Implikatur Percakapan Dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah Dki Jakarta

(1)

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM ACARA DEBAT

KANDIDAT CALON KEPALA DAERAH DKI JAKARTA

TESIS

Oleh

ZURAIDAH NASUTION

077009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM ACARA DEBAT

KANDIDAT CALON KEPALA DAERAH DKI JAKARTA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZURAIDAH NASUTION

077009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM ACARA DEBAT KANDIDAT CALON KEPALA DAERAH DKI JAKARTA

Nama Mahasiswa : Zuraidah Nasution Nomor Pokok : 077009027

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP. 2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Dr. T. Syarfina, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Implikatur Percakapan Dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah DKI Jakarta”. Penelitian ini bertujuan memaparkan dan memberikan argumentasi tentang implikatur percakapan yang diperoleh dari terjadinya pelanggaran (flouting) prinsip kerja sama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis pelanggaran prinsip kerja sama yang tergabung dalam empat jenis maksim (maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara) pada acara debat publik yang ditayangkan oleh Metro TV.

Konsep implikatur percakapan itu merujuk pada implikasi pragmatis tuturan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan di dalam suatu peristiwa percakapan dengan situasi tutur tertentu. Dengan kata lain, implikatur tersebut dihasilkan dengan mempertimbangkan konteks spesifik khususnya pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara dan lawan bicaranya. Korpus data penelitian ini berupa transkripsi sebuah program televisi yang ditayangkan pada tanggal 4 Agustus 2007.

Dari analisis data penelitian ini diperoleh temuan tentang pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien di dalam melakukan percakapan. Terdapat kasus pelanggaran maksim yang menghasilkan implikatur, penggunaan pembatas (hedges), dan implikatur berskala. Mereka tidak menyadari telah memberikan jawaban yang tidak relevan (melanggar maksim relevansi), memberikan jawaban yang salah dan kurang memiliki bukti (melanggar maksim kualitas), memberikan jawaban yang tidak jelas (melanggar maksim cara), dan memberikan jawaban yang sangat panjang dan informatif (melanggar maksim kuantitas).

Meskipun terjadi pelanggaran prinsip kerja sama dalam percakapan, namun proses komunikasi di antara panelis sebagai penanya dan calon kandidat cagub cawagub sebagai pemberi tanggapan tidak terganggu karena tujuan debat publik ini dapat tercapai dengan memahami konteks percakapan.

Kata kunci : Prinsip kerja sama, maksim percakapan, implikatur percakapan, pembatas, prinsip kesantunan,


(6)

ABSTRACT

This thesis is entitled “Implikatur Percakapan Dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah DKI Jakarta”. This study addresses and argues about conversational implicatures resulted from flouting cooperative principles. The study is based on qualitative method by which flouting conversational implicatures in four types of maxims (maxim of quality, maxim of quantity, maxim of relevance, maxim of manner) in public debates broadcast on the Metro TV.

The concept of conversational implicature referred to pragmatic implication speech. It is occured because of violating cooperative principles in an occasional conversation with certain speech context. In other words, those implicatures are generated by considering specific context especially the knowledge which is owned by the speakers and listeners. Data corpus in this study is a transcription of a TV program presented on August 4, 2007.

From this data analysis found flouting of cooperative principles, that is a conversational principle which guides the speakers to make a cooperative conversation and be able to use languages effectively and efficiently in a conversation. There are cases of maxim flouting which generated implicatures and the uses of hedges and scalar implicatures. The candidates are apparently unaware in giving irrelevant answers (flouting maxim of relevance), false and less of evidence (flouting maxim of quality), vague or obscure answer (flouting maxim of manner), more informative answer (flouting maxim of quantity).

Eventhough there are flouting cooperative principles in a conversation, the communication process between panelists as a questioner and governor candidates as a commentator is not disturbed because the aim of this public debate can be conveyed by considering conversational context.

Keywords : Cooperative principles, conversational maxims, conversational implicature, hedges, principles of politeness.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik.

Tesis ini berjudul “Implikatur Percakapan dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah DKI Jakarta”. Tesis ini membicarakan implikatur percakapan yang diperoleh karena terjadinya pelanggaran maksim-maksim percakapan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa para calon kandidat melakukan pelanggaran prinsip kerja sama karena tidak menyadari telah memberikan jawaban yang tidak relevan, kurang memiliki bukti yang memadai, terlalu panjang dan informatif, serta memberikan jawaban yang tidak jelas.

Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan materi dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan tesis ini.

Medan, Juni 2009 Penulis,

Zuraidah Nasution 077009027


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama penulis ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini bukanlah semata-mata atas kemampuan sendiri, tetapi atas bantuan dari berbagai pihak yang jasa-jasanya tak dapat dilupakan.

Penulis sangat berterima kasih terutama kepada Bapak Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed.TESP. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan dan arahan demi rampungnya penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Linguistik. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik, dan Bapak Drs. Umar Mono, M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Magister Linguistik. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama penulis kuliah di Program Studi Linguistik, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.


(9)

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada rekan-rekan penulis, atas bantuan dan perhatian yang penulis terima baik selama perkuliahan maupun sewaktu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terimakasih disampaikan khusus kepada suami tercinta Ir. Misdi Junaidi dan ananda tersayang Rizki Haikal Pradana yang selalu memberikan semangat, pengertian, dan memanjatkan doa demi keberhasilan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibunda Hj. Nuraisyah yang selalu meluangkan waktu dan memanjatkan doa untuk keberhasilan penulis.

Semoga Allah SWT yang Maha Pemurah memberikan imbalan kemurahan dan kemudahan bagi kita. Amin.

Medan, Juni 2009

Zuraidah Nasution


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Zuraidah Nasution NIM : 077009027

Program Studi : Linguistik

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/8 Juli 1975 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan STM Suka Cita No. 5 Medan 20146 No. Telepon : (061) 7868236

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 068085 Medan (Tamat 1988) 2. SMP Negeri 2 Medan (Tamat 1991) 3. SMA Negeri 2 Medan (Tamat 1994)

4. Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 6 Januari 1999)

5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007) Riwayat Pekerjaan :

1. Dosen Kopertis Wilayah I Medan (2005-sekarang)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 11

1.4.2 Manfaat Praktis ... 11

1.5 Batasan dan Keterbatasan Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1 Prinsip Kerja Sama dan Implikatur ... 13

2.1.1 Maksim Kualitas ... 16

2.1.2 Maksim Kuantitas ... 16

2.1.3 Maksim Hubungan/Relevansi ... 17

2.1.4 Maksim Cara ... 18

2.2 Implikatur Percakapan ... 19

2.2.1 Implikatur Percakapan Umum ... 22


(12)

2.2.3 Implikatur Percakapan Khusus ... 23

2.3 Pembatas (Hedges) ... 24

2.4 Sifat-Sifat Implikatur Percakapan ... 26

2.5 Kesantunan: Prinsip dan Maksim ... 27

2.6 Kajian Terdahulu ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Rancangan Penelitian ... 36

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.3 Prosedur Penelitian ... 37

3.4 Teknik Analisis Data ... 38

3.5 Teknik Penyajian Hasil Analisis ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil Penelitian ... 40

4.1.1 Pelanggaran Maksim Kualitas ... 41

4.1.2 Pelanggaran Maksim Kuantitas ... 47

4.1.3 Pelanggaran Maksim Hubungan/Relevansi ... 49

4.1.4 Pelanggaran Maksim Cara ... 57

4.1.5 Implikatur Berskala ... 62

4.1.6 Pembatas (Hedges) ... 68

4.2 Pembahasan ... 71

4.3 Diskusi ... 78

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1 Simpulan ... 80

5.2 Saran ... 81


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1. Data ... 85


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Fungsi utama bahasa dalam kehidupan sosial adalah sebagai alat komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Dengan kata lain, setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Berbagai tujuan yang ingin dicapai dalam situasi-situasi, seperti proses perkuliahan, belajar mengajar, percakapan, debat, dan lain sebagainya, dapat diperoleh dengan menggunakan bahasa. Dalam proses komunikasi itu tentu bahasa digunakan untuk menyampaikan argumen, membujuk, meminta, berjanji, dan lain sebagainya.

Bahasa terealisasi dalam kata-kata yang disusun berdasarkan prinsip dan seperangkat aturan struktur kalimat dan tentu saja memiliki makna. Mengkaji makna merupakan suatu kebutuhan dengan semakin luasnya penggunaan bahasa dewasa ini. Dalam mengkaji makna dibutuhkan pengetahuan sehingga seseorang dapat menafsirkan makna yang tersirat di luar pengetahuan semantik. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, namun makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik, seperti contoh percakapan berikut ini:


(15)

(1) Budi : Kamu ke kantor hari ini? Dani : Ban keretaku bocor.

Dalam percakapan di atas makna yang disampaikan Dani adalah ’dia menyatakan bahwa dia tidak ke kantor karena ban sepeda motornya bocor’. Makna ini tidak tersurat, ternukil, atau terucap dalam percakapan itu. Dani hanya mengatakan bahwa ban keretanya bocor. Dengan kata lain makna ucapan Dani melebihi dari makna ujarannya yang hanya mengatakan bahwa ban keretanya bocor.

