Alat Bukti Hukum Acara Perdata

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana
(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP
Tulisan/Surat

Saksi-saksi

Persangkaan

Pengakuan

Sumpah

Ket. Saksi

Ket. Ahli

Surat

Petunjuk

Ket. Terdakwa


Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu persatu alat bukti Hukum Acara
Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W., sebagai berikut:

1. Alat Bukti Tertulis (Surat)

Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja
ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak
dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai
contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual beli
menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara
mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis
dibawah ini:

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan
ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang
dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting
terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah
menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung

jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..

Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta
dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila
yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya
cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian
mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[8]

Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi sematamata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[9]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana
menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a)


Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,

b)

Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

c)
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari
tergugat.[10] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka
penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.
Dengan demikian harus memenuhi syarat :
Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut
didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.


Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi
namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya
adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun
kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan
penunjukan barang aslinya.[11] Berikut kami pun memberikan contoh yang
diambil dalam sebuah buku Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh
Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:

Contoh Penyusunan

Bukti tulis – sederhana

NO.

DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM PERKARA PERDATA DI BAWAH
NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG

===================================
=======


P–1
: Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank
………. . Cabang Bandung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1
Kotamadya Bandung, perihal: Roya Hipotek; (oleh Pd BPN)

P–2
: Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. .
Notaris/PPAT………………………..

P–3

: Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………

P–4
: Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
……………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl.
………………… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong,
Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .

P–5

: Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya
Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas
nama………………….. .

Disampaikan dengan hormat oleh

Kuasa Pembantah,

2. Alat Bukti Saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan
yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata
yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal

yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi
menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU
sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat
bukti saksi tidak dapat diterapkan.

Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila
pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela,
meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan
sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya
sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan
merupakan tindakan unproffesional conduct.

Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang
tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk
menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).

Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[13]

a)


Orang yang Cakap

Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal
145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama
keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua
suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA
No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi
saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal
1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15
(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata),
keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH

Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung
dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).

b)

Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan


Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905
KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat
bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.

c)

Diperiksa Satu Persatu

Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG.
Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar
keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan
cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua
memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan
hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.

d)

Mengucapkan Sumpah


Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di
depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang
sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi
dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911
KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji
menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan
sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.

e)

Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti

Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi
saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus
testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.

f)

Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan


Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal
171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini
keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan
alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.

g)

Saling Persesuaian

Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata.
Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai
alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual
confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi
yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu
kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

3. Bukti Persangkaan

Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil
dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[14] Hal ini sejalan dengan
pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa
yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[15]

1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa
maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut
membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang
terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat
membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan
bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup
sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim
menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak
mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendirisendiri selama bertahun-tahun.

4. Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan
atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam
proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan
pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan
Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa
adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan.
Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat
atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang
diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang
berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata
yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a)
dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide
Pasal 174 HIR);

b)

kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan
ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan
lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam

dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan
tanpa alasan dan dasar hukum.[16]

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah
tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu
pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi
janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan,
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar
akan dihukum oleh-Nya”[17]

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan”
(decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan”
(decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang
sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang
perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan
sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak
pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan
mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu,
artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu
saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan
semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang
dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya
tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim
apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia
menolak pengangkatan sumpah itu.[18]

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu
sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia
dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim
memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-

sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang
mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak
itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan
terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak
yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu
sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”,
adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang
beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah
terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan
putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah
merupakan permulaan pembuktian.[19]

Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua
macam sumpah ini;[20]
Sumpah

Decissoir
Suppletoir
Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan;
Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;
Dapat dikembalikan;
Dilakukan dalam tiap keadaan. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada
salah satu pihak);
Merupakan alat bukti tambahan;
Tidak dapat dikembalikan;
Hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah
dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu
harga barang tertentu yang disengketakan.[21]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada
umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal
1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan
didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan
atau ditolak.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan
tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan
penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang
paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam Alat Bukti:
Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau
hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti
tertulis diantaranya sebagai berikut.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan
bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan
akta dibawah tangan.
Alat bukti kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidanganAlat bukti persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
Alat bukti pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak,
karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
Alat bukti sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah
tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

DAFTAR PUSTAKA

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel diposkan pada 9 Desember 2010 dari
http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2006.

Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa 2003.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004.

Sugeng A.S, Bambang. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Litigasi Perkara
Perdata, Jakarta: Kencana, 2011.

Tw, Abdullah, Alat Bukti Dalam Perakara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei
2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkaraperdata/.

[1] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia), h. 105.

[2] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet.
31, 2003, h.177

[3] Op. cit, h. 107.

[4] Prof. Subekti, S.H., Op. cit. h. 176.

[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006, h. 134.

[6] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet.
10, 2010, h. 554.

[7] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata
dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana), 2011, h. 66.

[8] M. Yahya Harahap, S.H., Op. cit, h. 566

[9] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. cit. h. 158

[10] Op. cit, h. 607

[11] Op. cit, h. 166

[12] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, h. 166

[13] Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010
dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alatbukti.html.

