TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI TAHUN 2006

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI
TAHUN 2006

(S k r i p s i)

Oleh

Dadang Ansory

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

ABSTRAK
TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI
TAHUN 2006
Oleh
DADANG ANSORY

Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang berlangsung sejak tahun 1970 dan
telah menelan ribuan korban jiwa, akhirnya menemukan titik terang dengan
diakhirinya konflik memalui penandatanganan perjanjian damai antara
pemerintahan indonesia RI dan Gerakan Aceh Merdeka yang difasilitasi oleh
pemerintah Swedia karena beberapa petiggi GAM memang bermukim dinegara
itu. Delapan bulan setelah terjadinya bencana tsunami di Provinsi NAD, tepatnya
pada tanggal 28 Agustus 2005, Nota kesepahamam damai RI-GAM
ditandatangani. Nota kesepaham damai itu, pertama memuat bagian dari
pembangunan kesepahaman dan kepercayaan, dan memuat satu set persetujuan
prinsip untuk mencapai transisi perang ke damai. Beberapa kondisi yang
dijelaskan diatas berimplikasi terhadap tumbuh subur gerakan sosial masyarakat
sipil Aceh yang bertujuan menuntut hak sosial politik, sosial ekonomi dan sosial
budaya dalam konteks upaya mencapai kondisi demokratis bagi masyarakat
Aceh.
Adapun permasalahan dalam pelaksanaan ini adalah Apa sajakah bentuk-bentuk
partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan
pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006 ?. Adapun Tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi politik
masyarakat Aceh pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman Perdamaian antara
Pemerintah Indonesia dan GAM. Serta untuk mengetahui partisipasi politik

masyarakat Aceh dalam kegiatan pemilihan pada Pilkada Aceh tahun 2006.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif
dengan pendekatan Historis, dengan teknik pengumpulan data melalui teknik
kepustakaan, teknik dokumentasi, dan teknik analilis data kualitatif.
Dari hasil pembahasan yang dilakukan oleh peneliti mengenai partisipasi politik
masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada
Aceh tahun 2006. Maka dapat ditarik kesimpulan mengenai partisipasi masyarakat
Aceh dalam pemilihan kepala daerah yang dimenangkan oleh pasangan
independen yakni Irwandi Jusup dan Muhammad Nazar sebagai gubernur dan
wakil gubernur Aceh. Bentuk partisipasi politiknya ialah salah satu usaha untuk
mempengaruhi rakyat secara persuasif dengan melakukan kegiatan mencari
dukungan atau komunikasi massa, membentuk tim sukses, kampanye politik, dan
sampai ketitik akhir yaitu hasil pemilihan.

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI
TAHUN 2006

Oleh


Dadang Ansory
(S k r i p s i)
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 27
Maret 1988, merupakan anak pertama dari dua bersaudara,

dari pasangan bapak Dahiri dan ibu Ulbainingsih.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri 1 Kuripan Kota Agung Tanggamus, pada tahun
2000. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kota Agung pada tahun 2003.
Kemudian menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA
Muhammadiyah 1 Bandar Lampung pada tahun 2006.

Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan
Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung melalui jalur Mandiri. Pada tahun
2011 Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di desa Pajar Bulan, kecamatan
Way Tenong, dan Program Pengalaman Lapangan di SMA Negeri 1 Way Tenong
Kabupaten Lampung Barat. Selama melaksanakan perkuliahan di Program Studi
Pendidikan Sejarah Universitas Lampung penulis pernah menjabat sebagai Ketua
Bidang Minat dan Bakat Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pendidikan
Sejarah (FOKMA) periode 2010-2011. Pada tahun 2011-2013 penulis pernah
menjabat sebagai Bendahara II Partai Demokrat DPC Lampung Barat.

SANWACANA


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Tinjauan Deskriptif Tentang Pemilihan Kepala Daerah Di Aceh Pasca
MoU Helsinki Tahun 2006” pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lampung.

Penulis menyadari akan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga
mendapat banyak petunjuk dan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak,
maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Plt. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
3. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
4. Bapak Drs. Muhammad Fuad, M.Hum., Pembantu Dekan III Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.


5. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
6. Bapak Drs. Syaiful.M, M.Si., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Sekaligus
Pembahas Skripsi penulis, terima kasih atas saran dan bimbingannya selama
penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas
Lampung.
7. Bapak Drs. Tontowi Amsia, M.Si., Pembimbing I, terimakasih atas
kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik yang
membangun selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak Suparman Arif, S.Pd M.Pd, Pembimbing II, terima kasih atas segala
bimbingan, rasa simpati dan kepeduliannya selama penulis menjadi
mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Lampung.
9. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Sejarah FKIP yang telah membimbing
penulis selama menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Lampung.
10. Keluarga besarku, Maye, Uwo, Om Ares, Om Agus, Om Unang, Om Iyan,
Om Asep, Tante Turi, Mama Ana, Mama A’i, Mama Een, Mama Aap, Wak
Ujang, Wak Sundari, Bunda Nila, Ibu Habibah, Ayah Wahyudi, Kakak Bayu,
Kyai Maya, Adek Dian, Adek Fadhil, Adek Alika serta Sepupu-sepupuku,

Andi, Tama, Lilis, Sari, Septi, Selvi, Rina, Sella, terimakasih atas semua
kasih sayang, dukungan, dan do’a dari kalian semua tanpa kalian semua aku
tidak akan sekuat dan setegar ini.

