Implementasi MoU Helsinki Kajian Terhadap Pemikiran-Pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) Sebagai Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

IMPLEMENTASI MoU HELSINKI

KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN-PEMIKIRAN

PARTAI RAKYAT ACEH (PRA) SEBAGAI PARTAI POLITIK LOKAL DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik

JUFRIADI ALI 030906024

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT dengan segala rahmat dan hidayahNya yang dilimpahkan kepada peneliti atas selesainya penulisan skripsi ini. Kemudian shalawat dan salam atas jujungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan kepada ummat manusia dimuka bumi ini.

Penelitian ini yang berjudul “ Implementasi MoU Helsinki Kajian Terhadap Pemikiran-Pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) Sebagai Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam”. Hal ini berangkat dari analisis peneliti tentang perubahan sosial politik di Nanggroe Aceh Darussalam pasca konflik yang kemudian melahirkan Nota Kesepahaman Damai (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia, yang pada akhirnya melahirkan partai politik lokal sebagai bagian dari alternatif penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh.

Dalam pelaksanaan penelitian ini banyak pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat berharga atas penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh civitas akademik FISIP USU yakni, Bapak Dekan Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, Ketua Departemen Ilmu Politik Drs. Heri Kusmanto, MA, Drs. Subhilhar, MA, selaku Dosen Wali penulis, serta para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga bagi penulis. Kemudian kepada seluruh pegawai administrasi dan pendidikan Kak Uci, Bang Rusdi dan lain-lain yang telah banyak membantu penulis dalam menimba ilmu di FISIP USU.


(3)

Terima kasih penulis terhadap Bapak Drs. Ahmad Taufan Damanik, MA, dan Bapak Wajio, S.S, MA selaku dosen pembimbing dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, yang telah banyak memberikan masukan dan konstruksi pemikiran-pemikiran baru dalam wacana keilmuan penulis. Serta terima kasih penulis kepada Bapak selaku ketua penguji yang telah mengkritisi skripsi penulis dalam upaya penyempurnaan dan menambah wawasan dibidang partai politik lokal.

Terima kasih penulis yang tak ternilai kepada orang tua, Ayahanda M. Ali, SE dan Ibunda Almarhumah Zainab Binti Jafar, anakmu akan selalu berdo’a, semoga Allah menempatkan Ibunda di sisi-Nya Amin. Serta terima kasih penulis kepada Abangda Hermansyah, A.md, Edyanto,M.Z Amkl, dan istri Kak Dewi, adikku Fitriani Yanti dan suami Satria, Arifin Ariga, Sugito yang telah memberikan sumbangsihnya yang sangat berharga bagiku. Semoga kita tetap menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah amin.

Terima kasih penulis juga kepada Bang Aguswandi, SH, MA, selaku Ketua Umum PRA, Bang Thamrin Ananda, Sekjen PRA, dan Bang Tarmizi Biro Ekonomi PRA serta kader-kadernya yang telah banyak membantu dalam memberikan berbagai pemikiran tentang PRA dengan konsep Aceh Barunya. Semoga Aceh baru yang modern dan mandiri dapat terwujud sesuai dengan cita-cita partai PRA, selamat berjuang. !

Selanjutnya, ucapan terima kasih kepada keluarga besar HMI Komisariat FISIP USU, kakanda Mas Pur, Uda, mas Iwan faisal, Bang Didi, Taufik, bang Zulham, Sofyan, Brem dan masih banyak yang tak tersebutkan, teman-teman 2003, Abas, Walid, (Jangan dipikirin kali skripsinya) Coky & Ratih (kapan


(4)

merried), Ahkyar (jangan marah2 ntar diputusin kau), Veni AF, (ven titiiiiiiit…..) Roland, Cris Tarigan, (Gan, jangan modus ja gang Bali) Mimi & Prima,(tetap semangat yee) Tata & sitha, (Ta’ S-2 atau merried dulu) Andi,(semangat ya ngerjain skripsinya) Yuda,Vivi, (Yud berapa kosong dah!)Pak Leo, Fuad, Dika, Aulia,(ayo2 kalian pasti bisa) Ihsan, Mario, Putra, Rasadi,(sarjana muda fisip bah,cemana San buat perusahaan TST kita) Ana, Sri, Rika, Nanda, Utik, Dini, (wah ini calon2 tokoh gender ini, thank’s ya buat kalian semua)…sapa lagi ya,maaf kalau gak disebutin, soalnya lagi heeng ni. Tapi yang pasti kalian semua adalah teman yang sangat berharga bagiku. Kemudian terima kasih buat keluarga besar IMTA, Kerawang Gayo, Buat Bang DedyGamu semoga cepat merried, Nahwa, Amad, Irul, Sidik, Medes, Mini, Eva, semoga tetap semangat memberikan pemikiran buat perubahan dataran tinggi Gayo.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik agar skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya pada Partai Rakyat Aceh sebagai masukan dalam perjuangan partai politik di Aceh.

Medan, 31 Maret 2008 Penulis


(5)

IMPLEMENTASI MoU HELSINKI

KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN-PEMIKIRAN

PARTAI RAKYAT ACEH (PRA) SEBAGAI PARTAI POLITIK LOKAL DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama : JUFRIADI ALI

NIM : 030906024

Departemen : Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Selama lebih dari 32 tahun Nanggroe Aceh Darussalam dalam sejarahnya hidup dibawah konflik rezim Orde Lama, Orde Baru yang militeristik dan sentralisme yang merupakan rangkaian sejarah panjang dalam perjalanan politik Aceh dan Indonesia. Munculnya gerakan perlawanan dari Tanah Rencong ini merupakan bahasa politik terhadap Indonesia yang hari ini gagal dimata rakyat Aceh sebagai suatu bagian dari integritas bangsa Indonesia. Tsunami dan MoU Helsinki, Finlandia merupakan cikal bakal perubahan dan penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh dalam berbagai tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju perdamaian abadi dan suatu Aceh baru. Penelitian ini berjudul “ Implementasi MoU Helsinki Kajian Terhadap Pemikiran-Pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) Sebagai Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara umum bagaimana konsep pemikiran pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) yang hadir sebagai suatu kekuatan politik yang menciptakan gerakan sosial dan gerakan politik. Dalam penelitian akan melihat konsep seperti apa yang akan diperjuangkan dalam merekonstruksi Aceh baru yang modern dan mandiri dalam bentuk visi partai terlepas dari pertarungan ideologi di dalamnya. Untuk mengambarkan konsep pemikiran-pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) di Aceh, peneliti mengunakan kerangka analitis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dengan teori gerakan sosial barunnya yang telah mengkritisi gerakan sosial itu sendiri. Analisis teori gerakan sosial baru menurut peneliti bisa mengambarkan masalah Aceh, dalam konteks kemunculan partai politik lokal, khususnya PRA.

Partai politik lokal merupakan bagian dari implementasi MoU Helsinki sebagai wadah representatif rakyat Aceh dalam merekonstruksi demokratisasi politik di Aceh. MoU Helsinki yang di implementasikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 menjadi landasan hukum bagi berdirinya partai politik lokal di Aceh. Partai politik lokal bukan hal baru dalam sistem politik Indonesia. Ia telah ada sebagai satu kekuatan politik sejak pasca kemerdekaan dan pemilu pertama di Indonesia, meskipun hanya mendapat satu kursi di parlemen. Kehadiran partai politik lokal diharapkan mampu mengagregasikan kepentingan rakyat Aceh dalam proses membangun kembali dalam konteks Aceh baru. Partai Rakyat Aceh (PRA) hadir sebagai sebuah hegemoni baru dalam wacana membangun Aceh Baru yang Modern dan Mandiri. Peneliti melihat bahwa kehadiran partai politik lokal khususnya PRA merupakan gerakan sosial baru


(6)

dalam konteks perubahan menuju demokratisasi politik di Aceh. PRA dengan latar belakang partai yang berbasis dari berbagai sektor dan aktor sosial hadir sebagai kekuatan politik baru dengan konsep pemikiran-pemikiran yang menjadi hegemoni bagi perubahan Aceh baru yang mereka cita-citakan. Suatu Aceh baru yang modern dan mandiri adalah cita-cita partai ini. Bagi PRA partai hanya sebuah alat politik, tujuannya adalah bagaimana membangun gerakan sosial dan gerakan politik menuju suatu Aceh yang berbentuk federal yang menjadi tujuannya.

Kata kunci:


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………2

ABSTRAKSI ……… 5

DAFTAR ISI...7

DAFTAR GAMBAR ………10

BAB I ...11

PENDAHULUAN ...11

1.1. Latar Belakang ...11

1.2. Perumusan Masalah ...29

1.3. Ruang Lingkup Penelitian...29

1.4. Tujuan Penelitian ...29

1.5. Manfaat Penelitian ...30

1.6. Kerangka Teori ...30

1.6.1. Teori Diskursus Laclau dan Mouffe ...30

1.6.1.1 The primacy of politics ...35

1.6.1.2. Articulation and Discourse...35

1.6.1.3. Antagonisme ...36

1.6.1.4. Antagonisme dan Obyektifitas...39

1.6.1.5. Equivalence and Difference ...40

1.6.1.6. Hegemony ...42

1.7. Definis Konsep...51

1.7.1. Partai Politik...51

1.7.2. Partai Politik Lokal ...51


(8)

1.8. Metodologi Penelitian ...54

1.8.1. Jenis Penelitian...54

1.8.2. Objek Penelitian ...54

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data...54

1.8.3.1. Penelitian Lapangan (Field Research) ...55

1.8.3.2. Penelitian dokumentasi ...55

1.8.3.4. Teknik Analisis Data...55

Gambar 1. Kerangka Analitis ………..56

1.9. Sistematika Penulisan ...57

BAB II...58

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN...58

2.1. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh ...58

2.2. Implementasi MoU Helsinki ...63

2.2.1. Pembentukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. ..66

2.2.2. Dasar Hukum Pendirian Partai Politik Lokal...68

2.6. Profil Responden...69

2.6.1. Aguswandi Ketua Umum Partai Rakyat Aceh...69

2.6.2. Thamrin Ananda, Sekretaris Jendral Partai Rakyat Aceh ...70

2.6.3. Tarmizi Biro Ekonomi Partai Rakyat Aceh ...70

BAB III ...72

HASIL DAN PEMBAHASAN...72

3.1. Sejarah Awal dan Ideologi Partai Rakyat Aceh...72

3.1.1. Sejarah Pembentukan Partai Rakyat Aceh...73


(9)

3.1.3. Dasar Pemikiran Pembentukan Partai Rakyat Aceh ...79

3.1.4. Ideologi Perjuangan Partai Rakyat Aceh ...83

3.1.5. Struktur dan Bentuk Partai Rakyat Aceh ...89

Gambar 2. Bagan Struktur Partai Rakyat Aceh ……….……...91

3.1.6. Visi Partai Rakyat Aceh………...92

3.1.6.1. Aceh Baru Dalam Perspektif Pemikiran Rakyat Aceh…….…... 93

3.1.7. Aceh Baru yang Modern dan Mandiri ….……….…..……..103

3.1.7.1. Modernisasi dan Teknologi.….………...….………….. 104

3.1.7.2. Aceh Baru yang Mandiri……….……...….…105

3.1.7.2.1. Upaya Menumbuhkan Kesadaran Berpolitik………....111

3.1.7.2.2. Transisi Politik………..113

3.1.8. Program Kerja Partai Rakyat Aceh….………...116

3.2. Gerakan Sosial Dalam Perspektif Sejarah……….…126

3.2.1. Konsep Gerakan Sosial………..…………126

3.2.2. Awal Gerakan Sosial………..………127

3.2.3. Gerakan Sosial Baru………..……….128

3.2.3.1. Karakteristik Gerakan Sosial Baru………...….129

3.2.3.2. Gerakan Sosial Baru di Aceh………..……131

BAB IV ...136

PENUTUP...136

4.1. Kesimpulan ...………...136

4.2. Saran ...…138

DAFTAR PUSTAKA ……….……140


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Analitis ………..56 Gambar 2. Bagan Struktur Partai Rakyat Aceh ……….……...91


