HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN FUNGSI SOSIAL

(1)

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

IBRAHIM FATTAH HUDIYA

20120310214

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN

FUNGSI SOSIAL

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

IBRAHIM FATTAH HUDIYA

20120310214

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ibrahim Fattah Hudiya NIM : 20120310214

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 27 Juni 2016

Yang membuat pernyataan, Tanda tangan


(4)

vi

KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr.Wb

Puji syukur penulis ucapan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Hubungan Antara Fungsi Kognitif Dengan Fungsi Sosial”.

Penilitian ini bertujuan untuk apakah ada hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosialpada pasien skizofrenia.Seperti yang kita ketahui bahwa bila seseorang kehilangan fungsi kognitif dan fungsi sosialnya maka kualitas hidup orang itu akan terganggu. Kita perlu mengetahui fungsi kognitif dan fungsi sosial dapat berpengaruh pada kesembuhan pasien skizofrenia.Semoga penelitian ini bermanfaat.

Karya Tulis Ilmiah ini merupakan salah satu tugas untuk memenuhi kurikulum di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan memenuhi syarat kelulusan untuk mencapai derajat Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

Penulisan Karya Tulis ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes selaku dekan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah mengizinkan pelaksanaan penelitian ini dalam rangka penyusunan Karya Tulis llmiah.

2. dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc.,Sp.KJ selaku Pembimbing dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan banyak waktu, pengarahan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

3. dr. Ida Rochmawati, M.Sc.,Sp.KJ selaku penguji dalam penulisanKarya Tulis Ilmiah yang telah memberikan pengarahan, dan saran kepada penulis.

4. Kepala Puskesmas Bantul yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penilitian di Puskesmas Bantul sehingga bisa menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.


(5)

vii

5. Kedua orangtuaku Bapak Drs. Ilham Eka Putra dan Ibu dr. Linda Agustina serta Adikku Nauranadhirayang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikanKarya Tulis Ilmiah.

6. H. Marjanserta keluarga besar penulis yang memberikan semangat penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

7. Lintang Prava Azza yang telah membantu dan memberikan semangat penulis untuk menyelesaikanKarya Tulis Ilmiah.

8. Sahabat-sahabat Andi Bangus Pribadi, Achmad Yasin Mustamin, Bagus Ridho Setiadi, Ray Ramadahan, Ahmad Zaki Ramadhan, Ayudia Mayang Putri, Firda Atiya Rahmi,Zulfika Nanda Hadi, Dian Mas Pratama, Edgar Faisal, Wahyu Julianto, Wahyudi Ramlan, Defta Eki Novian, Nazar Ali, dan TLBK (Tutorial 16)yang memberi semangat dan ilmunya untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

9. Teman-teman Karya Tulis Ilmiah Ahmad Zaki Romadhon, Firda Atiya Rahmiyang telah berjuang bersama-sama dalam mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penulisan dan penelitian Karya Tulis Ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisana Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna maka dengan segenap hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan dari Karya Tulis Ilmiah ini.Akhir kata penulis berharap semogaKarya Tulis Ilmiah ini berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 27 Juni 2016


(6)

viii DAFTAR IS

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB IITINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Skizofren ... 8

2. Fungsi Kognitif ... 31

3. Fungsi Sosial ... 36

B. Kerangka Konsep ... 39

C. Hipotesis ... 39

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 40

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

D. Variabel Penelitian ... 42

E. Definisi Operasional... 43

F. Instrument Penelitian ... 44

G. Jalannya Penelitian ... 46

H. Uji Validitas dan Realibilitas ... 47

I. Analisis Data ... 48

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49

1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 49

2. Karakteristik Subjek Penelitian ... 49

3. Analisis Uji Statistik Korelasi ... 51

B. Analisa Hasil dan Pembahasan ... 52

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN


(7)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Penelitian ... 7 Tabel 2. Distribusi Data Karakteristik Subjek Penelitian ... 50 Tabel 3. Hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosiapasien


(8)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Lembar Permintaan untuk Menjadi Responden Lampiran 2: Lembar Persetujuan untuk Menjadi Responden Lampiran 3: Kuesioner Identitas Pribadi

Lampiran 3: Kuesioner WT Personal and Social Performance Scale (PSP) Lampiran 4: Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS).


(9)

(10)

ix

Yogyakarta,

Email: Ibrahimhudiya@yahoo.com

2. Dosen Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya.Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi Masih kurangnya penelitian yang membahas terkait hubungan fungsi kognitif dengan fungsi sosial pasien skizofrenia, sehingga studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.

Metode: Digunakan desain pearson correlation. Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling.Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Data Pribadi, Personaland Social Performance Scale (PSP), Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS).Analisis data yang digunakan adalah observational analitik. Hasil: Pada kelompok pasien skizofrenia sebagian besar subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 64 (64,0%). Usia subjek sebagian besar berusia antara 36- 45 tahunsebanyak 40 (40,0%). Sebagian besar pasien memiliki riwayat pendidikan tamat SD sebanyak 42 (42,0%). Sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja sebanyak 69 (65,0%).Status pernikahan subjek penelitian sebagian besar adalah belum menikah sebesar 60 (60,0%) karena sebagian besar subjek menderita pada usia muda jadi sebagian belum menikah. Lama sakit subjek penelitian sebagian besar adalah > 10 tahun (50,0%). Sedangkan riwayat keluarga pada subjek penilitian yang paling besar adalah tidak ada (70,0%).Hasil analisis pearson correlation ditemukan variabel fungsi kognitif dengan fungsi sosial nilai p adalah 0.000, yang berarti nilai p < 0,05.

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.


(11)

x

Email: Ibrahimhudiya@yahoo.com

2. Lecturer in Medical Education Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a syndrome with a variety of causes and course of the disease is widespread, as well as some of the consequences that depend on the balance of influence of genetic, physical and cultural. Schizophrenia is a psychotic disorder that is chronic, often subside, but the signage is missing with clinical manifestations very wide variation adjustment pramorbid, symptoms and course of the disease vary widely There is still a lack of studies that discuss related to the relationship of cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia, this study needs performed to evaluate the relationship between cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia.

Methods: Used the design of Pearson correlation. Sampling with consecutive sampling technique. The instrument used is the Personal Data Questionnaire, Personaland Social Performance Scale (PSP), Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS). Analysis of the data used is observational analytic.

Results: In the group of patients with schizophrenia most of the study subjects were males 64 (64.0%). Age subjects mostly aged between 36- 45 years were 40 (40.0%). Most of the patients had a history of complete primary school education were 42 (42.0%). Most of the research subjects did not work as much as 69 (69.70%). Marital status of research subjects are mostly unmarried by 60 (60.0%) for most of the subjects suffered at a young age so most unmarried. Long illness most of the research subject is> 10 years (50.0%). While family history on the subject of the greatest penilitian is no (70.0%). The results of Pearson correlation analysis found cognitive function variables with p values of social function is 0.000, which means that the value of p <0.05.

Conclusion: There is a relationship between cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia.


(12)

1 A. Latar Belakang Penelitian

Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya.Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi (Kaplan & Saddock, 2010).