11. Melisa Rahayu, terimakasih atas kebersamaan, perhatian, dukungan,
pengertian dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan study
sejak awal kuliah hingga skripsi ini terselesaikan.
12. Para sahabat, Muhammad Yusuf, Riko Sanjaya, Tahrir Mustofa, Win Fahlevi,
Febri, Esty, Eka, Novan, Myristika, Fajar dan seluruh teman-teman angkatan
2008 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
13. Keluarga besar Pendidikan Sejarah, terima kasih atas segala kekeluargaan dan
kebersamaannya selama ini.

Semoga ALLAH SWT memberikan pahala kepada semua pihak yang telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dan semoga bermanfaat
bagi yang membaca.
Bandar Lampung,
Penulis,

Dadang Ansory


Januari 20116

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Analisis Masalah
B.1 IdentifikasiMasalah ......................................................................
B.2 Pembatasan Masalah .....................................................................
B.3 Rumusan Penelitian ......................................................................
C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian
C.1 Tujuan Penelitian ...........................................................................

C.2 Kegunaan Penelitian .......................................................................
C.3 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................

5
6
6

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
A.1 Konsep Partisipasi Politik . ............................................................
A.2 Konsep Masyarakat Aceh ..............................................................
A.3 Konsep Kampanye Politik .............................................................
A.4 Konsep Pemilihan Umum Kepala Daerah .....................................
A.5 Konsep MoU Helsinki ..................................................................
B. Kerangka Pikir .....................................................................................
C. Paradigma ............................................................................................

7
10
15

18
20
23
24

III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
A.1 Metode Yang digunakan ..............................................................
A.2 Variabel Penelitian ........................................................................
B. Teknik Pengumpulan Data
B.1 Teknik Kepustakaan ......................................................................
B.2 Teknik Dokumentasi ....................................................................
C. Teknik Analisis Data ...........................................................................

1
4
5
5

26

28
29
31
32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Aceh Darusalam .....................................................................
A.1 Sejarah Aceh Darusalam ..............................................................
A.2 Kehidupan Sosial Aceh Pasca Konflik .........................................
A.3 Implementasi MoU Helsinki di Aceh ...........................................
A.4 Transformasi Masyarakat Aceh Pasca MoU Helsinki ..................

37
39
39
39
39

B. Hasil Penelitian
B.1 Penjaringan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh ...
B.2 Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh ....
B.2.1 Debat Kandidat ...................................................................
B.2.2 Strategi Kampanye ..............................................................
B.3 Pelaksanaan Pemungutan Suara ...................................................
B.3.1 Pelaksanaan Pemungutan Suara di Aceh Barat ..................
B.3.2 Pelaksanaan Pemungutan Suara di Sabang ........................
B.4 Hasil Pilkada Aceh 11 Desember Tahun 2006 .............................

48
54
55
57
64
65
79
71

C. Pembahasan ..........................................................................................

74

V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran .....................................................................................................

84
86

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
GAMBAR

57

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan
bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu
negara. Di Indonesia sendri apa yang menjadi tujuan dari negara ini dibentuk
telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa pada pembukaan undang-undang
dasar 1945 alinia IV. “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan
seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum...”
pemerintah indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan berbagai
kebijakan guna mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang
dasar tersebut. Pemerintah harus menjalankan tugas dan fungsinya sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan dari terbentuknya negara ini.

Sejarah Aceh banyak diwarnai oleh kekerasan. Sejak pemberontakan Daud
Beureueh 1953 hingga Hasan Tiro 1976, banyak korban baik dari GAM dan
masyarakat sipil Aceh maupun Pemerintah RI yang diwakili oleh TNI. Tak
kurang pula upaya yang dijalankan pemerintah untuk menyelesaikan konflik
itu, mulai dari era Soekarno, Soeharto sampai era pasca-Soeharto. Serangkian
kebijakan desentralisasi, berupa pemberian keistimewaan dalam bidang

2

ekonomi dan sosial budaya, tak kunjung mampu menyelesaikan konflik Aceh.
Bahkan operasi militer pun tidak mampu meredam pemberontakan di Aceh.
Sebab-sebab konflik Aceh seperti diungkapkan Neta S. Pane :

Jika dirunut jauh kebelakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut
kepada gerakan separatis Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro
dan kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut
bergabung ke dalam Republik Indonesia (RI) dan mendukung
Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Soalnya, beberapa hari setelah
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, pro kontra pun
muncul di Aceh (Neta S. Pane, 2001:1).
Pada akhirnya sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) diproklamirkan pada tanggal 24 Mei 1977 sebagai bentuk
perlawanan terhadap pusat. GAM merupakan gerakan garis keras yang
menuntut kebebasan, dengan bergerilnya melakukan perlawanan membuat
suasana semakin kacau sehingga hukum ada hanya dijadikan sebagai simbol.
Adanya berbagai konflik tersebut mengakibatkan terbentuknya suatu kebijakan
Daerah Operasi Militer (DOM) dengan ditandai masuknya Tentara non-organik
dengan sandi “Operasi Jaring Merah” yang berlaku sejak tahun 1988-1998 di
Aceh.