Pengetahuan untuk memahami contoh kalimat di atas adalah pengetahuan pragmatik. Pragmatik mengkaji pemahaman makna kalimat yang terealisasi dalam ujaran atau kalimat dan rujukan ke konteks. Makna pragmatik disusun dan ditafsirkan melalui konteks. Yule (1996: 3), menyebutkan ada empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Kajian ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks tertentu dan bagaimana konteks tersebut berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, pragmatik sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang


(16)

turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, akan tetapi makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Zaman reformasi berdampak perubahan dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah sistem pemilihan kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat. Untuk mengetahui baik itu profil ataupun visi misi pasangan kandidat calon kepala daerah maka forum debat kandidat menjadi satu hal yang penting untuk dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah tersebut. Maka dipilihlah forum debat kandidat sebagai salah satu program televisi yang tentu saja akan dilihat oleh hampir seluruh rakyat. Hal ini tentu akan melahirkan nilai personal seseorang dalam politik. Seperti yang diungkapkan oleh Nimmo (2001:13) bahwa nilai tidak lain adalah preferensi yang dimiliki orang terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu dalam melakukan sesuatu.


(17)

Preferensi ini sangat erat asosiasinya dengan isi afektif, atau perasaan, citra personal yang membantu orang dalam menilai diri sendiri dan lingkungannya.

Debat kandidat merupakan salah satu fenomena sosial belakangan ini. Maraknya fenomena ini dikarenakan adanya pemilihan kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat. Momentum ini membuat ruang partisipasi rakyat menjadi terbuka untuk secara langsung memilih pemimpin daerahnya. Dengan kata lain, pemilihan langsung memberikan ruang optimisme terhadap tumbuhnya nilai demokrasi dibanding format pemilihan kepala daerah yang dilakukan lewat mekanisme perwakilan rakyat. Ruang ini menjanjikan lahirnya praktek demokrasi yang didukung oleh nilai-nilai politik yang rasional, dengan harapan rakyat secara cerdas dan kritis memilih pemimpin yang memiliki kapasitas, kualitas dan integritas. Menurut Nimmo, (2001:125) berpartisipasi dalam politik merupakan konsekwensi komunikasi yang mempolitikkan. Yakni melalui pengalaman sosialisasi orang mengembangkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang relevan dengan politik. Hal ini mengakibatkan orang dewasa berperan secara aktif dalam politik.

Para kandidat kepala derah tersebut merupakan bagian penting dari proses pelaksanaan pilkada. Sebagai bentuk evaluasi pilkada maka perlu adanya upaya yang konkrit untuk berpartisipasi melahirkan kandidat yang mampu mewarnai peningkatan kualitas pilkada tersebut. Peningkatan kualitas kandidat akan berpengaruh kepada kepercayaan rakyat terhadap penyelenggaraan pilkada. Salah satu upaya dalam meningkatkan kapasitas para kandidat di pilkada yakni dengan menggelar debat kandidat.


(18)

Forum debat kandidat atau dialog kandidat menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas kandidat, karena dalam forum ini (1) kandidat akan menjelaskan latar belakang pencalonan serta agenda yang akan dilakukan seandainya terpilih, (2) kandidat dapat meyakinkan rakyat dengan pikiran-pikiran konstruktif dan kritis, (3) rakyat secara bebas dan demokratis akan mengetahui agenda yang ditawarkan para kandidat, (4) para kandidat dituntut bersaing dengan program dan visi misi yang jelas dengan yang ditawarkan kandidat lain secara sehat.

Dalam forum Debat Kandidat tersebut para kandidat tentu harus berbahasa dengan baik dan lugas. Konteks bahasa apa yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini tentu sangat diperhitungkan. Pengklasifikasian konteks sangatlah membantu dalam menafsirkan makna bahasa para kandidat tersebut, dan pengetahuan pragmatik sangatlah dibutuhkan untuk memahami makna bahasa politik ini.

Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa (Saragih, 2006: 4-6). Konteks dapat digunakan untuk menyusun dan menafsirkan makna karena secara alamiah penutur bahasa berbahasa dalam konteks. Dengan pengertian ini, konteks mencakup dua pengertian, yakni (1) konteks linguistik (yang disebut juga konteks internal) dan (2) konteks non linguistik (yang disebut juga konteks eksternal). Konteks merupakan ciri-ciri alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana, atau dengan kata lain konteks semua faktor dalam proses komunikasi yang tidak menjadi bagian dalam wacana. Bahasa bermakna bila berada dalam konteks, baik konteks linguistik atau lazim dikenal konteks bahasa maupun konteks non-linguistik (lepas dari/tanpa


(19)

struktur bahasa), yakni konteks situasi penggunaan bahasa. Konteks situasi bahasa akan bergantung pada konteks budaya yang dari satu situasi ke situasi lain yang dapat beragam. Pembahasan makna bahasa dari satu konteks adalah dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri atau aspek-aspek yang melihat pada konteks.

Konteks Linguistik, yaitu konteks yang berhubungan dengan konteks tuturan atau teks. Konteks ini mengacu kepada unit linguistik lain yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Konteks ini sering juga disebut konteks internal atau koteks (cotext). Dikatakan konteks internal karena konteks ini berada di dalam dan merupakan bagian dari teks yang dibicarakan. Koteks suatu kata merupakan sekelompok kata-kata lain yang digunakan dalam frase atau kalimat yang sama. Koteks mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna yang kita ucapkan. Dengan batasan pengertian ini, dalam klausa Kami akan menjenguk Budi besok, unit Kami akan ... Budi besok merupakan konteks bagi unit menjenguk ketika seseorang membicarakan kata menjenguk itu.

Konteks Non-Linguistik, mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks ini disebut konteks eksternal. Konteks sosial ini terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu konteks situasi, konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi terdiri atas apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor) yang membicarakan sesuatu bahasan, dan bagaimana (mode) pembicaraan itu dilakukan. Dalam interaksi bahasa, ketiga aspek konteks situasi itu dapat diidentifikasi. Namun, dalam beberapa situasi dapat terjadi satu aspek tidak jelas atau tidak teridentifikasi


(20)

yang dalam keadaan demikian aspek situasi disebut netral. Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial.

Konteks memiliki beberapa aspek, yaitu: (1) konteks fisik yakni dimana peristiwa itu terjadi, apa yang terjadi, siapa yang terlibat; (2) konteks epistemik yakni latar belakang pengetahuan yang diketahui bersama oleh penutur dan pendengar dalam suatu interaksi, (3) konteks linguistik yakni ujaran yang mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna oleh pendengarnya; (4) konteks sosial yakni hubungan masyarakat dan setting penutur dan pendengar (Jannedy, 1994:233).

Pembagian konteks maka memudahkan dalam menginterpretasikan suatu makna, seperti ditampilkan dalam ilustrasi berikut.

Lina dan Anto akan dipindahkan ke kantor cabang tempat mereka bekerja. Anita merasa akan merindukan mereka berdua.

(2) Anita : ”Kita semua akan merindukan Lina dan Anto, ya? ” Ratna : ”Ya, kita semua akan merindukan Lina.”

Pada ilustrasi ini, Ratna menyampaikan makna yang lebih banyak dari sekedar kata-kata yang disampaikannya. Makna yang tersirat dalam percakapan tersebut disebut implikatur, yaitu makna yang dapat disimpulkan dengan menganalisis konteks. Dalam contoh (2) respon yang diberikan Ratna tidaklah informatif terhadap pertanyaan Anita. Ratna dengan jelas melanggar Maksim Kuantitas: ketika Anita


(21)

menginginkan Ratna menyetujui pendapatnya, Ratna hanya menyetujui sebagian saja, dan tidak menghiraukan bagian terakhir pendapat Anita. Dari sini kita memperoleh implikatur: ‘Penutur berpendapat bahwa tidak semua akan merindukan Anto’.

Dari contoh dan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa pragmatik tidak hanya menginterpretasikan makna namun juga menyangkut bagaimana seseorang mengujarkan kalimat yang sedemikian rupa. Yule (1996: 5) mengatakan bahwa pragmatik merupakan kajian makna yang disampaikan penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Pragmatik membahas makna yang dihubungkan dengan penutur. Dengan kata lain, pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu, yaitu tentang maksud penutur dimana seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, jenis-jenis tindakan, sehingga mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka.

Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran itu. Grice menamakan proposisi itu implikatur. Untuk lebih jelas perhatikan ilustrasi berikut.

A : Bagaimana makalah Dr. Arief?

B : Wah, bahasa Indonesianya bagus sekali.

Jawaban B tersebut mengimplikasikan bahwa makalah Dr. Arief dari segi isi mungkin tidak baik, yang baik hanyalah bahasanya.


(22)

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan pada contoh implikatur tersebut: (1) implikatur bahwa makalah Dr. Arief tidak baik itu bukanlah bagian dari tuturan B sebab ia tidak menuturkan hal yang demikian, (2) implikatur tersebut bukanlah konsekuensi logis dari tuturan B itu, (3) sangat mungkin sebuah tuturan mempunyai lebih dari satu implikatur, hal ini bergantung pada konteksnya. Dari jawaban B itu dapat pula ditarik inferensi bahwa ‘makalah Dr. Arief berbeda dengan makalah-makalah lainnya, yang bahasa Indonesianya jelek’. Jadi, jawaban B juga mengimplikasikan bahwa makalah-makalah yang disajikan dalam sebuah seminar itu bahasa Indonesianya tidak sebaik makalah Dr. Arief.

Hampir setiap tuturan mempunyai makna atau informasi tambahan yang tidak diujarkan oleh penuturnya. Walaupun tidak diujarkan oleh penuturnya, makna ekstra itu dapat ditangkap oleh pendengar atau mitrabicara sejauh ia memiliki kompetensi komunikatif dalam bahasa yang bersangkutan.