The lifetime risk skizofrenia di dunia adalah antara 15 sampai 19 per 1.000 populasi sedangkan point prevalence adalah antara 2 sampai 7 per 1000. Ada beberapa perbedaan antara negara-negara, namun tidak signifikan ketika dibatasi oleh gejala-gejala utama skizofrenia.Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan laki-laki memiliki onset lebih awal dibandingkan perempuan (Sample & Smith, 2013; Tianli, L et al 2014).Menurut penelitian Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi psikosis tertinggi di DIY dan Aceh (masing-masing 2,7%).

Skizofrenia memiliki gejala yang sangat kompleks yang ditunjukkan oleh kumpulan gejala yang didominasi oleh psikosis.Gejala-gejala skizofrenia dibagi menjadi dua, yaitu gejala positif dan gejala negatif.Gejala positif


(13)

skizofrenia adalah halusinasi, delusi, dan paranoid sedangkan yang termasuk dalam gejala negatif skizofrenia adalah motivasi diri rendah, apatis, kehilangan konsentrasi, dan enggan untuk bersosialisasi dengan masyarakat (Harald S, 2015).Gejala-gejala pada skizofrenia dapat berupa seperti hal diatas dan diantaranya adalah kemandirian pasien yang dapat mengalami penurunan, baik dalam hal keseharian dan juga dalam hal kepatuhan minum obat.

Obat anti psikotik bukanlah satu-satunya cara untuk menurunkan gejala-gejala psikotik. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa beberapa obat antipsikotik yang berefek minimal terhadap perbaikan fungsi kognitif tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pemulihan kemampuan fungsional pasien Skizofrenia (Green & Harvey, 2014).Tetapi ada jugacara lainnya yaitu dengan rehabilitasi maupun dengan cara memberikan support atau dukungan. Penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi dapat mengurangi gejala-gejala pasien skizofrenia meski pasien tidak meminum obat anti psikotik (Anthony. et. al., 2014).Menurut Scott BJ (2012) memberikan dukungan dapat menambah perbaikan kognitif sebagai intervensi yang berguna untuk peningkatan fungsi neurokognitif dan penurunan gejala kejiwaan skizofren.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bottlender et al. (2010), 64% pasien skizofrenia memiliki tingkat disabilitas berat sampai dengan sangat berat berdasarkan WHO-DAS-M (World Health Organization-(Mannheim) Disability Assessment Schedule). Disabilitas ini selain akan menjadi beban bagi negara, juga mempunyai implikasi penting terhadap perkembangan, perjalanan, dan outcome skizofrenia itu sendiri (Couture et al.,


(14)

2006). Disabilitas akibat disfungsi dalam kemampuan fungsi sosial sehari-hari pada pasien skizofrenia merupakan suatu fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: simtom, lingkungan, status kesehatan, kapasitas fungsional, performa kognitif, dan faktor demografi (Harvey & Strassnig, 2012). Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya disfungsi dalam kemampuan fungsi sosial pada skizofrenia, fungsi neurokognitif dan tingkat keparahan simtom negatif paling banyak dikaitkan dengan terjadinya disfungsi dalam kemampuan fungsi sosial (Ventura et al., 2009; Shamsi et al., 2011).

Walaupun demikian para ahli berpendapat bahwa, dibandingkan dengan faktor penyebab lain termasuk simtom negatif, performa kognitif yang terganggu atau defisit kognitif pada pasien skizofrenia merupakan suatu prediktor yang konsisten terhadap kurangnya ketrampilan mereka dalam kehidupan sehari-hari (Bowie & Harvey, 2006).Menurut Reichnberg et al. (2009) angka kejadian defisit kognitif pada pasien skizofrenia mencapai 84%. Sedangkan menurut Keefe & Harvey (2012), walaupun kurang lebih 27% pasien skizofrenia dianggap tidak mengalami defisit kognitif berdasarkan penilaian neuropsikologis klinis dan memiliki kecenderungan tingkat fungsi premorbid tertinggi, mereka menunjukkan fungsi kognitif yang lebih rendah daripada yang diharapkan berdasarkan fungsi premobid mereka.

Proyek Measurement and Treatment Research to Improve Cognition in Schizophrenia (MATRICS), menyebutkan ada 7 domain kognitif yang berperan dalam defisit kognitif skizofrenia, yaitu: memori kerja,


(15)

atensi/kewaspadaan, pembelajaran dan memori verbal, pembelajaran dan memori visual, pertimbangan dan pemecahan masalah, kecepatan pemrosesan, dan kognisi sosial (Keefe & Harvey, 2012). Dari 7 domain penting ini, belum ada konsensus domain yang paling berkaitan erat dengan terjadinya disabilitas fungsional atau disfungsi dalam kemampuan fungsi sosial pasien skizofrenia. Shamsi et al. (2011), berpendapat bahwa memori kerja, memori verbal, atensi dan kognisi sosial berkaitan erat dengan kemampuan fungsi sosial pada pasien skizofrenia. Hueng et al. (2013) menyatakan perlunya intervensi pada kemampuan kognisi sosial dalam rangka memperbaiki kemampuan fungsi sosial pasien skizofrenia. Santosh et al. (2013) berpendapat fungsi eksekutif, memori kerja verbal, kecepatan psikomotor, atensi, dan kelancaran verbal berkorelasi secara signifikan dengan fungsi sosial pasien skizofrenia (rawat diri, okupasi, sosial, dan keluarga).

Sedangkan Ventura et al. (2013) menyebutkan bahwa kondisi neurokognitif pasien skizofrenia berkorelasi dengan kemampuan fungsi sosial, tanpa menyebutkan seberapa besar pengaruh masing-masing domain kognitif terhadap kemampuan fungsi sosial pasien. Perbedaan ini dapat terjadi antara lain karena masing-masing peneliti menggunakan instrumen yang berbeda dalam menilai fungsi kognitif dan kemampuan fungsi sosial pasien skizofrenia.

Dalam penyakit ataupun masalah yang diderita oleh seseorang dalam bidang keagamaan itu dianggap sebagai suatu cobaan dan ujian keimanan serta ketaqwaan terhadap seseorang.Sudah seharusnya kita sebagai hamba


(16)

yang sabar tidak boleh berputus asa, dan berusaha untuk mengobatinya, senantiasa berdoa serta berdzikir kepada Allah SWT.Dalam ajaran agama Islam ada ayat maupun hadist yang memberikan tuntunan agar manusia sehat seutuhnya baik dari segi fisik, kejiwaan, sosial maupun kerohanian. Ayat tersebut adalah :“Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S Al-Baqarah, 2:155).

Melihat fenomena ini, peneliti ingin mengetahui adakah hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan data dan uraian pada latar belakang tersebut di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Apakah terdapathubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Mengetahui adanya hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pasien gangguan jiwa (skizofren).