(11)

IMPLEMENTASI MoU HELSINKI

KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN-PEMIKIRAN

PARTAI RAKYAT ACEH (PRA) SEBAGAI PARTAI POLITIK LOKAL DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama : JUFRIADI ALI

NIM : 030906024

Departemen : Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Selama lebih dari 32 tahun Nanggroe Aceh Darussalam dalam sejarahnya hidup dibawah konflik rezim Orde Lama, Orde Baru yang militeristik dan sentralisme yang merupakan rangkaian sejarah panjang dalam perjalanan politik Aceh dan Indonesia. Munculnya gerakan perlawanan dari Tanah Rencong ini merupakan bahasa politik terhadap Indonesia yang hari ini gagal dimata rakyat Aceh sebagai suatu bagian dari integritas bangsa Indonesia. Tsunami dan MoU Helsinki, Finlandia merupakan cikal bakal perubahan dan penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh dalam berbagai tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju perdamaian abadi dan suatu Aceh baru. Penelitian ini berjudul “ Implementasi MoU Helsinki Kajian Terhadap Pemikiran-Pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) Sebagai Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara umum bagaimana konsep pemikiran pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) yang hadir sebagai suatu kekuatan politik yang menciptakan gerakan sosial dan gerakan politik. Dalam penelitian akan melihat konsep seperti apa yang akan diperjuangkan dalam merekonstruksi Aceh baru yang modern dan mandiri dalam bentuk visi partai terlepas dari pertarungan ideologi di dalamnya. Untuk mengambarkan konsep pemikiran-pemikiran Partai Rakyat Aceh (PRA) di Aceh, peneliti mengunakan kerangka analitis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dengan teori gerakan sosial barunnya yang telah mengkritisi gerakan sosial itu sendiri. Analisis teori gerakan sosial baru menurut peneliti bisa mengambarkan masalah Aceh, dalam konteks kemunculan partai politik lokal, khususnya PRA.

Partai politik lokal merupakan bagian dari implementasi MoU Helsinki sebagai wadah representatif rakyat Aceh dalam merekonstruksi demokratisasi politik di Aceh. MoU Helsinki yang di implementasikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 menjadi landasan hukum bagi berdirinya partai politik lokal di Aceh. Partai politik lokal bukan hal baru dalam sistem politik Indonesia. Ia telah ada sebagai satu kekuatan politik sejak pasca kemerdekaan dan pemilu pertama di Indonesia, meskipun hanya mendapat satu kursi di parlemen. Kehadiran partai politik lokal diharapkan mampu mengagregasikan kepentingan rakyat Aceh dalam proses membangun kembali dalam konteks Aceh baru. Partai Rakyat Aceh (PRA) hadir sebagai sebuah hegemoni baru dalam wacana membangun Aceh Baru yang Modern dan Mandiri. Peneliti melihat bahwa kehadiran partai politik lokal khususnya PRA merupakan gerakan sosial baru


(12)

dalam konteks perubahan menuju demokratisasi politik di Aceh. PRA dengan latar belakang partai yang berbasis dari berbagai sektor dan aktor sosial hadir sebagai kekuatan politik baru dengan konsep pemikiran-pemikiran yang menjadi hegemoni bagi perubahan Aceh baru yang mereka cita-citakan. Suatu Aceh baru yang modern dan mandiri adalah cita-cita partai ini. Bagi PRA partai hanya sebuah alat politik, tujuannya adalah bagaimana membangun gerakan sosial dan gerakan politik menuju suatu Aceh yang berbentuk federal yang menjadi tujuannya.

Kata kunci:


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Berbicara tentang daerah di ujung barat Indonesia yaitu Aceh tentunya kita tidak akan pernah lupa dengan sejarahnya yang penuh dengan pengalaman yang manis dan pahit. Mengapa demikian ?, ini disebabkan karena letak geografis dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam sangatlah strategis, sehingga merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia dan karena letaknya di tepi selat malaka, maka daerah ini penting pula dilihat dari sudut pandang lalu lintas internasional. Sejak zaman neolitikum selat malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi bangsa di Asia, dalam gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia selat malaka adalah jalan penghubung utama antara dua pusat kebudayaan Cina dan India. Muncul dan berkembangnya Aceh tidak bisa dipisahkan dari letak geografisnya yang sangat penting.

Negara Aceh yang merdeka dan berdaulat mulai terkenal pada tahun 1873 atau 21 zulkaidah 816 H. Dimana telah berdiri sebuah kerajaan Aceh yang bernama Kerajaan Aceh Raya Darussalam yang berdiri di Geudong, Pase, Aceh Utara. Pada tahun itu Aceh sudah mempunyai sebuah bendera yang telah diakui oleh dunia internasional sedangkan bahasa yang persatuan yang digunakan adalah bahasa Melayu Pase. Ini cikal bakal adanya bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu Palembang dan Paseh. Kesultanan Aceh menyatukan beberapa kerajaan kecil yang terdapat di Aceh menjadi sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Aceh Raya Darussalam yang berkedudukan di Bandar Aceh (Kutaraja).


(14)

Undang-Undang Dasarnya yaitu Qanun Meukuta Alam al’Asyi yang diambil dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Wilayah kerajaan Aceh membentang dari Sabang sampai Besitang. Adapun kerajaan-kerajaan kecil itu adalah kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera Pase, Kerajaan Lingge, Kerjaan Perlak, dan Kerajaan Lamno Daya.1

Pada waktu itu Aceh sudah menjalin hubungan diplomatik dengan luar negeri, baik dengan Cina, India maupun Portugis. Dan ini sudah berjalan lama jauh sebelumnya. Kerajaan Aceh adalah satu-satunya kerajaan yang berdaulat yang telah mengakui kerajaan Belanda menjadi sebuah negara yang merdeka dengan mengirim utusan khusus yang bernama Laksamana Abdul Hamid. Sehingga dengan pengakuan tersebut, maka sah lah Kerajaan Belanda menjadi sebuah kerajaan yang berdaulat dan sebanding dengan negara-negara merdeka lainnya. Karena Belanda hendak merebut kerajaan maka pada 23 April 1873 Batavia mengumumkan perang dengan kerajaan Aceh. Di sini Belanda ingin membalas air susu dengan air tuba. Pernyataan perang itu dikeluarkan pihak Belanda setelah mereka gagal dalam upaya diplomasi dengan Sultan Aceh agar menyerahkan kedaulatan ke tangan Belanda. Perang Aceh – Belanda ini berlangsung dari 1873 sampai 1942.2

Di Aceh, ideologi Islam itu senantiasa telah menjadi sumber daya tenaga patriotisme sejak berdirinya kerjaan Aceh sampai saat ini. Ulama-ulama pembaru yang terkenal telah memberikan inspirasi dan pimpinan langsung kepada gerakan rakyat dalam perlawanan terhadap tatanan masyarakat kolonial itu. Ajaran Islam begitu mendalam tertanam dalam batin orang Aceh. Sehingga dalam sendi-sendi

1

M.Isa Sulaiman, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta, Pustaka Sinar, 1997, hal. 19.

2


(15)

kehidupan tidak terlepas dari unsur religius sampai pada penegakan Islam yang kaffah dalam adat istiadat dan reusam.

Sejak zaman kerajaan dulu susunan pemerintahan kerjaan Aceh telah tertata dengan baik, mulai dari gampong (kampong) yang dikepalai oleh seorang

keucik, dan Teungku Meunasah serta para Ureung Tuha (orang tua) sampai pada

lembaga-lembaga pembantu kerajaan. Gabungan dari beberapa Mukim (gampong) dikepalai oleh seorang Uleebalang yang menerima perintah langsung dari Sultan Aceh. Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat, yang berkedudukan di ibukota kerajaan.3 Kehidupan masyarakat di kerajaan Aceh mulai ramai oleh bangsa-bangsa dari luar yang melakukan hubungan perdagangan ekonomi dan politik. Mereka yang datang bukan saja berdagang tetapi juga menyebarkan agama Islam sehingga dapat menjalin persahabatan dengan kerjaan Islam terkemuka di Timur Tengah pada waktu itu. Sehingga tidak salah kalau kehidupan masyarakat Aceh yang sangat religius tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan kerajaannya.

Dengan perkembangan kerajaan Aceh yang begitu pesat tidak salah kalau Aceh dikenal sampai diseluruh dunia. Hubungan luar negeri kerajaan Aceh mulai dari Asia dan bahkan sampai Timur Tengah membuat negeri ini memiliki peta kekuasaan yang begitu besar. Ketika perang meletus dengan kolonial Belanda pada tahun 1885 kerajaan Aceh mulai pecah dan mendapat tekanan dari pihak Belanda. Dan pada bulan Januari 1903 pemerintahan kerajaan Aceh ini berakhir

3


(16)

pula dibawah Sultan Ala’ad-din Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Tetapi perjuagan perlawanan terus berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya.4

Bergabungnya Aceh dengan Republik, ini didukung oleh berbagai kalangan seperti ulama, para pedagang, hulubalang, kaum intelektual, dan masih banyak unsur yang menginginkan Aceh bergabung dengan NKRI. Segala perhatian diberikan orang Aceh untuk republik ini. Tetapi selama bergabung dengan republik ini beberapa unsur-unsur keislaman yang selama ini dilestarikan dan dijaga baik oleh orang rakyat Aceh lambat laun sirna. Hukum Islam yang sudah digunakan rakyat Aceh sejak tahun 1512 sampai Belanda terusir dari Aceh diganti dengan mengunakan hukum dasar negara Republik Indonesia yang bertentangan dengan Islam. Sehingga hal ini merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan politik di Aceh.5

Pada tanggal 05 Mei 1939 bersama dengan ulama-ulama pembaharu Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di kompleks pendidikan Al-Muslim Matang Geulumpang Dua. Kemudian mendirikan berbagai sekolah; Institut Normal Islam di Bireuen meskipun mendapat ancaman dari pihak belanda. Ia juga sebagai pimpinan ulama yang sekaligus komandan perang dan mengayomi muslim Aceh. Sejarah Aceh tidak terlepas dari peran agama yang dalam hal ini kaum Syi’ah sebagai pelopor perjuangan mujahiddin Aceh. Ajaran Islamnya yang pro terhadap kaum tertindas membuat semangat kaum ulama Aceh bersatu dalam melawan kolonial Belanda. Peran ulama Aceh dalam politik sangat jelas dan menjadi symbol sebagai imam dalam perjuangan Aceh. maka tidak salah kalau Teungku Muhammad Daud

4

Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, Medan, Monora, 1972, hal. 62-76.

5


(17)

Beureueh mendapat julukan sebagai Wali Negara Aceh, komandan mujahiddin dan Gubernur militer Aceh.