Konflik Aceh yang berlarut-larut dan memakan banyak korban jiwa akhirnya
dan dapat diselesaikan dengan adanya Memorandum of Understanding (MoU)
Helsinki pada tahun 2005 melalui mediasi CMI (Conflik Management
Initiative). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan butir-butir kesepakatan
yang baru disetujui inilah yang kemudian menjadi prinsip dasar untuk
membangun Aceh Baru yang demokratis dan berlandaskan pada self

3

goverment. Dalam MoU Helsinki yang terdiri dari 71 butir kesepakatan,
terdapat butir-butir yang mengatur tentang partisipasi politik antara yaitu butir
1.2.6 yang berbunyi: “Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan
lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia”.
Pengaturan partisipasi politik di Aceh yang diatur dalam MoU Helsinki ini
merupakan ruang publik yang telah dibuka bagi keterlibatan kelompokkelompok masyarakat di Aceh termasuk mantan GAM dalam bidang politik.
Pimpinan GAM sejak awal 2006 menyatakan keinginan menduduki jabatanjabatan eksekutif dan mempersiapkan diri menghadapi pilkada langsung.
Meskipun belum memiliki kendaraan politik karena belum ditetapkannya
aturan mengenai dan calon independen dalam Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UUPA) tahun 2006, sebagian pimpinan GAM tidak tertarik jika
ditawarkan menjadi calon dalam pilkada melalui Partai Nasional. Namun ada
sebagian anggota GAM yang tidak menolak bekerjasama dengan partai
nasional yang telah ada.

Dibentuknya Partai Aceh (PA) yang merupakan perubahan nama dari Partai
GAM oleh para mantan panglima dan aktifis GAM pada tahun 2007
merupakan perahu yang digunakan oleh mantan anggota GAM dalam
menghadapai Pilkada, Pileg lokal dan nasional pada pemilihan umum pada
tahun-tahun berikutnya. Kehadiran partai-partai lokal pasca MoU Heslinki
diharapkan mampu menampung aspirasi seluruh rakyat Aceh, termasuk mantan
combatan dan aktifis GAM yang selama ini seolah terpinggirkan oleh
pemerintah pusat melalui prinsip-prinsip demokrasi.

4

Dengan berakhirnya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia melalui
MoU Helsinki bukan berarti segala tindak kekerasan telah hilang dari bumi
Serambi Mekkah. Sebagian pihak GAM yang merasa bahwa implementasi
MoU Helsinki yang diratidikasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh
tahun 2006 (UUPA) banyak yang menyimpang, terutama tentang masalah "Self
Geverment". Demonstarsi dan bentuk kekerasan lain terus terjadi di Aceh yang
menuntut Pemerintah Indonesia di Jakarta meratifikasi UUPA sesuai dengan
hasil MoU Helsinki tahun 2006.

Partisipasi politik masyarakat Aceh merupakan sarana untuk menyuarakan
aspirasi demi kemajuan Aceh. Dengan adanya partisipasi politik tersebut,
mereka memiliki media untuk mengembangkan sistem politik agar mekanisme
politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya.

B. Analisis Masalah

B.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi yang dapat diambil
adalah sebagai berikut :

1. Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan
pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006.
2. Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam
pembentukan partai lokal di Aceh.

5

3. Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam tindak
kekerasan di Aceh.

B.2 Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diangkat dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka
peneliti membatasi masalah yaitu: Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca
MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006.
Diharapkan dengan adanya pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat
menyusun sebuah penelitian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

B.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Apa sajakah bentuk-bentuk partisipasi politik
masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada
Aceh tahun 2006 ?.

C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian

C.1 Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :Untuk
mengetahui bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh pascapenandatanganan

Nota

Indonesia dan GAM.

Kesepahaman

Perdamaian

antara

Pemerintah

6

C.2 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pihak-pihak yang
membutuhkan, adapun manfaat penelitian ini adalah :

a. Untuk menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan informasi mengenai
latar belakang lahirnya otonomi khusus Aceh dalam bidang politik.
b. Untuk memberikan gambaran tentang partisipasi politik masyarakat Aceh
dalam pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2006.
c. Sebagai

sarana

untuk

memotivasi

peranan

sejarah

dalam

mempertahankan identitas daerah bagi masyarakat, khususnya Aceh.

C.3 Ruang Lingkup Penelitian

1. Objek penelitian

: Partisipasi Politik

2. Subjek penelitian

: Masyarakat Aceh

3. Tempat penelitian

: Perpustakaan Unila dan Perpustakaan Daerah

4. Waktu penelitian

: 2013

5. Bidang Ilmu

: Sejarah Politik

7

REFERENSI

Neta S. Pane. 2001. Sejarah dan kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: solusi,
harapan, dan impian. Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia. Hal.1.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan
dijadikan topik penelitian, dimana dalam tinjauan pustaka akan dicari teori
atau konsep-konsep atau generalisasi-generalisasi yang akan dijadikan
landasan teoritis bagi penelitian yang akjan dilakukan. Adapun tinjauan
pustaka dalam penelitian ini adalah :
A.1 Konsep Partisipasi Politik

Partisipasi politik menurut Budiardjo :
“Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan
jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public polcy).
Kegaitan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara pada
pemilihan umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota
partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan
sebagainya” (Miriam Budiardjo, 2008:367).

Dari keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa setiap warga negara
berhak dan wajib untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dalam kehidupan politik.
Partisipasi warga negara tidak hanya berkaitan dengan pemilihan pimpinan

9

negara saja, tetapi partisipasi tersebut juga mampu secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Lebih lanjut Herbert McClosky, mengemukakan bahwa Partisipasi politik
adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum
(Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo, 2008:367).