(17)

2. Praktis

a. Bagi penderita

Meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik, khususnya dalam aspek fungsi kognitif dan fungsi sosial pasien skizofrenia.

b. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti tentang hubungan antara fungsi kognitif dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.

c. Bagi Keluarga

Memberikan pengetahuantentang fungsi kognitif dan fungsi sosial sehingga keluarga mengerti bagaimana memperlakukan anggota keluarga yang terkena gangguan jiwa (skizofren).

d. Bagi masyarakat

Memberikan informasi atau pengetahuan tentang fungsi kognitif dan fungsi sosial dalam memperlakukan seorang penderita gangguan jiwa (skizofren) di dalam lingkungan masyarakat.

e. Bagi tenaga kesehatan

Menambah masukan tentang hubungan fungsi kognitif dan fungsi sosial kepada tenaga-tenaga kesehatan.Sehingga dapat meningkatkan kualitas tentang rehabilitasi pasien skizofren.

f. Bagi pemerintah

Memberikan masukan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, khususnya pasien gangguan jiwa sehingga meningkatkan peran pemerintah.


(18)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah : Tabel 1.Perbedaan Penelitian

Peneliti

Tahun Judul Subjek Instrumen Hasil

Hueng et al. (2013). Clinical Symptoms, Social Cognition Correlated with Domains of Social Functioning in Chronic

Schizophrenia.

Pasien skizo-frenia.

Personal and Social

Performance (PSP) dan BFRT (Benton Facial

Recognition Test)

Hasil penelitian terhadap 60 pasien skizofrenia didapatkan picture arrangement, BFRT (Benton Facial Recognition Test) berhubungan dengan 4 domain kemampuan fungsi sosial berdasarkan PSP (perawatan diri, aktivitas yang berguna secara sosial, hubungan personal dan sosial, serta perilaku mengganggu dan agresif). Santosh

et al. (2013).

Psychopatholo gy, Cognitive Function, and Social

Functioning of Patients with Schizophrenia Pasien skizo-frenia Schizophrenia Research Foundation India–Social Functioning Index (SCARF-SFI)

Hasil penelitian terhadap 100 pasien skizofrenia menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan (p<0,05) antara fungsi kognitif (fungsi eksekutif, memori kerja verbal, kecepatan psikomotor, atensi, dan kelancaran

verbal) dengan

kemampuan fungsi sosial pasien skizofrenia (rawat diri, okupasi, sosial, dan keluarga).

Hal-hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah lokasi, subyek penelitian, instrumen penelitian, variabel penelitian.


(19)

8

A. Tinjauan Pustaka 1. Skizofren

a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya.penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi (Kaplan & Saddock, 2010).Definisi skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ, 2001) menjelaskan bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit tak selalu bersifat kronis atau (deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

b. Epidemiologi

The lifetime risk skizofrenia di dunia adalah antara 15 sampai 19 per 1.000 populasi sedangkan point prevalence adalah antara 2 sampai 7 per 1000. Ada beberapa perbedaan antara negara-negara, namun tidak signifikan ketika dibatasi oleh gejala-gejala utama skizofrenia.Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan laki-laki memiliki onset lebih awal dibandingkan perempuan (Sample & Smith, 2013; Tianli, L. et al


(20)

2014).Menurut penelitian Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi psikosis tertinggi di D.I.Y dan Aceh (masing-masing 2,7%), artinya ada 1-2 penduduk dari 1000 peduduk yang menderita gangguan jiwa berat danprovinsi D.I.Y merupakan provinsi dengan penderita gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia dengan angka kejadian 2,7 orang per mil atau 2-3 penduduk per 1000 penduduk (Riskesdas, 2013).

c. Etiologi

Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (2010) sebagai berikut:

1) Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.

2) Faktor biologis

Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologisuntuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis.Ketiga daerah tersebut saling


(21)

berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.

3) Genetika

Penelitian menunjukkan bahwa seseorang kemungkinan menderitaskizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia, dankemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah hubungan dengandekatnya persaudaraan.Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigotik yang diadopsimenunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang tua angkatmempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandung. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan.

4) Faktor psikososial

a) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik

Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control


(22)

terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubunganinterpersonal. Simtom positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap factor pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik.Simtom negative berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.

b) Teori Belajar

Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian mempelajari reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk.

c) Teori Tentang Keluarga

Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan


(23)

meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.

d) Teori Sosial

Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia.Meskipun ada data pendukung, namunpenekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.

d. Gejala Klinis Skizofrenia

Menurut (PPDGJ, 2001)tentang skizofren harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

1) Thought echo, Thought insertion or withdrawal, Thought broadcasting

a) Thought echo adalah isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. b) Thought insertion or withdrawal adalah isi pikiran yang asing

dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).

c) Thought broadcasting adalah isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya mengetahuinya


(24)

2) Delusion of control , Delusion of influence , Delusion of passivity , Delusion perception

a) Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.

b) Delusion of influenceadalahwaham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.

c) Delusion of passivity adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya secara jelas, merujuk ke pergerakan tubuh serta anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus).

d) Delusion perception adalah pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

3) Halusional Auditorik dapat berupa suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien. Dan mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh).

4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu


(25)

mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain).

5) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

6) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

7) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), negativisme, mutisme, dan stupor.

8) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.

Kriteria diagnostik skizofrenia menurut DSM-IV TR paling tidak, terdapat enam kriteria diagnostic skizofrenia menurut Diagnostic and Statistical Manual of mental disorder (DSM-IV TR, 2004) sebagai berikut :


(26)

1) Symptom-Symptom atau gejala-gejala khas

Dua atau lebih dari yang berikut ini, masing-masing muncul cukup jelas selama jangka waktu satu bulan (atau kurang, bila ditangani dengan baik) :

a) Delusi b) Halusinasi

c) Pembicaraan kacau

d) Tingkah kacau atau katatonik e) Sympton-symptom negatif 2) Disfungsi sosial / okupasional 3) Durasi

Symptom-symptomgangguan ini tetap ada untuk paling sedikit 6 bulan.Periode 6 bulan ini paling tidak mencakup paling tidak 1 bulan di mana symptom-symptom muncul.

4) Tidak termasuk gangguan schizoaffective atau gangguan mood. 5) Tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis. 6) Hubungan dengan Pervasive Developmental Disorder. Bila ada

riwayat Autistic Disorder atau gangguan PDD lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila ada halusinasi atau delusi yang menonjol, selama paling tidak 1 bulan.

Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal). Harus ada suatu perubahan yang


(27)

konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.

Menurut Harald S (2015).Skizofrenia memiliki gejala yang sangat kompleks yang ditunjukkan oleh kumpulan gejala yang didominasi oleh psikosis.Gejala-gejala skizofrenia dibagi menjadi dua, yaitu gejala positif dan gejala negatif.Gejala positif skizofrenia adalah halusinasi, delusi, dan paranoid sedangkan yang termasuk dalam gejala negatif skizofrenia adalah motivasi diri rendah, apatis, kehilangan konsentrasi, dan enggan untuk bersosialisasi dengan masyarakat. e. Pedoman Diagnosis

Diagnosis gangguan skizofrenia ditegakkan saat pasien mengalami 2 gejala dari gejala 1 sampai 5 dari kriteria A pada tabel (e.g. bicara kacau),kriteria B mensyaratkan adanya gangguan fungsi,gejalaharus bertahan selama minimal 6 bulan, dan diagnosis dari gangguan skizoafektif atau gangguan mood harus ditepis (Sadock, et al., 2015). Berikut Kriteria DiagnostikSkizofrenia yang lengkap dalam DSM-V :

1) Karakteristik Gejala

Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan


(28)

(atau kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satunya harus (1), (2), atau (3):

a) Delusi/Waham b) Halusinasi

c) Bicara Kacau (sering melantur atau inkoherensi) d) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik

e) Gejala negatif, (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)

2) Disfungsi Sosial/Pekerjaan

Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).

