Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004

(1)

PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2004

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRVEB IMANUEL TARIGAN NIM: 070200272

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2004

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

Nama : IRVEB IMANUEL TARIGAN Nim : 070200272

Jurusan : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

(Suryaningsih. SH. M.Hum) Nip. 196002141987032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Pendastaren Tarigan. SH. MS) (Syarifuddin Siba. SH. M.Hum) Nip.195409121984031001 Nip.195208141982121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

pertanggung jawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis

normative) dengan mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research).

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 meliputi Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG), Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).

Demikian juga dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa yang menjadi Faktor Penghambat yang dihadapi Kepala Daerah Dalam Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah adalah hambatan yang bersifat politis, hambatan yang bersifat prosedural, dan hambatan yang bersifat ekonomis.


(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Pada kesempatan ini penulis memilih judul tentang “Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun penyusunan kalimatnya. Untuk itu dengan kerendahan hati dan keterbukaan penulis menerima kritik dan saran demi kebaikan penulis dalam pembuatan karya ilmiah pada masa mendatang.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II. 4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III.

5. Ibu Suryaningsih, SH., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara.


(5)

menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Syarifuddin Siba, SH., M.Hum., sebagai pembimbing II, yang telah berkenan meluangkan waktunya membimbing dan memberikan petunjuk pada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga buat Ayahanda tercinta Sabar Tarigan Sibero, SH. dan Ibunda tercinta Rosmawaty Br Sembiring kerena berkat doa, pengorbanan dan kasih sayangnya yang tulus telah membesarkan dan mendidik serta mendoakan penulis setiap saat demi kemajuan penulis.

Selanjutnya secara khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Saudara penulis, kakakku tersayang dr. Sri Setiana Tarigan., abangku tersayang Hartanta Tarigan, SH, dan adikku tersayang Mita florina Tarigan., yang selama ini telah mendukung, mendoakan dan menyayangi penulis.

2. Kekasih penulis, Elysa Yulinda Sembiring., yang selama ini telah menemani dan mendukung serta mendoakan penulis setiap saat demi kemajuan penulis. 3. Seluruh Staf dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang

telah membantu dan melancarkan penulis dalam pengurusan berkas-berkas skripsi penulis.

4. Rekan-rekan mahasiswa yang banyak membantu penulis selama perkuliahan, khususnya yang sangat dekat dengan penulis : Andrio Atenta Tarigan, Adhy Iswara Sinaga, Rizky Aulia Harahap, Faisal Lubis, Danisyah Putra Sembiring,


(6)

Akhirnya terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011 Penulis,

Irveb Imanuel Tarigan


(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SKEMA ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 13

C. Tujuan Penulisan ... 14

D. Manfaat Penulisan ... 15

E. Keaslian Penulisan ... 15

F. Tinjauan Kepustakaan ... 16

G. Metode Penelitian ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 26

A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ... 29

1. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran ... 33

2. Pertanggungjawaban Untuk Hal Tertentu ... 38

3. Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan ... 41

B. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 43

1. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemeerintah ... 49

2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ... 51

3. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat ... 54

BAB III : MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 58

A. Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG) ... 58

B. Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) ... 66


(8)

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH

KEPALA DERAH DALAM

MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 88

A. Hambatan Yang bersifat Politis ... 88

B. Hambatan Yang bersifat Prosedural ... 94

C. Hambatan Yang bersifat Ekonomis ... 97

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(9)

Tabel : Perbedaan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 ... 56


(10)

Skema : Skema Alur pikir kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang berbasis prinsip-prinsip Good Financial Governance ... 65


(11)

pertanggung jawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis

normative) dengan mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research).

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 meliputi Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG), Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).

Demikian juga dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa yang menjadi Faktor Penghambat yang dihadapi Kepala Daerah Dalam Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah adalah hambatan yang bersifat politis, hambatan yang bersifat prosedural, dan hambatan yang bersifat ekonomis.


(12)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.1 Ini berarti bahwa negara yang bersusunan negara Kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat. Dengan demikian corak pemerintahan yang cenderung bersifat sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (Federasi) dimana corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat Desentralisasi.2

Namun karena wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai jenis suku bangsa yang beraneka ragam (Bhineka Tunggal Ika) serta diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya,3

Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara menyebabkan corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu.

1

Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

2 Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah:Disentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda

dan Anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2001), hlm. 18. 3 Ibid, hlm. 19.


(13)

pemerintah puat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya menciptakan Pemerintahan daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana yang tercemin dalam pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.

Secara Ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan jalan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintahdaerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk melepaskan diri dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara (apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak terlalu bergantung sama sekali kepada pusat. Beberapa urusan yang telah dapat dan lebih tepat diurus sendiri oleh daerah dan bersifat khas daerah,sudah tentu akan lebih efektif dan memberikan hasil guna yang lebih baik bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya, dibandingkan jika urusan tersebut masih ditangani oleh pemerintah pusat.4

4 Faisal Akbar Nasution, Pemerintah Daerah dan sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah,

(Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 10.

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintah daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada nasyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan pengertian otonomi daerah.