Sistem politik di suatu negara tentu berbeda dengan sistem politik di negara
lain. Hal ini berdampak pada berbeda pulanya bentuk-bentuk partisipasi
politik masyarakatnya.

Menurut Huntington dan Nelson bentuk-bentuk partisipasi politik
didasarkan pada perbedaan jenis-jenis perilaku, yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.

Kegiatan Pemilihan;
Lobi (Lobbying);
Kegiatan Organisasi;
Mencari Coneksi (Contakting);
Tindakan kekerasan (Violence), (Samuel Huntington dan Nelson
dalam Miriam Budiadjo, 2008:371).

Berikut penjelasan singkat mengenai bentuk-bentuk partisipasi politik yang
dikemukakan Huntington dan Nelson :

1) Kegiatan pemilihan merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang
dapat dilakukan dengan cara memberikan pemberian suara dalam
pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari

10

dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2) Lobi (Lobbying) merupakan upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin
politik dengan maksud memengaruhi keputusan yang akan diambil
mengenai persoalan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
3) Kegiatan organisasi dimana individu berperan sebagai anggota yang
menduduki suatu jabatan maupun anggota biasa pada suatu organisasi
politik.
4) Mencari koneksi (Contacting) merupakan tindakan individu yang
ditujukan pada para pejabat yang mempunyai pengaruh besar sehingga
diperoleh manfaat yang sifatnya pribadi.
5) Tindakan kekerasan (Violence) merupakan suatu upaya untuk
memengaruhi

keputusan

pemerintah

dengan

cara

yang

dapat

menimbulkan kerugian bagi orang-orang tertentu, baik secara
pisikologis (ancaman atau intimidasi), fisik maupun material.

A.2 Konsep Masyarakat Aceh
Maclver dan Page dalam buku Soerjono Soekanto yang berjudul Sosiologi
mengatakan bahwa “Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata
cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan
manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat.

11

Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu
berubah (Soerjono Soekanto, 1982:22).
Suatu masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif, karena masyarakat
merupakan wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan tentunya juga
untuk dapat bertahan. Namun disamping itu masyarakat sendiri juga
mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi agar masyarakat itu
dapat hidup terus (Soerjono Soekanto, 1982:23).
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara
pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu
kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar
4.500.000

jiwa.

Letaknya

dekat

dengan Kepulauan

Andaman

dan

Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan
dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah
tenggara dan selatan (https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh).
Aceh

dianggap

sebagai

tempat

dimulainya penyebaran

Islam

di

Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia
Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya,
terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai
oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing,
termasuk

bekas

penjajah Belanda

dan

pemerintah

Indonesia.

Jika

dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang
sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk

12

Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai
syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh
memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Seperti disebutkan dalam Kanun Meukuta Alam AI-Asyi, bahwa Kerajaan
Aceh Darussalam tersusun dari Gampong (kampung/Kelurahan), Mukim
(federasi gampong-gampong), Nanggroe (kecamatan), Sagou (federasi dan
beberapa nanggroe dan kerajaan/ negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
berikut ini:
1) Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang Keusyik
(kepala desa) dan seorang Imam Rawatib dengan dibantu oleh sebuah
staf yang bernama Tuha Peut. Pemerintahan Gampong ini mendapatkan
hak otonomi yang luas.
2) Mukim, yaitu federasi dari beberapa Gampong, paling kurang delapan
Gampong. Mukim dipimpin oleh seorang fmeum Mukim dan seorang
Kadhi Mukim serta dibantu oleh beberapa orang waki. Dalam tiap-tiap
Mukiln didirikan sebuah Mesjid lum'at.
3) Nanggroe, yang disebut juga daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim,
empat Mukim, lima Mukim, tujuh Mukim, delapan Mukim dan sembi
Ian Mukim. Ia dipimpin oleh seorang Uleebalang dan dibantu oleh
seorang Kadhi Nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonom dalam
batas-batas tertentu.

13

4) Sagou, yaitu federasi dari beberapa Nanggroe, yang hanya ada di Aceh
Rayeuk, banyaknya tiga Sagou, sehingga disebut juga Aceh lhe Sagou,
yaitu:
a. Sagou Teungoh Leeploh, yang terdiri 25 Mukim, yang dipimpin
seorang panglima Sagou, yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri
Setia Ulama, dan dibantu oleh seorang Kadhi Sagou yang bergelar
Kadhi Rabbul Jalil.
b. Sagou Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim, yang dipimpin
seorang Panglima Sagou, yang bergelar Sri Imam Muda OR dan
dibantu seorang Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil.
c. Sagou Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim, yang dipimpin
seorang Panglima Polem Sri Mud a Perkasa, dan dibantu seorang
Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul J alii
d. Kerajaan, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam, dengan
ibukota negara: Banda Aceh Darussalam, yang kadang-kadang
disebut Bandar Darussalam dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin
seorang Raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu
oleh seorang Kadhi Kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adil (Rani
Usman, 2003:44-45).
Struktur

Kerajaan

Aceh

Darussalam

merupakan

suatu

struktur

masyarakat yang sangat sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur
kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh dapat memenuhi
kebutuhan untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Kehadiran
lembaga tersebut sebagai pengontrol dan pengendali terhadap sosial