3) Durasi

Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala


(29)

negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).

4) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif

Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena

a) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun

b) Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.

5) Eksklusi kondisi medis umum/zat

Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.

6) Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global

Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati). (Sadock, et al., 2015)


(30)

f. Penggolongan Skizofrenia

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III, yaitu :

1) Skizofrenia paranoid (F 20. 0) a) Memenuhi kriteria skizofrenia.

b) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar.

c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1) a) Memenuhi kriteria skizofrenia .

b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun). c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri. d) Gejala bertahan 2-3 minggu.

e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud.Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak.


(31)

f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan.

g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate),cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang.

h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik (F 20. 2)

a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia.

b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme.

c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal).

d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut.

e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah).

f) Rigiditas (kaku).

g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar.


(32)

h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat.

i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia. b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik.

c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pasca- skizofrenia.

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4)

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini.

b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya).

c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-).Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3).


(33)

6) Skizofrenia residual (F 20. 5)

a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yangmenumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia. c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana

intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia.

d) Tidak terdapat dementia atau gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

7) Skizofrenia simpleks (F 20. 6)

a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkankarena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalanperlahan dan progresif dari:


(34)

(1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.

(2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya (F.20.8)

Termasuk skizofrenia chenesthopathic(terdapat suatu perasaanyang tidaknyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik (F.20.7)

Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah disebutkan.

g. Penatalaksanaan Skizofrenia

Walaupun terapi antipsikotik merupakan pengobatan yang penting untuk skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk psikoterapi, dapat mendukung perbaikan klinis.Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung regimen tersebut.Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari


(35)

pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial (Kaplan & Sadock, 2010).

1) Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalisasi)

Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, dan perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, dan tempat berlindung. Tujuan utama perawatan di Rumah Sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (empat sampai enam minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif daripada institusi yang biasanya dan komunitas terapetik berorientasi-tilikan.


(36)

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan social. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat, board-and-care homes, dan half-way house, pusat perawatan di siang hari (day care center) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kehidupan sehari-hari pasien. 2) Farmakoterapi

Obat antipsikotik, diperkenalkan pada awal tahun 1950, telah mengalami perkembangan yang revolusioner dalam pengobatan skizofrenia.Kira-kira dua sampai empat kali banyaknya pasien yang kambuh ketika diterapi dengan plasebo dibandingkan dengan terapi dengan obat antipsikotik.Akan tetapi obat ini menyembuhkan gejala dari penyakit dan tidak mengobati skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2010).

Obat antipsikotik terdiri dari dua kelas mayor seperti antagonis reseptor dopamin (misalnya chlorpromazine, haloperidol) dan SDAs (misalnya risperidon) dan Clozapin.Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.Efektivitas antipsikotik dalam pengobatan


(37)

skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai penelitian buta ganda yang terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih daripada yang lain untuk gejala-gejala tertentu (Maramis, 2009).

Penggunaan obat antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia harus mengikuti lima prinsip utama yaitu (Kaplan & Sadock, 2010):

a) Klinis harus secara hati-hati menentukan target simptom untuk diterapi.

b) Antipsikotik yang telah bekerja dengan baik sebelumnya pada pasien harus digunakan lagi. Pada kejadian yang tidak mendapatkan informasi, pilihan antipsikotik biasanya didasarkan pada efek samping dari obat tersebut.

c) Waktu minimum pemberian permulaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu dengan dosis yang adekuat. Jika permulaan tidak berhasil, obat antipsikotik yang berbeda, biasanya dari kelas yang berbeda, dapat dicoba. Akan tetapi reaksi yang tidak menyenangkan dari pasien pada pemberian dosis pertama obat antipsikotik berhubungan erat dengan ketidaktaatan dan respon yang jelek ke depannya.

d) Pada umumnya, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada saat yang bersamaan jarang, jika pernah, atas indikasi. Akan tetapi, pada terapi yang khusus pasien resisten kombinasi


(38)

obat antipsikotik dengan obat yang lain, sebagai contoh, carbamazepin (tegretol) bisa diindikasikan.

e) Pasien harus diberikan terapi rumatan dengan dosis minimal yang efektif. Dosis rumatan lebih rendah dibandingkan dengan dosis selama kontrol simtom selama episode psikotik.

Skizofrenia adalah suatu gangguan yang berlangsung lama dan fase psikotiknya memiliki tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi, dan fase stabil.Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap semua fase tersebut.

3) Penanggulangan berdasarkan fase

Menurut Maramis (2009) strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis.Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.Tujuan pengobatan di sini adalah mengurangi gejala psikotik yang parah.Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu dua sampai tiga minggu.Biarpun masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja.

Setelah empat sampai delapan minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala


(39)

mereda, maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama kali.Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah gejala-gejal mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.

Setelah enam bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan.Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit badaniah yang menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan sebagainya).Senantiasa kita harus waspada terhadap efek samping obat.

Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan secara individual.Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respon pasien pada pengobatan sebelumnya.Ada beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang


(40)

paling baik.Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif yang menonjol.

Untuk pasien yang pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu meberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikotik atipik atau antipsikotik tipikal tetapi dengan dosis yang rendah.

h. Prognosis

Maramis & Maramis (2009) menyebutkan bahwa 1/3 dari pasien skizofrenia yang datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama akan sembuh sama sekali (full remission/recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya dan sisanya biasanya, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa.

Pasien yang menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam 2 tahun,


(41)

dibandingkan dengan pasien yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-30% (Puri, et al., 2014).

Perkiraan perjalanan penyakitdanprognosis pasien skizofreniapada penelitian kohort dengan follow-up selama13tahun (Mason, et al., 1995; Semple & Smyth, 2013)antara lain :

1) Sekitar15-20% dariepisodepertamatidakakankambuh. 2) Beberapaorangakan tetapbekerja

3) 52% tanpagejalapsikotikdalam2tahun terakhir. 4) 52% tanpagejala negatif.

5) 55% menunjukkan fungsi sosial yang baik atau cukup baik

Prognosis dapat ditetapkan juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain (Maramis & Maramis, 2009) :

1) Kepribadian prepsikotik. Bila skizoid dan hubungan antarmanusia memang kurang memuaskan maka prognosis lebih jelek.

2) Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.

3) Jenis : Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik/terdisorganisasi dan skizofrenia simplek mempunyai prognosis yang sama jelek, biasanya jenis skizofrenia ini menuju kearah kemunduran mental.


(42)

4) Umur : makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis. 5) Pengobatan : makin lekas diberikan pengobatan, makin baik

prognosisnya.

6) Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologis, maka prognosisnya lebih baik. 7) Faktor keturunan : prognosis menjadi lebih berat bila didalam

keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.