(14)

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini pemerintah pusat menyerahkan kepada masyarakat daerah (pemerintah daerahnya) sejumlah urusan yang kelak akan menjadi urusan rumah tangganya sendiri dengan mengingat kondisi dan kemampuan ekonomi, potensi daerah, soaial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan (hankam), serta faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,5

5 Pasal 5 ayat 4 Undang Nomor 22 Tahun 1999 Sebagaimana Diubah Dengan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

dari daerah yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksana pembangunan secara merata diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah, mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah adalah menjadi urusan pemerintah daerah kecuali yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat.

Salah satu yang paling esensial dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah (Presiden) dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.


(15)

Sesuai isi pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah:

a. Pertahanan; b. Keamanan;

c. Politik luar negeri; d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional;dan f. Agama

Berarti bidang-bidang lain diluar 6 (enam) diatas menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata.

Kemudian untuk mewujudkan dan menyelenggarakan pemerintahan daerah sebagaimana tersebut diatas secara efektif dan efesien tidaklah mudah, karena selain dibutuhkannya lembaga eksekutif daerah tetapi juga keterlibatan lembaga legislatif daerah dan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local government) akan sangat ditentukan oleh format lain dan pola hubungan antara lembaga eksekutif daerah dan lembaga legislatif daerah serta seluruh elemen masyarakat.

APBD adalah anggaran keuangan dalam satu tahun kerja yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah, yang mencerminkan RKPD dan bagi satuan kerja perangkat daerah, anggaran satuan kerjanya merupakan bagian dari pelaksanaan Renstra SKPD dan Renja SKPD nya. APBD ditetapkan dengan peraturan daerah setelah mendapat evaluasi; bagi APBD provinsi mendapat


(16)

evaluasi dari Menteri Dalam Negeri, bagi APBD Kabupaten/Kota mendapat evaluasi dari Gubernur. 6

Adapun proses penyusunan APBD sebagai berikut: Kepala daerah menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kemudian kepala SKPD menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran SKPD tersebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah. Sesama unsur pemerintahan daerah pada dasarnya kedudukan Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) adalah sama, yang membedakannya adalah fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibannya. Karena itu hubungan yang harus dibangun antara Pemerintah Daerah dan DPRD mestinya adalah hubungan kemitraan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local governance). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, pada tahap perencanaan pemerintah daerah dan DPRD duduk bersama-sama sebagai mitra untuk merumuskan suatu kebijakan mengenai rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemudian setelah rencana anggaran tersebut disahkan menjadi APBD, pemerintah daerah yang akan melaksanakan pengelolaan dari APBD tersebut. Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan keuangan daerah yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD).


(17)

disampaikan kepada Pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.7

Atas dasar persetujuan DPRD, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah (PKD) tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran SKPD. Langkah selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD oleh instansi atasan yaitu kabupaten/kota oleh Gubernur dan provinsi oleh Menteri Dalam Negeri.

Kepala daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Kemudian dibahas Pemda bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran. Selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD telah mengambil keputusan untuk menyetujui rancangan perda diatas.

8

Rancangan perda Kab/Kota (Provinsi) tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Gubernur) paling lama 3 hari disampaikan kepada Gubernur/Menteri Dalam negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur (Mendagri) kepada Bupati/Walikota (Gubernur) paling lama 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda Kab/Kota (Provinsi) dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD9

7 Ibid, hlm. 35.

8 Ibid, hlm. 36.


(18)

Apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota (Gubernur) menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota (Gubernur). Dan apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/ Walikota (Gubernur) bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota (Gubernur) dan DPRD, dan Bupati/ Walikota (Gubernur) tetap menetapkan rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur), Gubernur (Mendagri) membatalkan perda dan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahun sebelumnya.10

Apabila 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan

10 Ibid, hlm. 37.


(19)

kepala daerah tentang APBD. Rancangan peraturan kepala daerah tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Mendagri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota.11

Untuk memperoleh pengesahan, RPKD tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap rancangan perda tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 hari Mendagri atau Gubernur tidak mengesahkan RPKD tersebut. Kepala Daerah menetapkan RPKD tersebut menjadi peraturan Kepala Daerah.

12

11 Ibid.

12 Ibid.

Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya penanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyar daerah (DPRD) setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Tanpa sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi karena pemerintah telah berubah menjadi penguasa yang tidak perlu memberikan pertanggungjawaban keuangan. Hal dianggap perlu karena ciri khas dari demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya, pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi.


(20)

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termashur bunyinya sebagai berikut: “power tends to corrupt, but absolute power

corrupts absolutely”, yang berarti bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan

cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.13

Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemrintahan dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula. Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi Negara, maka segala daya


(21)

upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memenfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membiaayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan pembangunan.14

a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.

Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan suatu daerah,maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan pertanggungjawaban sebagai bentuk pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Untuk itulah, pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran perlu dilaksanakan sedini mungkin, agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan apabila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.

Selanjutnya, Muchsan menyatakan bahwa untuk adanya tindakan pengawasan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:

b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.

c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut.

14 Faisal Akbar Nasution, op.cit, hlm. 14.


(22)

d. Tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut, baik secara administratif maupun secara yuridis.15

Berkaitan dengan unsur-unsur pengawasan tersebut diatas, maka pengawasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Pengawasan intern (internal control).

Pengawasan yang yang dilakukan suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah. Misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis. Bentuk kontrol semacam itu dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau built-in control. b. Pengawasan ekstern (eksternal control).

Pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ yang secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, kontrol yang dilakukan secara langsung, seperti kontrol keuangan yang dilakukan BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, dan kontrol politis yang dilakukan oleh DPRD terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan peradilan administrasi, maupun badan lain seperti komisi Ombudsman Nasional.16

Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, salah satu bentuk hubungan kewenangan antara badan legislatif daerah dan badan eksekutif daerah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban

15 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 132.


(23)

kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik itu pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban akhir masa jabatan, maupun pertanggungjawaban karena hal tertentu. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disebabkan oleh karena dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi dilaksanakan oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.

Memang harus diakui, bahwa pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan Presidensil yang salah satu cirinya adalah presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan rakyat, namun dengan tidak bertanggungjawabnya kepala daerah terhadap Dewan Perwakilan rakyat Daerah maka pengawasan dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) akan lebih sulit untuk dilakukan.

Arifin P Soeria Atmadja mengatakan:

Dari segi mekanisme pertanggungnjawaban keuangan negara dalam arti luas dijumpai kelemahan sebagai berikut ini:

a. Tidak jelasnya akhir pertanggungjawaban keauangan negara, mengurangi rasa tanggungjawab pelaksanaan anggaran.

b. Adanya berbagai lembaga pengawas dan tumpang tindih fungsi pengawasan disebabkan oleh tidak jelasnya ruang lingkup pengawasan.

c. Pengawasan yang kurang berdaya guna sebagai akibat tidak jelasnya tindak lanjut, memberikan peluang bagi kebocoran anggaran negara.


(24)

d. Pertanggungjawaban keuangan negara yang tidak didukung oleh mekanisme yang jelas mengakibatkan pertanggungjawaban yang tidak jelas pula, dan tidak dapat dipergunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. e. Usaha koordinasi pengawasan akan tidak berdaya guna bilamana tidak

diletakkan pada mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara yang jelas.17

Pendapat diatas seakan-akan menjadi fakta yang tidak terbantahkan lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana banyaknya kepala daerah yang tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang dikelolanya sehingga berakhir dimeja hijau dan sudah tentu membawa akibat kerugian pada keuangan negara/daerah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ynag harus dipertanggungjawabkan oleh kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang” Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai

pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004” untuk di

teliti.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagai berikut:

17 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan


(25)

1. Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 ?

2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004?

3. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004?

C. Tujuan Penulisan

Sedangkan yang menjadi tujuan penulisan yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004.

2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.


(26)

D. Manfaat Penulisan

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis.

a. Hasil penulisan ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

b. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2. Secara Praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, karya ilmiah ini menulis tentang “Pertanggungjawaban Kepala

Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut UU No 32 Tahun


(27)

2004” adalah asli tulisan penulis sendiri, apabila ada karya ilmiah lain yang

serupa mungkin hanya judul saja, sedangkan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan jelas berbeda, maka penulis menuangkan tulisan ini berdasarkan literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan dan analisis terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.

Bila ternyata dikemudian hari ditemukan skripsi yang sama sebelum skripsi ini di buat, penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.

F. Tinjauan Kepustakaan

Pertanggungjawaban kepala daerah adalah Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD (pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintahan Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penyampaian LKPJ Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pelaksanaan dari amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termuat dalam Pasal 27 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Kepala Daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepada DPRD serta


(28)

menginformasikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat”.

Selanjutnya sesuai pasal 184 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota juga berkewajiban menyampaikan Raperda tentang Pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan setelah dilakukan audit oleh BPK. Laporan keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dilampirkan dengan Laporan Keuangan BUMD, yang disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.

Pelaksanaan laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Peraturan Pemerintah inilah yang menjadi acuan dalam penyusunan LKPJ.

Amanat dari peraturan tersebut di atas menyatakan LKPJ Pemerintah Daerah merupakan progress report pelaksanaan tugas atau laporan pencapaian kinerja dalam satu tahun anggaran. Dalam perspektif amanah dan substansi kepemerintahan, penyampaian progress report kepada DPRD, sekaligus merefleksikan akuntabilitas bersama antara kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD. Progress report pada DPRD sifatnya mengikat, karena progress report merupakan bahan masukan bagi DPRD dalam rangka pengawasan terhadap


(29)

pelaksanaan kebijakan pemda sebagai manifestasi dari fungsi kontrol yang dilakukan oleh DPRD. Progress report sangat penting oleh DPRD agar bisa memberikan rekomendasi atau catatan-catatan strategis terhadap penyempurnaan kinerja pengelolaan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan LKPJ ini juga diharapkan dapat terwujud adanya akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, dapat dikatakan tujuan umumnya adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).

2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.18

Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala daerah adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah.

2. Memberikan informasi keungan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya.

18 Soekarwo, Hukum Pengelolaan keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial


(30)

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan.

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasioanl.

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.19

Yang dimaksud dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada pemerintahan yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada pemerintah (pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).

Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dianggap diterima apabila sampai dengan 1 (satu) bulan sejak penyerahan dokumen, penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat diselesaikan, maka pertanggungjawaban ahkir tahun anggaran tersebut dianggap diterima. Apabila pertanggungjawaban kepala daerah terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran Pendapatan dan

19 Ibid, hlm. 44.


(31)

Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA, maka pertanggungjawaban kepala daerah tersebut dapat ditolak.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah).

Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) adalah merupakan suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.20

a. Pendapatan Daerah;

Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:

b. Belanja Daerah; c. Pembiayaan.