14

keagamaan y'ang ada dalam masyarat Aceh. Dalam hal ini strata sosial
dalam masyarakat Aceh ada lima yaitu Gampong, Mukim, Nanggroe,
Sagou dan Kerajaan atau negara yang disebut sekarang adalah Nangrou
Aceh Darussalam.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Aceh adalah sekumpulan manusia yang tinggal dan menetap
di wilayah Aceh yang hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama,
memiliki kebudayaan yang sama, dan sebagian besar melakukan kegiatan
dalam kelompok itu.
Dalam kehidupan politik sebelum disepakatinya MoU Helsinki oleh
Pemerintah Indonesia dan GAM, masyarakat Aceh terbagi menjadi dua
golongan atau kelompok. Yaitu kelompik Aceh yang mendukung
Pemerintah Indonesia dan menginginkan Aceh tetap menjadi bagian
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompok ini disebut dengan
kelompok pro-integrasi.
Sedangkan golongan atau kelompok yang kedua ialah kelompok Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) yaitu merupakan kelompok yang menginginkan
provinsi Aceh menjadi sebuah negara merdeka dan terpisah dari
Indonesia. Pertumbuhan anggota GAM sendiri menurut Moh. Nurachim,
(2008:75) memiliki tiga periodisasi yakni GAM I (1976-1976), GAM ii
(1989-1991) dan GAM III (1995-2005). Hal ini yang menyebabkan
polarisasi dikalangan pimpinan GAM sehingga pasca MoU Helsinki

15

secara internal cenderung terbagi dua, yaitu kelompok GAM yang
mendukung MoU Helsinki dan GAM yang menolaknya.

A.3 Konsep Kampanye Politik
Terdapat banyak definisi mengenai kampanye yang dikemukakan oleh para
ilmuwan komunikasi, seperti menurut Snyder (2002) dalam Venus (2004),
mendefinisikan

bahwa

kampanye

komunikasi

merupakan

aktivitas

komunikasi yang terorganisasi secara langsung ditujukan kepada khalayak
tertentu pada periode waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Pfau dan Parrot (1993) dalam Venus (2004) mendefinisikan kampanye
sebagai kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menunjang dan
meningkatkan proses pelaksanaan yang terencana pada periode tertentu
yang bertujuan mempengaruhi khalayak sasaran tertentu. Selanjutnya
Rogers dan Storey (1987) dalam Venus (2004) mendefiniskan kampanye
sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan
untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagian besar khalayak
sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, Venus (2004) mengidentifikasi
bahwa aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yakni,
(1) ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu
(2) ditujukan kepada jumlah khalayak sasaran yang besar

16

(3) dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan
(4) dilakukan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
Untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat (Arifin, 2003). Salah
satu jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye
politik yang ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui
hubungan tatap muka maupun dengan menggunakan berbagai media,
seperti surat kabar, radio, televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan
selebaran

serta

medium

interaktif

melalui

komputer

(internet).

Penyampaian pesan politik melalui media massa merupakan bentuk
kampanye yang handal dalam hal menjangkau khalayak luas. Kampanye
politik saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip pemasaran dan
pembentukan citra. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena perubahan
sistematika pemilihan kepala daerah dari yang sebelumnya dipilih oleh
legislatif.
a. Teknik-teknik Kampanye Politik
Selama masa kampanye, tim kampanye berusaha menggalang dukungan
dan simpati pemilih agar pemilih menjatuhkan pilihannya pada calon
kepala daerah
menggunakan

yang dikampanyekannya. Tim
teknik-teknik

kampanye

politik

kampanye poltik
yang

kemudian

diwujudkan dalam suatu bentuk kegiatan kampanye politik untuk
mempengaruhi pemilih. Imawan dalam Amir merumuskan beberapa
teknik kampanye politik, yaitu:

17

1. Kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign), yaitu calon
kepala daerah mendatangi langsung para pemilih sambil menanyakan
persoalan-persoalan yang dihadapi. Kampanye ini efektif dilakukan
pada pemilihan umum tahun 1955, dengan mendatangi orang-orang
yang pilihannya dianggap masih ragu dan dapat dibujuk atau diancam
untuk mengubah sikap dan pilihan politik mereka.
2. Diskusi Kelompok (group discussion), dilakukan dengan membentuk
kelompok-kelompok diskusi kecil yang membicarakan masalah yang
dihadapi masyarakat.
3. Kampanye massa langsung (direct mass campaign), dilakukan dalam
bentuk aktivitas yang menarik perhatian massa, seperti pawai,
pertunjukkan kesenian
Dapat kita simpulkan kampanye adalah sebuah tindakan doktet bertujuan
mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan
oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk
melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam
suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi,
penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik demokrasi,
kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian
dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye
politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk
mengubah kebijakan di dalam suatu institusi.