2. Fungsi Kognitif

a. Definisi Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub et all.,.2000).

b. Faktor yang mempengaruhi

Fungsi kognitif seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya yaitu latar belakang pendidikan, tingkat intelegensi dan adanya penyakit atau kelainan mental yang mengganggu fungsi normalnya.Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi hasil tes fungsi kognitif yang dilakukan oleh pasien skizofrenia,


(43)

dimana pada tes mengenai kemampuan abstrak pasien lah yang paling dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Sadock et al., 2015).

c. Klasifikasi Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari:(Modul Neurobehavior PERDOSSI, 2008)

1) Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

2) Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :


(44)

Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal.Metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

b) Pemahaman

Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

c) Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

d) Penamaan

Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak.Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. 3) Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga


(45)

tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu :

a) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention) b) Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu

beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

c) Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup. Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.


(46)

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

5) Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah / persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan.

d. Cognitive Behavioural Therapy

1) Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk memulihkan pengalaman emosional yang menyedihkan atau perilaku disfungsional dengan mengubah cara pandang pasien dalam menafsirkan dan mengevaluasi pengalaman yang telah terjadi. Terapi perilaku kognitif mendorong pasien untuk mengidentifikasi bias pengalaman yang dialami pasien, sehingga gejala psikosis akan selalu muncul pada diri pasien (Jones, et, al, 2012).


(47)

2) Perlakuan CBT yang ditujukan pada pasien psikosis pada penelitian Birchwood membedakan antara "quasi-neuroleptik" terhadap dampak CBT pada gejala psikotik (misalnya, halusinasi) dan pengobatan mereka. Birchwood (2006) menunjukkan bahwa CBT mungkin fokus pada berikut :

a) Pengurangan distress atau pengurangan depresi dan masalah perilaku yang terkait dengan keyakinan tentang simtomatologi psikotik.

b) Kesulitan mengontrol emosi pada individu yang berisiko tinggi menyebabkan gejala psikosis.

c) Gejala kekambuhan untuk mencegah kekambuhan pada psikosis.

d) “Penyerta” depresi dan kecemasan sosial, termasuk stigma yang berkembang atas pasien.

e) Pengelolaan terhadap stres, sehingga meningkatkan ketahanan terhadap stres hidup dan mencegah kekambuhan psikotik. f) Meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri sosial pada

orang dengan psikosis. 3. Fungsi Sosial

a. Definisi Fungi Sosial

Fungsi sosial dapat diartikan sebagai kualitas dan kedalaman hubungan interpersonal individu, serta kemampuan seseorang untuk memenuhi peran dan harapan yang didefinisikan oleh masyarakat.


(48)

Fungsi sosial memiliki beragam segi dan alaminya dapat dipahami dengan cara menilai berbagai domain kehidupan, antara lain fungsi peran, hubungan sosial, perawatan diri, ketrampilan hidup mandiri,waktu luang, aktivitas rekreasi serta integrasi ke masyarkat (Corrigan & Mueser, 2008).

Fungsi sosial menjadi perhatian utama pada penderita gangguan jiwa karena beberapa alasan, antara lain keterlibatannya dalam kriteria diagnostik gangguan kejiwaan, perannya sebagai gejala premorbid, kemampuannya dalam memprediksi perjalanan penyakit yaitu gejala kekambuhan dan rawat inap kembali, serta secara harfiah merupakan dimensi yang penting dalam kehidupan manusia (Corrigan & Mueser, 2008).

Gangguan pada fungsi sosial merujuk pada ketidakpuasan pada performa peran, hubungan interpersonal yang sehat dan citra-diri positif yang menyebabkan individu tidak tentram dengan dirinya sendiri(Datar, et al., 2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan disabilitas psikiatrik dapat berdampak pada fungsi sosial, termasuk diantaranya gejala, fungsi kognitif, kemampuan sosial, dan faktor lingkungan serta sumber daya (Corrigan & Mueser, 2008). Fungsi sosial yang berkurang merupakan prediktor yang penting untuk kualitas hidup(Bellack, et al., 2007) dan Sebuah penelitian yang dilakukan di enam negara di Eropa mendapatkan, lebih dari 80 %


(49)

pasien skizofrenia dewasa mengalami masalah fungsi sosial yang menetap (Hunter, et al., 2010).

b. Penilaian Fungsi Sosial

Penilaian fungsi sosial pasien skizofrenia dapat dilakukan dengan empat cara yaitu observasi langsung, self-report, pelaporan dari pengasuh, dan dengan alat ukur.Penilaian dengan alat ukur memiliki kelebihan yaitu dapat mengatasi keterbatasan dari tiga cara sebelumnya antara lain pengumpulan data yang lebih cepat dan gambaran yang lebih shahih. (Reverger, 2012). Alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai fungsi sosial antara lainGlobal Assessment of Functioning (GAF), Social and Occupational Functioning Assessment Scale (SOFAS) serta Personal and Social Performance Scale (PSP) (Purnama, et al., 2012).


(50)

B. Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Terdapat Hubungan antara Fungsi Kognitif dengan Fungsi sosial pasien skizofrenia di wilayah Puskesmas daerah Yogyakarta.

FUNGSI

KOGNITIF

FUNGSI

SOSIAL

PASIEN

SKIZOFRENIA


(51)

40 A. Desain Penelitian

Desain Penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti memperoleh jawaban dari pertanyaan peneliti (Sastroasmoro, 2002).Penelitian ini menggunakan desain penelitianobservasional analitik dengan rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara fungsi sosial dengan kualitas hidup skizofrenia.Penelitian cross-sectionalmerupakan suatu penelitian dimana pengukuran atau observasi variabel-variabel dilakukan hanya satu kali dan dalam satu waktu(Sastroasmoro, 2002).

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmojo, 2012).Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Yogyakarta.

2. Sampel Penelitian

Sampel merupakan sebagian objek yang di ambil dari keseluruhan objek penelitian dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2012).

Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.Consecutive sampling merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik, dan seringkali merupakan cara termudah. Semua subjek


(52)

yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.Agar consecutive sampling dapat menyerupai probability sampling,maka jangka waktu pemilihan pasien harus tidak terlalu pendek, terutama untuk penyakit yang dipengaruhi musim, kecuali untuk penyakit yang tidak dipengaruhi musim hal ini dapat diabaikan (Sastroasmoro, 2002).

Perkiraan besar sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampeluntuk koefisien korelasi.

Keterangan :

n : Besar sampel

Ζα : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α (untuk α=0,05 adalah 1,960).

Ζβ : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar diinginkan (untuk β = 0,10 adalah 1,282). r : nilai koefisien korelasi (0,5 didapatkan dariWijayanti, (2011)

pada penelitian sebelumnya).

Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada rumus di atas didapatkan jumlah sampel sebesar 95 responden.