Sebagai satu kesatuan, dokumen APBD merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja, dan sumber-sumber pembiayaannya.21

Dari struktur APBD diatas ada kemungkinan surplus atau defisit. Surplus anggaran terjadi jika terdapat selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah. Sebaliknya defisit terjadi jika terdapat selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah, sedangkan jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran.

22

20

Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah DI Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 239.

21 Ibid, hlm 240. 22 Ibid.


(32)

Didalam Penyusunan APBD terdapat formalitas yang perlu di perhatikan dalam penyusunan anggaran yang terdiri atas:

a. Transparansi dan akuntabilitas; b. Disiplin anggaran;

c. Keadilan anggaran;

d. Efisiensi dan efektivitas anggaran; e. Format anggaran.23

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah dalam penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja (RKASK) perangkat daerah. Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran tersebut kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun (RKASK) perangkat daerah dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. RKSAK perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.24

Setiap perangkat Daerah yang mempunyai tugas memungut atau menerima Pendapatan Daerah wajib melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan tersebut adalah orang/lembaga pada pemerintah Daerah yang bertanggungjawab kepada Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah yang terdiri atas sekertaris daerah dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan Daerah.

23 Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2007), hlm.96.


(33)

Pengguna Anggaran Daerah mengajukan Surat Permintaan Pembayaran untuk melaksanakan pengeluaran. Pembayaran yang membebani APBD dilakukan dengan Surat Perintah Membayar. Surat Perintah Membayar merupakan dokumen APBD yang menjadi dasar untuk melakukan pembayaran atas beban APBD. Surat Perintah Membayar ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah atau pejabat yang ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah. Bendahara Umum Daerah dapat menetapkan pejabat yang melakukan tugas pembayaran atas dasar Surat Perintah Membayar.25

1. Asas Desentralisasi.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah derah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan degan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Adapun yang menjadi asas-asas dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:

Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem


(34)

Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah).

2. Asas Dekonsentrasi.

Adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

3. Tugas Pembantuan.

Adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desadari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

G. Metode Penelitian

Untuk mendukung penulisan ini maka metode yang dipakai adalah menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum biasanya dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan yang biasa disebut dengan penelitian hukum normatif.26

Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan pada prinsipnya mengacu kepada penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah penelitian yang berkenaan dengan bacaan yang berisi buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

26 Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Banyumedia, 2007),


(35)

topik yang dijadikan sebagai landasan guna menguatkan argumentasi didalam penyusunan penulisan ini.

Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer yaitu perundang-undangan yang mengikat, bahan hukum sekunder yaitu memberikan penjelasan bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum yaitu buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini, bahan hukum tersier atau bahan penunjang yang mencakup media massa dan media internet.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 Bab, dan tiap–tiap Bab terbagi atas beberapa sub– sub Bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan.

Di dalam Bab ini merupakan gambaran umum yang menguraikan tentang : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pada bab yang kedua ini akan membahas tentang pengaturan Pertanggungjawaban kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, serta pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.


(36)

Bab III : Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada bab yang ketiga ini akan membahas mengenai Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance, mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan analisis terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).

Bab IV : Hambatan-hambatan Yang Dihadapi Oleh Kepala Daerah Dalam Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).

Pada bab yang keempat ini akan membahas tentang hambatan yang bersifat Politis, hambatan yang bersifat Prosedural, dan Hambatan yang bersifat Ekonomis.

Bab V : Kesimpulan dan Saran.

Dalam Bab yang kelima ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang dapat berguna sebagai perkembangan mengenai Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia.


(37)

PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Semenjak lahirnya Negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah telah menjiwai ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara Demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.


(38)

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, menunjukkan adanya perhatian yang sangat besar dari para “founding fathers” terhadap bentuk dan susunan pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi, termasuk lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah yang dipandang sangat penting dalam mewujudkan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara demokratis atas dasar pemusyawaratan. Dengan perkataan lain, keberadaan lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah merupakan wujud untuk menegakkan dan membina kehidupan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menganut prinsip demokrasi yang diberi nama “kedaulatan rakyat” atau “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan” atau “kedaulatan ditangan rakyat”.27

Berdasarkan realitas tersebut diatas, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka mengatur dan mengurus dirinya sendiri, membawa Dari konstelasi diatas menunjukkan bahwa lembaga eksekutif daerah adalah merupakan bahagian integral dalam sistem demokrasi Pncasila, yang pada hakekatnya merupakan perwujudan keikutsertaan masyarakat daerah melalui pemilihan umum kepala daerah yang diadakan secara langsung.

27 Hal ini dapat diperhatiakn dari rumusan Pancasila (sila ke 4) dan pembukaan Undang-Undang


(39)

konsekuensi diharuskannya kepala daerah sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tersebut yang dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Davey mempunyai fungsi-fungsi yaitu:

1. Penyediaan pelayanan.

Kelompok pertama dari fungsi-fungsi,yang secara tradisonal yang diasosiasikan dengan Pemerintahan Daerah adalah penyediaan pelayanan-pelayanan yang berorientasi pada pengendalian lingkungan dan kemasyarakatan.

2. Fungsi pengaturan.

Yakni perumusan dan penegakan (enfocement) peraturan-peraturan. 3. Fungsi pembangunan.

Pemerintah daerah mungkin terlibat langsung dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi.