Implikatur percakapan merupakan konsep yang paling penting di dalam pragmatik. Konsep itu merujuk pada implikasi pragmatis tuturan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan, yaitu prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan, di dalam suatu peristiwa percakapan dengan situasi tutur tertentu. Pada forum debat kandidat terdapat impikatur yang diperoleh dari pelanggaran prinsip kerja sama. Implikatur ini terjadi ketika para kandidat memberikan tanggapan terhadap apa yang ditanyakan kepada mereka.

Pelanggaran prinsip kerja sama sering terjadi dalam percakapan kontekstual, termasuk dalam acara debat kandidat di media televisi. Dengan demikian, penelitian


(23)

tentang implikatur percakapan menarik untuk dibahas karena banyak terjadi pelanggaran maksim yang ternyata dilakukan oleh para calon kandidat kepala daerah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pelanggaran prinsip kerjasama apa sajakah yang muncul dalam debat kandidat

calon kepala daerah DKI Jakarta di Metro TV?

2. Implikatur apakah yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerjasama tersebut?

3. Ungkapan yang bagaimanakah yang dapat digunakan oleh para kandidat untuk mematuhi prinsip kerja sama?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah

1. mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerjasama apa yang muncul dalam debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta di Metro TV.

2. mendeskripsikan implikatur percakapan apa saja yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerjasama tersebut.

3. mendeskripsikan ungkapan-ungkapan yang dapat digunakan oleh para kandidat untuk mematuhi prinsip-prinsip kerjasama.


(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Temuan penelitian ini diharapkan menjadi satu model kajian makna situasi kontekstual dalam komunikasi,

2. Memperkaya khazanah ilmu kebahasaan, terutama dalam kajian pragmatik yang membahas implikatur percakapan dan prinsip kerja sama, dan

3. Memperkaya kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial yang yang mencakupi unsur situasi, budaya dan ideologi.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan terhadap materi dan teori pengajaran dalam bidang pragmatik.

2. Temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelitian berikutnya.

3. Temuan penelitian ini dapat menggugah perhatian para calon kepala daerah terhadap pemakaian bahasa berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun.


(25)

1.5 Batasan dan Keterbatasan Penelitian

Tesis ini dibatasi pada bahasan tentang prinsip kerja sama dalam maksim percakapan yang dilanggar ataupun yang sulit dihindari dalam debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta, dan data yang dipilih adalah debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta yang diadakan oleh Metro TV pada tanggal 4 Agustus 2007.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Kerja Sama dan Implikatur

Di dalam berkomunikasi, antara penutur dengan mitrabicara harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Untuk keberhasilan suatu referensi, diharapkan kerja sama menjadi faktor utama. Ketika menerima presuposisi penutur, pendengar harus berasumsi bahwa seorang penutur yang mengatakan ’kucing saya’ memang benar-benar memiliki kucing yang disebutkan dan tidak mencoba untuk menyesatkan pendengar. Bentuk kerja sama ini tidak diasumsikan untuk berusaha membingungkan, mempermainkan, atau menyembunyikan informasi yang relevan satu sama lain, seperti terdapat dalam percakapan berikut ini:

A : Si Nina sudah menikah ya?

B : Ku lihat ada cincin kawin di jari manisnya.

Seorang pendengar (B) harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi yang memiliki makna yang lebih banyak dari hanya sekedar kata-kata itu. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan, yang disebut implikatur. Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran


(27)

tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran itu. Seperti dalam contoh di atas, B menyatakan ya namun secara tersirat dengan mengatakan ”Ku lihat ada cincin kawin di jari manisnya”. Keberadaan sebuah implikatur dari sebuah dialog atau percakapan erat pula kaitannya dengan prinsip kerjasama dalam berkomunikasi.

Leech (1999: 120) tidak hanya memasukkan prinsip kerja sama saja, melainkan juga prinsip sopan santun. Prinsip kerja sama (PK) dan Prinsip sopan santun (PS) saling berinteraksi dalam menginterpretasi ilokusi tak langsung. Untuk menjelaskan interpretasi-interpretasi pragmatik kedua prinsip itu memang dibutuhan. PK dibutuhkan untuk lebih mudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach). PK tidak dapat diterapkan dengan cara yang sama pada semua masyarakat bahasa. Sehingga menurut Leech perlunya suatu bidang ilmu yang khusus yaitu sosiopragmatik, yang bertujuan menjelaskan bagaimana masyarakat-masyarakat yang berbeda menggunakan maksim-maksim. Untuk dapat memberikan penjelasan yang baik memang dibutuhkan PS. Karena itu PS tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada PK, tetapi PS merupakan komplemen yang perlu, yang dapat menyelamatkan PK dari suatu kesulitan, seperti dalam contoh berikut.

X : Ada orang yang memecahkan kaca jendela ini. Y : Bukan Saya.

Dalam contoh ini Y memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut, dimana Y bereaksi seolah-olah ia harus menyelamatkan dirinya dari suatu perbuatan jahat,


(28)

padahal dalam kalimat X tidak ada kata-kata menuduh Y melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti ini jawaban berupa penyangkalan Y sebetulnya dapat diramalkan dan ketidak gayutan tersebut merupakan pelanggaran Maksim Hubungan. Tidak gayutnya jawaban Y disebabkan oleh implikatur di dalam tuturan X, sebuah implikatur taklangsung yang dimotivasi oleh sopan santun. Jadi sasaran respon Y adalah implikatur, bukan tuturan X yang sesungguhnya diucapkan.

Contoh ini menggambarkan bahwa tingkat interpretasi yang lebih dalam yang melibatkan PS, tuturan yang tampaknya sebagai pelanggaran PK, sebenarnya bukan pelanggaran yang sungguh-sungguh, karena dilakukan demi sopan santun. Dengan cara inilah dapat dikatakan bahwa PS menyelamatkan PK.

Prinsip Kerja Sama percakapan terbagi ke dalam empat sub-prinsip, yang disebut maksim. Satu kegiatan percakapan yang baik harus dapat memenuhi tujuan percakapan. Grice dalam Parera, 2004: 244 mengatakan ”make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged” (buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan yang dibutuhkan, pada situasi percakapan, sesuai dengan tujuan percakapan dan arah percakapan).

H.P Grice, seorang ahli filsafat menyusun sebuah prinsip kerjasama yang mendasari penggunaan bahasa, berdasarkan apa yang ingin kita sampaikan sebagai tujuan dari percakapan tersebut. Grice berpendapat bahwa ada sejumlah prinsip percakapan, atau disebut maksim, yang mengatur percakapan tersebut yaitu dengan adanya prinsip kerjsama. Ada empat jenis maksim yang diperkenalkan oleh Grice


(29)

(1975), yaitu: Maksim Kualitas, Maksim Relevansi/Hubungan, Maksim Kuantitas, dan Maksim Cara (Jannedy, 1994:236).

2.1.1 Maksim Kualitas

Maksim Kualitas ini mengatakan ’Cobalah untuk membuat suatu informasi yang benar’, yaitu:

(1) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini salah.

(2) Jangan mengatakan sesuatu jika Anda tidak memiliki bukti yang memadai. Maksim Kualitas yang pertama ini dapat terbukti sendiri. Tanpa kehadiran maksim ini maka penggunaan bahasa tidak berarti. Maksim Kualitas yang kedua hadir hanya jika kita yakin jika kita memiliki bukti yang memadai atas pengamatan kita terhadap Maksim Kualitas yang pertama. Contoh:

Susan : Kau bilang kau bisa memperbaiki mesin ini! Ferry : Ya, ku kira aku bisa memperbaikinya.

Dalam contoh ini ’Ferry tidak mematuhi Maksim Kualitas yang kedua’.

2.1.2 Maksim Kuantitas

Maksim Kuantitas ini mengatakan ’Berikan jumlah informasi yang tepat’, yaitu: (1) Buatlah percakapan yang informatif seperti yang diminta.

(2) Jangan membuat percakapan lebih informatif dari yang diminta.

Maksim yang pertama dimaksudkan untuk memastikan bahwa kita membuat pernyataan yang informatif seperti yang diminta, dan yang kedua adalah untuk


(30)

memastikan bahwa kita tidak membuat pernyataan yang lebih informatif daripada yang diminta. Contoh:

Jojo : Berapa banyak buku yang kamu baca dalam seminggu? Hendra : Hanya satu buku saja. Itupun kalau bukunya sangat tipis.

Dari contoh ini ’Hendra tidak mematuhi maksim kuantitas yang kedua karena memberikan pernyataan yang lebih informatif dari yang diminta.

2.1.3 Maksim Hubungan/Relevansi

Maksim Hubungan/Relevansi ini mengatakan ’Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya’. Maksim ini kadang-kadang disebut maksim super hanya dikarenakan maksim inilah sebagai pusat keteraturan dari setiap percakapan. Maksim relevansi ini paling penting sebab betapa pun informasi yang disampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan tentu tidak akan membawa manfaat. Contoh:

Jojo : Apa Pak Budi datang ke kantor hari ini? Hendra : Tadi ku lihat Bapak itu berangkat naik mobil.

Dalam contoh ini, Jojo mengambil kesimpulan bahwa Pak Budi datang ke kantornya hari ini karena dia beranggapan kalau apa yang Hendra katakan relevan dengan yang ditanyakannya. Akan tetapi, jika Hendra mengetahui kalau Pak Budi berangkat naik mobil bukan menuju ke kantornya melainkan menghadiri seminar, maka apa yang dikatakannya menjadi sangat menyesatkan.


(31)

2.1.4 Maksim Cara

Maksim cara ini mengatakan ’Usahakan agar mudah dimengerti’, yaitu: (1) Hindarkan ungkapan yang tidak jelas.

(2) Hindarkan ketaksaan.

