cenderung untuk patuh pada aturan
perpajakan.

36

Hal ini sesuai dengan penelitian Ayu dan Hastuti (2009), Ayu
(2011) dan Rahman (2013) bahwa kemungkinan terdeteksi kecurangan
berpengaruh negatif terhadap tindakan tax evasion, artinya bila
kemungkinan terdeteksi kecurangan tinggi maka penggelapan pajak
semakin tidak etis untuk dilakukan. Semakin tinggi tingkat
kemungkinan terdeteksi kecurangan, maka semakin tinggi juga
persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak,
sehingga Wajib Pajak cenderung untuk tidak melakukan tindakan tax
evasion.
H4 : Kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh positif
terhadap

persepsi

Wajib

Pajak

mengenai

ketidaketisan

penggelapan pajak.
D. Model Penelitian
Variabel Independen

Variabel Dependen

KEADILAN (X1)
+
SISTEM PERPAJAKAN
(X2)

+

PERSEPSI WAJIB
PAJAK MENGENAI
KETIDAKETISAN
PENGGELAPAN
PAJAK

DISKRIMINASI (X3)

-

(Y)

KEMUNGKINAN TERDETEKSI
KECURANGAN (X4)

+

Gambar 2.1
Model Penelitian

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Obyek/Subyek Penelitian
Wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai
suatu karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan dan kemudian
diambil kesimpulannya disebut dengan populasi (Sugiyono, 2008).
Populasi lebih mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian,
atau minat yang ingin diinvestigasi oleh peneliti (Sekaran, 2006). Populasi
dari

Dokumen yang terkait

Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan terdeteksi Kecurangan terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

12 95 180

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Atas Sanksi Perpajakan Dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di KPP Pratama Bandung Cibeunying

4 45 141

PENGARUH SISTEM ADMINISTRASI PERPAJAKAN MODERN, SOSIALISASI PERPAJAKAN DAN KEWAJIBAN MORAL TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK (Studi Empiris pada Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Sleman)

6 30 171

Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Mengenai Perilaku Tax Evasion

4 21 8

Pengaruh Keadilan Pajak, Tarif Pajak, Sistem Perpajakan, Sanksi Perpajakan, Teknologi Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Badan Mengenai Penggelapan Pajak

3 27 9

PENGARUH KEADILAN, SISTEM PERPAJAKAN, TARIF PAJAK, DISKRIMINASI, KECURANGAN, KETEPATAN Pengaruh Keadilan Sistem Perpajakan Tarif Pajak Diskriminasi Kecurangan Ketepatan Pengalokasian Dan Money Ethics Mengenai Persepsi Wajib Pajak Terhadap Etika Penggelap

0 3 15

PENDAHULUAN Pengaruh Keadilan Sistem Perpajakan Tarif Pajak Diskriminasi Kecurangan Ketepatan Pengalokasian Dan Money Ethics Mengenai Persepsi Wajib Pajak Terhadap Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion).

0 3 10

PENGARUH KEADILAN DAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI ETIKA PENGGELAPAN PAJAK : STUDI PADA WAJIB PAJAK BADAN DI KPP SUKABUMI.

2 12 47

Pengaruh Persepsi Keadilan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi Kasus : KPP Pratama Bojonagara).

4 11 17

PENGARUH KEADILAN, SISTEM PERPAJAKAN, DISKRIMINASI DAN TARIF PAJAK TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI MENGENAI PERILAKU PENGGELAPAN PAJAK

1 6 16