4. Fungsi perwakilan.

Untuk menyatakan pendapat daerah atas dasar hal-hal diluar bidang tanggungjawab eksekutif yang dilakukan oleh legislatif.

5. Fungsi koordinasi dan perencanaan.

Misalnya dalam investasi dan tata guna tanah.28

Dalam perkembangannya, kedudukan pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam

28 Rahardjo Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan Dan Anggaran Daerah, (Yogyakarta: Graha


(40)

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami berbagai pergeseran sesuai dengan perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah. Pergeseran dan perubahan ini merupakan gambaran proses perkembangan dan pertumbuhan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam pelaksanaan desentralisai dan tugas pembantuan.

Berikut akan diuraikan tentang pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah era reformasi:

A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak beberapa waktu yang lalu, telah dan akan terus membuahkan banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai perubahan tersebut menyangkut segi-segi substansial pada tataran struktural dan fungsional yang diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia bergerak menuju kearah kehupan yang lebih baik di segala bidang kehidupan.29

Dari sisi pemerintahan daerah, satu perubahan fundamental dibanding sistem yang berlaku sebelumnya adalah dipisahkannya lembaga eksekutif yaitu Kepala Daerah beserta perangkat Daerah yang kemudian disebut Pemerintah Daerah, dan lembaga legislatif daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.

29 Bambang Yudoyono, op.cit, hlm .48.


(41)

Perubahan ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan demokrasi dan demokratisasi yang merupakan saripati dari agenda reformasi. Kepada Pemerintah Daerah diberikan fungsi-fungsi implementasi kebijakan publik yang meliputi aspek pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan kepada DPRD diberikan fungsi legilasi, anggaran, dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kepala Daerah.30

1. Pembangunan sistem, iklim dan kehidupan politik demokratis.

Substansi sasaran vital yang ingin dicapai melalui perubahan sistem pemerintahan daerah ini adalah:

2. Penciptaan pemerintahan daerah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa desentralisasi.

3. Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperanserta secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

4. Penegakan supremasi hukum.

Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, dalam konteks ini, kepada DPRD disamping diberikan fungsi-fungsi juga diberikan tugas, wewenang dan hak-hak yang sama seperti DPR dalam ruang lingkup sebagai lembaga legislatif daerah. Dengan pemberian tugas, wewenang dan hak-hak secara luas kepada DPRD tersebut, perlu adanya langkah-langkah konkrit yang mampu mendorong agar dapat berperan secara optimal dalam pemerintahan daerah.31

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara eksplisit diatur dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap

30 Ibid, hlm. 49.


(42)

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, diantaranya yaitu:

Pasal 44 : (1) Kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD. (2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala daerah

bertanggungjawab kepada DPRD.

(3) Kepala daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui menteri dalam negeri dengan tembusan kepada gubernur bagi kepala daerah kabupaten/kota, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, atau jika perlu oleh kepala daerah atau apabila diminta oleh presiden.

Pasal 45 : (1) Kepala daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran.

(2) Kepala daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2).

Pasal 46 : (1) Kepala daerah yang ditolak pertanggungjawabannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.


(43)

(2) Kepala daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan pertanggungjawaban menyampaikannya kembali kepada DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada presiden.

(4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka menurut kurun waktunya ada 3 (tiga) jenis pertanggungjawaban kepala daerah dalam menjalankan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:

1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran; yaitu pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran yang merupakan tanggungjawab pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

2. Pertanggungjawaban untuk hal tertentu; yaitu pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga menanggung unsur tindak pidana.

3. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan; yaitu pertanggungjawaban kepala daerah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA di akhir masa jabatan kepala daerah.32


(44)

Ad. 1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran.

Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) berikut kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA.33

a. Laporan perhitungan APBD.

Pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersifat laporan pelaksanaan tugas (progress report). Oleh sebab itu, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan merupakan wahana untuk menjatuhkan kepala daerah akan tetepi merupakan wahana untuk penilaian dan perbaikan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah.

Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah terdiri atas:

b. Nota perhitungan APBD. c. Laporan aliran kas. d. Neraca daerah.

Keempat aspek tersebut diatas dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA didasarkan pada indikator:

a. Dampak, bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan.

b. Manfaat, bagaimana tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah.

33 Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara


(45)

c. Hasil, bagaimana tingkat capaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (out put) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.

d. Keluaran, bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (in put) yang digunakan. e. Masukan, bagaimana tingkat atau besaran sumber-sumber daya manusia,

dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.34

Berdasarkan pasal 5 sampai dengan pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 diatur tentang tata cara pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah, sebagi berikut:

• Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.

• Dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah dibacakan oleh kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

• Penilaian oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas pertanggungjawaban kepala daerah paling lambat selesai 1 (satu) bulan setelah dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran diserahkan. • Apabila sampai dengan 1 (satu) bulan sejak penyerahan dokumen,

penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat diselesaikan,

34 HAW. Widjaja, op.cit, hlm. 190.


(46)

maka pertanggungjawaban akhir tahun anggaran tersebut dianggap diterima.

• Pertanggungjawaban kepala daerah dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

• Penilaian atas pertanggungjawaban kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

• Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir dan mencakup seluruh fraksi.

• Apabila kepala daerah tidak melengkapi atau menyempurnakan dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada gubernur dan kepada menteri dalam negeri dan ontonomi daerah melalui gubernur bagi bupai/walikota.

• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan penilaian atas laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah disempurnakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah laporan tersebut diserahkan.


(47)

• Pertanggungjawaban kepala daerah yang telah disempurnakan dapat ditolak apabila dalam laporan yang telah disempurnakan masih tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

• Apabila laporan pertanggungjawaban kepala daerah ditolak untuk kedua kalinya, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden melaluli menteri dalam negeri dan otonomi daerah begi gubernur dan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah melaluli gubernur bagi bupati/walikota.

• Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk yang kedua kalinya maka menteri dalam negeri dan otonomi daerah membentuk Komisi Penyelidik Independen untuk provinsi, gubernur membentuk Komisi Penyelidik Independen untuk kabupaten/kota.

• Anggota komisi terdiri dari para ahli yang berkompeten, independent, non partisan yang kredibilitasnya diakui oleh masyarakat, dan berdomisili di wilayah Indonesia bagi provinsi atau berdomisili di provinsi setempat bagi kabupaten/kota yang angotanya berjumlah 7 (tujuh) orang.

• Komisi Penyelidik Independen tersebut bertugas membantu pemerintah unruk menilai kesesuaian keputusan penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan yang berlaku.

• Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban kepala daerah untuk Komisi Penyelidik Independen disampaikan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah dengan tembusan kepada presiden untuk gubernur dan disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah untuk bupati/walikota.


(48)

• Masa tugas komisi Penyelidik Independen berakhir setelah proses pertanggungjawaban kepala daerah selesai.

• Apabila komisi Penyelidik Independen manilai bahwa keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakn pertanggungjawaban akhir tahun anggaran telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, selanjutnya diteruskan kepada presiden dan disahkan untuk gubernur atau kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah agar disahkan untuk bupati/walikota.

• Apabila Komisi Penyelidik Independen menilai bahwa keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka presiden membatalkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk gubernur dan menteri dalam negeri dan ontonomi daerah membatalkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk bupati/walikota.

• Dengan dibatalkannya keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran gubernur, bupati/walokota maka usul pemberhentian yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dinyatakan ditolak dan selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merehabilitasi nama baik gubernur, bupati/walikota.

Dengan demikian, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah bentuk analisis, evaluasi, dan penilaian yang dilakukan untuk mengamati apakah kebijakan, program dan kegiatan yang telah dipilih dan ditetapkan masih relevan dengan tuntutan dan


(49)

kepentingan masyarakat yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan pembangunan pada masa yang kan datang.

Ad. 2. Pertanggungjawaban Untuk Hal Tertentu.

Pertanggungjawaban dikarenakan hal tertentu merupakan pertanggungjawaban kepala daerah yang berkaitan dengan dugaan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang oleh Dewan Perwakilan Daerah dinilai dapat menimbulkan krisi kepercayaan public yang luas (pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000, maka tata cara pertanggungjawaban kepala daerah karena hal tertentu adalah sebagai berikut:

• Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dapat dipanggil oleh Dewan Perwakilan Daerah atau dengan inisiatif sendiri untuk memberikan keterangan atas perbuatan pidana.

• Pemanggilan kepala daerah tersebut dilakukan atas permintaan sekurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari seluruh anggota Dewan Perawakilan Daerah.

• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengadakan sidang paripurna untuk membahas keterangan yang disampaikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan sejak kepala daerah dan atau wakil kepala daerah memberikan keterangan.


(50)

• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk panitia khusus untuk menyelidiki kebenarran keterangan yang disampaikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.

• Berdasarkan hasil penyelidikan panitia khusus, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengambil keputusan untuk menerima atau menolak keterangan kepala daerah untuk hal tertentu.

• Apabila Dewan Perwakilan Daerah menolak pertanggungjawban tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

• Penyidikan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari presiden bagi gubernur dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah bagi bupati/walikota. Apabila gubernur dan atau wakil gubernur berstatus sebagai terdakwa, presiden memberhentikan sementara gubernur dan atau wakil gubernur dari jabatannya.

• Apabila bupati/walikota dan atau wakil bupati/walikota berstatus sebagai terdakwa, menteri dalam negeri dan otonomi daerah memberhentikan sementara bupati/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota dari jabatannya.

• Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kkekuatan hukum tetap dan menyatakan gubernur dan atau wakil gubernur tidak bersalah, presiden mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik gubernur dan atau wakil gubernur tersebut.


(51)

• Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetep dan menyatakan bupai/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota tidak bersalah maka menteri dalam negeri dan otonomi daerah mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik bupati/walikota. Selanjutnya apabila diperhatikan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa: “Kepala Daerah diberhentikan oleh presiden tanpa melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah apabbila terbukti melakukan tindakan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atua lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam KUHP”.

Kemudian, kepala daerah yang diduga melakukan makar dan atau perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diberhentiakn sementara dari jabatannya oleh presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, apabila kepala daerah telah terbukti melakukan perbuatan makar dan atau melakukan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap diberhentikan dari jabatannya oleh presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, akan tetapi apabila kepala daerah yang tealah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan maker dan atau perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diaktifkan kembali oleh presiden dan direhabilitasi salaku kepala daerah sampai akhir masa jabatannya.35

35 Pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemeriintahan


(52)

Ad. 3. Pertangungjawaban Akhir Masa Jabatan.