(3) Buatlah singkat (hindarkan panjang lebar yang tidak perlu). (4) Buatlah secara urut/teratur.

Maksim-maksim ini sudah cukup jelas. Maksim yang pertama melarang kita untuk menggunakan jargon atau istilah-istilah yang membuat pendengar kita tidak mengerti apa yang dibicarakan. Maksim yang kedua ingin agar kita tidak mengatakan sesuatu hal yang memiliki makna ganda. Maksim yang ketiga melarang kita untuk menjelaskan suatu topik secara panjang lebar hal yang tidak perlu. Sedangkan yang maksim yang keempat kita harus berbicara secara urut dan teratur.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang ditemukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Ketika membahas Maksim-Maksim Percakapan Grice ditemukan bahwa kita seringkali mengambil kesimpulan dari apa yang dikatakan orang lain berdasarkan asumsi bahwa mereka mematuhi Prinsip kerja sama. Penarikan kesimpulan yang seperti ini merupakan dampak adanya maksim. Maksimlah yang mengatur suatu percakapan. Ada dua alasan mengapa maksim-maksim ini digunakan untuk berkomunikasi secara tak langsung. Pertama, kita terkadang tidak ingin berterus terang karena kejujuran itu mungkin dapat menyakiti diri sendiri. Kedua, kita


(32)

terkadang tidak ingin berterus terang karena kejujuran itu mungkin dapat menyakiti orang lain. Perhatikan contoh berikut.

Susan : Bagus gak model rambutku? Ini model terbaru lho.. Putri : Eh.. tadi kamu ketemu Santi gak?

Pada contoh ini, Putri merasa model rambut Susan tidaklah sesuai dengan wajahnya. Namun dia tidak ingin menyakiti Susan dengan mengatakan ’tidak bagus’. Sehingga dia mengalihkan topik pembicaraan. Dengan demikian Putri telah tidak mematuhi Maksim Hubungan.

2.2 Implikatur Percakapan

Di dalam suatu percakapan, peserta-pesertanya mengikuti prinsip kerja sama dan maksim-maksim. Hal ini merupakan asumsi dasar percakapan. Akan tetapi, sering kita tidak menyadari apa yang sebenarnya kita katakan. Penuturlah yang menyampaikan makna-makna yang disampaikan lewat inferensi. Ketika penutur mengatakan, ”Anak laki-laki ya tetap anak laki-laki”, jika ditinjau dari perspektif logika murni kalimat tersebut tidak memiliki nilai komunikatif karena mengatakan sesuatu yang sangat jelas. Jika kalimat itu dipakai dalam percakapan, maka dengan jelas penutur bermaksud untuk menyampaikan informasi yang lebih banyak dari pada yang dikatakan.

Jika seorang pendengar mendengar kalimat itu, maka dia pertama-tama harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna lebih banyak dari


(33)

pada sekedar kata-kata itu. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan, yang disebut implikatur (Lyons, 1977).

Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1987: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Seperti ilustrasi berikut.

A : Jam berapa sekarang? B : Korannya sudah datang.

Kalimat (A) dan (B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu Implikatur Konvensional dan Implikatur Konversasional. Implikatur Konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika. Ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata ‘bahkan’. Implikatur Konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas


(34)

1995: 58). Contoh, ‘Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya. Kalimat di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh, ‘Saya kebetulan ke Jakarta menghadiri seminar dan berangkat besok’ merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan ‘Maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?’.

Sperber dan Wilson mengembangkan teori relevansi yang merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah maksim relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui maksim ini. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Seperti dalam ilustrasi berikut. Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini. Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.


(35)

Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dapat dipahami penerimanya, dalam Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan.

2.2.1 Implikatur Percakapan Umum

Implikatur percakapan umum (generalized conversational implicature) merupakan makna yang diturunkan dari percakapan dengan tidak memerlukan pengetahuan khusus tentang konteks (sosial) percakapan, pengetahuan antarpembicara, atau hubungan antarpembicara, seperti dalam contoh berikut.

Debby : Katanya kamu mengundang Nina dan Santi? Dewi : Aku tidak mengundang Nina.


(36)

2.2.2 Implikatur Berskala

Informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Implikatur Berskala adalah skala yang menunjukkan nilai satu layanan barang atau jasa, yaitu sebagai berikut:

- Skala kuantitas : beberapa, sedikit, kebanyakan, semua - Skala frekuensi : kadang-kadang, sering, selalu

- Skala suhu : dingin, hangat, panas - Skala kepastian : barangkali, mungkin, pasti

Pilihan atau pernyataan skala tertentu terhadap suatu fenomena merupakan nilai negatif atau pengingkaran terhadap nilai tinggi atau rendah. Dengan kata lain, jika dalam satu percakapan pembicara menggunakan atau mengujarkan satu sisi nilai, hal itu berimplikasi pengingkaran atau tandingan negatif terhadap nilai itu (Saragih, 2008: 13), seperti dalam contoh berikut.

Kakak : Siapa yang menghabiskan cokelatku? Adik : Aku cuma makan sedikit kok.

2.2.3 Implikatur Percakapan Khusus

Berbeda dengan implikatur percakapan umum, implikatur percakapan khusus merupakan makna yang diturunkan dari percakapan dengan mengetahui/merujuk konteks (sosial) percakapan, hubungan antarpembicara serta kebersamaan pengetahuan mereka (shared knowledge). Hanya dengan pengetahuan khusus itulah makna atau implikatur dapat diturunkan, seperti pada contoh berikut.


(37)

Badu : Pergi kita ke pesta si Santi? Andi : Ayahku lagi datang. (’tidak’)

Dari contoh ini ’Badu harus mengetahui hubungan Andi dengan ayahnya. Jika misalnya, Badu mengetahui kalau Andi berusaha untuk menghindari ayahnya dalam setiap kesempatan, maka implikatur yang diperoleh adalah ”ya”. Sehingga untuk menghasilkan implikatur percakapan khusus dibutuhkan pengetahuan bersama diantara pembicara dan pendengar (Peccei, 1999: 36).

2.3 Pembatas (Hedges)

Maksim-maksim percakapan merupakan asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan dalam percakapan. Biasanya kita berasumsi bahwa orang akan memberikan sejumlah informasi yang tepat, benar, relevan, dan mencoba menjadikannya sejelas mungkin. Akan tetapi ada beberapa jenis ungkapan tertentu yang dipakai oleh penutur untuk menandai bahwa ungkapan-ungkapan itu berbahaya jika tidak sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip itu. Jenis ungkapan ini disebut pembatas (hedges). Penutur sering menunjukkan kalau mereka sangat peduli pada prinsip kerja sama jika mereka menggunakan pembatas.

Dalam maksim kualitas untuk berinteraksi dengan baik dapat diukur dengan sejumlah ungkapan-ungkapan yang digunakan, yaitu untuk menunjukkan bahwa apapun yang sedang dikatakan mungkin tidak sepenuhnya tepat, seperti terdapat dalam contoh berikut.

(1) Sepanjang yang ku tahu, Andi telah menikah dengan Santi. (2) Ya, dia lelaki yang jujur saya kira.


(38)

Frasa pembuka dan frasa penutup dalam (1) dan (2) merupakan catatan bagi pendengar yang ada hubungannya dengan ketepatan dari pernyataan utama. Konteks percakapan dari contoh ini mungkin hanya sekedar isu terbaru yang melibatkan pasangan yang dikenal penutur. Pembatas ini juga dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa penutur sadar tentang maksim kuantitas, seperti pada frasa pembuka berikut ini, yaitu:

(1) Mungkin kamu tahu kalau saya takut terhadap kecoa. (2) Jadi, singkat cerita, kami ganti bajunya yang rusak.

Tanda-tanda yang terkait dengan harapan relevansi dapat ditemukan di tengah-tengah pembicaraan ketika penutur mengatakan sesuatu seperti ’ngomong-ngomong’ dan terus menyebutkan beberapa informasi yang tidak tepat selama proses percakapan. Penutur juga tampak menggunakan ungkapan seperti ’bagaimanapun juga’, atau ’baiklah, namun’, untuk menunjukkan bahwa mereka telah menyimpang ke dalam suatu pembahasan tentang beberapa materi yang kemungkinan tidak relevan dan ingin berhenti dari pembahasan tersebut. Contoh :

(1) Mungkin pertanyaan ini terdengar tolol, tetapi tulisan siapa ini?

(2) Bukannya bermaksud mengganti topik pembicaraan, tetapi apakah persoalan ini terkait dengan rencana perjalanan akhir tahun kita?

Kesadaran tentang tingkah laku yang diharapkan dapat juga menuntun penutur untuk menghasilkan tipe pembatas yang ditunjukkan dalam frasa pembuka berikut.

(1) Kejadian ini sedikit membingungkan, namun pada saat itu saya berada ruang dapur.


(39)

Seluruh contoh pembatas ini merupakan petunjuk bahwa penutur tidak hanya sadar tentang maksim-maksim, tetapi mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mencoba untuk meneliti maksim-maksim itu dan menyampaikan kepedulian penutur bahwa pendengar memutuskan untuk menjadi pasangan-pasangan percakapan yang koperatif.

2.4 Sifat-Sifat Implikatur Percakapan

Implikatur merupakan bagian dari informasi yang disampaikan namun penutur selalu dapat memungkiri bahwa mereka ingin menyampaikan maksud-maksud tertentu. Implikatur-implikatur tersebut dapat dipungkiri secara eksplisit dengan cara yang berbeda. Contoh, ada sebuah implikatur baku yang dikaitkan dengan menyatakan suatu besaran dan penutur hanya memaksudkan jumlah angka itu, seperti berikut.