18

A.4 Konsep Pemilihan Umum Kepala Daerah
Menurut Schumpeter:
"Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik baik untuk memilih
atau menentukan orang-orang yang duduk di dewan legislatif
maupun eksekutif. Pemilihan umum juga masih diyakini sebagai cara
terbaik untuk memilih pejabat publik. Selain itu penyelengaraan
pemilihan umum dapat dinyatakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dan sebagai barometer dari kehidupan demokrasi,
terutama di negara-negara Barat". (Lipset, 1960; Schumpeter,1942).
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah proses seleksi terhadap
lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan
menjadi representasi dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian
kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudan
dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan. dengan kata lain Pemilu
adalah saran demolrasi untuk membentuk sistem kekuasaan yang
berkedaulatan. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah
kekuasaan yang lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai
keinginan rakyat. Secara yuridis kontitusional, berkenaan dengan pemilihan
umum di Indonesia telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari hakikat otonomi
daerah dalam mewujudkan desentralisasi atau proses pendemokrasian
pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan
dalam pemilihan kepala daerah, guna mengatur dan mengurus urusan
rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan
mandiri.

19

Pemilihan umum di Indonesia menurut Miriam Budiardjo :
"Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari
UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratik ini mungkin
tercipta. Masyarakat demokratik ini merupakan penafsiran dari
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya
mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai
kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan, maupun
keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan keseyogiaan
dalam berperilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat
berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain
berwujud sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan
masyarakat, antara asfek kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara
kepentingan pusat dan daerah dan sebagainya" (Miriam Budiardjo,
2008:37).
Dari keterangan Budiarjo di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan
umum merupakan sebuah ciri khas dari demokrasi dan merupakan
penjabaran dari UUD 1945.

Dalam konteks Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah diatur
dalam Undang-undang No 18/2001. Pasal 13 ayat (1) undang-undang ini,
berbunyi :
“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan dan
diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang masing-masing
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 15 ayat (1) menyebutkan “Pemilihan
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain
dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14”
(UUD 1945 :Pasal 15 :1).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah
Aceh dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan. Hal ini merupakan
kekhususan Aceh yang merupakan implementasi dari MoU Helsinki dan
UUPA tahun 2006.

20

Dalam hal pilkada Aceh, landasan hukum yang mengatur adalah UndangUndang No 18/2004. Dan sebagai landasan operasionalnya dijabarkan
dalam qanun Nomor 7/2006 Tahapan pemilihan dalam pilkada Aceh tahun
2006 seperti tertuang dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 :

"Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang
selanjutnya disebut pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan
yang meliputi tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pemilih,
penetapan pemilih, pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan,
penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan
Gubernur/Wakil
Gubernur,
Bupati/Wakil
Bupati
dan
Walikota/Wakil Walikota" (Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 7
Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkkan bahwa pemilihan kepala
daerah merupakan sebuah kegiatan politik guna menyeleksi pimpinan
daerah berdasarkan kehendak rakyat secara demokratis. Dalam pemilihan
kepala daerah Aceh, proses pemilihan dilakukan secara demokratis dan
diatur dalam UUD 1945, UUPA tahun 2006 serta Qanun No 7 Tahun 2006
sebagai landasan operasionalnya.

A.5 Konsep MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki

Nota Kesepahaman Perdamaian antara Indonesia dan GAM atau lebih
dikenal dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia melalui mediasi Mr. Marti Ahtisaari
dari CMI (Crisis Management Initiative) dalam menyelesaikan konflik

21

Aceh secara menyeluruh. Pemerintah Indonesia dan GAM menggunakan
mediasi guna mempercepat penyelesaian konfilk Aceh.

MoU Helsinki merupakan sebuah babak baru dalam upaya penyelesaian
konflik di Aceh yang telah berlangsung lama. MoU Helsinki ditandatangani
oleh wakil dari Indonesia yaitu Hamid Awaludin dan pimpinan GAM
Malik Mahmud serta Mr. Marti Ahtisaari sebagai mediator di kota Helsinki,
Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. MoU Helsinki itu sendiri terdiri
dari 3 bagian, yaitu penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, hak asasi
manusia, serta amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Sebagaimana
diungkapkan Djumala (2013:195) dibandingkan dengan kesepakatan
sebelumnya seperti Jeda Kemanusiaan (12 Mei 2000) dan COHA (9
Desember 2002), MoU Helsinki lebih komprehensif.

Tentang MoU Helsinki, lebih lanjut Djumala menuturkan :
“Secara Umum MoU Helsinki tersebut berisi deal antara
Pemerintah Indonesia dan GAM yang hampir 30 tahun tidak pernah
mencapai kesepakatan; yaitu apakah Aceh akan merdeka dan
mebentuk negara sendiri, atau tetap dalam naungan NKRI. Dengan
MoU Helsinki tersebut GAM setuju menanggalkan tuntutan
merdeka dan tetap berada dalam naungan NKRI. Hal ini tersirat
dalam paragraf konsideran kedua MoU yang menyatakan kedua
belah pihak bertekad untuk menciptakan kondisi, hingga
pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses
demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik
Indonesia” (Djumala, 2013:169).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam MoU Helsinki
GAM tidak lagi menuntut kemerdekaan dan berpisah dari Negara Kesatuan
Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, sebagai konsekuensinya Pemerintah

22

Indonesia memberikan hak otomoni yang lebih luas kepada rakyat Aceh
dalam bentuk ekonomi, politik dan budaya.

Pokok-pokok perjanjian damai antar RI dan GAM diberitakan dalam koran
Media Indonesia, Selasa 10 Agustus 2005 yang dikutip oleh Warsilah dan
Tirtosudarmo dalam bukunya Pemetaan Gerakan Sosial di Masyarakat Sipil
di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Menuntut Hak-hak Sosial, Budaya,
Politik dan Ekonomi (2007, 39-40) :

"Pokok-Pokok Perjanjian Damai antara RI dan GAM :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pemerintahan Aceh;
Partisipasi politik;
Ekonomi;
Amnesti dan integrasi;
HAM;
Pengaturan Keamanan;
Pembentukan AMM" ( Media Indonesia Selasa 10 Agustus
2005 dalam Warsilah dan Tirtosudarmo, 2007:39-40).