Sampel yang menjadi subjek penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Kriteria tersebut antara lain :


(53)

3. Kriteria Inklusi

a. Orang yang terdiagnosis sebagai penderita skizofrenia b. Pasien skizofrenia dalam fase maintenance.

c. Pasien skizofrenia yang memiliki care-giver yang tinggal serumah. d. Penderita skizofrenia yang kooperatif dan bersedia menjadi responden

penelitian.

e. Pasien skizofrenia terkontrol yang mengonsumsi antipsikotik. 1. Kriteria Eksklusi

a. Memiliki penyakit fisik berat b. Mengisi kuisioner tidak lengkap c. Menderitacacat fisik bawaan C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Yogyakarta .Waktu pengambilan data penelitian dilakukan dari bulan 16 Mei – 28 Mei2016. D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel, yaitu : 1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah fungsi sosial pasien skizofrenia

2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah fungsi kognitif pasien skizofrenia


(54)

3. Variabel Penganggu

Variabel penganggu dalam penelitian ini antara lain :

a. Faktor Sosio-demogafi yaitu usia, onset, jenis kelamin, tingkat pendidikan status perkawinan, pekerjaan dan tingkat penghasilan. b. Faktor Klinis yaitu jenis dan dosis obat, efek samping obat dan

komorbiditas medis. E. Definisi Operasional

1. Fungsi sosial adalah kualitas dan kedalaman hubungan interpersonal individu, serta kemampuan seseorang untuk memenuhi peran dan harapan yang didefinisikan oleh masyarakat. Fungsi sosial memiliki beragam segi dan alaminya dapat dipahami dengan cara menilai berbagai domain kehidupan, antara lain fungsi peran, hubungan sosial, perawatan diri, ketrampilan hidup mandiri,waktu luang, aktivitas rekreasi serta integrasi ke masyarkat (Corrigan & Mueser, 2008).Fungsi sosial juga dapat diartikan sebagaiadalahberbagaikemampuan esensial seseorang agar dapat mempertahankan kehidupan yang independensecara sosial.Variabel ini diukur dengan PersonalandSocialPerformance Scale(Skala PSP) dan dinyatakan dalam skala ordinal.

2. Fungsi kognitif adalah kemampuan otak seseorang dalam menerima, mengolah maupun menggunakan kembali informasi yang diterima dari luar. Variabel fungsi kognitif pada pasien skizofrenia dapat diukur menggunakan Schizophrenia Cognition Rating Scale yang telah dimodifikasi menjadi versi Bahasa Indonesia (ScoRSvI), dinyatakan dalam


(55)

skala ordinal (ringan, sedang dan parah) dan dengan hasil akhir berupa skala numerik.

F. Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Kuesioner Data Pribadi

Kuesioner data pribadi berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, riwayat keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit, jenis antipsikotik dan keteraturan minum obat.

2. PersonalandSocialPerformance Scale(Skala PSP)

Instrumen PSP dikembangkan pada tahun 1999 dan dipublikasikan pada tahun 2000 oleh Morosini dkk untuk mengukur fungsi sosial dan personal pasien skizofrenia. Skala PSP terdiri dari penilaian terhadap 4 (empat) ranah, yaitu (1) merawat diri dengan 6 komponennya, (2) aktivitas sosial yang berguna dengan 3 komponennya, (3) hubungan personal dan sosial dengan 2 komponennya, serta (4) perilaku agresif dan mengganggu dengan 5 komponennya. Instrumen PSP terdiri dari 4 ranah dengan 19 butir pertanyaan terstruktur dan penilaiannya sebagai berikut:

a. Skor 100-70 menunjukkan hanya ada kesulitan fungsi yang ringan. b. Skor 69-31 menunjukkan adanya disabilitas yang bermanifestasi dalam

berbagai tingkatan.

c. Skor yang kurang atau sama dengan skor 30 menunjukkan fungsi pasien sangat buruk dan memerlukan bantuan atau supervisi.


(56)

Skala PSP dikembangkan dengan alasan di antaranya adalah guna menciptakan alat ukur yang praktis. Kepraktisan PSP tampak dalam beberapa hal:

a. PSP hanya terdiri dari 4 ranah yang mencakup 16 komponen terukur dibantu 19 butir pertanyaan dalam bentuk wawancara terstruktur; b. Jawaban atas setiap butir pertanyaan digunakan untuk menilai derajat

setiap ranah. Masing-masing ranah diwakili oleh 6 derajat;

c. Indeks ini tidak membebani subyek yang diukur, karena hanya perlu menjawab 19 butir pertanyaan dengan jawaban sederhana;

d. Kalkulasi skor totalnya juga sederhana yaitu dengan mencocokkan derajat masing-masing ranah dengan tabel skor dalam bentuk interval 10 poin seperti skoring GAF, dan kemudian menentukan skor akhir di antara 10 poin interval tersebut;

e. Waktu yang diperlukan untuk melakukan seluruh proses ini dalam praktik klinis sehari-hari adalah antara 5 – 10 menit. (Purnama, et al., 2012).

3. Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS)

SCoRS adalah suatu instrumen pengukuran terhadap fungsi kognitif pasien skizofrenia yang berbasis wawancara.Instrumen pengukuran ini memiliki 20 butir pertanyaan yang harus ditanyakan oleh pewawancara kepada pasien, dan informan yang berinteraksi sehari-hari dengan pasien, masing-masing dilakukan secara terpisah. Setiap butir pertanyaan dinilai dengan 4 poin skala pengukuran, yaitu: 1 : tidak ada; 2 : ringan; 3 :


(57)

sedang; 4 : parah dan N/A (non-applicable) apabila pertanyaan tidak dapat diajukan setelah disesuaikan dengan kondisi pasien. Penilaian skala fungsi global (1-10) yang terdapat di akhir lembar pengukuran harus dilengkapi oleh pewawancara saat wawancara telah selesai.Penilaian tersebut digunakan untuk menilai ada tidaknya disfungsi kognitif pada pasien skizofrenia berdasarkan pengamatan yang dilakukan saat melakukan wawancara (Keefe et al., 2006).

G. Jalannya Penelitian

Pelaksanaan penelitian dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mengurus ethical clearance penelitian, menetapkan pelaksanaan, membuat lembar informed consent dan menyiapkan instrumen penelitian seperti kuesioner data pribadi, Personal and Social Performance Scale (Skala PSP) danSchizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS).

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan meliputi kegiatan lapangan.Pelaksanaan pengambilan data dilakukan oleh peneliti di wilayah kerja Puskesmas Yogyakarta, dengan mendatangi langsung ke rumah responden didampingi kader desa setempat. Responden diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian, dan diminta kesediannya untuk berpartisipasi dalam


(58)

penelitian ini dengan menandatangani informed consent.Pengisian kuesioner dilakukan dengan mewawancarai responden.

3. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian meliputi pengolahan data, analisis data, presentasi hasil karya tulis ilmiah (KTI), pembuatan laporan serta naskah publikasi.

H. Uji Validitas dan Realibilitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur sehingga berfungsi menilai valid tidaknya suatu instrumen penelitian, salah satunya kuesioner. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengkuran duakali atau lebih terhadap pertanyaan yang sama,denganmenggunakan alat ukur yang sama (Notoatmojo, 2012).

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji validas dan reliabilitas karena kuesioner yang digunakan pada penelitian ini sebelumnya sudah pernah divaliditasikan.

a. Personal and Social Performance Scale (Skala PSP) InstrumeninitelahdivalidasidiIndonesia

padatahun2008olehdr.Purnama, et al., (2012) pada penelitiannya dengan judul Uji Validitas dan Reliabilitas Personal dan Social Performance Scale pada Pasien Skizofrenia di Indonesia. Instrumen ini telah divalidasi denganvaliditas sebesar0,77 dan reliabel.