Anda telah mendapatkan bonus lima puluh ribu rupiah! (hanya lima puluh ribu) Namun, untuk menangguhkan implikatur itu (hanya lima puluh ribu) bagi penutur cukup mudah, yaitu dengan menggunakan ungkapan ’kira-kira’, atau membatalkan informasi dengan memberikan informasi tambahan dengan ungkapan ’sebenarnya’.

Anda telah mendapatkan bonus kira-kira lima puluh ribu rupiah!

Anda telah mendapatkan bonus kira-kira lima puluh ribu rupiah, tapi sebenarnya Anda sudah mendapatkan bonus tujuh puluh lima ribu rupiah!


(40)

Implikatur dapat diperhitungkan oleh pendengar melalui inferensi. Jadi dengan demikian sifat implikatur adalah, implikatur-implikatur percakapan dapat diperhitungkan, ditangguhkan, dibatalkan, dan ditegaskan kembali.

2.5 Kesantunan: Prinsip dan Maksim

Prinsip sopan santun merupakan komplemen yang perlu dalam menjelaskan implikatur percakapan dengan lebih baik. Untuk menjalin hubungan yang baik dan demi tercapainya tujuan dalam berkomunikasi perlu mempertimbangkan segi sopan-santun berbahasa. Sopan-sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitrabicara. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati. Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image) (dalam Peccei, 1999: 64). Menurut Goffman (1956) setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.


(41)

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas ini diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004:26). Peerhatikan ilustrasi berikut.

1. Maaf, Pak, boleh tanya? 2. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (1) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (2) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat.

Seseorang yang mengetahui yang mengetahui dan menyadari jarak atau kedekatannya kepada mitrabicara dan menggunakan bahasa dengan baik sesuai dengan jarak atau kedekatannya itu disebut menggunakan bahasa secara santun atau


(42)

melakukan kesantunan bahasa. Dengan prinsip pengetahuan atau kesadaran tentang jarak dan kedekatan itu, jika pembicara dengan mitra bicara memiliki jarak dan memakai bahasa dengan prinsip kedekatan akan menimbulkan salah pengertian dan melanggar kesantunan bahasa. Demikian juga sebaliknya, orang yang dekat dengan mitrabicara yang menggunakan bahasa yang berindikasi jarak akan merusak kesantunan pemakaian bahasa karena mitrabicara akan merasa bahwa pembicara berupaya menjauhkan diri daripadanya. Hal ini memberi kesan bahwa mitrabicara tidak santun dalam berkomunikasi (Saragih, 2008:17).

Kesantunan yang beorientasi kepada jarak sosial antarpembicara akan menimbulkan sikap hormat (respect) dan kesantunan yang berorientasi untuk menjaga muka atau marwah karena kedekatan disebut akrab, persahabatan (friendliness) dan solidaritas (solidarity). Tindak ancaman terhadap muka atau marwah (face threatening act) adalah ucapan yang mengancam penghargaan atau pengharapan seseorang atas muka atau marwahnya. Tindak penyelamatan muka (face saving act) merupakan ucapan yang menyelamatkan atau mengurangi ancaman terhadap marwah seseorang. Sebagai contoh seorang ayah melakukan tindak ancaman marwah sedang si ibu melakukan tindak penyelamatan marwah ketika salah seorang anak tetangga mereka memukuli anak lelakinya, seperti dalam percakapan berikut. Ayah : Biar ku beri pelajaran anak bandel itu. Seenaknya saja memukuli anak

orang.

Ibu : Mungkin, lebih baik berbicara saja dahulu dengan orang tuanya. Biar mereka yang menasehatinya.


(43)

Tindak peneyelamatan muka yang berorientasi kepada muka atau marwah negative akan menghasilkan atau berasosiasi dengan ucapan hormat, ucapan maaf dan pengakuan atas keunikan atau kekuasaan seseorang. Kesantunan yang dilakukan dengan orientasi ini disebut kesantunan negatif (negative politeness). Keunikan atau kekuasaan seseorang dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti umur, keturunan, status sosial, pengetahuan, sex, asal darah, dan lain-lain. Tindak penyelamatan muka atau marwah yang berorientasi ke muka atau marwah positif menghasilkan ucapan solidaritas, kesamaan nasib dan tujuan, keakraban. Kesamaan atau solidaritas ini disebut kesantunan positif (positive politeness).

Realisasi aspek bahasa yang digunakan untuk strategi kesantunan positif adalah bahasa formal, dialek, slang, penggunaan gelar, keterlibatan kita, menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Sedangkan aspek bahasa yang digunakan untuk strategi kesantunan negatif adalah hindari ucapan slang, penggunaan gelar, hindari bahasa informal, nirpersona, keterlibatan orang ketiga, dan dinyatakan dengan tidak langsung (Saragih, 2008: 17). Seperti dalam contoh berikut.

Strategi Kesantunan Positif : Mari kita pergi ke pesta pernikahan anak Bu Tuti. Strategi Kesantunan Negatif : Bapak diundang ke pesta pernikahan anak Bu Tuti.

Anda diundang ke pesta pernikahan anak Bu Tuti. Dari contoh tersebut diketahui bahwa aspek bahasa yang digunakan untuk kesantunan positif adalah dengam menggunakan bahasa yang formal dan menyatakan sesuatu


(44)

dengan tidak langsung. Berbeda halnya dengan kesantunan negatif yang menggunakan aspek bahasa yang informal serta dinyatakan secara langsung.

Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993: 8) yaitu (1) formalitas, artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa, (2) kebebasan pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga mitrabicara Anda dapat menentukan pilihan dari berbagai tindakan, (3) kesekawanan (kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan mitrabicara Anda sama atau sederajat, dan buatlah agar mitrabicara Anda merasa senang. Dengan demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila penutur tidak terkesan memaksa, ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada mitrabicara, dan mitrabicara merasa senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat ditempuh agar ujaran bernilai sopan-santun tinggi. Dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite).

Di samping tiga kaidah sopan-santun yang diusulkan Lakoff tersebut, Leech (1999: 194-195) mengemukakan adanya tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Ketiga skala pragmatik itu adalah (1) skala biaya-keuntungan (cost and benefit), (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan.


(45)

Leech (1999: 205) membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu (1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) yaitu buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin, (2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) yaitu buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin, (3) Maksim Pujian (Approbation Maxim) yaitu kecamlah orang lain sedikit mungkin, pujilah orang lain sebanyak mungkin, (4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) yaitu pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin, (5) Maksim Kesepakatan (Aggreement Maxim) yaitu usahakan agar ketidak sepakatan antara diri dan lain terjadi sedikit mungkin, usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin, (6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim) yaitu kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

Karena semua maksim ini menganjurkan agar mengungkapkan keyakinan- keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan- keyakinan yang tidak sopan, maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam prinsip sopan santun. Empat maksim-maksim yang pertama melibatkan skala-skala berkutub dua: skala untung-rugi dan skala pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu kutubnya, yaitu skala kesepakatan dan skala simpati.

Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, setiap maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala


(46)

penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala untung-rugi pada maksim kearifan dan kedermawanan memeringkatkan untung-rugi orang lain dan diri sendiri akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan skala-skala pada maksim pujian dan maksim kerendahan hati memeringkatkan baik tidaknya penilaian yang diungkapkan oleh diri sendiri mengenai orang lain dan mengenai diri sendiri (Leech, 1993: 209).

Maksim-maksim ini ditaati sampai batas-batas tertentu saja dan bukannya ditaati sebagai kaidah-kaidah absolut, khususnya berlaku bagi submaksim-submaksim yang lebih lemah, seperti ‘kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin’. Seseorang yang terus menerus merendahkan dirinya pada setiap kesempatan akan menjadi orang yang sangat membosankan. Sehingga dia akan dinilai sebagai orang yang tidak tulus, yang tidak sungguh. Jika terjadi demikian Prinsip Kerja sama (Maksim Kualitas) akan menghalangi kita agar tidak terlalu merendahkan diri; sebaliknya, dalam situasi yang lain Prinsip Kerja sama juga akan menghalangi kita agar tidak terlalu arif. Perhatikan contoh berikut.

A: Mereka baik sekali kepada kita. B: Ya, betul.

Kalimat ini menunjukkan bahwa memang sopan kalau kita sependapat dengan pujian orang lain, kecuali kalau pujian itu ditujukan kepada diri sendiri. Namun pada kalimat berikut.

A: Anda baik sekali kepada saya. B: Ya, betul.


(47)

Kalimat ini melanggar submaksim yang pertama Maksim Kerendahan Hati yang berarti membual, dan ini merupakan suatu pelanggaran sosial bila kemurahan hati ini dibesar-besarkan.

2.6 Kajian Terdahulu

Penelitian tentang implikatur percakapan sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, antara lain Pessy (2003) dan Tuti Tresnawati (2005). Sejalan dengan penelitian ini, Pessy (2003) telah menulis A Study Of Speech Acts and Implicature Acquisition and The Acquisition of A Four-Years Old Indosnesian Boy. Penelitiannya mengenai pemerolehan bahasa anak dan pemerolehan pragmatik pada seorang anak laki-laki Indonesia yang menitikberatkan pada tindak tutur dan implikatur. Menurutnya, seorang anak laki-laki telah memperoleh empat dari lima jenis tindak tutur yang dipaparkan oleh Yule (1997) yaitu: representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Sedangkan implikatur diperoleh dari ungkapan yang digunakannya ketika menginginkan sesuatu.