[14] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 181

[15] Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei
2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkaraperdata/

[16] Aza, Op. cit.

[17] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Op. cit, h. 117

[18] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 183

[19] Ibid, h. 184.

[20] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.A., dan Sujayadi, S.H., Op. cit, h. 76.

[21] Ibid.

BAB I
PENDAHULUAN

1.

LATAR BELAKANG

Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu
sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua
belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran
yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat
menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat,
maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang
mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.

Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih
dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara
beracara dalam hukum acara perdata.

2.

A.

RUMUSAN MASALAH

Apa Dan Bagaimana Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata?

B.

Apa Saja Alat Bukti Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Perdata?

C.

Apa Tujuan Pembuktian Perdata Dalam Hukum Acara Perdata?

D.

Apa Saja Asas-Asas Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata?

BAB II
PEMBAHASAN

1.

PEMBUKTIAN

Salah satu tugas hakim ialah menyelidiki apakah yang menjadi dasar perkara
benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim
dan tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti
yang diperlukan oleh hakim.
Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalildalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya.
Sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak
lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Selain itu yang tidak perlu di buktikan lagi
adalah yang dalam hukum acara perdata di sebut fakta notoir, yaitu hal yang
sudah lazimnya diketahui oleh umum. Misalnya, bahwa Negara Republic
Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945, atau bahwa pada hari
minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup.
Tentang siapa yang harus membuktikan, maka disini hakim memeriksa perkara
itu yang akan menentukan siapa diantara para pihak yang berperkara akan
diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau tergugat.
Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim, harus bertindak arif dan

bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang
kongkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.
Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan
(peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi
disangkal oleh pihak yang lain. Sedangkan masalah hukumnya tidak usah
dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan
diterapkan oleh hakim. Dalam acara perdata di Indonesia, hakim adalah terikat
di dalam acara mencapai putusannya. Hanya berdasar pada alat-alat bukti yang
sah, hakim diperbolehkan mengambil keputusan.
Pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas menilai
pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain
pembuktian yang tidak lain penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan
hanyalah judex factie saja. Dengan demikian bukti itu dinilai lengkap dan
sempurna, apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah
diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu dianggap sudah pasti dan benar.
Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri
atas :
A.

Bukti surat/tulisan

B.

Bukti saksi

C.

Persangkaan

D.

Sumpah

Dalam praktek masih ada satu macam alat bukti lain yang sering dipergunakan,
yaitu pengetahuan hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri
oleh hakim dalam siding, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan
pemeriksaan setempat.

2.

MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian
jenis dan perkembangannya.
2.1 Pengertian Alat Bukti Dan Perkembangannya.
Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan
tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan
penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang
paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil
gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan

jenis atau alat bukti tertentu. [1]hukum pembuktian yang berlaku di indonesia
saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak
bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara.
Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah
dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang
berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda [2], telah terjadi perpindahan pola
pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah
system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan
secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu saja
melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara
hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum.
Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan
satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia
ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara
lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada
system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan
terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan Undang-Undang.[3]

2.2 Macam-Macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui
alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti
yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian
dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR,
ps. 1866 KUH Perdata).

A.

Alat Bukti Tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau
hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti
tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta
dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik
dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[4] Jadi untuk dapat dibuktikan
menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta
dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila
yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya
cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian
mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[5]
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara
para pihak yang berkepentingan.[6]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana
menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
A.
B.

Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan
Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

C.
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang
dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari
tergugat.[7]Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka
penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.
Dengan demikian harus memenuhi syarat:
A. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
B. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang
disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.

Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi
namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya

adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun
kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan
penunjukan barang aslinya.[8]

C.

Alat Bukti Kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidangan.[9]
Jadi, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah
ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir
tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

D.

Alat Bukti Persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau
presumptive.[10]

E.

Alat Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan
persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas,
karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim
tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk
memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.[11]

F.

Alat bukti sumpah

Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengikat akan sifat Maha
Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.[12]

HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:

a.

Sumpah Supletoir/Pelengkap (Pasal 155 HIR)

Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa
yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b.

Sumpah Aestimatoir/Penaksir (Pasal 155 HIR)

Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.
c.

Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)

Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu
pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah Supletoir, maka sumpah
decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali,
sehingga sumpah decisioir, ini dapat di lakukan setiap saat selama pemeriksaan
di persidangan.

G.

Pemeriksaan Setempat

Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam
Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah
ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai berikut :
Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang
dapat dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.
a. Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek
tersebut ditempat barang itu terletak.
b. Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota
Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.[13]
H. Saksi ahli/Pendapat ahli

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan
perkara yang bersangkutan.
Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus
dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of
knowledge”.[14]
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia:
a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
b. Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c. Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu
menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people).
[15]
Dari pengertian diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi
jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti
sesuai dengan bidang yang disengketakan.

3.