Pertanggungjawban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang merupakan penilaian kinerja setiap kepala daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA.36

• Pertanggungjawaban akhir masa jabatan dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang peripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Pertangungjawaban akhir masa jabatan dibacakan oleh kepala daerah didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000, maka tata cara pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah adalah sebagi berikut:

• Setelah dibacakan kepala daerah, dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah diserahhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk selanjutnya dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

• Penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatan diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

• Apabila sampai dengan 1 (satu) bulan setelah diterimanya dokumen pertanggungjawaban akhir masa jabatannya oleh Dewan Perwakilan

36 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemrintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara


(53)

Rakyat Daerah, akan tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat memutuskan penilaiannya, maka pertanggungjawaban akhir masa jabatan tersebut dianggap diterima.

• Pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.

• Penilaian atas pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yangg dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

• Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir yang terdiri dari seluruh fraksi.

Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan kepala daerah ditolak maka kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan tidak dapat dicalonkan kembali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk masa jabatan berikutnya.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memberitahukan kepada kepala daerah bahwa akan berakhirnya masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan 6 (enam) bulan sebelumnya secara tertulis”.


(54)

Dengan adanya pemberitahuan tersebut, kepala daerah mempersiapkan pertanggungjawaban akhir masa jabatannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan menyampaikan pertanggungjawaban tersebut selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah pemberitahuan.

Oleh sebab itu,berdasarkan uraian tentang jenis-jenis pertanggungjawaban kepala daerah tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa laporan pertanggungjawaban kepala daerah pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah merupakan wujud nyata pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta syarat untuk keberhasilan dan kebijakan program dan kegiatan pemerintahan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

B. Pengaturan Pertanggungjawabann Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 salah satu bentuk hubungan kewenangan antara badan legislatif daerah dengan badan eksekutif daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik itu adalah pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban karena hal tertentu, maupun pertanggungjawaban akhir masa jabatan. Akan tetapi setelah berlakunya Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disebabkan oleh karena dalam hal pemilihan kepala daerah tidak lagi


(55)

dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, lebih demokratis dari pemilihan yang dilakukan DPRD. Kedaulatan betul-betul berada pada rakyat. Rakyat langsung menyalurkan aspirasinya, dan kepala daerah mendapat legitimasi yang tinggi.37

Logika berikutnya kepala daerah dalam menjalankan kepemimpinan pemerintahannya akan lebih transparan dan lebih akuntabel; tetapi menurut UU dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah bukan memberi pertanggungjawaban langsung kepada rakyat melainkan kepada pemerintah diatasnya. Kepada rakyat memberikan informasi, kepada DPRD memberikan keterangan pertanggungjawaban, kepada pemerintah diatasnya memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (UU No 32 Tahun 2004; Pasal 27 ayat 2, 3 dan 4). Hal tersebut hampir sama dengan format UU No 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang dinilai sentralistik dengan konotasi kurang demokratis, yaitu kepala daerah memberikan pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya dan memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, tetapi tidak ada statement menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.38

UU No 32 Tahun 2004 menggunakan statement yang halus, kelihatan lebih demokratis yaitu bukan “memberikan pertanggungjawaban kepada pemerintah diatasnya” melainkan “kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah”.

37 Diharna,op.cit, hlm. 64. 38 Ibid.


(56)

Isi pasal 27 ayat 2, 3 dan 4 terlihat bahwa pemerintah lebih mewakili pemilih daripada DPRD dalam mengawasi jalannya kepemimpinan kepala daerah yang berarti sejauhmana kekuasaan yang diberikan pemilih/rakyat betul-betul digunakan untuk kepentingan rakyat.39

1. Kepala Daerah wajib memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah (Pasal 27 ayat 2 UU 32/2004).

Bagi pejabat publik yang dipilih, mekanisme pertanggungjawabannya akan mengikuti mekanisme pemilihannya. Prinsip yang digunakan adalah “mereka yang dipilih bertanggungjawab kepada yang memilih”. Dengan demikian sesuai payung hukum tentang Pemerintahan Daerah yaitu UU 32 tahun 2004 maka kepala daerah memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah Pusat (Pasal 27 ayat 2 & 3 UU 32/2004). Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, kepala daerah diawasi oleh DPRD serta memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. Sedangkan kepada masyarakat, kepala daerah wajib memberikan laporan mengenai informasi laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 27 ayat 2 & 3 UU 32/2004).

Adapun mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah menurut UU 32 tahun 2004 sebagai berikut :

2. Gubernur menyampaikan LPPD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Pasal 27 ayat 3 UU 32/2004).

3. Bupati/Walikota menyampaikan LPPD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur (Pasal 27 ayat 3 UU 32/2004).

39 Ibid, hlm. 65.


(57)

4. LPPD dilaksanakan satu kali dalam satu tahun (pasal 27 ayat 3 UU 32/2004). 5. LPPD digunakan sebagai dasar bagi evaluasi penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan sebagai bahan pembinaan lanjut (pasal 27 ayat 4 UU 32/2004). 6. Pelaksanaan LPPD diatur dalam Peraturan Pemerintah (pasal 27 ayat 5 UU

32/2004).

7. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum selesai dibuat. Namun mengingat Ketentuan Penutup pada UU Nomor 32 tahun 2004, khususnya Pasal 238 ayat (1) yang mengatakan bahwa “Semua peraturan

perundang-undangan berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku”, maka LPPD masih dapat menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2001

tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dengan berbagai penyesuaian.