Selain itu, Tuti (2005) telah pula menulis Implikatur Percakapan Sebagai Unsur Utama Pengungkapan Humor Dalam Wacana Komedi Situasi Bajaj Bajuri.

Menurutnya, dalam wacana komedi situasi Bajaj Bajuri mengandung banyak implikatur percakapan sebagai akibat pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama Grice atau prinsip kesantunan Leech. Efek lucu yang mendukung keberhasilan humor itu dapat terwujud karena adanya fenomena implikatur itu sebagai unsur utamanya. Dalam penelitian ini diketahui bagaimana perwujudan prinsip kerja sama, prinsip


(48)

kesantunan, dan tipe-tipe humor atas dasar motivasi, topik, dan teknik penciptaannya sebagai penyebab timbulnya implikatur percakapan yang menjadi unsur utama pengungkapan humor. Dari hasil analisis penelitian diperoleh temuan bahwa ternyata bukan hanya pelanggaran yang menimbulkan implikatur percakapan, namun bentuk pematuhan terhadap prinsip kerja sama Grice, prinsip kesantunan Leech, dan tipe-tipe humor berdasarkan topik, motivasi, dan teknik penciptaannya pun dapat menimbulkan implikatur percakapan dengan maksud menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur didalam suatu percakapan yang berfungsi sebagai unsur utama pengungkapan humor.

Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tersebut, telah menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang implikatur percakapan yang diperoleh dari pelanggaran maksim percakapan dalam debat kandidat calon kepala daerah, khususnya calon kepala daerah DKI Jakarta.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian tentang implikatur percakapan ini didasarkan kepada metode deskriptif dan sifat penelitian adalah kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis maupun lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 1993:10). Pendekatan kualitatif yang melibatkan data lisan di dalam masyarakat bahasa melibatkan apa yang disebut informasi.

Metode deskriptif bertujuan membuat deskripsi sesuatu objek kajian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti, sehingga didapat gambaran data secara ilmiah. Sifat kualitatif penelitian ini mengarah pada pembahasan permasalahan tentang implikatur percakapan yang diperoleh dari pelanggaran prinsip-prisip kerjasama. Untuk memecahkan masalah penelitian ini, ada tiga tahapan yang dilakukan, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) penganalisisan data, dan (3) penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pemanfaatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data yang benar-benar sahih dan terpercaya. Data penelitian ini


(50)

dikumpulkan dengan metode simak (Sudaryanto, 1993:133-136). Pelaksanaan metode ini didukung oleh teknik dasar sadap yaitu penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan penyadapan. Kemudian dilanjutkan dengan teknik lanjutan simak bebas libat cakap yaitu dengan tidak terlibat dalam dialog dan tidak ikut serta dalam proses pembicaraan orang-orang yang saling berbicara, teknik rekam, dan teknik catat sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993:133). Pada saat menyimak ulang inilah diberikan tanda-tanda pada teks untuk menandai fenomena-fenomena kebahasaan yang perlu dikaji. Tiap-tiap data yang diambil dari transkripsi percakapan tersebut akan diberi nomor. Kemudian kartu-kartu data ini diolah secara deskriptif, kemudian diklasifikasikan dengan butir-butir yang perlu dikaji.

Untuk memperoleh data seperti itu dipilih acara debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta di satu program stasiun televisi pada tanggal 4 Agustus 2007 yang menghadirkan dua pasangan calon Gubernur DKI Jakarta beserta empat orang panelisnya sebagai data yang akan dianalisis dan kemudian mentranskripsikan rekaman tersebut.

3.3 Prosedur Penelitian

Data ini dikumpulkan dengan cara pencatatan atau perekaman dengan prosedur sebagai berikut.

(1) merekam acara debat kandidat tersebut.

(2) mentranskripsikan hasil debat kandidat tersebut. (3) membaca seluruh transkripsi.


(51)

(4) mengidentifikasi maksim percakapan menurut teori Grice. (5) mengklasifikasi pelanggaran maksim-maksim percakapan.

(6) menginterpretasi implikatur percakapan yang diperoleh dari pelanggaran maksim-maksim percakapan.

(7) membuat daftar pelanggaran maksim-maksim percakapan. (8) membuat kesimpulan.

(9) mendeskripsikan hasil penelitian

3.4 Teknik Analisis Data

Data yang ditranskripsi berupa tanya jawab antara para panelis dengan para pasangan calon Gubernur DKI Jakarta, tanya jawab antara satu pasangan calon kepada pasangan lainnya. Dianalisis dengan mengklasifikasikan percakapan-percakapan yang mengalami pelanggaran maksim berdasarkan jenis maksimnya, dan mendeskripsikan makna tambahan yang diperoleh atau disebut implikatur. Implikatur percakapan ini diperoleh dengan menginterpretasikan pelanggaran maksim yang menerapkan teori Grice. Interpretasi dapat dilakukan dengan menghubungkan data dengan konteks linguistik dan konteks sosial, yang mencakupi unsur situasi, budaya dan ideologi.

3.5 Teknik Penyajian Hasil Analisis

Untuk menyajikan hasil analisis digunakan teknik formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian dengan teknik formal adalah menyajikan hasil


(52)

analisis dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang. Teknik ini digunakan untuk memvisualisasikan hasil analisis. Penggunaan tanda dan lambang itu hanya sebagian kecil dan dipadukan dengan metode penyajian informal yaitu dengan perumusan kata-kata untuk menguraikan data secara rinci.

Berikut ilustrasi contoh. Pelanggaran Maksim Hubungan A : Jadi kau belikan aku tinta printer? B : Uangku sudah habis.

Dari ilustrasi di atas, dapat diketahui kalau B melanggar Maksim Hubungan dengan memberikan jawaban yang tidak relevan atas pertanyaan A. Dalam ilustrasi ini B ingin mengatakan bahwa ’dia tidak jadi membeli tinta printer karena uangnya sudah habis’.

Implikatur yang diperoleh dari ilustrasi di atas adalah ’B tidak tidak membeli tinta tersebut’. B seharusnya mengatakan ”Tidak” untuk mematuhi aturan maksim hubungan.


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Prinsip kerja sama yang terdiri dari empat buah maksim percakapan harus dipatuhi dalam sebuah acara debat kandidat. Setiap kandidat memiliki tujuan, visi dan misi masing-masing yang ingin dicapai. Setiap tuturan yang terjadi akibat adanya proses tanya jawab antara panelis dan kandidat. Hal ini merupakan satu unit yang sangat mendasar dari sebuah acara debat. Debat kandidat ini merupakan salah satu bentuk kampanye yang bertujuan tidak hanya untuk menguji visi misi dan program para kandidat, tetapi juga untuk memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia kandidat mana yang sesuai untuk memerintah Jakarta.

Proses yang terjadi dalam sebuah debat juga termasuk dalam penelitian ini. Yaitu bagaimana implikatur percakapan itu dapat menjelaskan makna tersirat dari tuturan seorang kandidat. Program debat ini menghasilkan pelanggaran empat jenis maksim percakapan yaitu maksim kualitas, maksim relevansi, maksim kuantitas, dan maksim cara). Adanya pelanggaran maksim-maksim ini maka dapat diperoleh implikatur (implikatur percakapan umum dan implikatur percakapan khusus). Implikatur percakapan umum merupakan makna yang diturunkan dari percakapan dengan tidak memerlukan pengetahuan khusus tentang konteks sosial percakapan, pengetahuan antarpembicara, atau hubungan antarpembicara. Implikatur percakapan khusus merupakan makna yang diturunkan dari percakapan dengan mengetahui atau


(54)

merujuk konteks sosial percakapan, hubungan antarpembicara serta kebersamaan pengetahuan mereka.

Implikatur ini diperoleh karena adanya pelanggaran maksim dengan memerhatikan empat jenis konteks yaitu konteks fisik, epistemik, linguistik, dan sosial. Data yang diperoleh berasal dari tanya jawab antara para panelis dan kandidat cagub cawagub. Berhubung setiap kandidat berusaha menjelaskan program kerja mereka ketika menjawab pertanyaan panelis, para kandidat tersebut tidak fokus terhadap apa sebenarnya yang dinginkan oleh para panelis. Hal ini mengakibatkan munculnya pelanggaran maksim percakapan dan ini dilakukan berulang oleh para kandidat dalam acara debat tersebut. Pelanggaran maksim ini disebabkan kurangnya perhatian dan wawasan serta pengetahuan atas permasalahan yang ada di Jakarta, aspek psikologis seperti perasaan gugup, kepercayaan diri yang kurang sehingga tanggapan yang diberikan kurang maksimal.

4.1.1 Pelanggaran Maksim Kualitas

Maksim kualitas menyatakan cobalah untuk membuat suatu informasi yang benar, yaitu (1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini salah, (2) jangan mengatakan sesuatu jika Anda tidak memiliki bukti yang memadai. Pada acara debat kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pelanggaran maksim kualitas ini muncul.


(55)

Data 1

Panelis 1, Azumardi Azra :

“Pertama, saya ingin mengucapkan selamat atas kedua pasangan Cagub dan Cawagub ini dan saya ingin memulai, eh….diskusi kita, perdebatan kita pada malam hari ini. Dengan melihat masalah Jakarta yang begitu kompleks dan rumit, sangat rumit dan begitu kompleks seperti masyarakatnya, ada kesenjangan sosial yang semakin mencolok di Jakarta, ada rumah-rumah mewah tapi juga semakin banyak eh…komplek atau perumahan-perumahan kumuh, juga ada mall-mall yang semakin luas, semakin gagah, dan pasar-pasar tradisional yang semakin tersisih, dan juga ada mobil-mobil mewah yang seliweran di jalanan, sementara banyak juga kita lihat bajaj yang banyak mengeluarkan asap, emisi. Nah, kira-kira apa yang akan saudara-saudara lakukan, pasangan baik yang pertama maupun yang kedua, untuk mengatasi masalah ini? Saya harapkan tentu saja jawabannya tidak normatif dan tidak retorik, tapi kita harapkan jawaban yang spesifik untuk berbagai masalah seperti itu. Terimakasih”.