Tahun 1946 – 1947 kembali bergejolak di Aceh dalam perang Cumbok (Perang Hulubalang atau yang lebih dikenal dengan istilah revolusi sosial). Perang Cumbok adalah perang antara ulama dengan kalangan hulubalang. Kedua kelompok rakyat Aceh ini sejak zaman penjajahan Belanda selalu berseberangan. Kalangan hulubalang dinilai selalu menghianati perjuangan ulama bersama para pejuang Aceh dalam menentang penjajahan Belanda. Latar belakang ini membuat perang cumbok pecah menjadi perang besar di Tahun 1945, yang sepanjang sejarah Aceh disebut sebagai perang saudara terbesar. 6 Perang tersebut baru bisa diatasi menjelang akhir tahun 1946 ketika itu keresidenan Aceh dipimpin oleh Tengku Nyak Arief .7

Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah. Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok

6

Neta. S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Solusi, Harapan, dan Impian, Grasindo, Jakarta, 2001.

7

Hasanudin Yusuf Adan, Tengku Muhammad Daud Beureueh dan Perjuangan Pemberontakan di


(18)

yang markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. 8

Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dan menguasi secara de facto Aceh. Konflik atau sengketa sosial yang terjadi pada tahun 1942 – 1962 sebenarnya masih berlangsung secara unik. Kekecewaan kaum milisi terhadap hulubalangnya yang disangka telah berpihak kepada Belanda merupakan penyebab langsung meletusnya Perang Cumbok dan ekspedisi Tentara Perjuangan Rakyat (TPR). Kekecewaan Sayid Ali As Sagaf dan kaum buruh di Langsa terhadap pemimpin milisi yang telah menyalahgunakan kekuasaan terhadap milik negara dan hulubalang telah memicu munculnya Gerakan Sayid Ali As Sagaf dan Langsa fair. Kekecewaan para pendukung otonomi terhadap pemerintah pusat yang disangkanya tidak menghargai perjuangan mereka telah melahirkan pemberontakan Darul Islam melalui Kongres PUSA di Aceh Timur pada tahun 1953.9

Peristiwa ini menandai berakhirnya sejarah panjang feodalisme hulubalang di Aceh. Perang ini juga menjadi tongak awal sejarah perlawanan sebagian rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia. Di tahun 1947 Teungku Muhammad Daud

8

Hasanudin Yusuf Adan, Ibid., hal. 2.

9


(19)

Beureueh menerima janji Soekarno, kalau Indonesia merdeka akan dijadikan negara Islam. Sehingga ia mengerahkan mujahiddin Aceh membebaskan Indonesia dari serangan Belanda. Ketika terjadi agresi Belanda pertama tahun 1947 dan dilancarakan dengan agresi belanda kedua tahun 1948, pejuang mujahiddin Aceh kembali mempertahankan benteng Medan Area di Sumatera Timur, akhirnya Belanda kalah dan gagal menguasai Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan peran yang signifikan oleh Radio Rimba Raya di Kabupaten Bener Meriah sekarang. Sebagai seorang perjuang Teungku Muhammad Daud Beureueh sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. dengan kapasitasnya sebagai Gubernur Militer pada tanggal 13 Juni 1948 berhasil menyatukan semua lascar rakyat Aceh kedalam bingkai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Satu hal yang menjadi pemikiran kontroversi bagi Aceh hari ini adalah ketika tanggal 17 Maret 1949 menolak tawaran Dr. Tengku. Mansur sebagai wali negara Sumatera Timur ciptaan Belanda untuk memisahkan diri dari Indonesia dengan berbagai alasan yang logis. Ini mungkin lebih disebabkan kerana kebencian rakyat Aceh kepada kafir Belanda dan keyakinananya akan berhasil menguasai Belanda dan mengwujudkan Indonesia yang Islami.10

Dalam kempemimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di tahun 1950, banyak terjadi kontroversi sehingga ia dipindahkan ke Kementrian Dalam Negeri di Jakarta, namun ia tetap bertugas di Aceh dan memperkuat barisan Islam menuju wilayah syari’ah Islam. Dalam kongres Ulama Seluruh Indonesia tanggal 11-15 April 1953 di Medan,11 ia mengemukakan dalam pidato politiknya yang mengangkat isu politik tentang

10

Hasanudin Yusuf Adan, Ibid., hal. 8.

11


(20)

kedudukan negara dalam Islam.12 Para ulama di Aceh melihat bahwa peran pemerintah Indonesia sangat diskriminatif terhadap Aceh, dimana peran ulama dengan nuansa syari’at Islamnya berakhir, dan Aceh disamakan dengan daerah lain yang pada hal Soekarno telah berjanji di depan Teungku Muhammad Daud Beureueh bahwa Indonesia akan dijadikan negara yang berdasarkan Islam. Inilah yang menjadi cikal bakal mengapa ia melakukan dakwah keseluruh Aceh untuk mempersiapkan pemberontakan bersama dengan ulama-ulama dari PUSA.

Tepatnya pada tanggal 21 September 1953 berdirilah Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh untuk menentang kezaliman Soekarno secara khusus dan Indonesia secara umum.13 Gerakan yang bergabung dengan DI/TII Karto Suwiryo di Jawa Barat telah menguasai Aceh 90 persen di awal pergerakannya. Beberapa tahun setelah pergerakan terjadi perdamaian dan Aceh dijadikan Daerah Istimewa Aceh. Namun, karena ada hal lebih prinsipil DI/TII Aceh dan Jawa Barat, September 1955 DI/TII Aceh digantikan Teungku Muhammad Daud Beureueh menjadi Negara Bagian Aceh/Negara Islam Indonesia (NBA/NII).14 Tetapi ini juga di rasa dia tidak efektif untuk menegakkan syari’at Islam di Indonesia, maka pada tanggal 15 Agustus 1961 ia mengumumkan Republik Islam Aceh (RIA) yang terpisah dari perjuangan DI/TII ala Indonesia. Hal yang sama juga terjadi, dimana perjuangan dalam bingkai RIA tidak berkelanjutan seperti apa yang diharapkan. Sebagian pengikut Abu Beureueh membuat perdamaian secara sepihak dengan pemerintah Indonesia. Lewat usaha Dewan Revolusi yang memediasi perdamaian tersebut yang dimotori

12

Hasanudin Yusuf Adan, Ibid., hal. 10.

13

Hasanudin Yusuf Adan, Ibid., hal. 11.

14


(21)

oleh Hasan Saleh cs dan tidak lama kemudian Abu Beureueh turun gunung pada tanggal 9 Mei 1962.15

Dari beberapa peristiwa sejarah pemberontakan rakyat Aceh sebenarnya akar konflik yang terjadi bukan saja disebabkan oleh ketimpangan ekonomi dalam melahirkan sengketa sosial. Aktor utamanya dalam setiap gerakan bukan berasal dari kelas petani atau buruh seperti dalam Langsa fair, melainkan berasal dari elit agama dan intelegensia muda. Para petani tertindas justru menjadi subordinasi dalam setiap sengketa sosial. Akar konflik bersumber pada sistem sosial budaya yang memiliki unsur kontradiksi yang menjadi potensi laten lahirnya sengketa sosial. Unsur-unsur yang dimaksud adalah posisi adat yang dominan terhadap agama, kesadaran tradisional kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat, prinsip pertalian keluarga, serta ideologi syahid. Dalam pergertian ini dapat dipahami bahwa pola sosial yang berlangsung cukup rumit diantara elit sosial, agama yang seharusnya berada dalam kelompok yang homogen.16

Berakhirnya perang cumbok dan turun gunungnya Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai aktor pemberontakan DI/TII sampai diasingkan di Jakarta bukan berarti semangat pemberontakan para pengikutnya surut. Ia tetap yakin bahwa rakyat Aceh bisa bangkit menyusun kekuatan dan membangkitkan moral perlawanan. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki

15

Hasanudin Yusuf Adan, Ibid., hal. 15.

16


(22)

Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto. Setelah Orde Lama berakhir dan naiknya Soeharto yang mendapat legitimasi melalui Pemilu 1971 dengan mesin Golkarnya. Melihat hal ini, beberapa tokoh Darus Islam bertekad melakukan gerakan, karena Soeharto tidak ubahnya seperti Soekarno dengan program eksploitasi sumberdaya alam Aceh melalui proyek multinasional di era tahun 1970-an.17

Berdasarkan catatan sejarah bahwa Dr. Teungku Hasan Muhammad Di Tiro telah mendirikan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Usaha ini dilakukan untuk melanjutkan perjuangan Negara Islam Aceh. Ia juga mendapat dukungan dari Teungku Muhammad Daud Beureueh meskipun secara sembunyi-sembunyi. Hasan Tiro adalah murid setianya Teungku Muhammad Daud Beureueh, tetapi dalam konteks pemikiran Negara Islam Aceh sangat jauh berbeda. Hasan Tiro menginginkan dasar negara yang nasionalis supaya mudah mendapat bantuan negara barat, sedangkan Teungku Muhammad Daud Beureueh mengingkan dasar negara Islam. Faktor inilah yang membuat Teungku Muhammad Daud Beureueh tidak simpatik dengan Hasan Tiro dan kemudian ia ditangkap oleh pemerintah Orde Baru. Sejak kecil Hasan Tiro memang tampak jenius dikalangan murid H.M. Nur El Ibrahimy. Tahun 1954 setelah menamatkan

17


(23)

studi hukumnya di Jawa, kemudian melanjutkan ke Amerika di Columbia University. Diluar negeri ia melakukan menuver politik dengan mengecam pemerintahan Indonesia dimasa kabinet Ali Sastroamidjojo yang fasis-komunis. Karena merasa bahwa Islam tidak mendapat tempat dimata masyarakat internasional, ia mengubah strategi perjuangannya dengan menciptakan pemikiran-pemikiran dengan segala intrik politiknya membentuk Negara Federal dalam demokrasi di Indonesia.18

Setelah kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1977, ia melihat penderitaan rakyat Aceh sepanjang kemerdekaan RI yang kemudian ditulisnya dalam buku The Drama of Achehnese History 1873-1978, dan ia menjalankan roda organisasi GAM, membentuk sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), membentuk kabinet, dan ia sendiri duduk sebagai Wali Negara. Ia mentransformasikan pemikirannya melalui indoktrinasi ideologi yang sangat intens dalam tubuh GAM. Diantara pemikirannya bagaimana mengembalikan kejayaan Aceh seperti masa kesultanan Aceh yang pernah berjaya dahulu, mengajari rakyat Aceh kesadaran berpolitik, memobilisasi dengan gagasan politiknya yang anti Indonesia, karena menurut dia, pemerintah Indonesia adalah pemerintahan Jawa.19 Tetapi disisi lain, terjadi kontroversi atas pemikiran dia, sehingga faksi GAM terpecah menjadi dua. Ada beberapa gagasan politik Hasan Tiro yang menurut para pengikutnya telah jauh dari konsep perjuangan GAM itu sendiri, minsanya merubah isi proklamasi berdirinya GAM, mengklaim sumatera menjadi wilayah kekuasaan, mengembalikan bentuk Aceh pada sistem kerajaan pada masa lalu, tentang bendera, bahasa persatuan, dan merubah konsep

18

Neta. S. Pane, Ibid., hal. 72.