(59)

b. Wawancara Kualitas Hidup Lehman Lehman

Instrumen ini telah divalidasi oleh Eniarti (2008) pada penelitiannya dengan judul Perbedaan Skor Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia yang Mendapat Terapi Kerja Berorientasi Token Economy dengan Terapi Aktivitas Kelompok di RSJ Dr. Soerojo Magelang. Instrument ini mempunyai nilai validitas dan realibilitas yang signifikan baik yang divalidasi di luar negeri maupun yang divalidasi di RSJ Magelang yaitu validasi yang didapatkan adalah (r hitung = 0,372 – 0,789) dan reliabel. I. Analisis Data

Data hasil interview fungsi kognitif dan fungsi sosial berupa variabel onumreik akan dianalisis dengan uji korelasiPearson Correlation.Data dianalisis dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution(SPSS) 22.0.


(60)

49

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DIY yaitu Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari 2, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Pleyen 2 Yogyakarta.

2. Karakteristik Subjek Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien skizofrenia dengan asumsi bahwa fungsi kognitif memiliki hubungan dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.

Jumlah sampel keseluruhan di 10 Puskesmas daerah Yogyakarta adalah 106 pasien skizofrenia beserta keluarga pasien skizofrenia.Sesuai dengan kriteria inklusi, kriteria ekslusi dan kriteria drop out maka ditetapkan 95 pasien skizofrenia beserta keluarga pasien skizofrenia sebagai subjek penelitian pada penelitian ini.

Gambaran karakteristik subjek penelitian dari data primer didapatkan sebagai berikut:


(61)

Tabel 2. Distribusi Data Karakteristik Subjek Penelitian

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat adanya perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pernikahan, lama sakit dan riwayat keluarga subjek penelitian. Sebagian besar subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 64 (64,0%). Usia subjek sebagian besar berusia antara 36-

Karakteristik Subjek Penelitian Frekuensi Presentase (%) Jenis kelamin

Laki- laki 64 64,0

Perempuan 31 31,0

Usia

- Remaja Awal (12 – 1 6 tahun) 1 1,0

- Remaja Akhir (17 – 25 tahun) 8 8,0

- Dewasa Awal (26- 35 tahun) 23 23,0

- Dewasa Akhir (36- 45 tahun) 40 40,0

- Lansia Awal (46- 55 tahun) 20 20,0

- Lansia Akhir (56 – 65 tahun) 3 3,0

Pendidikan

- Tidak Sekolah 1 1,0

- Tidak Tamat SD/Sederajat 9 9,0

- Tamat SD/Sederajat 10 10,0

- Tamat SMP/Sederajat 30 30,0

- Tamat SMA/Sederajat 42 42,0

- Diploma 1 1,0

- Sarjana 2 2,0

Pekerjaan

- Tidak Bekerja 65 65,0

- Bekerja 30 30,0

Pernikahan

- Belum Menikah 60 60,0

- Menikah 31 31,0

- Cerai 4 4,0

Lama sakit

- < 1 tahun 4 4,0

- 1-5 tahun 11 11,0

- antara 5-10 tahun 30 30,0

- > 10 tahun 50 50,0

Riwayat Keluarga

- Tidak Ada 70 70,0


(1)

Couture, SM., Penn, DL., Roberts, DL, 2006. The functional significance of social cognition in schizophrenia: a review. Schizophrenia Bulletin, 32: S44 –S63

Dacey, J. S., & Travers, J. F. (2002). Human development across the lifespan. (5thed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Dinosetro. 2008. Hubungan antara peran keluarga dengan tingkat kemandirian kehidupan sosial bermasyarakat pada klien Skizofrenia post perawatan di Rumah Sakit Jiwa Menur. http://dinosetro.multiply.com/gu estbook?&=&page=3. Diunduh pada tanggal 29 Maret 2015. Dolan, P., Canavan, J., Pinkerton, J.

2006. Family Support as Reflective Practice. London : Jessica Kingsley Publisher. Fakhari A, Ranjbar F. Dadashzadeh H,

Moghadddas F. An

Epidemiological Survey of Mental Disorders among Adult in the North, West Area of Tabriz, Iran. Departement of Psychiatry, Iran. 2005.

Francis, S., Satiadarma, M.P. 2004. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan Ibu yang Mengidap Penyakit Kanker Payudara. Jurnal Ilmiah

Psikologi “ARKHE”, Th.9 no.1.

Harvey, PD. and Strassnig, M., 2012. Predicting the severity of everyday functional disability in people with schizophrenia: cognitive deficits, functional capacity, symptoms, and health status. World Psychiatry, 11:73-79

Hesti., Haris, S., Mayza, A & Prihartono, J. 2008. Pengaruh Gangguan Kognitif Terhadap Gangguan Keseimbangan Pada Lanjut Usia. Artikel Penelitian, Neurona, vol 25, no.3, April 2008, 26-31.

Hunter, R., Barry, S. & Group, E. R., 2010. Impact of negative symptoms on psychosocial functioning in schizophrenia. European Psychiatry, Volume 25, p. 1186.

Hunter, R., Barry, S. & Group, T. E. R., 2010. Impact of negative symtomps on psychosocial functioning in schizophrenia. [Online]


(2)

Available at: http://www.gla.ac.uk/media/medi a_142692_en.pdf

[Diakses 9 April 2015].

Hueng, T., Wu, JY., Chang, W., Chuang, S., 2013. Clinical symptoms, social cognition correlated with domains of social functioning in chronic schizophrenia. J Med Sci, 33(6):341-347

Jenkins, J.H.,Gracia, J.I.R., Chang, C.I., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. Family Support Predicts Psichiatric Medication Usage Among Mexican American Individuals with Schizophrenia. Social Psyciatry and Psychiatric Epidemology, 41, 624-631. Jones, C., Hacker, D., Cormac, I.,

Meaden, A., & Irving, C, B. (2012). Cognitive behavioural therapy versus other psychosocial treatments for schizophrenia. Cochrane Database Syst Rev; 4: CD008712

Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.

Keefe, RSE. and Harvey, PD., 2012. Cognitive impairment in schizophrenia. In: Geyer, MA., Gross, G. (eds.), 2012. Novel Antischizophrenia Treatments. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, pp. 11-37

Kolegium Neurologi Indonesia.2008. Demensia dalam Modul Neurobehavior. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

Kumar, P.N.S. (2008). Impact of vocational rehabilitation on social functioning, cognitive

functioning, and

psychopathology in patients with chronic schizophrenia. Indian J Psychiatry: 50(4): 257– 261.

Mallett R, Leff J, Bhugra D, Pang D, Zhao Jing H. Social environment, ethnicity and schizophrenia. Social Psychiatry Section. Institute of Psychiatry. De Crespigny Park. London, SES 8AF, Uk, 2002.

Manouchehr, G. & Scott, B. J. (2012). Effects of cognitive remediation on neurocognitive functions and


(3)

psychiatricsymptoms in schizophrenia inpatients. Schizophrenia Research 142, 165–170.

Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9., Surabaya: Airlangga University Press.

Maramis, W. F., & Maramis, A. A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (2nded.). Surabaya: Airlangga University Press.

Martaniah, S M. (2006). Psikologi Rehabilitasi. Yogyakarta. Maslim, Rusdi, Diagnosa Gangguan

Jiwa, PPDGJ III, Direktorat Kesehatan RI, Jakarta, 2001. Mason, P., Harrison, G., Glazebrook,

C., & Medley, I. (1995). Characteristics of Outcome in Schizophrenia at 13 Years. British Journal of Psychiatry, 167 (5), 596-603.

Mueser, K, T., & Jeste, D, V. (Eds). (2008). Clinical handbook of schizophrenia. New York: The Guilford Press

NICE. (2009). National Collaborating Centre for Mental Health . Core interventions in the treatment

and management of

schizophrenia in primary and

secondary care

(update) National Institute for Clinical Excellence.

Notoatmojo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurdiana, Syafwani, Umbransyah. 2007. Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, vol.3 no.1.

Nursalam. (2003). Konsep dan Penetapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba Medika.

Parker, M.R.; Szymanski, E.M.; & Patterson, J.B. (Eds.) (2004). Patterson, T. L. & Mausbach, B. T.,

2010. Measurement of Functional Capacity: A New Approach to Understanding Functional Differences and Real-World Behavioral Adaptation in Those with Mental Illness. Annual Review of Clinical Psychology, Volume 6, pp. 139-154.

Puri, B., Hall, A., & HO, R. (2014). Revision Notes in Psychiatry


(4)

(3rd ed.). Boca Raton: CRC Press.

Purnama, D. A. et al., 2012. Uji Validitas dan Reliabilitas Personal and Social Performance Scale pada Pasien Skizofrenia di indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, 39(2), pp. 98-101.

Reichenberg, A., Harvey, PD., Bowie, CR., Mojtabai, R., Rabinowitz, J., Heaton, RK., Bromet, E., 2009. Neuropsychological function and dysfunction in schizophrenia and psychotic affective disorders. Schizophrenia Bulletin, 35(5):1022–1029

Reverger, M. J., 2012. PERBANDINGAN PERFORMA

FUNGSI PASIEN

SKIZOFRENIA YANG

MENDAPAT TERAPI

TUNGGAL DENGAN TERAPI KOMBINASI ANTIPSIKOTIKA DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rosenheck, R., Leslie, D., Keefe, R., McEvoy, J., Swartz, M., et, al Perkins, D., Stroup,S., Hsiao,

J.K., Lieberman, J., (2006). CATIE Study Investigators Group.Barriers to employment for people with schizophrenia. Am. J. Psychiatry: 163, 411–417 Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th penyunt. Philadelphia: Wolters Kluwer. Santosh, S., Roy, DD., Kundu, PS.,

2013. Psychopathology, cognitive function, and social functioning of patients with schizophrenia. East Asian Arch Psychiatry, 23:65-70

Semple, D., & Smyth, R. (2013). Oxford Handbook of Psychiatry (3rd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Shaffer, D. R. (2002). Developmental psychology: Childhood and Adolescence. (6thed.). USA: Wadsworth Group.

Shamsi, S., Lau, A., Lencz, T., Burdick, KE., deRosse, P.,


(5)

Brenner, R., Lindenmayer, JP., Malhotra, AK., 2011. Cognitive and symptomatic predictors of functional disability in schizophrenia. Schizophrenia Research, 126:257-264

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo.

Soekarto, A (2010). Psikiatrik Klinik. Yogyakarta: Bagian ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Sofa, 2008. Pengertian, Ruang Lingkup dan Studi Intervensi Sosial. http://massofa. Wordpress.com/2008/02/09/stud i-intervensi-sosial/. Diunduh pada tanggal 28 Maret 2015. Sontheimer, H. (2015). Disease Of The

Nervous System. UK: Academic Press.

Steinberg. (2002).Adolescence.6th Ed. USA: McGraw Hill Higher Education.

Suharto, Edi. 2008. Pekerjaan Sosial dan Paradigma Baru Kemiskinan.

http://www.policy.hu/suharto/m odul_a/makindo_24.htm. Diunduh pada tanggal 25 Maret 2015.

Tandon, R. et al., 2013. Definition and description of schizophrenia in the DSM-5. Schizophrenia Research, 150(1), pp. 3-10.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Diunduh pada 25 Maret 2015 pukul 22.15 WIB dari

http://www.kemendagri.go.id/m edia/documents/2014/10/29/u/u/ uu_no.18-2014.pdf.

Van Den Bergh O. Stress at Work, in Singleton WT, & Dirkx J, (eds) Ergonomic, Health, and Safety, Perspectives for the Nineties, University Press, Leuven, 1991. Ventura, J., Hellemann, GS., Thames,

AD., Koellner, V., Nuechterlein, KH., 2009. Symptoms as mediators of the relationship between neurocognition and functional outcome in schizophrenia: a meta-analysis. Schizophrenia Research, 113: 189–199

Ventura, J., Reise, SP., Keefe, RSE., Hurford, IM., Wood, RC., Bilder, RM., 2013. The Cognitive Assessment Interview (CAI): Reliability and validity


(6)

of a brief interview-based measure of cognition. Schizophrenia Bulletin, 39: 583-591

WHO, 2014. Schizophrenia. Available from: <www.who.int> [Accessed 1 July 2014]

Wiramihardja, S.A. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT. Refika Aditama.

Wolff, et al., 2010. Combination therapy in the treatment of schizophrenia.

Pharmacopsychiatry, 43(4), pp. 122-129.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

9 39 105

HUBUNGAN ANTARA LAMANYA MENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN FUNGSI KOGNITIF DI GRHA Hubungan Antara Lamanya Menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Fungsi Kognitif Di GRHA Diabetika Surakarta.

0 4 13

HUBUNGAN ANTARA STROKE ISKEMIK DENGAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF DI RSUD DR. MOEWARDI Hubungan antara Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RSUD Dr. Moewardi.

0 6 18

HUBUNGAN ANTARA STROKE ISKEMIK DENGAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF DI RSUD DR. MOEWARDI Hubungan antara Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RSUD Dr. Moewardi.

0 2 12

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT AKTIFITAS FISIK DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI DESA PUCANGAN Hubungan Antara Tingkat Aktifitas Fisik Dengan Fungsi Kognitif Pada Lanjut Usia Di Desa Pucangankecamatan Kartasura.

1 6 14

HUBUNGAN HAFIDZ QUR’AN DENGAN FUNGSI KOGNITIF ANAK HUBUNGAN HAFIDZ QUR’AN DENGAN FUNGSI KOGNITIF ANAK SEKOLAH DASAR.

0 0 15

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA LANSIA DI Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Lansia di Kelurahan Mandan Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo.

0 0 14

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA LANSIA DI Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Lansia di Kelurahan Mandan Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo.

0 0 17

HUBUNGAN ANTARA STROKE ISKEMIK DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Hubungan Antara Stroke Iskemik Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

0 0 17

Beribadah kognitif Dengan Fungsi Sosial

0 0 2