Kandidat Cagub II, Fauzi Bowo :

“Kemajemukan sudah sejak awal merupakan ciri karakter kota Jakarta yang kita cintai ini. Oleh karena itu, kami secara spesifik berangkat dari kemajemukan yang ada. Kami punya visi membangun Jakarta yang nyaman dan sejahtera untuk semua, bukan untuk sebagian. Kita jadikan kemajemukan ini asset untuk berangkat mensejahterakan warga Jakarta. Tidak ada pilihan lain, saya dan Pak Pri bertekad untuk mulai bekerja keras, mulai dari saat hari pertama, seandainya Tuhan mengijinkan kami untuk memerintah Jakarta. Ibu Bapak yang terhormat, saya hormati apa yang disampaikan tadi, tapi saya kenal Jakarta, saya tahu masalahnya, dan saya tahu juga solusinya. Untuk itulah kami berdua akan bekerja keras. Solusi ada di tangan kami”.

Dari data (1) Fauzi Bowo memberikan tanggapan bahwa dia telah mengetahui program apa saja yang harus mereka lakukan jika kelak mereka terpilih sebagai gubernur. Fauzi melanggar maksim kualitas yang kedua yaitu jangan mengatakan sesuatu jika tidak memiliki bukti yang memadai.


(56)

Implikatur yang diperoleh adalah dia seorang yang merasa lebih mengetahui persoalan Jakarta yang kompleks daripada kandidat calon gubernur lainnya. Hal ini mengakibatkan pemirsa televisi berasumsi Fauzi Bowo seorang yang sombong, terlalu percaya diri bahwa hanya dialah satu-satunya orang yang paling dekat dengan rakyat Jakarta.

Sebaiknya Fauzi memberikan tanggapan yang lebih bijaksana dan memberikan fakta-fakta yang menunjukkan kalau dia memang mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi masalah Jakarta yang sangat kompleks, seperti berikut. ”Saya sudah lama tinggal di Jakarta ini dan telah lama pula berkecimpung dalam persoalan masyarakat yang majemuk ini”. Dia juga harus menyebutkan apa yang menjadi masalah pokok di Jakarta, dan juga apa solusinya.

Data 2

Panelis IV, Bambang Wijayanto:

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Saya ingin mempersoalkan isu soal korupsi tadi sudah dikemukakan. Bicara soal korupsi, itu adalah poinnya penyalahgunaan kewenangan. sekarang pertanyaannya adalah ketika akan melakukan pemberantasan korupsi perlu dilakukan kontrol terhadap kekuasaan. Bagaimana sebenarnya kontrol itu bisa dilakukan? Apa sektor-sektor strategis yang mesti dikendalikan supaya korupsi di sektor-sektor revenue dan di sektor expendijer - expendijer bisa dikendalikan?”

Kandidat Cagub I, Adang Darajatun:

“Kalau berbicara korupsi tidak akan lepas pada hal yang paling mendasar. Satu, bagaimana membangun moral, bagaimana kita melakukan eh…kesejahteraan yang baik, pengawasan melekat dan penegakan hukum. Kalau tadi ditanyakan tentang sektor-sektor strategis, saya lebih melihat bagaimana struktur di DKI. Kita lihat saja yang pasti kalau berbicara moral, bagaimana tentang personil-personil di bidang pembinaan personil-personilnya”.


(57)

Pada data (2) Adang memberikan tanggapan yang melanggar maksim kualitas. Maksim kualitas menyatakan untuk tidak mengatakan sesuatu hal jika tidak memiliki bukti yang memadai. Dalam pernyataannya tersebut belum terlihat kalau pasangan ini memiliki suatu fakta tentang sektor-sektor strategis yang terdapat di Jakarta dan bagaimana personil-personilnya dalam menjalankan tugasnya, namun beliau sangat yakin dapat memperbaiki tentang hal tersebut. Hal ini berdampak argumen-argumen yang diberikan tidak meyakinkan para panelis maupun pemirsa televisi.

Implikatur yang diperoleh adalah Adang belum menguasai bidang pemerintahan struktural sehingga hal ini dapat berdampak berkurangnya kepercayaan masyarakat Jakarta untuk memilih pasangan ini.

Adang dapat mematuhi maksim kualitas apabila beliau mengatakan, ”Kontrol itu bisa dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama, pembinaan moral para personil pemerintahan yang dimulai dari pimpinan itu sendiri. Yang kedua, apresiasi bagi para personil yang menjalankan tugas baik itu dalam bentuk insentif atau lainnya, dst. Dan yang paling penting adalah pembinaan moral. Karena bagaimanapun juga moral merupakan satu hal yang paling penting dalam mengemban amanah suatu jabatan”.

Data 3

Panelis IV, Bambang Wijayanto:

“Saya ingin mempersoalkan isu soal korupsi tadi sudah dikemukakan. Bicara soal korupsi, itu adalah poinnya penyalahgunaan kewenangan. Jawaban dari kandidat selalu normatif dengan mengatakan perlu peningkatan insentif. Itu


(58)

bukan masalah yang bisa diselesaikan. Nah, sekarang pertanyaannya adalah ketika akan melakukan pemberantasan korupsi perlu dilakukan kontrol terhadap kekuasaan. Bagaimana sebenarnya kontrol itu bisa dilakukan? Apa sektor-sektor strategis yang mesti dikendalikan supaya korupsi di sektor-sektor revenue dan di sektor expendijer - expendijer bisa dikendalikan?” Jawaban dari kandidat selalu normatif dengan mengatakan perlu peningkatan insentif. Itu bukan masalah yang bisa diselesaikan”.

Kandidat Cawagub I, Dani Anwar:

“Mas Bambang, kita eh..kandidat telah melakukan MoU dengan beberapa LSM yang kaitannya dengan komitmen untuk tidak melakukan korupsi. Dan itu sebagai perwujudan keseriusan kami berdua bagaimana kita bisa setidaknya mengeliminer persoalan korupsi yang ada di Jakarta. Tadi sudah dikemukakan oleh Pak Adang Darajatun yang kita banggakan bahwasanya kita berdua ini adalah orang baru yang ada di Pemda DKI. Tentunya dengan kondisi orang baru itu mudah-mudahan dengan ketauladanan yang kami bisa berikan ke depan akan mengerem setidak-tidaknya persoalan-persoalan yang terjadi di Pemda DKI Jakarta dan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Jadi insyaAllah mudah-mudahan dengan keseriusan kita berdua ini mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan masalah ini.”

Dari data (3) ini tanggapan dari Dani Anwar juga melanggar maksim kualitas karena karena dia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh panelis. Sebagai seorang cawagub dia sebaiknya memberikan pernyataan yang lebih meyakinkan panelis dan pemirsa televisi untuk mendukung tanggapan yang telah diberikan oleh cagubnya yakni Adang Darajatun. Dengan demikian mengakibatkan kedua pasangan calon tidak kelihatan serasi, padahal dalam menjalankan pemerintahan seorang gubernur harus memiliki komunikasi yang baik dengan wakilnya.


(59)

Implikatur yang diperoleh adalah Dani juga belum mengetahui secara pasti hal apa yang akan mereka lakukan untuk memberantas korupsi seandainya mereka terpilih sebagai cagub dan cawagub DKI Jakarta.

Untuk mematuhi maksim kualitas sebaiknya Dani mengatakan,”Kami memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu maka diperlukan akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan pemerintahan, sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan berkualitas. Hal ini dapat terwujud jika pimpinan dan personil-personilnya saling bekerja keras dan memiliki keinginan yang kuat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, adil dan bijaksana”.

Data 4

Panelis III, Aviliani:

”Selamat malam kedua pasangan calon. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Iya, kita lihat angka pengangguran dan kemiskinan terutama di Jakarta itu mulai juga ada peningkatan. Karena banyak perusahaan yang tutup,, ya…. Oleh karena itu, kalau kita melihat eh…harusnya bagaimana Jakarta ini bisa meningkatkan investasi, sehingga para penganggur ini bisa eh..dioptimalkan”.

Kandidat Cawagub II, Dani Anwar:

”Kaitannya dengan menciptakan iklim investasi yang baik, saya kira memang diperlukan satu keberanian. Dari seorang kepala daerah di DKI Jakarta ini yang bisa melakukan terobosan-terobosan dan pembenahan-pembenahan terhadap iklim investasi yang ada di Jakarta ini”.

Tanggapan Dani dari data (4) ini melanggar maksim kualitas, karena Dani belum memiliki bukti yang memadai untuk memperkuat argument atau uraian yang diberikannya. Maksim kualitas menyatakan untuk tidak mengatakan sesuatu jika


(60)

belum memiliki bukti yang memadai. Dalam hal ini Dani tidak menjawab secara jelas bagaimana iklim investasi di Jakarta bisa ditingkatkan. Hal ini mengakibatkan program kerja yang ditawarkan oleh pasangan kandidat calon ini belum tergambar dengan jelas.

Implikatur yang diperoleh adalah Dani Anwar belum begitu mengetahui strategi yang tepat untuk meningkatkan investasi di Jakarta.