19


(24)

perjuangan ulama Aceh. indikator diatas membuat para pengikut Hasan Tiro berpikir ambigu dalam melanjutkan perjuangan GAM itu sendiri.20

Seiring dengan perjalanan waktu, GAM berkembang dengan gencar melakukan serangan balik terhadap aparat militer di Aceh. intimidasi dan terror ditebarkan oleh AGAM dengan maksud untuk menghabisi lawan politiknya. Tak ada lagi batasan hukum, yang ada adalah bahasa kekerasan dan dendam. Aceh hanya dijadikan kepentingan politik pusat. konflik mencuak ke permukaan di tahun 1989. konflik bersenjata muncul di Aceh Utara dan hal inilah yang mengkondisikan lahirnya Daerah Operasi Militer (DOM) atau lebih dikenal dengan Operasi Jaring Merah dengan sasaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga pemerintah Orde Baru dibawah rezim Soeharto melegitimasi “kekerasan Negara” terhadap rakyat Aceh dalam dalih memberantas GAM. Meskipun ini tidak terlepas dari konteks politik dan masalah masa lalu yaitu pengingkaran pusat terhadap Aceh. Penculikan, penyiksaan, pembunuhan missal, pemerkosaan aparat TNI pada rakyat Aceh telah digunakan negara sebagai cara untuk mengkonter ideologi politik orang Aceh tentang Negara Islam dan sebagai musuh politik pemerintah.21 Menurut Al Chaidar, seluruh eskalasi persoalan Aceh ini menjadikan rakyat Aceh kehilangan kepercayaan kepada negara (pemerintah pusat) dalam diskursus politik mereka. Diskursus pemikiran politik orang Aceh telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Hasan Tiro sebagai hegemonik terhadap identitas politik ke-acehan. Maka menjadi sederhana pilihan hidup bagi orang Aceh ‘mati syahid’. Situasi imagined community, istilah Benedict Anderson, yang dulu dipertahankan rakyat Aceh berubah menjadi situasi egois.

20

Abu Jihad, Pemikiran-Pemikiran Politik Hasan Tiro dalam Gerakan Aceh Merdeka, Titian Ilmu Insai, Jakarta, 2000. hal. 7

21


(25)

Rakyat Aceh yang tertekan hidupnya dalam sebutan mereka sebagai “kaphe

Indonesia-Jawa”. Hal ini juga kemudian memunculkan diskursus bahwa Jakarta

tidak suka terhadap rakyat Aceh dan memperkuat wacana memisahkan diri dari Indonesia.22

Apa yang terjadi di Aceh adalah sebuah fenomena masyarakat yang mengalami syndrome of distrust yang merupakan bentuk akumulasi penderitaan masyarakat Aceh akibat ketidakadilan politik, ekonomi serta penerapan DOM tahun 1989-1998, Darurat Militer dan Darurat Sipil 2003-2004, yang banyak menimbulkan korban sipil. Syndrome of distrust adalah suatu kondisi yang diakibatkan oleh ketidakpastian, situasi yang tidak aman, dan ambiguitas. Dalam kondisi ini tidak mengherankan apabila muncul perilaku-perilaku anarkhi. Upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah Aceh masih menerapkan paradigma lama dimana militer dianggap sebagai senjata ampuh dalam penyelesaikan konflik. Operas miliiter tampaknya menjadi titik kulminasi dari seluruh rangkaian perseteruan panjang antara pemerintah dan GAM. Walaupun sebenarnya operasi militer melanggar ketetapan MPR tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan mengingkari aspirasi masyarakat Aceh. Bertitik tolak dari hal tersebut, pemerintah Indonesia berusaha menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan damai melalui kesepakatan penghentian permusuhan (Cesseation of

Hostilities Agrement) atau CoHA23 sejak 9 Desember 2002 lalu di Jenewa Swiss. Saat itu dibentuk Komisi Keamanan Bersama (Joint Security Committee) atau JSC yang terdiri atas unsur TNI/Polri, GAM dengan Henry Dunant Center (HDC) sebagai fasilitator yang salah satu alternatif penyelesaiannya adalah pemberian

22

Abu Jihad, Ibid., hal. 9.

23

Persetujuan RI_GAM di Tokyo Gagal Capai Kesepakatan: Operasi Pemulihan Keamanan di mulai,” Kompas, 19 Mei 2003.


(26)

otonomi khusus dalam kerangka NKRI. Tetapi hal ini tidak membuahkan hasil dan hanya menimbulkan krisis sosial, budaya dan politik yang serius bagi masyarakat Aceh dan kembali lagi operasi pemulihan keamanan dimulai di Aceh.

Di akhir tahun 2004 tepatnya tanggal 26 Desember Aceh kembali dilanda musibah bencana gempa dan gelombang Tsunami yang telah menimpa bagian pesisir Aceh, termasuk ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang 80 persen hancur. Akibat bencana ini lengkap sudah penderitaan rakyat Aceh dan perdamaian menjadi harapan besar bagi masyarakat. Setelah menempuh berbagai cara, pada akhirnya di capai kata sepakat yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. MoU ini memiliki beberapa butir kesepakatan. Jika dilihat dari sudut pandang kesepakatan politik. Ada tiga hal harus segera direalisasikan pasca MoU tersebut. Pertama, perlucutan senjata yang dimiliki oleh Tentara Neugara Aceh (TNA) dan pengurangan personel TNI/Polri di Aceh. Kedua, yaitu penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA), yang berisikan bahwa pasca penandatanganan MoU antara kedua belah pihak, maka Aceh mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri yang mengatur Aceh secara khusus. Dan salah satu butir kesepakatan tersebut diperbolehkannya pembentukan partai lokal. Sebagaimana yang tersebut dalam Nota Kesepahaman Antara Pemerintah

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (MoU) yaitu;24 Partisipasi Politik

Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati

24

Nota Kesepaham antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. hal. 2.


(27)

dan memfasilitasi pembentukan partai-partai yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondis politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

dan yang Ketiga, yaitu pelaksanaan pemilihan kepala daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diseluruh Aceh. Mou Helsinki merupakan jalan yang kesekian dari proses menuju damai di bumi Serambi Mekkah ini.

Dalam poin kedua kesepakatan politik bahwa Aceh akan memiliki Undang tersendiri yang mengaturnya secara khusus yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Sesuai dengan butir MoU Helsinki, bahwa partai lokal diperbolehkan berdiri di Aceh. Maka partai politik lokal merupakan salah satu opsi damai yang ditawarkan oleh hasil kesepakatan. Partai politik lokal ini akan menjadi wadah aspirasi yang mendekatkan jarak pengambil keputusan antara warga dengan pemerintah yang berkuasa.

Dalam eksperimen politik di Aceh terlihat bahwa perkembangan perpolitikan yang mengalami pasang surut sejak masa kesultanan hingga pasca kemerdekaan negara republik Indonesia. Hal ini terlihat ketika Aceh dalam posisi yang ambiguitas sebagai permainan politik pusat dimasa Orde Lama dan Orde Baru sampai reformasi saat ini. Sehingga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dan gerakan sosial yang menuntut sebuah perubahan kearah yang lebih


(28)

baik dalam menuntut hak-hak politiknya sebagai warga negara dalam konteks demokratisasi politik di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman sejarah bangsa ini, secara umum partai politik lokal berdasarkan tujuannya dapat dikelompokan menjadi partai politik yang mengadvokasi hak-hak minoritas, menegaskan otonomi daerah dan memerdekakan diri. Kehadiran partai politik lokal Aceh tidak didukung berdasarkan Undang-Undang Partai Politik. Walaupun demikian, bukan berarti partai politik lokal tidak mungkin hadir. Secara konstitusi tidak ada larangan partai politik lokal muncul. Permasalahannya adalah partai politik lokal di Aceh memiliki hambatan politik, yaitu berkaitan antara ide partai politik lokal dengan konsep negara kesatuan. Karena partai politik lokal lebih banyak dipraktekan di negara federal. Tetapi perlu kita pahami bahwa partai politik lokal Aceh hanya ada di Aceh dan diatur oleh Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Partai Politik Lokal Aceh, artinya ini hanya dalam tataran khusus Aceh. Implementasi dari MoU dan UU PA tersebut lahirnya partai politik lokal yaitu Partai Rakyat Aceh (PRA) merupakan momentum baru bagi kemunculan partai politik lokal Aceh dan juga partai lokal pertama yang dideklarasikan pada tanggal 3 Maret 2007 yang di dominasi oleh kalangan generasi muda.

Partai Rakyat Aceh muncul bukanlah hanya sebuah implementasi dari hasil Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetapi melihat kondisi Aceh dimassa konflik dan Tsunami yang melahirkan penindasan dan penderitaan yang pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk perlawanan. PRA lahir sebagai alat perjuangan rakyat Aceh bukan


(29)

lagi sebagai organisasi massa. Hal ini dilakukan untuk membawa perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selama ini mungkin rakyat Aceh tidak terlapas dari konflik dan senjata. Dan ditambah lagi perpolitikan di Aceh dikuasai oleh orang-orang konservatif yang tidak memungkinkan menciptakan sebuah perubahan yang berarti bagi Aceh. PRA melihat kehadiran partai politik lokal ini merupakan kebutuhan untuk mengubah realitas politik yang ada selama ini.

Apa yang sebenarnya terjadi saat ini di Aceh, menurut PRA adalah sebuah kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat. Kita bisa lihat diberbagai aspek kehidupan masyarakat. Pelaksanaan Qanun syari’ah yang merupakan pengkerdilan terhadap Islam yang melahirkan kekerasan atas nama agama dan menghambat pembangunan Aceh. Kemudian terjadinya kesenjangan dalam persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan, sistem ekonomi yang belum bisa mensejahterakan rakyat, pelayanan kesehatan yang minim, kualitas pendidikan yang sangat jauh tertinggal dengan daerah lain, ditambah lagi kurangnya akses teknologi informasi yang menjauhkan peran generasi muda dalam membangun Aceh. Bukan saja itu, penegakan hukum dalam pelanggaran HAM masih setengah hati ditambah lagi dengan kerusakan lingkungan. Berdasarkan hal diatas, lantas bagaimana sebenarnya pemikiran PRA untuk merubah kondisi Aceh menuju Aceh Baru ?

Partai Rakyat Aceh lahir sebagai alternatif baru dalam perjuangan politik rakyat Aceh demi terciptanya sebuah “Aceh Baru”. Tumbuhnya partai lokal di Aceh merupakan sebuah langkah untuk mendorong perkembangan partisipasi politik lokal dan merupakan langkah strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, yang nantinya dapat membangun hubungan politik yang


(30)

berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan daerah. Dalam pembentukan partai PRA mereka mengusung gagasan untuk menciptakan Aceh yang modern dan mandiri secara ekonomi, dan menitikberatkkan pada pemberdayaan masyarakat kecil serta nasionalisasi seluruh sumberdaya alam Aceh. Basis massa PRA ini adalah masyarakat kelas menengah kebawah yang mendominasi Aceh. Partai yang beranggotakan anak-anak muda ini mengusung ide-ide progresif di pemerintahan, ekonomi hingga sampai persoalan syariat Islam. Mereka ingin membawa kembali pada masa kejayaan kesultanan Aceh yang terkenal sampai penjuru dunia dengan salah satu cara membebaskan Aceh dari ketergantungan pada Jakarta, dan masyarakat internasional. Seperti apa yang dikatakan oleh founding father PRA bahwa melalui PRA ini orang Aceh mempunyai hak untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, membangun hubungan-hubungan ekonomi dengan dunia luar, dengan dunia internasional. Meskipun demikian, untuk mencapai cita-cita pemerintahan yang mandiri, PRA memilih tetap dalam koridor konstitusi dan negara kesatuan. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh dalam pasal 81 butir (a). Dimana disebutkan agar partai politik lokal wajib mengamalkan pancasila, melaksanakan UUD 1945, dan Peraturan Perundang-undangan yang lain. Partai lokal juga berkewajiban untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(31)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah digambarkan diatas, maka peneliti membuat rumusan permasalahan dalam hal ini adalah “ Bagaimana pemikiran-pemikiran Partai Rakyat Aceh dalam menciptakan “Aceh Baru” yang mereka cita-citakan “ ?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mengarakan penelitian kepada tujuan yang akan dicapai maka peneliti menjelaskan ruang lingkup penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari ruang lingkup yang meluas dan dapat terarah serta data yang diperoleh lebih dipercaya kebenarannya. Ruang lingkup penelitian ini adalah;

1. Penelitian ini dilakukan pada partai politik lokal yaitu Partai Rakyat Aceh. 2. Penelitian ini mencoba memahami dan mengambarkan

pemikiran-pemikiran Partai Rakyat Aceh.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang pemikiran-pemikiran Partai Rakyat Aceh sebagai Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Melihat bagaimana kaitan pembentukan Partai Rakyat Aceh dengan MoU

Helsinki.

3. Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana bidang ilmu politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(32)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diantaranya adalah :

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang partai politik khususnya partai politik lokal.

2. Bagi Partai Rakyat Aceh sendiri merupakan sebagai bahan masukan dalam mengembangkan partai tersebut dalam peran politik partai.

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi ilmu sosial, khususnya ilmu politik.

1.6. Kerangka Teori

Kerangka teori memiliki peranan penting sebagai landasan teoritis bagi peneliti dalam menyelesaikan proses penelitian ini. Karena teori berfungsi sebagai landasan berpikir untuk mengambarkan dari sudut pandang mana seorang peneliti dalam melihat permasalahan yang dipilih. Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk mengemukakan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.25 Kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penilitian ini adalah ;

1.6.1. Teori Diskursus Laclau dan Mouffe

Tahun 1985 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe bersama menulis buku

Hegemony and Socialist Strategy; Toward a Radical Demokratic Politics, yang

meneguhkan mereka sebagai pemikir Post-Marxist. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa adanya sebuah konsep “gerakan kemasyarakatan baru” sebagai subyek revolusioner masa kini, yang merupakan pemberontakan mereka terhadap

25

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta, LP3ES, 1989, Hal. 37.


(33)

ajaran Marx dan para pemikir neo-Marxist, yang melihat bahwa kaum buruh (proletariat) sebagai subyek revolusioner yang utama.26

Dalam teori Laclau dan Mouffe, konsep gerakan kemasyarakatan baru adalah merangkum berbagai gerakan atau perjuangan yang tidak berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti kaum urban, gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi, gerakan feminis, gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan perdamaian (Laclau and Mouffe 1999; 159-60). Gerakan kemasyarakatan baru ini tercetus oleh proses yang mengalami akselerasi tahun 1940-an, yakni Fordisme. Gerakan sosial baru merupakan suatu gerakan yang terpisah dari gerakan sosial sebelumnya yang diwarnai politik kelas tradisional gerakan buruh. Perbedaan yang mendasar dalam gerakan sosial baru ini adalah dalam hal tujuan, ideologi, strategi, taktik dan partisipan. Gerakan sosial baru ini tidak lagi mengulingkan kekuasaan formal, akan tetapi lebih pada memperjuangkan “ruang” atau makna bagi kelompok-kelompok tertentu, memperjuangkan kualitas kehidupan (quality of life), berbicara mengenai life style, serta bergerak dalam masalah non-redistribusi ekonomi, serta non-kekerasan. Walaupun tidak bersingungan dengan masalah ekonomi, ruh gerakan sosial baru adalah melawan negara dan hegemoni pasar. Gerakan sosial baru ini lebih dominan muncul di negara-negara yang berkembang yang nota bene belum melewati era post-industrial.

Konsepsi diskursus Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang secara luas diterima oleh simpatisan dan skeptisan dengan memberikan contoh dalam pendekatan post-Marxist pada teori mereka. Mereka mengambarkan dengan kritis

26

Hutagalung, Daniel, “Laclau dan Mouffe tentang Gerakan Sosial”, Majalah Basis, N0. 1-2/55, Januari-Februari, 2006, hal. 40-48.


(34)

tentang strukturalis, post-strukturalis dan tradisi-tradisi pemikiran Marxist yang secara luas dan dramatis dalam lingkup teori diskursus untuk merangkul semua hubungan-hubungan sosial. Karenanya mereka tidak membatasi lingkup dari analisa diskursus pada gejala bahasa semata, tetapi mengangap mereka seperti dunia-dunia dari objek yang praktis dan terkait dari identitas-identitas para aktor sosial. Dalam pengertian paling umum, konsep teori diskursus dari Laclau dan Mouffe mengungkapkan gagasan di mana semua object dan tindakan-tindakan memiliki maksud dan arti oleh sistem tertentu dari perbedaan-perbedaan yang singnifikan dalam artian yang luas apa yang disebut ketergantungan kita pada sistem tertentu dari perbedaan atau diskursus yang melembagakan identitasnya.27

Di dalam pandangan sosial yang lebih luas dan istilah-istilah politis, hegemoni merupakan usaha atau keinginan yang dilakukan bersama dan diskursus yang berbeda untuk mendominasi atau memperbaiki identitas-identitas dari objek dan praktek-praktek dengan cara tertentu dalam suatu struktur. Untuk menjelaskan teori diskursus terutama gagasan suatu struktur yang tidak berkesinambungan, kita perlu mulai dengan konsep dari suatu praktek artikulasi.28 Karakteristik praktek artikulasi seperti suatu konstruksi dari titik simpul yang secara parsial menentukan atau memperbaiki maksud atau arti. Fiksasi ini secara parsial selalu mereka sebut dengan keterbukaan sosial yang mana merupakan akibat dari luapan dari tiap hal yang tak terbatas dalam diskursus. Untuk membongkar perumusan yang mendalam, pertama-tama kita memerlukan pertimbangan; mengangap apa yang mereka maksud dari diskursus ini.

27

David Howarth, Discourse, Philadelphia, Open University Press, 2000, hal.101.

28


(35)

Tulisan Foucault menarik, mereka membantah perumusan-perumasan yang tak berkesinambungan yang terdiri atas unsur-unsur yang terkait dan terdapat dalam konteks tertentu dari eksterior menandai sebagai suatu keseluruhan. Mereka membuat satu analogi antara sistem sosial dan bahasa, di dalam kedua sistem semua identitas-identitas dan hubungan sosial mempunyai suatu karakter yang penting. Namun, Laclau dan Mouffe berbeda model bahasa dalam merespon dua hal yang penting tersebut. Pertama, sistem hubungan sosial bukan fenomena bahasa semata, sebagai sebuah strutktur yang tidak berkesinambungan yang merupakan suatu praktek artikulasi yang melembagakan dan mengorganisir hubungan sosial dan tidak hanya kesadaran atau perenungan. Sebagai contoh; ide-ide, kebijakan dan tindakan-tindakan Thatcherism dapat dilihat sebagai suatu diskursus. Bukan hanya dilakukan atas suatu kumpulan ide-ide (kebebasan, kebijakan moneter, hukum dan perintah), itu juga mengajarkan suatu praktek (kepemimpinan yang kuat, wiraswata) dan usaha-usaha yang dilibatkan untuk mengubah lembaga/institusi dan organisasi-organisasi.29

Kedua, dan yang paling penting, Laclau dan Mouffe menantang claosure dari model ilmu bahasa, yang mana mengurangi semua unsur-unsur pada bagian internal dari suatu sistem. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap tindakan sosial hanya mengulangi praktek dan arti suatu sistem yang telah berjalan. Dalam hal mana tidak ada kemungkinan untuk membangun baru titik simpul bahwa secara parsial menentukan atau memperbaiki karakteristik pemimpin sebagai tindakan artikulasi.30

29

David Howarth, Ibid., hal.103.

30


(36)

Lebih dari itu ketika diskursus adalah hubungan kesatuan identitas yang mana bergantung pada perbedaan diskursus lainnya. Mereka sendiri tergantung dan mendapat kecaman dan lemah pada apa yang mereka maksud dan penting dikeluarkan di dalam setiap artikulasi yang tak berkesinambungan. Subut saja bagian eksterior dan ini berarti bahwa perlu suatu diskursus sebagai penetrasi oleh ketidaktentuan. Laclau dan Mouffe mengaku bahwa masyarakat itu sendiri tidak pernah dapat tertutup, sebagaimana kekerasan sebagai suatu objek yang mustahil dari analisis. Tidak masalah bagaimana sukses sebuah diskursus politik tertentu di dalam mendominasi suatu hal yang tak berkaitan, prinsip itu tidak akan pernah didapat dengan sepenunhya dalam mengartikulasikan semua unsur-unsur, sepertinya akan selalu ada tindakan menentang dengan apa yang ditetapkan. Kenyataannya, akan kita lihat suatu diskursus selalu memerlukan hal yang jauh diluar untuk melembagakan dirinya.

Laclau dan Mouffe membantah bahwa diskursus melembagakan semua objek, dan bahwa ada perbedaan ontologism antara linguistic dan aspek tingkah laku dalam hubungan sosial dan menambahkan dua hal yang penting mengenai ini. Pertama, mereka menolak bahwa objek mempunyai suatu diskursus keberadaan luar yang riil. Apa yang mereka bantah adalah bahwa objek mempunyai aspek yang lain yang berkaitan dalam arti memainkan suatu peranan yang sentral di dalam pendekatan mereka. Kedua, mereka menyatakan material dibanding mental adalah karakter dari diskursus. Mereka memisahkan secara jelas antara satu dunia objektif pada suatu pihak, dan bahasa atau berpikir yang lain hanyalah suatu penyajian atau ungkapan pembentuk.


(37)

1.6.1.1 The primacy of politics

Ketika segala diskursus mencuat secara luas dan sebagai akibat dari semua identitas sosial meninggalkan Laclau dan Mouffe dengan suatu kekuatan lawan. Jika semua identitas sosial adalah hubungan dan pertentangan, dan pada prinsipnya tidak ada diskursus, bagaimana kemungkinan kelompok-kelompok atau beberapa masyarakat sosial? Apakah mereka akan menolak teori diskursus yang memberikan ruang gerak bebas yang mereka maksud ? Laclau dan Mouffe melakukan perlawanan ini dengan menyatakan keunggulan dari ontology politik sosial mereka.31

Sistem hubungan sosial, yang dipahahami sebagai kesatuan artikulasi dari diskursus-diskursus, konstruksi-konstruksi politik melibatkan konstruksi dari antagonis-antagonis dan bentuk dari kekuasaan. Lebih dari itu, karena suatu hubungan sosial memiliki sebuah fondasi karakter politik. Proses politik ini dilakukan Laclau dan Mouffe untuk mencari jalan lurus suatu teori politik dari diskursus. Dengan melakukan hal yang demikian, mereka memperkenalkan tiga konsep sentral yaitu antagonis sosial, political subjectivity dan hegemoni yang diperlukan untuk mengkaji lebih luas.32

1.6.1.2. Articulation and Discourse

Negeri ini bukan milik siapa-siapa yang membuat kemungkinan praktek artikulasi. Dalam hal ini, tidak ada identitas sosial yang melindungi secara penuh dari suatu diskursus lain yang mengubah bentuknya dan mencegahnya menjadi kekuasaan secara penuh. Kedua identitas-identitas dan hubungan-hubungan

31

David Howarth, Ibid., hal. 30.

32


(38)

mereka yang hilang merupakan karakter yang penting. Sebagai suatu bentuk struktur yang sistematis, hubungan-hubungan itu tidak mampu menyerap identitas-identitas, tetapi sebagai identitas itu bukan hubungan. Dikatakan bahwa ini bukan suatu cara bahwa tanpa identitas yang mana dapat dilembagakan secara penuh.