Dari pokok-pokok perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa MoU
Helsinki merupakan perjanjian damai antara RI dan GAM secara
menyeluruh yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah di Aceh yang
selama ini terus terjadi.

Agar kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan di Aceh, perlu adanya
ratifikasi agar kesepakatan tersebut mendapat legalitas dan tidak
bertentangan dengan Konstitusi Indonesia. MoU Helsinki saat ini telah
diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA)
tahun 2006.

23

B. Kerangka Pikir

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinski merupakan cikal bakal
perubahan dan penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh dalam berbagai
tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju suatu Aceh
baru. Masa depan Aceh selanjutnya ditentukan oleh butir-butir yang
terkandung dalam MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005.
Selanjutnya MoU Helsinki diratifikasi ke dalam Undang-undang Pemerintahan
Aceh (UUPA) tahun 2006 sebagai landasan hukum bagi pemerintahan otonomi
Aceh yang baru.

UUPA tahun 2006 digunakan sebagai pijakan tentang partisipasi politik seluruh
rakyat Aceh termasuk mantan anggota GAM. Partisipasi politik mantan
anggota GAM merupakan bentuk transformasi GAM dari kekuatan bersenjata
menjadi kekuatan politik. Bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh antara
lain berupa; kegiatan pemilihan, lobbying; kegiatan organisasi; mencari
coneksi; dan tindakan kekerasan (violence).

Dalam kegiatan pemilihan, partisipasi politik masyarakat Aceh secara jelas
dapat terlihat pada pelaksanaan Pilkada Aceh 11 Desember 2006. Dimana
seluruh masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif guna mempengaruhi hasil
pemilihan. Partisipasi dalam kegiatan pemilihan ini berupa penentuan bakal
calon gubernur dan wakil gubernur, kampanye politik, dan kegiatan
pemungutan suara telah dilakukan oleh masyarakat Aceh sebagai bentuk
kepedulian mereka terhadap hasil pemilihan yangakan menentukan masa depan
Aceh selanjutnya.

24

C. Paradigma

Partisipasi Politik
Masyarakat Aceh

Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Aceh

Pemjaringan Bakal
Calon Gubernur dan
Wakil Gubernur

Kampanye
Politik

Hasil Pilkada Aceh
11 Desember 2006

Keterangan :
= Garis kegiatan
= Garis proses
= Garis akibat

Pelaksanaan
Pemungutan Suara

25

REFERENSI

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Rev.ed. Jakarta:PT Gramedia
Pustaka Utama. Hal.367.
Miriam Budiardjo. Loc Cit. Hal.367.
. Op Cit. Hal.371.
Soerjono Soekanto, 1982. Sosiologi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hal.22.
. Op Cit. Hal.23.
Wikipedia. 2007. Definisi Aceh.
Tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh (diunduh tanggal 20
Desember 2015, pukul 20.00 WIB)
Rani Usman. 2003. Struktur Masyarakat Aceh.
Tersedia di http://febasfi.blogspot.co.id/2012/11/struktur-atau-lembagapemerintahan.html (diunduh tanggal 20 Desember 2015, pukul 21.00 WIB)
Darmansjah Djumala. 2013. Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.195.
Darmansjah Djumala. Op Cit. Hal.169.
Henny Warsilah & Riwanto Tirtosudarmo. 2007. Pemetaan Gerakan Sosial
Masyarakat Sipil di Nangro Aceh Darussalam (NAD) Guna Menentukan
HakSosial, Ekonomi, Politik. Jakarta:LIPI Press. Hal.39-40.
Miriam Budiardjo. Op Cit. Hal.37.

III. METODE PENELITIAN

A. Metode penelitian
A.1 Metode yang digunakan

Metode

penelitian

merupakan

suatu

cara

yang

berguna

untuk

menyelesaikan suatu penelitian dengan mengungkapkan kebenaran sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
oleh Agus M. Hardjana (2003:25), bahwa metode adalah cara yang sudah
dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai. Dalam penelitian,
metode sebagai faktor penting dalam menyelesaikan suatu penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif
dengan

pendekatan

Historis.

Metode

deskriptif

kualitatif

adalah

penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan
berupa rangkaian angka, melainkan berupa ungkapan bahasa atau wacana
(apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis
(Wibowo, 2011: 43).
“Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lalu”. (Louis Gottschalk, 1986: 32)
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa:

27

Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah
dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalanpeninggalan, baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan
yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa
sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa
lalu, selanjutnya kerap kali juga hasilnya dapat dipergunakan
untuk meramalkan kejadian atau keadaan masa yang akan datang
(Hadari Nawawi, 2001: 79).

Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas, maka metode historis adalah
suatu cara dalam proses mengumpulkan, menganalisa, dan memahami
data-data historis, serta diinterprestasikan secara kritis untuk dijadikan
bahan dalam penulisan sejarah kemudian merekontruksi fakta dan menarik
kesimpulan secara tepat.