Sebaiknya Dani mengatakan,”Salah satu cara untuk meningkatkan investasi baik dari dalam maupun luar negeri adalah memberlakukan peraturan daerah yang kondusif untuk berinvestasi yang dibarengi dengan infrastruktur yang mendukung, selain adanya stabilitas keamanan negara kita, sehingga investor-investor dalam maupun luar negeri tertarik untuk menanamkan modalnya”.

4.1.2 Pelanggaran Maksim Kuantitas

Penelitian ini juga menemukan pelanggaran maksim kuantitas. Maksim kualitas ini menyatakan supaya jangan membuat pernyataan lebih informatif dari yang diminta. Pelanggaran maksim ini dapat terlihat dari data berikut.

Data 5

Panelis II, Gumilar R. Sumantri:

”Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Seratus hari pertama menjabat jadi gubernur adalah penting. Ada peribahasa, kita tidak bisa mengharapkan lebih banyak perubahan selama lima tahun apabila selama seratus hari pertama tidak terjadi apa-apa. Mohon dijawab oleh kedua pasangan calon. Apa program yang konkrit untuk dilakukan atau akan dilakukan nanti untuk mengatasi masalah Jakarta yang kompleks?”


(1)

kondusif untuk itu. Ya…sehingga dengan demikian, sekali lagi tanpa bench

marking kita tidak akan berhasil.

Ya…bukan hanya dengan menggerakkan APBD, tapi kita harus punya political

will yang kuat dan harus punya program yang jelas untuk mengundang investasi

yang sebagian juga ditentukan oleh iklim investasi nasional yang ada di negara kita ini.

Insentif yang kita bisa tawarkan adalah insentif yang menjadi kewenangan daerah. Diluar daripada itu kita harus berjuang untuk mendapatkan preveileges, misalnya dari pemerintah pusat seperti special investment soul untuk Jakarta. Dan dengan demikian kita akan bisa mengcreate begitu banyak lapangan kerja baru untuk mereka yang membutuhkan di Jakarta. Barangkali itu jawaban saya, ya…

(28) Presenter :

Baik. Terimakasih Pak Fauzi Bowo. Baik, terimakasih para pendukung. Kita masih akan mendengarkan pertanyaan dari satu panelis. Panelis yang terakhir, Konsultan Hukum Kemitraan untuk Reformasi Tata Pemerintahan, Bambang Wijayanto. Silahkan Mas Bambang.

(29) Panelis IV, Bambang Wijayanto:

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Saya ingin mempersoalkan isu soal korupsi tadi sudah dikemukakan. Bicara soal korupsi, itu adalah poinnya penyalahgunaan kewenangan. Jawaban dari


(2)

kandidat selalu normatif dengan mengatakan perlu peningkatan insentif. Itu bukan masalah yang bisa diselesaikan.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah ketika akan melakukan pemberantasan korupsi perlu dilakukan kontrol terhadap kekuasaan. Bagaimana sebenarnya kontrol itu bisa dilakukan? Apa sektor-sektor strategis yang mesti dikendalikan supaya korupsi di sektor revenue dan di sektor expendijer - expendijer bisa dikendalikan?

Presenter :

Baik. Yang akan menjawab terlebih dahulu adalah pasangan Fauzi Bowo-Priyanto.

(30) Fauzi Bowo :

Dalam visi dan misi yang kami eh…tawarkan dan kami sampaikan kepada rakyat Jakarta, jelas tercantum keinginan kuat dari Priyanto dan Fauzi Bowo untuk membangun suatu, mewujudkan suatu tata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Diantara ciri-ciri good governance tersebut transparansi, accountabilitiy, partisipasi dan profesionalisme, ini akan kami jalankan secara konsekwen. Mulai hari pertama di setiap jajaran dan jenjang yang mengambil keputusan.

Kemudian kami akan ikuti dengan keteladanan, ya…keteladanan dan kami akan laksanakan juga kiat-kiat yang diperlukan seperti electronic government,

governance. Itu akan kami laksanakan. Sudah kami jalankan dalam bentuk e-probhuman, e-announcement. E-probhuman akan dilaksanakan dalam tiga


(3)

bulan terakhir ini, dan kemudian e-government akan kita jadikan aturan main baru di DKI Jakarta ke depan.

Dengan demikian Pak Bambang Wijayanto dengan segala hormat bisa memeriksa apa yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta ini secara publik dan terbuka. Ini merupakan jaminan yang lebih pasti untuk melaksanakan satu tata pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Terimakasih.

(31) Priyanto :

Ada tambahan dari saya Pak…ada tambahan dari saya. Dalam menanggulangi korupsi itu perlu adanya pengawasan yang ketat oleh semua pihak. Kedua, penegakan hukum, dan ketiga, pembinaan mental terhadap semua pejabat maupun hal yang terkait. Kita harus ingatkan kepada mereka bahwa sesungguhnya apa yang kita kerjakan itu akan ada balasannya karena dilihat Tuhan. Itu yang penting.

Presenter :

Terimakasih. Yang berikutnya silahkan Adang Darajatun dan Dani Anwar. (32) Adang Darajatun :

Kalau berbicara korupsi tidak akan lepas empat hal yang paling mendasar.

Satu, bagaimana membangun moral, bagaimana kita melakukan eh…kesejahteraan yang baik, pengawasan melekat dan penegakan hukum. Kalau tadi ditanyakan tentang sektor-sektor strategis, saya lebih melihat


(4)

bagaimana struktur di DKI. Kita lihat saja yang pasti kalau berbicara moral, bagaimana tentang personil-personil di bidang pembinaan personilnya.

Lalu tentang perencanaan, Bappeda-nya seperti apa, waskat bagaimana

Bawasda melakukannya, dan juga bagaimana pelaksanaan daripada penegakan

hukum, apabila pejabat tersebut terbukti.

Jadi kalau untuk saya, berbicara tentang konsep strategis, pertama, sebagai seorang pemimpin dan kebetulan saya sebagai seorang baru disana pasti akan melakukan suatu perubahan-perubahan untuk lebih memberikan suatu tata pemerintahan yang lebih baik. Tapi dengan catatan tetap masalah professional itu diperhatikan terhadap masalah-masalah sektor strategis tadi.

Dan yang paling penting adalah apabila sudah terbukti eh…pejabat tersebut melakukan suatu pelanggaran perlu dilakukan penegakan hukum. Jadi masalah

reward and punishment itu sangat penting.

(33) Dani Anwar :

Mas Bambang, kita eh..kandidat telah melakukan MoU dengan beberapa LSM yang kaitannya dengan komitmen untuk tidak melakukan korupsi. Dan itu sebagai perwujudan keseriusan kami berdua bagaimana kita bisa setidaknya mengeliminer persoalan korupsi yang ada di Jakarta.

Tadi sudah dikemukakan oleh Pak Adang Darajatun yang kita banggakan bahwasanya kita berdua ini adalah orang baru yang ada di Pemda DKI. Tentunya dengan kondisi orang baru itu mudah-mudahan dengan ketauladanan yang kami bisa berikan ke depan akan mengerem setidak-tidaknya


(5)

persoalan-persoalan yang terjadi di Pemda DKI Jakarta dan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Jadi insyaAllah mudah-mudahan dengan keseriusan kita berdua ini mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan masalah ini.

(34) Presenter :

Waktu anda sudah habis. Terimakasih. Seluruh panelis sudah bertanya. Teman-teman harap tenang. Kita masih debat. Seluruh panelis telah bertanya. Ini adalah bagian akhir. Bagian dimana saya memberikan kesempatan kepada masing-masing pasangan kandidat untuk menyampaikan kata penutup. Waktunya masing-masing satu menit. Dimulai dari pasangan kandidat dengan nomor urut satu.

(35) Adang Darajatun :

Bung Fauzi dan Pak Prayitno, kami dengan lapang dada, Priyanto, mendukung sepenuhnya saudara kami Fauzi Bowo dan Priyanto yang kelak warga Jakarta memilih mereka, dan jika amanah itu diberikan kepada kami, insyaAllah kami akan membuktikan komitmen kami pada tahun pertama dengan memberikan pendidikan gratis hingga SMA, serta asuransi kesehatan bagi warga yang tidak mampu.

Dengan segala kerendahan hati kita berdoa semoga Allah memberikan pemimpin yang terbaik bagi kita.


(6)

(36) Presenter :

Waktunya sudah habis. Terimakasih. Ya, kita akan berikan kesempatan terlebih dahulu pada Pak Fauzi Bowo untuk menyampaikan kata penutup. Waktunya satu menit, dimulai dari sekarang.

(37) Fauzi Bowo :

Kepada warga Jakarta yang saya cintai dan saya banggakan, Jakarta adalah milik kita bersama. Mari kita buktikan bahwa Jakarta adalah kota yang demokratis dalam pemilihan pilkada yang akan datang. Mari kita jaga kota ini agar tetap menjadi kota yang aman, kota yang tertib, pilkada bisa berlangsung dengan sukses, sebagaimana yang kita inginkan bersama. Seluruh mata dunia akan mengamati Jakarta. Oleh karenanya mari kita kerja keras untuk itu. Jakarta memerlukan pimpinan yang amanah, yang dekat dengan rakyatnya.

(38) Presenter :

Waktunya sudah habis. Iya, terimakasih. Boleh kita berikan tepuk tangan yang paling meriah untuk kedua kandidat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Terimakasih banyak kepada para panelis, terimakasih kepada para kandidat, terimakasih kepada Anda pemirsa Metro TV.

Ingat tanggal 8 Agustus, gunakan hak pilih Anda. Satu suara begitu berharga. Atas nama seluruh kru kerabat kerja yang bertugas Metro TV dan Jak TV, saya Nazwa Shihab undur diri. Selamat malam, sampai jumpa.