Permasalahan ketegangan di dalam atau diluar adalah syarat dari setiap praktik sosial, kepentingaan hanya ada sebagai keterbatasan dari suatu hal yang kebetulan. Ini suatu hal dari identitas-identitas yang tidak pernah mengatur untuk diperbaiki dari suatu hal yang tidak ditentukan. Seperti ini, bukan hal yang mutlak diperbaiki atau tidak diperbaiki mungkin. Kami akan mengatakan ini suatu diskursus. Istilah ini menandai bentuk dari hubungan sosial itu dengan setiap contoh konkrit diskursus. Ini menentukan pada waktu yang sama diperlukan karakter diskursus dari segala objek, dan ketidakmungkinan yang diberikan tentang segala diskursus untuk menerapkan suatu proses akhir.

1.6.1.3. Antagonisme

Laclau dan Mouffe menentang konsepsi-konsepsi tradisional dari konflik sosial di mana antagonisme-antagonisme dipahami sebagai pertentangan dari agen-agen sosial dengan berbagai identitas-identitas yang melembaga dan berbagai kepentingan. Ia membantah anggapan bahwa itu adalah aliansi-aliansi antara dua kelompok sosial tanpa ketentuan, pada satu pihak, dan petani-petani kelas menengah dan miskin, hanya menghasilkan konflik antara petani-petani dan diri mereka. Laclau dan Mouffe membantah bahwa antagonis sosial terjadi karena agen sosial tidak mampu untuk mencapai identitas-identitas mereka (berbagai kepentingan mereka), dan oleh karena itu mereka membangun satu musuh yang


(39)

dianggap bertanggungjawab untuk kegagalan ini. Karenanya ia mengusulkan mengeluarkan petani-petani yang diusir dari negeri mereka oleh petani kapitalis dan yang dipaksa menjadi para pekerja di dalam kota tersebut, kelompok petani seperti ini mengalami suatu tantangan bagi identitasnya. Dengan demikian, tugas dari analisis diskursus untuk mengambarkan cara yang ditempuh oleh agen identitas-identitas dari suatu tantangan, dan untuk mengambarkan maksud dan perbedaan yang mana hambatan-hambatan ini dibentuk agen-agen sosial sebagai antagonis.33

Yang dipahami dengan cara ini adalah konstruksi dan pengalaman dari antagonis sosial yang merupakan pusat teori diskursus Laclau dan Mouffe. Keberadaan antagonis-antagonis hanyalah untuk mengkonfirmasikan pandangan mereka bahwa ada yang tidak penting dari hukum sejarah dan tanpa agen-agen politik universal yang termotivasi oleh berbagai kepentingan dan identitas-identitas dasar. Sebagai gantinya, antagonis-antagonis memperkenalkan pengalaman sosial, seperti kegagalan, kelalaian, kekurangan.34

Dengan cara ini, antagonis-antagonis menyatakan batasan-batasan atau batasan politik dari sebuah kelompok sosial, ketika mereka menunjukan nilai-nilai dimana identitas tidak bisa lagi distabilkan dalam suatu sistem yang berbeda, tetapi persaingan dengan kekerasan dan batasan yang lain. Kegiatan politik mereka berusaha bersama untuk menentang perbedaan ras dan mengenali identitas mereka sebagai kulit hitam ketimbang bukan orang kulit putih atau tidak rasial dengan membagi suatu batasan politik masyarakat Afrika Selatan kedalam dua kelompok-kelompok antagonis yang terorganisir diantara divisi kulit hitam atau

33

David Howarth, Ibid., hal. 105.

34


(40)

anti-kulit hitam. Mereka harus menemukan suatu tempat dimana identitas-identitas tidak bisa diberikan pada suatu bentuk diskursus, karena hal itu akan menunjukan jalan keluar yang mudah di dalam diskursus yang ada.

Untuk melihat eksploitasi ini, Laclau dan Mouffe memperkenalkan logika dari kesetaraan yang terkandung dalam solusi identitas-identitas tertentu dari subjek dalam suatu diskursus dengan membuat suatu identitas negatif semata yang tampak mengancam mereka. Dengan cara yang berbeda dibuat dalam logika dari kesetaraan, jika a, b, dan c di buat setara. Hal ini berarti bahwa identitas yang disebutkan dari suatu diskursus akan selalu terbelah antara satu perbedaan tertentu yang dibuat oleh suatu sistem diskursus yang ada (a, b, c), dan ancaman yang besar dari luar diskursus (d). Ini hanyalah kemungkinan membagi gerakan itu untuk membangun suatu kesatuan diskursus diantara perbedaan etnik, rasial dan kelompok sosial yang telah muncul dibawah perbedaan ras.35

Laclau dan Mouffe membantah memperkenalkan perbedaan logika yang meliputi diskursus yang luas dengan kaitan yang ada kesetaraan dan penyatuan unsur-unsur artikulasi kedalam bentuk kelompok yang baru. Mereka menempatkan arti penting pada konsep-konsep subjektif dan agen dalam mengembangkan konsep diskursus mereka. Ia tetap menekankan bahwa individu adalah menolak atau menerima sebagai subjek-subjek oleh praktek-praktek ideologi. Ia juga membedakan antara subject positions dan political subjectivity. Sebagai lawan suatu hal yang homogen dengan satu identitas penting dan mengorbankan kepentingan-kepentingan. 36

35

David Howarth, Ibid., hal.107.

36


(41)

Konsep dari subject position meliputi bentuk yang banyak di mana

individu menghasilkan para aktor sosial, konsep subject political melihat cara yang ditempuh oleh para aktor sosial dalam bertindak. Laclau membantah bahwa tindakan-tindakan yang muncul karena diskursus yang membuat identitas mereka. Ini adalah proses identifikasi dari subjek-subjek politk yang dibentuk dan diciptakan. Sekali dibentuk dan distabilkan, mereka menjadi subjek yang memposisikan individu-individu dalam putaran aktor-aktor sosial dengan karakteristik dan lambang tertentu.37

1.6.1.4. Antagonisme dan Obyektifitas

Menurut pandangan, Marxist telah jatuh kedalam suatu kebingungan dengan pertimbangan antagonis-antagonis sebagai pertentangan-pertentangan. Pertama-tama semua, itu jelas bahwa satu antagonis tidak bisa menjadi suatu oposisi yang nyata. Kita semua berpartisipasi di dalam sejumlah sistem-sistem kepercayaan yang satu sama lain bertentangan, namun tidak ada juga muncul antagonis dari kontradiksi-kontradiksi ini. Bukan kontradiksi, oleh karena itu, diperlukan suatu hubungan antagonis yang tersirat. Hubungan itu muncul bukan dari keseluruhan, tetapi dari ketidakmungkinan konstitusi mereka. Munculnya hal lain bukan suatu kemungkinan yang logis, itu ada, maka bukan suatu pertentangan. Karena itu seorang petani tidak bisa menjadi suatu petani yang sebagai antagonis tetap dengan mengusir tuan tanahnya dari tangannya.38

Oposisi nyata merupakan suatu hubungan yang objektif, faktor yang menentukan, yang dapat dijelaskan antar hal-hal; kontradiksi adalah suatu

37

David Howarth, loc.cit. hal. 108.

38

Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy; Towars a Radical


(42)

hubungan yang dapat dijelaskan antar konsep. Antagonis melembagakan batasan-batasan dari setiap objek, yang dinyatakan sebagai bagian dan objektifikasi yang sulit. Jika bahasa adalah suatu sistem dari perbedaan-perbedaan, antagonis adalah kegagalan dari perbedaan dalam pengertian menempatkan diri dalam batasan-batasan dari bahasa dan hanya dapat ada ketika ganguan tentangnya seperti metafora.

Antagonisme bukanlah hanya didalam tetapi diluar masyarakat, atau lebih dari pada itu mereka melembagakan batasan-batasan dari masyarakat, ketidakmungkinan yang dilatarbelakangi secara penuh melembagakan diri sendiri. Masyarakat tidak pernah sama sekali mengatur untuk menjadi masyarakat. Karena segalanya di dalamnya ditembus oleh batasan-batasan, yang menceganhya dari pelembagaan dirinya sebagai suatu kenyataan yang objektif.

1.6.1.5. Equivalence and Difference

Bagaimana hal ini bisa terjadi, kita sudah melihat suatu kondisi yang tertutup dimana masing-masing posisi perbedaan ditetapkan dan deperbaiki sebagai suatu hal yang spesifik. Sebagai contoh, dalam suatu negara jajahan, ada kekuasaan yang dominan yang setiap hari membuat kelompok baru dari perbedaan pakaian, bahasa, warna kulit, budaya. Setiap mereka ada kesetaraan dalam bentuk perbedaan keadaan yang biasa dari orang jajahan. Itu syarat saat kehilangan perbedaan dan memperoleh karakter yang muncul dari element tersebut. Equivalence (kesetaraan) menciptakan kedua maksud hal yang demikian. Meskipun demikian, seperti parasit yang pertama menumbangkan


(43)

perbedaan-perbedaan membatalkan satu dan yang lain diluar sepanjang mereka terbiasa dengan menyatakan bahwa mereka semua sama.39

Dengan demikian, suatu hubungan kesetaraan sangat menarik semua ketentuan yang posistif dari penjajah di dalam oposisi dengan yang dijajah, tidak menciptakan suatu sistem dari posisi positif yang berbeda antara keduanya. Karena itu hanya memecahkan semua hal yang positif; penjajah yang berpindah-pindah dibangun sebagai anti-jajahan. Dengan kata lain, identitas telah datang menjadi hal yang negatif.

Metode penyelesaian ini; penyerapan perbedaan dari permintaan-permintaan, yang memisahkan mereka dari mata rantai kesetaraan di dalam rantai yang terkenal dan mereka diubah menjadi perbedaan-perbedaan objektif dalam sistem. Perubahan mereka menjadi positif dan dengan demikian memindahkan batasan dari antagonism pada batas luar dari sosial.

Hingga sekarang, ketika kita sudah menyatakan antagonisme, kita sudah menjaganya di dalam bentuk tunggal untuk menyederhanakan argumentasi kita. Tetapi itu telah jelas bahwa antagonisme tidak perlu muncul pada suatu maksud; suatu posisi di dalam sebuah sistem yang berbeda-beda, sepajang itu adalah ketiadaan, yang dapat dijadikan tempat dari antagonisme.40

Hal ini memberikan kesimpulan; semakin tidak stabil hubungan sosial, keinginan sukses akan semakin sedikit dalam setiap sistem yang terbatas dari perbedaan-perbedaan dan semakin banyak hal dari antagonisme akan berkembang. Perkembangan ini akan membuat kontruksi yang lebih sulit dari segala inti dan konsekuensinya, menetapkan rangkain persatuan dari kesetaraan

39

Ernesto Laclau, Ibid., hal. 128.

40


(44)

(equivalence). Dari hal ini tidak lain merupakan suatu langkah untuk menyatakan perjuangan demokrasi – feminisme, anti-rasis, gerakan guy dan yang lain, bersifat perjuangan sekunder dan bahwa perjuangan untuk perampasan kekuasaan dalam pengertian klasik adalah satu-satunya yang benar-benar radikal, karena hanya mengira suatu divisi dari ruang politik menjadi dua kelompok-kelompok.