TUJUAN PEMBUKTIAN

Pada hakekatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan,
yang menyatakan salah satu pihak menang, pihak yang lain kalah (jika
merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu
penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan
pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.
Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi
pihak yang merugi atau menjadi pihak yang di kenakan hukuman. Sama halnya
jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi
pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan
akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya? Dengan perkataan lain
apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya
merupakan suatu hubungan sebab akibat?
Mengenai permasalahan ini, hans kelsen mengemukakan salah satu teori yang
terkenal sebagai “ toerekeningstheoris” (teori pertanggung jawab).
Menurut teori hans kelsen yang kemudian diikuti oleh paul Scholten itu, tindakan
yang dilakukan seseorang sehingga ia dihukum, bukan merupakan hubungan
sebab akibat.

Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya,
melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggung jawaban atau
perbuatannya sendiri.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada
pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum
pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang
berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari
hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian
hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan.

Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah:

A.

Gerachtgkeit (keadilan)

B.

Zwegkmassigkeit (kemanfaatan)

C.

Rechtsicherheit (kepastian hukum)

Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konflik diantara
berbagai kepentingan manusia (conflict of human interest). Akibat konflik antarkepentingan itu sehingga menghendaki adanya penyelesaian fungsi hukum.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk
menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus
ingat, bahwa proses perdata
adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan
proses pidana, dimana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa.
Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan
pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan
antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan
memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap
masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan
hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya.
Secara filosofinya dapat dikatakan bahwa tujuan pembuktian adalah:
“Quod Bonum Felix Faurtumque”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh
allah).

4.

ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dikenbal asas-asas tersendiri,
yang berbeda dengan apa yang dikenal dalam hukum pembuktian lainnya.
Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku bagian dari
hukum privat (privaatrecht [Belanda], private law [Inggris], droit prive [Perancis],
privatrecht [Jerman].
Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata itu sendiri, seperti
tersebut diatas.

A.

Asas Audi Et Alteram Partem

Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “Audi Et Alteran Parten”, atau “
Eines Manres Rede Ist Keines Mannes Rede”. Asas kesamaan kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan.

B.

Asas Ius Curia Novit

Asa “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memfiksikan bahwa setiap hakim itu
harus dianggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim sama
sekali tidak boleh memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak
mengetahui hukumnya.

C.

Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa

Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak seorang
pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri.
Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa
golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio) adalah:
a.

Orang yang tidak mampu secara mutlak

Hakim di larang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:
1.
Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang lurus
dari salah satu pihak yang berperkara.
2.
Suami atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah
bercerai.

b.

Orang yang tidak mampu secara nisb

Mereka ini dapat di dengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai
keterangan kesaksian:
1.

Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.

2.

Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.

3.

D.

Asas Ultra Ne Petita

Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim
hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan
lebih daripada yang dituntut oleh penggugat.

E.

Asas De Gustibus Non Est Disputandum

Asas “De Gustibus Non Est Disputandum” ini sebenarnya suatu asas yang aneh.
Karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak
dapat di persengketakan.

F.

Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet

Asas ini menentukan bahwa tidak ada yang dapat mengalihkan banyak hak
daripada yang ia miliki.

5.

BEBAN PEMBUKTIAN

Pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam
pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yang menentukan :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu
peristiwa untuk menegaskan haknya, atau untuk membantah hak orang lain,
maka harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa itu.”

Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa
yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah adanya
hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapuskan
atau membantah hak penggugat tersebut.[16]

Jika tergugat atau penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat
membuktikan maka ia harus dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil
sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya
ialah sebagai berikut:
A. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal
1244 BW).
B.
Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang
dituntut (pasal 1365 BW).
C.
Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua angsuran (pasal 1394 BW).
D. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) BW).

BAB III
PENUTUP
A.

KESIMPULAN

Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada
umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal
1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
v Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu
yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.

v Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga
jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Macam-Macam Alat Bukti

A.

Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau
hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti
tertulis diantaranya sebagai berikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta
dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik
dan akta dibawah tangan.

B.

Alat bukti kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidangan.

C.

Alat bukti persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

D.

Alat bukti pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak,
karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.

E.

Alat bukti sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah
tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
F.

Pemeriksaan setempat

Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam
Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah
ada pada pasal 153 HIR

G.

Saksi ahli/Pendapat ahli

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

M. Nur Rasaid, S.H. Hukum Acara Perdata (Jakarta : Sinar Grafika)
Prof.Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. / Dr. Wiwie Heriani, S.H., M,H. Asas-Asas Hukum
Pembuktian Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta :
Liberty. Edisi VII)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009

[1] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554
[2] Opcit, 555
[3] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 556

[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
2006), hal. 149
[5] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566
[6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
2006), hal. 158
[7] Opcit, 607
[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 616622
[9] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
2006), 166
[10] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 684
[11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), 181
[12] Sudikmo mertokusumo, op. cit., hal. 154.
[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.
781
[14] Ibid, 789
[15] Ibid, 789
[16] H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti Bandung,