8. Di dalam pasal 3 ayat 1 PP Nomor 56 Tahun 2001 dikatakan bahwa Laporan Gubernur meliputi pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

9. Pada pasal 3 ayat 2 PP Nomor 56 Tahun 2001 dikatakan bahwa Laporan Bupati dan Walikota meliputi pelaksanaan desentralisasi, tugas pembantuan serta kebijakan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau kelurahan.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:

Ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepala daerah mempunyai tugas dan kewajiban:


(58)

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban rakyat. d. Melaksanakan kehidupan demokrasi

e. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.

h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan keuangan daerah. j. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertical didaerah

dan semua perangkat daerah.

k. Menyampingkan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah dihadapan rapat paripurna DPRD.

Ayat (2) : Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Ayat (3) : Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada presiden melalui menteri


(1)

103

hak-hak yang melekat pada DPRD, yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak petisi, maka kepala daerah harus memberikan pertanggungjawaban yang pada akhirnya akan kembali kedasar, yaitu kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD terhadap pelaksanaan APBD.

2. Berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD telah diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007. Namun terjadi ketimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berkenaan dengan mekanisme pertanggungjawaban keuangan daerah, yaitu bahwa kepala daerah sebagai pimpinan eksekutif daerah dan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah adalah merupakan 2 (dua) lembaga daerah yang bersifat sejajar, namun terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban keuangan daerah kepala daerah harus menyampaikan LKPJ kepada DPRD yang notabenenya petrtanggungjawaban tersebut sebahagian adalah keuangan daerah yang digunakan oleh DPRD yang diatur dalam pos tersendiri dalam APBD, akan tetapi DPRD tidak mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang telah digunakan oleh DPRD, maka dalam hal ini hilanglah check and balances dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.

3. Ada beberapa hambatan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD yang dianggap sangat signifikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:


(2)

Disebabkan oleh karena reslitas politik sering digambarkan sebagai pertarungan kekuatan dan kepentingan.

b. Hambatan Prosedural.

Disebabkan oleh karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD saling bertentangan.

c. Hambatan Ekonomis.

Disebabkan oleh karena adanya keterlambatan yang dilakukan oleh Pemda didalam menyampaikan Laporan Keuangan baik ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun ke DPRD sehingga mempengaruhi pengesahan APBD Tahun berjalan.

B. Saran.

1. Hendaknya pada masa yang akan datang hendaknya pemerintah dapat melahirkan sebuah regulasi yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan Daerah, dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan dalam rangka check and balance system mengingat kepala daerah dan DPRD adalah merupakan mitra yang bersifat sejajar dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.

2. Perlu dibentuk suatu lembaga atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan, namun tidak mengambil tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK). Maksudnya adalah peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tambal


(3)

105

sulam atau tumpang tindih,mengingat tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan akan membawa dampak hambatan prosedural dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD.

3. Hendaknya ada peraturan yang mengatur secara tegas terhadap fungsi pengawasan DPRD, khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, disamping itu juga adanya peraturan yang mengatur secara rinci tentang seajuh mana laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD terhadap pelaksanaan APBD.


(4)

A. BUKU :

Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah DI Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).

---, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, (Jakarra: PT. Gramedia, Edisi Revisi, 2008).

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986).

Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah:Disentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2001).

Diharna, Administrasi Pemerintah Daerah, (Cirebon: Swagati Press, 2008).

Faisal Akbar Nasution, Pemerintah Daerah dan sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009).

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007).

HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002). Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:

Banyumedia, 2007).

M.Yusuf John dan Dwi Setiawan S, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009).

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Jakarta, 1977).

Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007).

---, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Keuangan Daerah, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007).


(5)

107

Rahardjo Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan Dan Anggaran Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011).

Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Bandung: Fokusmedia, 2003).

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Soekarwo, Hukum Pengelolaan keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip

Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005).

W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2006).

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat.

C. SUMBER LAIN :

LKPJ dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, Diakses tanggal 1 maret 2011.

http Dwipayana, Arah dan Agenda Reformasi DPRD:Memperkuat Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pdf. Diakses Tanggal 10 Maret 2011.


(6)

Irfan Langgo, Implementasi Disentralisasi di Indonesia Berdasarkan Fenomena-Fenomena Yang Terjadi Saat ini Terkait Dengan Pelaksanaan Good Governance. Diakses Tanggal 10 Maret 2011.

Daerah Kabupeten Seluruh Indonesia, Hambatan Dari APBD. Diakses Tanggal 15 Maret 2011.

http Soekarwo, Pengelolaan

Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, pdf. diakses tanggal 1 Maret 2011.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ( APBD ) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )

0 45 150

KAJIAN YURIDIS PEMAKZULAN KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH

0 5 18

Optimalisasi pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2007 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta menurut undang undang nomor 32 tahun 2004

0 5 89

KEWENANGAN SEKRETARIAT DAERAH KOTA PADANGSIDEMPUAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 12

KEWENANGAN SEKRETARIAT DAERAH KOTA PADANGSIDEMPUAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 17

KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 6

KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 10

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH.

0 6 60

HUBUNGAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH PASCA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 - Repositori Universitas Andalas

0 0 6

TUGAS DAN WEWENANG KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH -

0 0 67