1.6.1.6. Hegemony

Usaha-usaha hegemony begitu penting bagi Laclau dan Mouffe dalam teori diskursus mereka. Sebagaimana yang mereka contohkan dalam sebuah praktek politik, yang mana berkaitan dan berhubungan dengan perbedaan identitas-identitas dan perilaku politik ke dalam suatu bentuk keadaan yang umum dan menciptakan bentuk sosial yang baru dari suatu elemen-elemen kelompok yang ada. Gramsci mengemukakan suatu kritikan yang tajam terhadap konsep hegemoni. menolak pendekatan Lennin, konsep hegemoni menurut Gramsci tidak hanya menyangkut kelas dan keamanan perkerjaan dari suatu kelompok kelas antara kekuatan kelas yang nyata dan berbagai kepentingan tetapi kepentingan-kepentingan tersebut membatasi artikulasi dan berbagai kepentingan-kepentingan bersama dari perbedaan kelompok sosial dalam sejarah kelas baru.41

Untuk mengambarkan pengertian yang mendalam konsep Laclau dan Mouffe tentang hegemoni yang telah dikembangkan dalam tiga langkah. Di dalam tulisan mereka bahwa usaha-usaha hegemoni dilakukan oleh kelas-kelas sosial bawah (dasar), yang bertujuan untuk mengubah status dan bentuk produksi dengan berbagai kepentingan dan nilai-nilai mereka. Sebagai gantinya, unsur-unsur yang bergantung dan dapat diartikulasikan oleh persaiangan hegemoni,

41


(45)

yang mana usaha tersebut membantu mereka dengan maksud dan pengertian kelas. Laclau dan Mouffe membantah bahwa identitas-identitas semua ideologi dan agen sosial adalah suatu ketidaktentuan dan dapat dinegosiasikan. Sungguh, ini hanya karena ketidaktentuan dan keterbukaan dari semua hubungan sosial bahwa praktek-praktek artikulasi dan agen politik bersifat demikian. Ia juga menetapkan dua kondisi yang lebih spesifik pada praktek-praktek hegemoni yang berlangsung. Ini merupakan eksistensi dari gerakan-gerakan antagonis dan ketidakstabilan batasan-batasan politik yang membagi mereka. 42

Dalam model seperti ini, bila dibandingkan tujuan utama usaha hegemoni adalah untuk membangun dan menstabilkan sistem yang dimaksud atau bentuk-bentuk hegemoni. pada suatu tingkatan masyarakat, bentuk-bentuk-bentuk-bentuk ini diorganisir di diantara artikulasi dari titik simpul. Yang merupakan tongak dan mengorganisir kelompok sosial yang lain. Hak-hak istimewa yang mereka buat untuk memperbaiki maksud dari suatu tanda kelompok tertentu dan mendirikan suatu bentuk lembaga statis yang baru.

Dalam model ketiga dari tulisan Laclau dan Mouffe tentang hegemoni, bahwa saat ini unsur-unsur diskursus telah meluas pada kedua subjek dari bentuk hegemoni dan pada struktur-struktur sosial yang dipahami sebagai suatu yang tidak mungkin dari identitas-identitas yang mana selalu mensyaratkan suatu bagian luar (exterior) kedua lembaga tersebut mengancam keberadaannya. Suatu hal penting dalam mempercepat irama yang terputus merupakan suatu peran besar dari subjek politik, yang muncul dalam mengatur jarak ruang terbuka oleh pemutusan struktur-struktur dan siapa yang akan memutuskan dan menyusun

42


(46)

kembali struktur yang lain. Dalam hal ini, Laclau memperkenalkan konsep mitos dan imaginasi (rekayasa) sosial untuk mengungkapkan bentuk-bentuk identifikasi yang baru. Peran mereka, mitoss-mitos untuk mengungkapkan ruang-ruang baru yang menutupi kerusakannya. Sebaliknya, jika mitos sukses menutupi kerusakan sosial dan merumuskan suatu kepentingan-kepentingan sosial, mereka dirubah menjadi imaginasi-imaginasi. Laclau mengambarkan suatu imaginasi sosial yang kolektif seperti horizon (langit) dan batasan mutlak dari suatu dapat dimengerti oleh suatu struktur. Ia memberi contoh seperti orang Kristen Millenium, pencerahan dan konsepsi paham positivisme , suatu kemajuan sebagai contoh fenomena sosial ini.43

Kita sekarang harus melihat bagaimana perbedaan kategori teoritis yang menghubungkan untuk menghasilkan konsep dari hegemoni. dalam bidang yang umum kemunculan hegemoni merupakan sebagai praktek-praktek artikulasi, suatu aspek dimana unsur-unsur tidak dikristalkan ke dalam situasi/waktu. Dalam sistem tertutup dari hubungan identitas-identitas, yang mana arti dari masing-masing kondisi/waktu adalah mutlak ditetapkan. Tidak ada tempat apa pun untuk suatu praktek hegemoni. suatu sistem berhasil dari perbedaan-perbedaan, yang mencakup tanda yang berkembang, tidak akan membuat kemungkinan artikulasi; prinsip pengulangan akan mendominasi setiap praktek dalam sistem ini dan disana akan tidak ada hal yang hegemoni. ini karena hegemoni mengira tidak sesuai dan membuka karakter sosial, hal itu dapat berlangsung di dalam suatu aspek yang didominasi oleh praktek artikulasi.44

43

David Howarth, Ibid., hal. 111.

44


(47)

Kritikan realisme dan positivisme telah mengklaim pedekatan Laclau dan Mouffe yang idealis, tekstual dan relativisme (Josep;1982). Laclau dan Mouffe menolak suatu dunia extra-discursive (dunia luar) dari objek dan penyataan mereka bahwa semua objek saling ketergantungan dalam membangun. Namun mereka tidak menyangkal keberadaan dari suatu kenyataan diluar pemikiran. Ia mempertimbangkan kegagalan-kegagalan yang serius dengan mengusulkan materialisme radikal sebagai suatu alternatif konstruksi sosial pada idealisme dan realisme.45

Tujuan mereka adalah untuk menyatakan dengan pengertian semua objek dan tindakan-tindakan, untuk menunjukan bahwa semua ketergantungan sosial termasuk hubungan. Kritikan-krikan Nemerous telah menuduh bahwa teori diskursus dari relativisme memiliki kekurangan yang mendasar, dimana diskursus-diskursus atau paradigma-paradigma yang ditentang tanpa adanya acuan umum. Suatu kenyataan yang tidak berkesinambungan dan suatu objektifitas teoritis membentuk dasar yang tidak tergantikan dari semua rasional seperti komunikasi yang timbal balik diantara hal pokok yang berbeda. Dengan demikian, teori Laclau dan Mouffe membahayakan eksistensi fakta-fakta dan ia menanyakan secara retorika mengapa tidak ada yang realistis dari alam, keduanya baik manusia dan eksternalnya hanya bagian luar setiap diskursus, tetapi mereka semua syarat dengan material.46

Bagaimana mungkin untuk membuat hukuman di dalam dan antara kerangka persaingan. Untuk menyatakan istilah tersebut dengan terang-terangan adalah kesalahan hubungan dengan kerangka yang berbeda, dan semua kerangka

45

David Howarth, Ibid., hal. 113.

46


(48)

itu adalah sama. Beberapa ahli filsafat seperti Wittgenstein (1953), Heidegger (1962) dan Stanley Cavell (1969) mereka membantah bahwa mereka membagi beberapa criteria tentang arti dari objek dan tindakan-tindakan sebelum kita dapat membuat pengetahuan dan mengakui tentang hal itu. Dalam pengertian yang sederhana bahwa kesalahan-kesalahan ini bergantung pada bentuk standar yang disepakati dari kehidupan atau paradigma tertentu dimana kita menemukan diri kita sendiri. Kita harus memulai pada kesalahan antara yang berbeda dan bersaing dalam bentuk kehidupan. Dengan kata lain, karena diskursus-diskursus tidak pernah dapat menutupi tentang satu sama lain, identitas-identitas yang mereka sebut dalam hubungan dengan diskursus yang lain, bahwa ada selalu kemungkinan pertukaran dan komunikasi antara mereka.

Meskipun begitu, Laclau dan Mouffe mengakui bahwa tidak mungkin untuk memerintahkan suatu pandangan dengan objectif. Ini karena setiap kesalahan atau evaluasi mensyaratkan hal tersebut ditempatkan di dalam sistem dan nilai tertentu. Seharusnya yang ditekankan adalah bahwa tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa sebagian orang bisa lebih baik dari pada yang lain, atau yang lain dapat dan seharusnya meninjau kembali posisinya dipandang dari perspektif lain. Dari pandangan ini tidak dapat dibandingkan antara perbedaan diskursus dari kemungkinan yang menjadi sifatnya hanya dapat dipecahkan melalui tindakan-tindakan pendekatan atau perubahan.

Konsepsi Laclau dan Mouffe tentang masyarakat mengurangi realitas sosial dalam bahasa; bahwa ini kemunduran pemimpin dalam pemecahan masalah yang kompleks atau desentralisasi dari struktur sosial yang merupakan konsekuensi teori diskursus yang tidak mampu untuk menganalisis masalah sosial


(49)

dan institusi politik, pendekatan pemimpin kearah yang komplek atau subjektif, post-strukturalist menekankan pendekatan yang mengakibatkan pengurangan jumlah objek/agen pada struktur-struktur yang tidak berkaitan, dan tinjauan terhadap konsep ideologi oleh Laclau dan Mouffe mengurangi kritikan terhadap teori diskursus.47

Kategori dari diskursus tidak menyangkut suatu pembedaan ontologisme antara unsur-unsur bahasa dan non-bahasa dari kehidupan sosial maupun melakukan suatu perbedaan yang detail antara ide-ide dan kondisi material mereka. Bagaimana pun, kuncinya kita harus mendiskusikan seberapa jauh kita dapat menganalogikan secara luas antara bahasa dan masyarakat dalam konsep Laclau dan Mouffe. Dalam ontologi diskursus mereka tentang masyarakat dan politik dibangun atas logika-logika dari kemungkinan dan kebutuhan, dan itu saling mempengaruhi mereka terus menerus membuat masyarakat yang mungkin dan tidak mungkin, dimana menghindari ketentuan dan mengurangi pendekatan Marxist dan Positivisme.48

Equivalence (kesetaraan) mereka buat antara masyarakat dan bahasa memungkin mereka mengambarkan atas keseluruhan yang berkaitan kesusasteraan dan figur-figur untuk menjelaskan suatu aspek sosial. Meskipun demikian, ada tiga hal yang dibutuhkan dari konsepsi Laclau danMouffe,

pertama; mereka cenderung kepada tekanan atas dimensi ontologi pada ontical,

konsep dan logika-logika berbahaya muncul terlalu formalistik, kedua; ada beberapa kemungkinan antara kedua tingkat analisa dalam tulisan mereka. Mereka tetap menekankan bahwa keterkaitan berbagia hal membentuk suatu masyarakat

47

David Howarth, Ibid., hal. 115.

48


(50)

bergantung pada gambaran batasan-batasan politik antara orang dalam dan orang luar. Sebagai alternatif langkah awal bahwa ada yang menentukan maupun memecahkan dan saling memperngaruhi kemungkinan antara logika-logika karena kebutuhan dan kemungkinan maskud membangun dari institusi-institusi seperti negara adalah produk tentang persaingan mencari pejuang-pejuang hegemoni untuk memaksakan proyek-proyek mereka di masyarakat.49

Laclau dan Mouffe menolak tradisi Marxist tentang konsep ideologi, dengan mengupas ideologi dimana tidak ada pertanyaan tentang dari mana sebenanya datangya ide-ide sosial itu ?, dengan kata lain, apa yang dilakukan teori diskursus adalah mengkritisi kekurangannya. Adakah suatu kekurangan normatif di dalam pendekatan Laclau dan Mouffe ?. Kondisi keterbukaan sosial dimana memberikan sesuatu hal utama yang tidak lengkap dan sulit dari setiap usaha untuk memperkenalkan dan melembagakan demokrasi radikal. Diskusi-diskusi kritis Laclau dan Mouffe tentang usaha untuk demokrasi radikal telah dipusatkan pada mereka yang dianggap relativism. Jika tidak ada alasan yang kuat untuk tergantung dan membenarkan dari setiap nilai dan kepercayaan, bagaimana mungkin mereka mengharapkan untuk menentang demokrasi radikal itu ?