Langkah-langkah yang digunakan dalam pelaksanaan metode historis
adalah:

1. Heuristik, yakni kegiatan menyusun jejak-jejak masa lampau.
2. Kritik sejarah, yakni menyelidiki apakah jejak-jejak itu sejati,
baik bentuk maupun isi.
3. Inteprestasi, yakni menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh.
4. Historiografi, menyimpulkan sintesa yang diperoleh dalam
bentuk suatu kisah. (Nugroho Notosusanto, 1984: 84).

Berdasarkan metode penelitian historis di atas, maka peneliti melakukan
langkah-langkah penelitian historis sebagai berikut :

1. Heuristik
Pada tahap ini, peneliti mencari dan mengumpulkan data-data yang
berhubungan dengan tujuan penelitian.

28

2. Kritik
Setelah pengumpulan data-data yang dibutuhkan, kemudian peneliti
memberikan kritik dan penilaian terhadap data yang telah didapat
dengan menguji kebenarannya dan apakah data tersebut mendukung
kegiatan penelitian ini.
3. Interpretasi
Tahapan selanjutnya adalah peneliti memberikan penafsiran terhadap
data-data yang ada lalu data tersebut di analisis sesuai dengan tujuan
penelitian.
4. Historiografi
Pada tahap ini, peneliti melakukan penyusunan ke dalam bentuk
laporan penelitian yang bersifat sistematis.
A.2 Variabel Penelitian

Menurut Sumadi Suryabrata, variabel dikatakan sebagai segala sesuatu
yang akan menjadi objek pengamatan penelitian sering pula dinyatakan
variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan dalam perisiwa
atau gejala yang akan diteliti (Sumadi Suryabrata, 1991:79).

Sedangkan menurut Masri Singarimbun, variable merupakan konsep yang
telah diberi lebih dari satu nilai (Singarimbun, 1981:26). Pada awal
perencanaan kegiatan secara jelas menunjukan bahwa variabel-variabel
yang ada harus dipisahkan untuk membedakan perubahan yang ada. Hal
ini bertujuan sebagai strategi

untuk mempermudah kita melihat

perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat kabur.

29

Dari pendapat-pendapat di atas, variabel merupakan objek atau faktorfaktor yang berperan dalam peristiwa yang dijadikan titik perhatian dalam
sebuah penelitian. Maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah variabel tunggal dengan fokus penelitian mengenai apa sajakah
bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat aceh pasca MoU Helsinki
dalam pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2006. Unit analisis dari penelitian
ini adalah seluruh masyarakat Aceh yang telah terdaftar di dalam daftar
pemilihan tetap.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu prosedur data yang diperlukan
(Muhammad Nazir, 1993:211). Oleh sebab itu diharapkan dengan adanya
penggunaan teknik-teknik tertentu yang sistematis dan standar akan dapat
diperoleh data-data yang akan dapat menjawab dari apa yang menjadi
permasalahan dari penelitian yang direncanakan.

Karena terbatasnya waktu dan biaya, maka dalam penelitian ini data yang
dikumpulkan berupa data sekunder. Agar data yang dilperoleh sesuai dengan
masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis menggunakan teknik
pengumpulan data yaitu :

B.1 Teknik kepustakaan
“Teknik kepustakaan adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi
secara lengkap serta untuk menentukan tindakan yang akan diambil
sebagai langkah penting dalam kegiatan ilmiah (Joko Subagyo

30

1997:109)”, sedangkan Kontjaraningrat (1983:133) menyatakan bahwa
“Teknik kepustakaan merupakan cara pengumpulan data dan informasi
dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruang
perpustakaan, misalnya dalam bentuk koran, naskah, catatan, kisah
sejarah, dokumen-dokumen dan sebagainya yang relevan dengan
penelitian”.
Sementara itu teknik kepustakaan juga dapat diartikan sebagai “studi
penelitian yang dilaksanakan dengan cara mendapatkan sumber-sumber
data yang diperoleh diperpustakaan yaitu melalui buku-buku literatur yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti" (Hadari Nawawi, 2001:133).
Jadi teknik kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mempelajari dan
menelaah buku- buku untuk memperoleh data-data dan informasi berupa
teori- teori atau argumen- argumen yang dikemukakan para ahli yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Manfaat dari penggunaaan teknik kepustakaan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah topik penelitian kita telah diteliti oleh orang
lain sebelumnya, sehingga penelitian kita bukan hasil duplikasi.
2. Untuk mengetahui hasil penelitian orang lain yang ada kaitannya
dengan penelitian kita, sehingga kita dapat memanfaatkannya sebagai
bahan referensi tambahan.
3. Untuk memperoleh data yang mempertajam orientasi dan dasar teoritis
tentang masalah dalam penelitian kita.

31

4. Untuk memperoleh informasi tentang teknik-teknik penelitian yang
telah diterapkan (Muhammad Nazir, 1993:97).

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
dengan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan cara:

1. Mengumpulkan buku-buku tentang teori-teori partisipasi politik;
2. Mengumpulkan literatur masyarakat Aceh;
3. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh
dalam pemilihan kepala daerah.

Sumber data tersebut dapat diperoleh di perpustakaan Universitas
Lampung, Perpustakaan Daerah Lampung, toko buku maupun internet.

B.2 Teknik Dokumentasi

Menurut Hadari Nawawi (2001:133), teknik dokumentasi merupakan
suatu cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis berupa arsiparsip dan juga buku-buku tentang pendapat, teo