Lebih lanjut, para praktisi teori diskursus tidak menyatakan tindakan yang bebas nilai atau investigasi objektif. Ini merupakan anggapan dasar dalam persfektif ahli teori diskursus adalah selalu diposisikan di dalam formasi yang tidak berkesinambungan dan dalam suatu tradisi yang spesifik. Dalam suatu persfektif post-foundational tidak mengakibatkan hal tertentu dari posisi-posisi etis dan poilitis. Meskipun demikian, itu dilakukan untuk mengeluarkan posisi

49


(51)

berdasarkan perkiraan. Sebagai contoh, penyataan dan pertimbangan yang berharga itu merupakan hasil dari praktek artikulasi ketimbang suatu hal yang diperlukan.50

Gagasan Laclau dan Mouffe ini juga sudah mulai terjadi dalam gerakan kemasyarakatan di Indonesia, seperti gerakan perempuan. Hal ini berkaitan dengan gagasan demokrasi yang lebih radikal, tetapi mengakui pluralitas gerakan. Seperti dikatakan Chantal Mouffe sebagaimana dikutip Melani Budianta (2003: 149):51

Democratic discourse questions all forms of inequality and subordination. This is why I propose to call those new social movement new democratic struggles’ because they are extensions of the democratic revolution to new forms of subordination. Democracy is our most subversive idea because it interrupt all exiting discourses and practices of subordination. (Diskursus demokratis mempertanyakan segala bentuk ketidaksetaraan dan subordinasi. Itu sebabnya, saya mengusulkan untuk menyebutkan gerakan-gerakan kemasyarakatan baru itu, “gerakan-gerakan demokratik baru” karena mereka merupakan kelanjutan dari revolusi demokratik ke bentuk-bentuk subordinasi baru. Demokrasi merupakan suatu bentuk gagasan yang sangat subversif, sebab ia menyela segala diskursus dan segala praktek subordinasi yang ada.)

50

David Howarth, Ibid., hal. 124.

51

A.Junus, George, Laclau dan Mouffe tentang Gerakan Sosial, dalamBudianta, Melani (2003). “The Blessed Tragedy: The Making of Women’s Activism during the Reformasi Years”, dalam Ariel Heryanto and Sumit K. Mandal (eds). Challenging Authoritarianism in Southeast


(52)

Menurut Laclau dan Mouffe bahwa kapitalisme telah merasuk kesegala lingkaran kehidupan, sehingga melahirkan antagonisme baru. Konsekuensinya adalah harus dilawan di berbagai front. Namun berbagai bentuk perjuangan demokratik itu, hanya dapat dianggap demokratik, apabila tidak hanya saling menghormati, tetapi juga saling berkerjasama, tanpa harus didominasi oleh satu gerakan. Seperti gerakan buruh dalam tradisi Marxis-Lenin.52

Menurut peneliti bahwa Teori Kemasyarakatan Baru atau Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) dalam pendekatan pemikiran post-Marxist tidak mementingkan subjek yang lain dari suatu diskursus dan batasan politik. Karena teori kemasyarakatan baru Laclau tidak melihat variabel yang menciptakan diskursus-diskursus lain. Dalam konteks gerakan sosial, diskursus gerakan sosial baru Laclau dan Mouffe hanya melihat secara umum dari gerakan tersebut. Artinya, bagaimana kita bisa mengambarkan dan menganalisi gerakan sosial dan negara itu sendiri. Karena konsep pemikiran Laclau dan Mouffe ini mengajak masyarakat untuk berimajinasi dari yang tidak mengkin menjadi mungkin. Sehingga hal ini membuat kita tidak menemukan inti dari diskursus tersebut. Kelemahan teori gerakan sosial baru ini adalah tidak melihat subjek yang lain dari gerakan sosial itu sendiri dan hanya bersifat umum. Konsepsi mereka hanya mengurangi realitas sosial dan tidak bisa menyelesaikan masalah dalam struktur sosial dan institusi poitik. Jadi dalam Partai Rakyat Aceh (PRA), peneliti hanya mengambarkan dalam konteks idelogi pemikiran-pemikiran PRA terlepas dari diskursus yang berkembang nantinya.

52


(1)

sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, dan peran civil society sebagai patner

Bertitik tolak dari konsep pemikiran PRA diatas, peneliti memberikan sedikit masukan terhadap perjuangan partai ini kedepan. Dalam tataran visi dan idelogi perjuangan partai yaitu untuk mengwujudkan Aceh baru yang modern dan mandiri belum begitu jelas. Artinya adanya kontradiksi antara cita-cita partai yang menuju federalisme dengan konsep perjuangan partai serta diskursus yang berkembang di rakyat Aceh saat ini. Menurut peneliti, ini tidak jauh berbeda antara konsep otonomi khusus dengan bentuk negara federalisme yang menjadi cita-cita. Meskipun negara federalisme terpisah secara sistem tetapi tetap masih dalam intervensi negara pusat yang masih memiliki wewenang untuk mengatur dalam konteks tertentu. Ini sama artinya merdeka tetapi setengah hati, percuma kalau hanya menjadi anti tesis dari Indonesia tetapi kita masih tergantung.

negara akan menciptakan hal yang baru bagi peningkatan pelayanan publik dalam wajah Aceh baru.

Garis perjuangan partai ini adalah sosialis moderat. Dimana mereka mengingkan perubahan secara cepat pada sistem yang berkerja saat ini di Aceh. meskipun secara ideologi nasionalis tetapi secara pergerakan partai lebih kepada partai yang berhaluan sosialis. Visi partai yang pro terhadap rakyat dan berdasarkan azas kesetaraan sosial, ekonomi dan politik menunjukan bahwa mereka berbeda secara ideologi perjuangan. Dengan kader-kader yang berasal dari berbagai sektor masyarakat dan menciptakan gerakan sosial dan gerakan politik, mereka percaya bahwa perubahan akan terjadi di Aceh.


(2)

Menurut peneliti PRA harus memiliki konsep yang jelas dalam konteks “merdeka” hari ini. Jika kita analisis sejarah dan diskursus yang berkembang di orang Aceh, bahwa mereka sangat anti Indonesia yang sentralisme dan militeristik. Dalam diskursus orang Aceh, bahwa mereka memiliki identitas politik dalam konteks Negara Islam Aceh pada masa kejayaan kesultanan. Hari ini PRA muncul kembali mengetarkan empat juta jantung rakyat Aceh untuk kembali kepada masa kejayaan kesultanan seperti dahulu kala atau menjadi sebuah Negara Aceh yang berbetuk federalisme. Artinya akan muncul kontradiksi antara rakyat ceh dengan PRA sendiri yang dinilai berjuang hanya setengah hati. Untuk enghambat munculnya kontradiksi tersebut menurut peneliti, PRA harus erubah konsep perjuangan partai yang melakukan perubahan secara total yaitu engan konsep sosialis radikal. Dimana ini semua dapat menjawab diskursus yang erkembang di Aceh dan dapat menyelesaikan masalah Aceh dengan merubah egala sistem yang ada. Sehingga Aceh tidak lagi di koftasi dan menjadi budak agi Jakarta. Kemudian untuk melakukan perubahan sebuah partai politik harus emiliki fondasi yang kuat baik itu sistem perekonomian dan basis massa partai. RA harus memiliki basis massa yang kuat dan jelas sebagai kekuatan pendukung artai. Dengan mentransformasi nilai-nilai kepartaian kepada rakyat Aceh, baik

elalui sosialisasi dan pendidikan politik ini akan menjadi langkah untuk enghegemoni rakyat Aceh.

A m m d b s b m P p m m


(3)

DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang

Angaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Rakyat Aceh Hasil Kongres Tahun 2007.

I

Perse i

ota Kesepaham antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh

ceh. uku

Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

tujuan Jeda Kemanusiaan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka d Tokyo Tahun 2002.

N

Merdeka, Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal A B

Agus Baru, Banda Aceh,

Aceh People Forum (Aceh Media Kreasindo), 2007.

Ahma erajaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, Medan, Monora, 1972.

wandi, 9 Langkah Memajukan Diri Membangun Aceh


(4)

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003. iddens, Anthony, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi

eorge, A.Junus, Laclau dan Mouffe tentang Gerakan Sosial, dalam Melani, ism Years”, dalam Ariel Heryanto and Sumit K. Mandal (eds). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing

.

0. ihad, Abu, Pemikiran-Pemikiran Politik Hasan Tiro dalam Gerakan Aceh

Lacla , Hegemony and Social Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, Verso, London, 2001.

Nawawi, Hadari, Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press;

. Pane, Neta, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka Solusi, Harapan

Singa ian Effendi, Masri, Metode Penelitian Survai, Jakarta, LP3ES, 1989.

Sulaim radisi, Jakarta,

Pustaka Sinar, 1997. Suhar

gku Muhammad Daud Beureueh dan Perjuangan Pemberontakan di Aceh, ADNIN FOUDATION ACEH & AR-RANIRY G

Sosial, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000. G

Budianta, (2003). “The Blessed Tragedy: The Making of Women’s Activ during the Reformasi

Indonesia and Malaysia. London: Routledge Curzon

Howarth, David, Discourse, Philadelphia, Open University Press, 200 J

Merdeka, Titian Ilmu Insai, Jakarta, 2000. u & Chantal Mouffe, Ernesto

Yogyakarta, 1995. S

dan Impian, Jakarta, Grasindo, 2001. rimbun dan Sof

an, M.Isa, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap T

ko, Gerakan Sosial, Malang, Averroes Press, 2006.

Yusuf, Hasanuddin, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh,Yogyakarta, Prismasophie, 2003.

Yusuf Adan, Hasanudin, Ten PRESS, Banda Aceh, 2007. Wawancara

Wawancara dengan Aguswandi, Ketua Umum Partai Rakyat Aceh di Kantor i Damai Aceh, Banda Aceh, tanggal 17 Januari 2008.

mrin Ananda, Sekretaris Jendral Partai Rakyat Aceh di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Aceh, Banda Aceh, tanggal 19 Badan Reintegras


(5)

Wawancara dengan Tarmizi, Biro Ekonomi Partai Rakyat Aceh,, di Kantor Aceh People Forum, Banda Aceh, tanggal 22 Januari 2008.

n Syafrudin, Wakil Sekretaris Jendral PRA, di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Aceh, tanggal 22 Januari 2008.

Wawancara dengan beberapa Tokoh Partai Rakyat Aceh di Kantor DPP PRA, Wawancara denga

Banda Aceh, tanggal, 18 Januari 2008. Majalah dan Surat Kabar

Gatra, No.38 Tahun IV, 8 Agustus 1998, hal. 24-35.

g, Daniel “Laclau dan Mouffe tentang Gerakan Sosial”, Majalah Basis, N0. 1-2/55, Januari-Februari, 2006.

Kontras, 13 Juli 1999. Kompas, 19 Mei 2003.

sisi Politik, Droe Keu Droe, Surat Kabar, Haba Rakyat,

ulyadi Rusman, Yang Muda Yang Dipercaya, Surat Kabar, Haba Rakyat, Edisi-November 2007.

Serambi Indonesia, 24 Juli 1998

Serambi Indonesia, Jum’at 25 September 1998. Warta Pemda Aceh, Oktober 1998.

Surat Kabar, Haba Rakyat, Edisi-Desember 2007. Website

Hutagalun

Ma’Arif, Tran Desember 2007. M

www.partairakyataceh.org, www.Acehinstitute.org

Aguswandi, Aceh Baru Versus Indonesia Lama, Banda Aceh, Acehinstitute, 2007.


(6)